Jurusan Manajemen
Fakultas Ekonomi
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Tahun 2019
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur atas rahmat dan karunia dari Allah. Karena dengan
rahmat dan karunia-Nya, penyusun bisa menyelesaikan makalah ini. Penyusun
juga ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu
penyusun dalam menyelesaikan masalah ini. Terima kasih untuk bapak Prof. Dr.
H. Muhammad Djakfar, S.H., M.Ag selaku dosen pembimbing yang bersedia
meluangkan waktu untuk membimbing penyusun dalam menyelesaikan makalah
ini. Tanpa adanya bimbingan dari beliau, penyusun kiranya tidak akan mampu
menyelesaikan masalah ini.
Makalah yang berjudul “Antimonopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat:
Perspektif Perundangan Dan Syariah” berisi tentang penjelasan terkait hukum
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam perspektif perundang-undangan
maupun dari perspektif hukum Islam. Seperti yang diketahui bahwa monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat merupakan masalah yang cukup menarik untuk di
bahas.
Dengan adanya makalah ini, penyusun berharap pembaca dapat mengetahui
hukum dan dampak dari monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Bilamana
ada beberapa kesalahan yang terdapat dalam makalah ini, izinkan penyusun
menghaturkan permohonan maaf. Sebab makalah ini tiada sempurna dan masih
banyak kelemahan. Penyusun berharap, semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi
pembaca.
1
DAFTAR ISI
2
BAB 1 PENDAHULUAN
1
(Abdul Rasyid Saliman; et al, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus, Jakarta,
Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 231
2
(Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1999),
hal. 145
3
Ibid, hal. 145
4
Ibid, hal.146
3
usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu.5
Monopoli merupakan masalah yang menjadi perhatian utama dalam setiap
pembahasan pembentukan hukum persaingan usaha. Akan tetapi perlu diingat
bahwa sekalipun demikian, monopoli itu sendiri pada dasarnya bukanlah suatu
bentuk kejahatan atau bertentangan dengan hukum apabila diperoleh dengan cara-
cara yang fair dan tidak melanggar hukum monopoli baru dilarang. Apabila
perusahaan yang memiliki monopoli itu melakukan monopolisasi.6
Persoalan monopoli sesungguhnya merupakan persoalan yang sangat menarik
untuk dibahas. Bahkan permasalahan ini telah mendapat perhatian yang sangat
serius dari ajaran Islam, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah Swt7:
َّللا ُ ع َ ل َ ٰى َر س ُ و ل ِ هِ ِم ْن أ َ ه ْ ِل ا ل ْ ق ُ َر ٰى ف َ ل ِ ل ه هِ َو ل ِ ل هر س ُ و ِل َو ل ِ ِذ ي ا ل ْ ق ُ ْر ب َ ٰى َو ا ل ْ ي َ ت َا َم ٰى ا أ َ ف َ ا ءَ ه
ُاْل َغْ ن ِ ي َ ا ِء ِم ن ْ ك ُ مْ ۚ َو َم ا آ ت َ ا ك ُ م ُ ال هر س ُ و لْ ي ََل ي َ ك ُو َن د ُو ل َ ة ً ب َ ي ْ َن ْ َ َو ا ل ْ َم س َ ا ِك ي ِن َو ا ب ْ ِن ال س ه ب ِ ي ِل ك
ِ َّللا َ ش َ ِد ي د ُ ا ل ْ ِع ق َ ا ب خ ذ ُ و ه ُ َو َم ا ن َ هَ ا ك ُ مْ ع َ ن ْ ه ُ ف َ ا ن ْ ت َه ُ وا ۚ َو ا ت هق ُ وا ه
َّللا َ ۖ إ ِ هن ه ُ َف
Artinya: “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-
Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk
Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara
orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu,
maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”. (Q.S.
Al-Hasyr:7)
5
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1999, Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
6
(Eka Junila Saragih, Konsep Monopoli Dalam Tinjauan Bisnis Islam, Jurnal Al-Maslahah Volume
13 Nomor 2 ,Oktober 2017), hal. 268
7
Ibid, hal. 268
4
b. Bagaimana sejarah hukum anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
di Indonesia?
c. Bagaimana ruang lingkup hukum anti monopoli?
d. Bagaimana aspek positif maupun negatif dari monopoli?
e. Bagaimana hukum monopoli dalam Islam?
1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian dari monopoli;
b. Untuk mengetahui sejarah hukum anti monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat di Indonesia;
c. Untuk mengetahui ruang lingkup hukum anti monopoli;
d. Untuk mengetahui aspek positif maupun negatif dari monopoli;
e. Untuk mengetahui hukum monopoli dalam Islam.
5
BAB 2 PEMBAHASAN
Kata "monopoli" berasal dari kata Yunani yang berarti "penjual tunggal.
Di samping istilah monopoli, di USA sering digunakan kata "antitrust" untuk
pengertian yang sepadan dengan istilah "anti monopoli" atau istilah "dominasi"
yang dipakai oleh masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istilah
"monopoli. Di samping itu terdapat lagi istilah yang artinya mirip-mirip yaitu
istilah "kekuatan pasar." Dalam praktek keempat istilah tersebut, yaitu istilah
monopoli," antitrust," "kekuatan pasar," dan istilah "dominasi" saling di-
pertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk
menunjukkan suatu keadaan di mana seseorang menguasai pasar, di mana di pasar
tersebut tidak tersedia lagi produk substitusi atau produk substitusi yang potensial,
dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga
produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau
hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.8
Undang-Undang Anti Monopoli No. 5 Tahun 1999 memberi arti kepada
monopoli sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan
atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok
pelaku usaha (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Anti Monopoli). Sementara yang
dimaksud dengan "praktek monopoli" adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi
oleh satu atau lebih pelaku usaha Yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan
atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu
persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
Lihat Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli. Selain itu, Undang-
Undang Anti Monopoli juga memberikan arti kepada "persaingan usaha tidak
sehat" sebagai suatu persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan
produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara-cara
8
(Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1999), Hal. 4
6
yang tidak jujur atau dengan cara melawan hukum atau menghambat persaingan
usaha (vide Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Anti Monopoli).9
Kepada pengertian "Pemusatan Kekuatan Ekonomi," Undang-Undang
Anti Monopoli memberi arti sebagai penguasaan yang nyata atas suatu pasar
bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga
barang dan atau jasa. Selanjutnya kepada pengertian "posisi dominan" Undang-
Undang Anti Monopoli memberi arti sebagai suatu keadan di mana pelaku usaha
tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar yang bersangkutan dalam kaitan
dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi
di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan
keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan
untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.10
Selanjutnya pelaku usaha juga patut diduga atau dianggap melakukan
penguasaan atas produksi dan tau pemasaran barang dan atau jasa apabila11:
1. Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
2. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan
usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
3. Satu pelaku usaha atau satu kelompok usaha menguasai lebih dari 50% pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
2.2 Sejarah Hukum Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di
Indonesia
Tidak banyak yang dicatat dalam sejarah Indonesia di seputar kelahiran
dan perkembangan hukum anti monopoli ini. Yang banyak dicatat dalam sejarah
justru tindakan-tindakan atau perjanjian dalam bisnis yang sebenarnya mesti
dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli.12
9
Ibid, Hal. 4-5
10
Ibid, Hal. 5
11
(Dhaniswara K. Harjono, Pemahaman Hukum Bisnis Bagi Pengusaha, Jakarta, PT RajaGrafindo
Persada,2006), hal.111-112
12
(Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1999), Hal. 4
7
Di masa pemerintahan Orde Baru Soeharto misalnya, di masa itu sangat
banyak terjadi monopoli, oligopoli dan perbuatan lain yang menjurus kepada
persaingan curang. Misalnya monopoli tepung terigu, monopoli cengkeh,
monopoli jeruk di Kalimantan, monopoli pengedaran film, dan masih banyak lagi.
Bahkan dapat dikatakan bahwa keberhasilan beberapa konglomerat besar di
Indonesia juga bermula dari tindakan monopoli dan persaingan curang lainnya,
yang dibiarkan saja bahkan didorong oleh pemerintah kala itu.13
Karena itu, tidak mengherankan jika cukup banyak para praktisi maupun
teoretisi hukum dan ekonomi kala itu yang menyerukan agar segera dibuat sebuah
Undang-Undang Anti Monopoli. Seruan-seruan tersebut terasa tidak bergeming,
sampai dengan lengsernya rezim mantan Presiden Soeharto, di mana baru di masa
reformasi tersebut diundangkan sebuah Undang-Undang Anti Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat No. 5 Tahun 1999.14
Adapun tujuan dari pembentukan Undang-Undang tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah15:
a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional
sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha
yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang
sama bagi pelaku usaha kecil, menengah, dan besar.
c. Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha.
d. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
13
Ibid, hal.41
14
Ibid, hal. 41
15
(Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus, Jakarta, Kencana
Prenada Media Group, 2007), hal. 213
8
Perindustrian No. 5 Tahun 1984. (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
(Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995.16
16
(Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 42
17
(Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1999), Hal. 9
I8
Ibid, Hal. 9-10
9
Integrasi vertikal;
Perjanjian tertutup;
Perjanjian dengan pihak luar negeri.
2) Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar,
yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
Monopoli;
Monopsoni;
Penguasaan pasar;
Persekongkolan;
3) Posisi dominan pasar, yang meliputi:
Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing;
Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi;
Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar;
Jabatan rangkap;
Pemilikan saham;
Merger, akuisisi dan konsolidasi.
19
(Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta, PT Gramedia Pustaka
Utama,2004), hal. 68
20
(Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1999), Hal.14-15
10
perlindungan hak milik intelektual, atau bisnis melalui sistem franchise
(waralaba), yang memang sudah menjadi praktek hukum secara internasional di
negara manapun. Sungguhpun untuk itu, ada prinsip-prinsip hukum anti monopoli
yang kelihatannya dilanggar. Sebagaimana diketahui bahwa praktek bisnis secara
waralaba ini sangat rentan terhadap tuduhan anti monopoli, misalnya tuduhan
adanya tying contrat atau reciprocal dealing.
21
(Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, Bogor Selatan, Penerbit Ghalia Indonesia, 2004), hal.
20-21
11
5. Dalam monopoli biaya kontraktual dapat dihindarkan.
6. Monopoli bisa digunakan sebagai sarana untuk melindungi sumber daya
tertentu yang penting bagi masyarakat luas dari eksploitasi yang semata-mata
bersifat ‘profit-motive’.
2.5 Hukum Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Dalam Islam
22
Ibid, hal.21
23
(Endang Purwaningsih, Hukum Bisnis, Bogor, Ghalia Indonesia, 2010), hal. 99-100
24
Ibid, hal. 100
12
Al-Quran surat Al-Maidah ayat 2 menyatakan:
ي َو ََل ا ل ْ ق َ ََل ئ ِ دَ َو ََلَ َّْللا ِ َو ََل ال ش ه ْه َر ا ل ْ َح َر ا مَ َو ََل ا ل ْ هَ د ا أ َي ُّ هَ ا ا ل ه ِذ ي َن آ َم ن ُ وا ََل ت ُ ِح ل ُّ وا ش َ ع َ ا ئ ِ َر ه
ص ط َ ا دُوا ۚ َو ََل ْ ح ل َ ل ْ ت ُ ْم ف َ ا
َ ض َو ا ن ً ا ۚ َو إ ِ ذ َ ا
ْ ض ًَل ِم ْن َر ب ِ ِه مْ َو ِر ْ َ ح َر ا م َ ي َ ب ْ ت َ غ ُ و َن ف
َ ْت ال َ ْ آمِ ي َن ا ل ْ ب َ ي
ن ق َ ْو ٍم أ َ ْن صَ د ُّو ك ُ مْ ع َ ِن ا ل ْ َم سْ ِج ِد ا ل ْ َح َر ا ِم أ َ ْن ت َ ع ْ ت َد ُوا ۘ َو ت َ ع َ ا َو ن ُ وا عَ ل َ ى ا ل ْ ب ِ ِر ُ ي َ ْج ِر َم ن ه ك ُ مْ ش َ ن َ آ
ِ َّللا َ ش َ ِد ي د ُ ا ل ْ ِع ق َ ا ب اْلِ ث ْ ِم َو ا ل ْ ع ُ دْ َو ا ِن ۚ َو ا ت ه ق ُ وا ه
َّللا َ ۖ إ ِ هن ه ْ َو ال ت هق ْ َو ٰى ۖ َو ََل ت َ ع َ ا َو ن ُ وا ع َ ل َ ى
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-
syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan
jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang
mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali
kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu
dari Masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
25
(Mashur Malaka, Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha, Jurnal Al-‘Adl Vol. 7 No. 2,
Juli 2014), hal. 40
13
prinsip dasar larangan transaksi yang mengandung unsur keharaman baik dari
aspek zatnya (haram li dzaatihi) maupun dari aspek lainnya (haram li ghairihi)
yang berhubungan dengan perilaku usaha. Berikut ini di uraikan ada beberapa
contoh prinsip dasar larangan usaha tidak sehat adalah sebagai berikut26:
a. Riba (Interest): Secara bahasa berarti tambahan (ziyadah). Dengan kata lain,
riba artinya tumbuh dan membesar. Sedangkan secara terminologi riba dapat
diartikan sebagai pengambilan tambahan dari harta pokok secara batil. Jumhur
ulama praktek riba dapat terjadi dalam aqad hutang piutang maupun jual beli.
Termasuk kategori riba hutang piutang, meliputi riba qard dan riba jahiliyah.
Sedangkan termasuk riba jual beli adalah riba fadhl dan riba nasi’ah.
b. Tadlis (menyembunyikan cacat barang). Dalam setiap transaksi bisnis harus
didasarkan pada prinsip keridhaan. Agar tidak merusak keridhaan, maka kedua
belah pihak harus mempunyai informasi yang sama terhadap objek aqad.
Ketidaktahuan salah satu pihak terhadap objek aqad akibat adanya aib yang
sengaja disembunyikan disebut dengan tadlis. Dengan kata lain, tadlis ialah
menyembunyikan objek aqad dari keadaan sebenarnya sehingga merugikan
salah satu pihak. Penipuan tersebut dapat terjadi pada transaksi bisnis dalam
hal ketidakjelasan kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan.
c. Taghrir (ketidakpastian) berasal dari kata bahasa Arab gharar, yang berarti :
akibat, resiko, bencana, ketidakpastian, dsb. Dalam ilmu ekonomi taghrir ini
lebih dikenal sebagai ketidak pastian atau risiko. Sebagai istilah dalam fiqhi
muamalah, taghrir berarti: melakukan sesuatu secara membabi buta tanpa
pengetahuan yang mencukupi, atau mengambil resiko sendiri dari suatu
perbuatan yang mengandung resiko tanpa mengetahui dengan persis apa
akibatnya atau memasuki kanca resiko tanpa memikirkan konsekuensinya.
26
Ibid, hal. 41-42
14
Qardhawi menggambarkan pengertian monopoli sebagai perbuatan menahan
barang agar tidak beredar di pasar dengan harapan harganya bisa naik. Akan
semakin besar dosa orang yang melakukannya jika praktik monopoli itu dilakukan
secara kolektif (berjamaah) dimana para pedagang barang-barang jenis tertentu
bersekutu untuk menguasainya. Semikian pula seorang pedagang yang melakukan
monopoli satu jenis komoditas tertentu dengan maksud untuk meraih keuntungan
bagi dirinya sendiri dengan jalan menguasai pasar sesuai keinginannya.27
Istilah monopoli dalam terminologi Islam tidak ditemukan secara konkrit
namun dalam muamalat terdapat satu ungkapan yang disinyalir “hampir mirip”
dengan monopoli yaitu al-Ihtikar. Al-Ihtikar merupakan bahasa Arab yang
definisinya secara etimologi ialah perbuatan menimbun, pengumpulan. Secara
sederhana, ihtikar dapat diartikan sebagai upaya membatasi pasokan barang agar
dapat menjual barang dengan harga yang lebih tinggi. Dengan kata lain, membeli
barang dagangan dan mengumpulkannya dari pasar pada saat langka kemudian
dijual kembali pada saat masyarakat membutuhkan barang tersebut dengan
keuntungan yang berlipat.28
Perilaku ini dilarang karena akan berpengaruh negatif terhadap jumlah
barang yang tersedia sehingga ketersediaan dan permintaan barang menjadi tidak
stabil, terjadi distorsi pasar. Larangan melakukan penimbunan dapat dilihat dalam
beberapa hadis Rasulullah saw29:
“barang siapa menimbun bahan makanan selama empat pulu malam, maka
sesungguhnya ia telah berlepas diri dari Allah, dan Allahpun berlepas darinya”
Berkata Ali ra.: Barang siapa memonopoli bahan makanan selama 40 hari,
niscaa hatinya menjadi keras30.
Ketidakbolehan penimbunan barang nash-nya juga dapat ditemukan dalam
hadis Nabi Muhammad, diantaranya31:
27
(Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis; Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional
dengan Syariah, Malang, UIN-Maliki Press, 2016), hal. 379-380
28
(Eka Junila Saragih, Konsep Monopoli Dalam Tinjauan Bisnis Islam, Jurnal Al-Maslahah Volume
13 Nomor 2 ,Oktober 2017), hal. 269-270
29
Ibid, hal. 270
30
Ibid, hal. 270
15
a. Hadis yang diriwayatkan Raziim dalam Al-Jami’nya menyebut bahwa Nabi
bersabda, “sejelek-jelek hamba adalah si penimbun, jika ia mendengar
barang murah ia murka, dan jika barang menjadi mahal ia bergembira.”
b. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At Tirmizi, dan Muslim dari
Mu’ammar bahwa Nabi bersabda: “Siapa yang melakukan penimbunan ia
dianggap bersalah.”
31
(Suhrawardi K. Lubis dan Farid Wajadi, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2012), hal.
151
32
(Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis; Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional
dengan Syariah, Malang, UIN-Maliki Press, 2016), hal. 380
33
(Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis; Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional
dengan Syariah, Malang, UIN-Maliki Press, 2016), hal. 381
34
(Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis; Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional
dengan Syariah, Malang, UIN-Maliki Press, 2016), hal. 381
16
“Orang-orang yang belas kasih akan dikasihi (dirahmati) oleh Tuhan Yang
Maha Pengasih (Ar-Rahman), kasihanilah orang dimuka bumi niscaya yang
berada di langit akan mengasihimu.” (H.R. Abu Dawud).
17
BAB 3 PENUTUP
KESIMPULAN
Monopoli merupakan suatu tindakan dalam penguasaan pasar dimana
dalam pasar tersebut tidak terdapat barang subtitusi, pedagang baru tidak bisa
memasuki pasar dengan usaha atau jenis usaha yang sama, dan memiliki pangsa
pasar lebih dari 50%. Sedangkan istilah monopoli dalam terminologi Islam tidak
ditemukan secara konkrit namun dalam muamalat terdapat satu ungkapan yang
disinyalir “hampir mirip” dengan monopoli yaitu al-Ihtikar. Al-Ihtikar merupakan
bahasa Arab yang definisinya secara etimologi ialah perbuatan menimbun.
SARAN
Sebagai warga negara Indonesia dan seorang muslim yang baik, penyusun
berharap pembaca, terutama seorang wirausaha agar tidak melakukan suatu
persaingan usaha yang tidak sehat, terutama monopoli. Karena dengan melakukan
monopoli, sama halnya dengan menghambat kemajuan perekonomian negara
Indonesia.
18
DAFTAR PUSTAKA
Fuady, M. (1999). Hukum Anti Monopoli - Menyongsong Era Persaingan Sehat. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti.
Fuady, M. (1999). Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti.
Lubis, S. K., & Wajadi, F. (2012). Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Malaka, M. (2014). Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha. Al-'Adl, 7(2), 39-52.
Saliman, A. R. (2015). Hukum Bisnis Untuk Perusahaan - Teori dan Contoh Kasus. Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group.
Saliman, A. R., Hermansyah, & Jalis, A. (2015). Hukum Bisnis Untuk Perusahaan - Teori
dan Contoh Kasus. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Saragih, E. J. (2017). Konsep Monopoli Dalam Tinjauan Bisnis Islam. Al-Maslahah, 13(2),
267-284.
Siswanto, A. (2004). Hukum Persaingan Usaha. Bogor Selatan: Penerbit Ghalia Indonesia.
19