Disusun Oleh:
Kelompok 7
Aisyah Farah Muthmainah (11210480000032)
Haikal Rizky Hakim (11210480000051)
Kyla Tabitha Rafaella (11210480000056)
Muhammad Yusuf Abdillah (11210480000096)
Dieva Ayu Marsyanda (11210480000109)
1. Prof. Dr. Djawahir Hejazziey, SH., MA., MH selaku dosen mata kuliah
Hukum Bisnis.
2. Serta seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini
Adapun makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini dan kemajuan penulis di masa yang akan
datang. Selain itu, penulis mengharapkan semoga apa yang tertulis di dalam
makalah ini dapat menjadi hal yang bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi
penulis dan umumnya bagi semua yang memerlukan.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada hakikatnya setiap manusia yang hidup di lingkungan masyarakat
pasti memiliki keinginan untuk bersaing dengan manusia lainnya dalam
berbagai hal. Begitu pula dalam dunia usaha atau bisnis, salah satu bentuk
interaksi sosial yang sering kali terjadi adalah persaingan atau kompetisi.
Persaingan merupakan bagian dari cara seorang pelaku usaha untuk
memperoleh keuntungan sebesar mungkin. Jika sebuah perusahaan tidak
punya kemampuan bersaing dengan lawan-lawannya maka cepat atau
lambat perusahaan tersebut akan gulung tikar.
Jika melihat praktik di lapangan, melalui persaingan akan muncul
semangat untuk mengembangkan usaha yang secara tidak langsung
membawa dampak positif bagi perekonomian negara. Namun selain
memberi dampak positif, persaingan juga bisa membawa dampak negatif
yakni persaingan usaha yang tidak sehat dan monopoli. Apabila dikaitkan
dengan keadaan di Indonesia, praktik persaingan usaha yang tidak sehat dan
praktik monopoli ini sebenarnya sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda
khususnya pada saat pembentukan VOC.
Bahkan setelah Indonesia merdeka sampai memasuki era Orde Baru
praktik ini masih sering dilakukan oleh para pengusaha dan orang yang
bekuasa untuk menguasai perekonomian negara. Oleh karena itu di era
Reformasi dibentuk Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Salah satu
tujuan dibentuknya undang-undang ini adalah untuk menyelamatkan
perekonomian Indonesia yang keadaannya sudah cukup parah pada masa
itu.
Namun tidak semua pasal dalam undang-undang ini bersi larangan
tetapi terdapat juga pengecualian terhadap hal-hal tertentu. Perlu diketahui
juga sebelum negara menetapkan hukum bagi praktik persaingan usaha
yang tidak sehat dan monopoli, Islam sudah menetapkannya terlebih dahulu
1
2
bagaimana cara berdagang yang baik dan benar serta tidak melanggar
syariat-syariat Islam. Untuk itu dalam makalah ini akan menjelaskan lebih
lanjut tentang anti monopoli dan persaingan usaha dari berbagai aspek.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian antimonopoli dan persaingan tidak sehat?
2. Bagaimana konsep pikir monopoli dan antimonopoli?
3. Apa saja pengecualian dari Undang-Undang Antimonopoli?
4. Apa saja perjanjian-perjanjian yang dilarang?
5. Bagaimana antimonopoli dan prinsip perdagangan menurut konsep
islam?
C. Tujuan Makalah
1. Agar mengetahui pengertian antimonopoli dan persaingan tidak sehat
2. Agar mengetahui konsep pikir monopoli dan antimonopoli
3. Agar mengetahui pengecualian dari Undang-Undang Antimonopoli
4. Agar mengetahui perjanjian-perjanjian yang dilarang
5. Agar mengetahui antimonopoli dan prinsip perdagangan menurut
konsep islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat
Secara etimologi, kata “monopoli” berasal dari kata Yunani ‘Monos’ yang
berarti sendiri dan ‘Polein’ yang berarti penjual. Dari akar kata tersebut secara
sederhana orang lantas memberi pengertian monoopli sebagai suatu kondisi
dimana hanya ada satu penjual yang menawarkan (supply) suatu barang atau
jasa tertentu.“Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti
monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya
juga sepadan dengan arti istlah “monopoli”. Disamping itu terdapat istilah yang
artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”.
Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”,
“antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan
pemakaiannya.
Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan
dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi
produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar
tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa
mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan
penawaran pasar.
Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut
UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan
ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya
produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan
umum.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada
monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang
dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok
pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli). Sementara yang
dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan
3
4
ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya
produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga
menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan
kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti
Monopoli.
Menurut UU nomor 5 tahun 1999 pasal 1 butir 1 UU Antimonopoli,
Monopoliadalah penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau
atas penggunaan jasa tertentu oleh suatu pelaku usaha atau suatu kelompok
usaha. Persaingan usaha tidak sehat (curang) adalah suatu persaingan antara
pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang
atau jasa dilakukan dengan cara melawan hukumatau menghambat persaingan
usaha.
Dalam UU nomor 5 tahun 1999 pasal 1 butir 6 UU
Antimonopoli,’Persaingan curang (tidak sehat ) adalah persaingan antara pelaku
usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang
dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau
menghambat persaingan usaha’.
Perkembangan usaha swasta pada kenyataan ini masih belum dikatakan
sejahtera, dan seiring dengan kecenderungan globalisasi perekonomian di
Indonesia kondisi persaingan usaha kini makin tidak sehat. Situasi dan kondisi
usaha di Indonesia menuntut bangsa Indonesia untuk mencermati dan menata
kembali kegiatan usaha yang ada di Indonesia, hal ini bertujuan agar dunia
usaha dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan benar sehingga
terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka disusunlah tatanan hukum
antimonopoli dan persaingan usaha yang dituangkan dalam produk hukum
berupa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Selanjutnya disebut sebagai UU
Antimonopoli). Dengan demikian dalam tulisan ini akan dibahas terlebih
dahulu mengenai antimonopoli itu sendiri, bahwa pada Pasal 1 butir 1 UU
Antimonopoli memberikan pengertian bahwa monopoli itu ialah penguasaan
5
atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu
oleh suatu pelaku usaha atau satu kelompok usaha.
Pengertian monopoli itu sendiri erat kaitannya dengan istilah praktek
monopoli, ialah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha
yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang dan
atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat dan dapat
merugikan kepentingan umum.
Kondisi kegiatan usaha lainnya yang sama berbahayanya dengan praktek
monopoli sekaligus dapat merugikan kepentingan umum adalah persaingan
usaha tidak sehat. Dengan demikian perlu diperhatikan pada pasal 1 butir 6 UU
Antimonopoli memberikan pengertian bahwa persaingan usaha tidak sehat
adalah persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi
dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara yang tidak
jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Perlu kita ketahui bahwa salah satu hal yang diatur dalam UU
Antimonopoli ialah dilarangnya perjanjian-perjanjian tertentu yang dianggap
dapat menimbulkan monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Mengenai
apa yang dimaksud dengan kata perjanjian itu telah diatur secara tegas dalam
pasal 1 butir 7 UU Antimonopoli yang menyatakan bahwa “perjanjian adalah
suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap
satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun
tidak tertulis”.
Sehingga perjanjian yang dilarang dalam hukum antimonopoli ialah
perjanjian yang terjadi atau mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat, seperti monopsoni, penguasaan pasar, kecurangan dalam
menetapkan biaya produksi. Sebagai contoh, salah satunya seperti oligopoli
diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) yang secara khusus menegaskan sebagai
berikut:
Tinggal menghitung hari, kita akan memasuki era pasar bebas tingkat
Asia (Asian Free Trade Market) atau dalam istilah lain disebut MEA
(Masyarakat Ekonomi Asia) yang akan dimulai pada bulan Desember tahun
2015, sehingga dalam rangka memasuki AFTA, setiap pelaku bisnis harus
mengerti tentang seluk beluk praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat, sebagaimana yang diatur dalam UU Anti Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat.
Di negara lain keberadaan Undang-Undang Anti Monopoli sebenarnya
sudah sangat tua. Di Amerika Serikat, keberadaan Undang-Undang tersebut
sudah berumur lebih dari 100 tahun yang dikenal dengan nama Shermant Act.
Di Kanada pada tahun 1889 Undang-Undang semacam itu sudah dikenal, di
Jepang umurnya sekitar 40 tahun, di Jerman umurnya sekitar 60 tahun dan
terdapat lembaga pengawas dengan nama Bundes Kartel Amm. Dan di Eropa
sudah lama dikenal perjanjian di antara negara-negara Eropa untuk
menyelesaikan perkara-perkara atau kasus-kasus monopoli yang terjadi yang
dilakukan secara cross border atau dilakukan secara lintas batas di berbagai
negara Eropa.
Berbeda dengan Indonesia nanti setelah dilanda berbagai krisis, mulai dari
krisis keuangan, ekonomi kemudian krisis multi-dimensi barulah pada tahun
1999, tepatnya bulan Maret Undang-Undang tentang monopoli diterbitkan,
padahal diskusi-diskusi tentang pentingnya Undang-Undang Anti Monopoli
sudah lama dibicarakan, hal ini sudah menunjukkan begitu lambatnya kita
merespon perkembangan hukum yang sedang berlangsung saat ini yang setiap
7
1
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha : Teori Dan Praktiknya Di Indonesia (Jakarta:
Rajawali Pers, 2017)., hlm. 7.
9
A form of market structure in which one or only a few dominate the total
sales of product or service.
Yang jika diterjemahkan, akan memiliki arti bahwa monopoli adalah hak
istimewa atau keuntungan yang melekat pada satu atau lebih orang atau
perusahaan yang terdiri dalam hak eksklusif (atau kekuasaan) untuk
menjalankan suatu bisnis tertentu atau perdagangan, manufraktur artikel
tertentu, atau mengontrol perjualan pasokan seluruh komoditas tertentu. Suatu
bentuk struktur pasar dimana satu atau hanya beberapa mendominasi total
penjualan produk atau jasa.
2
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2nd ed. (Jakarta: Balai Pustaka, 1994)., hlm. 664.
10
Selain pengertian dan jenis, adapun ciri-ciri dari monopoli yang dapat
mengidentifikasi suatu pasar atau perusahaan monopoli, yaitu: 3
3
Redaksi OCBC NISP, “Pasar Monopoli: Pengertian, Ciri-Ciri & Contohnya di Indonesia”,
https://www.ocbcnisp.com/id/article/2022/02/02/apa-itu-monopoli, (diakses tanggal 16 September
2022).
11
4
Redaksi OCBC NISP, “Pasar Monopoli: Pengertian, Ciri-Ciri & Contohnya di Indonesia”,
https://www.ocbcnisp.com/id/article/2022/02/02/apa-itu-monopoli, (diakses tanggal 16 September
2022).
12
5
NR Soepadmo, Hukum Persaingan Usaha, (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2020), hal.25.
6
NR Soepadmo, Hukum Persaingan Usaha, (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2020), hal.28.
16
7
NR Soepadmo, Hukum Persaingan Usaha, (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2020), hal.30.
17
8
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, Jakarta: Kencana, hlm. 121.
9
Kiagoos Haqqy Annafi Ghany Aziz, “Perjanjian Yang Dilarang Berdasarkan Perspektif Hukum
Persaingan Usaha Di Indonesia”, Vol. 5. No. 2 Maret 2021.
19
untuk menetapkan suatu harga tertentu atas suatu barang atau jasa yang akan
diperdagangkan pada pasar yang bersangkutan, sehingga dengan adanya
perjanjian tersebut dapat meniadakan persaingan usaha di antara pelaku
usaha yang mengadakan perjanjian tersebut.
a. Perjanjian penetapan harga antar pelaku (Pasal 5 UU No. 5 Tahun
1999)10, Perjanjian penetapan harga sebetulnya merupakan
Tindakan yang dilarang dalam asas persaingan. Hal ini dapat
merugikan konsumen karena bentuk harga yang lebih tinggi dan
jumlah barang yang lebih sedikit tersedia.11
b. Diskriminasi harga (price discrimination) - Pasal 6 UU No. 5 Tahun
1999, Dalam hal ini yang dilarang adalah membuat perjanjian yang
memberlakukan diskriminasi terhadap kedudukan konsumen tang
satu dengan konsumen lainnya, dengan memberikan harga yang
berbeda-beda terhadap barang atau jasa yang sama.12
c. Penetapan harga di bawah harga pasar (predatory pricing) – Pasal 7
UU No. 5 Tahun 1999, Merupakan bentuk penjualan dengan cara
jual rugi yang bertujuan untuk mematikan pesaingnya. Dalam hal ini
dapat dilakukan dengan menetapkan harga yang tidak wajar, di
mana harga lebih rendah daripada biaya variable rata-rata.13
d. Penetapan harga jual Kembali (resale price maintenance) – Pasal 8
UU No. 5 Tahun 1999, Dalam Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1999
melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian dengan pelaku
usaha lain, di mana penerima barang atau jasa selaku distributornya
10
Pasal 5 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1999, Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku
usaha pesaingnya untuk menetapkan suatu harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus
dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 di atas tidak berlaku bagi:
a. Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan;
b. Suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.
11
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, Jakarta: Kencana, hlm. 144.
12
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, Jakarta: Kencana, hlm. 145.
13
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, Jakarta: Kencana, hlm. 151.
20
14
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, Jakarta: Kencana, hlm. 157.
15
Stephen F. Rose. Principles of Antitrust Law”, Westbury New York: The Foundation Press,
Inc.,1993, hlm 147.
16
Kiagoos Haqqy Annafi Ghany Aziz, “Perjanjian Yang Dilarang Berdasarkan Perspektif Hukum
Persaingan Usaha Di Indonesia”, Vol. 5. No. 2 Maret 2021.
21
suatu pasar, membuat jumlah pelaku usaha yang ada di pasar tidak dapat
bertambah apabila di dalam suatu pasar hanya terdapat sedikit pelaku usaha
yang menjalankan usahanya sehingga berdampak terhadap berkurangnya
pilihan konsumen untuk memilih pelaku usaha yang memungkinkan
memberikan kepuasan terbesar kepada konsumen.
Pasal 3 huruf e dan UNTACD Model Law menegaskan, bahwa
“menolak secara kolektif untuk membeli atau memasok, atau mengancam
untuk melakukannya adalah termasuk cara yang paling sering dipakai untuk
memaksa pihak yang tidak menjadi anggota kelompok tertentu untuk
mengikuti kegiatan yang ditentukan kelompok tersebut.”17
5. Perjanjian Kartel
Perjanjian kartel merupakan perjanjian yang dilakukan oleh pelaku
usaha yang seharusnya bersaing, sehingga terjadi koordinasi (kolusi) untuk
mengatur kuota produksi, dan alokasi pasar. Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999
dijelaskan bahwa kartel dapat terjadi jika pelaku usaha membuat perjanjian
dengan pesaingnya yang bertujuan untuk mempengaruhi harga dengan
mengatur produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa sehingga
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Praktik kartel dapat
berjalan sukses apabila usaha yang terlibat di dalam perjanjian kartel
tersebut haruslah mayoritas dari pelaku usaha yang berkecimpung di dalam
pasar tersebut. Karena apabila terdapat Sebagian kecil pelaku usaha yang
terlibat di dalam perjanjian kartel, biasanya kartel tidak akan efektif dalam
memengaruhi pasokan produk di pasar, karena kekurangan pasokan di
dalam pasar akan ditutupi oleh pasokan dari pelaku usaha yang tidak terlibat
dalam perjanjian kartel.18
6. Perjanjian Trust (Pasal 12)
17
UNTACD, Draft Commentaries, hlm. 24.
18
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, Jakarta: Kencana, hlm. 185.
22
19
Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, Jakarta:PT Citra Aditya
Bakti, 2002, hlm. 84.
23
d. Menguasai lebih dari 75% pangsa pasar suatu jenis barang atau
jenis tertentu
e. Perjanjian yang dibuat tersebut ternyata dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
Seperti yang diketahui dari Pasal 13 UU No. 5 Tahun 1999 di atas,
telah dirumuskan secara rule of reason, berarti oligopsoni tidak selamanya
dilarang selama tidak menimbulkan monopolisasi atau menciptakan
persaingan tidak sehat.
8. Perjanjian Integrasi Vertikal
Merupakan perjanjian yang dilakukan antara pelaku usaha yang
bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam
rangkaian produksi barang atau jasa tertentu, yang mana setiap rangkaian
produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu
rangkaian langsung maupun tidak langsung.20
Oleh karena itu terdapat dampak negative yang mungkin muncul dari
suatu integrasi vertical, maka UU No 5 Tahun 1999 memasukkan integrasi
vertical ke dalam pengaturan kelompok perjanjian yang dilarang. Pasal 14
UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa: “Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk
menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian
produksi barang atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi
merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian
langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat atau merugikan masyarakat.”
Seperti yang diketahui bahwa integrasi vertical akan berdampak
positif pada persaingan dan memungkinkan berdampak buruk pada
persaingan. Dengan kata lain, pelaku usaha sebenarnya tidak dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk menguasai produski
berbagai produk yang termasuk dalam rangkaian produksi suatu barang atau
20
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, Jakarta: Kencana, hlm. 205.
24
21
Kiagoos Haqqy Annafi Ghany Aziz, “Perjanjian Yang Dilarang Berdasarkan Perspektif Hukum
Persaingan Usaha Di Indonesia”, Vol. 5. No. 2 Maret 2021.
22
Kiagoos Haqqy Annafi Ghany Aziz, “Perjanjian Yang Dilarang Berdasarkan Perspektif Hukum
Persaingan Usaha Di Indonesia”, Vol. 5. No. 2 Maret 2021.
25
yang ingin mereka beli, dan membuat pelaku usaha harus membeli produk
yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh pelaku usaha tersebut.
Pasal 15 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1999 dirumuskan secara per se
illegal, sehingga ketika ada pelaku usaha membuat perjanjian yang
digambarkan oleh Pasal 15 ayat (3) tersebut, tanpa harus menunggu sampai
munculnya akibat dari perjanjian tersebut, pelaku usaha sudah dapat
dijatuhkan sanksi hukum atas perjanjian yang telah dibuatnya tersebut oleh
penegak hukum.
12. Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri
Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat
ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pasal ini mengatur suatu keadaan khusus apabila pelaku usaha di dalam
negeri melakukan perjanjian dengan pihak pelaku usaha di luar negeri.
1. Prinsip Ilahiah
Dalam prinsip ini menunjukkan bahwa tdiak boleh
mengesampingkan Allah dalam urusan duniawi. Dengan adanya prinsip
ini, umat Islam dilarang untuk berdagang seenaknya, Perdagangan
dalam Islam dilakukan tidak hanya untuk kepentingan pribadi dan
duniawi saja, tetapi untuk mencapai kesejahteraan umum dan
kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Maka dari itu, manusia
harus bisa mempertanggungjawabkaan perbuatan berdagangnya saat di
dunia dan di akhirat.
2. Prinsip Keadilan
Disebutkan dalam surat al-An’am ayat 152 dan ar-Rahman ayat 9,
manusia haruslah berbuat adil dalam perdagangan. Tujuan berdagang
dalam Islam adalah untuk mencapai kesejahteraan bersama. Maka dari
itu, kegiatan monopoli, spekulatif, sumpin dilarang dalam Islam karena
tidak memenuhi prinsip perdagangan menurut Islam.
3. Prinsip Kejujuran
Allah berfirman dalam surah al-ISra ayat 35 yang juga disabdakan
oleh Nabi Muhammad SAW "Pedagang yang terpercaya dan jujur itu
bersama dengan para syuhada di hari kiamat kelak" (HR Ibn Majjah dan
Al-Hakim)23 dan “Pedagang yang jujur dan terpercaya itu akan bangkit
bersama para Nabi, para Shadiq dan para Syuhada” (HR Al-HAmimand
al-Tirmizi).
4. Prinsip Kebebasan yang Terbatas
Islam membebaskan umatnya untuk melakukan perdagangan
sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Disebutkan dalam
23
20A. Rahman I Doi, Muamalah, diterjemahkan oleh Zaimudin dan Rusydi Sulaiman, ed. 1, cet.
1, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), hal. 5.
29
surah al-Jumu’ah ayat 10, al-Muzzamil ayat 20 dan Fathir ayat 12 bahwa
manusia diberikan kebebasan untuk mencari karunia Allah.
5. Prinsip Antharadin
Firman Allah surah an-Nisa ayat 29 menjelaskan bahwa
perdagangan dilakukan atas dasar suka sama suka sehingga
menimbulkan kesepakatan dan tidak ada keterpaksaan.
6. Prinsip Persamaan
Islam tidak membeda-bedakan kegiatan perdagangan bedasarkan
golongan, agama, bangsa, ataupun jenis kelamin. Hal ini diterapkan oleh
Nabi Muhammad SAW dengan melakukan perdagangan dengan agama
lain.
7. Prinsip Halal dan Bermanfaat
Kemanfaatan dalam perdagangan dapat diperoleh dengan hal-hal
yang halal yaitu cara yang halal dan obyek yang halal. Hasil
perdagangan yang tidak halal tidak akan mendapatkan berkah dari Allah
walaupun digunakan untuk hal-hal yang baik. Maka dari itu, penting
untuk melakukan perdagangan yang halal dan bermanfaat agar
diberkahi oleh Allah SWT.
Dengan prinsip-prinsip yang telah diuraikan diatas maka dapat
disimpulkan bahwa perdaganagn tidak luput dari akidah dan akhlak. Prinsip-
prinsip perdagangan dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari hukum perikatan
Islam karena dalam asas-asas, rukun, dan syarat hukum perdagangan tidak
luput dari itu.24
24
Barlinti, Y. S. (2001). Prinsip-prnsip hukum perdagangan berdasarkan ketentuan World Trade
Organization dalam perspektif hukum Islam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan pengertian
monopoli, yaitu suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu
kelompok pelaku usaha. Yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah setiap
orangperorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau
bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai
kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
B. Saran
Dengan mempelajari makalah ini, maka diharapkan pembaca dapat
memahami mengenai monopoli maupun anti monopoli serta persaingan
tidak sehat. Pembaca dapat mengenal lebih mendalam tentang konsep
antimonopoly dan perdaganagn yang sesuai dengan syariat Islam sehingga
dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
30
DAFTAR PUSTAKA
Abu Hamid Al-Ghozali, dalam Adiwarman Azwar Karim, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004.
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2nd ed. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Donna, D. (2014). Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Atas
Perjanjian Penetapan Harga Ditinjau dari Undang-Undang Persaingan
Usaha Tidak Sehat di Indonesia dan Singapura (Doctoral dissertation,
Universitas Internasional Batam).
Hansen, Knud. UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat = Law Concerning The Prohibition Of
Monopolistic Practices And Unfair Competition / Knud Hansen, et. al Ed
Revisi, Cet. 2. Jakarta : Katalis. 2002
Malaka, M. (2014). Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha. Al-'Adl, 7(2), 39-52.
31
32
Rahman I Doi, Muamalah, diterjemahkan oleh Zaimudin dan Rusydi Sulaiman, ed.
1, cet. 1, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996)
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori
dan Praktik Serta Penerapan Hukumnya, Jakarta: Kencana
UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat
Redaksi OCBC NISP. 2022. “Pasar Monopoli: Pengertian, Ciri-Ciri & Contohnya
di Indonesia”. https://www.ocbcnisp.com/id/article/2022/02/02/apa-itu-
monopoli (diakses tanggal 16 September 2022).