Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah swt yang maha pengasih dan
penyayang yang telah memberikan rahmat, hidayah dan inayahnya kepada kami, sehingga dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini tentang “Pengaruh Ihtikar Terhadap Stabilitas Ekonomi”.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai problematika ihtikar dalam perekonomian. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan
yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya
kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon
kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Wassalamu’alikum Wr. Wb.

Yogyakarta, 7 Oktober 2015

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................1

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN............................................................................................................................................1

A. Latar Belakang.................................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................................1
C. Tujuan Pembahasan........................................................................................................................2
D. Manfaat Pembahasan.....................................................................................................................2

BAB II

PEMBAHASAN..............................................................................................................................................3

A. Definisi Ihtikar.................................................................................................................................3
B. Dasar Hukum Pelarangan Ihtikar....................................................................................................5
C. Pendapat Ulama Tentang Hukum Ihtikar........................................................................................6
D. Jenis Produk Ihtikar.........................................................................................................................7
E. Hukuman Bagi Pelaku Ihtikar..........................................................................................................9
F. Dampak Ihtikar Terhadap Stabilitas Ekonomi...............................................................................10
G. Hikmah di Balik Larangan Ihtikar...................................................................................................10

BAB III

PENUTUP....................................................................................................................................................11

A. Kesimpulan....................................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perdagangan dalam pandangan Islam merupakan salah satu dari aspek kehidupan yang bersifat
horizontal, yang dikelompokkan ke dalam masalah muamalah, yakni masalah-masalah yang berkenaan
dengan hubungan antarmanusia dalam kehidupan bermasyarakat. Sekalipun sifatnya adalah hubungan
yang horizontal namun sesuai dengan ajaran Islam, rambu-rambunya tetap mengacu kepada al Qur’an
dan hadis.

Dari pespektif agama, aktivitas perdagangan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang digariskan oleh agama akan bernilai ibadah. Artinya, dengan perdagangan itu, selain mendapatkan
keuntungan-keuntungan materil guna memenuhi kebutuhan ekonomi, pelakunya sekaligus dapat
mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Islam berpegang pada asas kebebasan dalam tatanan muamalah. Setiap orang bebas membeli,
menjual serta menukar barang dan jasa. Mereka menawarkan dan menjual barang miliknya dan
membeli barang-barang yang dibutuhkannya. Ini berbeda dengan paham sosialis yang menolak
kebebasan pasar. Kebebasan yang digariskan oleh Islam juga berbeda dengan kebebasan yang diusung
oleh ekonomi kapitalis yang menganut pasar bebas sebebas-bebasnya.

Perdagangan yang dijalankan dengan cara yang tidak jujur, mengandung unsur penipuan, yang
karena itu ada pihak yang dirugikan, dan praktik-praktik lain yang sejenis merupakan hal-hal yang
dilarang dalam Islam. Melakukan perdagangan dengan cara menimbun barang ( ihtikar ) dengan tujuan
agar harga barang tersebut mengalami lonjakan sangat dilarang dalam Islam. Terlebih bila barang
tersebut sedang langka, sementara masyarakat sangat membutuhkannya.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah Yang Dimaksud Dengan Ihtikar ?


2. Apakah Dasar Hukum Pelarangan Ihtikar ?
3. Bagaimana Pendapat Ulama Tentang Hukum Ihtikar ?
4. Apa Saja Barang-Barang Yang Tidak Boleh Ditimbun ?
5. Bagaimana Hukuman Bagi Pelaku Ihtikar ?
6. Bagaimana Dampak Ihtikar Terhadap Stabilitas Ekonomi ?
7. Apakah Hikmah di Balik Larangan Ihtikar ?

2
C. Tujuan Pembahasan

Tujuan penulisan makalah ini untuk memaparkan bagaimana dampak yang terjadi akibat kegiatan
ihtikar (Penimbun Barang). Dan Menjelaskan tentang hukum ihtikar, serta aturan yang tepat dalam
mengatasi masalah ihtikar tersebut.

D. Manfaat Pembahasan

Adapun manfaat dari pembahasan ini agar memberikan efek jera terhadap pelaku ihtikar dan bagi
pemerintah dapat mengawasi para pengusaha dan pedagang dalam mewujudkan perekonomian yang
stabil dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Ihtikar

Secara etomologi ihtikâr berarti menimbun, sedangkan menurut pengertian


termenologis ihtikâr adalah “menimbun barang yang public goods (menjadi kebutuhan umum) yang
dibeli pada saat harga barang tersebut naik, untuk dijual denga harga tinggi melebihi harga pasar.”
Maka hukum dari ihtikar tersebut adalah haram.

Namun demikian keharaman ihtikâr harus memenuhi beberapa ketentuan berikut, antara lain:

1) Harus diperoleh dengan cara membeli, bukan hasil panen atau menerima hibah dari orang lain,
2) Barang yang ditimbun harus dibutuhkan oleh masyarakat umum, bukan barang yang
dibutuhkan dalam keadaan tertentu atau yang menjadi konsumsi masyarakat tertentu.
3) Barang tersebut dibeli ketika harganya melonjak tinggi (melebihi harga normal di pasaran),
bukan ketika harganya sedang stabil, dan
4) Ada tujuan untuk dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar, bukan untuk
konsumsi pribadi atau dijual kembali dengan harga normal.

Dengan melihat definisi dan beberapa ketentuan ini, maka praktek penimbunan yang sering
terjadi di tanah air adalah tepat untuk diharamkan oleh karena penimbunan tersebut dilakukan ketika
kondisi ekonomi tengah mengalami infalasi.

Berbeda halnya jika salah satu dari beberapa elemen ini tidak terpenuhi, maka hukum ihtikâr tidak
diharamkan. Misalnya seseorang menimbun barang yang ia peroleh dari hasil panen, atau menimbun
barang yang menjadi konsumsi masyarakat tertentu atau dalam keadaan tertentu, atau barang yang
ditimbun dibeli ketiga harga pasar sedang stabil, dan atau barang yang ditimbun ditujukan untuk
konsumsi pribadi atau dijual kembali dengan harga yang tidak lebih tinggi dari harga pasar. Untuk itu
Nabi SAW bersabda mengenai masalah penimbunan ini :

‫َع ْن َس ِعيُد ْبُن اْل ُم َس َّيِب ُيَح ِّد ُث َأَّن َم ْع َم ًر ا َقاَل َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه‬

‫َو َس َّلَم َم ِن اْح َتَك َر َفُهَو َخ اِط ٌئ‬

Dari Sa'id bin Musayyab ia meriwayatkan: Bahwa Ma'mar, ia berkata, "Rasulullah saw.
bersabda, “Barangsiapa menimbun barang, maka ia berdosa" (HR Muslim (1605).

2
Para ulama mendefenisikan ihtikar sebagai berikut :

1. Ulama mazhab Maliki mendefenisikan dengan ;

‫اإلدخار للمبيع من جميع األشياء من الطعام و اللباس وكل ما أضر بالسوق‬


Penyimpanan barang oleh produsen baik makanan, pakaian dan segala barang yang merusak pasar.

2. Ulama mazhab Hanafi mendefenisikan dengan;

‫حبس األقوات متربصا للغالء‬


Menimbun bahan makanan pokok sambil menunggu harganya menjadi naik

3. Ulama Syafiiyah sebagaimana yang dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili mendefenisikan

‫امساك ما اشتراه وقت الغالء ليبيعه بأكثر مما اشتراه عند اشتداد الحاجة‬
Menahan sesuatu yang dibeli pada waktu mahal supaya bisa dijual dengan harga yang lebih dari
waktu membeli karena orang sangat membutuhkan.

: Fathi ad Duraini mendefenisikan ihtikar yaitu .4

‫حبس مال أو منفعة أو عمل واإلمتناع عن بيعه أو بذله حتى يغلو سعره غالء فاحشا غير‬
.‫معتاد بسبب قتله أو انعدام وجوده فى مظانه مع شدة حاجة الناس أو الدولة أو الحيوان له‬
Tindakan menyimpan harta, manfaat atau jasa dan enggan menjual dan memberikannya
kepada orang lain, yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan
persediaan terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar, sedangkan masyarakat, Negara
atau pun hewan memerlukan produk, manfaat atau jasa tersebut.

Secara esensi definisi di atas sama, dan dapat difahami bahwa iktikar yaitu:

a. Membeli barang ketika harga mahal.

b. Menyimpan barang tersebut sehingga kurang persediaannya di pasar.

c. Kurangnya persediaan barang membuat permintaan naik dan harga juga naik.

d. Penimbun menjual barang yang di tahannya ketika harga telah melonjak.

e. Penimbunan barang menyebabkan rusaknya mekanisme pasar.

2
B. Dasar Hukum Pelarangan Ihtikar

Dasar hukum yang digunakan para ulama fiqh yang tidak membolehkan ihtikar adalah kandungan
nilai-nilai universal al Qur’an yang menyatakan bawa setiap perbuatan aniaya, terrnasuk didalamnya
ihtikar diharamkan oleh agama Islam. Diantara ayat-ayat tersebut adalah firman Allah Surah An-Nisa [4]
ayat 29 :

‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنو۟ا اَل َتْأُك ُلٓو ۟ا َأْم َٰو َلُك م َبْيَنُك م ِبٱْلَٰب ِط ِل ِإٓاَّل َأن َتُك وَن‬

‫ِتَٰج َر ًة َع ن َتَر اٍۢض ِّم نُك ْم ۚ َو اَل َتْقُتُلٓو ۟ا َأنُفَس ُك ْم ۚ ِإَّن ٱَهَّلل َك اَن ِبُك ْم َرِح يًۭم ا‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Q.S An-
Nisa [4] : 29).

Dalam surat lain Allah berfirman :

ۚ ‫َو َت َع اَو ُنو۟ا َع َلى ٱْلِبِّر َو ٱلَّتْق َو ٰى ۖ َو اَل َت َع اَو ُنو۟ا َع َلى ٱِإْلْث ِم َو ٱْلُع ْد َٰو ِن‬
‫َو ٱَّتُقو۟ا ٱَهَّللۖ ِإَّن ٱَهَّلل َش ِد يُد ٱْلِع َقاِب‬
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya. (Q.S Al-Maidah [5] : 2).

Disamping ayat-ayat diatas disebutkan juga dalam Sunnah Rasulullah yaitu sebagai berikut :

‫ َح َّد َثِني َأُبو َيْح َيى‬, ‫ َح َّد َثَنا اْلَهْيَثُم ْبُن َر اِفٍع‬، ‫ َح َّد َثَنا َأُبو َبْك ٍر اْلَح َنِف ُّي‬، ‫َح َّد َثَنا َيْح َيى ْبُن َح ِكيٍم‬
‫ ِم ْع ُت وَل اِهلل‬: ‫ َقاَل‬، ‫ َع ُع ْبِن اْلَخ َّطاِب‬، ‫ َلى ُعْث اَن ْبِن َعَّف اَن‬، ‫ َع ُّر وَخ‬، ‫اْل ِّك ُّي‬
‫َرُس‬ ‫َس‬ ‫ْن َمَر‬ ‫َم‬ ‫َمْو‬ ‫ْن َف‬ ‫َم‬
. ‫ َض َر َبُه الَّلُه ِباْلُج َذ اِم َو اِإل ْفَالِس‬، ‫ َمِن اْحَتَك َر َعَلى اْلُمْس ِلِم يَن َطَعاَمُه ْم‬: ‫َص َّلى اهلل َعلْيِه وَس َّلَم َيُقوُل‬
‫رواه إبن ماجة‬
Artinya : Yahya bin Hakim bercerita, Abu Bakar Al-Hanafy bercerita, Haytsam bin Rofi’ bercerita
Abu Yahya Al-Makiy bercerita kepadaku dari Farrukh yang menjadi tuan sahabat Utsman bin Affan ra,
dari Umar bin Khottob berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda : “Barang siapa
menimbun bahan makanan umat Islam, maka Allah akan menjatuhkan atasnya penyakit lepra dan
kebangkrutan”. (HR. Ibnu Majah)

2
‫َح َّد َثَنا َأُب و َخ ْيَثَم َة َح َّد َثَنا َيْح َيى ْبُن َأِبي ُبَك ْي ر َعْن إْس َر اِئيَل َعْن َعِلِّي ْبِن َس اِلٍم َعْن َعِلِّي ْبِن‬
. ‫َز ْيٍد َعْن َس ِعيِد ْبِن اْلُم َس ِّيِب َعْن ُعْثَم اَن ْبِن َعَّف اَن‬

Artinya : Dari Ibnu Umar ra berkata; Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang
menimbun makanan selama empat puluh hari maka dia telah lepas dari Allah dan Allah lepas atasnya .”
(HR. Ahmad dan Hakim dengan sanad yang baik).

C. Pendapat Ulama Tentang Hukum Ihtikar

Para ulama berbeda pendapat tentang hokum monopoli (ihtikar), dengan perincian sebagai berikut:

1. Haram secara mutlak (3) (tidak dikhususkan bahan makanan saja), hal ini didasari oleh sabda Nabi
SAW:

‫َمِن اْح َتَك َر َفُهَو َخ اِط ٌئ‬


Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. (HR. Muslim 1605)

Menimbun yang diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih bila memenuhi tiga kriteria:

a. Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk masa satu tahun
penuh. Kita hanya boleh menyimpan barang untuk keperluan kurang dari satu tahun sebagaimana
pernah dilakukan Rasulullah SAW.

b. Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan kebutuhan
rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya dengan harga mahal.

c. Yang ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang dan lain-lain.
Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetatpi tidak termasuk bahan pokok
kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat. maka itu tidak termasuk menimbun.

2. Makruh secara mutlak, Dengan alasan bahwa larangan Nabi SAW berkaitan dengan ihtikar adalah
terbatas kepada hukum makruh saja, lantaran hanya sebagai peringatan bagi umatnya.

3. Haram apabila berupa bahan makanan saja, adapun selain bahan makanan, maka dibolehkan, dengan
alasan hadits riwayat Muslim di atas, dengan melanjutkan riwayat tersebut yang dhohirnya
membolehkan ihtikar selain bahan makanan, sebagaimana riwayat lengkapnya, ketika Nabi SAW
bersabda:

‫َمِن اْح َتَك َر َفُهَو َخ اِط ٌئ َفِقيَل ِلَسِع يٍد َفِإَّنَك َتْح َتِكُر َقاَل َسِع يٌد ِإَّن َم ْع َم ًرا اَّلِذ ي َك اَن ُيَح ِّد ُث َهَذ ا‬
‫اْلَح ِد يَث َك اَن َيْح َتِكُر‬
Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. Lalu Sa'id ditanya, "Kenapa engkau
lakukan ihtikar?" Sa'id menjawab, "Sesungguhnya Ma'mar yang meriwayatkan hadits ini telah
melakukan ihtikar!' (HR. Muslim 1605)

2
Imam Ibnu Abdil Bar mengatakan: "Kedua orang ini (Said bin Musayyab dan Ma'mar (perowi
hadits) hanya menyimpan minyak, karena keduanya memahami bahwa yang dilarang adalah khusus
bahan makanan ketika sangat dibutuhkan saja, dan tidak mungkin bagi seorang sahabat mulia yang
merowikan hadits dari Nabi SAW dan seorang tabi'in [mulia] yang bernama Said bin Musayyab,
setelah mereka meriwayatkan hadits larangan ihtikar lalu mereka menyelisihinya (ini menunjukkan
bahwa yang dilarang hanyalah bahan makanan saja).

4. Haram ihtikar disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah, sedangkan tempat-
tempat lainnya, maka dibolehkan ihtikar di dalamnya, hal ini lantaran Makkah dan Madinah adalah
dua kota yang terbatas lingkupnya, sehingga apabila ada yang melakukan ihtikar salah satu barang
kebutuhan manusia, maka perekonomian mereka akan terganggu dan mereka akan kesulitan
mendapatkan barang yang dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat lain yang luas, apabila ada yang
menimbun barang dagangannya, maka biasanya tidak mempengaruhi perekonomian manusia,
sehingga tidak dilarang ihtikar di dalamnya.

5. Boleh ihtikar secara mutlak, Mereka menjadikan hadits-hadits Nabi SAW yang memerintahkan orang
yang membeli bahan makanan untuk membawanya ke tempat tinggalnya terlebih dahulu sebelum
menjualnya kembali sebagai dalil dibolehkahnya ihtikar, seperti dalam hadits:

‫َع ْن اْبِن ُع َم َر َر ِض َي ُهَّللا َع ْنُهَم ا َقاَل َر َأْيُت اَّلِذ يَن َيْش َتُروَن الَّطَع اَم ُمَج اَز َفًة َع َلى َع ْهِد‬
‫َر ُسوِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َيْنَهْو َن َأْن َيِبيُعوُه َح َّتى ُيْؤ ُو وُه ِإَلى ِرَح اِلـِهْم‬

Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata: "Aku melihat orang-orang yang membeli bahan makanan
dengan tanpa ditimbang pada zaman Rosulullah SAW mereka dilarang menjualnya kecuali harus
mengangkutnya ke tempat tinggal mereka terlebih dahulu." (HR. Bukhori 2131, dan Muslim 5/8)

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani berkata:

"Imam Bukhori sepertinya berdalil atas bolehnya menimbun/ihtikar dengan (hadits ini), karena
Nabi SAW memerintahkan pembeli bahan makanan supaya mengangkutnya terlebih dahulu ke
rumah-rumah mereka sebelum menjualnya kembali, dan seandainya ihtikar itu dilarang, maka
Rosulullah SAW tidak akan memerintahkan hal itu." (Fathul Bari 4/439-440).

D. Jenis Produk Ihtikar

Terdapat perbedaan kandungan ketiga definisi di atas dalam menimbun jenis produk yang
disimpan atau ditimbun di gudang, sekalipun dalam ihtikar ketiga definisi itu memberikan pengertian
yang sama yaitu, menimbun jenis barang yang diperlukan masyarakat, dengan tujuan menjualnya
ketika telah melonjak, barang itu baru dipasarkan. Akan tetapi, dari jenis produksi disimpan atau
ditimbun di gudang, terdapat perbedaan pendapat.

Ulama Malikiyah sebagian ulama Hanabilah, Abu Yusuf (731-798M), dan


lbn'Abidin(1198-1252.H/1714-1836M), keduanya pakar fiqh, Hanafi, menyatakan bahwa
larangan ihtikar tidak terbatas pada makanan,pakaian, dan hewan, tetapi meliputi scluruh produk, yang
diperlukanmasyarakat. Menurut mereka, yang menjadi illat (motivasi hukum)larangan
melakukan monopoli (ihtikar) itu adalah 'kemudharatan yang menimpa orang banyak". Oleh sebab itu,

2
kemudharatan yang menimpa orang banyak terbatas pada makanan, pakaian, dan hewan, tetapi
mencakup seluruh produk yang diperlukan orang.

Imam asy-Syaukani tidak merinci produk apa saja yang disimpan, sehingga seseorang dapat
dikatakan sebagai muitakir (pelaku ihtikar)menyimpan barang itu untuk dijual ketika harga melonjak.
Bahkan asy-Syaukani tidak membedakan apakah penimbunan itu terjadi ketika berada dalam keadaan
normal (pasar stabil), ataupun dalam keadaan pasar stabil. Hal ini perlu dibedakan, karena, menurut
jumhur ulama, 'jika sikap pedagang dalam menyimpan barang bukan untuk merusak harga pasar tidak
ada larangan. Menurut Fathi at-Duraini), Imam asy-Syaukani memang termasuk kedalam kelompok
ulama yang mengharamkan ihtikar pada seluruhbenda/barang yang diperlukan masyarakat.

Sebagian ulama Hanabilah dan Imam al-Gazali mengkhususkankeharaman ihtikar pada jenis
produk makanan saja. Alasan mereka adalahyang dilarang dalam nashsh (ayat atau hadis) hanyalah
makanan. Menurutmereka, karna masalah ihtikar menyangkut kebebasan pemilik barang untukmenjual
barangnya dan keperluan orang banyak. maka larangan itu harus terbatas pada apa yang ditunjuk
oleh nash saja.

Sedangkan ulama Syafi'iyah dan Hanafiyah membatasi ihtikar padakomoiti yang berupa makanan
bagi manusia dan hewan. Menurut mereka,komoditi yang terkait dengan keperluan orang banyak pada
umumnya hanya dua jenis ini. Oleh sebab itu, perlu dibatasi.

Setelah menganalisis berbagai definisi yang dikemukakan para ularma klasik dan memperhatikan
situasi perekonomian pada umumnya, Fathi ad Duraini, mendefinisi ihtikar dengan:

“Tindakan menyimpan, harta, manfaat atau jasa, dan enggan menjual dan memberikannya kepada
orang lain yang mengakibatkan rnelonjaknya harga pasar secara drastik disebabkan persediaan terbatas
atau stok barang hilang sama sekali dari pasar, sementara masyarakat, Negara atau pun hewan amat
memerlukan produk, manfaat, atau jasa itu”.

Monopoli (Ihtikar), menurut ad-Duraini tidak saja menyangkut komoditi, tetapi juga manfaat suatu
komoditi, dan balikan jasa dari para pemberi jasa; dengan syarat "embargo" yang dilakukan para
pedagang dan pemberi jasa ini boleh membuat harga pasar tidak stabil, padahal komoditi, manfaat,
atau jasa itu sangat diperlukan oleh masyarakat, negara dan lain-lain.

Misalnya, pedagang gula pasir di awal bulan ramadhan tidak mau menggelar barang dagangannya,
karna mengetahui bahwa pada minggu terakhir bulan Ramadan masyarakat sangat memerlukan gula
untuk menghadapi lebaran. Dengan menipisnya stok gula di pasar, harga gula akan naik. Ketika itulah
para pcdagang gula menjual gulanya, sehingga pedagang itu mendapatkan untung yang berlipat ganda.
Demikian juga para pedagang kain, mentega, serta produk lainnya yang sangat diperlukan masyarakat
pada mass menjelang Hari Raya Aidil Fitri

Berdasarkan pada ayat-ayat al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw.atas, para ulama fiqh sepakat
menyatakan bahwa ihtikar tergolong ke dalam perbuatan yang dilarang (haram). Seluruh ulama sepakat
menyatakan bahwa melakukan ihtikar itu hukumnya haram, meskipun terjadi perbedaan pendapat
tentang cara menetapkan hukum itu, sesuai dengan sistim pemahaman hak yang dimiliki mazhab
masing-masing.

2
E. Hukuman Bagi Pelaku Ihtikar

Ketika itu Sayyidina Umar menjabat sebagai Khalifah. Saat keluar menuju masjid, beliau mendapati
makanan-makanan digelar di depan masjid. “Untuk apa makanan ini?” tanya Umaar. Rakyatnya
menjawab: “Ini adalah makanan yang diimpor untuk kita.” “Mudah-mudahan Allah memberkahi
makanan ini serta orang yang mengimpornya.”

Lanjut Umar setelah itu, sebagian dari rakyat Umart bercerita bahwa makanan-makanan tersebut
adalah barang yang sebelumnya telah ditimbun oleh seseorang bernama Furukh dan seorang budak.
Ketika dua laki-laki itu akhirnya dipanggil dan diklarifikasi oleh Umar, dua laki-laki tersebut menjawab:
“Kami membeli barang-barang itu dengan harta kami kemudian kami menjualnya.” Umar menukas :
“Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Barangsiapa menimbun makanan orang Islam, maka Allah akan
mengujinya dengan penyakit kusta dan kebangkrutan.” (HR. Ibnu Majah)

Dalam Hadis yang lain Rasulullah r bersabda: ”Orang yang mendatangkan (mengimpor) barang dari
daerah lain, maka ia akan mendapatkan rizki. Sementara orang yang menimbun barang akan
mendapatkan laknat (dari AllahU)." (HR. Ibnu Majah).

Apabila penimbunan suatu barang telah terjadi di pasar, maka pemerintah berhak memaksa
pedagang untuk menjualnya dengan harga normal pada saat itu. Bahkan menurut ulama fikih, para
pedagang menjual barang tersebut dengan harga modal sebagai hukumannya, karena mereka tidak
berhak mengambil untung. Disamping bertindak tegas, pemeritah sejak semula seharusnya dapat
mengantisipasi agar tidak terjadi ihtikardalam setiap komoditi, manfaat atau jasa yang sangat
dibutuhkan masyarakat.

Dalam Maklumat Kapolri menegaskan, para pelaku usaha dilarang dengan sengaja menimbun atau
menyimpan melebihi jumlah yang maksimal diperbolehkan atau diluar batas kewajaran, dengan maksud
untuk memperoleh keuntungan, sehingga mengakibatkan harga pangan pokok menjadi mahal atau
melambung tinggi. Selain itu para pelaku usaha juga dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok
dan/atau barang penting dalam jumlah atau waktu tertentu pada saat kelangkaan barang, gejolak harga
dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan.

Apabila ada pelaku usaha yang melakukan perbuatan seperti tersebut di atas, Kepolisian akan
melakukan tindakan tegas, karena itu perbuatan pidana, dan akan dikenakan pidana pasal 133 UU
Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, dengan ancaman pidana penjara paling lama 7 tahun atau
denda paling banyak 100 miliar, dan pasal 107 UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, dengan
ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak 50 miliar,” bunyi dalam
Maklumat Kapolri Jenderal Badrodin Haiti tertanggal 24 Agustus 2015.

Dengan beleid tersebut, pemerintah melakukan pengawasan distribusi dari produsen sampai
tangan konsumen atas 14 jenis barang kebutuhan pokok. Adapun barang kebutuhan pokok yang diawasi
meliputi barang kebutuhan pokok hasil pertanian (beras, kedelai bahan baku, tempe, cabai, dan bawang
merah), barang kebutuhan pokok hasil industri (gula, minyak goreng, dan tepung terigu), serta barang
kebutuhan pokok hasil peternakan/perikanan (daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, ikan segar
yaitu bandeng, kembung, tongkol/tuna/cakalang).

2
F. Dampak Ihtikar Terhadap Stabilitas Ekonomi

Tindakan penimbunan barang merupakan tindak pidana ekonomi, yaitu suatu tindak pidana yang
mempunyai motif ekonomi, sehingga merupakan salah satu bentuk kejahatan, karena merugikan
masyarakat dan Negara.

Seperti yang telah disinngung di atas, bahwa ihtikâr hukumnya haram. Sebab praktek ihtikâr ini
mengandung kecurangan, ketidak-adilan dan sangat membahayakan terhadap stabilitas ekonomi.
Dengan adanya ihtikâr, itu berarti hanya ada satu pihak yang sangat diuntungkan (dan pihak ini
termasuk minoritas) degan mengorbankan pihak mayoritas. Dan ini adalah masalah ketidak-adilan
dalam masalah ekonomi, padahal Islam memberikan porsi yang seimbang antara kepentingan umum
(mayoritas) dan kepentingan pribadi (minoritas).

Disamping mengandung ketidak-adilan, ihtikâr juga menyebabkan krisis yang sangat fatal dan
sangat mengancam stabilitas ekonomi. Ihtikâr juga menyebabkan kesulitan bagi orang lain serta
menyempitkan ruang gerak mereka untuk memeperoleh kebutuhannya.

G. Hikmah di Balik Larangan Ihtikar

Imam Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan ihtikar adalah mencegah hal-hal yang
menyulitkan manusia secara umum, oleh karenanya para ulama sepakat apabila ada orang memiliki
makanan lebih, sedangkan mausia sedang kelaparan dan tidak ada makanan kecuali yang ada pada
orang tadi, maka wajib bagi orang tersebut menjual atau memberikan dengan cuma-cuma makanannya
kepada manusia supaya manusia tidak kesulitan. Demikian juga apabila ada yang menimbun selain
bahan makanan (seperti pakaian musim dingin dan sebagainya) sehingga manusia kesulitan
mendapatkannya, dan membahayakan mereka, maka hal ini dilarang dalam Islam.

Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya dan menjauhkannya dari peredaran.


Padahal, jika harta itu disertakan dalam usaha-usaha produktif seperti dalam perencanaan produksi,
maka akan tercipta banyak kesempatan kerja yang baru dan mengurangi pengangguran. Kesempatan-
kesempatan baru bagi pekerjaan ini bisa menambah pendapatan dan daya beli masyarakat sehingga
bisa mendorong meningkatnya produksi, baik itu dengan membuat rencana-rencana baru maupun
dengan memperluas rencana yang telah ada. Dengan demikian, akan tercipta situasi pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi dalam masyarakat.

Penimbunan barang merupakan halangan terbesar dalam pengaturan persaingan dalam pasar
Islam. Dalam tingkat internasional, menimbun barang menjadi penyebab terbesar dari krisis yang
dialami oleh manusia sekarang, yang mana beberapa negara kaya dan maju secara ekonomi
memonopoli produksi, perdagangan, bahan baku kebutuhan pokok. Bahkan, negara-negara tersebut
memonopoli pembelian bahan-bahan baku dari negara yang kurang maju perekonomiannya dan
memonopoli penjulan komoditas industri yang dibutuhkan oleh negara-negara tadi. Hal itu
menimbulkan bahaya besar terhadap keadilan distribusi kekayaan dan pendapatan dalam tingkat dunia.

2
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Monopoli atau ihtikar artinya menimbun barang agar yang beredar di masyarakat berkurang, lalu
harganya naik. Yang menimbun memperoleh keuntungan besar, sedang masyarakat dirugikan. Para
ulama berbeda pendapat tentang hukum ihtikar ada yang berpendapat Haram secara mutlak, makruh
secara mutlak, haram apabila berupa bahan makanan saja , haram ihtikar disebagian tempat saja,
seperti di kota Makkah dan Madinah dan pula yang berpendapat bahwa ihtiakr itu boleh.

Ihtikar dalam salah satu barang kebutuhan manusia, maka perekonomian mereka akan terganggu
dan mereka akan kesulitan mendapatkan barang yang dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat lain yang
luas, apabila ada yang menimbun barang dagangannya yang tidak mempengaruhi perekonomian
manusia, sehingga tidak dilarang ihtikar di dalamnya

Penimbunan barang merupakan halangan terbesar dalam pengaturan persaingan dalam pasar
Islam. Dalam tingkat internasional, menimbun barang menjadi penyebab terbesar dari krisis yang
dialami oleh manusia sekarang,

Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ihtikar yang menyebabkan kelangkaan barang dan
merusak mekanisme pasar hukumnya haram dan untuk mengatasi hal ini pemerintah harus campur
tangan untuk mengawasi harga dan pengaturan perantara perdagangan.

2
DAFTAR PUSATAKA

Hartono. Monopoli (Ikhtikar). 17 Mei 2012. [Online]. Tersedia :


http://hartonouisb.blogspot.co.id/2012/05/monopoli-ikhtikar-hartonoma-uisb-solok.html. [Diakses
pada tanggal 07 Oktober 2015].

Achmad, Rosid. Pengaruh Ihtikar Terhadap Stabilitas Ekonomi. 12 Mei 2013. [Online].
http://rosidachmad37.blogspot.co.id/2013/05/pengaruh-ihtikar-terhadap-stabilitas.html. [Diaskes pada
tanggal 07 Oktober 2015].

Mulyana, Asep. Maklumat Kapolri : Tindak Tegas Kejahatan Penimbun Bahan Pokok. 31 Agustus 2015.
[Online]. http://newsmetropol.com/maklumat-kapolri-tindak-tegas-kejahatan-penimbun-bahan-pokok/.
[Diakses pada tanggal 07 Oktober 2015].

Anda mungkin juga menyukai