Anda di halaman 1dari 9

Qur’an Hadits di MA

Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah


UIN Raden Mas Said Surakarta

PENGGUNAAN MAKANAN DAN MINUMAN


HARAM SEBAGAI OBAT
Riyadlush Sholihah, Aprilianti Ningrum
Kelas PAI 5F

PENDAHULUAN
Sudah menjadi perintah agama untuk mengonsumsi makanan dan minuman yang
halal lagi thoyib bagi umat Islam. Demikian juga mengenai kewajiban untuk meninggalkan
makanan yang haram merupakan suatu yang tidak bisa ditawar lagi. Hal tersebut harus
menjadi pedoman hidup bagi masyarakat muslim hingga tidak perlu dipertanyakan lagi
tentang penerapannya.
Sebagai konsumen produk pangan, umat Islam harus mendapatkan jaminan dari
produsen mengenai kehalalan produk-produk pangan yang beredar di masyarakat Muslim.
Namun pada kenyataannya konsumen sulit mengetahui apakah suatu produk mengandung
bahan yang haram atau tidak, kecuali produk tersebut telah memperoleh sertifikat halal dari
lembaga yang berwenang di dalam maupun di luar negeri. Selain produk makanan, ada
produk lain yang status kehalalannya belum mendapat perhatian masyarakat, yaitu produk
obat-obatan, terutama obat yang digunakan dengan cara ditelan atau diminum.
Proses sertifikasi halal telah diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan tahun 1996.
Sertifikat halal ini diberikan setelah suatu produk pangan diperiksa oleh Lembaga
Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI). ),
melalui proses audit yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia. 1 Namun, sangat
disayangkan dalam praktiknya sertifikasi halal produk pangan tidak diwajibkan bagi setiap
produsen, melainkan hanya bersifat sukarela tergantung kesediaan produsen mendapatkan
sertifikat halal atau tidak.
Hal ini lebih disayangkan karena sertifikasi dari otoritas halal belum diterapkan
pada obat resep. Nampaknya masyarakat kita masih sangat permisif terhadap kehalalan
obat-obatan, meskipun mungkin mengandung bahan yang berasal dari barang haram,
seperti alkohol dan daging babi. Sikap ini mungkin karena pemahaman yang tidak
terkendali tentang Hukum Darurat. Namun, dalam hal obat-obatan, tampaknya undang-
undang darurat ini terkesan terlalu luas dan berlebihan, sehingga setiap bahan obat akan
dianggap halal tanpa terkecuali, karena bersembunyi di balik tameng darurat. Jika kita
perhatikan bagaimana prinsip hukum darurat dijelaskan dalam Al-Qur'an dan Hadits,
sebenarnya hukum darurat hanya diterapkan ketika dalam situasi yang sangat genting.

1
Ahmad Yasa. (2008). Menggugat Barang Haram dam Obat. https://republika.co.id/berita/17587/menggugat-
bahan-haram-dalam-obat, diakses pada 30 September 2021 pukul 09.32.

1
Padahal, dalam ajaran Islam, keadaan darurat ada batasnya. Berdasarkan latar belakang
tersebut, penggunaan makanan dan minuman haram sebagai obat menarik untuk diteliti.
PEMBAHASAN
A. Penggunaan Barang Haram Sebagai Obat
Perkembangan Teknologi mengubah gaya hidup manusia, dan perubahan gaya
hidup ini mengubah pola makanan manusia. Saat ini sulit untuk mendapatkan makanan
yang bebas dari bahan kimia, karena banyak makanan yang disajikan secara instan.
Beberapa bahan kimia memang sangat berguna untuk mensukseskan berbagai hal,
namun efek samping yang ditimbulkannya bisa berbahaya karena bisa memicu
munculnya kanker. Berbagai metode dapat digunakan untuk mengobati kondisi
tersebut tergantung pada tingkat keparahan kondisinya. Beberapa metode pengobatan
dapat dilakukan seperti pengobatan herbal dengan tumbuhan sampai pengobatan
ekstrim dengan mengkonsumsi bahan maupun binatang yang diharamkan.
Adapun macam dari penggunaan barang haram sebagai obat, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Penggunaan Alkohol sebagai Obat
Obat yang mengandung alkohol sebagai bahan tambahan, sebenarnya jika dilihat
secara tidak langsung, maka alkohol haram bila dikonsumsi bukan untuk obat baik
banyak atau sedikit. Qias tersebut dapat didasari bentuk khamr. Bila khamr (alkohol)
hanya sebagai bahan tambahan dalam obat-obatan, seperti ditambahkan untuk
melarutkan sebuah zat, atau ditambahkan agar obat berupa sirup memiliki bau yang
menarik untuk diminum, atau sebagai bahan pengawet obat.
Hal ini yang difatwakan oleh beberapa lembaga fikih internasional, di
antaranya:Al-Majma’ al-Fiqh al-Islami (Divisi Fiqh Rabithah Alam Islami) dalam
daurah ke-16, tahun 2002, yang berbunyi:“Boleh menggunakan obat yang
mengandung alkohol dengan kadar sedikit dan telah terurai, dimana pembuatan
obat tersebut merupakan standar pabrik dan tidak ada obat sebagai penggantinya,
dengan syarat resepnya harus dibuatkan oleh seorang dokter yang jujur. Juga boleh
menggunakan alkohol sebagai bahan pembersih luka luar, juga sebagai pembunuh
kuman, dan dalam campuran krim dan obat gosok”
Alkohol digunakan untuk campuran berbagai obat-obatan, sehingga
pengharaman penggunaan alkohol sebagai campuran obat akan menyebabkan umat
Islam ketinggalan dengan orang non-Islam dalam dunia farmasi, kedokteran dan
industri. Jika hal tersebut terjadi, maka akan menjadi ancaman yang besar bagi umat
Islam. Harmy Mohammad Yusuf menyatakan bahwa, dharurat dalam berobat
dengan menggunakan sesuatu yang asalnya haram diperbolehkan. Hal tersebut
mengacu pada Qawa’idul Fiqhiyah yang menyatakan bahwa “Berobat masuk dalam
kondisi darurat dimana jiwanya dalam keadaan terancam, keadaan seperti ini harus
mengedepankan obat yang halal terlebih dahulu. Namun, jika ternyata harus
menggunakan yang haram, maka Illat yang membolehkanya, karena Islam agama
yang memudahkan bagi hambanya.

2
Tetapi permasalahan ini harus diklasifikasikan antara alkohol rendah (tidak
memabukan) dan alkohol tinggi (memabukan) terkhusus pada dunia medis dan
farmasi. Karena banyaknya kegunaan-kegunaan dari alkohol yang dapat membantu
dalam prosese-proses farmasi dan medis. Penggunaanya sudah sudah menjadi
keperluan yang tidak bisa dihindarkan lagi. Berkaitan dengan ini perlu dijelaskan
kedudukan hukumnya, adapan penjelasanya sebagai berikut: a. Jika alkohol
digunakan dalam pelarut obat-obatan termasuk dalam kategori memabukan maka
hukumnya haram untuk menggunakanya kecuali pada kondisi darurat dan
penggunaan alkohol yang tidak memabukan pada kondisi tidak darurat
diperbolehkan. b. Jika alkohol yang memabukan menjadi obat atau campuran obat
maka hukumnya diharamkan. c. Jika alkohol tersebut bukan termasuk memabukan
(Iskar) maka hukumnya diperbolehkan. d. Dalam kondisi darurat alkohol
diperbolehkan digunakan dengan sewajarnya. e. Apabila digunakan untuk obat luar,
seperti digunakan sebagai rubefacient, gosokan untuk menghilangkan sakit, pasien
yang terbaring lama dan germisida alat-alat sebagai pembersih kulit sebelum injeksi.
Maka pemakainya diperbolehkan, tetapi jika ada benda lain yang lebih baik yang
bisa menggantikan fungsinya maka sebaiknya alkohol tidak digunakan, hal ini
sebagai bentuk kehati-hatian (sad az-Dzari‟ah).2
2. Penggunaan Organ Ular Sebagai Obat
Tentang binatang-binatang yang dikatakan dapat menyembuhkan penyakit,
salah satunya adalah ular. Maka kita kembali kepada kaidah dasar pengobatan
dalam islam. “bahwa Allah tidak memperkenankan obat untuk penyakit kita daru
suatu yang haram.” Ular adalah hewan yang disepakati oleh para ulama
keharamannya untuk dimakan. Karena ulat termasuk hewan yang diperintahkan
untuk dibunuh.
Syaikh Sulaiman bin al-Khurasy dalam kitabnya Al-Hayawaanat: Maa Yu’kal wa
Maa Laa Yu’kal (diterjemahkan: kamus Halal-haram), menyebutkan tentang pendapat
yang shahih, bahwa setiap binatang yang diperintahkan untuk dibunuh maka
dagingnya haram dimakan. Maksud dibunh disini adalah dibunuh tanpa adanya
sebab yang dibenarkan syariat yaitu disembelih sesuai syar’i. Karena seandainya
diperbolehkan mengambil manfaat dengan cara memakan dagingnya tentu Nabi
Muhammad SAW tidak akan memerintahkan membunuhnya.3
B. Pendapat Ulama Penggunaan Bahan Haram Sebagai Obat
1. Penggunaan Alkohol Sebagai Obat Menurut Para Ulama
Muhammad Sa’id al-Suyuti (w.1999 M) menyatakan bahwa alkohol adalah
suci. Mengqiyaskan alkohol kepada khamar adalah bentuk qiyas yang tidak
relevan (al-Qiyas ma’a al-Fariq dan tidak benar, karena susunan partikel di
dalamnya berbeda. Jika alkohol terkandung di dalam khamar maka yang
menjadi penyebab haramnya adalah khamarnya yang kemudian memabukkan,
namun alkoholnya tetap berbeda, karena jika terpisah dari khamarnya, maka
dikatakan suci seperti halnya alkohol yang terdapat dalam buah-buahan dan
2
Ansharullah, Muhammad. 2011. Beralkohol Tapi Halal” Menjawab Keraguan Tentang Alkohol dalam
Makanan, Minuman, Obat dan Kosmetik. Solo: Pustaka Arofah, cet. I
3
Lihat Adwa’al-Bayan, Syaikh Muhammad Amin al-Syinqithi:2/273

3
alkohol yang menyimpulkan bahwa alkohol yang bercampur dengan obat
konsentrasi kecil digunakan sebagai pengobatan.4 Muhammad ibn Salih al-
Uthaimin (w.2001 M) tidaklah haram, karena tidak memberikan pengaruh.
Halalnya alkohol dalam obat karena istihlak dan karena ‘illat (sebab) yang
memabukkan pada alkohol tidak ada, sehingga obat tersebut halal.
Sahal Mahfudh (w.2014 M) mengungkapkan bahwa, sebagian ulama
memaknai kata rijs dengan najis. Sebagian yang lain (al-Muhaddithin)
berpendapat bahwa, khamar meskipun diharamkan hukumnya suci, karena najis
yang dimaksud adalah najis maknawi. Masalah ini sebagaimana al-Qur’an
menyebut orang Musyrik sebagai najis, ini bukan berarti orang Musyrik najis
dalam pengertian najis yang membatalkan shalat, tetapi karena perbuatan syirik
merupakan perbuatan paling buruk menurut akal sehat. Produk (termasuk
obatobatan) yang bercampur alkohol boleh saja dikonsumsi untuk manusia,
karena tidak ada sumber jelas yang berkenaan dengan adanya pelarangan. Dasar
diperbolehkannya produk yang bercampur alkohol itu antara lain, karena
menurut penuturan kitab Ta’lq al-Nazmi al-Taqrib, alkohol bukan termasuk
bahan najis.5
Al-Qardawi mengungkapkan dalam fatwanya bahwa apabila di
masyarakatnya itu masih terdapat orang Muslim atau Kafir yang masih
mempunyai sisa makanan yang kiranya dapat dipakai untuk mengatasi
keterpaksaannya, maka tidak termasuk syarat arrat hanya karena seseorang itu
tidak mempunyai makanan, bahkan tidak termasuk arrat yang membolehkan
seseorang makan makanan yang haram. Masalah semacam ini juga berlaku
untuk obat-obatan. Bila mana masih ada alternatif yang halal, maka tidak ada
alasan darurat untuk menggunakan obat yang haram.6
2. Penggunaan Darah Ular sebagai Obat Menurut Pendapat Ulama
Ada dua pendapat dikalangan ulama tentang hukum berobat dengan sesuatu
yang haram. Pendapat yang pertama Mengharamkan secara total. Pendapat
kedua membolehkan karena darurat.
1) Pendapat yang Mengharamkan
Pendapat ini menyatakan bahwa apa pun dalihnya, pokoknya haram
hukumnya bagi seorang muslim memakan hewan yang sudah
diharamkan Allah untuk mengkonsumsinya. Mereka juga tidak
menerima kalaudikatakan bahwa sebuah penyakit tidak ada obatnya.
Sebab ada dalil yang shahih yang menyebutkan bahwa Allah SWT tidak
menurunkan penyakit kecuali disertai juga dengan obatnya.
Sesungguhnya Allah SWT menurunkan penyakit dan obat,dan
menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Hendaklahkalian berobat, dan
janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR Abu
Dawud). Dengan hadits ini maka makan daging atau darah ular

4
Muhammad Sa’d al-Suyut}i (dikutip dari Ali Musthafa Yaqub), Mu'jizat fi-alTibb li-al-Nabi al-‘Arabi (Cairo:
Shirkat Maktabat Mustafa al-Babial-Halabi, 1944), cet.I, 84
5
5Sahal Mahfudh, Dialog dengan Kiai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat) (Surabaya: Ampel Suci Press,
2003), cet.II, 32
6
Lukmanudin, M Ikhwan.(2015). Legitimasi Hadis Pelarangan Penggunaan Alkohol dalam Pengobatan. Jurnal
of Qur’an and Hadith Studies. Vol. 4, No.1.

4
hukumnya haram. Walau pun tujuannya untuk berobat atau mencari
kesembuhan. Sebab tidak ada penyakit yang tidak ada obatnya. Dan obat
itu sudah diturunkan Allah SWT beserta dengan turunnya penyakit.
Tugas kita adalah menemukan obat yang telah Allah SWTturunkan.
Bukan menggunakan obat yang diharakamkan. Bahkan ada hadits yang
justru menyebutkan bahwa bila sesuatu makanan itu haram, maka pasti
bukan obat. Karena Allah SWT tidak pernah menjadikan obat dari
sesuatu yang hukumnya haram.
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah berkata, “Makan daging ular dan
kalajengking adalah haram menurut ijma’ ulama kaum muslimin.” [Al-
Fatawa: 11/609]Maka semakin jelas menurut pendapat ini bahwa
makan daging ular atau minum darahnya bukanlah sebuah upaya
penyembuhan yang benar. Karena obat itu tidak pernahditurunkan
kecuali berupa benda-benda yang halal.
2) Pendapatan yang Menghalalkan
Pendapat kedua yang menghalalkan berobat dengan sesuatu yang
haram, menggunakan dua dalil utama.
a. Dalil Kedaruratan
Dalam hukum syariat, ada kaidah bahwa sesuatu yang
dharurat itu bisa menghalalkan sesuatu yang dilarang. Ad-
Dharuratu tubihul mahdzurat. Selainitu Allah SWT telah
berfirman:
“Dan barangsiapa yang terpaksa pada (waktu)kelaparan dengan
tidak sengaja untuk berbuat dosa,maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun dan Maha Belas-kasih.”(QS. Al-Maidah: 3)
b. Rukhshah (Keringanan) di Masa Nabi
Selain itu mereka juga menggunakan kejadian di masa Nabi di
mana -menurut mereka-ada hadits-hadits yang membolehkan
berobat dengan benda najis dan haram, sebagai sebuah
keringanan atau Rukhshah. Untuk kepentingan mempertahan kan
hidupnya, dalam keadaan darurat, seseorang tidak hanya
diperbolehkan bahkan diwajibkan memakan benda yang
diharamkan dalam keadaan normal. Dalam keadaan terpaksa
perkara yang dilarang menjadi diperbolehkan. Oleh karena itu,
sebagaimana untuk menolak lapar dan dahaga dalam keadaaan
darurat diperbolehkan makan dan minum barang haram,
diperkenankan pula mengkonsumsi barang haram untuk
keperluan pengobatan, kecuali minuman keras. Dengan begitu,
minum darah kobra dapat dijadikan sebagai pengobatan
alternativ. Mengingat pembolehan ini termasuk rukhshah, maka
harus memenuhi dua persyaratan: a. Tidak ada alternatif lain
yang halal. b. Menurut dokter yang berkompeten, darah ular
kobra efektif menyembuhkan penyakit yang diderita.

C. Dalil-dalil Argumentasi (Pro-Kontra) Penggunaan Bahan Haram Sebagai Obat

5
Hukum penggunaan barang haram yang digunakan sebagai obat, sesuai
dalam QS. Al-Baqarah ayat 173 dan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam
kitab Sunannya adalah sebagai berikut:
ٰ ِ
ْ ‫ْخ ْن ِزيْ ِر َو َمٓا اُ ِه َّل بِهٖ لِغَْي ِر اللّ ِه ۚ فَ َم ِن ا‬
‫ضطَُّر‬ ِ ‫الدم ولَحم ال‬
َ ْ َ َ َّ ‫انَّ َما َح َّر َم َعلَْي ُك ُم ال َْم ْيتَةَ َو‬
‫اد فَٓاَل اِثْ َم َعلَْي ِه ۗ اِ َّن ال ٰلّهَ غَ ُف ْو ٌر َّر ِح ْي ٌم‬
ٍ ‫اغ وَّاَل َع‬
ٍ َ‫غَْي َر ب‬
Artinya: “Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging
babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah.
Tetapi barangsiapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan
tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang.”7

‫ بالحرام‬6‫اء فتداووا وال تداووا‬ ٍ ِ َّ ‫اء َو‬ َّ ‫ أَْن َز َل‬6‫إن اهلل تعالى‬
ً ‫اء َو َج َع َل ل ُك ِّل َداء َد َو‬
َ ‫الد َو‬ َ ‫الد‬
Artinya: "Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat, dan
menjadikan bagi setiap penyakit terdapat obatnya, maka berobatlah dan jangan
berobat dengan sesuatu yang haram!"

Pada kalimat ‫ بالحرام‬6‫ وال تداووا‬penggalan hadits tersebut menggunakan lafal fi’l al-
nahyi (larangan) yang menunjukkan larangan untuk berobat dengan menggunakan
sesuatu yang haram. Ibn Faris dalam kitabnya Mu‘jam Maqayis al-Lugah

mengatakan bahwa kata ‫ حرم‬menunjukkan pada makna al-Man‘u (larangan) dan al-
Tasydid penegasan.8 Sehingga dengan adanya larangan dan lafal ‫رم‬66 6 ‫ ح‬pada
penggalan hadis di atas dapat dipahami bahwa segala penyakit pasti ada obatnya,
baik itu dari sesuatu yang halal maupun zat yang haram. Tetapi dengan larangan itu
pula, membatasi seseorang untuk melakukan pengobatan hanya dengan sesuatu
yang halal saja tidak dengan sesuatu yang haram.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah Berkata: Rasulullah datang
di kota Madinah, dijumpai mereka pada minum minuman keras dan makan hasil
undian. Mereka bertanya kepada Nabi Muhammad saw tentang dua persoalan ini.⁵
Maka turunlah firman Allah surat al Baqarah ayat 219

‫س َواِثْ ُم ُه َمٓا اَ ْكَب ُر ِم ْن‬


ِ ۖ ‫ك َع ِن الْ َخ ْم ِر َوال َْم ْي ِس ۗ ِر قُ ْل فِ ْي ِه َمٓا اِثْ ٌم َكبِْي ٌر َّو َمنَافِ ُع لِلنَّا‬ َ َ‫لُ ْون‬6َ‫يَ ْس َٔٔـ‬
ِ ٰ‫ك يبيِّن ال ٰلّهُ لَ ُكم ااْل ٰي‬
‫م‬6ْ ‫ت لَ َعلَّ ُك‬ ِ ِ َ َ‫لُ ْون‬6َ‫َّن ْف ِع ِه َم ۗا َويَ ْس َٔٔـ‬
ُ ُ َُ 6َ ‫ك َماذَا ُي ْنف ُق ْو َن ەۗ قُ ِل ال َْع ْف ۗ َو َك ٰذل‬
‫َتَت َف َّك ُر ْو ۙ َن‬

7
Al-Qur’an dan Terjemahannya. Departemen Agama RI. (Bandung: Diponegoro, 2008).
8
Ahmad bin Faris bin Zakariyya al-Qazawaini al-Razi, Mu‘jam Maqayis al-Lugah, juz II (Dar al-Fikr, 1399 H /
1979 M), h. 45.

6
Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah:
"Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat.bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu
apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan."Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.
Akan tetapi dalam kehidupan mereka (sahabat Muhajirin) masih melakukan
perbuatan tersebut. Sampai terjadi sebuah peristiwa seorang Muhajirin mengerjakan
shalat dalam keadaan mabuk. Orang tersebut ia membaca surat Qur‟an campur
aduk (tidak karuan). Kemudian oleh mereka diperingatkan dengan turunnya firman
Allah surat an Nisa' ayat 43 sebagai berikut:

‫الص ٰلو َة َواَْنتُ ْم ُس َكا ٰرى َح ٰتّى َت ْعلَ ُم ْوا َما َت ُق ْولُْو َن َواَل ُجنُبًا‬ َّ ‫ن ٰا َم ُن ْوا اَل َت ْق َربُوا‬6َ ْ‫ٰيٓاَُّي َها الَّ ِذي‬
ٓ ٰ ‫اِاَّل َعابِ ِر ْي َسبِْي ٍل َح ٰتّى َت ْغتَ ِسلُ ْوا ۗ واِ ْن ُك ْنتُ ْم َّم ْر‬
‫ضى اَ ْو َع ٰلى َس َف ٍر اَ ْو َجاۤ َء اَ َح ٌد ِّم ْن ُك ْم ِّم َن‬ َ
‫س ُح ْوا بِ ُو ُج ْو ِه ُك ْم‬ ِ ‫الْغَاۤ ِٕى ِط اَو ٰلمستُم النِّساۤء َفلَم تَ ِج ُدوا ماۤء َفَتي َّمموا‬
َ ‫صع ْي ًدا طَيِّبًا فَ ْام‬
َ ُْ َ ً َ ْ ْ ََ ُ َْ ْ
‫م ۗ اِ َّن ال ٰلّهَ َكا َن َع ُف ًّوا غَ ُف ْو ًرا‬6ْ ‫َواَيْ ِديْ ُك‬
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang
kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,
(jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali
sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam
musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu Telah menyentuh
perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya
Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.
Al Syaroni mengatakan dalam kitab al Mizan bahwa al Aimmahal Arba‟ah
telah sepakat bahwa khamr adalah sesuatu yang haram dan Najis. Pada catatan
pinggirnya dari sunnah Ibnu Majjah, Sindi mengatakan: „tentang ucapannya „lalu
diharamkannya perdagangan minuman keras‟, memperingatkan bahwa minuman
keras dan riba itu sama dalam hukum haramnya. Meminum minuman keras
(usyribah) juga dinyatakan haram, baik mengkonsumsi sedikit atau banyak.
KESIMPULAN
Pada pemaparan materi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan barang
haram sebagai obat, adapun macam dari penggunaan barang haram sebagai obat,
diantaranya adalah Penggunaan Alkohol sebagai Obat dan Penggunaan darah Ular sebagai
Obat. Dalam pengaplikasiannya alkohol dibunakan sebagai campuran obat dan juga pada
obat luar.
Mengenai Pendapat Ulama tentang Penggunaan Bahan Haram Sebagai Obat ada
beberapa perbedaan pendapat. Pada Alkohol sendiri Sahal Mahfudh (w.2014 M)
mengungkapkan bahwa, sebagian ulama memaknai kata rijs dengan najis, sedangkan
Muhammad Sa’id al-Suyuti (w.1999 M) menyatakan bahwa alkohol adalah suci. Kemudian
pada Darah ular sebagai obat juga terdapat perbedaan pendapat ulama dalam memberikan

7
hukumnya, pendapat pertama Mengharamkan. Pendapat ini menyatakan bahwa apa pun
dalihnya, pokoknya haram hukumnya bagi seorang muslim memakan hewan yang sudah
diharamkan Allah untuk mengkonsumsinya. Kemudian pendapat yag ke dua
Menghalalkan dengan alasan Dalil Kedaruratan dan rukshah dimasa Nabi.

Dalam dalil argumen pro kontra penggunaan bahan haram sebagi obat ini
terdapat dua pendapat yang pertama adalah mengaramkan penggunaan bahan
tersebut, kemudian yang kedua diperbolehkan asal memperhatikan aspek yang
harus di penuhi Terdapat bahaya yang mengancam kehidupan manusia jika tidak berobat.
Tidak ada obat lain yang halal sebagai ganti obat yang haram. Adanya suatu pernyataan
dari seorang dokter muslim yang dapat dipercaya, baik pemeriksaannya maupun agamanya
(i'tikad baiknya)
REFERENSI

Abdul Wahab Abdussalam Thawilah, Fikih Kuliner, ( Jakarta : Pustaka Alkautsar,


2012), h. 99-100.

Ahmad Yasa. (2008). Menggugat Barang Haram dam Obat.


https://republika.co.id/berita/17587/menggugat-bahan-haram-dalam-obat,
diakses pada 30 September 2021 pukul 09.32.

Al-Qur’an dan Terjemahannya. Departemen Agama RI. (Bandung: Diponegoro,


2008).

Dicky Supermadi. Tinjauan Hukum Islam Tentang Jual Beli Ular (Studi di Kp, DS.
Pekayon, Kec. Sukadiri, Kab. Tangerang). (Thesis: UIN SMH Banten, 2019).

Hussein Bahreisy, Pedoman Fiqih Islam, Surabaya: al Ikhlas, 1981, hlm. 2

Lukmanudin, M Ikhwan.(2015). Legitimasi Hadis Pelarangan Penggunaan Alkohol dalam


Pengobatan. Jurnal of Qur’an and Hadith Studies. Vol. 4, No.1.

M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian Qur‟an), Jakarta:
Lentera Hati, Cet. ke-2, 2004, hlm. 192.

Majlis Tinggi untuk Urusan Keislaman Mesir, op. cit., hlm. 131-139.

Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, op. cit., hlm. 148. Lihat: al Bhukhari, loc. cit.

Muhammad Sa’d al-Suyut}i (dikutip dari Ali Musthafa Yaqub), Mu'jizat fi-alTibb li-
al-Nabi al-‘Arabi (Cairo: Shirkat Maktabat Mustafa al-Babial-Halabi, 1944),
cet.I, 84

Rohadi Abu Bakar, Asbabun Nuzul (Sebab-Sebab Turun Ayat-Ayat Qur‟an),


Semarang: Wicaksana Berkah Ilahi, Cet. ke-1, 1986, hlm. 159

8
Sahal Mahfudh, Dialog dengan Kiai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)
(Surabaya: Ampel Suci Press, 2003), cet.II, 32

Syekh Muhammad Yusuf al-Qardhawy, Al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, (Surabaya


: PT. Bina Ilmu, 1990), h. 93.

Anda mungkin juga menyukai