Anda di halaman 1dari 13

UPAYA PENGOBATAN Pelayanan kesehatan yang bermutu merupakan salah satu kebutuhan dasar yang diperlukan setiap orang.

Puskesmas adalah salah satu organisasi pelayanan kesehatan yang pada dasarnya adalah organisasi jasa pelayanan umum. Oleh karenanya, puskesmas sebagai pelayanan masyarakat perlu memiliki karakter mutu pelayanan prima yang sesuai dengan harapan pasien, selain diharapkan memberikan pelayanan medis yang bermutu. Puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan pemerintah, harus selalu meningkatkan mutu pelayanannya agar tetap menjadi pilihan masyarakat, termasuk dalam memberikan pelayanan pengobatan (Triwulaningsih, 2007:A-12). Obat sebagai salah satu unsur yang penting dalam upaya kesehatan, mulai dari upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, diagnosis, pengobatan dan pemulihan harus diusahakan agar selalu tersedia pada saat dibutuhkan. Obat juga dapat merugikan kesehatan bila tidak memenuhi persyaratan atau bila digunakan secara tidak tepat atau disalahgunakan (Depkes RI, 2006: 4). Jaminan mutu (Quality Assurance) dalam pengelolaan dan pelayanan obat di puskesmas merupakan suatu hal yang perlu dilakukan karena obat yang diinventariskan di puskesmas menyerap dana yang cukup besar yaitu lebih kurang 30-40% dari anggaran pembangunan kesehatan di masing-masing Kabupaten/Kota. Puskesmas merupakan tulang punggung pelayanan kesehatan di perifer. Pasien yang berkunjung ke puskesmas mempunyai tingkat pendidikan yang relatif rendah dibandingkan dengan pasien di perkotaan. Latar belakang pendidikan petugas di kamar obat puskesmas sangat beragam mulai dari tenaga apoteker, asisten apoteker, perawat, pekarya dan lainlain (Depkes RI, 2002:1). Untuk mengatur ketersediaan obat di puskesmas, pemerintah membentuk KONAS. Kebijakan Obat Nasional (KONAS) bertujuan untuk menjamin ketersediaan obat baik dari segi jumlah dan jenis yang mencukupi, juga pemeratan, pendistribusian dan penyerahan obat-obatan harus sesuai dengan kebutuhan masing-masing Puskesmas. Dengan adanya pengelolaan obat yang baik diharapkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat menjadi lebih maksimal. . Manajemen obat di Puskesmas merupakan salah satu aspek penting dari Puskesmas karena ketidakefisienan akan memberikan dampak negatif terhadap biaya 1

operasional Puskesmas, karena bahan logistik obat merupakan salah satu tempat kebocoran anggaran, sedangkan ketersediaan obat setiap saat menjadi tuntutan pelayanan kesehatan maka pengelolaan yang efesien sangat menentukan keberhasilan manajemen Rumah Sakit secara keseluruhan. Tujuan manajemen obat adalah tersedianya obat setiap saat dibutuhkan baik mengenai jenis, jumlah maupun kualitas secara efesien, dengan demikian manajemen obat dapat dipakai sebagai sebagai proses penggerakan dan pemberdayaan semua sumber daya yang dimiliki/potensial yang untuk dimanfaatkan dalam rangka mewujudkan ketersediaan obat setiap saat dibutuhkan untuk operasional efektif dan efesien. Melihat dari beberapa permasalahan manajemen obat di atas, menunjukkan pentingnya sebuah solusi dalam manajemen obat di puskesmas. Secara ringkas, solusi tersebut ada 6 macam, yaitu Seleksi obat, Penerapan Pedoman Pengobatan, Penggunaan obat rasional, Seleksi supplier, systematic cost reduction, dan Advokasi. Seleksi obat menjadi penting karena hal ini yang menentukan obat mana yang baik diberikan kepada pasien di puskesmas dan mana yang tidak. Dengan seleksi ini,dapat dihindari adanya obat-obatan yang tidak cocok atau tidak layak diberikan. Untuk para tenaga medis, perlu adanya pedoman pengobatan yang baik dan sesuai standar yang diakui internasional. Pemberian obat tentu saja tidak boleh sembarangan. Ada aturan dan sistematika yang harus ditaati oleh seluruh tenaga kesehatan yang bertanggung jawab memberikan pengobatan. Pedoman pengobatan ini sabgat mudah didapatkan di internet, buku, dan jurnal. Badan yang mengeluarkannya pun harus badan yang resmi, secara internasional maupun diakui secara nasional. Setelah pedoman tersebut diaplikasikan, maka yang penting lagi adalah penggunaan obat secara rasional. Penggunaan obat secara rasional sangat penting untuk kesembuhan pasien dan efisiensi biaya dan sumber daya yang dibutuhkan untuk pengobatan. Hal ini penting untuk mencegah pengeluaran dana yang berlebih, multifarmasi, dan polifarmasi. Pemilihan supplier obat juga menjadi hal yang tidak kalah pentingnya. Karena supplier obat yang baik menentukan kualitas obat yang didistribusikan. Kriteria supplier yang baik adalah yang masuk ke dalam kriteria : Quality, Cost, Delivery, Flexibillity, Responsiveness. Biaya yang dikeluarkan oleh puskesmas dalam upaya mengatur ketersediaan obat dan biaya pasien dalam 2

mengeluarkan dana untuk membeli obat juga harus dikurangi. Namun hal ini tidak berarti mengurangi kualitas. Sebaliknya, kualitas harus ditingkatkan. Efisiensi di sini diartkan sebagai upaya untuk menekan biaya-biaya yang tidak perlu dikeluarkan. Manajemen obat di puskesmas bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan obat publik dan perbekalan kesehatan yang sangat diperlukan sehingga dana yang tersedia dapat digunakan optimal sehingga penyediaan obat ditingkat puskesmas dapat efektif dan efisien (Depkes, 2005:1). Terjadinya pemakaian obat yang tidak rasional merupakan masalah serius dalam pelayanan kesehatan di instansi pemerintah tingkat puskesmas oleh karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi. Berbagai studi dan temuan telah menunjukkan bahwa pemakaian obat jauh dari keadaan optimal dan rasional. Salah satu bentuk ketidak-rasionalan penggunaan obat adalah polifarmasi dimana penggunaan item obat dalam jumlah yang berlebihan atau peresepan berlebih (multiple atau overprescription) (Timmermans, 2006:90). Dalam pelayanan kesehatan penggunaan obat merupakan hal yang sangat krusial dalam pengobatan penyakit. Oleh karena itu obat obat mesti diberikan dengan tepat, baik tepat penyakit, tepat obat, tepat dosis, tepat cara pakai, tepat pasien, kalau tidak obat tidak akan memberikan efek yang diharapkan dan bahkan bisa memberikan efek keracunan yang membahayakan jiwa pasien. Pemakaian obat yang tepat ini lazim disebut dengan penggunaan obat rasional. Di pusat-pusat pelayanan kesehatan terutama Puskesmas ketidakrasionalan peresepan dan penggunaan obat sering terjadi dan umumnya tidak disadari oleh petugas kesehatan yang ada. Ketidakrasionalan peresepan yang sering didapati seperti; polifarmasi pada penyakit ISPA, diare, dan mialgia, penggunaan antibiotik untuk ISPA non Pneumonia, penggunaan injeksi untuk mialgia. Yang jelas masih banyak hal yang dapat ditingkatkan dalam pemakaian obat umumnya dan khususnya dalam peresepan obat (prescribing). Secara singkat, pemakaian obat (lebih sempit lagi adalah peresepan obat atau prescribing), dikatakan tidak rasional apabila kemungkinan untuk memberikan manfaat kecil atau tidak ada sama sekali, sedangkan kemungkinan manfaatnya tidak sebanding dengan kemungkinan efek samping atau biayanya (Vance & Millington, 1986). Di sini terkandung aspek manfaat, risiko efek 3

samping dan biaya. Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam membuat pertimbangan mengenai manfaat, risiko dan biaya ini masing-masing dokter dapat berbeda sama sekali. Tetapi perbedaan tersebut dapat dikurangi atau diperkecil kalau komponen-komponen dasar dalam proses keputusan terapi atau elemen-elemen pokok pemakaian obat secara rasional tetap selalu dipertimbangkan. Upaya Pengobatan Rasional di Puskesmas bertujuan untuk meningkatkan mutu dan efisiensi upaya pelayanan pengobatan yang rasional di Puskesmas melalui pembinaan secara fungsional dengan melibatkan unit-unit yang terkait di berbagai tingkat administrasi. Menurut Badan Kesehatan Sedunia (WHO), kriteria pemakaian obat (pengobatan) rasional, antaralain : 1. Sesuai dengan Indikasi Penyakit Pengobatan didasarkan atas keluhan individual dan hasil pemeriksaan fisik yang akurat. Penggunaan obat dikatakan rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika diagnosa tidak ditegakkan dengan benar maka pemilihan obat akan mengacu pada diagnosa yang keliru. Akibatnya obat yang diberikan tidak akan sesuai dengan indikasi seharusnya. Dengan demikian obat yang dipilih haruslah yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit. 2. Diberikan dengan Dosis yang Tepat Pemberian obat memperhitungkan umur, berat badan dan kronologis penyakit. Dosis sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat dengan rentang terapi sempit (Narrow therapeutic margin) misalnya teofilin, digitalis, akan sangat berisiko untuk timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan. 3. Cara Pemberian dengan Interval Waktu Pemberian yang Tepat Jarak minum obat sesuai dengan aturan pemakaian yang telah ditentukan. Cara pemberian yang tidak tepat akan mengurangi ketersediaan obat dalam tubuh 4

pasien sehingga efek yang diharapkan tidak terjadi. Sebagai contoh ampisilin mesti diminum 30 menit sebelum makan. Interval waktu pemberian hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis agar mudah ditaati oleh pasien. 4. Lama Pemberian yang Tepat Pada kasus tertentu memerlukan pemberian obat dalam jangka waktu tertentu. Lama pemberian obat harus tepat sesuai dengan penyakitnya.. Sebagai contoh untu Tuberkulosis lama pemberian obat paling singkat 6 bulan. Lama pemberian kloramfenikol adalah 10-14 hari. 5. Obat yang Diberikan Harus Efektif, dengan Mutu Terjamin Hindari pemberian obat yang kedaluarsa dan tidak sesuai dengan jenis keluhan penyakit. Untuk memberikan hasil yang optimal obat harus efektif dan aman dengan mutu terjamin. Karena itu mutu obat mesti terjamin dengan mendapatkannya dari sumber yang tepat, karena saat ini banyak obat palsu dan kadaluarsa yang beredar di pasaran yang tentunya akan merugikan pasien. 6. Tersedia Setiap Saat dengan Harga yang Terjangkau Jenis obat mudah didapatkan dengan harganya relatif murah. Untuk memberikan kesinambungan pengobatan terutama sekali untuk pengobatan jangka panjang, obat yang diberikan harus tersedia setiap saat dan harganya terjangkau oleh pasien yang menggunakan. 7. Meminimalkan Efek Samping dan Alergi Obat Beri informasi standar tentang kemungkinan efek samping obat dan cara mengatasinya. Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping yaitu efek yang tidak diinginkan yang timbuk akibat pemberian obat dengan dosis terapi. Sebagai Cotoh : Pemberian tetrasiklin tidak boleh dilakukan pada anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan kelain pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh. 5

Selain itu perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Tepat Informasi. Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam menunjang keberhasilan terapi. Contohnya dalam penggunaan obat rifampisin akan mengakibatkan urine bewarna merah. Jika hal ini tidak diinformasikan kepada penderita kemungkinan besar dia akan menghentikan minum obat karena menduga obat tersebut menyebabkan kencing disertai darah. Padahal untuk penderita tuberkulosis terapi dengan rifampisin harus diberikan dalam jangka panjang. 2. Tepat tindak lanjut (follow up). Pada saat memutuskan pemberian terapi harus sudah dipertimbangkan upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasein tidak sembuh atau mengalami efek samping.Sebagai contoh, terapi dengan teofilin sering memberikan gejala takhikardi. Jika hal ini terjadi maka dosis obat perlu ditinjau ulang atau bisa saja obatnya diganti. Demikian pula dalam penatalaksanaan syok anafilaksis, pemberian injeksi adrenalin yang kedua perlu segera dilakukan, jika pada pemberian pertama respons sirkulasi kardiovaskuler belum seperti yang diharapkan. 3. Tepat penyerahan obat (dispensing) Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke apotik atau tempat penyerahan obat di Puskesmas, apoteker / asisten apoteker / petugas penyerah obat akan melaksanakan perintah dokter / peresep yang ditulis pada lembar resep untuk kemudian diberikan kepada pasien. Proses penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara tepat agar pasien mendapatkan obat sebagaimanan seharusnya. Karena bila petugas salah menimbang obat atau salah membaca resep, dapat berakibat fatal. 4. Pasien patuh terhadap pengobatan yg diberikan.

Kepatuhan pasien terhadap pengobatan sangat menentukan hasil yang dicapai dalam pengobatan. Ketidaktaatan pasien dalam meminum obat umumnya terjadi pada kedaan berikut: Jenis atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak. Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering. Jenis sediaan obat terlalu beragam (misalnya pada saat bersamaan pasien mendapat, tablet, tablet hisap, sirup dan obat inhalasi). Pemberian obat dalam jangka panjang Pasien tidak mendapat informasi/penjelasan yang cukup mengenai cara minum/menggunakan obat. Timbul efek samping misalnya ruam kulit dan nyeri lambung) atau efek ikutan (urine jadi merah karena minum rifampisin). Pemberian obat dalam jangka lama tanpa informasi/supervisi tentu saja akan menurunkan ketaatan penderita. Kegagalan pengobata tuberkulosis secara nasional menjadi salah satu bukti bahwa terapi jangka panjang tanpa disertai informasi / supervisi yang memadai tidak akan pernah memberikan hasil seperti yang diharapkan. Bentuk-bentuk ketidak-rasionalan pemakaian obat juga dapat dikelompokkan seperti berikut (MSH, 1984), 1. Peresepan boros (extravagant), yakni peresepan dengan obat-obat yang lebih mahal padahal ada alternative yang lebih murah dengan manfaat dan keamanan yang sama. Termasuk di sini mestinya adalah peresepan yang terlalu berorientasi ke pengobatan simtomatik sampai mengurangi alokasi obat-obat yang lebih vital. Misalnya pemakaian obat-obat antidiare yang berlebihan dapat menurunkan alokasi untuk oralit yang notabene lebih vital untuk menurunkan mortalitas. 2. Peresepan berlebihan (over prescribing), terjadi bila dosis obat, lama pemberian atau jumlah obat yang diresepkan melebihi ketentuan. Juga peresepan dengan obat-obat yang sebenarnya tidak diperlukan dapat dikategorikan dalam bentuk ketidakrasionalan ini

3. Peresepan yang salah (incorrect prescribing), mencakup pemakaian obat untuk indikasi yang keliru, diagnosis tepat tetapi obatnya keliru, pemberian obat ke pasien salah. Juga pemakaian obat tanpa memperhitungkan kondisi lain yang diderita bersamaan. 4. Peresepan majemuk (multiple prescribing), yakni pemakaian dua atau lebih kombinasi obat padahal sebenarnya cukup hanya diberikan obat tunggal saja. Termasuk di sini adalah pengobatan terhadap semua gejala yang mungkin tanpa mengarah ke penyakit utamanya. Sebagai contoh, di Puskesmas pasien yang datang rata-rata akan menerima obat + 4 jenis per episode kunjungan. 5. Peresepan kurang (under prescribing) terjadi kalau obat yang diperlukan tidak diresepkan, dosis tidak cukup atau lama pemberian terlalu pendek. Di Puskesmas daerah yang sangat terpencil & sangat sulit dijangkau karena medan yang sulit ditempuh oleh pegawai dinas kesehatan, kadang pasokan obat-obatan tidak terjamin dengan lancar, karenanya pegawai puskesmas hanya memberikan obatobatan yang hanya tersedia kepada pasien yang berobat, walaupun indikasi pemakaiannya tidak tepat. Menilik banyaknya permasalahan, diusulkan alternatif pemecahan masalahnya: 1. Tenaga kesehatan didorong mengikuti forum-forum ilmiah mengenai penggunaan obat rasional untuk menambah wawasan serta ilmu pengetahuan tenaga kesehatan mengenai obat. Seperti kita ketahui, pengobatan akan memberikan efek pokok, efek samping, efek yang tak terduga & efek racun. Karenanya menambah wawasan soal ini merupakan suatu keharusan mengingat kemungkinan risiko yang akan ditimbulkan. 2. Membatasi penggunaan obat suntik ataupun pemberian infus yang tidak perlu. 3. Menghimbau kepada pemerintah untuk membantu membatasi iklan di media massa yang menghasut konsumen untuk menggunakan obat bebas tertentu yang dalam jangka panjang mempunyai efek samping yang kurang baik untuk kesehatan. 4. Pemberian suplemen makanan atau multivitamin hanya apabila tenaga kesehatan merasa pasien memang memerlukannya. Misalnya pada pasien kencing manis diberikan

makanan yang tidak mengandung glukosa. Sebaiknya tenaga kesehatan juga melihat keadaan ekonomi si pasien, mengingat harga suplemen makanan umumnya mahal. 5. Mendorong kebiasaan untuk menulis resep obat generik, mengingat harga obat generik yang terjangkau oleh hampir seluruh lapisan masyarakat. 6. Meminta pemerintah untuk memperbanyak publikasi mengenai penggunaan obat rasional, yang dipasang di tempat umum & sarana kesehatan. Juga mengharuskan tenaga kesehatan untuk mengikuti seminar/pelatihan mengenai penggunaan obat yang rasional disertai punish & reward dalam pelaksanaannya. Dampak Penggunaan Obat Yang Tidak Rasional Dampak negatif penggunaan obat yang tidak rasional sangat beragam dan bervariasi tergantung dari jenis ketidakrasionalan penggunaannya. Dampak negatif ini dapat saja hanya dialami oleh pasien (efek samping dan biaya yang mahal) maupun oleh populasi yang lebih luas seperti resistensi kuman terhadap antibiotik tertentu, dan mutu pelayanan pengobatan secara umum. a. Dampak pada mutu pengobatan dan pelayanan. Salah satu dampak penggunaan obat yang tidak rasional adalah peningkatan angka morbiditas dan mortalitas penyakit. Contohnya pada penderita diare akut non spesifik umumnya sering mendapat antibiotik dan obat injeksi, sementara pemberian oralit yang lebih dianjurkan, umumnya kurang dilakukan. Padahal diketahui bahwa resiko terjadinya dehidrasi pada anak yang diare dapat membahayakan keselamatan jiwa anak yang bersangkutan. Hal yang sama juga terjadi pada penderita ISPA non pneumonia pada anak yang umumnya mendapatkan antibiotik yang sebenarnya tidak diperlukan. Sementara itu pada anak yang jelas menderita pneumonia akhirnya justru tidak mendapatkan terapi yang adekuat, karena antibiotik yang ada telah habis digunakan untuk mereka yang tidak memerlukannya. Dengan demikian tidaklah mengherankan apabila hingga saat ini angka kematian bayi dan balita akibat ISPA dan diare masih cukup tinggi di Indonesia.

b. Dampak terhadap biaya pengobatan. Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas, atau pemberian obat untuk keadaan yang sama sekali tidak memerlukan terapi obat, jelas merupakan pemborosan dan sangat membebankan pasien. Di sini termasuk pula peresepan obat yang mahal padahal alternatif obat yang lain dengan manfaat dan keamanan sama dan harga lebih murah tersedia. Contohnya ketidakrasionalan seperti ini adalah pemberian antibiotik pada ISFA non pneumonia. Dari studi yang dilakukan oleh PPSDK-F (Proyek Pengkajian Sumber Daya Kesehatan- Komponen Farmasi) di 2 provinsi di Indonesia tahun 1992-1994 dijumpai bahwa lebih dari separuh biaya obat yang dikonsumsi pasien puskesmas adalah untuk antibiotik. Tingginya konsumsi antibiotik (terutama untuk kasus-kasus ISPA non Pneumonia) tentui saja mempengaruhi anggaran obat yang tersedia. Peresepan antibiotik bukannya keliru, tetapi sebaiknya memproritaskan pemberiannya untuk penyakit-penyakit yang benar-benar memerlukannya (yang jelas terbukti sebagai infeksi bakteri) akan sangat berarti dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi. Oleh karena itu jika pemberiannya selektif, maka pemborosan anggaran dapat dicegah dan dapat direalokasikan untuk penyakit atau intervensi lain yang lebih prioritas. Dengan demikian mutu pelayanan kesehatan dapat lebih dijamin. Disamping itu pnggunaan obat rasional akan berdampak pada pengurangan anggaran terhadap obat di sarana pelayanan kesehatan dasar. Seandainya praktek penggunaan penggunaan obat rasional dilaksanakan secara sistematis dan konsisten diperkirakan anggaran untuk pembelian obat disarana kesehatan dasar bisa dikurangi sampai 30 %. c. Dampak terhadap kemungkinan efek samping dan efek lain yang tidak diharapkan. Dampak lain dari ketidakrasionalan penggunaan obat adalah meningkatnya resiko terjadinya efek samping dan efek lain yang tidak diharapkan, baik untuk pasien maupun untuk masyarakat. Bebersapa data berikut mewakili dampak negatif yang terjadi akibat penggunaan obat yang tidak rasional : 10

Kebiasaan memberikan obat dalam bentuk injeksi akan meningkatkan resiko terjadinya syok anafilaksis. Resiko terjadinya efek samping onbat meningkat secara konsisten dengan makin banyaknya jenis obat yang diberikan kepada pasien. Keadaan ini semakin nyata pada usia lanjut. Pada kelompok umur ini kejadian efek samping dialami oleh 1 (satu) diantara 6 penderita usia lanjut yang dirawat di rumah sakit.

Terjadinya resistensi kuman terhadap antibiotik merupakan salah satu akibat dari pemakaian antibiotik yang berlebihan (over prescribing), maupun pemberian yang bukan indikasi (misalnya infeksi yang disebabkan oleh virus).

d. Dampak psikososial Pemakaian obat secara berlebihan oleh dokter seringkali akan memberikan pengaruh psikologik pada masyarakat. Masyarakat menjadi terlalu tergantung pada terapi obat walaupun intervensi obat belum tentu merupakan pilihan utama untuk kondisi tertentu. Lebih parah lagi kalau kemudian karena terlalu percaya atau tergantung pada intervensi obat, bentuk-bentuk intervensi lain untuk kondisi tertentu tersebut lalu ditinggalkan. Sebagai contoh, karena terlalu percaya bahwa pemakaian obat seperti aspirin secara terus-menerus akan dapat mencegah penyakit jantung koroner, maka profilaksi-profilaksi yang lebih penting terhadap faktor risiko yang sudah jelas misalnya, tidak merokok lantas diabaikan. Atau dalam klinik, karena terlalu percaya pada pemberian profilaksi antibiotika maka tindakan-tindakan aseptik pada pembedahan lalu tidak diperhatikan secara ketat. e. Dampak terhadap mutu keterediaan obat. Dari studi data yang dilakukanoleh Bagian Farmakologi FK UGM bekerjasama dengan Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan Depkes RI pada tahun 19971998ditemukan bahwa leboih dari 80% pasien dengan keluhan demam,batuk dan pilek mendapatkan antibiotik untuk rata-rata 3 hari pemberian,.Dari praktek pengobatan tersebut tidaklah mengherankan bahwa yang sering dikeluhkan di puskesmas adalah tidak cukupnya ketersediaan antibiotik. Akibatnya jika suatu saat ditemukan pasien yang benar-benar menderita infeksi bakter, antibiotik yang 11

dibutuhkan sudah tidak tersedia lagi. Yang terjadi selanjutnya adalah pasien terpaksa diberikan antibiotik lain yang bukan obat pilihan utama (drug of choice) dari infeksi tersebut. Disini terdapat 2 masalah utama. Pertama, seolah-olah mutu ketersediaan obat sangat jauh dari memadai. Padahal yang terjadi adalah antibiotik telah terbagi rata ke semua pasien yang sebenarnya tidak memerlukan. Kedua, dengan mengganti jenis antibiotik maka akan berdampak pada tidak sembuhnya pasien (karena antibiotik yang diberikan mungkin tidak memiliki spektrum antibakteri untuk penyakit tersebut, misalnya pneumonia diberi metronidazol) Atau penyakit menjadi lebih parah dan pasien kemudian meninggal. . Penggunaan obat yang tidak rasional sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Peresepan obat tanpa indikasi yang jelas, penentuan dosis, cara dan lama pemberian yang keliru, serta peresepan obat yang mahal merupakan sebagian contoh dari ketidakrasionalan peresepanBeberapa dampak negatif yang diutarakan tersebut mungkin jarang terperhatikan sewaktu dokter menulis resep atau memutuskan pengobatan, tetapi baru akan jelas kalau dikaji secara khusus dan luas. Mungkin masih banyak dampakdampak negatif lain yang belum tercakup, tetapi yang penting adalah bahwa kemungkinan-kemungkinan terjadinya dampak negatif tersebut bukanlah semata-mata sesuatu yang teoritis saja. Hal ini jelas yang paling dirugikan adalah masyarakat luas sebagai pasien. Untuk mencapai masyarakat Indonesia yang sehat Penggunaan Obat Rasional hendaknya menjadi pradigma baru yang perlu dihayati oleh insan kesehatan seperti dokter, apoteker, perawat, bidan dan sebagainya sehingga upaya mensejahteraan masyarakat yang berdampak pada penibgkatan SDM akan lebih optimal Penutup Kejadian ketidak-optimalan pengobatan misalnya dalam bentuk ketidak-rasionalan pengobatan, selalu merupakan konsekuensi dari pengobatan itu sendiri. Namun demikian, 12

dengan mengetahui bentuk-bentuk yang terjadi, faktor-faktor pendorong yang mungkin berperan dan intervensi-intervensi yang paling efektif, kejadian ketidakrasionalan pemakaian obat dapat ditekan seminimal mungkin. Sehingga dampak negatifnya dalam pelayanan juga dapat diusahakan sekecil mungkin.

13

Anda mungkin juga menyukai