Anda di halaman 1dari 10

HUKUM MENGKONSUMSI ALKOHOL YANG ADA DALAM MAKANAN DAN OBAT-OBATAN

Oleh
Ustadz Dr. Erwandi Tarmidzi

Alkohol adalah cairan tidak berwarna yang mudah menguap, mudah terbakar. Ia
merupakan unsur ramuan yang memabukkan. Senyawa organik ini mempunyai
rumus kimia C2H5OH.[1]
Terdapat berbagai jenis alkohol, di antaranya:

1. Ethanol dengan rumus kimia C2H5OH. Alkohol jenis ini merupakan alkohol yang
paling luas digunakan dan merupakan bahan utama yang memabukkan dalam
khamr. Konotasi alkohol biasanya untuk jenis ini.

2.Methanol, dengan rumus kimia CH3OH. Alkohol jenis ini biasa digunakan untuk
mencairkan beberapa jenis zat, digunakan dalam parfum (minyak wangi) dan bahan
bakar. Alkohol ini sangat beracun dan dapat mengakibatkan kematian bagi orang
yang meminumnya, sekali pun juga memabukkan.

3. Isopropil Alkohol. Alkohol jenis ini sangat beracun dan sama sekali tidak
digunakan dalam pembuatan minuman keras. Hanya digunakan sebagai bahan
pengawet dengan kadar aman. Juga untuk sterilisasi, pembersih kulit, dan
digunakan di laboratorium dan industri.

APAKAH HUKUM ALKOHOL SAMA DENGAN KHAMR?


Sebelum menjelaskan hukum alkohol, perlu dijelaskan terlebih dahulu apakah
alkohol dapat dianalogikan dengan khamr sehingga dapat diberikan hukum khamr
pada alkohol atau tidak?

Para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang hal ini.

Pendapat Pertama. Alkohol sama dengan khamr. Ini merupakan pendapat mayoritas
para Ulama kontemporer, dan juga fatwa Dewan Ulama Kerajaan Arab Saudi, No.
8684, yang berbunyi:
Soal : Apa hukum menggunakan alkohol atau khamr dalam bahan campuran cat,
obat-obatan, pembersih, parfum dan bahan bakar?

Jawab: Segala sesuatu yang bila diminum dalam jumlah besar mengakibatkan
mabuk, maka zat tersebut dinamakan khamr, baik dalam jumlah sedikit maupun
banyak, baik diberi nama alkohol maupun diberi nama yang lain. Zat tersebut wajib
ditumpahkan dan haram digunakan untuk kepentingan apapun: sebagai zat
pembersih, campuran parfum, bahan bakar dan lain sebagainya.[2]

Argumen pendapat ini adalah hasil dari analisa sampel minuman yang
memabukkan, biasanya terdapat alkohol dengan kadar yang kisarannya antara 8-
20% dan sisanya terdiri dari air dan karbohidrat. Ini berarti alkohol -sekali pun
bukan mutlak khamr tetapi hanya salah satu bagian pembentuk khamr. Meski dia
hanya salah satu unsur pembentuk khamer, namun ternyata alkohol adalah zat
utama yang menimbulkan dampak mabuk dalam khamr, sementara memabukkan
inilah yang menjadi illat (penyebab) diharamkannya khamr. Oleh karena itu, hukum
alkohol dapat disamakan dengan khamr.

Pendapat Kedua. Alkohol bukanlah khamr. Pendapat ini didukung oleh Syaikh
Muhammad Rasyd Ridha rahimahullah dan beberapa Ulama kontemporer.

Argumen pendapat ini adalah adanya perbedaan antara khamr dengan alkohol.
Khamr terbuat dari hasil fermentasi buah segar seperti anggur, kurma, gandum dan
biji-bijian. Adapun alkohol berasal dari kayu, akar dan serat tebu, kulit jeruk dan
lemon, dan juga terdapat dalam setiap adonan. Sekalipun alkohol adalah zat utama
yang menyebabkan mabuk pada khamr, akan tetapi alkohol tidak dinamakan
khamr, baik secara bahasa maupun syariat.[3]

Tanggapan. Raslullh telah meletakkan kaidah umum tentang pengertian khamr,


Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda bahwa segala sesuatu yang
memabukkan hukumnya haram, dan namanya adalah khamr.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda :


Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap yang memabukkan adalah
haram. [HR Muslim].

Dalam hadis ini, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menamakan segala sesuatu yang
memabukkan dengan khamr -sekalipun nama asli zat tersebut bukanlah khamr.
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam juga menyamakan hukum segala yang
memabukkan dengan khamr, yaitu haram. Berdasarkan hadits ini, alkohol dalam
syariat dinamakan khamr, dan hukumnya sama dengan khamr, karena alkohol
merupakan unsur utama yang memabukkan dalam minuman khamar.

Akan tetapi apakah semua jenis alkohol hukumnya sama dengan khamr?

Alkohol merupakan nama untuk zat yang tidak dikenal pada masa Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam . Pada saat itu hanya dikenal khamr. Karena unsur utama yang
memabukkan dalam khamr adalah ethanol, maka hanya alkohol jenis ini saja yang
hukumnya sama dengan khamr, dan tidak boleh digunakan untuk kepentingan
apapun. Adapun alkohol jenis lain yang dapat mengakibatkan kematian bagi
peminumnya, maka hukumnya sama dengan racun, boleh digunakan untuk
kepentingan apapun selain untuk diminum.[4]

APAKAH ALKOHOL NAJIS?


Karena alkohol disamakan dengan khamr, maka hukum kesucian atau najisnya
tergantung kepada hukum khamr. Dalam hal ini para Ulama berbeda pendapat,
apakah hukum kesucian zat khamr termasuk najis atau tidak ?

Pendapat Pertama. Semua Ulama dalam mazhab Hanafi, Mliki, Syfi dan Hanbali
menghukumi khamr adalah najis, dengan mengambil dalil dari firman Allh :

Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, berjudi, (berkorban untuk)


berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijs termasuk perbuatan setan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. [al-
Midah/5:90].
Allh Subhanahu wa Taala menamakan khamr dengan rijs yang berarti kotoran.
Allh Azza wa Jalla juga memerintahkan untuk menghindari khamr tersebut, dan
sesuatu yang kotor yang diperintahkan untuk dihindari adalah najis.[5]

Juga berdalil dengan firman Allh Subhanahu wa Taala :

Dan Allh memberikan kepada mereka minuman yang suci. [l-Insn/76:21]

Allh Azza wa Jalla mengatakan, minuman penduduk surga itu suci, sedangkan
minuman mereka adalah khamr. Ini berarti, di dunia, khamr itu hukumnya najis,
karena hukum khamr di dunia berbeda dengan hukum khamr di surga. Di dunia
khamr diharamkan, sedangkan di surga dibolehkan. Sehingga bila hukum khamr di
surga adalah suci, tentu hukum khamr di dunia adalah najis.

Pendapat Kedua. Sebagian Ulama di antaranya al-Muzani, Dwd Zhhiri, Syaukni


dan beberapa Ulama kontemporer, seperti Ahmad Sykir, Ibnu Bz, Ibnu Utsaimin
dan al-Albni (rahimahumullh) berpendapat bahwa khamr tidak najis.[6]

Di antara dalil yang menjadi pegangan para Ulama ini sebagai berikut :
Diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki datang menghadiahkan Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam segentong arak. Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Tidakkah engkau tahu bahwa Allh telah mengharamkan arak ? Laki-laki itu
berkata,Tidak, Lalu laki-laki itu berbisik kepada teman di dekatnya, dan Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam bertanya, Apa yang engkau bisikkan kepada
temanmu? Ia menjawab, Aku perintahkan dia untuk menjualnya, maka Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Sesungguhnya Allh telah mengharamkan
minum khamr dan Allh juga telah mengharamkan menjual khamr, lalu laki-laki itu
membuka tutup gentong dan menumpahkan khamr ke tanah. [HR. Muslim].

Saat orang tersebut menumpahkan khamrnya, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam


hanya diam dan tidak menganjurkannya untuk menumpahkannya ke tempat yang
agak jauh, juga tidak memerintahkan para sahabat untuk membersihkannya,
sebagaimana beliau memerintahkan para sahabat untuk membersihkan lantai saat
seorang Arab Badui kencing di dalam masjid. Sikap Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam tersebut menunjukkan bahwa dzat khamr tidak najis.
Para Ulama ini menanggapi dalil mayoritas Ulama yang menganggap khamr adalah
najis, bahwa tidak semua yang diharamkan dan diperintahkan untuk dihindari itu
berarti najis, seperti berhala.

Adapun maksud khamr yang menjadi minuman penduduk surga adalah suci
bukanlah lawan dari najis, akan tetapi tafsir makna suci di sini ialah bila diminum
tidak menyebabkan orang yang meminumnya untuk kencing.

Berdasarkan pendapat yang terkuat bahwa khamr tidak najis, maka hukum alkohol
juga tidak najis.

Perlu diingat perbedaan pendapat para Ulama tentang hukum najis atau tidaknya
khamr jangan disalahpahami boleh hukumnya untuk memproduksinya, memperjual-
belikan, dan mengkonsumsinya. Bahkan, para Ulama sepakat bahwa memproduksi,
memperjual-belikan dan mengkonsumsi khamr hukumnya haram, sebagaimana
akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.

HUKUM MAKANAN DAN MINUMAN YANG MENGANDUNG ALKOHOL


Beberapa jenis makanan mengandung alkohol yang berasal dari proses fermentasi
alami, seperti roti yang mengandung alkohol disebabkan proses adonan yang
dicampur ragi. Pada saat roti dipanggang (dibakar), umumnya alkohol yang
terdapat pada adonan tadi menguap (terurai) tanpa meninggalkan bekas sama
sekali.

Alkohol juga terdapat pada juice buah-buahan. Khusus juice anggur, kadarnya bisa
mencapai 1% . Alkohol juga terdapat pada susu dengan kadar terkadang sampai
0,5%, akan tetapi minuman ini tidak memabukkan sekalipun dikonsumsi dalam
jumlah besar. Hukum makanan ini halal sekalipun mengandung alcohol, karena
yang diharamkan adalah makanan yang dalam jumlah besar memabukkan,
sehingga sekalipun jumlahnya kecil tetap diharamkan, sesuai dengan sabda Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam :

Sesuatu yang memabukkan dalam jumlah besar, maka hukumnya haram sekalipun
dalam jumlah kecil. [HR Abu Dauwd. Hadits ini dishahhkan oleh al-Albani].
Kenyataannya, makanan ini tidak memabukkan bila dikonsumsi dalam jumlah besar
sehingga hukumnya halal dan boleh dijual-belikan. Makanan ini juga sudah ada
semenjak zaman Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam . Beliau tidak melarang
untuk memakannya, dengan demikian hukumnya halal.

HUKUM MAKANAN DAN MINUMAN YANG SENGAJA DITAMBAHKAN ALKOHOL


Alkohol digunakan secara luas dalam industri pangan sebagai zat pewarna, rasa dan
bau agar menarik untuk dikonsumsi. Terkadang sengaja ditambahkan ke dalam
makanan dalam jumlah besar, seperti dalam proses pembuatan Es krim, berbagai
jenis kue, minuman non alkohol dan buah-buahan yang dapat memabukkan.

Hukum menggunakan alkohol dalam produk makanan diharamkan dalam Islam


karena ini melanggar perintah Allh yang memerintahkan seorang muslim untuk
menjauhi khamar. Oleh karena itu, para ulama dari berbagai mazhab melarang
penggunaan khamr untuk apapun jua.

An-Nafrawi (ulama mazhab Maliki, wafat tahun 1125 H) berkata, Adapun khamr
maka tidak halal digunakan untuk apapun jua, dan khamr wajib ditumpahkan.[7]

Ibnu Hazmi (wafat tahun 456 H) berkata, Barang siapa yang sengaja merendam
ikan dengan khamr, lalu ditambah garam untuk dibuat murry (sejenis lauk),
sungguh ia telah durhaka terhadap Allh. Dia wajib diberi sanksi hukuman, karena
khamr tidak halal digunakan untuk apapun jua, juga tidak halal dicampurkan ke
dalam apapun. Khamr hanya boleh ditumpahkan.[8]

Akan tetapi, bila makanan atau minuman tersebut telah dicampur alkohol oleh
sebuah pabrik makanan/minuman, seperti: minuman bercola yang menggunakan
alkohol untuk melarutkan zat cola, apakah halal menjual produk yang mengandung
alkohol tersebut dan apakah halal untuk dikonsumsi?

Hal ini terbagi dalam dua keadaan.

Pertama. Alkohol yang dicampurkan ke dalam makanan/minuman tidak terurai,


masih terdapat bau, rasa atau efek memabukkan. Jika demikian, maka para ulama
sepakat makanan/minuman ini tidak boleh dikonsumsi, tidak boleh diperjual-
belikan, dan wajib dilenyapkan, karena makanan/minuman ini bercampur alkohol
(khamr) yang haram dikonsumsi.
Kedua. Alkohol yang dicampurkan ke dalam makanan/minuman telah terurai, tidak
terdapat lagi baunya, rasanya, warnanya dan tidak menyebabkan mabuk manakala
makanan/minuman tersebut dikonsumsi.

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang kehalalan makanan/minuman
jenis ini.

Pendapat Pertama : Menurut mazhab Hanafi, Maliki dan Syafii makanan/minuman


ini tidak halal, karena telah bercampur alkohol (khamr), dan alkohol (khamr) adalah
najis. Berarti makanan/minuman ini telah bercampur najis, dan hukumnya berubah
menjadi najis yang tidak boleh dikonsumsi, juga haram diperjual-belikan.

Ibnu Abidin berkata, Bila setetes khamr jatuh ke dalam air yang tidak mengalir
maka air itu menjadi najis, sekalipun khamrnya telah larut menjadi air. Begitu juga
bila setetes khamr jatuh ke dalam panci makanan, maka makanan tersebut menjadi
najis, sekalipun telah larut dalam makanan.[9]

Zarkasyi (ulama mazhab Syafii, wafat tahun 794 H) berkata, Bila seseorang
mencampurkan setetes khamr ke dalam air hingga hilang sifat memabukkannya,
lalu ia minum, maka ia tidak dihukum cambuk, karena khamrnya telah larut, akan
tetapi haram hukum meminumnya karena air tersebut telah bercampur najis, dan
najis haram dikonsumsi.[10]

Pendapat Kedua : Menurut sebagian ulama dalam mazhab Hanbali, Abu Yusuf
(murid langsung Imam Abu Hanifah) dan Ibnu Hazmi, bahwa makanan/minuman
yang telah bercampur khamr (alkohol) hingga larut/terurai dalam makanan, tidak
terdapat lagi bau, rasa, dan tidak ada efek memabukkan khamr (alkohol), maka
hukumnya halal dikonsumsi dan halal diperjual-belikan.

Mereka beralasan, khamr diharamkan karena memabukkan. Sedangkan


makanan/minuman yang dicampur khamr (alkohol) kemudian larut/terurai tidak lagi
memabukkan. Ini menunjukkan jika khamr telah berubah wujud menjadi zat lain.
Dengan demikian, makanan dan minuman yang sejak awalnya halal tidak
terpengaruhi hukumnya oleh campuran alkohol yang kemudian terurai/larut.

Abu Yusuf (wafat tahun 181 H) berkata, Daging yang dimasak menggunakan khamr
hukumnya halal dengan syarat didihkan, lalu didinginkan, kemudian didihkan, lalu
didinginkan sebanyak tiga kali.[11]
Ibnu Hazmi berkata, Barang siapa yang sengaja merendam ikan dengan khamr,
lalu ditambah garam untuk dibuat murry (sejenis lauk), sungguh ia telah durhaka
terhadap Allh. Dia wajib diberi sanksi/hukuman. Namun apabila hilang bau, rasa
atau warna khamr karena telah larut dan tidak memabukkan maka hukumnya halal
untuk dimakan dan dijual.

Ibnu Qudmah rahimahullah berkata, Apabila adonan roti dicampur khamr, lalu
dibakar, kemudian dimakan, pelakunya tidak didera, karena saat dibakar khamr
telah hilang menguap.[12]

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, Apabila khamr terurai di dalam air maka
orang yang meminum air tersebut tidak lagi dinamakan meminum khamr.[13]

Pendapat ini banyak didukung oleh Ulama kontemporer, mengingat zat khamr telah
hilang larut atau terurai, dan yang tinggal hanyalah makanan atau minuman yang
halal. Sebagaimana khamr murni bila berubah wujud menjadi cuka, maka
hukumnya berubah menjadi halal. Apatah lagi khamr pada makanan atau minuman
ini hanya dicampurkan dan bukan bahan dasar, wallhu alam.

OBAT YANG MENGANDUNG ALKOHOL SEBAGAI BAHAN TAMBAHAN


Bila khamr (alkohol) hanya sebagai bahan tambahan dalam obat-obatan, seperti
ditambahkan untuk melarutkan sebuah zat, atau ditambahkan agar obat berupa
sirup memiliki bau yang menarik untuk diminum, atau sebagai bahan pengawet
obat, bagaimanakah hukumnya ?

Syarbaini (Ulama mazhab Syfii wafat tahun 977 H) berkata, Perbedaan pendapat
Ulama hanya tentang menggunakan khamr murni sebagai obat. Adapun ramuan
yang dicampur khamr sehingga khamr larut dalam ramuan tersebut boleh
digunakan sebagai obat, jika tidak ada lagi obat lain yang cocok, sekalipun
pengobatan tersebut hanya menyebabkan kesembuhan lebih cepat, dengan syarat
resep pengobatan tersebut disarankan oleh seorang dokter Muslim yang dapat
dipercaya.[14]

Dari perkataan Syarbaini tersebut dapat dipahami bahwa:


1. Boleh menggunakan obat yang bercampur dengan khamr dengan syarat tidak
ada pilihan lain.
2. Penggunaannya harus berdasarkan petunjuk seorang dokter muslim yang dapat
dipercaya.
3. Khamr telah larut dalam ramuan obat.
4. Dalam penggunaan obat ini, semua ulama sepakat membolehkannya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan, boleh menggunakan obat yang mengandung
alkohol dengan syarat alkoholnya telah larut atau terurai, sehingga bila diminum
tidak lagi memabukkan, karena jika memabukkan hukumnya sama dengan khamr.
Hal ini yang difatwakan oleh beberapa lembaga fikih internasional, di antaranya:

Al-Majma al-Fiqh al-Islami (Divisi Fiqh Rabithah Alam Islami) dalam daurah ke-16,
tahun 2002, yang berbunyi:
Boleh menggunakan obat yang mengandung alkohol dengan kadar sedikit dan
telah terurai, dimana pembuatan obat tersebut merupakan standar pabrik dan tidak
ada obat sebagai penggantinya, dengan syarat resepnya harus dibuatkan oleh
seorang dokter yang jujur. Juga boleh menggunakan alkohol sebagai bahan
pembersih luka luar, juga sebagai pembunuh kuman, dan dalam campuran krim dan
obat gosok.

Al-Majma al-Fiqh al-Islmi menghimbau perusahaan pembuat obat-obatan, atau


importir obat-obatan di negeri Muslim untuk berusaha sekuat tenaga menghindari
penggunaan alkohol dalam pembuatan obat dan menggunakan alternatif lain.

Al-Majma al-Fiqh al-Islmi juga menghimbau para dokter untuk menghindari


sedapat mungkin memberikan resep obat yang mengandung alkohol kepada
pasien.[15]

Dewan Fatwa Ulama Kerajaan Arab Saudi, juga menfatwakan, Tidak boleh
mencampurkan alkohol yang memabukkan ke dalam ramuan obat, akan tetapi bila
telah dikemas dan mengandung alkohol boleh digunakan jika kadar alkoholnya
sedikit, tidak mempengaruhi warna, rasa dan bau obat, serta tidak memabukkan
jika diminum. Jika salah satu sifat alkohol masih ada, maka haram digunakan.[16]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XVI/1434H/2013. Diterbitkan


Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 23.
[2]. Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh Abdul-Aziz bin Bz, Abdul-Razk Afifi dan
Abdullh al-Ghudayan rahimahumullah, Fatawa Lajnah Daimah, jilid XXII, hlm. 107.
[3]. Fatawa Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, IV1629-1630.
[4]. Bsim al-Qarafi, an-Nawzil fith Thaharah, hlm. 402.
[5]. Dr. Hasan al-Fakky, Ahkmul-Adwiyyah, hlm. 282.
[6]. Ibid.
[7]. Al-Fawkih ad-Dawani, I/390.
[8]. Al-Muhalla, XII378.
[9]. Hasyiyah Ibnu Abidn, VI/451.
[10]. Al-Mantsr fil-Qawid, I/126-127.
[11]. Al-Fatw al-Hindiyyah, V/412.
[12]. Al-Mughni, XII/498.
[13]. Ibnu Taimiyah, Majm Fatw, XXI/501.
[14]. Mughni al-Muhtaj, V/518.
[15]. Qararat al-Majma al-Fiqh al-Islami, hlm. 342.
[16]. Majallah al-Buhts al-Islmiyah, vol. 19, hlm. 164, th. 1407 H.

Sumber: https://almanhaj.or.id/4275-hukum-mengkonsumsi-alkohol-yang-ada-
dalam-makanan-dan-obat-obatan.html

Anda mungkin juga menyukai