Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

Kegiatan yang di Larang dalam UU No.5/1999 dan Hukum Islam

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Persaiangan Usaha

Dosen Pengampu: Galuh Widitya Qomaro, S.H.I.,M.H.I.

Disusun Oleh: Kelompok V

1. Lilis Widya Dwi Lestari (170711100032)


2. Siti Khusnul Kholifah (170711100047)
3. Nurul Hidayat (170711100056)
4. Moh. Rizal Saifuddin (170711100053)

HUKUM BISNIS SYARIAH


FAKULTAS ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA

2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas karunia, hidayah, dan nikmatNya penulis
dapat menyelesaikan makalah ini. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi
salah satu tugas yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Hukum Persaingan
Usaha. Makalah ini ditulis oleh penulis yang bersumber dari Buku dan Jurnal sebagai
refrensi. Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada rekan rekan mahasiswa yang telah
mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis berharap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi
kita semua. Makalah ini secara fisik dan substansinya diusahakan relevan dengan
pengangkatan judul makalah yang ada, Keterbatasan waktu dan kesempatan sehingga
makalah ini masih memiliki banyak kekurangan yang tentunya masih perlu perbaikan
dan penyempurnaan maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
perbaikan menuju ke arah yang lebih baik.
Demikian makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi penulis dan yang
membacanya, sehingga menambah wawasan dan pengetahuan tentang bab ini. Amin.

Bangkalan, Februari 2020

Penyusun

i | Hukum Persaingan Usaha


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 2

1.3 Tujuan .................................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................. 3

2.1 Monopoli ............................................................................................................. 3

2.2 Monopsoni ........................................................................................................... 7

2.3 Penguasaan Pasar ................................................................................................ 9

2.4 Jual Rugi ............................................................................................................ 13

2.5 Kecurangan dalam Menetapkan Biaya Produksi ............................................... 18

2.6 Persekongkolan ................................................................................................. 19

BAB III KESIMPULAN ........................................................................................... 24

3.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 24

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 25

ii | Hukum Persaingan Usaha


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam era modern yang serba digital seperti sekarang menjadikan sebuah
peluang usaha yang sangat besar terutama di dunia bisnis maka dari itu tak jarang
masyarakat terkadang dalam bisnis banyak terjadi penyelewenngan bahkan
persaingan yang tidak sehat di tambah lagi di era modern seperti sekarang ini
Persaingan usaha yang semakin pesat pesatnya perlu adanya penegakan hukum
yangjelas melindungi para pelaku usaha serta para konsumen agar tidak terjadi
ketidak adilan dalam bertransaksi ataupun dalam ber usaha atau dalam perdagangan
tidak sedikit biasanya para pelaku usaha terjadi monopoli yang memang jelas
dilarang oleh undang-undang.
Maka dari itu makalh ini dibuat agar untuk menjadikan bahan referensi
maupun awawsan bagi pembaca kit auntuk mengetahi beberapa usaha yang
dilarang dalam undang-undang agar usaha serta ekonomi di idonesia menjadi stabil
yang berfungsi dengan baik dan berlangsung jujur adalah persyaratan utama bagi
pertumbuhan dan tersedianya lapangan kerja di dalam sebuah ekonomi pasar.
Indonesia menduduki posisi penting di wilayah regional ASEAN dengan penerapan
Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat (UU Nomor 5 Tahun 1999) pada tahun 1999 serta pembentukan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada tahun 2000.

1 | Hukum Persaingan Usaha


1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan diatas, maka masalah yang akan diangkat adalah sebagi
berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan monopoli?

2. Apa yang dimaksud dengan monopsoni?

3. Apa yang dimaksud dengan penguasaan pasar?

4. Apa yang dimaksud dengan jual rugi?

5. Bagaimana yang dimaksud dengan kecurangan dalam menetapkan biaya


produksi?

6. Apa yang dimaksud dengan persekongkolan?

1.3 Tujuan
Berdasarkan paparan diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah

1. Untuk mengetahui dan memahami tentang monopoli.

2. Untuk mengetahui dan memahami tentang monopsoni.

3. Untuk mengetahui dan memahami tentang Penguasaan Pasar.

4. Untuk mengetahui dan memahami tentang Jual Rugi

5. Untuk mengetahui dan memahami tentang kecurangan dalam menetapkan


biaya produksi

6. Untuk mengetahui dan memahami tentang persekongkolan.

2 | Hukum Persaingan Usaha


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Monopoli
Jika membahas tentang Hukum Persaingan Usaha monopoli merupakan
masalah yang perlu diperhatikan dan dibahas secara lebih. Jika kegiatan monopoli
dilakukan secara sehat atau fair dan tidak melanggar hukum sebetulnya monopoli
bukan termasuk tindak kejahatan dalam persaingan usaha. Jadi monopoli itu
sebenarnya tidak dilarang dalam hukum persaingan usaha melainkan yang dilarang
yaitu tentang praktek monopoli atau perbuatan-perbuatan yang dilakukan
perusahaan yang mempuyai kekuatan untuk memonopolisasi yang mematikan
perusahaan lain. Monopoli berasal dari Bahasa inggris yaitu, monopoly sedangkan
dari Bahasa yunani yakni “monos polein” yang artinya sendirian menjual. Istilah
monopoli harus dibedakan dalam istilah monopolis yang berarti orang yang
menjual produknya secara sendirian (monopolist).

Berdasarkan kamus Ekonomi Collins monipoli yaitu “salah satu jenis


struktur pasar yang mempunyai sifat-sifat, bahwa satu perusahaan dengan banyak
pembeli, kurangnya produk substitusi atau pengganti serta adanya pemblokiran
pasar ( barrier to entry ) yang tidak dapat dimasuki oleh pelaku usaha lainya.
Adapun penyebab terjadinya praktek monopoli terjadi dikarenakan

a. Sumber kunci, misalnya pelaku adalah merupakan satu-satunya pemilik sumber


utama (resources)

b. Monopoli yang diciptakan oleh pemerintah. Misalnya adanya pemberian hak


tertentu kepada salah satu pelaku usaha yang dekat dengan penguasa untuk
mengimpor atau mengekspor produk barang dan jasa tertentu atau bisa juga
pemerintah memberikan hak paten atau copyright kepada salah satu pelaku
usaha.

3 | Hukum Persaingan Usaha


c. Terjadi monopoli alamiah. Monopoli ini terjadi karena penyediaan barang dan
jasa akan lebih murah jika dilaksanakan oleh satu pihak dari pada beberapa
pihak. Misalnya PDAM, Perum PLN, pertamina dsb.1

Sedangkan berdasarkan pasal 1 ayat (1) undang-undang No. 5 thn 1999


monopoli yaitu “penguasaan atas produksi dana tau pemasaran barang dan atau
atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
usaha”.

Mengenai larangan kegiatan monopoli itu sendiri diatur dalam pasal 17 uu


No. 5 thn 1999 yang menyatakan bahwa:

1. Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dana tau jasa
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dana tau
persaingan usaha tidak sehat.

2. Pelaku usaha patut di duga atau di anggap melakukan penguasaan atas


produksi dana tau pemasaran barang dana tau jasa sebagaimana di maksud
dalam ayat (1) apabila:

a. Barang dana tau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya

b. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan


usaha barang dana tau jasa yang sama

c. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari
50% (lima puluh persen) pangan pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 17 UU No. 5 tahun 1999


yaitu

1
Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, (Jakarta:ROV Creative
Media, 2009) 127-129.

4 | Hukum Persaingan Usaha


a. Melakukan perbuatan penguasaan atas suatu produk

b. Melakukan perbuatan atas pemasaran suatu produk

c. Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli

d. Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek persaingan


usaha tidak sehat.

Dalam membuktikan unsur-unsur perbuatan diatas maka terdapat kriteria


yang harus terpenuhi yaitu

a. Tidak terdapat produk substitusinya

b. Pelaku usaha lain sulit masuk ke dalam pasar persainganterhadap prosuk


yang sama dikarenakan hambatan masuk yang tinggi.

c. Pelaku usaha lain tersebut adalah pelaku usaha yang mempunyai kemauan
bersaing yang signifikan dalam pasar bersangkutan

d. Satu atau satu kelompok pelaku usaha telah menguasai lebih dari 50%
pangsa pasar suatu jenis prosuk.

Adapun pengaruh /dampak negatife adanya monopoli oleh pelaku atau


sekelompok pelaku usaha yang dapat merugikan konsumen maupun pelsku usaha
yaitu

a. Adanya peningkatan harga produk barang maupun jasa tertentu sebagai


akibat tidak adanya persaingan sehat, sehingga harga yang tinggi dapat
memicu/penyebab terjadinya inflasi yang merugikan masyarakat luas;

b. Pelaku usaha mendapatkan keuntungan secara tidak wajar, dan dia


berpotensi untuk menetapkan harga seenaknya guna mendapatkan
keuntungan yang berlipat, tanpa memperhatikan pilihan-pilihan konsumen,

5 | Hukum Persaingan Usaha


sehingga konsumen mau tidak mau tetap akan mengkonsumsi produk
barang dan jasa tertentu yang dihasilkannya;

c. Terjadi eksploitasi terhadap daya beli konsumen dan tidak memberikan hak
pilih pada konsumen untuk mengkonsumsi produk lainnya, sehingga
konsumen tidak peduli lagi pada masalah kualitas serta harga produk.
Eksploitasi ini juga akan berpengaruh pada karyawan serta buruh yang
bekerja di perusahaan tersebut dengan gaji dan upah yang ditetapkan
sewenang-wenang, tanpa memperhatikan aturan main yang berlaku;

d. Terjadi inefisiensi dan tidak efektif dalam menjalankan kegiatan usahanya


yang pada akhirnya dibebankan pada masyarakat luas/konsumen berkaitan
dengan produk yang dihasilkannya, karena monopolis tidak lagi mampu
menekan AC (average cost) secara minimal;

e. Terjadi entry barrier, dimana tidak ada perusahaan lain yang mampu
menembus pasar monopoli untuk suatu produk yang sejenis, sehingga pada
gilirannya perusahaan kecil yang tidak mampu masuk ke pasar monopoli
akan mengalami kesulian untuk dapat berkembang secara wajar dan pada
akhirnya akan bangkrut;

f. Menciptakan pendapatan yang tidak merata, dimana sumber dana serta


modal akan tersedot ke perusahaan monopoli, sehingga masyarakat/
konsumen dalam jumlah yang besar terpaksa harus berbagi pendapatan
yang jumlahnya relatif kecil dengan masyarakat lainnya, sementara
segelintir (dalam jumlah kecil) monopolis akan meikmati keuntungan yang
lebih besar dari yang diterima oleh masyarakat.2

Jadi pada intinya praktek monopoli merupakan pemusatan kekuatan


ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya

2
Ibid, 132.

6 | Hukum Persaingan Usaha


produksi dana atau pemasaran barang atau jasa tertentu sehingga dapat
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan
umum. Adapun unsur-unsur dari praktek monopoli yaitu :

a. Terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi pada satu atau lebih pelaku usaha;

b. Terdapat penguasaan atas produksi atau pemasaran barang atau jasa tertentu;

c. Terjadi persaingan usaha tidak sehat, serta

d. Tindakan tersebut merugikan kepentingan umum.

2.2 Monopsoni
Dalam monopoli seorang atau satu kelompok usaha menguasai pangsa
pasar yang besar untuk menjual suatu produk, jadi monopsoni yaitu seorang atau
satu kelompok usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar untuk membeli
suatu produk, atau seringkali monopsoni itu identik dengan pembeli tunggal atas
produk barang maupun jasa tertentu. Sering juga monopsoni dalam teori ekonomi
dikatan sebuah pasar dimana hanya terdapat seorang pembeli atau pembeli
tunggal. Dalam pasar monopsoni, biasanya harga barang atau jasa akan lebih
rendah dari harga pada pasar yang kompetitif. Biasanya pembeli tunggal ini pun
akan menjual dengan cara monopoli atau dengan harga yang tinggi. Pada kondisi
inilah potensi kerugian masyarakat akan timbul karena pembeli harus membayar
dengan harga yang mahal dan juga terdapat potensi persaingan usaha yang tidak
sehat.

Meskipun kasus monopsoni sangat jarang terjadi, akan tetapi dalam satu
waktu atau suatu daerah tertentu hal ini bisa terjadi. Contoh kasus monopsoni
yang banyak terjadi di negara-negara berkembang adalah masalah hubungan
antara petani dengan pabrik. Biasanya pada suatu wilayah tertentu hanya terdapat
satu pabrik yang akan menampung seluruh hasil produksi pertanian. Dalam
kondisi seperti ini biasanya petani sangat tergantung kepada produsen,

7 | Hukum Persaingan Usaha


sebaliknya produsen akan berusaha menekan petani. Pada kondisi inilah
kemudian kita menyaksikan ada salah satu pihak yang dirugikan, karenanya
hukum harus mengatur dengan tegas kondisi yang menyebabkan turunnya
kesejahteraan secara agregat.3

Untuk kasus Indonesia beberapa tahun lalu kita juga melihat ada kasus
monopsoni yang terjadi pada beberapa pasar. Diantaranya pada pasar cengkeh,
dimana Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC) di bawah koordinasi
Tommy Suharto memaksa semua petani untuk menjual cengkeh mereka pada
BPPC dengan harga murah yang disertai dengan berbagai alasan yang
dipaksakan. UU No 5 Tahun 1999 mengatur monopsoni ini secara khusus dalam
Pasal 18 yang menyatakan, bahwa :

a. Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi membeli


tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
b. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau
menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu
pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50%
(lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Namun demikian tidak semua monopsoni dilarang oleh undang-undang.


Misalnya kondisi yang terjadi bila disatu daerah/wilayah hanya terdapat sebuah
pabrik pengolahan rotan milik pabrik mebel yang berbahan baku rotan dan
disekitarnya terdapat penduduk yang menanam rotan, sehingga pabrik tersebut
penerima pasokan atau sebagai pembeli tunggal hasil perkebunan rakyat. Kondisi
seperti ini tidak dilarang, karena memang tidak ada persaingan yang terjadi di
daerah tersebut. Jika dicermati, maka si pemilik pabrik mebel tersebut

3
Ibid, 136-137.

8 | Hukum Persaingan Usaha


merupakan seorang monopsonis (pembeli tunggal) dan berpotensi menimbulkan
monopoli. Akan tetapi yang dilakukan oleh monopsonis tadi bukan merupakan
bentuk pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 18 UU No. 5 Tahun 1999, karena
apa yang telah dilakukannya merupakan bentuk/jenis monopoli alamiah (natural
monopoly) dan tidak mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak
sehat.4

2.3 Penguasaan Pasar


Dalam dunia usaha, para pelaku usaha sangat berkepentingan agar
produknya memenangkan persaingan dalan pasar melawan produk sejenis yang
dihasilkan oleh pelaku usaha pesaingnya. Dalam rangka memenangkan persaingan
itu terkadang ditempuh praktek bisnis yang tidak sehat yaitu dengan cara
menghilangkan semaksimal mungkin persaingan usaha itu sendiri.5

Pada prakteknya penguasaan pasar merupakan salah satu variabel strategis


yang dapat digunakan oleh pelaku usaha untuk memperoleh kekuattan pasar.
Kekuatan pasar ini pada akhirnya akan digunakan untuk menetapkan harga produk
diatas harga yang seharusnya erjadi bila pasarnya kompetitif. Dengan menetapkan
harga yang lebih tinggi ini, tentunya di satu pihak perusahaan akan mendapatkan
keuntungan yang lebih besar, sementara di lain pihak konsumen akan di rugikan
karena membeli barang atau jasa yang lebih mahal. Jadi terdapat insentif yang
cukup besar bagi perusahaan untuk mendapatkan kekuatan pasar ini.

Dari sudut ekonomi, penguasaan pasar merupakan kemampuan dari pelaku


usaha untuk mengendalikan (dalam batas tertentu) harga penawaran dan syarat
penjualan produknya tanpa mendapat persaingan dari pesaing potensialnya.

4
Ibid, 137-138.
5
Elly Erawati, Membenahi Perilaku Bisnis melalui UU No.5 tahun 1999, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1999, 18

9 | Hukum Persaingan Usaha


Praktek penguasaan pasar dapat menciptakan barrier to entry yaitu keadaan
dimana pelaku usaha pesaing tidak dapat masuk ke dalam bidang usaha pada pasar
bersangkutan karena adanya penguasaan pasar yang besar oleh perusahaan-
perusahaan yang memiliki kedudukan yang lebih kuat. Barrier to entry ini
merupakan cara yang ditempuh atau beberapa pelaku usaha yang telah menguasai
pasar untuk menghambat pelaku usaha lain yang dianggap dapat menyaingi usaha
sehingga mengurangi keuntungan yang akan diraihnya. Pelaku usaha pesaing itu
adalah pesaing untuk pasar yang sama, yang ikut berusaha atau memperoleh
bagian pasar di daerah pemasaran yang bersangkutan.

Adanya praktek penguasaan pasar oleh satu atau beberapa pelaku usha
menyebabkan tidak adanya hak pilih konsumen atas produk. Produsen akan
seenaknya menetapkan kualitas atas barang dan jasa dikaitkan dengan biaya yang
dikeluarkan. Kedudukan konsumen dan pelaku usaha yang tidak seimbang karena
konsumen berada pada posisinya yang lemah menjadikan konsumen sebagai objek
aktivitas bisnis untuk merup keuntungan yang sebesar-besarnya.

Tentang penguasaan pasar yang dilarang ini diatur dalam Bab IV Bagian
ketiga dari Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 pasal 19,20, dan 21 yang
menyebutkan sebagai berikut:

Pasal 19

Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri
maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:

a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan
usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau

10 | Hukum Persaingan Usaha


b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak
melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau

c. membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar
bersangkutan; atau

d. melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

Pasal 20

Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan
cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan
maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar
bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 21

Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya


produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan
atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.6

Dengan demikian, kegiatan penguasaan pasar yang dilarang oleh UU No.5


tahun 1999 tersebut adalah sebagai berikut:

a. Menolak pesaing
b. Menghalangi konsumen
c. Pembatasan peredaran produk

6
Juwana, Hikmahanto, Sekilas tentang Hukum Persaingan dan UU No.5 tahun 1999, Jurnal magister
Hukum, Vol.1 No.1, september 1999, 23

11 | Hukum Persaingan Usaha


d. Diskriminasi
e. Melakukan jual rugi
f. Penetapan biaya secara curang

Yang dapat melakukan tindakan penguasaan pasar tersebut adalah pelaku


usaha yang mempunyai market power, yaitu pelaku usaha yang dapat menguasai
pasar sehingga dapat menentukan harga barang dan atau jasa di pasar yang
bersangkutan. Pelaku usaha yang market power ini harus benar-benar dijadikan
perhatian oleh pihak yang berwenang mengawasi pelaksanaan UU No.5 tahun
1999, karena pelaku usaha seperti inilah yang dapat melakukan penguasaan pasar
seperti yang diatur dalam pasal-pasal yang disebutkan diatas

Dari uraian diatas dapat dijabarkan unsur-unsur Pasal 19 UU No.5 tahun 1999

1. Pelaku usaha (pasal 1 angka 5 UU No.5 tahun 1999) yang memiliki posisi
dominan (Pasal 1 angka 4 UU No.5 tahun 1999)
2. Melakukan satu atau beberapa kegiatan:
a. Menolak pesaing
b. Menghargai konsumen
c. Pembatasan peredaran produk
d. Diskriminasi
3. Baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain. Pilihan kata ini menjamin
ketentuan Pasal 19 UU No.5 tahun 1999. Diterapkan baik terhadap perilaku
satu pelaku usaha maupun penyalahgunaan yang dilakukan bersama pelaku
usaha lain. Untuk itu tidak mutlak diperlukan perjanjian yang menghambat
persaingan, melainkan perilaku paralel para pesaing sudah memadai.
4. Dapat mengakibatkan monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Tidak hanya harus diperhatikan hambatan persaingan yang telah terjadi,
melainkan juga hambatan persaingan potensial.

12 | Hukum Persaingan Usaha


2.4 Jual Rugi
Berdasarkan teori ekonomi, jual rugi adalah suatu kondisi dimana suatu
pelaku usaha menetapkan harga jual dari barang dan atau jasa yang diproduksinya
di bawah biaya total rata-rata (Average Total Cost). Suatu pelaku usaha hanya akan
memperoleh keuntungan jika ia dapat menetapkan harga jual barang dan atau jasa
yang diproduksinya di atas biaya total rata-rata, atau hanya dapat sekedar menutup
biayanya (pulang pokok – break even) bila menetapkan harga persis sama dengan
biaya total rata-rata.

Tetapi harga yang ditetapkan di bawah biaya total rata-rata (ATC) tersebut
tetap masih dapat dikatakan sebagai reasonable price apabila berada di atas biaya
variable rata-rata (Average Variable Cost), karena pada kondisi tersebut tetap
masih ada gunanya bagi pelaku usaha untuk berproduksi, meskipun tidak ada
gunanya untuk mengganti peralatan modal yang sudah rusak. Sedangkan apabila
suatu pelaku usaha berproduksi pada harga di bawah biaya variabel rata-rata
(AVC), maka dapat dikatakan bahwa harga tersebut sudah tidak wajar (reasonable)
lagi, dan jual rugi yang dilakukan oleh pelaku usaha tersebut dapat dicurigai
mempunyai maksud tertentu.

Pada umumnya praktek jual rugi dimaksudkan pada 5 (lima) tujuan utama, yaitu:

1. Mematikan pelaku usaha pesaing di pasar bersangkutan yang sama,


2. Membatasi pesaing dengan memberlakukan harga jual rugi sebagai entry
barrier,
3. Memperoleh keuntungan besar di masa mendatang,
4. Mengurangi kerugian yang terjadi di masa lalu, atau
5. Merupakan harga promosi dalam upaya memperkenalkan produk baru
sebagai alat strategi pemasaran.7

7
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2010) 27.

13 | Hukum Persaingan Usaha


Definisi dan Indikasi Penetapan Jual Rugi

Suatu pelaku usaha dapat dianggap melakukan pemasokan barang dan atau
jasa dengan cara menetapkan harga yang sangat rendah apabila harga yang
ditetapkan jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga yang ditetapkan oleh
sejumlah pelaku usaha lain. Sehingga hal ini harus dilakukan horizontal
comparison. Suatu pelaku usaha yang melakukan pemasokan barang dan atau jasa
dengan menetapkan harga yang sangat rendah, dapat dicurigai mempunyai maksud
untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan,
apabila dengan harga yang ditetapkannya itu tingkat keuntungan yang akan
diperoleh lebih rendah dari tingkat suku bunga yang berlaku.

Dalam pasar dengan persaingan sempurna, tingkat harga yang berlaku di


pasar ditentukan oleh permintaan dan penawaran barang atau jasa, dimana harga
yang terbentuk akan berada pada keseimbangan antara jumlah permintaan
konsumen dengan jumlah penawaran produsen. Tetapi seringkali pada pasar
barang atau jasa tertentu terdapat pelaku usaha penentu harga (price setter atau
price leader) yang umumnya merupakan pelaku usaha besar dengan struktur biaya
terendah (the lowest cost). Oleh karena itu dalam melihat tujuan pelaku usaha yang
menetapkan harga dengan sangat rendah haruslah juga dikaji skala produksi pelaku
usaha tersebut.

Penetapan Jual Rugi

Secara umum, penetapan jual rugi (predatory pricing) adalah suatu strategi
usaha menetapkan harga yang sangat rendah untuk barang dan atau jasa yang
dihasilkannya dalam suatu periode yang cukup lama, untuk menyingkirkan pelaku
usaha lain yang menjadi pesaing-pesaingnya dari pasar, atau juga untuk
menghambat pelaku usaha-pelaku usaha lain masuk ke dalam pasar tersebut.
Dalam jangka pendek jual rugi sangat menguntungkan konsumen, namun apabila
pelaku usaha pesaing telah berada di luar pasar, maka pelaku usaha tersebut akan

14 | Hukum Persaingan Usaha


bertindak sebagai monopolis yang akan menaikkan harga ke tingkat yang sangat
tinggi untuk menutupi kerugian yang diderita sebelumnya.

Pada umumnya pelaku usaha yang memberlakukan predatory pricing


adalah pelaku usaha incumbent yang tidak ingin ada pelaku usaha pesaing dalam
bisnis yang dilakukannya. Agar pelaku usaha pesaingnya ke luar dari pasar atau
agar pesaing baru tidak masuk ke dalam pasar, suatu pelaku usaha incumbent akan
menetapkan harga barang atau jasa yang diproduksinya di bawah biaya yang
dikeluarkannya, agar pelaku usaha pesaingnya itu tidak dapat bertahan dalam
bisnis yang sama. Dalam jangka pendek, jual rugi sangat menguntungkan
konsumen karena harga barang yang murah, namun apabila seluruh pesaing tidak
dapat melakukan kegiatan usahanya lagi, maka perusahan incumbent akan
menaikkan harga ke tingkat yang tinggi untuk menutupi kerugian yang diderita
pada saat penetapan harga sangat rendah.

Indikasi Penetapan Jual Rugi

Sebelum melakukan tuduhan pada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek
predatory pricing sebaiknya terlebih dahulu dilakukan 2 (dua) tahap analisis yang
berkaitan dengan diberlakukannya unreasonable price oleh pelaku usaha predator.

a. Pertama, mempertimbangkan karakteristik pasar, seperti konsentrasi


penjual dan kondisi untuk masuk dalam pasar tersebut, yang ditunjukkan
oleh adanya market power.
b. Kedua, memastikan bahwa tingkat harga yang diberlakukan tersebut
sangat tidak masuk akal, dengan mengevaluasi perbandingan antara harga
yang ditetapkan oleh pelaku usaha predator dengan biaya produksi.

Test Untuk Mendeteksi Jual Rugi

Ada beberapa test yang dapat dilakukan untuk mendeteksi suatu pelaku
usaha melakukan praktek predatory pricing. Berikut ini adalah beberapa test yang

15 | Hukum Persaingan Usaha


biasa digunakan untuk membantu otoritas persaingan dalam membuktikan adanya
praktek predatory pricing pada suatu pelaku usaha. Adapun test tersebut adalah:

1. Price-Cost Test

Test ini untuk menentukan apakah jual rugi yang dilakukan oleh suatu pelaku
usaha merupakan bagian dari strategi predatory pricing yang diterapkannya.
Dengan membandingkan data harga dan biaya secara obyektif, test ini tidak secara
langsung ditujukan untuk membuktikan bahwa suatu pelaku usaha telah
melakukan praktek predatory pricing, tetapi lebih kepada pemberian informasi
bahwa hal tersebut memang mengarah

2. Areeda-Turner Test

Menurut Areeda dan Turner, penetapan harga suatu barang dan atau jasa
dikatakan merupakan predator apabila ditetapkan lebih kecil dari pada biaya
marginal jangka pendeknya. Sementara setiap harga yang berada di atas harga
marginal biaya jangka pendek bukanlah predator. Test ini sejalan dengan teori
pada pasar persaingan sempurna, yang menyamakan harga pasar sama dengan
Marginal Cost (MC) dan Marginal Revenue (MR). Pada tingkat harga ini, setiap
pelaku usaha pesaing tidak akan ke luar dari pasar sepanjang efisiensinya paling
sedikit sama dengan pelaku usaha incumbent.

3. Average Total Cost Test (ATC Test)

Seperti telah diketahui, salah satu kelemahan AVC Test adalah kegagalannya
mendeteksi harga yang benar-benar berada di bawah tingkat biaya yang
sesungguhnya. Penggunaan test ini tidak hanya akan menyebabkan underestimate
pada penetapan marginal cost (MC), tetapi juga menyebabkan overlooking
terhadap kondisi harga yang berada di atas AVC tetapi di bawah AC. Padahal
apabila harga berada dalam range kedua jenis biaya tersebut, maka hanya biaya
variabel yang bisa tertutupi, tetapi tidak seluruh biaya tetapnya. Oleh karena itu

16 | Hukum Persaingan Usaha


penetapan harga pada range biaya tersebut tidak cukup berhasil mengcover
komponen-komponen biaya seperti biaya sewa, pembayaran bunga, dan
depresiasi.

4. Average Avoidable Cost Test (AAC Test)

AAC Test adalah salah satu variasi dari Areeda-Turner Test. Pada AAC Test,
harga dibandingkan dengan AVC ditambah dengan biaya tetap tertentu, di luar
sunk cost.

Atau dengan perkataan lain, biaya yang muncul untuk memproduksi sejumlah
output tertentu.

5. Recoupment Test

Recoupment Test tidak dipergunakan untuk membuktikan suatu pelaku


usaha melakukan predatory pricing, melainkan untuk mrngkaji apakah pelaku
usaha yang melakukan praktek tersebut telah sukses mencapai tujuannya, yaitu
menyingkirkan pesaingnya ke luar pasar dan menghalangi pesaing lainnya masuk
ke dalam pasar.

Indikasi Penetapan Harga Jual Rugi

Selain membandingkan keuntungan yang diperoleh dengan tingkat suku


bunga yang berlaku, terdapat beberapa test yang bisa dipergunakan untuk
menentukan apakah penetapan harga yang sangat rendah oleh suatu pelaku usaha
dimaksudkan untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar
bersangkutan. Adapun test tersebut adalah sebagai berikut:

1. Above-Cost Test

Suatu pelaku usaha tetap bisa dianggap mengandung maksud untuk


menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya meskipun menetapkan harga

17 | Hukum Persaingan Usaha


jual barang dan atau jasanya di atas biaya produksi rata-rata (ATC). Tetapi pada
umumnya harga yang ditetapkan sangat rendah sehingga menurunkan keuntungan
maksimum jangka pendek.

2. Limit-Pricing Strategy

Strategi penetapan harga, yang dikenal sebagai Limit-Pricing Strategy


diidentifikasikan dengan keinginan pelaku usaha monopolis atau dominan untuk
melindungi posisinya dengan cara melakukan pemotongan harga secara
substansial atau melakukan peningkatan produksi secara signifikan. Hal ini
dilakukan untuk tidak memberi kesempatan atau daya tarik pada pelaku usaha baru
untuk masuk ke dalam industri, sehingga pelaku usaha monopolis dapat tetap
mempertahankan posisi dominannya.8

2.5 Kecurangan dalam Menetapkan Biaya Produksi


Dalam UU No.5 Tahun 1999 kecurangan juga termasuk dalam penguasaan
pasar yang dilarang dalam penetapan biaya produksi. Dalam pasal 21 UU No.5
Tahun 1999 menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan
dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainya yang menjadi bagian
komponen harga barang dana tau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat, bahwa kecurangan di dalam menetapkan biaya
produksi dan biaya lainya termasuk kedalam bentuk pelanggaran undang-undang
yang berlaku untuk memperoleh biaya faktor-faktor produksi yang lebih rendah
dari semestinya.9

8
Abdul R Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta:Kencana Pranada
Group, 2008),12-16

9
Andi fahmi lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, (jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha
KPPU, 2017) 206.

18 | Hukum Persaingan Usaha


Sebagai dari penguasaan pasar, maka kecurangan dalam menentukan biaya adalah
salah satu strategi yang dijalankan oleh pelaku usaha untuk mematikan
pesaingnya, yaitu dengan jalan menyatakan biaya produksinya tidak sesuai dengan
biaya produksi yang sesungguhnya. Secara akal sehat, tentu harga yang
disampaikan adalah di bawah harga yang sesungguhnya, dengan demikian dia bisa
menjual barang atau jasanya lebih rendah dari pesaingnya.

2.6 Persekongkolan
Persekongkolan terdapat kerja sama yang melibatkan dua atau lebih pelaku
usaha yang secara bersamaan melakukan tindakan melawan hukum. Istilah
persekongkolan (conspiracy/konspirasi) dengan istilah collusion (kolusi), yakni
sebagai bahwa dalam kolusi tersebut ada suatu perjanjian rahasia yang dibuat oleh
2 (dua) orang atau lebih dengan tujuan penipuan atau penggelapan yang sama
artinya dengan konspirasi dan cenderung berkonotasi negative/buruk.
Persekongkolan diatu dalam pasal 1 angka 8 UU No.5 Tahun 1999 yakni “sebagai
bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain
dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku
usaha yang bersekongkol. Terdapat 3 bentuk persekongkolan yang dilarang dalam
UU No.5 Tahun 1999 yaitu persekongkolan tender (pasal 22), persekongkolan
untuk membocorkan rahasia dagang (pasal 23), serta persekongkoln untuk
menghambat perdagangan (pasal 24).
a. Persekongkolan Tender (pasal 22)
Dalam pasal 22 UU No.5 Tahun 1999 menyatakan bahwa tender
merupakan tawaran untuk mengajukan harga, untuk memborong suatu
pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa.
Kegiatan bersekongkol menentukan pemenang tender jelas merupakan
perbuatan curang, karena pada dasarnya tender dan pemenangnya tidak diatur
dan bersifat rahasia. Maka dapat diartikan disini tender/lelang mempunyai
cakupan luas karena tender merupakan serangkaiam kegiatan atau aktivitas

19 | Hukum Persaingan Usaha


penawaran mengajukan harga untuk memborong atau melaksanakan suatu
pekerjaan, mengadakan/menyediakan barang-barang dana tau jasa, membeli
barang dana tau jasa, menjual dan atau jasa. Menyediakan kebutuhan barang
dan atau jasa secara seimbang dengan berbagai syarat yang harus dipenuhi,
berdasarkan peraturan tertentu yang ditetapkan oleh pihak terkait
Kegiatan bersekongkol/konspirasi dalam tender ini dapat dilakukan
oleh satu atau lebih peserta yang menyetujui satu peserta dengan harga yang
lebih rendah dan kemudian melakukan penawaran dengan harga diatas harga
perusahaan yang direkayasa sebagai pemenang. Kesepakatan semacam ini
bertentangan dengan proses pelelangan yang wajar, karena penawaran umum
dirancang untuk menciptakan keadilan dan menjamin dihasilkanya harga yang
murah dan paling efisien. Oleh karena itu, persekongkolan dalam penawaran
tender dianggap menghalangi terciptanya persaingan yang sehat di kalangan
para penawar yang beritikad baik untuk melakukan usaha di bidang
persekutuan.
Yang tertuang pada Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 dicantumkan
adanya pihak lain selain pelaku usaha dalam persekongkolan, dalam ketentuan
Pasal 22 tersebut persekongkolan tender terdiri atas beberapa unsur, yakni
unsur pelaku usaha, bersekongkol, adanya pihak lain, mengatur dan
menentukan pemenang tender, serta persaingan usaha tidak sehat.
Istilah “pelaku usaha” diatur pada Pasal 1 angka 5 UU Nomor 5 Tahun
1999 yaitu, bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan
usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
negara RI, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,
menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Adapun
istilah “bersekongkol” diartikan sebagai kerjasama yang dilakukan oleh pelaku
usaha dengan pihak lain atas inisiatif siapapun dan dengan cara apapun dalam
upaya memenangkan peserta tender tertentu.

20 | Hukum Persaingan Usaha


Adanya unsur “pihak lain” menunjukkan bahwa persekongkolan selalu
melibatkan lebih dari satu pelaku usaha. Pengertian pihak lain dalam hal ini
meliputi para pihak yang terlibat, baik secara horizontal maupun vertikal dalam
proses penawaran tender. Berdasarkan keterlibatan pihak lain tersebut, maka
ada 3 bentuk persekongkolan, yaitu:
1. Bentuk pertama adalah persekongkolan horizontal, yakni tindakan
kerjasama yang dilakukan oleh para penawar tender, misalnya
mengupayakan agar salah satu pihak ditentukan sebagai pemenang
dengan cara bertukar informasi harga serta menaikkan atau menurunkan
harga penawaran. Dalam kerjasama semacam ini, pihak yang kalah
diperjanjikan akan mendapatkan sub kontraktor dari pihak yang menang
atau dengan mendapatkan sejumlah uang sebagai sesuai kesepakatan
diantara para penawar tender.
2. Bentuk kedua adalah persekongkolan tender secara vertikal, artinya
bahwa kerjasama tersebut dilakukan antara penawar dengan panitia
pelaksana tender. Dalam hal ini, biasanya panitia memberikan berbagai
kemudahan atas persyaratan-persyaratan bagi seorang penawar, sehingga
dia dapat memenangkan penawaran tersebut.
3. Bentuk ketiga adalah persekongkolan horizontal dan vertikal, yakni
persekongkolan antara panitia tender atau panitia lelang atau pengguna
barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan dengan pelaku usaha
atau penyedia barang dan jasa. Persekongkolan ini dapat melibatkan dua
atau tiga pihak yang terkait dalam proses tender, misalnya tender fiktif
yang melibatkan panitia, pemberi pekerjaan, dan pelaku usaha yang
melakukan penawaran secara tertutup.
b. Persekongkolan membocorkan rahasia dagang/perusahaan (pasal 23)
Pasal 23 UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan, bahwa pelaku usaha
dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi
kegiatan usaha pesaingnya yang diklafisikasikan sebagai rahasia perusahaan

21 | Hukum Persaingan Usaha


sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
pengaturannya dapat dijumpai dalam UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia
Dagang.
Pengertian rahasia dagang dikemukakan Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa rahasia dagang adalah
informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan atau bisnis,
mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga
kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang. Kemudian jenis-jenis rahasia
dagang yang secara yuridis akan mendapat perlindungan terbatas adalah
informasi yang bersifat rahasia, mempunyai nilai ekonomis, dan dijaga
kerahasiaannya melalui upaya-upaya sebagaimana mestinya yaitu semua
langkah yang memuat ukuran kewajaran, kelayakan, dan kepatutan yang harus
dilakukan.
Misalnya, di dalam suatu perusahaan harus ada prosedur baku
berdasarkan praktik umum yang berlaku di tempat-tempat lain dan/atau yang
dituangkan ke dalam ketentuan internal perusahaan itu sendiri. Dalam
ketentuan internal perusahaan juga ditetapkan bagaimana rahasia dagang itu
dijaga dan siapa yang bertanggung jawab atas kerahasiaan itu.
c. Persekongkolan Menghambat Perdagangan (Pasal 24)

Pasal 24 UU No. 5 Tahun 1999 terdapat larangan untuk melakukan


persekongkolan yang dapat menghambat produksi, pemasaran, atau produksi
dan pemasaran atas produk. Dinyatakan dalam Pasal 24 tersebut, bahwa
pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat
produksi dan/ atau pemasaran barang dan/atau jasa pelaku usaha pesaingnya
dengan tujuan barang dan/atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar
bersangkutan menjadi berkurang, baik dari kualitas maupun ketepatan waktu
yang dipersyaratkan.

22 | Hukum Persaingan Usaha


Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ini jelas bahwa pelaku usaha dilarang
untuk bersekongkol dengan pihak lain untuk:

a. Menghambat pelaku usaha pesaing dalam memproduksi,


b. Menghambat pemasaran, atau memproduksi dan memasarkan barang,
jasa, atau barang dan jasa dengan maksud agar barang, jasa, atau barang
dan jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi
berkurang atau menurun kualitasnya;
c. Bertujuan untuk memperlambat waktu proses produksi, pemasaran, atau
produksi dan pemasaran barang, jasa, atau barang dan jasa yang
sebelumnya sudah dipersyaratkan, serta
d. Kegiatan persekongkolan seperti ini dapat menimbulkan praktik
monopoli dan/ atau persaingan usaha yang tidak sehat.

Secara ekonomis, hambatan perdagangan (restrain of trade) yang


dilarang berdasarkan pasal 24 UU No. 5 Tahun 1999 dapat dibedakan ke
dalam:

Restrictive trade agreement, yaitu bentuk kolusi di antara para pemasok yang
bertujuan menghapus persaingan secara keseluruhan ataupun sebagian, dan
Restrictive trade practice, yaitu suatu alat untuk mengurangi atau
menghilangkan persaingan usaha di antara para pemasok produk yang saling
bersaing.

23 | Hukum Persaingan Usaha


BAB III

KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan
Monopoli berdasarkan pasal 1 ayat (1) undang-undang No. 5 thn 1999
monopoli yaitu “penguasaan atas produksi dana tau pemasaran barang dan atau
atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
usaha” sedangkan onopsoni yaitu seorang atau satu kelompok usaha yang
menguasai pangsa pasar yang besar untuk membeli suatu produk, atau seringkali
monopsoni itu identik dengan pembeli tunggal atas produk barang maupun jasa
tertentu.

Sering juga monopsoni dalam teori ekonomi dikatan sebuah pasar dimana
hanya terdapat seorang pembeli atau pembeli tunggal. Dari sudut ekonomi,
penguasaan pasar merupakan kemampuan dari pelaku usaha untuk mengendalikan
(dalam batas tertentu) harga penawaran dan syarat penjualan produknya tanpa
mendapat persaingan dari pesaing potensialnya.

Jual rugi adalah suatu kondisi dimana suatu pelaku usaha menetapkan harga
jual dari barang dan atau jasa yang diproduksinya di bawah biaya total rata-rata
(Average Total Cost). Sebagai dari penguasaan pasar, maka kecurangan dalam
menentukan biaya adalah salah satu strategi yang dijalankan oleh pelaku usaha
untuk mematikan pesaingnya, yaitu dengan jalan menyatakan biaya produksinya
tidak sesuai dengan biaya produksi yang sesungguhnya jika persekongkolan diatur
dalam pasal 1 angka 8 UU No.5 Tahun 1999 yakni “sebagai bentuk kerjasama
yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk
menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.

24 | Hukum Persaingan Usaha


DAFTAR PUSTAKA

Erawati, Elly. 1999. Membenahi perilaku bisnis melalui UU No.5 tahun 1999.
Bandung: Citra Aditya Bakti
Hikmanto, Junawa. Sekilas Tentang Hukum Persaingan dan UU No.5 tahun 1999.
Jurnal magister Hukum Vol.1 No.1 (1999)
Lubis, Fahmi Andi dkk. 2009. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks.
Jakarta: ROV Creative Media.

Lubis, Fahmi Andi dkk. 2017. Hukum Persaingan Usaha. Jakarta: Komisi Pengawas
Persaingan Usaha KPPU.
Rokan, Kamal Mustafa. 2010. Hukum Persaingan Usaha. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Saliman, R Abdul. 2008. Hukum Bisnis untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus.
Jakarta: Kencana Pranada Group.

25 | Hukum Persaingan Usaha

Anda mungkin juga menyukai