Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH HUKUM BISNIS

ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT


Dosen pengampu: Prof. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A.

Disusun Oleh:
Kelompok 7
Aisyah Farah Muthmainah (11210480000032)
Haikal Rizky Hakim (11210480000051)
Kyla Tabitha Rafaella (11210480000056)
Muhammad Yusuf Abdillah (11210480000096)
Dieva Ayu Marsyanda (11210480000109)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur terpanjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat petunjuk,
pertolongan, dan kehendak-Nya penulis dapat menyelessaikan sebuah makalah
Hukum Bisnis yang berjudul “Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat”.

Selama penyusunan makalah ini terdapat kendala yang dihadapi, namun


berkat bantuan dari seluruh pihak, kendala tersebut dapat diatasi dengan baik. Pada
kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. Djawahir Hejazziey, SH., MA., MH selaku dosen mata kuliah
Hukum Bisnis.
2. Serta seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini

Adapun makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini dan kemajuan penulis di masa yang akan
datang. Selain itu, penulis mengharapkan semoga apa yang tertulis di dalam
makalah ini dapat menjadi hal yang bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi
penulis dan umumnya bagi semua yang memerlukan.

Jakarta, 17 September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i


DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 2
C. Tujuan Makalah.................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 3
A. Pengertian Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat ................................... 3
B. Konsep Pikir Monopoli dan Anti Monopoli ....................................................... 8
C. Pengecualian dari Undang-Undang Antimonopoli .......................................... 12
D. Perjanjian-Perjanjian yang Dilarang................................................................ 17
E. Anti Monopoli dan Prinsip Perdagangan menurut Konsep Islam ................. 26
BAB III PENUTUP ......................................................................................................... 30
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 30
B. Saran .................................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 31

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada hakikatnya setiap manusia yang hidup di lingkungan masyarakat
pasti memiliki keinginan untuk bersaing dengan manusia lainnya dalam
berbagai hal. Begitu pula dalam dunia usaha atau bisnis, salah satu bentuk
interaksi sosial yang sering kali terjadi adalah persaingan atau kompetisi.
Persaingan merupakan bagian dari cara seorang pelaku usaha untuk
memperoleh keuntungan sebesar mungkin. Jika sebuah perusahaan tidak
punya kemampuan bersaing dengan lawan-lawannya maka cepat atau
lambat perusahaan tersebut akan gulung tikar.
Jika melihat praktik di lapangan, melalui persaingan akan muncul
semangat untuk mengembangkan usaha yang secara tidak langsung
membawa dampak positif bagi perekonomian negara. Namun selain
memberi dampak positif, persaingan juga bisa membawa dampak negatif
yakni persaingan usaha yang tidak sehat dan monopoli. Apabila dikaitkan
dengan keadaan di Indonesia, praktik persaingan usaha yang tidak sehat dan
praktik monopoli ini sebenarnya sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda
khususnya pada saat pembentukan VOC.
Bahkan setelah Indonesia merdeka sampai memasuki era Orde Baru
praktik ini masih sering dilakukan oleh para pengusaha dan orang yang
bekuasa untuk menguasai perekonomian negara. Oleh karena itu di era
Reformasi dibentuk Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Salah satu
tujuan dibentuknya undang-undang ini adalah untuk menyelamatkan
perekonomian Indonesia yang keadaannya sudah cukup parah pada masa
itu.
Namun tidak semua pasal dalam undang-undang ini bersi larangan
tetapi terdapat juga pengecualian terhadap hal-hal tertentu. Perlu diketahui
juga sebelum negara menetapkan hukum bagi praktik persaingan usaha
yang tidak sehat dan monopoli, Islam sudah menetapkannya terlebih dahulu

1
2

bagaimana cara berdagang yang baik dan benar serta tidak melanggar
syariat-syariat Islam. Untuk itu dalam makalah ini akan menjelaskan lebih
lanjut tentang anti monopoli dan persaingan usaha dari berbagai aspek.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian antimonopoli dan persaingan tidak sehat?
2. Bagaimana konsep pikir monopoli dan antimonopoli?
3. Apa saja pengecualian dari Undang-Undang Antimonopoli?
4. Apa saja perjanjian-perjanjian yang dilarang?
5. Bagaimana antimonopoli dan prinsip perdagangan menurut konsep
islam?

C. Tujuan Makalah
1. Agar mengetahui pengertian antimonopoli dan persaingan tidak sehat
2. Agar mengetahui konsep pikir monopoli dan antimonopoli
3. Agar mengetahui pengecualian dari Undang-Undang Antimonopoli
4. Agar mengetahui perjanjian-perjanjian yang dilarang
5. Agar mengetahui antimonopoli dan prinsip perdagangan menurut
konsep islam
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat
Secara etimologi, kata “monopoli” berasal dari kata Yunani ‘Monos’ yang
berarti sendiri dan ‘Polein’ yang berarti penjual. Dari akar kata tersebut secara
sederhana orang lantas memberi pengertian monoopli sebagai suatu kondisi
dimana hanya ada satu penjual yang menawarkan (supply) suatu barang atau
jasa tertentu.“Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti
monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya
juga sepadan dengan arti istlah “monopoli”. Disamping itu terdapat istilah yang
artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”.
Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”,
“antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan
pemakaiannya.
Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan
dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi
produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar
tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa
mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan
penawaran pasar.
Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut
UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan
ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya
produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan
umum.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada
monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang
dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok
pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli). Sementara yang
dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan

3
4

ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya
produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga
menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan
kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti
Monopoli.
Menurut UU nomor 5 tahun 1999 pasal 1 butir 1 UU Antimonopoli,
Monopoliadalah penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau
atas penggunaan jasa tertentu oleh suatu pelaku usaha atau suatu kelompok
usaha. Persaingan usaha tidak sehat (curang) adalah suatu persaingan antara
pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang
atau jasa dilakukan dengan cara melawan hukumatau menghambat persaingan
usaha.
Dalam UU nomor 5 tahun 1999 pasal 1 butir 6 UU
Antimonopoli,’Persaingan curang (tidak sehat ) adalah persaingan antara pelaku
usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang
dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau
menghambat persaingan usaha’.
Perkembangan usaha swasta pada kenyataan ini masih belum dikatakan
sejahtera, dan seiring dengan kecenderungan globalisasi perekonomian di
Indonesia kondisi persaingan usaha kini makin tidak sehat. Situasi dan kondisi
usaha di Indonesia menuntut bangsa Indonesia untuk mencermati dan menata
kembali kegiatan usaha yang ada di Indonesia, hal ini bertujuan agar dunia
usaha dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan benar sehingga
terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka disusunlah tatanan hukum
antimonopoli dan persaingan usaha yang dituangkan dalam produk hukum
berupa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Selanjutnya disebut sebagai UU
Antimonopoli). Dengan demikian dalam tulisan ini akan dibahas terlebih
dahulu mengenai antimonopoli itu sendiri, bahwa pada Pasal 1 butir 1 UU
Antimonopoli memberikan pengertian bahwa monopoli itu ialah penguasaan
5

atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu
oleh suatu pelaku usaha atau satu kelompok usaha.
Pengertian monopoli itu sendiri erat kaitannya dengan istilah praktek
monopoli, ialah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha
yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang dan
atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat dan dapat
merugikan kepentingan umum.
Kondisi kegiatan usaha lainnya yang sama berbahayanya dengan praktek
monopoli sekaligus dapat merugikan kepentingan umum adalah persaingan
usaha tidak sehat. Dengan demikian perlu diperhatikan pada pasal 1 butir 6 UU
Antimonopoli memberikan pengertian bahwa persaingan usaha tidak sehat
adalah persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi
dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara yang tidak
jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Perlu kita ketahui bahwa salah satu hal yang diatur dalam UU
Antimonopoli ialah dilarangnya perjanjian-perjanjian tertentu yang dianggap
dapat menimbulkan monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Mengenai
apa yang dimaksud dengan kata perjanjian itu telah diatur secara tegas dalam
pasal 1 butir 7 UU Antimonopoli yang menyatakan bahwa “perjanjian adalah
suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap
satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun
tidak tertulis”.
Sehingga perjanjian yang dilarang dalam hukum antimonopoli ialah
perjanjian yang terjadi atau mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat, seperti monopsoni, penguasaan pasar, kecurangan dalam
menetapkan biaya produksi. Sebagai contoh, salah satunya seperti oligopoli
diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) yang secara khusus menegaskan sebagai
berikut:

1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain


secara bersama-sama dalammelakukan penguasaan produksi dan/atau
6

pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya


praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat;
2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama
melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau
jasa, sebagaimana dimaksud huruf a, apabila 2 atau 3 pelaku usaha
atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar
satu jenis barang atau jasa tertentu.

Tinggal menghitung hari, kita akan memasuki era pasar bebas tingkat
Asia (Asian Free Trade Market) atau dalam istilah lain disebut MEA
(Masyarakat Ekonomi Asia) yang akan dimulai pada bulan Desember tahun
2015, sehingga dalam rangka memasuki AFTA, setiap pelaku bisnis harus
mengerti tentang seluk beluk praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat, sebagaimana yang diatur dalam UU Anti Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat.
Di negara lain keberadaan Undang-Undang Anti Monopoli sebenarnya
sudah sangat tua. Di Amerika Serikat, keberadaan Undang-Undang tersebut
sudah berumur lebih dari 100 tahun yang dikenal dengan nama Shermant Act.
Di Kanada pada tahun 1889 Undang-Undang semacam itu sudah dikenal, di
Jepang umurnya sekitar 40 tahun, di Jerman umurnya sekitar 60 tahun dan
terdapat lembaga pengawas dengan nama Bundes Kartel Amm. Dan di Eropa
sudah lama dikenal perjanjian di antara negara-negara Eropa untuk
menyelesaikan perkara-perkara atau kasus-kasus monopoli yang terjadi yang
dilakukan secara cross border atau dilakukan secara lintas batas di berbagai
negara Eropa.
Berbeda dengan Indonesia nanti setelah dilanda berbagai krisis, mulai dari
krisis keuangan, ekonomi kemudian krisis multi-dimensi barulah pada tahun
1999, tepatnya bulan Maret Undang-Undang tentang monopoli diterbitkan,
padahal diskusi-diskusi tentang pentingnya Undang-Undang Anti Monopoli
sudah lama dibicarakan, hal ini sudah menunjukkan begitu lambatnya kita
merespon perkembangan hukum yang sedang berlangsung saat ini yang setiap
7

detik mengalami perubahan terutama hukum yang mengatur mengenai masalah


bisnis.
Pada intinya Undang-Undang Anti Monopoli dirancang untuk
mengoreksi tindakan-tindakan dari kelompok pelaku ekonomi yang menguasai
pasar. Karena dengan posisi dominan maka mereka dapat menggunakan
kekuatannya untuk berbagai macam kepentingan yang menguntungkan pelaku
usaha. Sehingga dengan lahirnya Undang-Undang Anti Monopoli maka ada
koridor-koridor hukum yang mengatur ketika terjadi persaingan usaha tidak
sehat antara pelaku-pelaku usaha.
Ditinjau lebih lanjut sebenarnya terjadinya suatu peningkatan konsentrasi
dalam suatu struktur pasar dapat disebabkan oleh beberapa hal yang dapat
menimbulkan terjadinya monopolistik di antaranya adalah pembangunan
industri besar dengan teknologi produksi massal (mass production) sehingga
dengan mudah dapat membentuk struktur pasar yang monopolistik dan
oligopolistik, kemudian faktor yang lain adalah pada umumnya industri atau
usaha yang besar memperoleh proteksi efektif yang tinggi, bahkan melebihi
rata-rata industri yang ada kemudian faktor yang lain adalah industri tersebut
memperoleh kemudahan dalam mendapatkan Sumber Daya Alam (SDA) dan
Sumber Daya Manusia (SDM) yang lebih baik, dan dengan adanya berbagai
usaha yang menghambat usaha baru.
Sebagai akibatnya pelaku usaha yang memiliki industri tersebut
membentuk kelompok dan dengan mudah memasuki pasar baru serta pada
tahap selanjutnya akan melakukan diversifikasi usaha dengan mengambil
keuntungan dari kelebihan sumber daya manusia dan alam serta keuangan yang
berhasil dikumpulkan dari pasar yang ada.
Sehingga, pada tahap selanjutnya struktur pasar oligopolistik dan
monopolistik tidak dapat dihindarkan, akan tetapi bukan pula bahwa lahirnya
direncanakan. Oleh sebab itu pada negara-negara berkembang dan beberapa
negara yang sedang berkembang struktur pasar yang demikian perlu ditata atau
diatur dengan baik, yang pada dasarnya akan mengembalikan struktur pasar
menjadi pasar yang lebih kompetitif. Salah satu cara dengan menciptakan
8

Undang-Undang Anti Monopoli sebagaimana dalam Undang-Undang Anti


Monopoli yang saat ini berlaku di Indonesaia, yang dimaksudkan untuk
membubarkan grup pelaku usaha yang telah menjadi oligopoli atau trust akan
tetapi hanya ditekankan untuk menjadi salah satu alat hukum untuk
mengendalikan perilaku grup pelaku usaha yang marugikan masyarakat
konsumen.
Pengertian persaingan usaha menurut UU No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
bahwa Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa
yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha.
Menurut sistematik Pasal 1 Angka 6 UU No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat bahwa
persaingan usaha tidak sehat ditandai 3 alternatif kriteria, yaitu :
1. Persaingan usaha yang dilakukan dengan tidak jujur;
2. Melawan hukum; dan
3. Menghambat persaingan usaha.
Persaingan usaha yang dilakukan dengan tidak jujur dan melawan hukum
merupakan perilaku persaingan usaha tidak sehat sedangkan menghambat
persaingan usaha merupakan akibat suatu perilaku tersebut.

B. Konsep Pikir Monopoli dan Anti Monopoli


Kata monopoli mempunyai pengertian dalam Black Law Dictionary1, yaitu:

Monopoly is a previlege or peculiar advantage vested in one or more


persons or companies consisting in the exclusive right (or power) to
carry on a particular business or teadw, manufacture a particular
article, or control the sale of the whole supply of a particular commodoty.

1
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha : Teori Dan Praktiknya Di Indonesia (Jakarta:
Rajawali Pers, 2017)., hlm. 7.
9

A form of market structure in which one or only a few dominate the total
sales of product or service.

Yang jika diterjemahkan, akan memiliki arti bahwa monopoli adalah hak
istimewa atau keuntungan yang melekat pada satu atau lebih orang atau
perusahaan yang terdiri dalam hak eksklusif (atau kekuasaan) untuk
menjalankan suatu bisnis tertentu atau perdagangan, manufraktur artikel
tertentu, atau mengontrol perjualan pasokan seluruh komoditas tertentu. Suatu
bentuk struktur pasar dimana satu atau hanya beberapa mendominasi total
penjualan produk atau jasa.

Monopoli diartikan menurut UU no. 5 Tahun 1999 sebagai penguasaan


atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau penggunaan jasa tertentu
oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha. Yang dimaksud dengan
pelaku usaha ialah setiap orang atau badan usaha yang berbentuk badan hukum
maupun yang bukan berbadan hukum, yang didirikan dan melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan adanya perjanjian, mengadakan berbagai kegiatan usaha
di bidang ekonomi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) monopoli merupakan


situasi pengadaan barang dagangannya tertentu (di pasar lokal atau nasional)
sekurang-kurangnya sepertiganya dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok,
sehingga harganya dapat dikendalikan, seperti penguasaan minyak bumi dan
gas alam oleh pemerintah dan hak tunggal untuk berusaha lainnya.2

Di dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang no. 5 Tahun 1999 disebutkan


bahwa pelaku usaha dapat dianggap secara bersama-sama melakukan
penguasaan produksi atau pemasaran barang atau jasa, jika kelompok usaha
menguasai lebih dari 75% pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Dengan

2
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2nd ed. (Jakarta: Balai Pustaka, 1994)., hlm. 664.
10

demikian praktik monopoli harus dibuktikan dahulu adanya unsur yang


mengakibatkan persaingan tidak sehat dan merugikan kepentingan umum.

Terdapat macam jenis monopoli yang pengertian dari masing-masingnya


perlu dijabarkan untuk dapat membedakan mana monopoli yang merugikan
dan mana yang berdampak positif, yaitu sebagai berikut:

1. Monopoly by Law, dapat dilihat dari Pasal 33 UUD 1945 yang


menghendaki adanya monopoli untuk menguasai bumi dan air
berikut dengan kekayaan alamnya
2. Monopoly by Nature, selain didukung iklim dan lingkungan usaha
yang sehat, juga lahir dari suatu pelaku usaha yang berhasil
menciptakan efisiensi dalam produksinya sehingga menurunkan
biaya produksi dengan sangat tajam
3. Monopoly by License, adanya pelaku usaha yang memiliki hak paten
atas kekayaan intelektualnya

Selain pengertian dan jenis, adapun ciri-ciri dari monopoli yang dapat
mengidentifikasi suatu pasar atau perusahaan monopoli, yaitu: 3

1. Hanya terdapat satu perusahaan atau pemasok


2. Tidak adanya barang substitusi atau pengganti
3. Price maker
4. Calon pendatang baru kesulitan untuk memasuki pasar

Beberapa contoh perusahaan monopoli yang ada di Indonesia adalah


PLN, Pertamina, dan PDAM. Ketiga perusahaan tersebut merupakan pemasok
utama listrik, bahak bakar, dan air bersih untuk kebutuhan masyarakat.
Terdapat juga beberapa contoh dari perusahaan monopoli yang berada di luar
negeri, diantaranya ialah Google, Microsoft, dan Facebook. Dari yang

3
Redaksi OCBC NISP, “Pasar Monopoli: Pengertian, Ciri-Ciri & Contohnya di Indonesia”,
https://www.ocbcnisp.com/id/article/2022/02/02/apa-itu-monopoli, (diakses tanggal 16 September
2022).
11

disebutkan, beberapa perusahaan memiliki pesaing yang sayangnya belum


sepadan dengan kekuatan dan kebesaran perusahaan-perusahaan tersebut.4

Berdasarkan penjelasan yang telah dijabarkan, konsep daripada


monopoli ialah seseorang atau lebih, atau suatu kelompok yang memiliki kuasa
atas produksi atau pemasaran barang atau jasa tertentu yang mana dapat
mengakibatkan persaingan tidak sehat dan merugikan kepentingan umum
apabila pelaku usaha menguasai lebih dari 75% berdasarkan UU. Oleh karena
itu, di dalam hukum persaingan usaha Indonesia yang dilarang ialah praktek
monopoli yang menyebabkan dampak buruk bagi kepentingan umum, bukan
monopoli itu sendiri yang dilarang. Monopoli dapat terjadi bukan saja hanya
dari niat pelaku usaha untuk mempunyai kuasa atas pasar, tetapi dapat terjadi
dalam pasar persaingan yang sehat.

Sebelumnya telah disinggung bahwa terdapat Undang-Undang yang


mendefinisikan apa itu monopoli. Undang-Undang no. 5 Tahun 1999 sendiri
merupakan Undang-Undang yang mengatur tentang Larangan Praktek
Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Adanya Undang-Undang ini
dibuat dengan tujuan:

1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi


nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan
persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian
kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, menengah,
dan kecil.
3. Mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
yang ditimbulkan oleh pelaku usaha
4. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

4
Redaksi OCBC NISP, “Pasar Monopoli: Pengertian, Ciri-Ciri & Contohnya di Indonesia”,
https://www.ocbcnisp.com/id/article/2022/02/02/apa-itu-monopoli, (diakses tanggal 16 September
2022).
12

Untuk terealisasinya tujuan dari UU no. 5 Tahun 1999 dan untuk


mengawasi jalannya suatu pelaku usaha atau perusahaan agar tidak terjadi
persaingan usaha dan tidak terjadinya kecurangan, dibentuklah Komisi
Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) oleh pemerintah. KPPU merupakan
sebuah lembaga yang berstatus independen di Indonesia dan dibentuk dengan
tujuan untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Adapun tugas
dari KPPU meliputi:

1. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan


terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
2. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan/atau tindakan
pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat
3. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidaknya penyalahgunaan
posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
4. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang komisi
5. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah
yang berkaitan dengan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak
sehat
6. Menyusun pedoman dan/atau publikasi yang berkaitan dengan UU
ini
7. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja KPPU kepada
Presiden dan DPR.

C. Pengecualian dari Undang-Undang Antimonopoli


Dalam Hukum Persaingan Usaha, larangan praktik monopoli termasuk
bagian dari etika bisnis. Dikatakan etika karena menyangkut baik buruknya
suatu perbuatan dan pada dasarnya monopoli adalah tindakan yang merugikan
bagi konsumen maupun pelaku usaha lain dan juga merusak keseimbangan
tatanan pasar. Hal tersebut dapat menyebabkan pasar kehilangan kendali untuk
13

menentukan harga, dan harga-harga barang di pasar hanya ditentukan oleh


orang-orang yang berkuasa atas pasar. Oleh karena itu di Indonesia dibentuk
hukum yang mengatur secara khusus tentang larangan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat, yakni UU No. 5 tahun 1999.

Dengan berlakunya undang-undang ini maka setiap pelaku usaha di


Indonesia akan menganggap bahwa praktik monopoli dalam bentuk apapun
dilarang tegas dipergunakan untuk menjalankan usaha. Namun, apabila UU No.
5 tahun 1999 ini ditinjau kembali akan ditemukan 2 pasal yang berisi
pengecualian terhadap penggunaan praktik monopoli. Pengecualian tersebut
terdapat pada pasal 50 dan 51 UU No. 5 tahun 1999. Adapun isi dari pasal 50
tersebut menyatakan bahwa, yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang
ini adalah:

1. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan


perundangundangan yang berlaku; atau
2. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti
lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri,
rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian
yang berkaitan dengan waralaba; atau
3. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang
tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan; atau
4. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat
ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga
yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan; atau
5. perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan
standar hidup masyarakat luas; atau
6. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah
Republik Indonesia; atau
7. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak
mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau
8. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau
14

9. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani


anggotanya.
Penjelasan secara terperinci terkait huruf-huruf pada pasal 50 ini tidak
dicantumkan dalam UU No. 5 tahun 1999. Ketidakjelasan penafsiran dalam
undang-undang ini secara tidak langsung dapat memicu penyalahgunaan aturan
khususnya demi keuntungan pribadi para pelaku usaha. Oleh karena itu
dibutuhkan peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk
mengantisipasi dan mengawasi pelaksanaan pasal 50 UU No. 5 tahun 1999.
Adapun penjelasan mengenai huruf-huruf dalam pasal pengecualian ini sebagai
berikut:

1. Ketentuan pengecualian dalam ketentuan pasal 50 huruf a UU No. 5


tahun 1999, dimaksudkan untuk:
a. Menyeimbangkan kekuatan ekonomi yang tidak sama, misalnya
antara pengusaha kecil dan pengusaha yang memiliki kekuatan
ekonomi lebih kuat.
b. Menghindari terjadinya kerancuan dalam penerapan UU No. 5
Tahun 1999, apabila terjadi konflik kepentingan yang sama-sama
ingin diwujudkan melalui kebijakan yang diatur dalam berbagai
peraturan perundang-undangan.
c. Mewujudkan kepastian hukum dalam penerapan peraturan
perundang-undangan, misalnya pengecualian bagi beberapa
kegiatan lembaga keuangan untuk mengurangi resiko dan
ketidakpastian.
d. Melaksanakan ketentuan dalam Pasal 33 ayat (2), ayat (3) dan ayat
(4) UUD Tahun 1945.
e. Ketentuan yang bersifat pengecualian atau pembebasan ini
dimaksudkan untuk menhindari terjadinya benturan dari berbagai
kebijakan yang saling bertolak belakang, namun sama-sama
diperlukan dalam menata perekonomian nasional.
f. Pengecualian pasa pasal 50 huruf a UU No. 5 Tahun 1999, hanya
berlaku bagi pelaku usaha yang dibentuk atau ditunjuk oleh
15

Pemerintah. Artinya pengecualian ini tidak dapat diterapkan kepada


semua pelaku usaha.5
2. Ketentuan pengecualian dalam pasal 50 huruf b UU No. 5 tahun 1999
telah ditetapkan oleh KPPU dalam Peraturan Nomor 2 Tahun 2009.
Setiap orang hendaknya memandang pengecualian tersebut dalam
konteks sebagai berikut:
a. Bahwa perjanjian lisensi HKI tidak secara otomatis melahirkan
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat;
b. Bahwa praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang
timbul akibat pelaksanaan perjanjian lisensi adalah kondisi yang
hendak dicegah melalui hukum persaingan usaha;
c. Bahwa untuk memberlakukan hukum persaingan usaha terhadap
pelaksanaan perjanjian lisensi HKI haruslah dibuktikan: (1)
perjanjian lisensi HKI tersebut telah sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan dalam perundang-undangan HKI, dan (2) adanya kondisi
yang secara nyata menunjukkan terjadinya praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat;
d. Bahwa pengecualian dari ketentuan hukum persaingan usaha
terhadap perjanjian lisensi HKI hanya diberlakukan dalam hal
perjanjian lisensi HKI yang bersangkutan tidak menampakkan
secara jelas sifat anti persaingan usaha.
3. Berdasarkan ketentuan pasal 50 huruf c UU Nomor 5 Tahun 1999,
perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan/atau jasa, yang
tidak menghambat atau menghalangi persaingan dikecualikan pula,
karena untuk mengamankan produksi dalam negeri, baik mutu maupun
teknis, yang ujung-ujungnya juga untuk kepentingan konsumen dan
pelaku usaha.6
4. Ketentuan pengecualian dalam pasal 50 huruf d UU No. 5 tahun 1999
telah ditetapkan oleh KPPU dalam Peraturan Nomor 7 Tahun 2009.

5
NR Soepadmo, Hukum Persaingan Usaha, (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2020), hal.25.
6
NR Soepadmo, Hukum Persaingan Usaha, (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2020), hal.28.
16

Secara umum dapat disimpulkan, bahwa ciri-ciri suatu perjanjian yang


dikecualikan adalah, jika:

a. Agen bertindak untuk dan atas nama prinsipal;


b. Harga jual suatu barang atau jasa ditetapkan oleh prinsipal;
c. Prinsipal menanggung risiko akibat perjanjian antara agen dengan
pihak ketiga;
d. Hubungan antara prinsipal dengan agen adalah hubungan kerja
pada tingkat pertama;
e. Agen mendapatkan komisi atau salary dari hubungan kerja tersebut.

5. Ketentuan pengecualian dalam pasal 50 huruf e UU No. 5 tahun 1999:


dasar dari pengecualian ini disandarkan pada perluasan ide dan karya
yang harus dilindungi. Jika tidak ada pengembangan maka sulit
memajukan ekonomi dari produk baik dilihat dari sisi kualiatas atau
jenisnya, namun tidak semua langsung dikecualikan, melainkan berlaku
asas rule of reason.
6. Ketentuan pengecualian dalam pasal 50 huruf f UU No. 5 tahun 1999:
perjanjian internasional yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah
Republik Indonesia dikecualikan dari hukum persaingan usaha, sebab
ketentuan ini merupakan fisolofi hubungan luar negeri yang timbul
karena masing-masing Negara mempunyai hukum antimonopoli secara
nasional demi mengamankan kepentingan ekonominya masing-masing,
untuk itu perlu adanya filosofi yang memperhatikan hubungan
internasional.7
7. Ketentuan pengecualian dalam pasal 50 huruf g UU No. 5 tahun 1999:
ekspor bukan bagian dari monopoli selama tidak berhubungan dengan
pemasokan dalam negeri dan juga selama hal tersebut tidak
menghalangi (barrier to entry) pelaku usaha sejenis untuk tujuan yang
sama.

7
NR Soepadmo, Hukum Persaingan Usaha, (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2020), hal.30.
17

8. Ketentuan pengecualian dalam pasal 50 huruf h UU No. 5 tahun 1999


sudah sangat jelas bahwa pelaku usaha yang termasuk usaha kecil
dilindungi dari persaingan usaha tidak sehat oleh pelaku usaha besar.
9. Ketentuan pengecualian dalam pasal 50 huruf i UU No. 5 tahun 1999
dimaksudkan bagi koperasi-koperasi yang hanya melayani sebatas
anggota-anggota saja tetapi tidak untuk koperasi yang memiliki tujuan
pasar dan menghadapi pelaku-pelaku usaha lain

Selain dijelaskan pada pasal 50 pengecualian terhadap penggunaan


praktik monopoli juga dijelaskan pada pasal 51 UU No. 5 tahun 1999 yang
menyatakan bahwa: Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan
dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat
hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik
Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh
Pemerintah.

D. Perjanjian-Perjanjian yang Dilarang


1. Oligopoli
Menurut Black’s Law Dictionary, oligopoli adalah:
“Economic condition where only a few companies sett substantially
similar or standardized products.”
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, oligopoli adalah
“Keadaan pasar dengan produsen pembekal barang hanya berjumlah sedikit
sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat memengaruhi harga pasar,
atau keadaan pasar yang tidak seimbang karena dipengaruhi oleh sejumlah
pembeli.”
Dalam pasar oligopoly, masing-masing pedagang mempunyai
kekuatan untuk menentukan pasar. Para pedagang dapat saling bersaing
yang dampaknya seperti apa yang terjadi pada pasar persaingan sempurna.
Penjual akan berlomba memberikan yang terbaik bagi konsumennya dengan
tingkat harga tertentu. Namun, jika penjual atau produsen dalam pasar
18

oligopoly ini bukannya bersaing melainkan berkolusi membuat perjanjian,


baik secara tertulis maupun tidak tertulis untuk menentukan harga,
menentukan produksi, atau membagi wilayah pasar secara geografis, hal ini
akan menyebabkan kemampuan mereka memengaruhi pasar menjadi
semakin besar. Jumlah barang yang tersedia di pasar semakin sedikit, harga
yang harus dibayar oleh pembeli semakin tinggi, maka terjadilah inefisiensi
alokatif.
Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, oligopoly dikelompokkan
ke dalam kategori perjanjian yang dilarang yang mana melarang pelaku
usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainnya untuk secara
bersama-sama melakukan penguasaan produksi, pemasaran barang atau jasa
yang mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha
tidak sehat. Hal ini patut diduga Ketika telah terjadi dua atau tiga pelaku
usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar
dari satu jenis barang atau jasa tertentu.8
2. Penetapan Harga
Perjanjian penetapan harga merupakan sebuah strategi yang bertujuan
untuk mencapai keuntungan yang setinggi-tingginya. Dengan adanya
penetapan harga antar pelaku usaha, maka akan menghilangkan persaingan
harga produk yang mereka jual, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
surplus konsumen yang seharusnya dinikmati pembeli atau konsumen
terpaksa beralih ke produsen atau penjual.9
Di sisi lain, perjanjian penetapan harga dikategorikan perjanjian yang
dilarang sebagaimana yang tercantum pada Undang-Undang No. 5 Tahun
1999, karena penetapan harga akan menyebabkan tidak dapat berlakunya
hukum pasar tentang harga yang terbentuk dari adanya penawaran dan
permintaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 1, pelaku usaha dilarang
melakukan perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan

8
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, Jakarta: Kencana, hlm. 121.
9
Kiagoos Haqqy Annafi Ghany Aziz, “Perjanjian Yang Dilarang Berdasarkan Perspektif Hukum
Persaingan Usaha Di Indonesia”, Vol. 5. No. 2 Maret 2021.
19

untuk menetapkan suatu harga tertentu atas suatu barang atau jasa yang akan
diperdagangkan pada pasar yang bersangkutan, sehingga dengan adanya
perjanjian tersebut dapat meniadakan persaingan usaha di antara pelaku
usaha yang mengadakan perjanjian tersebut.
a. Perjanjian penetapan harga antar pelaku (Pasal 5 UU No. 5 Tahun
1999)10, Perjanjian penetapan harga sebetulnya merupakan
Tindakan yang dilarang dalam asas persaingan. Hal ini dapat
merugikan konsumen karena bentuk harga yang lebih tinggi dan
jumlah barang yang lebih sedikit tersedia.11
b. Diskriminasi harga (price discrimination) - Pasal 6 UU No. 5 Tahun
1999, Dalam hal ini yang dilarang adalah membuat perjanjian yang
memberlakukan diskriminasi terhadap kedudukan konsumen tang
satu dengan konsumen lainnya, dengan memberikan harga yang
berbeda-beda terhadap barang atau jasa yang sama.12
c. Penetapan harga di bawah harga pasar (predatory pricing) – Pasal 7
UU No. 5 Tahun 1999, Merupakan bentuk penjualan dengan cara
jual rugi yang bertujuan untuk mematikan pesaingnya. Dalam hal ini
dapat dilakukan dengan menetapkan harga yang tidak wajar, di
mana harga lebih rendah daripada biaya variable rata-rata.13
d. Penetapan harga jual Kembali (resale price maintenance) – Pasal 8
UU No. 5 Tahun 1999, Dalam Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1999
melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian dengan pelaku
usaha lain, di mana penerima barang atau jasa selaku distributornya

10
Pasal 5 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1999, Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku
usaha pesaingnya untuk menetapkan suatu harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus
dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 di atas tidak berlaku bagi:
a. Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan;
b. Suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.
11
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, Jakarta: Kencana, hlm. 144.
12
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, Jakarta: Kencana, hlm. 145.
13
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, Jakarta: Kencana, hlm. 151.
20

tidak boleh menjual Kembali barang atau jasa yang telah


diterimanya dari supplier tersebut dengan harga yang lebih rendah
daripada harga yang telah dijanjikan sebelumnya, sebab hal itu dapat
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.14
3. Pembagian Wilayah (Market Division) – Pasal 9 UU No. 5 Tahun 1999
Pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk membagi wilayah pemasaran sebagai salah satu strategi yang
dilakukan untuk menghindari terjadinya persaingan di antara mereka,
sehingga pelaku usaha dapat menguasai wilayah pemasaran yang menjadi
bagiannya tanpa harus melakukan persaingan. Kategori perjanjian ini dapat
mengakibatkan hilangnya persaingan di antara sesama pelaku usaha. Selain
itu, dapat membuat pelaku usaha melakukan Tindakan pengurangan
produksi ke tingkat yang tidak efisien, bahkan mereka dapat melakukan
eksploitasi terhadap konsumen dengan menaikkan harga produk, dan
menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk bertindak sewenang-wenang
terhadap konsumen yang sudah teralokasi sebelumnya.15
4. Perjanjian Pemboikotan (Pasal 10)
Perjanjian pemboikotan merupakan salah satu bentuk perjanjian
antara pelaku usaha untuk mengusir usaha lain dari pasar yang sama, atau
untuk mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing di pasar
yang sama, kemudian hanya melindungi untuk mendapatkan
keuntungannya.16
Agar praktik pemboikotan yang dilakukan oleh pelaku usaha dapat
berjalan sukses, maka diperlukan bantuan dan dukungan seluas dari pelaku
usaha seluas mungkin, karena tanpa adanya keterlibatan luas dari pelaku
usaha biasanya akan sulit untuk mencapai keberhasilan. Dengan adanya
perjanjian pemboikotan yang dilakukan oleh para pelaku usaha di dalam

14
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, Jakarta: Kencana, hlm. 157.
15
Stephen F. Rose. Principles of Antitrust Law”, Westbury New York: The Foundation Press,
Inc.,1993, hlm 147.
16
Kiagoos Haqqy Annafi Ghany Aziz, “Perjanjian Yang Dilarang Berdasarkan Perspektif Hukum
Persaingan Usaha Di Indonesia”, Vol. 5. No. 2 Maret 2021.
21

suatu pasar, membuat jumlah pelaku usaha yang ada di pasar tidak dapat
bertambah apabila di dalam suatu pasar hanya terdapat sedikit pelaku usaha
yang menjalankan usahanya sehingga berdampak terhadap berkurangnya
pilihan konsumen untuk memilih pelaku usaha yang memungkinkan
memberikan kepuasan terbesar kepada konsumen.
Pasal 3 huruf e dan UNTACD Model Law menegaskan, bahwa
“menolak secara kolektif untuk membeli atau memasok, atau mengancam
untuk melakukannya adalah termasuk cara yang paling sering dipakai untuk
memaksa pihak yang tidak menjadi anggota kelompok tertentu untuk
mengikuti kegiatan yang ditentukan kelompok tersebut.”17
5. Perjanjian Kartel
Perjanjian kartel merupakan perjanjian yang dilakukan oleh pelaku
usaha yang seharusnya bersaing, sehingga terjadi koordinasi (kolusi) untuk
mengatur kuota produksi, dan alokasi pasar. Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999
dijelaskan bahwa kartel dapat terjadi jika pelaku usaha membuat perjanjian
dengan pesaingnya yang bertujuan untuk mempengaruhi harga dengan
mengatur produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa sehingga
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Praktik kartel dapat
berjalan sukses apabila usaha yang terlibat di dalam perjanjian kartel
tersebut haruslah mayoritas dari pelaku usaha yang berkecimpung di dalam
pasar tersebut. Karena apabila terdapat Sebagian kecil pelaku usaha yang
terlibat di dalam perjanjian kartel, biasanya kartel tidak akan efektif dalam
memengaruhi pasokan produk di pasar, karena kekurangan pasokan di
dalam pasar akan ditutupi oleh pasokan dari pelaku usaha yang tidak terlibat
dalam perjanjian kartel.18
6. Perjanjian Trust (Pasal 12)

17
UNTACD, Draft Commentaries, hlm. 24.
18
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, Jakarta: Kencana, hlm. 185.
22

Merupakan perjanjian yang dilakukan di antara pelaku usaha dengan


cara menggabungksn diri menjadi perseroan lebih besar, tetapi eksistensi
perusahaan masing-masing tetap ada.
Untuk dapat mengontrol produksi atau pemasaran produk di pasar,
pada kenyataannya tidak cukup hanya dengan membuat perjanjian kartel di
antara mereka, tetapi mereka pun terkadang membentuk gabungan
perusahaan atau perseroan yang lebih besar (trust), dengan menjaga dan
mempetahankan keberlangsungan hidup masing-masing
perusahaan/perseroan anggotanya.
Trust ini merupakan wadah antar-perusahaan yang didesain untuk
membatasi persaingan dalam bidang usaha atau industry tertentu. Hal ini
dimaksudkan untuk secara kolektif mengendalikan pasokan dengan
melibatkan trustee sebagai coordinator penentu harga.
Trust terbentuk dengan cara didirikan sebuah “holding company”.
Holding company atau parent company atau controlling company adalah
suatu perusahaan yang bertujuan untuk memiliki saham dalam satu atau
lebih perusahaan lain atau mengatur satu atau lebih perusahaan lain dan
mengatur satu atau lebih perusahaan lain tersebut.19
7. Perjanjian Oligopsoni
Merupakan perjanjian untuk menguasai penerimaan pasokan
barang/jasa dalam suatu pasar oleh dua sampai tiga pelaku usaha atau dua
sampai tiga kelompok pelaku usaha tertentu. Hal ini tercantum pada Pasal
13 UU No. 5 Tahun 1999 yang dapat disimpulkan bahwa perjanjian
oligopsony dilarang jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Secara bersama-sama
b. Menguasai pembelian dan penerimaan pasokan atas suatu barang,
jasa, atau barang dan jasa tertentu
c. Dapat mengendalikan harga atas barang, jasa, atau barang

19
Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, Jakarta:PT Citra Aditya
Bakti, 2002, hlm. 84.
23

d. Menguasai lebih dari 75% pangsa pasar suatu jenis barang atau
jenis tertentu
e. Perjanjian yang dibuat tersebut ternyata dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
Seperti yang diketahui dari Pasal 13 UU No. 5 Tahun 1999 di atas,
telah dirumuskan secara rule of reason, berarti oligopsoni tidak selamanya
dilarang selama tidak menimbulkan monopolisasi atau menciptakan
persaingan tidak sehat.
8. Perjanjian Integrasi Vertikal
Merupakan perjanjian yang dilakukan antara pelaku usaha yang
bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam
rangkaian produksi barang atau jasa tertentu, yang mana setiap rangkaian
produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu
rangkaian langsung maupun tidak langsung.20
Oleh karena itu terdapat dampak negative yang mungkin muncul dari
suatu integrasi vertical, maka UU No 5 Tahun 1999 memasukkan integrasi
vertical ke dalam pengaturan kelompok perjanjian yang dilarang. Pasal 14
UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa: “Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk
menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian
produksi barang atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi
merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian
langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat atau merugikan masyarakat.”
Seperti yang diketahui bahwa integrasi vertical akan berdampak
positif pada persaingan dan memungkinkan berdampak buruk pada
persaingan. Dengan kata lain, pelaku usaha sebenarnya tidak dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk menguasai produski
berbagai produk yang termasuk dalam rangkaian produksi suatu barang atau

20
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, Jakarta: Kencana, hlm. 205.
24

jasa yang masing-masing diolah lebih lanjut selama tidak menimbulkan


persaingan usaha yang tidak sehat dan perjanjian tersebut memiliki alas an
yang dapat diterima, maka perjanjian tersebut dapat dilakukan secara
langsung maupun tidak langsung.21
9. Perjanjian Tertutup (Exclusive Distribution Agreement)
Merupakan perjanjian yang dilakukan oleh dengan pelaku usaha lain
yang yang menetapkan bahwa pihak yang menerima produk hanya akan
memberikan atau tidak menyediakan produk kepada peserta tertentu atau di
tempat tertentu.
Pasal 15 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk
membuat exclusive distribution agreement dengan pelaku usaha lain. Pasal
tersebut menyatakan: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima
barang dan/atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali
barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau pada tempat
tertentu.”
Pasal 15 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 diterapkan dengan pendekatan
per se illegal, Oleh karena itu, pada saat pelaku usaha mencapai kesepakatan
dengan pelaku usaha lain, di dalamnya terdapat persyaratan bahwa pihak
penerima barang dan / atau jasa hanya menyediakan atau tidak memberikan
kembali barang dan / atau jasa kepada pihak tertentu dan / atau di tempat
tertentu.22
10. Perjanjian Tertutup (Tying Agreement)
Tindakan yang diambil oleh perusahaan untuk mencapai kesepakatan
dengan pelaku usaha lain dari level yang berbeda untuk mensyaratkan
penjualan atau sewa guna barang atau jasa dari level yang berbeda hanya
dapat dilakukan jika pembeli atau penyewa juga akan membeli atau
menyewakan barang lain. Pasal 15 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999

21
Kiagoos Haqqy Annafi Ghany Aziz, “Perjanjian Yang Dilarang Berdasarkan Perspektif Hukum
Persaingan Usaha Di Indonesia”, Vol. 5. No. 2 Maret 2021.
22
Kiagoos Haqqy Annafi Ghany Aziz, “Perjanjian Yang Dilarang Berdasarkan Perspektif Hukum
Persaingan Usaha Di Indonesia”, Vol. 5. No. 2 Maret 2021.
25

menyatakan bahwa: ”Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan


pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang
dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari
pelaku usaha pemasok.”
Dari pasal 15 ayat (2) dapat diketahui bahwa tying agreement yaitu
perjanjian yang dibuat di antara pelaku usaha yang memuat persyaratan
bahwa pihak yang menerima barang atau jasa tertentu harus bersedia
membeli barang atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
Ketegasan pasal tersebut dapat dilihat dari perumusan pasal yang
mengatur mengenai tying agreement dirumuskan secara per se illegal, yang
artinya bagi pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
lain untuk melakukan suatu praktik tying agreement tanpa harus melihat
akibat dari praktik tersebut muncul, pasal ini sudah secara sempurna dapat
dikenakan kepada pelaku usaha yang melanggarnya.
11. Perjanjian Tertutup (Vertical Agreement On Discount)
Pasal 15 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan: “Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu
atas barang dan/atau jasa yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha
yang menerima barang dan/atau jasa dari usaha pemasok: 1. harus bersedia
membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau 2. tidak
akan membeli barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha
lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.”
Dengan kata lain, jika seorang pelaku usaha ingin mendapatkan
potongan harga untuk suatu produk tertentu yang dibeli dari pelaku usaha
lain, maka pelaku usaha tersebut harus bersedia membeli produk lain dari
pelaku usaha tersebut, atau tidak bersedia membeli produk lain yang sama
atau serupa. Akibatnya, khusus mengenai adanya kewajiban bagi pelaku
usaha yang menerima produk dengan harga diskon, yang kemudian
diharuskan untuk membeli produk lain dari pelaku usaha pemasok
sebenarnya sama dengan akibat yang ditimbulkan oleh tying agreement,
yaitu menghilangkan hak pelaku usaha untuk secara bebas memilih produk
26

yang ingin mereka beli, dan membuat pelaku usaha harus membeli produk
yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh pelaku usaha tersebut.
Pasal 15 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1999 dirumuskan secara per se
illegal, sehingga ketika ada pelaku usaha membuat perjanjian yang
digambarkan oleh Pasal 15 ayat (3) tersebut, tanpa harus menunggu sampai
munculnya akibat dari perjanjian tersebut, pelaku usaha sudah dapat
dijatuhkan sanksi hukum atas perjanjian yang telah dibuatnya tersebut oleh
penegak hukum.
12. Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri
Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat
ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pasal ini mengatur suatu keadaan khusus apabila pelaku usaha di dalam
negeri melakukan perjanjian dengan pihak pelaku usaha di luar negeri.

E. Anti Monopoli dan Prinsip Perdagangan menurut Konsep Islam


Menurut mahzab Hanafi, Monopoli merupakan pembelian bahan
makanan yang dilakukan dalam skala besar kemudian ditimbun yang
menyebabkan kenaikan harga. Mahzab Hambali juga menjelaskan bahwa
monopoli ialah kegiatan membeli bahan makanan dengan tujuan ditimbun agar
ketika penjualan kembali harga menjadi meningkat sehingga mendapatkan
keuntungan yang besar . Kemudian, menurut Qaradhawi, monopoli merupakan
kegiatan menahan barang untuk tidak beredar di pasar supaya mengalami
penaikan harga . Dari beberapa pengertian, maka dapat disimpulkan bahwa
monopoli menurut pandangan Islam adalah penimbunan barang atau bahan
makanan yang dilakukan supaya terjadi kenaikan harga yang pesat untuk
mendapatkan keuntungan yang besar. Dalam Islam, eksistensi hanya satu
penjual dalam pasar tidaklah terlarang, tetapi tidak diperbolehkan melakukan
ikhtikar (pengambilan keuntungan lebih dari keuntungan normal dengan cara
menjual sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi).
27

Rasulullah bersabda yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, “Barang siapa


yang melakukan ihtikar untuk merusak harga pasar sehingga harga naik secara
tajam, maka ia berdosa.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad). Al-Ghazali
berpendapat, pasar harus berfungsi berdasarkan etika dan moral para
pelakunya. Secara khusus, Al-Ghazali memperingatkan larangan mengambil
keuntungan dengan cara menimbun makanan dan barang-barang kebutuhan
dasar lainya, penimbunan barang merupakan kedzoliman besar, terutama
disaat-saat terjadi kelangkaan, dan para pelakuknya harus dikutuk.
Rasulullah SAW bersabda “Barang siapa memonopoli bahan makanan
selama empat puluh hari, maka sesungguhnya ia telah berlepas diri dari
Allah dan Allah pun berlepas darinya.” (Hr. Ahmad). Dengan itu, maka
barang-barang pokok yang dibutuhkan manusia saat ini merupakan barang-
barang yang dilarang untuk dimonopoli.
Disinilah peran penting pemerintah sebagai penentu harga dalam pasar
dibutuhkan agar tidak terjadinya riba. Pemerintah juga menjadi pengawas
dalam hal pengindustrian barang. Dalam Islam, jika monopoli memicu
kelangkaan barang maka hal ini diharamkan, pun jika tujuan monopoli hanya
untuk mendapatkan keuntungan berlebih maka keuntungan tersebut sama
dengan riba. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah Q.S Al-Maiddah:87.
Dalam firman Allah surah al-Jumu’ah ayat 10 dijelaskan bahwa Allah
SWT sangat menganjutkan umatnya untuk melakukan perdagangan
inetrnasional. Tujuan perdagangan internasional dalam Islam agar menjalin
silahturahmi dengan berbagai negara di seluruh dunia punjuga bertukar ilmu
dan pengetahuan. Di masa Nabi Muhammad SA, prinsip-prinsi perdagangan
hadir tidak hanya saat berdagang ke negara lain tetapi juga diterapkan di
MAdinah pada Sauqu Medinah. Contoh praktek perdagangan saat di Sauqu
Medinah adalah perilaku dagang yang dilakukan oleh Yunus bin ‘Ubaid, saat
beliau menitipkan tokonya terhadap saudaranya terdapat pembeli yang membeli
perhiasan dengan harga 400 dirham yang semestinya hanya 200 dirham, maka
Yunus pun mencari pembeli tersebut dan mengembalikankelebihan uang yang
dibayarkan oleh pembeli tersebut. Dengan itu, berdasarkan dari sumber hukum
28

Islam.al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, maka prinsi-prinsip perdagangan


dalam Islam adalah sebagai berikut ini:

1. Prinsip Ilahiah
Dalam prinsip ini menunjukkan bahwa tdiak boleh
mengesampingkan Allah dalam urusan duniawi. Dengan adanya prinsip
ini, umat Islam dilarang untuk berdagang seenaknya, Perdagangan
dalam Islam dilakukan tidak hanya untuk kepentingan pribadi dan
duniawi saja, tetapi untuk mencapai kesejahteraan umum dan
kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Maka dari itu, manusia
harus bisa mempertanggungjawabkaan perbuatan berdagangnya saat di
dunia dan di akhirat.
2. Prinsip Keadilan
Disebutkan dalam surat al-An’am ayat 152 dan ar-Rahman ayat 9,
manusia haruslah berbuat adil dalam perdagangan. Tujuan berdagang
dalam Islam adalah untuk mencapai kesejahteraan bersama. Maka dari
itu, kegiatan monopoli, spekulatif, sumpin dilarang dalam Islam karena
tidak memenuhi prinsip perdagangan menurut Islam.
3. Prinsip Kejujuran
Allah berfirman dalam surah al-ISra ayat 35 yang juga disabdakan
oleh Nabi Muhammad SAW "Pedagang yang terpercaya dan jujur itu
bersama dengan para syuhada di hari kiamat kelak" (HR Ibn Majjah dan
Al-Hakim)23 dan “Pedagang yang jujur dan terpercaya itu akan bangkit
bersama para Nabi, para Shadiq dan para Syuhada” (HR Al-HAmimand
al-Tirmizi).
4. Prinsip Kebebasan yang Terbatas
Islam membebaskan umatnya untuk melakukan perdagangan
sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Disebutkan dalam

23
20A. Rahman I Doi, Muamalah, diterjemahkan oleh Zaimudin dan Rusydi Sulaiman, ed. 1, cet.
1, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), hal. 5.
29

surah al-Jumu’ah ayat 10, al-Muzzamil ayat 20 dan Fathir ayat 12 bahwa
manusia diberikan kebebasan untuk mencari karunia Allah.
5. Prinsip Antharadin
Firman Allah surah an-Nisa ayat 29 menjelaskan bahwa
perdagangan dilakukan atas dasar suka sama suka sehingga
menimbulkan kesepakatan dan tidak ada keterpaksaan.
6. Prinsip Persamaan
Islam tidak membeda-bedakan kegiatan perdagangan bedasarkan
golongan, agama, bangsa, ataupun jenis kelamin. Hal ini diterapkan oleh
Nabi Muhammad SAW dengan melakukan perdagangan dengan agama
lain.
7. Prinsip Halal dan Bermanfaat
Kemanfaatan dalam perdagangan dapat diperoleh dengan hal-hal
yang halal yaitu cara yang halal dan obyek yang halal. Hasil
perdagangan yang tidak halal tidak akan mendapatkan berkah dari Allah
walaupun digunakan untuk hal-hal yang baik. Maka dari itu, penting
untuk melakukan perdagangan yang halal dan bermanfaat agar
diberkahi oleh Allah SWT.
Dengan prinsip-prinsip yang telah diuraikan diatas maka dapat
disimpulkan bahwa perdaganagn tidak luput dari akidah dan akhlak. Prinsip-
prinsip perdagangan dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari hukum perikatan
Islam karena dalam asas-asas, rukun, dan syarat hukum perdagangan tidak
luput dari itu.24

24
Barlinti, Y. S. (2001). Prinsip-prnsip hukum perdagangan berdasarkan ketentuan World Trade
Organization dalam perspektif hukum Islam.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan pengertian
monopoli, yaitu suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu
kelompok pelaku usaha. Yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah setiap
orangperorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau
bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai
kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

B. Saran
Dengan mempelajari makalah ini, maka diharapkan pembaca dapat
memahami mengenai monopoli maupun anti monopoli serta persaingan
tidak sehat. Pembaca dapat mengenal lebih mendalam tentang konsep
antimonopoly dan perdaganagn yang sesuai dengan syariat Islam sehingga
dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

30
DAFTAR PUSTAKA
Abu Hamid Al-Ghozali, dalam Adiwarman Azwar Karim, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004.

Aji, D. K. (2013). Konsep Monopoli dalam Tinjauan Ekonomi Islam. Adzkiya:


Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, 1(1), 48-60.

Alit, C. M., & Sumiyati, Y. (2021). Relevansi Pengecualian Praktik Monopoli


Terhadap Perusahaan BUMN Dalam Merger 3 Bank Syariah BUMN.
Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi, 13(1).

Barlinti, Y. S. (2001). Prinsip-prnsip hukum perdagangan berdasarkan ketentuan


World Trade Organization dalam perspektif hukum Islam.

Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2nd ed. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Donna, D. (2014). Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Atas
Perjanjian Penetapan Harga Ditinjau dari Undang-Undang Persaingan
Usaha Tidak Sehat di Indonesia dan Singapura (Doctoral dissertation,
Universitas Internasional Batam).

Gunawan, T. (2016). Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Terlarang dalam


Hukum Positif menurut UU No. 5 Tahun 1999. Lex Crimen, 5(6).

Hansen, Knud. UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat = Law Concerning The Prohibition Of
Monopolistic Practices And Unfair Competition / Knud Hansen, et. al Ed
Revisi, Cet. 2. Jakarta : Katalis. 2002

Kiagoos Haqqy Annafi Ghany Aziz, “Perjanjian Yang Dilarang Berdasarkan


Perspektif Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia”, Vol. 5. No. 2 Maret
2021.

Malaka, M. (2014). Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha. Al-'Adl, 7(2), 39-52.

Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, Jakarta:PT


Citra Aditya Bakti, 2002

31
32

Mustafa Kamal Rokan. Hukum Persaingan Usaha : Teori Dan Praktiknya Di


Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2017.
Novizas, A., & Gunawan, A. (2021). Studi Kasus Analisa Ekonomi atas Hukum
Tentang Hukum Anti Monopoli dan Persaingan Usaha. Jurnal Magister
Ilmu Hukum, 2(1), 32-42.

NR Soepadmo, Hukum Persaingan Usaha, (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2020)

Rahman I Doi, Muamalah, diterjemahkan oleh Zaimudin dan Rusydi Sulaiman, ed.
1, cet. 1, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996)

Soepadmo, N. R. (2020). Hukum Persaingan Usaha. Zifatama Jawara.

Stephen F. Rose. Principles of Antitrust Law”, Westbury New York: The


Foundation Press, Inc.,1993

Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori
dan Praktik Serta Penerapan Hukumnya, Jakarta: Kencana

Suryanitya, D. A. R., & Utari, N. K. S. (2017). KEDUDUKAN KOMISI


PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) SEBAGAI LEMBAGA
PENGAWAS PERSAINGAN USAHA YANG INDEPENDEN. Kertha
Semaya: Journal Ilmu Hukum, 5(2).

UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat

Wijaya, T. (2020). HUKUM ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA


TIDAK SEHAT. KEADABAN, 2(1), 22-35.

Yusuf Al-Qaradhawi, Peranaan Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam,


penerjemah : Didin Hafidhudin dkk, (Jakarta : Robbani Press, 1997)

Redaksi OCBC NISP. 2022. “Pasar Monopoli: Pengertian, Ciri-Ciri & Contohnya
di Indonesia”. https://www.ocbcnisp.com/id/article/2022/02/02/apa-itu-
monopoli (diakses tanggal 16 September 2022).

Anda mungkin juga menyukai