Anda di halaman 1dari 55

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI BLOK RESPIRASI OBAT ANTI TB, OBAT ANTI ASMA, DAN OBAT LOKAL SISTEM

RESPIRASI

Asisten: Sarah Shafira Aulia G1A010072

Kelompok 3: Nyimas Eva Fitriani G1A011009 Fiska Praktika W Teofilus Kristianto Desvia Ira Restiana G1A011010 G1A011011 G1A011012

Alvita Mega Kumala G1A011056 Aqmarina R Ahmad Albera P Utiya Nur Laili Mariska Widya W Yanestria P Firman Pranoto G1A011057 G1A011058 G1A011092 G1A011093 G1A011094 G1A009134

JURUSAN KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2013

LEMBAR PENGESAHAN

Kelompok 3:

Nyimas Eva Fitriani G1A011009 Fiska Praktika W Teofilus Kristianto Desvia Ira Restiana G1A011010 G1A011011 G1A011012

Alvita Mega Kumala G1A011056 Aqmarina R Ahmad Albera P Utiya Nur Laili Mariska Widya W Yanestria P Firman Pranoto G1A011057 G1A011058 G1A011092 G1A011093 G1A011094 G1A009134

disusun untuk memenuhi persyaratan mengikuti ujian praktikum Farmakologi Blok Respirasi Jurusan Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

diterima dan disahkan Purwokerto, Maret 2013

Asisten,

Sarah Shafira Aulia NIM.G1A010072

BAB I PENDAHULUAN A. Judul Praktikum 1. Pengobatan TB 2. Obat Anti TB (OAT) 3. Obat Anti Asma 4. Obat Lokal Sistem Respirasi 5. Peresepan

B. Tanggal Praktikum Kamis, 14 Maret 2013

C. Tujuan Praktikum 1. Mengetahui klasifikasi penyakit TB, prinsip dan aturan-aturan pemberian obat anti tuberkulosis (OAT). 2. Mengetahui jenis dan spesifikasi obat anti tuberkulosis (OAT). 3. Mengetahui jenis dan spesifikasi obat anti asma. 4. Mengetahui jenis dan spesifikasi obat lokal sistem respirasi. 5. Mengetahui aturan-aturan penulisan resep obat.

D. Alat dan Bahan 1. Stase I a. Materi praktikum b. Penjelasan asisten dosen laboratorium farmakologi c. Contoh kemasan obat kombipak dan FDC 3. Stase II a. Materi praktikum b. Penjelasan asisten dosen laboratorium farmakologi 4. Stase III a. Materi praktikum b. Penjelasan asisten dosen laboratorium farmakologi c. Contoh obat-obatan anti asma

5. Stase IV a. Materi praktikum b. Penjelasan asisten dosen laboratorium farmakologi 6. Stase V a. Materi praktikum b. Penjelasan asisten dosen laboratorium farmakologi c. Buku MIMS

E. Cara Kerja 1. Stase I Materi yang dipelajari di stase I mengenai langkah-langkah sebelum melakukan pengobatan terhadap penyakit TB sehingga dapat ditarik suatu rencana pengobatan sesuai dengan klasifikasi penyakit TB yang diderita oleh pasien. Klasifikasi penyakit TB antara lain: a. Klasifikasi berdasarkann organ tubuh yang terserang bakteri TB (paru atau ekstra paru); b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis (TB paru BTA positif atau TB paru BTA negatif); c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit; dan d. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Selanjutnya adalah materi mengenai jenis, sifat dan dosis OAT; prinsip pengobatan penyakit TB paru; panduan pemberian paduan OAT di Indonesia; serta pengobatan TB pada anak. 2. Stase II Materi yang dipelajari di stase II mengenai jenis-jenis OAT primer (Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Etambutol, dan Streptomisin) beserta indikasi, kontra indikasi, efek samping obat, dan mekanisme kerja masingmasing obat. 3. Stase III Materi yang dipelajar di stase III mengenai obat-obatan anti asma yang terdiri dari Aminofilin, Zafirlukas, Theofilin, dan Salbutamol beserta

indikasi, kontra indikasi, efek samping obat, dan mekanisme kerja masingmasing obat. 4. Stase IV Materi yang dipelajari di stase IV mengenai obat-obatan lokal sistem pernapasan yang biasa dipakai di kehidupan sehari-hari, terdiri dari jenis dekongestan, Ekspektoran, Antitussive, dan Mukolitik 5. Stase V Teknik membuat resep yang baik, benar, dan sesuai aturan dipelajari di stase terakhir. Contoh resep: Dr. Teofilus Kristianto Dokter Umum G1A011011 Jl. Kalijaga (0281)8975678 Purwokerto, 16 Maret 2013
R

/ Dextrometorphan sir ml 100 No II

4 dd cth 2 pc

Pro : Ny. Nani Usia : 42 tahun Alamat: Jalan Tentara Pelajar 67

BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGOBATAN TB 1. Sebelum melakukan upaya pengobatan terhadap pasien TB, diperlukan langkah berupa anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang sehingga dapat diketahui jenis/klasifikasi TB yang diderita pasien untuk menentukan langkah pengobatan yang tepat. Di antaranya ada beberapa klasifikasi TB yaitu (Kemenkes RI, 2009): a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena: 1) TB paru TB paru adalah TB yang menyerang jaringan (parenkim) paru. Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. 2) TB ekstra paru TB yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis pada TB paru: 1) TB paru BTA positif a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. b) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto thoraks dada menunjukkan gambaran TB. c) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. d) Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

2) TB paru BTA negatif Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi: a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif b) Foto thoraks abnormal menunjukkan gambaran TB c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit: 1) TB paru BTA negatif foto thoraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto thoraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses far advanced) dan atau keadaan umum pasien buruk. 2) TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu: a) TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. b) TB ekstra paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin. d. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu: 1) Baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). 2) Kambuh (Relaps) Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

3) Pengobatan setelah putus berobat (Default) Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. 4) Gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 5) Pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan dari sarana pelayanan kesehatan yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. 6) Kasus Kronik Yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan. 2. Jenis, Sifat, dan Dosis Obat Anti TB (OAT) Dalam pengobatan TB digunakan OAT dengan jenis, sifat, dan dosis sebagai berikut (Kemenkes RI, 2009): a. Obat primer (RHZE+S) 1) Rifampisin 2) Isoniazid 3) Pirazinamid 4) Etambutol 5) Streptomisin b. Obat sekunder (Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin dan Kanamisin)

Tabel 2.1 Jenis, Sifat, dan Dosis OAT (Kemenkes RI, 2009) Dosis yang direkomendasikan Jenis OAT Sifat Harian Isoniazid (H) Rifampicin (R) Pyrazinamid (Z) Bakterisid Bakterisid Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12) 25 (20-30) (mg/kg) 3x seminggu 10 (8-12) 10 (8-12) 35 (30-40)

Streptomycin (S)

Bakterisid dan Bakteriostatik

15 (12-18)

Ethambutol (E)

Bakteriostatik 15 (15-20)

30 20-35)

Terdapat dalam kemasan: a. Paket Kombipak Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT (Kemenkes RI, 2009). Contoh kemasan kombipak: 1) Kombipak Anak Fase Intensif, dalam satu kemasan berisi: a) Rifampisin 75 mg 2 kapsul b) Isoniazid 100 mg 1 tablet c) Pyrazinamid 200 mg 2 tablet

Gambar 2.1 Kombipak Kategori anak Fase intensif 2) Kombipak Anak Fase Lanjutan, dalam satu kemasan berisi: a) Rifampisin 75 mg 2 kapsul b) Isoniazid 100 mg 1 tablet

Gambar 2.2 Kombipak kategori anak Fase lanjutan b. Kombinasi Dosis Tetap (KDT) atau Fix Dosage Combination (FDC) Merupakan paduan Obat Anti TB (OAT) disediakan dalam bentuk paket dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan (Kemenkes RI, 2009). Contoh kemasan FDC: 1) Fix Dose Combination (FDC) Fase Intensif, dalam 1 tablet berisi: a) Rifampisin 150 mg b) Isoniazid 75 mg c) Pyrazinamid 400 mg d) Etambutol 275 mg

Gambar 2.3 FDC fase intensif 2) FDC Fase Lanjutan, dalam satu tablet berisi: a) Rifampisin 150 mg b) Isoniazid 150 mg

10

Gambar 2.4 FDC fase lanjutan Keuntungan Penggunaan Obat FDC, yaitu (Chuluq, 2008): 1) Mengurangi resistensi kuman TB terhadap obat TB karena penderita kecil kemungkinannya untuk memilih salah satu dari obat yang akan diminumnya. 2) Penderita akan lebih teratur minum obat sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. 3) Memberikannya akan lebih mudah, sehingga penderita akan taat, mengurangi kemungkinan putus obat. 4) Problem logistik dan manajemen lebih efektif. 5) Mengurangi penyalahgunaan dan penggunaan lain dari Rifampisin selain untuk TB. 6) Memudahkan observasi peminuman obat oleh penderita. 3. Prinsip Pengobatan Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut (Kemenkes RI, 2009): a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan

pengawasan langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan lanjutan.
11

1) Tahap awal (intensif) Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan (Kemenkes RI, 2009). 2) Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Kemenkes RI, 2009). 4. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia dan peruntukannya a. Kombipak

b. FDC/KDT 1) Kategori 1 Paduan OAT ini biasa diberikan untuk: a) Pasien baru TB Paru dengan BTA positif b) Pasien baru TB Paru BTA negatif foto thoraks positif c) Pasien TB ekstra paru berat Dosis yang digunakan adalah: 2(HRZE)4(HR)3

12

Tabel 2.2 Dosis Paduan OAT KDT/FDC Kategori 1 (Kemenkes RI, 2009) Tahap Intensif Tahap Lanjutan tiap hari selama 56 3 kali seminggu Berat Badan hari selama 16 minggu RHZE RH (150/150) (150/75/400/275) 30 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT 38 54 kg 55 70 kg 71 kg 2) Kategori 2 Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: a) Pasien kambuh b) Pasien gagal c) Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat Dosis yang digunakan untuk paduan OAT Kategori 2: 3 tablet 2KDT 4KDT 4KDT 5 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT 4 tablet 2KDT 5 tablet 2KDT

2(HRZE)S/(HRZE)/ 5(HR)3E3, sebagaimana tercantum dalam tabel berikut. Tabel 2.3 Dosis paduan OAT KDT/ FDC Kategori 2 (Kemenkes RI, 2009) Tahap Intensif Tahap Lanjutan tiap hari 3x seminggu Berat RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E (400) Badan Obat (kg) Sisipan Selama 56 hari Selama 20 minggu Selama 28 hari 2 tab 4KDT +500mg 2 tab 2 tab 2KDT + 2 tab 30-37 Streptomycin 4KDT Ethambutol inj. 3 tab KDT +750mg 3 tab 3 tab 2KDT + 3 tab 38-54 Streptomycin 4KDT Ethambutol inj. 4 tab KDT + 1000mg 4 tab 4 tab 2KDT + 4 tab 55-70 Streptomycin 4KDT Ethambutol inj
13

>70

5 tab KDT + 1000mg Streptomycin inj.

5 tab 4KDT

5 tab 2KDT + 5 tab Ethambutol

Pada OAT Kategori 2 diberi Obat Sisipan (HRZE). Paduan OAT ini diberikan kepada pasien BTA positif yang pada akhir pengobatan intensif masih tetap BTA positif selama 28-30 hari. Untuk dosis OAT obat sisipan pada kemasan kombipak diberikan HRZ3E3 (Kemenkes RI, 2009). 5. Pengobatan TB pada anak a. Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB pada anak adalah (Depkes RI, 2008): 1) Obat TB diberikan dalam paduan obat, tidak boleh diberikan sebagai monoterapi. 2) Pemberian gizi yang adekuat 3) Mencari penyakit penyerta, dan jika ada dicari tatalaksana nya secara simultan. Tatalaksana medikamentosa TB pada anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan profilaksis (pencegahan). Terapi TB digunakan pada anak yang terserang TB, sedangkan profilaksis TB digunakan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa terserang penyakit TB (profilaksis sekunder) (Depkes RI, 2008). b. Paduan obat terapi TB anak Prinsip dasar TB adalah minimal diberi 3 macam obat dan diberikan dalam waktu relatif lama (6-12 bulan). Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase, yakni fase intensif (2 bulan pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Pemberian paduan obat ini ditujukan untuk mencegah resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler. Sedangkan pemberian obat jangka panjang, selain untuk membunuh kuman juga untuk mencegah terjadinya kekambuhan (Depkes RI, 2008). Berbeda dengan orang dewasa, OAT pada anak diberikan tiap hari, bukan 2 atau 3 kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk
14

mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari. Saat ini paduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus TB pada anak adalah paduan rifampisin, INH dan pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifampisin, INH dan pirazinamid. Sedangkan pada fase lanjutan hanya diberikan INH dan rifampisin (Depkes RI, 2008). Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal, seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang dan lain-lain, pada fase intensif minimal diberikan 4 macam obat (rifampisin, INH, pirazinamid, etambutol atau streptomisin). Sedangkan fase lanjutan diberikan rifampisin dan INH selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu, yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, meningitis TB dan peritonitis TB diberikan

kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadinya perlekatan jaringan (Depkes RI, 2008). c. Kombinasi dosis OAT (FDC) Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk kombipak. Satu paket kombipak dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Kombipak untuk anak berisi obat intensif, yaitu rifampisin (R) 75 mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket (Depkes RI, 2008). Di tempat dengan sarana kesehatan yang lebih baik, telah dibuat obat TB dalam kombinasi dosis tepat (fixed dosis combination=FDC). FDC ini dibuat dengan komposisi rifampisin, INH dan pirazinamid, masing-masing 75 mg/50 mg/150 mg untuk dua bulan pertama.

15

Sedangkan untuk 4 bulan fase berikutnya terdiri dari rifampisin dan INH masing-masing 75 mg dan 50 mg (Depkes RI, 2008). d. Profilaksis Sekitar 50-60% anak kecil yang tinggal dengan penderita TB paru dewasa dengan sputum BTA positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dalam jumlah tersebut akan menderita TB juga. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB diseminata yang berat (misalnya TB milier atau meningitis TB) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah sakit TB (Depkes RI, 2008). Profilaksis primer diberikan pada balita sehat yang memiliki kontak dengan pasien TB dewasa yang sputum BTA nya positif, namun pada evaluasi sistem skoring, didapatkan skor <5. Obat yang diberikan adalah INH dengan dosis 5-10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan imunisasi BCG setelah pengobatan profilaksis dengan INH selesai (Depkes RI, 2008).

B. Obat-obatan Anti Tuberculosis 1. Isoniazida a. Identitas Sediaan dasarnya adalah tablet dengan nama generik Isoniazida 100 mg dan 300 mg/tablet. Nama lain dari Isoniazida yaitu Asam Nicotinathidrazida, Isonikotinilhidrazida, INH (Direktorat Bina

Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). b. Farmakodinamik Izoniazid bersifat bakterisid. Efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Mekanisme kerja berdasarkan terganggunya sintesa mycolic acid, yang diperlukan untuk membangun dinding bakteri (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). Isoniazid merupakan prekursor obat yang diaktifkan oleh katG, suatu katalase-peroksidase milik

16

mikrobakterium. Bentuk aktif isoniazid membentuk kompleks kovalen dengan protein pembawa-asil (AcpM) dan KasA, suatu sintetase protein pembawa beta-ketoasil, yang menyekat sintesis asam mikolat dan membunuh sel (Katzung, 2010). c. Farmakokinetik Pada saat dipakai Isoniazida akan mencapai kadar plasma puncak dalam 1-2 jam sesudah pemberian peroral dan lebih cepat sesudah suntikan i.m; kadar berkurang menjadi 50% atau kurang dalam 6 jam. Mudah difusi ke dalam jaringan tubuh, organ, atau cairan tubuh; juga terdapat dalam liur, sekresi bronkus dan cairan pleura, serebrospinal, dan cairan asitik. Metabolisme di hati, terutama karena asetilasi oleh N-asetiltransferase dan dehidrazinasi (kecepatan asetilasi umumnya lebih dominan). Waktu paruh plasma 2-4 jam diperlama pada insufisiensi hati, dan pada inaktivator lambat. Lebih kurang 75-95 % dosis diekskresikan di kemih dalam 24 jam sebagai metabolit, sebagian kecil diekskresikan di liur dan tinja. Melintasi plasenta dan masuk ke dalam ASI (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). d. Dosis Untuk pencegahan, dewasa 300 mg satu kali sehari, anak-anak 10 mg per berat badan sampai 300 mg, satu kali sehari. Untuk pengobatan TB bagi orang dewasa sesuai dengan petunjuk dokter/petugas kesehatan lainnya. Umumnya dipakai bersama dengan obat anti tuberkulosis lainnya. Dalam kombinasi biasa dipakai 300 mg satu kali sehari, atau 15 mg per kg berat badan sampai dengan 900 mg, kadang kadang 2 kali atau 3 kali seminggu. Untuk anak dengan dosis 10-20 mg per kg berat badan. Atau 20-40 mg per kg berat badan sampai 900 mg, 2 atau 3 kali seminggu (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). e. Indikasi Obat ini diindikasikan untuk terapi semua bentuk tuberkulosis aktif, disebabkan kuman yang peka dan untuk profilaksis orang berisiko tinggi mendapatkan infeksi. Dapat digunakan tunggal atau

17

bersama-sama dengan anti tuberkulosis lain (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). f. Kontraindikasi Adanya riwayat hipersensistivitas atau reaksi adversus, termasuk demam, artritis, cedera hati, kerusakan hati akut, penyakit SSP (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). g. Interaksi Isoniazid adalah inhibitor kuat untuk cytochrome P-450 isoenzymes, tetapi mempunyai efek minimal pada CYP3A. Pemakaian Isoniazide bersamaan dengan obat-obat tertentu, mengakibatkan meningkatnya konsentrasi obat tersebut dan dapat menimbulkan risiko toksis. Antikonvulsan seperti fenitoin dan karbamazepin adalah yang sangat terpengaruh oleh isoniazid. Isofluran, parasetamol dan Karbamazepin, menyebabkan hepatotoksisitas, antasida dan adsorben menurunkan absopsi, sikloserin meningkatkan toksisitas pada SSP, menghambat metabolisme karbamazepin, etosuksimid, diazepam, menaikkan kadar plasma teofilin. Efek Rifampisin lebih besar dibanding efek isoniazid, sehingga efek keseluruhan dari kombinasi isoniazid dan rifampisin adalah berkurangnya konsentrasi dari obatobatan tersebut seperti fenitoin dan karbamazepin (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). h. Efek Samping 1) Neuropati perifer (kesemutan dan rasa baal pada tangan dan kaki) paling sering dijumpai. Lebih sering dijumpai pada pasien

malnutrisi ketimbang pada pemakaian dosis yang tinggi. Diobati dengan piridoksin 100-200 mg tiap hari. Dapat dicegah dengan piridoksin 10 mg setiap hari. Pemberian piridoksin secara rutin sangat berguna pada pemberian isoniazid dosis tinggi (Rian, 2010). 2) Hepatitis kemungkinan bisa timbul, terutama pada pasien berumur di atas 35 tahun. Efek isonoazid yang tidak diinginkan lainnya yaitu bercak-bercak kemerahan pada seluruh kulit namun jarang dijumpai. Efek-efek lain

18

yang lebih jarang dijumpai antara lain pening, kejang, neuritis optik, gejala mental, anemi hemolitik, agranulositosis, reaksi lupus, artralgia dan ginekomasti. Isoniazid berinteraksi dengan obat-obat epilepsi (anti kejang), dosis obat ini perlu dikurangi selama kemoterapi (Rian, 2010). 2. Rifampisin a. Identitas Sediaan dasar yang ada adalah tablet dan kapsul 300 mg, 450 mg, 600 mg (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). b. Farmakodinamik Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dormant yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Mekanisme kerja, berdasarkan perintangan spesifik dari suatu enzim bakteri Ribose Nukleotida Acid (RNA)-polimerase dengan cara pengikatan rimfampisin pada subunit sehingga sintesis RNA terganggu. Selain itu rifampisin bersifat spektrum luas yang selain mampu membunuh Mycobacteria juga dapat membasmi bakteri gram positif dan gram negatif. Klamidia dalam konsentrasi yang sangat tinggi (in vitro) juga membasmi virus dan protozoa (Schmitz, 2008). c. Farmakokinetik Obat ini akan mencapai kadar plasma puncak (berbeda-beda dalam kadar) setelah 2-4 jam sesudah dosis 600 mg, masih terdeteksi selama 24 jam. Tersebar merata dalam jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal, dengan kadar paling tinggi dalam hati, dinding kandung empedu, dan ginjal. Waktu paruh plasma lebih kurang 1,5-5 jam (lebih tinggi dan lebih lama pada disfungsi hati, dan dapat lebih rendah pada penderita terapi INH). Cepat diasetilkan dalam hati menjadi metabolit aktif dan tak aktif; masuk empedu melalui sirkulasi entero hepar. Hingga 30% dosis diekskresikan dalam kemih, lebih kurang setengahnya sebagai obat bebas. Merangsang enzim mikrosom, sehingga dapat menginaktifkan obat terentu. Melintasi plasenta dan mendifusikan obat tertentu ke dalam hati (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).

19

d. Dosis Untuk dewasa dan anak yang beranjak dewasa 600 mg satu kali sehari atau 600 mg 2-3 kali seminggu. Rifampisin harus diberikan bersama dengan obat anti tuberkulosis lain. Bayi dan anak-anak, dosis diberikan dokter/tenaga kesehatan lain berdasarkan atas berat badan yang diberikan satu kali sehari maupun 2-3 kali seminggu. Biasanya diberikan 7,5-15 mg per kg berat badan. Anjuran Ikatan Dokter Anak Indonesia adalah 75 mg untuk anak <10 kg, 150 mg untuk 10-20 kg dan 300 mg untuk 20-33 kg (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). e. Indikasi Diindikasikan untuk obat anti tuberkulosis yang dikombinasikan dengan anti tuberkulosis lain untuk terapi awal maupun ulang (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). f. Kontraindikasi Pada penderita gangguan hati yang berat dan graviditas trisemester pertama (Schmitz, 2008). g. Interaksi Rifampisin adalah suatu enzyme inducer yang kuat untuk cytochrome P-450 isoenzymes, mengakibatkan turunnya konsentrasi serum obat-obatan yang dimetabolisme oleh isoenzyme tersebut. Obat obat tersebut mungkin perlu ditingkatkan selama pengobatan TB dan diturunkan kembali 2 minggu setelah Rifampisin dihentikan. Obatobatan yang berinteraksi di antaranya: protease inhibitor, antibiotika makrolid, levotiroksin, noretindron, warfarin, siklosporin, fenitoin, verapamil, diltiazem, digoxin, nortriptilin, alprazolam, diazepam, midazolam, triazolam dan beberapa obat lainnya (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). Selain itu berbagai obat yang dimetabolisme secara oksidatif misalnya hipoglikemik oral,

kortikosteroid dan kontrasepsi oral berkurang efektivitasnya bila diberikan bersama rifampisin. Sulfonil urea yang diberikan pada orang dengan diabetes mellitus akan berkurang efeknya bila diberikan

20

bersama dengan rifampisin sehingga harus ditambahkan dosisnya, (Syarif, 2009). h. Efek Samping Efek samping utama jika obat diberikan setiap hari adalah efek mengenai saluran gastro-intestinal, seperti mual, hilang selera makan dan sakit perut ringan, kadang timbul diare. Sering kali masalah ini dapat diatasi jika diminum sebelum tidur malam. Yang perlu diberitahukan pada pasien adalah bahwa rifampisin menyebabkan urin, keringat dan air mata menjadi berwarna merah muda. Efek samping lainnya yaitu (Rian, 2010): 1) Reaksi pada kulit, seperti rasa panas pada muka, gatal-gatal dan kadang ruam pada kulit. Reaksi ini sering kali begitu ringan, sehingga pasien dapat melakukan desensitisasi sendiri tanpa harus menghentikan minum obat. 2) Hepatitis sangat jarang terjadi, kecuali bila pasien mempunyai riwayat penyakit hati atau pecandu alkohol. Jika memungkinkan, mengadakan pemeriksaan fungsi hati sewaktu-waktu. Peningkatan bilirubin yang berarti dapat timbul pada pasien gagal jantung. 3) Sindrom influenza, menggigil, rasa lemah, sakit kepala dan tulang. 4) Trombositipenia dam purpura: jumlah trombosit menurun dan timbul perdarahan. Sangat penting untuk segera menghentikan pengobatan. 5) Pernafasan dan shock syndrome: nafas pendek, nafar berbunyi, tekanan darah menurun, kolaps. Pada kondisi ini kortikosteroid mungkin diperlukan. 6) Anemia hemolitik akut dan gagal ginjal. Rifampisin tidak boleh lagi diberikan apabila pernah mengalami shock syndrome, anemia hemolitik dan gagal ginjal. 3. Streptomisin a. Identitas Sediaan dasar serbuk Streptomisin sulfat untuk Injeksi 1,5 gram/vial berupa serbuk untuk injeksi yang disediakan bersama

21

dengan Aqua Pro Injeksi dan Spuit (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). b. Farmakodinamik Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang sedang membelah. Mekanisme kerja berdasarkan penghambatan sintesa protein kuman dengan jalan pengikatan pada RNA ribosomal (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). c. Farmakokinetik Absorpsi dan nasib Streptomisn adalah kadar plasma dicapai sesudah suntikan i.m 1-2 jam, sebanyak 5-20 mcg/ml pada dosis tunggal 500 mg, dan 25-50 mcg/ml pada dosis 1. Didistribusikan ke dalam jaringan tubuh dan cairan otak, dan akan dieliminasi dengan waktu paruh 2-3 jam kalau ginjal normal, namun 110 jam jika ada gangguan ginjal (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). d. Dosis Obat ini hanya digunakan melalui suntikan intra muskular, setelah dilakukan uji sensitivitas. Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa adalah 15 mg per kg berat badan maksimum 1 gram setiap hari, atau 25-30 mg per kg berat badan, maksimum 1,5 gram 2-3 kali seminggu. Untuk anak 20-40 mg per kg berat badan maksimum 1 gram satu kali sehari, atau 25-30 mg per kg berat badan 2-3 kali seminggu. Jumlah total pengobatan tidak lebih dari 120 gram (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). e. Indikasi Sebagai kombinasi pada pengobatan TB bersama isoniazid, Rifampisin, dan pirazinamid, atau untuk penderita yang

dikontraindikasi dengan 2 atau lebih obat kombinasi tersebut (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). f. Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap streptomisin sulfat atau aminoglikosida lainnya (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).

22

g. Interaksi Interaksi dari Streptomisin adalah dengan kolistin, siklosporin, Sisplatin menaikkan risiko nefrotoksisitas, kapreomisin, dan

vankomisin menaikkan ototoksisitas dan nefrotoksisitas, bifosfonat meningkatkan risiko hipokalsemia, toksin botulinum meningkatkan hambatan neuromuskuler diuretika kuat meningkatkan risiko

ototoksisitas, meningkatkan efek relaksan otot (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). h. Efek samping Efek samping utama adalah kulit menjadi hipersensitif dan terjadi gangguan pendengaran (kerusakan pada saraf kedelapan) (Rian, 2010). 1) Reaksi pada kulit. Ruam dan panas, biasanya timbul pada minggu kedua dan ketiga. 2) Kerusakan sistem (keseimbangan) vestibular. Terlihat nyata dengan adanya keluhan rasa pusing. Ini dapat berlangsung tiba-tiba dan jika akut dapat disertai muntah. Gangguan keseimbangan lebih nyata pada keadaan gelap. Pemeriksaan mata dapat

memperlihatkan nistagmus. Lebih banyak terjadi pada orang lanjut usia sangat penting untuk memperhatikan dosis. Pengobatan harus langsung dihentikan. Kerusakan saraf dapat menetap jika obat tidak dihentikan dengan segera saat terasa adanya gangguan. Jika obat dihentikan segera biasanya gejala-gejala akan hilang dalam waktu 1 minggu. Tuli jarang sekali timbul. Jika mungkin streptomisin harus dihindari pada kehamilan karena dapat menyebabkan tuli pada anak (Rian, 2010). 4. Etambutol a. Aktivitas antibakteri Obat ini menekan pertumbuhan tuberkulosis yang telah resisten terhadap pemakaian isoniazid dan streptomisin. Kerjanya menghambat sintesis metabolit sel sehingga metabolisme sel terhambat dan sel mati.

23

Karena itu obat ini hanya aktif terhadap sel yang bertumbuh dengan khasiat tuberkulostatik (Gunawan, 2009). b. Farmakokinetik Pemberian obat ini secara oral sekitar 75-80% diserap dari saluran cerna. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 2-4 jam setelah pemberian. Dosis tunggal 15 mg/kgBB menghasilkan kadar dalam plasma sekitar 5 mikrogram/mL pada 2-4 jam. Masa paruh eliminasinya 3-4 jam. Kadar etambutol dalam eritrosit 1-2 kali kadar dalam plasma. Eritosit di sini berperan sebagai depot etambutol yang kemudian melepaskannya sedikit demi sedikit ke plasma. Dalam waktu 24 jam, 50% etambutol yang diberikan diekskresikan dalam bentuk asal melalui urin, 10% sebagai metabolit, berupa derivat aldehid dan asam karboksilat (Gunawan, 2009). c. Efek samping Dosis harian sebesar 15mg/kgBB menimbulkan efek toksik yang minimal. Pada dosis ini kurang dari 2% pasien akan mengalami efek samping yaitu penurunan ketajaman pengelihatan, demam dan ruam kulit. Efek samping lain adalah pruritus, nyeri sendi, gangguan saluran cerna, malaise dan lainya. Efek samping yang penting ialah gangguan penglihatan, biasanya bilateral, yang merupakan neuritis retrobulbar yaitu berupa turunnya tajam penglihatan, hilangnya kemampuan membedakan warna, mengecilnya lapang pandangan, dan skotoma sentral maupun lateral (Gunawan, 2009). d. Sediaan dan dosis Di Indonesia etambutol terdapat dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg, ada pula sediaan yang telah dicampur dengan isoniazid dalam bentuk kombinasi tetap. Dosisnya biasanya 15 mg/kgBB, diberikan sekali sehari. Pada pasien gangguan ginjal biasanya dosisnya perlu disesuaikan karena etambutol terakumulasi dalam badan (Gunawan, 2009).

24

5. Pirazinamid Pirazinamid adalah analog nikotinamid yang telah dibuat sintetiknya. Obat ini tidak larut dalam air. a. Akitivitas antibakteri Pirazinamid pirazinamidase di dalam asam tubuh dihidrolisis yang oleh aktif enzim sebagai

menjadi

pirazinoat

tuberkulostatik hanya pada media yng bersifat asam. Mekanisme kerja obat ini belum diketahui (Gunawan, 2009). b. Farmakokinetik Pirazinamid mudah diserap di usus dan tersebar luas di tubuh. Dosis 1 gram menghasilkan kadar plasma sekitar 45 mikrogram/mg pada 2 jam setelah pemberian obat. Ekskresinya terutama melalui filtrasi glomerolus. Asam pirazinoat yang aktif kemudian mengalami hidroksilasi menjadi asam hidropirazinoat yang merupakan metabolit utama. Masa paruh eliminasi obat ini adalah 10-16 jam. c. Efek samping 1) Kelainan hati 2) Peningkatan SGOT dan SGPT 3) Menghambat ekskresi asam urat dan dapat menyebabkan kambuhnya pirai 4) Lainnya; atralgia, anoreksia, mual muntah dan juga disuria, malaise, dan demam d. Sediaan dan dosis Tablet 250 mg dan 500 mg Dosis oral 25-35 mg/kgBB sehari (maximum 3gr) diberikan dalam satu atau beberapa hari (Gunawan, 2009).

C. Obat Anti Asma 1. Golongan Kontroler a. Aminofilin golongan Metilxantin 1) Indikasi

25

a) Bronkodilator pada obstruksi jalan nafas reversible akibat asma atau PPOM. b) Stimulasi pernafasan dan miokard pada apnea bayi 2) Kerja Obat a) Farmakodinamik) Menghambat fosfodiesterase, menimbulkan peningkatan siklik adenosine monofosfat (cAMP) dalam jaringan, karena aminofilin merupakan garam teofilin dan melepas teofilin bebas, dan mengakibatkan : - Bronkodilatasi - Efekinotropik dan kronotropik positif - Diuresis - Sekresi asam lambung b) Farmakokinetik Obat ini diabsorpsi dengan baik setelah pemberiaan oral absorpsi dari bentuk dosis lepas lambat dan bersifat lama tetapi sempurna. Distribusi secara luas sebagai teofilin menembus plasenta. Mengalami metabolisme dalam hati menjadi kafein, dan di eksresi di ginjal. 3) Kontraindikasi a) Aritmia b) Hipertiroidisme c) Lansia d) Gagal Jantung Kronik 4) Efek Samping a) Sistem Saraf Pusat: gugup, anastesi, sakit kepala, insomnia, kejang b) Kardiovaskular c) Gastrointestinal d) Neuro : takikardi, palpitasi, aritmia, anginapektoris : mual, muntah, anoreksia, kram

: Tremor

26

5) Interaksi dengan Obat Lain a) Bertambah efek samping pada kardiovaskular dan sistem saraf pusat apabila digunakan dengan gugus adrenergik b) Meningkatkan atau menurunkan kadar teofilin apabila

digunakan dengan isoniazid, karbamazepin, atau diuretic loop c) Meningkatkan aritmia apabila digunakan dengan halotan 6) Sediaan a) Tablet b) Tablet Lepas terkendali c) Cairan d) Injeksi : 100 mg, 200mg : 225 mg : 105 mg/ 5 ml : 250 mg/10 ml

b. Zafirlukas golongan Leukotrin Modifier 1) Indikasi Zafirlukas diindikasikan untuk terapi asma kronik, obat ini bukanlah bronkodilator dan tidak boleh digunakan untuk menghilangkan spasme bronkus, walaupun terapi dengan

zafirlukas dapat diteruskan selama serangan sesak nafas akut. 2) Kerja Obat (Farmakodinamik) Zafirlukas merupakan suatu obat asma baru yang bekerja memblok reseptor sisteinil leukotrin C4, D4, dan E4 (Leukotrin yang terikat pada asam aminosistein). Sisteinil leukotrin adalah suatu bronkokonstriktor yang kuat, kira kira 100 1000 kali lebih kuat daripada histamin. Dengan memblok reseptor yang

memperantarai bronkokonstriksi, permeabilitas vaskular, dan sekresi mukus. 3) Farmakokinetik Obat ini diabsorpsi dengan baik setelah pemberiaan oral absorpsi dari bentuk dosis lepas lambat dan bersifat lama tetapi sempurna, mengalami metabolisme dengan protein, dan

dieksresikan melalui urin dan sisanya melalui tinja.

27

4) Kontraindikasi a) Wanita hamil b) Wanita menyusui c) Anak di bawah umur 10 tahun 5) Efek Samping Efeksamping yang paling sering dilaporkan dalam uji klinik adalah sakit kepala, infeksi, mual dan diare. a) Interaksi dengan obat lain Zafirlukas dimetabolisme oleh sitokrom P450, potensial untuk berinteraksi dengan obat-obatan lain yang dimetabolisme dengan sistem yang sama. Biasanya zafirlukas digunakan bersama dengan terfenadin, eritromisin, teofilin dan aspirin. b) Sediaan Tablet : 20 mg c. Teofilin Golongan Metilxantin 1) Indikasi Teofilin diindikasikan sebagai terapi penunjang untuk asma kronis yang gejala-gejalanya masih sulit dikontrol oleh kombinasi agonis beta 2 dan obat anti inflamasi. Sediaan teofilin lepas lambat juga bermanfaat untuk asma nokturnal. Teofilin telah terbukti dapat memperbaiki fungsi pada pasien PPOM dengan memperbaiki kontraktilitas dan kelemahan diafragma. 2) Kerja Obat (Farmakodinamik) Teofilin menghambat aktivitas fosfodiesterase yang dihasilkan oleh peningkatan kadar cAMP dalam otot polos saluran pernafasan, namun tidak berlaku ketika dosis lebih dari maksimal. 3) Farmakokinetik Obat ini diabsorpsi dengan baik setelah pemberiaan oral absorpsi dari bentuk dosis lepas lambat dan bersifat lama tetapi sempurna, mengalami metabolisme dengan protein dan dieksresikan di ginjal melaui urin dan tinja.

28

4) Kontraindikasi a) Penyakit jantung b) Hipertensi c) Hipertiroid d) Ulkus lambung e) Wanita hamil f) Wanita menyusui 5) Efek Samping Teofilin berkaitan dengan kadar plasma, sehingga dapat

menyebabkan kegugupan, tremor ansietas, mual, anoreksia, perut tidak enak, aritmia jantung, dan kejang. 6) Interaksi dengan obat lain a) Allupurinol b) Ketamine c) Halotan d) Adenosine aritmia adenosine e) Propafenon 7) Sediaan a) Tablet/ Kapsul 300 mg b) Cairan/sirup : 130 mg/ 15 ml, 150 mg/ 15 ml : 125 mg, 130 mg, 150 mg, 250 mg, : meningkatkan kadar teofilin dalam darah : meningkatkan kadar teofilin dalam darah : meningkatkan risiko kejang : meningkatkan risiko aritmia : teofilin berlawanan efek dengan anti

d. Salbutamol Golongan Agonis Beta 2 1) Indikasi Kejang bronkus pada semua jenis asma bronkial, bronkitis, dan emfisema 2) Kerja Obat (Farmakodinamik) Merupakan senyawa selektif rangsang reseptor beta 2 adrenergik terutama pada otot bronkus. Merangsang produksi AMP siklik dengan cara mengaktifkan kerja enzim siklase.

29

3) Farmakokinetik Obat ini diabsorpsi dengan baik setelah pemberian oral, mengalami metabolisme dengan protein, dan dieksresikan di ginjal melalui urin dan tinja. 4) Kontraindikasi Penderita sensitif obat 5) Efek Samping Tremor halus, palpitasi, kejang otot, takikardi, sakit kepala dan ketegangan, epistaksis. 6) Interaksi dengan obat lain a) Efek salbutamol dihambat oleh beta 2 antagonis b) Pemberian bersama dengan monoamine oksidase dapat menimbulkan hipertensi berat c) Salbutamol dan obat obat beta blocker nonselektif tidak bisa diberikan bersamaan 7) Sediaan a) Tablet b) Cairan/ sirup : 4 mg, 2 mg : 2 mg/5 ml

e. Prednison Golongan Glukokortikoid sistemik 1) Indikasi Keadaan alergi, peradangan dan penyakit lain yang perlu pengobatan kortikosteroid. 2) Kerja Obat (Farmakodinamik) Menghambat transkrip gen untuk COX-2 cytokin (interleukin) dan meningkatkan sintesa lipokortin-1 yang penting untuk umpan balik hipotalamus dan mempunyai efek anti inflamasi. 3) Farmakokinetik Glukokortikoid dapat digunakan secara topikal, minum, atau pun aerosol langsung ke saluran pernapasan, ketika masuk ke dalam tubuh obat ini akan dibawa oleh plasma yang terikat oleh kortikosteroid binding globulin (CBG) dan dengan albumin. Obat golongan ini mempunyai waktu paruh plasma 90 menit tetapi efek

30

biologiknya 2-8 jam, karena dipengaruhi oleh penekanan aksis hipotalamus hipofisis aderenal. Prednison dimetabolisme di hati yang dikonjugasi dengan asam glukoronat yang kemudian dieksresikan melalui urin. 4) Kontraindikasi Tukak peptic, TBC aktif, osteoporosis, gangguan saraf, ganguan ginjal dan jantung, infeksi jamur sistemik, herpes simpleks okuler. 5) Efek Samping Gangguan cairan dan elektrolit, retensi Na dan cairan, kehilangan kalium, alkalosis hipokalemia, hipertensi, dan gagal jantung kongestif, gangguan mata dan metabolik. 6) Interaksi dengan Obat Lain a) Penggunaan dengan aspirin tidak dianjurkan karena penderita kolitif ulserasi nonspesifik b) Dipercepat metabolismenya oleh bantuan rifampisin, fenitoin. 7) Sediaan Tablet : 5 mg

f. Omalizumab Golongan Antihistamin Golongan 2 1) Indikasi Keadaan alergi, peradangan dan penyakit lain yang perlu bronkodilator. 2) Kerja Obat (Farmakodinamik) Obat kelas ini secara kimia berhubungan dengan adrenalin, hormon yang diproduksi oleh kelenjar adrenal. Beta agonis kerja panjang untuk inhalasi bekerja untuk menjaga saluran pernapasan terbuka selama 12 jam atau lebih. Obat asma ini mengendurkan otot-otot saluran pernapasan, melebarkan saluran dan mengurangi resistensi terhadap aliran udara yang dihembuskan, sehingga lebih mudah untuk bernapas. 3) Farmakokinetik Obat ini diabsorpsi dengan baik setelah pemberian secara injeksi melalui subkutan.

31

4) Kontraindikasi Penderita sensitif obat 5) Efek Samping Tremor halus, palpitasi, takikardi, dan palpitasi. 6) Interaksi dengan Obat Lain Belum ditemukan 7) Sediaan Vial : 150 mg

g. Ipratropium Bromida Golongan Antikolinergik 1) Indikasi Sebagai bronkodilator sebagai pemeliharaan bronkospasme yang berhubungan dengan PPOK, termasuk bronkhitis kronis, emfisema. 2) Kerja Obat (Farmakodinamik) Merupakan antagonis reseptor muskarinik yang menghambat kontraksi otot polos melalui reseptor M3. 3) Farmakokinetik Obat ini dipakai secara inhalasi, sehingga dengan konsentrasi tinggi obat ini dapat diserap oleh tubuh. 4) Kontraindikasi Hipersensitif terhadap atrofin dan derivatnya, dan hipersensitif terhadap bahan makanan mengandung lesitin soya, dan kacang kacangan. 5) Efek Samping Gangguan mortilitas, mulut kering, sakit kepala, batuk, retensi urin, alergi, mual, muntah, palpitasi, takikardi. 6) Interaksi dengan Obat Lain Efek bronkodilatasi akan semakin kuat oleh beta adrenergik dan xantin. 7) Sediaan Inhalasi : 20 mcg/semprot

h. Omalizumab Golongan Antihistamin golongan 2 1) Indikasi

32

Merupakan obat agen biologis, sebagai antibodi monoklonal rekombinan. 2) Kerja Obat (Farmakodinamik) IgE yang terikat oleh omalizumab tidak dapat berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast dan basofil sehingga tidak terjadi reaksi alergi. 3) Farmakokinetik Obat omalizumab diabsorpsi di dalam tubuh melalui subkutan atau lapisan di bawah kulit. 4) Kontraindikasi Penderita sensitif obat 5) Efek Samping Tremor halus, palpitasi, kejang otot, takikardi, sakit kepala, mual, muntah. 6) Interaksi dengan obat lain Belum ditemukan 7) Sediaan Vial : 150 mg

2. Golongan Reliever a. Amfetamin golongan Adrenergik 1) Indikasi Merangsang saraf adrenergik 2) Kerja Obat (Farmakodinamik) Merangsang sistem saraf pusat meningkatkan kewaspadaan, merangsang pernapasan. 3) Farmakokinetik Obat ini diabsorpsi oleh tubuh melalui inhalasi sehingga mencapai bronkodilatasi dengan cepat. 4) Kontraindikasi Aritmia, Lansia, Gagal Jantung 5) Efek Samping

33

Pembuluh darah mengalami konstriksi, aliran darah otak tinggi, palpitasi. 6) Interaksi dengan obat lain Belum ditemukan 7) Sediaan Inhalasi : larutan tidak steril 1% Epi HCL atau 2% Epi

bitartrat dalam air untuk inhalasi oral (bukan nasal) yang digunakan untuk menghilangkan bronkokonstriksi. b. Aminofilin 1) Indikasi Bronkodilator pada obstruksi jalan napas reversibel akibat asma atau PPOM. Stimulasi pernafasan dan miokard pada apnea bayi. 2) Kerja Obat (Farmakodinamik) Menghambat fosfodiesterase, menimbulkan peningkatan siklik adenosine monofosfat (cAMP) dalam jaringan, karena aminofilin merupakan garam teofilin dan melepas teofilin bebas, dan mengakibatkan: a) Bronkodilatasi b) Efek inotropik dan kronotropik positif c) Diuresis d) Sekresi asam lambung 3) Farmakokinetik Absorpsi: Diabsorpsi dengan baik setelah pemberiaan oral absorpsi dari bentuk dosis lepas lambat dan bersifat lama tetapi sempurna. Distribusi: Distribusi secara luas sebagai teofilin menembus plasenta. Metabolisme: Dimetabolisme dalam hati menjadi kafein Ekskresi: Di ginjal 4) Kontraindikasi a) Aritmia b) Hipertiroidisme

34

c) Lansia d) Gagal Jantung Kronik 5) Efek Samping Sistem Saraf Pusat: gugup, anastesi, sakit kepala, insomnia, kejang Kardiovaskular: takikardi, palpitasi, aritmia, anginapektoris Gastrointestinal: mual, muntah, anoreksia, kram Neuro: Tremor 6) Interaksi dengan obat lain a) Bertambah efek samping pada kardiovaskular dan sistem saraf pusat apabila digunakan dengan gugus adrenergik. b) Meningkatkan atau menurunkan kadar teofilin apabila

digunakan dengan isoniazid, karbamazepin, atau diuretik loop. c) Meningkatkan aritmia apabila digunakan dengan halotan. 7) Sediaan Tablet: 100 mg, 200mg Tablet lepas terkendali: 225 mg Cairan: 105 mg/ 5 ml Injeksi: 250 mg/10 ml c. Zafirlukas 1) Indikasi Zafirlukas diindikasikan untuk terapi asma kronik, obat ini bukanlah bronkodilator dan tidak boleh digunakan untuk menghilangkan spasme bronkus, walaupun terapi dengan

zafirlukas dapat diteruskan selama serangan sesak nafas akut. 2) Kerja Obat (Farmakodinamik) Zafirlukas merupakan suatu obat asma baru yang bekerja memblok reseptor sisteinil leukotrin C4, D4, dan E4 (Leukotrin yang terikat pada asam aminosistein). Sisteinil leukotrin adalah suatu bronkokonstriktor yang kuat, kira kira 1001000 kali lebih kuat daripada histamin. Dengan memblok reseptor yang memperantarai bronkokonstriksi, permeabilitas vaskular, dan sekresi mukus.

35

3) Farmakokinetik Absorpsi: Diabsorpsi dengan baik setelah pemberiaan oral absorpsi dari bentuk dosis lepas lambat dan bersifat lama tetapi sempurna Metabolisme: dimetabolisme dengan protein Eksresi: melalui urin dan sisanya melalui tinja 4) Kontraindikasi a) Wanita hamil b) Wanita menyusui c) Anak di bawah umur 10 tahun 5) Efek Samping Efek samping yang paling sering dilaporkan dalam uji klinik adalah sakit kepala, infeksi, mual dan diare. 6) Interaksi dengan obat lain Zafirlukas dimetabolisme oleh sistem P450, potensial untuk berinteraksi dengan obat obatan lain yang dimetabolisme dengan sistem yang sama. Biasanya zafirlukas digunakan bersama dengan terfenadin, eritromisin, teofilin dan aspirin. 7) Sediaan Tablet: 20 mg d. Teofilin 1) Indikasi Teofilin diindikasikan sebagai terapi penunjang untuk asma kronis yang gejala gejalanya masih sulit dikontrol oleh kombinasi agonis Beta 2 dan obat anti inflamasi. Sediaan teofilin lepas lambat juga bermanfaat untuk asma nokturnal. Teofilin telah terbukti dapat memperbaiki fungsi pada pasien PPOM dengan memperbaiki kontraktilitas dan kelemahan diafragma. 2) Kerja Obat (Farmakodinamik) Teofilin menghambat aktivitas fosfodiesterase yang dihasilkan oleh peningkatan kadar cAMP dalam otot polos saluran pernafasan, namun tidak berlaku ketika dosis lebih dari maksimal.

36

3) Farmakokinetik Absorpsi: Diabsorpsi dengan baik setelah pemberiaan oral absorpsi dari bentuk dosis lepas lambat dan bersifat lama tetapi sempurna. Metabolisme: dimetabolisme dengan protein Ekskresi: di ginjal melaui urin dan tinja 4) Kontraindikasi a) Penyakit jantung b) Hipertensi c) Hipertiroid d) Ulkus lambung e) Wanita hamil f) Wanita menyusui 5) Efek Samping Teofilin berkaitan dengan kadar plasma, sehingga dapat

menyebabkan kegugupan, tremor ansietas, mual, anoreksia, perut tidak enak, aritmia jantung, dan kejang. 6) Interaksi dengan Obat Lain a) Allupurinol: meningkatkan kadar teofilin dalam darah b) Ketamine: meningkatkan risiko kejang c) Halotan: meningkatkan risiko aritmia d) Adenosine: teofilin berlawanan efek dengan anti aritmia adenosin e) Propafenon: meningkatkan kadar teofilin dalam darah 7) Sediaan Tablet/ Kapsul: 125 mg, 130 mg, 150 mg, 250 mg, 300 mg Cairan/sirup: 130 mg/ 15 ml, 150 mg/ 15 ml e. Salbutamol 1) Indikasi Kejang bronkus pada semua jenis asma bronkial, bronkitis, dan emfisema 2) Kerja Obat (Farmakodinamik)

37

Merupakan senyawa selektif rangsang reseptor beta 2 adrenergik terutama pada otot bronkus. Merangsang produksi AMP siklik dengan cara mengaktifkan kerja enzim siklase. 3) Farmakokinetik Absorpsi: Diabsorpsi dengan baik setelah pemberiaan oral. Metabolisme: dimetabolisme dengan protein Ekskresi: di ginjal melalui urin dan tinja 4) Kontraindikasi Pasien dengan alergi obat 5) Efek Samping Tremor halus, palpitasi, kejang otot, takikardi, sakit kepala dan ketegangan, epistaksis. 6) Interaksi dengan Obat Lain a) Efek salbutamol dihambat oleh beta 2 antagonis b) Pemberian bersama dengan monoamine oksidase dapat menimbulkan hipertensi berat c) Salbutamol dan obat obat beta bloker non selektif tidak bisa diberikan bersamaan 7) Sediaan Tablet: 4 mg, 2 mg Cairan/ sirup: 2 mg/5 ml

D. Obat Lokal Sistem Respirasi 1. Dekongestan -agonis banyak digunakan sebagai dekongestan nasal pada penderita rhinitis alergika atau rhinitis vasomotor dan pada penderita infeksi saluran napas atas dengan rhinitis akut. Obat-obat ini menyebabkan venokontriksi dalam mukosa hidung melalui reseptor 1 sehingga mengurangi volume mukosa dengan demikian mengurangi penyumbatan hidung (Setiawati, 2009). Reseptor 2 terdapat pada arteriol yang membawa suplai makanan mukosa hidung. Vasokonstriksi arteriol ini oleh 2-agonis dapat

38

menyebabkan kerusakan struktural pada mukosa tersebut. Pengobatan dengan dekongestan nasal sering kali menimbulkan hilangnya efektivitas pada pemberian kronik, serta rebound hipertermia dan memburuknya gejala bila obat dihentikan. Mekanismenya belum jelas, tetapi mungkin melibatkan desensitasi reseptor dan kerusakan mukosa. 1- agonis yang selektif lebih kecil kemungkinannya untuk menimbulkan kerusakan mukosa (Setiawati, 2009). -agonis dapat diberikan peroral atau secara topikal. Dekongestan topikal terutama berguna untuk rhinitis akut karena tempat kerjanya yang lebih selektif, tetapi obat-obat ini cenderung untung digunakan secara berlebihan oleh penderita, sehingga menimbulkan penyumbatan yang berlebihan (rebound decongestion). Dengongestan oral jauh lebih kecil kemungkinanya untuk menimbukan rebound congestion tetapi lebih besar risikonya untuk menimbulkan efek samping sistemik. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah efedrin, pseudoefedrin dan fenilpropanolamin (Setiawati, 2009). Efedrin oral sering menimbukan efek samping sentral. Pseudoefedrin adalah stereisometer dari efedrin yang kurang kuat dibanding efedrin dalam menimbulkan takikardi, peningkatan tekanan darah atau stimulasi SSP. Fenilpropanolamin mirip dengan pseudoefedrin. Obat-obat ini harus digunakan dengan sangat hati-hati pada penderita hipertensi dan pada pria dengan hipertrofi prostat. Kombinasi obat-obat ini dengan penghambat MAO merupakan kontraindikasi (Setiawati, 2007). 2. Ekspektoran Ekspektoran adalah obat yang dapat merangsang pengeluaran dahak dari saluran napas (ekspektorasi). Penggunaan ekspektoran didasarkan pengalaman empiris. Belum ada data yang membuktikan efektivitas ekspektoran dengan dosis yang umum digunakan. Mekanisme kerjanya diduga berdasarkan stimulasi mukosa lambung dan selanjutnya secara refleks merangsang kelenjar saluran napas lewat N. Vagus, sehingga menurunkan viskositas dan mempermudah pengeluaran dahak. Obat yang

39

termasuk golongan ini adalah amonium clorida dan gliseril guaiakolat (Arif, 2009). a. Amonium klorida Amonium klorida jarang digunakan sendiri sebagai ekspektoran, tetapi biasanya dalam bentuk campuran dengan ekspektoran lain atau antitusif. ESO: Asidosis metabolik, gangguan imbang elektrolit Kontraindikasi: Insufisiensi hati, ginjal dan paru-paru Dosis: Dewasa 300 mg (5ml) tiap 2-4 jam b. Gliseril Guaiakolat Penggunaan obat ini hanya berdasarkan tradisi dan kesan subjektif pasien dan dokter. Belum ada bukti bahwa obat ini bermanfaat pada dosis yang diberikan. ESO: kantuk, mual dan muntah Sediaan: Sirup 100mg/5ml Dosis: Dewasa 2-4 kali 200-400 mg sehari 4. Obat Antitusif Antitusif yaitu obat yang bekerja pada susunan saraf pusat menekan pusat batuk dan menaikkan ambang rangsang batuk. Berikut adalah beberapa contoh obat antitusif (Tjay, 2010): a. Kodein: Metil Morfin Alkaloida candu ini memiliki sidar menyerupai morfin, tetapi efek analgesiknya dan meredakan batuknya jauh lebih lemah, begitu pula efek depresinya terhadap pernapasan. Obat ini sering digunakan sebagai obat pereda batuk dan penghilang sakit, biasanya

dikombinasikan dengan asetosal yang memberikan efek potensial. Obat ini memiliki kesamaan lain dengan morfin, yaitu kodein dapat melepaskan histamin (Tjay, 2010). Resorpsinya dari usus jauh lebih baik daripada morfin. Dalam hati zat ini diuraikan menjadi norkodein dan 10% menjadi morfin yang mungkin memegang peranan atas efek analgetisnya. Metabolitnya diekskresikan sebagai glukoronida melalui kemih, bersama 5-15%

40

dalam keadaan utuh. Efek sampingnya jarang terjadi pada dosis biasa dan terbatas pada obstipasi, mual, muntah, pusing, dan termanggumanggu (Tjay, 2010). b. Noskapin Alkaloida candu alamaiah ini tidak memilki rumus fenantren seperti kodein dan morfin, melainkan termasuk dalam kelompok benzilisokinolin seperti alkaloda candu lainnya. Efek meredakan batuknya tidak sekuat kodein, tetapi tidak mengakibatkan depresi pernapasan atau obstipasi, sedangkan efek sedatifnya dapat diabaikan. Noskapin tidak bersifat analgetis dan merupakan pembebas histamin yang kuat dengan efek bronkokonstriksi dan hipotensi pada dosis yang besar (Tjay, 2010). Efek sampingnya jarang terjadi dan berupa nyeri kepala, reaksi kulit dan perasaaan lelah tidak bersemangat. Resorpsinya dari usus pesat di mana akan terbentuk glukoronida aktif dari dextrofan. Efek sampingnya hanya ringan dan terbatas pada rasa mengantuk, termanggu-manggu, pusing, nyeri kepala, dan gangguan lambung usus (Tjay, 2010). c. Dektrometrofan methoxylevorphanol Derivat-fenantren non narkotik sistetis ini berkhasiat menekan rangsangan batuk, yang sama kuatnya dengan kodein tetapi bertahan lebih lama. Tidak berkhasiat analgetis, sedatif, sembelit atau adiktif, maka tidak termasuk ke dalam daftar narkotika. Mekanisme kerjanya berdasarkan peningkatan ambang pusat batuk di otak. Pada penyalahgunaan dengan dosis tinggi dapat menimbulkan stimulasi SSP (Tjay, 2010). 5. Obat Mukolitika Zat-zat ini berdaya merombak dan melarutkan dahak sehingga viskositasnya dikurangi dan pengeluarannya dipermudah. Lendir memiliki Gugs-sulfhidril yang saling mengikat makromolekulnya. Senyawa sistein dan mesna berdaya membuka kembatan disulfida ini. Mukolitika digunakan dengan efektif pada batuk dengan dahak yang kental sekali,

41

seperti pada bronkhitis, emfisema, dan mucovicidosis. Tetapi pada umumnya zat-zat ini tidak berguna bila gerakan bulu getar terganggu seperti pada perokok atau akibat infeksi (Tjay,2010). Berikut adalah beberapa contoh obat mukolitika (Tjay, 2010): a. Asetilsitein: Fluimucil Derivat dari asam amino alamiah sistein ini berkhasiat mencairkan dahak yang liat dengan jalan memutuskan jembatan disulfida, sehingga rantai panjang antara mukosa protein-mukoprotein panjang terbuka dan lebih mudah dikeluarkan melalui batuk. Sebagai prekursor dan glutathion, zat ini juga beradaya antioksidan dengan melindungi sel terhadap oksidasi dan perusakan oleh radikal bebas; derivatnya karbosistein dan mukolitik lainnya mesna (Misatabron) tidak memiliki sifat ini (Tjay, 2010). Asetilsistein juga mampu memperbaiki gerakan bulu getar silia dan membantu efek antibiotika (doksisiklin, amoksisiklin dan timfenikol). Zat ini terutama efektif terhadap dahak yang kental sekali dan sangat bermanfaat bagi pasien COPD dan mucoviscidosis. Asetilsistein juga merupakan zat penawar terhadap keracunan parasetamol dengan kalan meningkatkan persediaan glutation. Zat ini berdaya mengikat metabolit toksis dari parasetamol dan dengan demikian dapat menghindari nekrosis hati bila diberikan dalam waktu 10 jam setelah intoksikasi (Tjay, 2010). Resorpsinya pesat, dan distribusinya dalam tubuh baik dengan mencapai kadar tinggi di saluran pernapasan dan sekret bronki. Dalam hati akan diubah menjadi sistein, sistin, dan taurin, sedangkan ekskresinya berlangsung melalui kemih. Efek samping yang paling sering adalah mual dan muntah. Sebagai obat inhalasi, zat ini dapat menimbulkan kejang-kejang bronki pada penderita asma (Tjay, 2010). b. Bromheksin: Bisolvon , Mosavon. Derivat-sikloheksin ini berkhasiat mukolitis pada dosisi yang cukup tinggi. Viskositas dahak dikurangi dengan jalan depolimerisasi serat-serat mukopolisakarida. Bila digunakan perinhalasi, efeknya

42

sudah tampak dalam 20 menit, bila peroral akan tampak dalam beberapa hari dengan berkurangnya rangsangan batuk (Tjay, 2010). Resorpsinya baik di usus, dan di dalam hati zat ini dirombak praktik tuntas menjadi metabolit aktif ambroxol (Ambril, Mucopect), yang juga digunakan sebagai mukolitikum. Efek sampingnya berupa gangguan saluran cerna, perasaan pusing dan berkeringat, tetapi jarang terjadi. Efek lainnya adalah peninggian transaminase serum, maka perlu diperhatikan kepada pasien dengan tukak lambung. Pada inhalasi dapat terjadi bronkokonstriksi ringan (Tjay, 2010). c. Ambroxol Ambroxol, suatu metabolit bromheksin diduga sama cara kerja dan penggunaannya. Ambroxol sedang diteliti tentang kemungkinan manfaatnya pada keratokonjungtivitis sika dan sebagai perangsang produksi surfaktan pada anak lahir prematur dengan sindrom pernapasan (Tjay, 2010).

43

E. Peresepan 1. Dekongestan Efedrin tablet dr. Nyimas Eva Dokter Umum G1A011009 Jl. Kalijaga (0281)8975678 Purwokerto, 16 Maret 2013 Dewasa dan anak anak 6-12 tahun
R

/ Epedhrine tab mg 25 No X

3 dd tab 1 pc Anak-anak 2-5 tahun


R

/ Epedhrine tab mg 25 No V

3 dd tab 1/2 pc Pro : Tn Eko (40) An. Eni (5) Alamat: Jl. Serayu 15/90

44

2. Antitusif Dextrometorphan tablet dr. Fiska Praktika W Dokter Umum G1A011010 Jl. Berkoh (0281)8975678 Purwokerto, 16 Maret 2013 Dewasa
R

/ Dextrometorphan tab mg 25 No X

3 dd tab 1 pc Anak-anak
R

/ Dextrometorphan tab mg 25 No V

3 dd tab 1/2 pc Pro : Tn. Suparto (36) An. Suparti (4) Alamat: Jl. A. Yani 90

45

Dextrometorphan syrup 100 ml Dr. Teofilus Kristianto Dokter Umum G1A011011 Jl. Kalijaga (0281)8975678 Purwokerto, 16 Maret 2013 Dewasa
R

/ Dextrometorphan syr ml 100 No II

4 dd cth 2 pc Anak 4-12 thn


R

/ Dextrometorphan syr ml 100 No I

4 dd cth 1 pc Anak 2-4 thn


R

/ Dextrometorphan syr ml 100 No I

4 dd cth 1/2 pc Pro : Ny. Suriem (42) An. Rizky (9) An. Putri (3) Alamat: Jalan Tentara Pelajar 67

46

3. Ekspektoran Guaifenesin syrup Dr. Desvia Ira Dokter Umum G1A011012 Jl. Dr. Gumbreg (0281)8975678 Purwokerto, 16 Maret 2013 Dewasa
R

/ Guafenesin syr ml 60 No I

3 dd cth 1 pc Anak 6-12 thn


R

/ Guafenesin syr ml 60 No I

3 dd cth 1/2 pc Anak 2-6 thn


R

/ Dextrometorphan syr ml 100 No I

3 dd cth 1/4 pc Pro : Ny. Rusni (32) An. Budi (10) An. Ana (3) Alamat : Jl. Teluk baru

47

4. Mukolitik Ambroxol tablet Dr. Alvita Mega Kumala Dokter Umum G1A011056 Jl. Sudirman (0281)8975678 Purwokerto, 16 Maret 2013 Dewasa & anak > 12 thn
R

/ Ambroxol tab mg 30 No X

3 dd tab 1 pc Anak-anak 5-12 tahun


R

/ Ambroxol tab mg 30 No V

3 dd tab 1/2 pc Pro : Tn. Suparto (36) An. Suparti (4) Alamat: Jl. A. Yani 90

48

Ambroxol syrup 100 ml dr. Aqmarina Rachmawati Dokter Umum G1A011057 Jl. Kalijaga (0281)8975678 Purwokerto, 16 Maret 2013 Dewasa
R

/ Ambroxol syr ml 100 No I

3 dd cth 2 pc Anak > 5 thn


R

/ Ambroxol syr ml 100 No I

3 dd cth 1 pc Anak 2-5 thn


R

/ Ambroxol syr ml 100 No I

3 dd cth 1/2 pc Anak 2 thn


R

/ Ambroxol syr ml 100 No I

2 dd cth 1/2 pc Pro : Bp. Boni (42) An. Joko (9) An. Putri (3) An. Rizqi (1) Alamat: Jl. Sisingamangaraja

49

5. Agonis 2 Adrenergik Salbutamol Tablet dr. Ahmad Albera Dokter Umum G1A011058 Jl. Gatot Subroto (0281)8975678 Purwokerto, 16 Maret 2013 Dewasa
R

/ Salbutamol tab mg 4 No X

3 dd tab 1 pc Anak-anak 6-12 tahun


R

/ Salbutamol tab mg 4 No X

3 dd tab 1/2 pc Anak-anak 2-6 tahun


R

/ Salbutamol tab mg 4 No IV

3 dd tab 1/4 pc Pro : Tn. Sunyoto (30) An. Rony (10) An. Juni (3) Alamat: Jl. Wahid Hasyim 35

50

Salbutamol syrup 60 ml dr. Utiya Nur Laili Dokter Umum G1A011092 Jl. Sokaraja (0281)8975678 Purwokerto, 16 Maret 2013 Dewasa
R

/ Salbutamol syr ml 60 No II

3 dd cth 2 pc Anak 6 - 12 thn


R

/ Salbutamol syr ml 60 No I

3 dd cth 1 pc Anak 2-6 thn


R

/ Salbutamol syr ml 60 No I

3 dd cth 1/2 pc Pro : Bp. Jusuf (36) An. Rudy (9) An. Ancy (3)

6. Antikolinergik dr. Mariska Widya W Dokter Umum G1A011093 Jl. Jend.Soedirman (0281)8978978 Purwokerto, 16 Maret 2013
R

/ Tiotropium Bromida mcg 18 MDI No I

prn 1 dd puff I

Pro : Rahman Usia : 32 tahun Alamat : Jl. Gelatik 77

51

7. Metilxantin Aminofilin injeksi dr. Yanestria P Dokter Umum G1A011094 Jl. Jend.Sukowati (0281)8977656 Purwokerto, 16 Maret 2013
R

/ Aminofilin inj mg 24 amp No. I Add spuit 3 cc

i.m.m

Pro : Prasetya Usia : 33 tahun Alamat : Jl. Kartini 23

Theofilin injeksi dr. Firman Pranoto Dokter Umum G1A009134 Jl. Jend.Sukowati (0281)89761324 Purwokerto, 16 Maret 2013
R

/ Theofilin kaps mg 130 No. X

prn (3dd tab 1) pc

Pro : Isabella Usia : 24 tahun Alamat : Jl. Kemuning 27

52

KESIMPULAN

1. Penyakit TB dibedakan berdasarkan organ tubuh yang terkena, hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, tingkat keparahan penyakit, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Teori pengobatan TB meliputi penentuan klasifikasi; jenis, sifat, dan dosis OAT; prinsip pengobatan; panduan pemberian paduan OAT, dan pengobatan TB pada anak. 2. OAT primer terdiri dari Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Etambutol (RHZE) dan Streptomisin (S). 3. Obat anti asma terdiri dari berbagai macam, beberapa di antaranya adalah Aminofilin, Zafirlukas, Teofilin, dan Salbutamol. 4. Obat-obatan lokal pada sistem respirasi yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari terdiri dari dekongestan, ekspektoran, antitussive, dan mukolitik. Masing-masing obat mempunyai spesifikasi masing-masing. 5. Tatacara menulis resep meliputi kebenaran nama obat, dosis, istilah medis yang digunakan, dan aturan-aturan lainnya. Sebelum menulis resep, banyak sekali teori dan materi yang harus dikuasai untuk dapat membuat resep dengan baik dan benar.

53

DAFTAR PUSTAKA Aditama, Tjandra Yoga. 2003. Fixed Dose Combination for TB Treatment. Med J Indones Vol 12, No 2, April-June. 114-119 Arif, Azalia dan Udin Sjamsudin. 2009. Obat Lokal dalam Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru Chuluq, A.C., Abiyoso, dan Bambang Sidharta. 2008. Pengembangan Paket Obat SOT Untuk Pasien Tuberkulosis. 24/03/13. http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/BPK/article/download/2041/1 226 Deglin. J. H., Vallerand. A. H. 2004. Pedoman Obat Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC Depkes. 2008. Diagnosa dan Tata Laksana Tuberkulosa pada anak. Kelompok kerja TB anak. Jakarta: Depkes-IDAI Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Tuberculosis. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dam Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Estuningsyah, Ari,. Arif, Azalia. 2011. Farmakologi dan Terapi: Obat Lokal. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Gunawan, S.G. 2009. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI Kemenkes RI. 2009. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/Menkes/SK/V/2009 Tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes RI Nugroho, Agung Endro., Hemmy Prasetyo., Djoko Suhardjono., dkk. 2010. Pengaruh pentagamavunon-0 terhadap sistem pernafasan hiperresponsif yang diperantarai histamn pada model asma in-vitro in-vivo. Majalah Farmasi Indonesia, 21(2). 90-99 Rian, Samsu. 2010. Pengaruh Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis Terhadap Kejadian Default di Rumah Sakit Islam Pondok Kopi Jakarta Timur. Universitas Indonesia Schmitz, Gery; Hans Lepper, Michael Heidrich. 2008. Farmakologi dan Toksikologi Edisi 3. Jakarta: EGC Setiawati, Arini. 2009. Adenegik dalam Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru

54

Staff Pengajar Departemen Farmakologi FK Universitas Sriwijaya. 2004. Kumpulan Kuliah Farmakologi Edisi 2. Jakarta: EGC Supriyanto, Bambang. 2010. Batuk Kronik Pada Anak. Majalah Kedokteran Indonesia Volume 60, Nomor: 6. 285-288 Syarif, Amir. 2009. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI Tjay, Tan Hoan., Kirana Raharja. 2010. Obat-Obat Penting: Khasiat Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya. Jakarta: Elex Media Komputindo

55

Anda mungkin juga menyukai