Anda di halaman 1dari 23

KEDUDUKAN HUKUM ALKOHOL DALAM

MAKANAN, KOSMETIKA DAN OBAT-OBATAN;


Oleh Dadang Syaripudin pada 19 Desember 2011 pukul 23:15

Dadang Syaripudin

ABTRACT

To determine characteristic and legal status of alcohol, we often related it to legal status of
khamr which is stated forbidden (haram) in Koran. Khamr contains a chemical intoxicate which
if someone drink it, he would be drunk. A chemical intoxicate in khamr or Bir is known alcohol.
Many Islamic jurists (fukaha) have different views in determining characteristic and legal status
of alcohol do to their different arguments, source of law, method, and interpretation approach
(istinbath al-ahkam). Based on their views, we can take several legal steadiness (tatbiq al-
ahkam) to be implemented in practice: (1) Khamr, alcohol, and other chemical intoxicates are
sterile and clean, fill they can be used as medicine such as antiseptic, cosmetic, and perfume; (2)
alcohol and chemical intoxicate are not a khamr or something like khamr. We can say that these
are forbidden (haram) because of their essential characteristic, but because of negative impact
that can make someone drunk. Although, alcohol and chemical intoxicate are not forbidden,
using it for medical interest must be controlled. Therefore, using alcohol and chemical intoxicate
as a drug is absolutely forbidden (haram mutlaq) due to their negative impact and their
destruction tendencies. These can be used only for medical interest under doctor or medical
specialist control.

Keywords:

Khamr, Alcohol, Chemical Intoxicate, Food, Cosmetic.

ABSTRAK
Dalam menentukan sifat dan kedudukan hukum alcohol sering dikaitkan dengan khamr yang
secara tegas dinyatakan haram oleh al-Qur’an. Hal ini mengingat bahwa khamr itu memiliki
potensi “memabukkan” (intoksikasi) bagi yang mengkonsumsinya, sedang-kan zat yang
menyebabkan mabuk yang terdapat dalam khamr itu, tak lain adalah alkohol. Terdapat
keragaman pendapat fuqaha dalam menetapkan sifat dan hukum alkohol sejalan dengan
ragamnya dalil dan sumber hukum serta metode dan pendekatan penafsiran hukum (istinbâth al-
ahkâm) yang digunakan. Dari sejumlah pendapat yang ada, dapat ditarik ketetapan untuk
diaplikasikan (tathbîq al-ahkâm), sebagai berikut: pertama, khamr, apalagi alkohol dan zat-zat
kimia lainnya adalah suci, tidak najis, sehingga dapat digunakan untuk obat-obatan antiseptik
(obat luar), kosmetika, dan farfum; dan kedua, alkohol dan zat-zat kimia bukanlah khamr dan
juga tidak diqiyaskan kepada khamr, sehingga keharamannya bukan bersifat dzatiyah (`ainy)
tetapi pada efeknya atau mabuk yang diakibatkannya. Namun demikian, karena alkohol dan zat-
zat kimia itu bersifat adiktif, penggunannya harus ter-kontrol. Oleh karena itu, penggunaan
alkohol untuk kenikmatan semata, sebagai bahan makanan dan minuman misalnya, hukumnya
haram karena cenderung mengarah pada kerusakan. Penggunaan-nya hanya dibolehkan untuk
kepentingan pengobatan yang dikon-trol dan dikendalikan dokter atau ahli pengobatan.

Kata-kata kunci:

Khamr, Alkohol, Obat, Makanan, Kosmetika.

A. Pendahuluan

Untuk mempertahankan hidupnya, manusia sebagaimana makhluk hidup lainnya, kapan dan di
manapun membutuhkan makanan dan minuman. Setiap makhluk hidup, pada dasarnya memiliki
hasrat yang sama untuk mempertahankan kehidupannya. Lebih-lebih manusia yang, dengan
kemampuan berpikirnya itu, bilamana sakit akan senantiasa berusaha untuk menyembuhkannya
dengan berbagai macam ramuan obat. Bahkan tidak hanya sampai di situ, manusia cenderung
untuk memperindah dan mencari kenyamanan dan ketentraman hidupnya dengan memelihara
dan mempercantik dirinya.

Makanan dan minuman merupakan kebutuhan dasar hidup manusia kapan dan di mana pun.
Begitu pentingnya makanan, sampai-samapai ada pepatah Jerman yang menyebutkan: “Man ist
was man isst” atau “You are what you eat”. Karakter manusia dibentuk atau terbentuk melalui
bahan dan sumber makanan yang dikon-sumsinya.

Dalam perpektif Islam, bahkan mungkin dalam kebanyakan agama-agama, memiliki arti penting
dalam arti doktrin dan tradisi keagamaan telah mecanakannya dalam kerangka membangun
keyakinan, perbuatan dan sikap mental manusia. Islam memberi batasan makanan/minuman
yang boleh dan tidak boleh dikon-sumsi dan bagaimana cara mengkonsumsinya. Singkatnya,
meng-konsumsi makanan terkait dengan kepatuhan sesorang terhadap ajaran agamanya yang
sekaligus memiliki konsekwensi teologis.

Kemajuan sains dan teknologi, memungkinkan penggunaan bahan-bahan makanan-minuman,


obat-obatan dan kosmetika semakin meluas dan beragam. Kenyataan ini, disatu sisi menggem-
birakan, namun bagi umat Islam perlu hati-hati karena tidak mustahil dalam bahan-bahan
tersebut terdapat zat yang diharam-kan atau setidaknya diragukan kehalalannya. Apalagi jika
bahan-bahan tersebut, diproduksi oleh produsen yang tidak mempersoal-kan halal-haram.

Zat yang dimaksud salah satunya adalah alkohol. Permasalahan alkohol sering dikaitkan dengan
khamr yang secara tegas dinyata-kan haram oleh al-Qur’an. Pengaitan tersebut cukup beralasan
karena keharaman khamar yang secara kronologis disebutkan al-Qur’an berhubungan dengan
potensi “memabukkan” (intoksikasi) jika dikonsumsi, sedangkan zat yang menyebabkan mabuk
yang terdapat dalam khamr itu adalah alkohol. Alam khamr sendiri terdapat unsur-unsur antara
lain: 1) air; 2) gula sebagai sisa yang tidak terfermentasi; 3) karbon dioksida (hasil fermentasi;
dan 4) adalah alkohol (etanol).

Permasalahannya adalah: 1) Bagaimana hukum keberadaan alkohol yang banyak terkandung


dalam sejumlah makanan, minuman, dan obat-obatan yang relatif sedikit dan tidak memabuk-
kan. 2) Bagaimana pula alkohol dalam kosmetika dan obat-obatan yang hanya dipakai di luar
badan.

1. B. Efek Alkohol dalam Tubuh

Pada umumnya, alkohol adalah zat cair (larutan) jernih yang memiliki bau dan rasa yang khas,
mudah terbakar dan menguap dengan titik didih 78 0C. Dalam ilmu Kimia, yang dimaksud
dengan alkohol adalah senyawa organik yang dalam struktur molekulnya memiliki gugus
hidroksil (OH) sehingga mudah larut dalam air dan dapat melarutkan lemak serta berbagai
senyawa organik lainnya. Sifat inilah yang membuat alkohol banyak digunakan sebagai
pelarut.[1]

Kedua, senyawa alkohol yang memiliki dua gugus hidroksil (OH). Senyawa yang paling
sederhana dari jenis keempat ini adalah etilen glikol yang beracun (toksis) sehingga tidak
digunakan dalam pengolahan makanan. Senyawa berikutnya adalah propilen glikol yang tidak
beracun sehingga banyak digunakan di industri makanan dan obat-obatan. Propilen glikol lazim
digunakan sebagai pengganti etanol untuk melarutkan flavor, pengemulsi (emulsifier), dan
penghambat pertumbuhan jamur.

Alkohol dapat dibuat dengan cara fermentasi atau melaui sintesis, tetapi secara medis alkohol
yang dapat digunakan dalam sediaan obat hanyalah alkohol yang diperoleh dari hasil fermentasi.
Pada dasarnya fermentasi dapat dibuat dari bahan pangan yang mengandung karbohidrat (zat
pati/gula) misalnya beras, ubi, jagung, gandum, kurma, dan berbagai jenis buah-buahan terutama
yang berasa manis. Dalam proses fermentasi, karbohidrat diubah menjadi alkohol dan gas karbon
dioksida oleh mikroba tertentu (Saccharomyces cereviciae). [2]

Pada proses fermentasi ini kadar alkohol tertinggi hanya mencapai 13 % karena pada kadar yang
lebih tinggi lagi enzim fermentasi menjadi tidak aktif. Dalam makanan tradisional seperti tape
kadar alkohol berkisar antara 4 – 6 % sedangkan pada buah anggur (table wine) biasanya sekitar
10 %. Untuk memperoleh kadar alkohol yang lebih tinggi lagi hingga 90 % atau 100 % harus
dilakukan distilasi alkohol hasil fermentasi.[3]

1. C. Efek Alkohol dalam Tubuh

Secara Farmakologis alkohol berpengaruh buruk bagi manusia secara menyeluruh jika masuk
dalam tubuhnya. Hampir semua organ utama terpengaruh oleh alkohol, terutama susunan syaraf
sentral (otak). Secara bertahap mulai dari keseimbangan, kontrol reflek dan motorik menjadi
menurun; penglihatan menjadi kabur; pembicaraan menjadi ngawur dan jalan menjadi
sempoyongan. Kondisi semacam inilah disebut dengan mabuk, yaitu kesadaran akalnya
menghilang sampai tidak menyadari apa yang dikatakan dan yang dilakukan.

Efek mabuk di atas itu terjadi, pada dasarnya bergantung pada kadar alkohol dalam darah atau
pada jumlah alkohol murni yang masuk dalam tubuh. Penelitian Farmakologis menunjukkan
bahwa seseorang akan mabuk kalau kadar alkohol murni dalam darah mencapai minimal 0,15 %
(0,15 gr/100 ml). Kadar ini dapat dicapai jika seseorang meminum alkohol murni sebanyak 60
ml atau lebih dalam tempo 1 jam. Hal ini berarti orang bisa mabuk sekalipun hanya
mengkonsumsi minuman/makanan beralkohol kadar rendah sekitar 5 % tetapi jumlah sampai
minimal 1.200 ml (60 : 0,05). Sebaliknya sekalipun yang dikonsumsinya minuman beralkohol
berkadar tinggi misalnya 40 %, tetapi karena jumlahnya kurang dari 150 ml (kurang dari satu
gelas biasa)., maka tidak akan mabuk.[4] Dengan perhitungan yang sama, orang akan mabuk
hanya dengan makan tape (kadar al-kohol 4 – 5 % ) sebanyak 1,5 kg. Tetapi tidak lazim karena
sebelum mabuk sudah kenyang terlebih dahulu.

Selain berpengaruh buruk pada otak, alkohol yang masuk dalam tubuh juga berpengaruh pada 1)
penimbunan lemak dalam hati, peradangan dan sirosis; 2) pengurangan kontraktilitas otot
jantung dan penurunan tekanan darah; 3) pertumbuhan janin tidak normal; 4) pengurangan nafsu
makan; dan 5) dapat menimbulkan kematian terutama, bila berinteraksi dengan obat penekan
saraf pusat (obat tidur, penenang) yang diminum bersamaan. Di samping itu alkohol
mengakibatkan toleransi, ketergantungan fisik dan psikis (addiksi dan habituasi) yang berakhir
dengan alkoholisme; suatu penyakit sosial yang amat berbahaya, sulit diobati dan banyak makan
korban.

Berat atau ringannya efek alkohol terhadap susunan saraf sentral (mabuk) sangat bergantung
pada kadar alkohol dalam darah atau bergantung pada jumlah alkohol murni yang diminum. Jika
kadar alkohol dalam darah mencapai mencapai 0,30 % orang akan benar-benar mabuk
(intoksikasi) dan selanjutnya akan mengalami pingsan jika kadar alkohol dalam darah mencapai
0,40 %. Akibat selanjutnya yang lebih fatal adalah kematian yang diakibatkan terganggunya
pusat kendali pernafasan bila kadar alkohol dalam darah telah mencapai 0,60 %.[5]

1. Alkohol dalam Makanan dan Minuman

Alkohol dapat ditemukan pada makanan yang dibuat dengan cara peragian (fermentasi) seperti
tape. Jenis tape yang banyak dikonsumsi adalah tape beras ketan dan tape singkong.[6]

1) Tape ketan, kandungan alkoholnya dapat mencapai 4 % tergantung pada cara pembuatan,
jenis beras ketannya, bahan pembungkus (daun pisang, daun bambu, daun jambu atau kantong
pelastik). Jika tape tersebut dilanjutkan proses peragiannya dalam wadah yang tertutup rapat,
seperti pada guci atau panci, cairan hasil fermentasi makin meningkat pula, kadar alkoholnya
dapat mencapai 12 % yang disebut sebagai arak. Di Bali arak tersebut dikenal dengan nama
“brem”, sebagai minuman khas tradisional Bali. Di Jepang, minuman seperti brem Bali tersebut
disebut “sake” dengan kadar alkohol lebih tinggi sekitar 20 %. Dari tape ketan putih, dapat
dibuat makanan padat, seperti “brem” makanan khas Jawa Timur.

2) Tape singkong, di daerah Jawa Barat dikenal dengan sebutan “peuyeum sampeu” rasanya
manis, tidak berair dengan kadar alkohol lebih rendah dari “peuyeum ketan”, sekitar 2 %. Tape
singkong di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur mempunyai kadar alkohol dan asam yang lebih
tinggi dan berair. Dari tape singkong ini dapat dibuat berbagai macam makanan, seperti suwar-
suwir makanan khas Jember, peuyeum bol dan colenak makanan khas Bandung, dan sebagainya.
Setelah dipanaskan, alkoholnya hampir semuanya menguap.

Selain tape yang terbuat dari beras ketan atau singkong, dari sari buah dapat juga dijadikan
minuman beralkohol seperti wine (cider), dari air tebu dapat dibuat “rum” atau “ciu”, dan dari
air kelapa, legen, atau tuak bahkan dari air susu, seperti kefir yang mengandung alkohol kurang
dari 1 %.

Air kelapa dan legen atau tuak dapat dengan mudah menjadi minuman beralkohol, dan jika
dibiarkan terus dapat berubah menjadi asam cuka setelah mengalami proses oksidasi atau
difermentasi oleh Bakteri pembentuk asam asetat. Tuak yang kadar alkoholnya dapat mencapai 5
% banyak digunakan untuk membuat roti panggang atau roti kukus (baakpao) sebagai bahan
pengembang dan pemberi rasa dan aroma yang khas. Asam asetat yang merupakan bahan kimia
yang dapat dihasilkan dari proses oksidasi alkohol banyak digunakan dalam berbagai jenis
makanan seperti acar, mayonaise dan lain-lain. Selama proses oksidasi tersebut, tidak semua
komponen alkohol (etanol) dapat diubah menjadi asam asetat, sekitar 0,2 – 0,5 % masih dalam
bentuk etanol.[7]

Pemakaian alkohol yang jelas-jelas tampak terutama dijumpai dalam bentuk minuman yang jika
dikelompokkan berdasarkan kandungan alkoholnya menjadi tiga kelompok:[8]
1) Minuman beralkohol kadar rendah, kandungan alkoholnya kurang dari 5 %, seperti bir
pada umumnya. Sedangkan bir hitam (stout mempunyai kadar alkohol lebih tinggi, yaitu berkisar
antara 6 – 8 %.

2) Minuman beralkohol kadar sedang, kandungan alkoholnya berkisar antara 6 – 20 % seperti


wine (anggur), brem Bali, arak, dan sake.

3) Minuman beralkohol kadar tinggi, dengan kandungan alkohonya lebih dari 20 % yang
biasanya berkisar antara 20 – 50 %, seperti whiskey, brandy, ciu, dan rum.

1. E. Alkohol dalam Obat dan Kosmetika

Penggunaan alkohol dalam sediaan obat, pada dasarnya meliputi beberapa fungsi yakni sebagai
berikut: 1) bahan berkhasiat; 2) pelarut; 3) pengawet (preservatif); 4) penyegar rasa (flavorant).

Penggunaan alkohol sebagai bahan berkhasiat (active substance) umumnya digunakan untuk
obat luar. Sekedar untuk menunjukkan contoh, misalnya: 1) alkohol 25 % digunakan untuk
kompres penurun suhu badan; 2) alkohol 50 % digunakan untuk mencegah biang keringat; 3)
alkohol 70 % digunakan desinfktans, dioleskan pada kulit sebelum diinjeksi untuk mencegah
infeksi. Berbagai jenis obat yang menggunakan alkohol sebagai bahan berkhasiat sebagaimana
disebutkan di atas bukan obat dalam yang ditelan melalui mulut. Sementara alkohol yang
digunakan dalam bentuk ijeksi (parenteral) jumlahnya sangat sedikit (hanya beberapa mililiter)
dan disuntikkan langsung kepada bagian tubuh yang sakit.

Dengan sifatnya yang mudah menguap dan dihilangkan, alkohol merupakan zat pelarut alternatif
berbagai senyawa organik termasuk obat-obatan. Itulah sebabnya alkohol digunakan secara luas
dalam pembuatan berbagai jenis sediaan obat (dosage form) baik tablet larutan ataupun injeksi.
Dalam bentuk sediaan obat tablet, alkohol digunakan untuk melarutkan zat aktif dan berbagai
bahan tambahan, sehingga zat aktif dapat bercampur homogen, misalnya bahan pengikat,
penyalut (coating), sehingga kadar obat dapat dipelihara (tidak berubah). Untuk selanjutnya
alkohol dengan mudah dapat hilang bersamaan dengan proses pengeringan.

Dalam bentuk sediaan obat larutan, alkohol digunakan untuk meningkatan kelarutan obat
(kosolven) dengan pelarut utama air. Bentuk sediaan larutan yang menggunakan kosolven dengan
kadar alkohol cukup tinggi (20 %) disebut eliksir, misalnya eliksir Parasetamol, eliksir Teofilin
Natrium Glisinat, dan eliksir Batugen (sediaan obat tradisional). Selain itu alkohol juga
digunakan untuk pelarut larutan injeksi, misalnya injeksi siklosporin.

Alkohol dapat berfungsi juga sebagai pengawet (preservatif). Dalam fungsinya sebagai pengawet
ini, kadar alkohol yang diperlukan cukup tinggi yakni 18 % atau lebih. Karena tingginya kadar
alkohol yang diperlukan, sehingga menjadi tidak baik bagi sediaan obat, sering digantikan oleh
senyawa lain seperti natrium benzoat, atau metilparaben. Dengan kata lain, alkohol yang lazim
digunakan dalam sediaan obat tidak berfungsi sebagai pengawet.
Selain itu, alkohol juga sering digunakan sebagai penyegar rasa (flavourant) agar obat larutan
lebih disukai pasien. Kebanyakan penyegar rasa berupa minyak atsiri yang tidak larut dalam air
tetapi larut dalam alkohol. Dalam fungsinya sebagai penyegar rasa ini, kadar alkohol yang
diperlukan relatif kecil berkisar antara 1 – 5 %.

Selain dalam sediaan obat, alkohol banyak digunakan dalam sediaan kosmetika. Etil asetat
sebagai senyawa turunan alkohol banyak digunakan sebagai pelarut kosmetika. Banyak sekali
kosmetika yang mengandung alkohol, terutama kosmetika dalam bentuk cair seperti parfum
semprot dan cat kuku. Zat wangi yang berupa minyak atsiri tidak larut dalam air, sebaliknya
mudah larut dalam alkohol. Memang bisa digantikan dengan amil alkohol atau menambahkan
surfaktans (solubilizer) tetapi setelah diaplikasikan meninggalkan bekas, residu yang menempel
di kulit atau pakaian sehingga kurang nyaman dan tidak disukai. Di luar sediaan obat dan
kosmetika, etil asetat ini juga digunakan sebagai bahan pengencer untuk cairan korektor dan lem.
Lem ini (sejenis aibon) banyak disalahgunakan dengan cara dihirup ke hidung sampai kering
yang juga bisa menimbulkan mabuk. Selain mabuk sudah barang tentu menimbulkan efek buruk
lainnya bagi organ tubuh yang menghirupnya, kebanyakan penggunanya saat ini adalah kalangan
anak jalanan.

1. Khamar dan Nabidz dalam al-Qur’an dan al-Sunnah

Baik al-Qur’an maupun al-Sunnah, kedua sumber hukum ini tidak menyebutkan alkohol, apalagi
mengharamkannya. Karena itu untuk mengetahui ketetapan hukum (halal/haram) atau sifatnya
(suci/najis) alkohol ulama fiqh selalu menghubungkannya dengan ketetapan hukum khamr yang
dinyatakan haram secara tegas dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Selain itu keharaman khamar
sering dikaitkan dengan potensinya yang dapat memabukkan dan zat penyebab mabuk dalam
khamar itu tak lain adalah alkohol.

Pengharaman khamr dilakukan secara bertahap, tidak sekaligus. Mula pertama sewaktu di
Makkah, turun ayat yang menjelaskan bahwa dari madu dan buah anggur itu dapat diolah
menjadi makanan-minuman yang memabukkan dan bisa juga menjadi makanan-minuman yang
menyegarkan atau menyehatkan.

)67 :16 ,‫سنًا إِنَّ فِي ذَ ِلكَ ََليَةً ِلقَ ْو ٍم يَ ْع ِقلُونَ (النخل‬
َ ‫سك ًَرا َو ِر ْزقًا َح‬ ِ ‫ت النَّ ِخي ِل َو ْاْلَ ْعنَا‬
َ ُ‫ب تَتَّ ِخذُونَ ِم ْنه‬ ِ ‫َو ِم ْن ثَ َم َرا‬

Kemudian disusul di Madinah, turun ayat yang menyatakan bahwa khamr dan perjudian
berdimensi ganda, ada keuntungannya, tetapi juga ada kerugiannya, namun kerugiannya jauh
lebih besar.

ُ‫اس َوإِثْ ُم ُه َما أ َ ْكبَ ُر ِم ْن نَ ْف ِع ِه َما َويَ ْسأَلُونَكَ َماذَا يُ ْن ِفقُونَ قُ ِل ْالعَ ْف َو َكذَلِكَ يُبَيِن‬ ٌ ِ‫يَ ْسأَلُونَكَ َع ِن ْال َخ ْم ِر َو ْال َم ْيس ِِر قُ ْل فِي ِه َما إِثْ ٌم َكب‬
ِ َّ‫ير َو َمنَافِ ُع ِللن‬
)219 :2 ,‫ت لَعَلَّ ُك ْم تَت َ َف َّك ُرونَ (البقرة‬ ِ ‫َّللاُ لَ ُك ُم ْاْليَا‬
َّ
‫‪Selanjutnya disusul dengan ayat yang membatasi waktu kebolehan orang meminum khamr‬‬
‫‪dengan melarang orang mabuk mendirikan shalat dan atau mendekati masjid.‬‬

‫َارى َحتَّى تَ ْعلَ ُموا َما تَقُولُونَ (النساء‪)43 :4 :‬‬


‫سك َ‬‫ص ََلة َ َوأ َ ْنت ُ ْم ُ‬
‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا ََل ت َ ْق َربُوا ال َّ‬

‫‪Terakhir, turunlah ayat yang secara tegas melarang atau mengharamkan minum khamr secara‬‬
‫‪tegas.‬‬

‫ان فَاجْ تَنِبُوهُ لَعَلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِلحُونَ (المائدة‪)90 : 5,‬‬


‫ط ِ‬‫ش ْي َ‬
‫س ِم ْن َع َم ِل ال َّ‬ ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا إِنَّ َما ْالخ َْم ُر َو ْال َم ْيس ُِر َو ْاْل َ ْن َ‬
‫صابُ َو ْاْل َ ْز ََل ُم ِرجْ ٌ‬

‫‪Selain khamr, masih banyak lagi jenis minuman yang beralkohol yang sudah dikenal pada zaman‬‬
‫‪nabi, antara lain seperti nabidz[9], `ashir (sari buah anggur).‬‬

‫‪Kebolehan meminum Nabidz dalam kadar/volume rendah‬‬

‫عن بن بريدة عن أبيه قال قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها ونهيتكم عن لحوم اْلضاحي‬
‫فوق ثَلث فأمسكوا ما بدا لكم ونهيتكم عن النبيذ إَل في سقاء فاشربوا في اْلسقية كلها وَل تشربوا مسكرا قال بن نمير في‬
‫روايته عن عبد هللا بن بريدة عن أبيه[‪]10‬‬

‫وحدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا وكيع عن إسماعيل بن مسلم العبدي عن أبي المتوكل الناجي عن أبي سعيد الخدري قال قال رسول‬
‫هللا صلى هللا عليه وسلم من شرب النبيذ منكم فليشربه زبيبا فردا أو تمرا فردا أو بسرا فردا[‪]11‬‬

‫عن عبد هللا بن بريدة عن أبيه قال قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم نهيتكم عن النبيذ إَل في سقاء فاشربوا في اْلسقية كلها‬
‫وَل تشربوا مسكرا[‪]12‬‬

‫عن عبد هللا بن عمرو قال لما نهى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم عن النبيذ في اْلوعية قالوا ليس كل الناس يجد فأرخص‬
‫لهم في الجر غير المزفت[‪]13‬‬

‫عن علقمة قال رأيت عبدهللا بن مسعود أكل طعاما ثم دعا بنبيذ فشربه فقلت رحمك هللا تشرب النبيذ واْلمة يقتدي بك فقال ابن‬
‫مسعود رأيت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يشرب النبيذ ولوَل أني رأيته يشرب ما شربته[‪]14‬‬

‫‪Dalam hal kedudukan hukum meminum khamr, ulama fiqh sepakat (ijma`) menyatakan‬‬
‫‪hukumnya haram, baik sedikit atau banyak, baik menyebabkan mabuk atau tidak bagi yang‬‬
‫‪meminum-nya. Memiminumnya termasuk dosa besar dan wajib dikenakan sanksi had‬‬
‫‪cambuk[15] bagi pelakunya serta kesaaksiannya tidak diakui secara hukum.‬‬

‫‪Akan tetapi dalam menetapkan batasan khamar (apakah yang dimaksud dengan khamr itu) dan‬‬
‫‪sifat dari khamr (suci atau najis) terjadi keragaman pendapat. Keragaman tersebut terjadi, karena‬‬
al-Qur’an[16] sendiri memang tidak memberikan penjelasan secara rinci dan pasti mengenai
pengertian, sifat dan dari bahan apakah serta dengan cara bagaimana khamr itu dibuat.

1. G. Batasan Khamr

Ibrahim al-Nakha`i, Abu Hanifah, Sufyan al-Tsawri, Ibn Abi Laila, Ibn Syubrumah dan
mayoritas fuqaha Kuffah[17] lainnya membatasi pengertian khamr itu hanya pada “buih yang
diambil dari perasan anggur yang dididihkan”.

]18[‫الخمر وهي عصير العنب إذا غلى واشتد وقذف بالزبد والعصير إذا طبخ حتى يذهب أقل من ثلثيه‬

‫ ولنا أنه اسم خاص‬... ‫مائيتها وهي النيء ماء العنب إذا صار مسكرا وهذا عندنا وهو المعروف عند أهل اللغة وأهل العلم‬
‫بأطباق أهل اللغة فيما ذكرناه ولهذا اشتهر استعماله فيه وفي غيره وْلن حرمة الخمر قطعية وهي في غيرها ظنية وإنما سمي‬
]19[ ‫خمرا لتخمره َل لمخامرته العقل‬

Karena itu menurut mereka sesuatu yang memabukkan bila diminum banyak, selama bukan
terbuat dari anggur, nabidz[20] misalnya sepanjang tidak sampai pada kadar yang memabukkan
hukumnya halal[21].

Pendapat di atas didasarkan pada kenyataan, bahwa kata “khamr” yang dikenal orang Arab pada
saat turun al-Qur’an -- khususnya ketika ayat yang mengharamkannya itu turun -- adalah
minuman yang dibuat dari anggur. Padahal saat itu, sudah dikenal beberapa jenis minuman lain
yang memiliki sifat dan potensi yang kurang lebih sama dengan khamar, seperti al-A`shir
(perasan buah), al-dabs (sirup/air madu), al-Khal. Penafsiran ini didukung oleh hadits
yang antara lain:

]22[‫الخمر من هاتين الشجرتين النخلة والعنبة‬

]23[‫الخمر بعينها حرام والسكر من كل شراب‬

]24[‫كل مسكر حرام‬

Pendapat ini diperkuat lagi dengan adanya ulama fiqh yang menjadikan khamr sebagai ashl
(pokok) dalam qiyas untuk mene-tapkan hukum berbagai jenis minuman, makanan atau bahkan
berbagai jenis bahan konsumsi. Dengan sendirinya mengakui bahwa nabidz, atau jenis minuman
lain yang jika diminum banyak mengakibatkan mabuk bukanlah khamr. Sebab andaikata khamr
itu mencakup seluruh yang memabukan, maka tidak perlu dilakukan qiyas.

Namun dalam hal ini, menurut madzhab Hanafi qiyas tidak bisa digunakan, karena keharaman
khamar itu terletak pada zatnya (`ayn) bukan terletak pada `illatnya yang memabukkan. Itulah
sebabnya dinyatakan oleh Allah sebagai rijs, dan juga terdapat sunnah mutawatir yang
mengharamkannya disertai ijma` karena dengan mengkonsumsi sedikit akan mendorong untuk
mengkon-sumsi lebih banyak lagi. Karena tidak bisa dita`lil, maka hukumnya itu tidak bisa
dikembangkan kepada setiap yang memabukkan. Mengqiyaskan setiap yang memabukkan
kepada khamar adalah terlalu jauh dan menyalahi al-Sunnah al-Masyhurah serta penetapan
`illatnya pun berdasarkan pada nama, bukan pada hukum[25].

Sementara menurut jumhur fuqaha – sekalipun berbeda dalam metode istinbathnya -- seperti
Mâlik[26] dan Fuqaha madzhab Hanbali[27] yang berpendapat, bahwa khamar itu ada
mencakup ber-bagai jenis minuman yang memabukkan sekalipun bukan berasal dari perasan
buah anggur. Sedangkan menurut al-Syafi`i setiap jenis minuman apapun asalkan memiliki
potensi yang sama dengan khamar (memabukkan) dapat dihukumi sama (qiyas, analog) dengan
khamar. Pendapat jumhur ini didasarkan kepada hadits:

]28[‫كل شراب أسكر فهو حرام‬

]29[‫كل مسكر خمر وكل مسكر حرام‬

]30[‫ما أسكر كثيره فقليله حرام‬

Selain itu, menurut Ibn Taymiyyah[31] ayat yang mengharamkan khamar secara tegas itu turun
di madinah, sementara di madinah saat itu tidak dikenal minuman lain selain nabidz yang terbuat
dari buah kurma. Karena dari nabidz yang biasa ini bila didiamkan lebih dari tiga hari akan
berubah keras atau menjadi khamar yang memabukkan itu.

Dari perbedaan tersebut, menimbulkan perbedaan sanksi hukum yang diancamkan kepada
peminumnya. Dalam madzhab Hanafi, dikenal dua macam sanksi, yaitu had al-Syurbi khusus
untuk orang yang minum khamr baik minumnya sampai mabuk atau tidak dan had al-sakri untuk
orang yang minum minuman apapun (selain khamr) yang mengakibatkan mabuk, nabidz
misalnya[32]. Sementara di dalam madzhab-madzhab lain, hanya dikenal had al-Syurbi saja,
karena kata khamr mencakup segala sesuatu yang memabukkan.

Meminum nabidz dalam kadar yang memabukkan dikenakan sanksi sebagaimana minum khamr
serta ditolak kesaksiannya secara ijma`. Tetapi jika meminumnya itu tidak sampai mabuk, terjadi
lagi keragaman pendapat[33].

Pertama, menurut Malik ibn Anas[34], hukumnya tetap haram dan termasuk dosa besar, karena
itu harus dijatuhi sanksi had dan tidak bisa diterima kesaksiannya. Kedua, menurut madzhab al-
Syafi`i, termasuk dosa kecil, karena itu tidak dikenakan sanksi had dan kesaksiannya dapat
diterima[35]. Ketiga, menurut Abu Hanifah, hukumnya boleh. Kebolehan ini selanjutnya di
kalangan ulama madzhab Hanafi disyaratkan untuk sesuatu yang bermanfa`at, bukan untuk
kesenangan semata. Berdasarkan periwayatan yang diakui kesahihannya oleh madzhab Hanafi,
bahwasanya para pembesar shahabat seperti Umar ibn al-Khaththab, Ali ibn Abi Thalib,
`Abdullah ibn Mas`ud, Abu Mas`ud menghalalkan nabidz, demikian pula al-Sya`bi dan al-
Nakha`i[36]
‫عن علقمة قال رأيت عبدهللا بن مسعود أكل طعاما ثم دعا بنبيذ فشربه فقلت رحمك هللا تشرب النبيذ واْلمة يقتدي بك فقال ابن‬
]37[‫مسعود رأيت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يشرب النبيذ ولوَل أني رأيته يشرب ما شربته‬

Sedangkan menurut Ahmad ibn Hanbal dalam hal peminum nabidz yang tidak sampai mabuk ini,
banyak versi periwayatan. Menurut riwayat Ibn Abi Musa[38], Ahmad ibn Hanbal menolak
kesaksiannya karena dianggap fasiq. Sedangkan menurut riwayat al-`Abbas ibn Muhammad,
membolehkan kesaksiannya hanya saja ia tidak mau shalat di belakangnya (menjadi makmum)
jika kebetulan mendapatinya dalam shalat berjamaa`ah. Secara umum Ahmad Ibn Hanbal[39]
mengharamkan nabidz yang sudah lebih dari tiga hari atau yang diproses dengan dididihkan
terlebih dahulu.

Persoalan lain menyangkut khamr ini adalah mengenai sifatnya, apakah najis secara dzatiyah
(`ayni) atau hukmi. Perbedaan ini disebabkan, oleh perbedaan penafsiran terhadap kata “rijs”
dalam Q.S. al-Mâidah [5]: 90.

ُ‫ان فَاجْ تَنِبُوه‬


ِ ‫ط‬َ ‫ش ْي‬
َّ ‫س ِم ْن َع َم ِل ال‬ َ ‫ِإنَّ َما ْال َخ ْم ُر َو ْال َم ْيس ُِر َو ْاْل َ ْن‬
ٌ ْ‫صابُ َو ْاْل َ ْز ََل ُم ِرج‬

Ulama yang berpendapat bahwa khamr itu najis ayni, di samping didasarkan pada rijs dalam ayat
di atas, sebagai najis `ayni yang karena itu harus dijauhi[40] bahkan menurut fuqaha madzhab
Hanbali haram disentuh sebagaimana pula haram diminum[41], juga didasarkan pada beberapa
periwayatan hadits yang melarang menggunakan peralatan makan dan minum ahlulkitab karena
mereka suka makan daging babi dan minum khamr, kecuali kalau tidak ada dan harus dibasuh
terlebih dahulu.

‫عن الخشني قال قلت ثم يا رسول هللا إنا نخالط المشركين وليس لنا قدور وَل آنيتهم قال فقال استغنوا عنها ما استطعتم فإن لم‬
]42[‫تجدوا فارحضوها بالماء فإن الماء طهورها ثم اطبخوا فيها‬

‫ إن وجدتم غيرها‬.‫ م‬. ‫إنا نجاور أهل الكتاب وهم يطبخون في قدورهم الخنزير ويشربون في آنيتهم الخمر فقال رسول هللا ص‬
]43[‫فكلوا فيها واشربوا وإن لم تجدوا غيرها فارحضوها بالماء وكلوا واشربوا‬

Sementara itu, ulama yang berpendapat bahwa rijs dalam ayat di atas adalah najis hukmi, maka
berpendapat khamr itu suci[44]. Kata rijs dalam ayat tersebut, tidak hanya menjadi sifat dari
khamr, tetapi juga menjadi sifat al-maysir, al-anshab, al-ajlam; ternyata tidak ada seorang pun
yang berpendapat ketiga benda itu najis. Sebagaimana juga kata rijs dalam surat al-Taubah, 9: 28
dan 95 yang menyatakan bahwa orang musyrik itu najis, dan juga orang munafik itu rijs. Selain
itu mereka beralasan pula dengan riwayat yang menerangkan bahwa ketika ayat yang
mengharamkan khamr itu turun, para shahabat serentak menumpahkannya di jalan-jalan di kota
Madinah, andaikata najis niscaya nabi melarangnya[45].
Bagaimana halnya dengan alkohol atau zat-zat kimia lainnya yang sudah banyak dipakai dalam
berbagai kebutuhan hidup manusia, seperti dalam obat-obatan antiseptic, kosmetika atau parfum
dan sebagainya ?

Tampaknya dari kedua pendapat di atas pendapat yang menyatakan bahwa khamr itu suci --
apalagi alkohol – yang harus diambil. Sesuai dengan prinsip al-yusr (kemudahan) dan `adam al-
haraj dalam hukum Islam. Sebaliknya, jika dihukumi najis yang, karenanya tidak boleh
digunakan akan menghadapi berbagai kesulitan.

1. H. Thurûq al-Istinbâth: Metode Penalaran hukum

Persoalan selanjutnya, bagaimana hukumnya jika alkohol dan zat-zat kimia lainnya terdapat
dalam bahan-bahan makanan atau obat-obatan yang dimakan, diminum, disuntikkan, dan
sebagainya sebagai obat dalam?

Bertolak dari batasan dan keragaman dasar hukum, dalam menetapkan status hukum alkohol
dan zat-zat kimia lain yang memiliki potensi yang kurang lebih sama dengan khamr, ulama fiqh
menempuh beberapa metoda dan pendekatan penalaran hukum (thuruq al-istinbath)[46]:

Pertama, pendekatan bayani, bertolak dari makna kebahasaan dari sebuah nash. Dalam hal ini
khamr tidak dibatasi hanyalah jenis minuman sebagaimana yang dikenal masyarakat Arab, tetapi
menurut Malik dan Ahmad ibn Hanbal setiap jenis minuman yang berakibat pada tertutupnya
kemampuan (mabuk) akal pikiran. Lebih tegas lagi menurut Ibn Taymiyah mencakup
segala yang memabukan jika diminum, dimakan, termasuk yang dihirup[47] masuk dalam
pengertian khamr. Karena itu, bagi para pengguna metode dan pendekatan semacam ini,
ketetapan hukum diambil berikut konsekwensi-konsekwensi lanjutannya, ditetapkan berda-
sarkan nash (baca: makna kebahasaan) bukan ijtihad (baca: makna rasional, `illat)[48]. Padahal
sebenarnya itu masuk dalam kategori ijtihad juga, yaitu ijtihad bayani.

Kedua, Pendekatan Ta`lili, bertolak dari makna rasional (`illat al-hukm, rasio legis) sebuah nash
(perintah, larangan atau petunjuk). Melaui pendekatan semacam ini dapat ditempuh salah satu
dari dua metode, yaitu qiyas dan istihsan, sesuai dengan kasus hukum dan tuntutan yang
dihadapi. Dalam hal ini, yang menjadi rasio legisnya adalah memabukan (al-muskir). Alkohol
ataupun zat-zat kimia lainnya (padat, cair, gas) yang memiliki kesamaan sifat dengan khamr,
memiliki kemampuan yang sama atau menimbulkan efek yang sama yaitu memabukkan bagi
para pemakainya (dimakan, diminum, dihisap, disuntik dan sebagainya) hukumnya sama dengan
khamr, haram secara dzatiyah (`aini). Ijtihad semacam ini dalam istilah al-Dualibi, sebagai
ijtihad qiyasi[49]

Dengan menggunakan pendapat jumhur, berdasarkan metode dan pendekatan yang kedua,
apalagi yang pertama, maka alkohol dan zat-zat kimia lainnya yang bersifat adiktif, haram secara
mutlak untuk digunakan (dimakan, diminum, dihisap, disedut melalui hidung, diinfuskan,
disuntikan atau dimasukan kedalam tubuh manusia), termasuk untuk kepentingan
pengobatan. Karena terdapat banyak hadits yang melarang menggunakan khamr atau sesuatu
yang diharamkan sebagai obat.

]50[‫إن هللا لم يجعل شفاءكم في حرام‬

]51[‫انه ليس بدواء ولكنه داء‬

]52[‫إن هللا أنزل الداء والدواء وجعل لكل داء دواء فتداووا وَل تداووا بحرام‬

Sementara itu, obat-obatan dan proses pengobatan (bedah) tidak dapat menghindari alkohol atau
zat-zat kimia yang kurang lebih memiliki kesamaan sifat dengan khamr. Karena jika pendapat
jumhur di atas yang dipertahankan, manusia akan menghadapi kesulitan hidup, bahkan mungkin
sampai keterancaman jiwa.

Ketiga, pendekatan istishlâhi, pada dasarnya syari`ah itu bertu-juan untuk menciptakan
kemaslahatan dan menolak kerusakan.[53] Melalui pendekatan ini bisa dipakai beberapa metode
sesuai dengan kasus hukum dan tuntutan yang dihadapi, bisa pakai metode istishlah (mashâlih
al-mursalah), al-dzarâ`i (fath al-dzarî`ah atau syadz al-dzarî`ah) dan istishhâb. Ijtihad semacam
ini oleh al-Dualibi, dikategorikan sebagai ijtihad itishlahi[54]. Namun demikian, metode dan
pendekatan yang ketiga ini, tidak berarti mengesampingkan analisis kebahasaan, justru bertolak
dari analisis kebahasaan dalam rangka menangkap atau menemukan motif, tujuan, hikmah atau
ide yang mendasari hukum (nash, perintah dan larangan).

Dalam hal ini, misalkan sekalipun secara lughawi alkohol atau zat-zat kimia lainnya tidak
tercakup dalam makna “khamr” atau tidak diqiyaskan kepada khamr, sehingga keharamannya
tidak bersifat dzatiyah (`ayni) tetapi tergantung pada efek yang ditimbul-kannya (mabuk atau
tidaknya) sebagaimana pendapat Abu Hanifah. Bukan berarti alkohol dan zat-zat kimia tersebut
bisa dikonsumsi secara bebas hanya untuk keni`matan atau kesenangan semata. Akan tetapi
kemudian harus dilanjutkan dengan penin-jauan; apakah dengan mengkonsumsinya itu akan
menciptakan peluang kemaslahatan atau kerusakan. Jika akan menimbulkan kerusakan, karena
akan meng-akibatkan ketagihan, cenderung untuk mengkonsumsi terus dalam kadar yang
semakin meningkat, sehingga pada akhirnya akan mabuk-mabuk juga. Maka mengkon-sumsi
alkohol dan zat-zat kimia yang bersifat adiktif itu menjadi haram. Keharamannya itu berda-
sarkan metode sadd al-dzarî`ah.

Karena itu, alkohol dan zat-zat kimia yang bersifat adiktif tersebut, haram hukumnya jika
dikonsumsi secara bebas sebagai bahan makanan dan minuman, hanya untuk keni`matan dan
kese-nangan semata. Sedangkan alkohol yang terdapat dalam obat-obatan dan digunakan untuk
kepentingan berobat atau proses pengobatan, termasuk juga proses rehabilitasi pecandu narkoba,
itu dibolehkan, karena akan mengarah pada kemashlahatan (kesehatan). Inipun harus terkontrol
dengan menggunakan jasa doktor atau ahli.

1. I. Penutup
Dengan demikian dari sekian pendapat dengan memper-timbangkan berbagai argumentasinya
serta diproyeksikan kepada permasalahan dan tututan yang dihadapi, yang memungkinkan untuk
diambil/dipilih (ditarjih), untuk kemudian ditetapkan adalah:

1) bahwa khamr, apalagi alkohol dan zat-zat kimia lainnya adalah suci, tidak najis, sehingga
dapat digunakan untuk obat-obatan antiseptic (obat luar), kosmetika, farfum dan sebagainya.

2) bahwa alkohol dan zat-zat kimia bukanlah khamr dan juga tidak diqiyaskan kepada khamr,
sehingga keharamannya bukan bersifat dzatiyah (`ainy) tetapi pada efek atau kadar yang
memabukkan. Namun demikian, karena alkohol dan zat-zat kimia itu bersifat adiktif, maka
penggunannya tidaklah bebas, tetapi harus terkontrol. Karena itu, penggunaan alkohol untuk
keni`matan semata, sebagai bahan makanan dan minuman misalnya, hukumnya haram karena
cenderung mengarah pada kerusakan. Penggunaannya hanya dibolehkan untuk kepen-tingan
pengobatan dibawah kontrol dan kendali dokter atau ahli pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA

`Abd al-Qâdir `Awdah, al-Tasyrî` al-Jinâ’î al-Islâmî Muqâranan bi al-Qânûn al-Wadh`î,


Bayrût: Muassasat al-Risâlat, 1992.

`Abdullah ibn Ahmad ibn Qudâmah al-Maqdîsî, Al-Mughnî fi Fiqh al-Imâm Ahmad Ibn Hanbal
al-Syaybânî, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1405.

Abû al-Hasan al-Mâlikî, Kifâyat al-Thâlib al-Rabbânî li Risâlah Abi Zayd al-Qayrwanî, Bayrût:
Dâr al-Fikr, 1412, Pentahqiq: Yûsuf al-Syaykh Muhammad al-Biqâ`î.

Achmad Mursidi. “Alkohol dalam Obat dan Kosmetika” dalam Jurnal Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam, edisi ke-4 Juli 2002, Yogyakarta: Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran
Islam.

Al-Marghînânî, Alî ibn Abî Bakr ibn `Abd al-Jalîl, Abû al-Husayn, Bidâyat al-Mubtadî fî Fiqh
al-Imâm Abî Hanîfah, Kairo, Mathba`ah Muhammad Alî Shâbih, 1355, Cet. I, Pentahqiq: Hâmid
Ibrahim Karsûn dan Muhammad `Abd al-Wahâb Buhayri.

___________, al-Hidâyah Syarh Bidâyat al-Mubtadî, Bayrut: Al-Maktabah al-Islamiyah, t.th.

`Ali ibn Sulayman al-Mardawî, Abû al-Hasan, al-Inshâf fi ma`rifat al-Râjih min al-Khilâf `ala
madzhab al-Imâm Ahmad ibn Hanbal. Bayrût: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-`Arabî. Pentahqiq:
Muhammad Hamid al-Faqi.
Departemen Kesehatan RI. 1995, Farmakope Indonesia, edisi IV, Jakarta: t.pn, t.th.

Fessenden and Fessenden, Kimia Organik, edisi Ke-3, alih bahasa: A.H. Padjaatmaka, Jakarta:
Erlangga, t.th.

Ibn Taymiyyah, Ahmad `Abd al-Halîm al-Harânî, Abû al-`Abbâs. Kutub wa Rasâil wa Fatawâ
Ibn Taymiyyah fi al-Fiqh. t.tp: Maktabah Ibn Taymiyyah. t.th, Pentahqiq: `Abd al-Rahmân
Muhammad Qâsim al-Hanbalî.

Ibrahim ibn `Alî al-Sirâjî, al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imâm al-Syâfi`î, Bayrût: Dâr al-Fikr, t.th.

Kapti Rahayu Kuswanto, “Penggunaan Alkohol dan Bahan Tambahan pada Makanan dan
Minuman” dalam jurnal Tarjih, edisi IV, Juli 2002, Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran
Islam – Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Yogyakarta: 2002.

M. Ma`ruf al-Dualibi, al-Madkhal ila `ilmi Ushûl al-Fiqh, t.tp: Mathba`ah Jami`ah Dimasq, t.th,
Cet. II

Mâlik ibn Anas, al-Mudâwanah al-Kubrâ, Bayrût: Dâr al-Shadar, t.th

Manshûr ibn Yûnus ibn Idrîs al-Bahûthî, Kasyâf al-Qinâ` `an matn al-Iqnâ. Bayrût: Dâr al-Fikr.
1402. Pentahqiq: Halâl Mushaylihi Musthafa.

Muhammad Amin, al-Hasyiyah Rad al-Mukhtar `ala al-Dar al-Mukhtar; Syarh Tanwîr al-
Abshâr. Bayrût: Dar al-Fikr, 1386, Cet. Kedua.

Muhammad `Arafah al-Dasûqî, Hâsiyah al-Dasûqî `alâ al-Syarh al-Kabîr, Bayrût: Dâr al-Fikr,
t.th., Ditahqiq oleh: Muhammad `Ilyâs.

Muhammad ibn `Abd al-Rahmân al-Maghribî, Mawâhib al-Jalîl, Bayrût: Dâr al-Fikr, 1398 H.

Muhammad ibn Ahmad ibn Abî Bakr ibn Farah al-Qurthubî, Tafsîr al-Qurthubî, al-Qâhirah: Dâr
al-Sya`b, 1372 H.

Muhammad ibn Ahmad al-Syâsyî al-Qaffal, Hilyah al-`Ulamâ fi Ma`rifah Madzâhib al-Fuqahâ,
Bayrût, Amman, Urdun: Muassasah al-Risâlah, Dâr al-Arqam, 1400, Cet. I, Pentahqiq: oleh:
Yâsin Ahmad Ibrahim Daradakah

Muhammad ibn `Alî al-Syawkânî, Fath al-Qadîr, Bayrût: Dâr al-Fikr, t.th.

Muslim ibn al-Hajaj al-Naysabûri, Shahîh Muslim, (Bayrût: Dâr Ihyâ al-Turâts al-`Arabi),
ditahqiq oleh: M. Fuad A. Baqi.

Shâlih `Abd al-Samî` al-Abi al-Azharî, al-Tsamar al-Dânî fi Taqrîb al-Ma`âni Syarh Risâlah Ibn
Abi Zayd al-Qayrwânî, Bayrût: Al-Maktabah al-Tsaqafiyah, t.th.
Sulaymân bin Ahmad bin Ayûb Abû al-Qâsim al-Thabrânî, al-Mu`jam al-Kabîr, (Mawshul:
Maktabah al-`Ulum wa al-Hukm, 1983

Zayn bin Ibrahim bin Muhammad bin Muhammad bin Bakar, al-Bahr al-Râiq, Bâyrût: Dâr al-
Ma`rifah, t.th.

[1] Terdapat banyak jenis senyawa alkohol yang, secara garis besarnya terbagi ke dalam dua
kelompok. Pertama senyawa alkohol yang memiliki satu gugus hidroksil (OH). Senyawa yang
paling sederhana adalah metil alkohol (metanol) yang terdiri dari gugus CH3 (metil) dan OH
(hidroksil). Metanol adalah senyawa alkohol yang beracun yang karenanya tidak dapat
dikonsumsi langsung ataupun tidak langsung sehingga tidak digunakan dalam pengolahan
makanan. Senyawa berikutnya adalah etil alkohol (etanol) dengan rumus kimia C2H5OH. Etanol
adalah senyawa akohol yang tidak beracun tetapi dapat memabukkan. Senyawa berikutnya
adalah propil alkohol dan isopropil alkohol yang tidak beracun dan tidak memabukkan namun
memiliki rasa yang tidak enak. Kedua adalah jenis alkohol yang memiliki dua gugus hidroksil
(OH). Senyawa yang paling sederhana dari jenis keempat ini adalah etilen glikol yang beracun
(toksis) sehingga tidak digunakan dalam pengolahan makanan. Senyawa berikutnya adalah
propilen glikol yang tidak beracun sehingga banyak digunakan di industri makanan dan obat-
obatan. Propilen glikol lazim digunakan sebagai pengganti etanol untuk melarutkan flavor,
pengemulsi (emulsifier), dan penghambat pertumbuhan jamur. Departemen Kesehatan RI. 1995,
Farmakope Indonesia, edisi IV, (Jakarta: t.pn, t.th.), h. 712.

[2] Fessenden and Fessenden, Kimia Organik, edisi Ke-3, alih bahasa: A.H. Padjaatmaka,
(Jakarta: Erlangga, t.th), h.. 267-269

[3] Ibid., h. 269.

[4] Achmad Mursidi. “Alkohol dalam Obat dan Kosmetika” dalam Jurnal Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam, edisi ke-4 Juli 2002, (Yogyakarta: Majlis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam), h. 30-31.

[5] Ibid., h. 32.


[6] Kapti Rahayu Kuswanto, “Penggunaan Alkohol dan Bahan Tambahan pada Makanan dan
Minuman” dalam jurnal Tarjih, edisi IV, Juli 2002, Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran
Islam – Pimpinan Pusat Muhammadiyah. (Yogyakarta: 2002), h. 55-56.

[7] Ibid., h.55.

[8] Ibid., h.54.

[9] Dikenal banyak macam dan sebutannya; tidak kurang dari empat belas macam nabidz, yaitu:
1) al-Fadhih yaitu nabidz yang terbuat dari kurma muda yang dipecah/diremuk kemudian
disiram/direndam air; 2) al-Bat` yaitu nabidz yang terbuat dari madu; 3) al-Tarar nabidz yang
terbuat dari gandum dan jelai; 4) al-Ghubayra’ nabidz khas orang Etiofia yang dibuat dari biji-
bijian; 5) al-Sukrukah nabidz sejenis dengan al-Ghubayra yang dikenal di Arab; 6) al-Mughir
nabidz yang diproses dengan dipanaskan di atas api hingga gosong; 7) al-Ju`ah nabidz yang
dibuat jelai; 8) al-Badiq; 9) al-Thila`; 10) al-Nahtaj; 11) al-Jumhuriy (ke-8 s.d. ke 11 nabidz
dibuat dengan cara direbus sampai airnya tersisia ½ atau 1/3 bagian; 12) al-Miza nabidz terbuat
dari kurma muda; 13) al-Miqda nabidz khas di salah satu daerah di Damaskus; dan 14) al-`Ishf
(nabidz yang dibuat dari anggur yang diremas kemudian dimasukkan ke dalam bejana lalu
didihkan atau kadang juga dibuat dari sari buah kurma. Muhammad ibn `Abd al-Rahmân al-
Maghribî, Mawâhib al-Jalîl, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1398 H), j. III, h. 233.

[10] Muslim ibn al-Hajaj al-Naysabûri, Shahîh Muslim, (Bayrût: Dâr Ihyâ al-Turâts al-`Arabi),
ditahqiq oleh: M. Fuad A. Baqi, j. II, h. 672; j. III. H. 1363

[11] Ibid., j. III, h. 1575

[12] Ibid., j. III, h. 1584

[13] Ibid., j. III, h. 1585


[14] Ahmad ibn `Abdullâh al-Ashbahânî, Musnad al-Imâm Abû Hanîfah, (Riyâdh: Maktabah al-
Kawtsar, 1415), Pentrahqiq: Nazhar Muhammad al-Farayabi. Cet. I, h. 82.

[15]Jumhur fuqaha, menetapkan sebanyak 80 kali dera disamakan dengan had qadzf
sebagaimana yang telah disepakati semenjak masa khalifah `Umar ibn al-Khaththab. Sementara
sebagai ulama madzhab Syâfi`î berpendapat sebanyak 40 kali dera yang didasarkan pada hadits
riwayat Muslim, Ahmad, Abû Dâwud, al-Turmûdzî dan al-Nasâ'i dari Anas ibn Mâlik.

[16] Kata yang berakar dari kha-mim-ra disebut di dalam al-Qur’an sebanyak 7 (tujuh) kali. Tiga
kali disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 219 dan al-Mâidah [5]: 90 dan 91 yang menjelaskan
sifat dan hukum meminumnya. Satu kali dalam surat Muhammad [47]: 15 yang menjelaskan
bahwa khamr itu merupakan salah satu jenis minuman yang disediakan bagi penghuni syurga.
Dalam surat Yûsuf, 12: 36 dan 41, kata al-khamr digunakan dalam dialog antara Nabi Yûsuf a.s.
dengan dua orang pemuda yang sama-sama dipenjara; pada ayat 36 berisikan pertanyaan dua
orang pemuda mengenai takwil mimpi dan pada ayat 41 berupa jawaban atau penjelasan dari
Nabi Yûsuf mengenai arti mimpi tersebut. Sedangkan dalam surat al-Nûr [24]: 31 kata khumuri
(bentuk jamak dari: khimar) yang berarti penutup sebagai bagian dari pakaian wanita.

[17] Muhammad ibn Ahmad ibn Abî Bakr ibn Farah al-Qurthubî, Tafsîr al-Qurthubî, (al-
Qâhirah: Dâr al-Sya`b, 1372 H) j. VI, h. 294-295.

[18] Al-Marghinânî, Bidâyat al-Mubtadî, (Kairo: Mathba`ah Muhammad Ali Shabih,


t.th), h. 226. Zayn bin Ibrâhîm bin Muhammad bin Muhammad bin Bakar, al-Bahr al-Râiq,
(Bâyrût: Dâr al-Ma`rifah, t.th), j. VIII, h. 247. Cf. `Abd al-Qâdir `Awdah, al-Tasyrî` al-Jinâ’î al-
Islâmî Muqâranan bi al-Qânûn al-Wadh`î, (Bayrût: Muassasat al-Risâlat, 1992), jilid II, h. 498.

[19] Al-Marghînânî, al-Hidâyah Syarh Bidâyat al-Mubtadî, Bayrut: Al-Maktabah al-Islamiyah,


t.th), j. IV, h. 108.

[20] Menurut Ibn Jarir, Nabidz itu berasal dari kata al-Nabdz yang berarti buangan, lemparan
atau yang terjatuh. Dari sini digunakan untuk menyebut kurma atau anggur kering yang dilempar
(direndam) ke dalam air, disebut al-Nabidz. Lihat Muhammad ibn `Alî al-Syawkânî, Fath al-
Qadîr, (Bayrût: Dâr al-Fikr, t.th.), j. I, h. 118.

[21] Muhammad ibn Ahmad ibn Abî Bakr ibn Farah al-Qurthubî, op. cit., j. III, h. 52.

[22] Shahîh Muslim, j. III, h. 1573; Sunan al-Turmûdzî, j. IV, h. 297; Sunan Abû Dâwud, j. III,
h. 327; Sunan al-Nasâ'i, j. VIII, h. 294; Sunan Ibn Mâjah, j. II, h. 1121; Musnad Ahmad, j. II, h.
279, 408, 409, 496, dan 526; Sunan al-Bayhaqî al-Kubrâ, j. VIII, h. 289; Musnad Abû `Awanah,
j. V, h. 95-96, dan Shahîh Ibn Hibbân, j. XII, h. 163. Menurut al-Marghînânî, hadits itu “kullu
Muskirin” terdapat rijal yang dicela oleh Yahyâ ibn Ma`in (al-Marghînânî, op. cit., j. IV, h. 108).
Dalam pemahaman mereka, bahwa bahan khamr itu dari salah satunya, bukan dari kedua-
duanya.

[23]Tafsir Ahkâm al-Qur'an al-Jashshâsh, j. II, h 6. Lihat hadits dari Ibn `Abbâs dalam al-
Thabrânî, al-Mu`jam al-Kabîr, (Mawshul: Maktabah al-`Ulum wa al-Hukm, 1983), j. X, h. 339.

[24]Hadits ini dari segi sanad diterima oleh semua pihak, namun dalam pengertiannya berbeda.
Menurut ulama kufah hadits ini menunjukkan pada kadar yang memabukan dari satu jenis
minuman, sedangkan jumhur fuqaha hadits ini menunjukkan pada jenis minuman yang
memabukkan. Lihat Shahîh al-Bukhârî, j. IV, h. 1579, j. V, h. 2269, j. VI, h. 2624; Shahîh
Muslim, j. III, h. 1586-1587.

[25] Al-Marghînânî, al-Hidâyah ... op. cit., j. IV, h. 109.

[26] Mâlik ibn Anas, al-Mudâwanah al-Kubrâ, (Bayrût: Dâr al-Shadar, t.th), j. XVI, h 261.

[27]Lihat, Ahmad `Abd al-Halim ibn Taymiyyah al-Harânî Abû al-`Abbâs, Kutub wa Rasâil wa
Fatawâ Ibn Taymiyyah fî al-Fiqh, (t.tp: Maktabah Ibn Taymiyyah, t.th), ditahqiq oleh: `Abd al-
Rahmân Muhammad al-Qâsim, j. XX, h. 245; j. XXII, h. 260. Lihat pula, `Alî ibn Sulaymân al-
Mardawî, Abû al-Hasan, Al-Inshâf fi ma`rifat al-Râjih min al-Khilâf `alâ madzhab al-Imâm
Ahmad ibn Hanbal. (Bayrût: Dâr al-Ihyâ' al-Turâts al-`Arabî, t.th), j. X, h. 228, ditahqiq oleh:
Muhammad Hâmid al-Faqi.
[28] Lihat Muhammad ibn Ahmad ibn Abî Bakr ibn Farah al-Qurthubî, op. cit., j. X, h. 130; al-
Bayhaqî, op. cit., j. V, h. 6.

[29] Shahîh Muslim, j.III, h. 1585, 1587, 1588; Sunan al-Turmûdzî, j. IV, h. 290; Sunan Abû
Dâwud, j. III, h. 327; Sunan al-Bayhaqî al-Kubrâ, j. VIII, h. 288, 293, 296, 306, 213; Sunan al-
Dâruquthnî, j. IV, h. 249-250; Sunan Ibn Mâjah, j. II, h. 1124; Sunan al-Nasâ'i, j. II, h. 1124;
Musnad Ahmad, j. II, h 16, 29, 31, 98, 104.

[30] Menurut penlilaian al-Turmûdzî hadits ini hasan gharib. Lihat Sunan al-Turmûdzî, j. iv,
h.292. Bandingkan dengan jalur periwayatan lain, lihat: Mustadrak al-Hâkim, j. III, h. 466;
Sunan al-Dâruquthnî, j. IV, h. 250, 254, 256, 262, Sunan Abû Dâwud, j.III, h. 327; Sunan Ibn
Mâjah, j. II, h.1124-1125; Musnad Ahmad, j. II, h. 91, 167, 179, dan j. III, h. 112 dan 343. Hadits
ini oleh ulama kufah, selain dianggapnya dha`îf, juga hadits ini khusus menunjukan pada khamr
yang terbuat dari perasan anggur yang dididihkan; bahwa khamr sedikit atau banyak tetap
haram.

[31] Ibn Taymiyyah, op. cit., j. XXXIV, h. 203.

[32] Muhammad Amin, Al-Hâsyiyah Rad al-Mukhtar `ala al-Dar al-Mukhtar; Syarh Tanwîr al-
Abshâr. (Hâsyiyah ibn `Âbidîn) (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1386), j. IV, h. 3; al-Marghînânî, Bidâyat
... op. cit., j. I, h.108.

[33] Muhammad `Arafah al-Dasûqî, Hâsyiyah al-Dasûqî `alâ al-Syarh al-Kabîr, (Bayrût: Dâr al-
Fikr, t.th), j, IV, h. 352, ditahqiq oleh: Muhammad `Ilyâs.

[34] Lihat: Abû al-Hasan al-Mâlikî, Kifâyat al-Thâlib al-Rabbânî li Risâlah Abî Zayd al-
Qayrwânî, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1412), j. II, h.429, ditahqiq oleh: Yûsuf al-Syaykh Muhammad
al-Biqâ`î,. Lihat pula: Shâlih `Abd al-Sâmi` al-Abâ al-Azharî, Al-Tsamar al-Dânî fî Taqrîb al-
Ma`âni Syarh Risâlah Ibn Abî Zayd al-Qayrwânî, (Bayrût: Al-Maktabah al-Tsaqafiyah, t.th), j. I,
h.158.
[35] Lihat, Ibrâhîm ibn `Ali al-Sirâzî, al-Muhazdzdab fi Fiqh al-Imâm al-Syâfi`î, (Bayrût: Dâr al-
Fikr, t.th). j. II, h. 326.

[36] Muhammad Amin, op. cit., j. VI, h. 453.

[37] Lihat Musnad Abû Hanîfah, h. 82.

[38] Ibrâhîm ibn Muhammad ibn `Abdillah al-Hanbali, Abû Ishâq, Al-Nakt al-Fawâ'id al-
Sunniyah `alâ Musykil al-Muhararar li Mujid al-Dîn Ibn Taymiyah, (Al-Riyâdh: Maktabah al-
Ma`arif. 1404), Cet. II. j. II, h. 259-260.

[39] Ibn Taymiyah, op. cit., j. XXI, h. 7. `Abdullah ibn Ahmad ibn Qudâmah al-Maqdîsî, Al-
Mughnî fi Fiqh al-Imâm Ahmad Ibn Hanbal al-Syaybânî, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1405). Cet. I, j.
IX, h. 144.

[40] Fuqaha madzhab Hanafî menghukumi sebagai najis sebagaimana halnya air kencing,
berbeda dengan Abû Hanîfah yang menganggapnya suci (lihat: Muhammad ibn Ahmad al-
Syâsyî al-Qaffal, Hilyah al-`Ulamâ fî Ma`rifah Madzâhib al-Fuqahâ, (Bayrût, Amman, Urdun:
Muassasah al-Risâlah, Dâr al-Arqam, 1400), Cet. I, ditahqiq oleh: Yâsin Ahmad Ibrâhîm
Daradakah, j. I , h. 243.

[41] Manshûr ibn Yûnus ibn Idrîs al-Bahûthî, Kasyâf al-Qinâ` `an matn al-Iqnâ. (Bayrût: Dâr al-
Fikr. 1402), ditahqiq oleh: Halâl Mushaylihi Musthafa, j. II, h.. 77.

[42] Sunan al-Dâruquthnî, op. cit., j. IV, h. 290.

[43] Sunan Abû Dâwud, j. III, h. 363.


[44] Ulama yang berpendapat demikian antara lain: Rabî`ah al-Ra'yi (guru Mâlik ibn Anas), al-
Layts ibn Sa`ad, Ismâ`il ibn Yahyâ al-Muzanî dan ulama-ulama madzhab Zhâhirî. Sedangkan
ulama kontemporer yang berpendapat bahwa khamr itu suci adalah al-Syawkânî (penulis kitab
Nayl al-Authâr), Muhammad Rasyîd Ridhâ dan Atiah Saqr (ahli fiqh Mesir).

[45] Lihat al-Qurthubî, op. cit., j. VI, h. 288.

[46] M. Ma`rûf al-Dualibi, guru besar ilmu Ushul Fiqh dan Hukum Romawi pada Fakultas
Hukum Universitas Damaskus, membagi ijtihad itu ke dalam tiga metode/pendekatan, yaitu
Bayani, Qiyasi dan Istislahi. Pembagian metode/pendekatan ijtihad semacam ini sama dengan
(kalau tidak disebut diadaptasi atau diadopsi) yang pakai Muhammadiyah dalam Manhaj Tarjih
yang lama. Lihat, M. Ma`ruf al-Dualibi, al-Madkhal ila `ilmi Ushûl al-Fiqh, (t.tp: Mathba`ah
Jami`ah Dimasq, t.th), cet. II, h.402-427.

[47] Ibn Taymiyyah, op. cit., j. XX, h. 245. dan j. XXXIV, h. 203.

[48]Metode penalaran hukum semacam ini disebut dengan “al-dalîl” yang dikenal dalam
madzhab zhahiri (aliran literal/tektualis), karena mereka tidak mau menerima qiyas (analogi)
sebagai salah satu metode penalaran, apalagi sumber hukum. Menetapkan hukum berdasarkan
qiyas, sama saja dengan menetapkan hukum berdasarkan akal karena itu mereka menolaknya.
Karena sikapnya yang menolak qiyas ini, mereka juga disebut nufat al-qiyâs.

[49] M. Ma`ruf al-Dualibi, op. cit. h.413-419.

[50] Shahîh Ibn Hibbân, j. iv, h.233; Mushannaf Ibn Abî Syaybah, j. v, h.75, Mushannaf `Abd al-
Razâq, j. IX, h.462.

[51] Sunan Abû Dâwud, j. iv, h.7. Musnad Ahmad, j.IV, h. 317.

[52] Sunan Abû Dâwud, j. IV, h.7.


[53] Secara umum al-Qur’an, dari sekian banyak ayat al-Qur’an menghendaki agar manusia itu
menghindari berbagai jenis kerusakan (al-mafâsid; bentuk jamak dari mafsadah lawan dari
mashlahah) sebaliknya memerintahkan untuk melakukan (makan/minum dan aktivitas lainnya)
yang mashlahat. Sehingga apapun yang menimbulkan kerusakan di tingkat primer (dharûrî)
dapat dihukumi sebagai haram. Kemaslahatan yang dimaksud, sebagaimana yang telah
diformulasikan ulama, dalam konsep maqashid al-syari`ah, yang meliputi lima aspek, yaitu;
keberagamaan, jiwa (harga diri), akal, keturunan dan harta benda. Bahkan sekarang ini bisa
berkembang menjadi tujuh, yaitu Kesatuan ummat dan alam sebagai lingkungan hidup manusia.

[54] Metode dan pendekatan penalaran yang ketiga ini lebih luas daripada qiyas. Sedangkan
letak perbedaannya adalah qiyas memiliki kaitan dengan nash secara khusus, sedangkan al-
mashlahat al-mursalah atau istishlah tidak memiliki kaitan dengan satu nash tertentu, tetapi
dikaitkan dengan hasil istiqra dari sejumlah nash. Metode semacam ini bisaa dilakukan oleh
fuqaha madzhab Mâlikî. Fuqaha Syâfi`iyah menolaknya, dan menganggapnya sebagai
menetapkan hukum berdasarkan akal semata.

Anda mungkin juga menyukai