Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Persaiangan Usaha
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas karunia, hidayah, dan nikmatNya penulis
dapat menyelesaikan makalah ini. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi
salah satu tugas yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Hukum Persaingan
Usaha. Makalah ini ditulis oleh penulis yang bersumber dari Buku dan Jurnal sebagai
refrensi. Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada rekan rekan mahasiswa yang telah
mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis berharap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi
kita semua. Makalah ini secara fisik dan substansinya diusahakan relevan dengan
pengangkatan judul makalah yang ada, Keterbatasan waktu dan kesempatan sehingga
makalah ini masih memiliki banyak kekurangan yang tentunya masih perlu perbaikan
dan penyempurnaan maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
perbaikan menuju ke arah yang lebih baik.
Demikian makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi penulis dan yang
membacanya, sehingga menambah wawasan dan pengetahuan tentang bab ini. Amin.
Penyusun
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Berdasarkan paparan diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah
PEMBAHASAN
2.1 Monopoli
Jika membahas tentang Hukum Persaingan Usaha monopoli merupakan
masalah yang perlu diperhatikan dan dibahas secara lebih. Jika kegiatan monopoli
dilakukan secara sehat atau fair dan tidak melanggar hukum sebetulnya monopoli
bukan termasuk tindak kejahatan dalam persaingan usaha. Jadi monopoli itu
sebenarnya tidak dilarang dalam hukum persaingan usaha melainkan yang dilarang
yaitu tentang praktek monopoli atau perbuatan-perbuatan yang dilakukan
perusahaan yang mempuyai kekuatan untuk memonopolisasi yang mematikan
perusahaan lain. Monopoli berasal dari Bahasa inggris yaitu, monopoly sedangkan
dari Bahasa yunani yakni “monos polein” yang artinya sendirian menjual. Istilah
monopoli harus dibedakan dalam istilah monopolis yang berarti orang yang
menjual produknya secara sendirian (monopolist).
1. Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dana tau jasa
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dana tau
persaingan usaha tidak sehat.
c. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari
50% (lima puluh persen) pangan pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
1
Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, (Jakarta:ROV Creative
Media, 2009) 127-129.
c. Pelaku usaha lain tersebut adalah pelaku usaha yang mempunyai kemauan
bersaing yang signifikan dalam pasar bersangkutan
d. Satu atau satu kelompok pelaku usaha telah menguasai lebih dari 50%
pangsa pasar suatu jenis prosuk.
c. Terjadi eksploitasi terhadap daya beli konsumen dan tidak memberikan hak
pilih pada konsumen untuk mengkonsumsi produk lainnya, sehingga
konsumen tidak peduli lagi pada masalah kualitas serta harga produk.
Eksploitasi ini juga akan berpengaruh pada karyawan serta buruh yang
bekerja di perusahaan tersebut dengan gaji dan upah yang ditetapkan
sewenang-wenang, tanpa memperhatikan aturan main yang berlaku;
e. Terjadi entry barrier, dimana tidak ada perusahaan lain yang mampu
menembus pasar monopoli untuk suatu produk yang sejenis, sehingga pada
gilirannya perusahaan kecil yang tidak mampu masuk ke pasar monopoli
akan mengalami kesulian untuk dapat berkembang secara wajar dan pada
akhirnya akan bangkrut;
2
Ibid, 132.
a. Terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi pada satu atau lebih pelaku usaha;
b. Terdapat penguasaan atas produksi atau pemasaran barang atau jasa tertentu;
2.2 Monopsoni
Dalam monopoli seorang atau satu kelompok usaha menguasai pangsa
pasar yang besar untuk menjual suatu produk, jadi monopsoni yaitu seorang atau
satu kelompok usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar untuk membeli
suatu produk, atau seringkali monopsoni itu identik dengan pembeli tunggal atas
produk barang maupun jasa tertentu. Sering juga monopsoni dalam teori ekonomi
dikatan sebuah pasar dimana hanya terdapat seorang pembeli atau pembeli
tunggal. Dalam pasar monopsoni, biasanya harga barang atau jasa akan lebih
rendah dari harga pada pasar yang kompetitif. Biasanya pembeli tunggal ini pun
akan menjual dengan cara monopoli atau dengan harga yang tinggi. Pada kondisi
inilah potensi kerugian masyarakat akan timbul karena pembeli harus membayar
dengan harga yang mahal dan juga terdapat potensi persaingan usaha yang tidak
sehat.
Meskipun kasus monopsoni sangat jarang terjadi, akan tetapi dalam satu
waktu atau suatu daerah tertentu hal ini bisa terjadi. Contoh kasus monopsoni
yang banyak terjadi di negara-negara berkembang adalah masalah hubungan
antara petani dengan pabrik. Biasanya pada suatu wilayah tertentu hanya terdapat
satu pabrik yang akan menampung seluruh hasil produksi pertanian. Dalam
kondisi seperti ini biasanya petani sangat tergantung kepada produsen,
Untuk kasus Indonesia beberapa tahun lalu kita juga melihat ada kasus
monopsoni yang terjadi pada beberapa pasar. Diantaranya pada pasar cengkeh,
dimana Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC) di bawah koordinasi
Tommy Suharto memaksa semua petani untuk menjual cengkeh mereka pada
BPPC dengan harga murah yang disertai dengan berbagai alasan yang
dipaksakan. UU No 5 Tahun 1999 mengatur monopsoni ini secara khusus dalam
Pasal 18 yang menyatakan, bahwa :
3
Ibid, 136-137.
4
Ibid, 137-138.
5
Elly Erawati, Membenahi Perilaku Bisnis melalui UU No.5 tahun 1999, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1999, 18
Adanya praktek penguasaan pasar oleh satu atau beberapa pelaku usha
menyebabkan tidak adanya hak pilih konsumen atas produk. Produsen akan
seenaknya menetapkan kualitas atas barang dan jasa dikaitkan dengan biaya yang
dikeluarkan. Kedudukan konsumen dan pelaku usaha yang tidak seimbang karena
konsumen berada pada posisinya yang lemah menjadikan konsumen sebagai objek
aktivitas bisnis untuk merup keuntungan yang sebesar-besarnya.
Tentang penguasaan pasar yang dilarang ini diatur dalam Bab IV Bagian
ketiga dari Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 pasal 19,20, dan 21 yang
menyebutkan sebagai berikut:
Pasal 19
Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri
maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan
usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
c. membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar
bersangkutan; atau
Pasal 20
Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan
cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan
maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar
bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 21
a. Menolak pesaing
b. Menghalangi konsumen
c. Pembatasan peredaran produk
6
Juwana, Hikmahanto, Sekilas tentang Hukum Persaingan dan UU No.5 tahun 1999, Jurnal magister
Hukum, Vol.1 No.1, september 1999, 23
Dari uraian diatas dapat dijabarkan unsur-unsur Pasal 19 UU No.5 tahun 1999
1. Pelaku usaha (pasal 1 angka 5 UU No.5 tahun 1999) yang memiliki posisi
dominan (Pasal 1 angka 4 UU No.5 tahun 1999)
2. Melakukan satu atau beberapa kegiatan:
a. Menolak pesaing
b. Menghargai konsumen
c. Pembatasan peredaran produk
d. Diskriminasi
3. Baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain. Pilihan kata ini menjamin
ketentuan Pasal 19 UU No.5 tahun 1999. Diterapkan baik terhadap perilaku
satu pelaku usaha maupun penyalahgunaan yang dilakukan bersama pelaku
usaha lain. Untuk itu tidak mutlak diperlukan perjanjian yang menghambat
persaingan, melainkan perilaku paralel para pesaing sudah memadai.
4. Dapat mengakibatkan monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Tidak hanya harus diperhatikan hambatan persaingan yang telah terjadi,
melainkan juga hambatan persaingan potensial.
Tetapi harga yang ditetapkan di bawah biaya total rata-rata (ATC) tersebut
tetap masih dapat dikatakan sebagai reasonable price apabila berada di atas biaya
variable rata-rata (Average Variable Cost), karena pada kondisi tersebut tetap
masih ada gunanya bagi pelaku usaha untuk berproduksi, meskipun tidak ada
gunanya untuk mengganti peralatan modal yang sudah rusak. Sedangkan apabila
suatu pelaku usaha berproduksi pada harga di bawah biaya variabel rata-rata
(AVC), maka dapat dikatakan bahwa harga tersebut sudah tidak wajar (reasonable)
lagi, dan jual rugi yang dilakukan oleh pelaku usaha tersebut dapat dicurigai
mempunyai maksud tertentu.
Pada umumnya praktek jual rugi dimaksudkan pada 5 (lima) tujuan utama, yaitu:
7
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2010) 27.
Suatu pelaku usaha dapat dianggap melakukan pemasokan barang dan atau
jasa dengan cara menetapkan harga yang sangat rendah apabila harga yang
ditetapkan jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga yang ditetapkan oleh
sejumlah pelaku usaha lain. Sehingga hal ini harus dilakukan horizontal
comparison. Suatu pelaku usaha yang melakukan pemasokan barang dan atau jasa
dengan menetapkan harga yang sangat rendah, dapat dicurigai mempunyai maksud
untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan,
apabila dengan harga yang ditetapkannya itu tingkat keuntungan yang akan
diperoleh lebih rendah dari tingkat suku bunga yang berlaku.
Secara umum, penetapan jual rugi (predatory pricing) adalah suatu strategi
usaha menetapkan harga yang sangat rendah untuk barang dan atau jasa yang
dihasilkannya dalam suatu periode yang cukup lama, untuk menyingkirkan pelaku
usaha lain yang menjadi pesaing-pesaingnya dari pasar, atau juga untuk
menghambat pelaku usaha-pelaku usaha lain masuk ke dalam pasar tersebut.
Dalam jangka pendek jual rugi sangat menguntungkan konsumen, namun apabila
pelaku usaha pesaing telah berada di luar pasar, maka pelaku usaha tersebut akan
Sebelum melakukan tuduhan pada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek
predatory pricing sebaiknya terlebih dahulu dilakukan 2 (dua) tahap analisis yang
berkaitan dengan diberlakukannya unreasonable price oleh pelaku usaha predator.
Ada beberapa test yang dapat dilakukan untuk mendeteksi suatu pelaku
usaha melakukan praktek predatory pricing. Berikut ini adalah beberapa test yang
1. Price-Cost Test
Test ini untuk menentukan apakah jual rugi yang dilakukan oleh suatu pelaku
usaha merupakan bagian dari strategi predatory pricing yang diterapkannya.
Dengan membandingkan data harga dan biaya secara obyektif, test ini tidak secara
langsung ditujukan untuk membuktikan bahwa suatu pelaku usaha telah
melakukan praktek predatory pricing, tetapi lebih kepada pemberian informasi
bahwa hal tersebut memang mengarah
2. Areeda-Turner Test
Menurut Areeda dan Turner, penetapan harga suatu barang dan atau jasa
dikatakan merupakan predator apabila ditetapkan lebih kecil dari pada biaya
marginal jangka pendeknya. Sementara setiap harga yang berada di atas harga
marginal biaya jangka pendek bukanlah predator. Test ini sejalan dengan teori
pada pasar persaingan sempurna, yang menyamakan harga pasar sama dengan
Marginal Cost (MC) dan Marginal Revenue (MR). Pada tingkat harga ini, setiap
pelaku usaha pesaing tidak akan ke luar dari pasar sepanjang efisiensinya paling
sedikit sama dengan pelaku usaha incumbent.
Seperti telah diketahui, salah satu kelemahan AVC Test adalah kegagalannya
mendeteksi harga yang benar-benar berada di bawah tingkat biaya yang
sesungguhnya. Penggunaan test ini tidak hanya akan menyebabkan underestimate
pada penetapan marginal cost (MC), tetapi juga menyebabkan overlooking
terhadap kondisi harga yang berada di atas AVC tetapi di bawah AC. Padahal
apabila harga berada dalam range kedua jenis biaya tersebut, maka hanya biaya
variabel yang bisa tertutupi, tetapi tidak seluruh biaya tetapnya. Oleh karena itu
AAC Test adalah salah satu variasi dari Areeda-Turner Test. Pada AAC Test,
harga dibandingkan dengan AVC ditambah dengan biaya tetap tertentu, di luar
sunk cost.
Atau dengan perkataan lain, biaya yang muncul untuk memproduksi sejumlah
output tertentu.
5. Recoupment Test
1. Above-Cost Test
2. Limit-Pricing Strategy
8
Abdul R Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta:Kencana Pranada
Group, 2008),12-16
9
Andi fahmi lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, (jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha
KPPU, 2017) 206.
2.6 Persekongkolan
Persekongkolan terdapat kerja sama yang melibatkan dua atau lebih pelaku
usaha yang secara bersamaan melakukan tindakan melawan hukum. Istilah
persekongkolan (conspiracy/konspirasi) dengan istilah collusion (kolusi), yakni
sebagai bahwa dalam kolusi tersebut ada suatu perjanjian rahasia yang dibuat oleh
2 (dua) orang atau lebih dengan tujuan penipuan atau penggelapan yang sama
artinya dengan konspirasi dan cenderung berkonotasi negative/buruk.
Persekongkolan diatu dalam pasal 1 angka 8 UU No.5 Tahun 1999 yakni “sebagai
bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain
dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku
usaha yang bersekongkol. Terdapat 3 bentuk persekongkolan yang dilarang dalam
UU No.5 Tahun 1999 yaitu persekongkolan tender (pasal 22), persekongkolan
untuk membocorkan rahasia dagang (pasal 23), serta persekongkoln untuk
menghambat perdagangan (pasal 24).
a. Persekongkolan Tender (pasal 22)
Dalam pasal 22 UU No.5 Tahun 1999 menyatakan bahwa tender
merupakan tawaran untuk mengajukan harga, untuk memborong suatu
pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa.
Kegiatan bersekongkol menentukan pemenang tender jelas merupakan
perbuatan curang, karena pada dasarnya tender dan pemenangnya tidak diatur
dan bersifat rahasia. Maka dapat diartikan disini tender/lelang mempunyai
cakupan luas karena tender merupakan serangkaiam kegiatan atau aktivitas
Restrictive trade agreement, yaitu bentuk kolusi di antara para pemasok yang
bertujuan menghapus persaingan secara keseluruhan ataupun sebagian, dan
Restrictive trade practice, yaitu suatu alat untuk mengurangi atau
menghilangkan persaingan usaha di antara para pemasok produk yang saling
bersaing.
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Monopoli berdasarkan pasal 1 ayat (1) undang-undang No. 5 thn 1999
monopoli yaitu “penguasaan atas produksi dana tau pemasaran barang dan atau
atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
usaha” sedangkan onopsoni yaitu seorang atau satu kelompok usaha yang
menguasai pangsa pasar yang besar untuk membeli suatu produk, atau seringkali
monopsoni itu identik dengan pembeli tunggal atas produk barang maupun jasa
tertentu.
Sering juga monopsoni dalam teori ekonomi dikatan sebuah pasar dimana
hanya terdapat seorang pembeli atau pembeli tunggal. Dari sudut ekonomi,
penguasaan pasar merupakan kemampuan dari pelaku usaha untuk mengendalikan
(dalam batas tertentu) harga penawaran dan syarat penjualan produknya tanpa
mendapat persaingan dari pesaing potensialnya.
Jual rugi adalah suatu kondisi dimana suatu pelaku usaha menetapkan harga
jual dari barang dan atau jasa yang diproduksinya di bawah biaya total rata-rata
(Average Total Cost). Sebagai dari penguasaan pasar, maka kecurangan dalam
menentukan biaya adalah salah satu strategi yang dijalankan oleh pelaku usaha
untuk mematikan pesaingnya, yaitu dengan jalan menyatakan biaya produksinya
tidak sesuai dengan biaya produksi yang sesungguhnya jika persekongkolan diatur
dalam pasal 1 angka 8 UU No.5 Tahun 1999 yakni “sebagai bentuk kerjasama
yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk
menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.
Erawati, Elly. 1999. Membenahi perilaku bisnis melalui UU No.5 tahun 1999.
Bandung: Citra Aditya Bakti
Hikmanto, Junawa. Sekilas Tentang Hukum Persaingan dan UU No.5 tahun 1999.
Jurnal magister Hukum Vol.1 No.1 (1999)
Lubis, Fahmi Andi dkk. 2009. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks.
Jakarta: ROV Creative Media.
Lubis, Fahmi Andi dkk. 2017. Hukum Persaingan Usaha. Jakarta: Komisi Pengawas
Persaingan Usaha KPPU.
Rokan, Kamal Mustafa. 2010. Hukum Persaingan Usaha. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Saliman, R Abdul. 2008. Hukum Bisnis untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus.
Jakarta: Kencana Pranada Group.