Anda di halaman 1dari 29

KONSEP DASAR PERSAINGAN DALAM

ILMU EKONOMI

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Persaingan Usaha


Dosen Pengampu: Galuh Widitya Qomaro, S.H.I., M.H.I.

Oleh: Kelompok 2
1. Ana Mailinda N.A. (170711100031)
2. Miftahul Jannah (170711100059)
3. Mukarom Al-Mushof (170711100065)

HUKUM BISNIS SYARIAH


FAKULTAS KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas karunia, hidayah, dan nikmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah ini. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi
mata kuliah hukum Persaingan Usaha berjudul “Konsep Dasar Persaingan Dalam
Ilmu Ekonomi”. Makalah ini ditulis oleh penulis yang bersumber dari buku sebagai
refrensi. Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing Galuh
Widitya Qomaro, S.H.I., M.H.I, koordinator program studi Hukum Bisnis Syariah,
ketua jurusan Ilmu Keislaman Fakultas Keislaman, dekan Fakultas keislaman, dan
teman-teman sekalian atas dukungan dan doanya sehingga dapat diselesaikanya
makalah ini.
Penulis berharap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi
kita semua.Makalah ini secara fisik dan substansinya diusahakan relevan dengan
pengangkatan judul makalah yang ada, Keterbatasan waktu dan kesempatan sehingga
makalah ini masih memiliki banyak kekurangan yang tentunya masih perlu perbaikan
dan penyempurnaan maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
perbaikan menuju ke arah yang lebih baik.

Demikian makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi penulis dan yang
membacanya, sehingga menambah wawasan dan pengetahuan tentang bab ini. Amin.

Bangkalan, 28 Februari 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii


DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 2
C. Tujuan Masalah ......................................................................... 2
BAB II : PEMBAHASAN
A. Perilaku Strategis Penentuan Harga. ........................................... 3
B. Pasar Bersangkutan. ................................................................... 8
C. Perilaku Strategis Penentuan Harga dan Relevant Market
Dalam Konteks Keislaman. ........................................................ 15
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 25
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 26

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum persaingan usaha merupakan salah satu perangkat hukum yang
sangat penting dalam ekonomi pasar (market economy). Melalui hukum
persaingan usaha, pemerintah berupaya untuk melindungi persaingan yang
sehat antar pelaku usaha di dalam pasar yang memaksakan bahwa seorang
produsen harus bisa berfikir yang kreatif. Sebaliknya, perusahaan yang tidak
efisien dan tidak kompetitif, serta tidak responsif terhadap kebutuhan
konsumen, akan dipaksa untuk keluar dari persaingan.
Perusahaan pada hakikatnya ingin menjadi pemimpin pasar pada
persaingan yang dihadapi dalam dunia bisnis. Hal tersebut menuntut
perusahaan untuk berpikir lebih kritis dan reaktif terhadap persaingan yang
terjadi. Perusahaan dituntut untuk menggunakan strategi yang tepat dalam
rangka mempertahankan produk agar tetap diminati oleh pelanggan lama dan
menciptakan pelanggan baru. Perusahaan dapat menjadi pemimpin pasar
melalui perjuangan yang panjang dalam memenangkan persaingan bisnis
sehingga mampu menguasai pangsa pasar terbesar, hasil inovasi kreatif, atau
memang menjadi pihak yang pertama dalam memasuki pasar dengan
produknya yang spesifik. Untuk melaksanakan strategi tersebut, perusahaan
harus dapat juga menciptakan produk yang diminati dan sesuai dengan
keinginan konsumen. Tanpa strategi yang jitu, suatu perusahaan tidak akan
bertahan, sebab para pesaing akan datang untuk menawarkan produk yang
lebih baik untuk menyaingi produk pesaing tersebut dan akan merebut pangsa
pasar dari perusahaan itu.
Sedangkan implementasi hukum persaingan juga tidak akan terlepas
dari tekanan secara politik maupun sosial. Belum lagi perkara persaingan
usaha juga merupakan salah satu perkara hukum yang memmang cukup rumit

1
penanganannya dibandingkan perkara hukum lainnya, dimana analisa dari
segi ekonomi untuk beberapa perkara sangat diperlukan dalam proses
pembuktiannya, sehingga menurut John E. Kwoka, Jr. dan Lawrence J. White
peranan para ahli ekonomi dalam hampir setiap penanganan perkara
persaingan usaha begitu penting.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Perilaku Strategis Penentuan Harga?
2. Apa itu Pasar Bersangkutan?
3. Bagaimana Perilaku Strategis Penentuan Harga dan Relevant Market
Dalam Konteks Keislaman?

C. Tujuan Masalah
1. Agar mengetahui bagaimana perilaku strategis penentuan harga.
2. Untuk mengetahui apa itu pasar bersangkutan?
3. Agar mengetahui dan memahami bagaimana Perilaku Strategis Penentuan
Harga dan Relevant Market Dalam Konteks Keislaman.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perilaku Strategis Penentuan Harga


Perilaku strategis adalah sebuah konsep bagaimana sebuah perusahaan
dapat mengurangi tingkat persaingan yang berasal dari pesaing yang sudah
ada maupun pesaing potensial yang baru akan bermain di pasar yang pada
dasarnya ditujukan untuk meningkatkan profit perusahaan. Perilaku ini tidak
hanya dipusatkan pada penetapan harga maupun kuantitas secara sederhana.
Namun lebih kompleks lagi mengejar pangsa pasar, memperlebar kapasitas,
hingga mempersempit ruang gerak pesaing.
Perilaku strategis terdiri dari dua tipe yaitu, dalam bentuk kooperatif
maupun non kooperatif. Pertama, perilaku yang bersifat non kooperatif
mengacu pada tindakan perusahaan yang mencoba meningkatkan profit
mereka dengan meningkatkan posisi relatifnya terhadap pesaing. Mereka tidak
melakukan kerjasama satu sama lain. Perilaku sejenis ini biasanya
meningkatkan profit satu perusahaan dan menurunkan profit perusahaan
pesaingnya.
Kedua, perilaku strategis yang bersifat kooperatif diciptakan untuk
mengubah kondisi pasar sehingga memudahkan semua perusahaan untuk
berkoordinasi dan membatasi respon pesaing mereka. Bentuk perilaku
kooperatif ini mampu meningkatkan profit semua perusahaan yang bermain
dipasar dengan meminimalisir persaingan.
Pada bagian ini akan ditekankan pada pembahasan mengenai perilaku
penentuan harga.1
1. Predatory Pricing (Menjual Rugi)

1
Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Tri Anggraini dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan
Konteks (Jakarta: RDV Kreative Media, 2009), 46

3
Predatory Pricing secara sederhana didefinisikan sebagai tindakan dari
sebuah perusahaan yang mengeluarkan pesaingnya dengan cara
menetapkan harga di bawah biaya produksi. Namun dalam prakteknya
juga digunakan untuk mencegah pesaing masuk ke pasar. Begitu semua
pesaing telah keluar, maka perusahaan tersebut langsung menaikkan
harga. Selama periode praktek predatori ini, perusahaan kehilangan
untung, dan mengalami kerugian. Perusahaan harus mendapatkan semua
permintaan pada tingkat harga yang rendah. Sehingga dapat memelihara
harga yang rendah.
Kerugian perusahaan selama periode praktek predatory pricing ini
melebihi pesaingnya. Dalam periode ini, konsumenlah yang memperoleh
manfaat dari praktek ini. Mereka dapat membeli produk pada tingkat
harga yang jauh lebih murah dibandingkan jika kedua perusahaan menjadi
duopolis. Namun demikian setelah itu, ketika harga meningkat pada level
yang lebih tinggi (pada harga monopoli), maka konsumen akan
mengalami kerugian
Jika praktek predatori ini berhasil hingga memaksa pesaingnya
bangkrut, dapat dipastikan bahwa aset mereka secara permanen dapat
ditarik keluar dari industri atau paling tidak dapat dikuasai oleh predator.
Jika tidak, perusahaan lainnya akan masuk dan membeli aset tersebut dan
persaingan kembali tak dapat dihindari. Praktek ini kemungkinan besar
akan berhasil ketika aset pesaing keluar secara permanen dari industri dan
dikuasai oleh predator. Oleh karena itu strategi yang paling jitu agar
praktek ini sukses adalah membuat pesaing bangkrut dan membeli semua
aset pesaing dengan harga penawaran.
Literatur ekonomi dan hukum secara luas telah mengembangkan
standar khusus untuk menentukan apakah sebuah perusahaan sedang
melakukan praktik predatory pricing atau tidak. Salah satu literatur yang
paling berpengaruh terhadap kasus ini adalah literatur Areeda dan Turner.

4
Mereka menilai bahwa standar penentuan praktik ini dapat dilihat ketika
sebuah perusahaan menetapkan harga di bawah biaya marjinal jangka
pendeknya. Namun karena data mengenai biaya marjinal jangka pendek
sulit diperoleh, mereka menyarankan untuk menggunakan data AVC
(Average Variable Cost) sebagai proksi. Logika yang mendasari adanya
penentuan ini adalah bahwa belum pernah ada perusahaan yang
mendapatkan untung ketika beroperasi pada kondisi di mana harga lebih
rendah dari biaya marjinal jangka pendek kecuali ada kepentingan ataupun
taktik atau strategi. Penetapan harga di bawah biaya marjinal jangka
pendek adalah tidak masuk akal jika tanpa prospek keuntungan dalam
jangka panjang.
Beberapa pihak lainnya mengembangkan studi Areeda dan Turner
dengan alternatif lain. Ada yang menyarankan penentuan dengan
menggunakan LRMC (Long Run Marginal Cost), ada juga yang
menyarankan menggunakan AC. Beberapa lainnya juga menyarankan
masih perlunya untuk melakukan observasi sepanjang waktu baik untuk
harga maupun untuk kuantitas output demi meyakinkan apakah praktik
predatory pricing ini benar-benar terjadi atau tidak.
Semua jenis tes untuk mendeteksi keberadaan praktik ini masih
menimbulkan beberapa permasalahan terutama pada saat implementasi di
lapangan. Pertama untuk alasan data yang diperlukan untuk mengukur
SRMC (Short Run Marginal Cost) atau bahkan data AVC (Average
Variable Cost). Kedua, permasalahan lainnya adalah, jika perusahaan
tidak melakukan apa-apa tapi bisa saja dinilai telah melakukan praktik ini.
Misalnya ada perusahaan yang baru masuk ke dalam pasar untuk menarik
konsumen ia menerapkan harga promosi. Selama fase awal operasi
perusahaan adalah hal yang biasa bagi mereka untuk memberikan gratis
atau secara cuma-cuma produk mereka. Tentu saja hal ini bisa
bertentangan dengan tes yang dilakukan Areeda dan Turner. Pemberian

5
produk secara cuma-cuma sangatlah efektif sebagai bagian dari promosi
demi membangun bisnis di masa depan dan tentunya dapat dijadikan
langkah awal untuk dapat meningkatkan profit.
Selain faktor promosi, munculnya penetapan harga di bawah biaya
marjinal jangka pendek (SRMC) sebenarnya bisa terjadi dengan wajar jika
perusahaan mampu melakukan tindakan yang dikenal dengan istilah
learning by doing. Tindakan ini mengacu pada penurunan biaya produksi
karena perusahaan mampu berproduksi jauh lebih efisien. Dengan harga
yang murah pada saat awal perusahaan tentu dapat meningkatkan
penjualan dan kemudian mampu belajar untuk dapat menurunkan
biayanya di masa depan. Meskipun harga saat ini lebih rendah dari biaya
produksi, tetapi ada prospek untuk menurunkan biaya di masa datang.
Dengan mengumpulkan segala informasi dan pengetahuan yang ada
sekarang, dapat disimpulkan bahwa penetapan harga yang rendah
sekarang dapat dipandang sebagai sebuah investasi di masa datang. 2
2. Price Discrimination (Diskriminasi Harga)
Diskriminasi harga (Price Discrimination) dapat didefinisikan sebagai
tindakan perusahaan menjual produk atau jasa yang sama dengan harga
berbeda ke pembeli berbeda pada waktu yang hampir bersamaan.
Diskriminasi harga dilakukan dengan tujuan utama untuk mendapatkan
profit yang lebih tinggi. Profit yang lebih tinggi diperoleh dengan cara
merebut (capturing) surplus konsumen. Dengan demikian, tindakan
diskriminasi harga hanya akan dilakukan oleh perusahaan jika profit yang
dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan menerapkan harga tunggal
(uniform price).
Surplus Konsumen adalah selisih antara reservation price (harga
tertinggi yang bersedia dibayar konsumen) dengan harga yang benar-benar

2
Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Tri Anggraini dkk, Hukum Persaingan Usaha (Jakarta: Teguh
Pendirian, 2017), 59-60

6
dibayar oleh konsumen. Jika perusahaan menerapkan kebijakan satu harga
(linear uniform price), konsumen akan tetap dapat menikmati surplus
konsumen yang signifikan. Dengan adanya kenyataan bahwa konsumen
sebenarnya bersedia untuk membayar lebih tinggi, maka perusahaan akan
berusaha merebut surplus konsumen tersebut dengan cara menerapkan
kebijakan diskriminasi harga.
Terdapat tiga bentuk penerapan diskriminasi harga, seperti yang akan
diuraikan berikut ini:
a) Diskriminasi harga tingkat pertama (1st degree)
Diskriminasi tingkat pertama dilakukan dengan cara menerapkan
harga yang berbeda-beda untuk setiap konsumen berdasarkan
reservation price (Willingness To Pay) masing-masing konsumen.
Strategi tingkat pertama ini sering disebut diskriminasi sempurna
(perfect price discrimination) karena berhasil mengambil surplus
konsumen paling besar. Syarat utama agar penerapan strategi
diskriminasi tingkat pertama ini dapat berhasil adalah perusahaan
harus mengetahui reservation price masing-masing konsumen.
Contoh: seorang dokter memberlakukan tarif konsultasi yang berbeda-
beda pada setiap pasiennya
b) Diskriminasi harga tingkat kedua (2nd degree)
Jika perusahaan tidak memiliki informasi mengenai reservation
price konsumen, maka diskriminasi tetap dapat dilakukan, namun
tidak mendiskriminasi konsumen secara langsung, melainkan melalui
diskriminasi produk. Diskriminasi tingkat kedua ini dilakukan dengan
cara menerapkan harga yang berbeda-beda pada jumlah batch produk
yang dijual. Contoh: perbedaan harga per unit pada pembelian grosir
dan pembelian eceran.
c) Diskriminasi harga tingkat ketiga (3rd degree)

7
Pada diskriminasi tingkat pertama, perusahaan mengetahui
reservation masing-masing konsumen. Namun, apabila perusahaan
tidak mengetahui reservation price masing-masing konsumen, tapi
mengetahui reservation price kelompok konsumen, maka perusahaan
menerapkan diskriminasi tingkat ketiga. Strategi ini dilakukan dengan
cara menerapkan harga yang berbeda-beda untuk setiap
kelompok/grup konsumen berdasarkan reservation price masing-
masing kelompok konsumen. Kelompok konsumen dapat dibedakan
atas lokasi geografis, maupun karakteristik konsumen seperti umur,
jenis kelamin, pekerjaan dan lain-lain.
Apapun bentuk strategi diskriminasi harga yang dipilih oleh
perusahaan namun terdapat syarat mutlak agar strategi tersebut dapat
mencapai tujuannya, yaitu mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Syarat utama tersebut adalah:
a) Perusahaan memiliki market power. Tanpa adanya market power,
maka konsumen akan beralih ke produk perusahaan lain ketika strategi
diskriminasi harga diberlakukan.
b) Perusahaan harus dapat mencegah terjadinya arbitrage atau penjualan
kembali (resale). Dengan adanya penjualan barang kembali, maka
konsumen yang menikmati harga yang lebih rendah dapat
memanfaatkan selisih harga tersebut untuk menjualnya kembali
kepada konsumen lain yang dihadapkan pada harga yang lebih tinggi.

B. Pasar Bersangkutan
Dalam setiap kajian industri, langkah pertama yang dilakukan adalah
menentukan pasar bersangkutan (relevant market). Penentuan pasar
bersangkutan yang tepat diperlukan untuk mengukur struktur pasar dan
batasan dari perilaku anti-persaingan yang dilakukan. Dengan mengetahui

8
pasar bersangkutan maka dapat diidentifikasi pesaing nyata dari pelaku usaha
dominan yang dapat membatasi perilakunya.
Definisi yang tepat dari pasar bersangkutan merupakan suatu fasilitas
penting dari analisa persaingan yang akurat. Pendefinisian pasar bersangkutan
yang terlalu sempit dapat membawa kepada hal-hal yang tidak berhubungan
dengan persaingan, dan sebaliknya definisi pasar bersangkutan yang terlalu
lebar dapat menyamarkan permasalahan persaingan yang sebenarnya. Ini tentu
saja menjadi suatu kasus dimana penekanan terlalu banyak ditempatkan pada
porsi pasar yang muncul dari definisi pasar yang tidak tepat.
Menurut UU No.5 Tahun 1999, pasar bersangkutan didefinisikan sebagai
pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh
pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi
dari barang dan/atau jasa tersebut.
Dalam pengertian tersebut terdapat dua dimensi, yaitu dimensi produk (set
of products) yang terlihat pada kalimat:”…atas barang dana/atau jasa yang
sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan/atau jasa tersebut”, dan
dimensi wilayah (relevant geographic market) yang terlihat pada kalimat:
“…berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu…”.Berikut ini
akan diuraikan penggambaran pasar bersangkutan baik menurut produk
(product relevant market) maupun pasar menurut cakupan wilayah geografis
(geographic relevant market).3
1. Pasar Menurut Produk
Batasan dari sebuah pasar dapat dilihat dari dua sisi. Yaitu substitusi
permintaan dari sisi konsumen (demand-side substitution) dan substitusi
dari sisi produsen (supply-side substitution). Substitusi dari sisi konsumen
melihat batasan dari sebuah pasar dengan menginvestigasi sebuah
produk/jasa dan melihat substitusi terdekatnya (close substitute). Barang

3
Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Tri Anggraini dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan
Konteks … 50-54

9
yang termasuk substitusi terdekatnya tersebut akan dimasukkan ke batasan
sebuah pasar bersangkutan jika substitusi yang dilakukan oleh konsumen
akan mencegah naiknya harga produk relevan (yang diinvestigasi) di atas
harga tingkat persaingan (competitive level) .
Proses pembuktian pasar bersangkutan yang umum dilakukan adalah
dengan menggunakan asumsi hypothetical monopolist test. Pengujian ini
berusaha mengidentifikasi serangkaian kecil produk dan produsen
(pemilik produk yang sedang diinvestigasi), dimana hypothetical
monopolist, mengendalikan pasokan dari semua produk di dalam
rangkaian tersebut yang dapat meningkatkan keuntungan dengan
menaikkan harga diatas harga kompetitif. Pendekatan yang mendasari tes
tersebut dapat diaplikasikan untuk mengidentifikasikan pasar produk dan
juga pasar menurut geografis. Pendekatan ini menggunakan dasar
pemikiran menaikkan harga di atas level kompetitif. Besarnya kenaikan
harga ditentukan sedemikian sehingga nilainya cukup kecil namun
signifikan (Small but Significant, Non-transitory Increase in Price).
Sehingga pengujian menggunakan hipotesis kenaikan harga ini disebut
dengan istilah SSNIP test.
Pendekatan ini diperkenalkan oleh lembaga yang berwenang di
Amerika Serikat dalam hal penegakan hukum persaingan, yaitu
Department of Justice (DOJ) dan the Federal Trade Commission (FTC),
pada tahun 1984 yang tertuang dalam Horizontal Merger Guidelines.
Penggunaan metode ini juga digunakan oleh lembaga otoritas persaingan
di Inggris dan Uni Eropa dalam pedoman mengenai Definisi Pasar.
a) SSNIP Test
Pendekatan SSNIP Test (Small but Significant, Non-transitory
Increase in Price) pada intinya ingin melihat apakah sebuah
perusahaan akan mendapatkan keuntungan jika menaikkan harga.
Proses membuktikan tes ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap

10
pertama adalah membuktikan apakah keputusan menaikkan harga akan
menguntungkan perusahaan. Hal ini dilihat dari logika profit/laba
maksimum, yaitu perusahaan akan memutuskan untuk menaikkan
harga jika marginal revenue (pendapatan marjinal) lebih kecil dari
marginal cost (biaya marjinal). Pembuktian dilakukan dengan
melihat :
1/ε > L (margin)
Dimana ε menunjukkan elastisitas harga (own-price elasticity).
Namun tahap pertama ini tidak memberikan batas seberapa besar
perusahaan akan menaikkan harga. Merger Guidelines DOJ/FTC
memberikan batas SSNIP sebesar 5%. Tahap kedua dilakukan dengan
cara membandingkan elastisitas kritis permintaan (critical elasticity of
demand) dengan elastisitas harga sendiri (own price elasticity). Jika
elastisitas kritis lebih besar dari elastisitas harga sendiri berarti pasar
tersebut memenuhi uji SSNIP. Berikut ini penjelsannya.
Critical elasticity = (1+t) / (m+t)
Dimana t adalah batasan SSNIP, m menunjukkan margin yang
dimiliki oleh perusahaan (nilainya berupa persentase bukan profit
langsung misalnya ROE). Jika critical elasticity lebih besar dari own
price elasticity , berarti pasar tersebut memenuhi SSNIP test.
b) Substitusi Dari Sisi Permintaaan (Demand-Side Substitution)
Analisa ini terfokus terhadap substitusi yang ada untuk pembeli
dan apakah terdapat pelanggan yang akan berpindah pada saat terjadi
peningkatan harga, tanpa menimbulkan biaya untuk membatasi
perilaku pemasok produk yang bersangkutan. Substitusi tidak harus
terhadap produk yang identik sama untuk dimasukkan ke dalam pasar
yang sama. Sebagian besar barang dan jasa merupakan produk yang
terdiferensiasi. Oleh sebab itu harga dari produk ini tidak perlu sama.
Contohnya: jika dua produk digunakan untuk tujuan yang sama tetapi

11
satu produk dengan spesifikasi yang berbeda, mungkin dengan
kualitas yang lebih tinggi keduanya masih berada pada pasar yang
sama selama konsumen lebih memilih produk tersebut karena rasio
harga-kualitas yang lebih tinggi.
Sebagai tambahan, suatu produk tidak perlu menjadi substitusi
langsung untuk dapat dimasukkan ke dalam pasar yang sama.
Mungkin terdapat rantai substitusi diantara produk tersebut. Lebih
lanjut, tidak perlu seluruh konsumen atau mayoritas dari konsumen
untuk berpindah untuk mensubstitusi produk untuk dapat menyatakan
suatu barang bersubstitusi dan berada pada pasar relevan yang sama.
Faktor penting adalah apakah jumlah konsumen yang pindah
tersebut cukup besar untuk mencegah hipotetikal monopolis
menetapkan harga diatas level kompetitif. Faktanya jika peningkatan
harga sebesar 10% akan membawa setidaknya 10-20% konsumen
berpindah ke barang substitusi maka keuntungan dari peningkatan
harga akan hilang dan akan tidak menguntungkan bagi perusahaan
untuk melakukan peningkatan harga.
Perilaku yang biasa disebut dengan „marginal consumers‟ yang
cenderung akan berpindah akan membuat harga kompetitif bukan
hanya untuk diri mereka sendiri tetapi juga untuk konsumen yang lain
yang tidak dapat berpindah, dengan asumsi bahwa pemasok tidak bisa
melakukan diskriminasi harga terhadap kelompok konsumen. Jelas
bahwa semakin kuat kejadian bahwa konsumen akan berpindah, akan
semakin kecil kemungkinan bahwa suatu produk atau sekumpulan
produk berada pada pasarnya sendiri.
Biaya perpindahan bagaimanapun juga akan sangat penting bagi
konsumen. Contohnya, perpindahan dari pemanas listrik ke pemanas
gas, sejalan dengan penurunan harga gas, akan membuat sejumlah
investasi yang signifikan pada peralatan baru. Dalam keberadaan biaya

12
perpindahan mungkin terdapat jarak yang cukup jauh antara substitusi
permintaan jangka pendek dan jangka panjang.
c) Substitusi Dari Sisi Penawaran (Supply-Side Substitution)
Substitusi dari sisi produsen juga mempengaruhi ruang lingkup
pasar relevan, dimana jika pelaku usaha sebuah produk tertentu
mengalihkan fasilitasnya untuk memproduksi barang substitusi jika
harga naik cukup signifikan. Dalam ketiadaan substitusi permintaan,
kekuatan pasar mungkin masih dapat dibatasi dengan substitusi
penawaran. Substitusi semacam ini muncul ketika pemasok barang
mampu bereaksi dengan cepat terhadap perubahan kecil yang
permanen pada harga relatif dengan merubah produksi ke produk yang
relevan tanpa menimbulkan biaya atau resiko tambahan. Dalam
kondisi ini, potensi dari substitusi penawaran akan memiliki dampak
disipliner yang sama terhadap perilaku persaingan dari perusahaan-
perusahaan yang terlibat.
Sama seperti substitusi permintaan, substitusi penawaran harus
secara relative cepat, karena tanpa kecepatan efektifitasnya dalam
menghambat kekuatan pasar yang ada akan menurun. Hal ini
merupakan suatu permasalahan opini mengenai seberapa cepat
substitusi penawaran harus bereaksi, untuk membedakannya dengan
entry, biasanya ditentukan oleh otoritas persaingan selama jangka
waktu satu tahun.
Menganalisa substitusi penawaran jangka pendek menimbulkan isu
yang sama untuk dipertimbangkan, yaitu hambatan masuk (barriers to
entry). Keduanya dipertimbangkan dengan membangun asumsi apakah
perusahaan-perusahaan akan dapat mulai memasok suatu produk
dalam persaingan dengan perushaaan lain yang sudah ada.
Perbedaannya hanya pada masalah waktu, yaitu kecepatan melakukan
persiapan.

13
Tipe bukti yang digunakan dalam melakukan penilaian dari
substitusi penawaran meliputi:
1) Analisis sistematis dari perusahaan-perusahaan yang telah
memulai atau menghentikan produksi dari suatu produk yang jadi
permasalahan
2) Waktu yang diperlukan untuk mulai memasok produk yang jadi
permasalahan.
3) Pemberitahuan dari pemasok potensial untuk melihat apakah
substitusi dimungkinkan (meskipun potensi pemasok pada saat ini
tidak mempunyai rencana untuk masuk ke pasar) dan dengan biaya
berapa, pemberitahuan dari perusahaan – perusahaan mungkin
diikutsertakan untuk menentukan apakah kapasitas yang sudah ada
sudah penuh, mungkin karena kontrak jangka panjang.
4) Pandangan konsumen khusunya pandangan mereka mengenai
apakah mereka akan berpindah ke pemasok baru dan apakah biaya
perpindahan bersifat menghambat.
5) Evaluasi dari sunk cost perpindahan tersebut, untuk melihat
apakah pemasok potensial dapat mulai memproduksi produk yang
dipermasalahkan tanpa membahayakan investasi yang substansial. 4
2. Pasar Menurut Geografis
Metode yang sama dapat diaplikasikan untuk menentukan cakupan
geografis dari sebuah pasar bersangkutan. Dari sisi konsumen, dilihat
apakah konsumen dengan mudah dapat mendapatkan produk yang sama
(atau mirip) dari produsen di daerah lain. Jika ya, maka daerah lain
tersebut merupakan bagian dari pasar bersangkutan secara geografis.
Pasar geografis yang relevan merupakan wilayah dimana substitusi
permintaan dan penawaran berada. Oleh kepentingan tertentu dalam

4
Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Tri Anggraini dkk, Hukum Persaingan Usaha … 62-64

14
mendefinisikan pasar geografis merupakan suatu tingkatan dimana rantai
substitusi berada di pasar dan bagaimana peran yang dimainkan impor
dalam mempengaruhi kemampuan pemasok lokal untuk menaikkan harga.
Tipe bukti yang dapat digunakan untuk menentukan cakupan pasar
geografis termasuk survei konsumen dan perilaku pesaing, estimasi
elastisitas harga diberbagai tempat yang berbeda, dan analisa perubahan
harga lintas wilayah yang berpengaruh. Bukti yang terakhir dapat
memberikan pembuktian yang beralasan untuk menentukan bahwa dua
wilayah merupakan suatu pasar yang sama jika harga dari suatu produk
yang dipermasalahkan bergerak bersama di kedua wilayah tersebut dan
pergerakannya tidak disebabkan oleh perubahan pada biaya produksi.

C. Perilaku Strategis Penentuan Harga dan Relevant Market Dalam


Konteks Keislaman
1. Perilaku Strategi Penentuan Harga Dalam Konteks Keislaman
Setiap kegiatan membutuhkan perencanaan atau strategi yang efektif
untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan
tentang apa yang dapat dilakukan dengan baik sehingga dapat mencapai
sasaran yang dituju. Strategi merupakan suatu aspek yang penting untuk
diterapkan dalam bisnis salah satunya dalam penentuan harga.
Adapun strategi penentuan harga yang adil telah menjadi pegangan
yang mendasar dalam transaksi yang Islami. Pada prinsipnya transaksi
bisnis harus dilakukan pada strategi penentuan harga yang adil sebab ia
cerminan dari komitmen syariat Islam terhadap keadilan yang
menyeluruh. Secara umum, strategi penentuan harga yang adil ini adalah
harga yang tidak menimbulkan eksploitasi atau penindasan (kezaliman)
sehingga merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak lain.
Penentuan harga harus mencerminkan manfaat sebagai pembeli dan
penjualnya secara adil, yaitu penjual memperoleh keuntungan yang

15
normal dan pembeli memperoleh manfaat yang setara dengan harga yang
dibayarnya.
Di dalam ekonomi Islam dibolehkan menggunakan berbagai strategi
untuk menentukan harga pada suatu produk, sepanjang strategi tersebut
tidak menghalalkan segala cara, tidak melakukan cara-cara bathil, tidak
melakukan penipuan dan kebohongan dan tidak menzhalimi pihak lain.
Maka, tipu daya dalam strategi pemasaran terutama dalam penentuan
harga itu dilarang dalam Islam karena tipu daya mengandung penipuan,
kecurangan, dan kedzaliman. Sementara ketiga hal ini dilarang oleh Allah
SWT, karena itu dalam strategi penentuan harga, haruslah senantiasa
terbebas dari tipu daya.5
Rasulullah sendiri dalam perjalanan dakwahnya
mengimplementasikan strategi bisnis dengan prinsip yang universal (tidak
terbatas). Hal itu merupakan suatu keniscayaan bagi para pebisnis muslim
untuk menerapkan prinsip-prinsip dan strategi-strategi yang telah
dicontohkan Rasulullah SAW, jika ingin mendapatkan keuntungan dan
keberkahan secara bersama. Namun tetap diperlukan kesungguhan
kedisiplinan dan keyakinan untuk terus mengaplikasikannya karena pasti
akan banyak godaan dan tantangan.6
Karena harga suatu barang adalah hak pihak yang bertransaksi maka
kepada merekalah diserahkan fluktuasinya. Karena itu, imam atau
penguasa tidak layak untuk mencampuri haknya kecuali jika terkait
dengan keadaan bahaya terhadap masyarakat umum.
Menurut ibnu Qudamah, sebagaimana yang dikutip oleh Abdul
Munnan dalam bukunya yang berjudul Teori dan Praktek Ekonomi Islam
menjelaskan bahwa penetapan harga juga mengindasikan pengawasan atas

5
Muhammad Syukir Sula, Asuransi Syari’ah Life And General, (Jakarta: Gema Insani, 2004), 440.
6
Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariah Dalam Praktik, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2003), 57.

16
harga tak menguntungkan. Ia berpendapat bahwa penetapan harga akan
mendorong harga menjadi lebih mahal. Karena jika pandangan dari luar
mendengar adanya kebijakan pengawasan harga, mereka tidak akan mau
membawa barang dagangannya di luar harga yang inginkan. Para
pedagang lokal yang memiliki barang dagangan akan menyembunyikan
barang dagangannya. Para konsumen yang membutuhkan akan meminta
barang- barang dagangan dan membuat permintaan mereka tidak bisa
dipuaskan karena harganya meningkat. Harga yang meningkat dan kedua
belah pihak akan menderita. Para penjual akan menderita karena dibatasi
dari menjual barang dagangan mereka dan para pembeli menderita karena
keinginan mereka tidak bisa dipenuhi. Inilah alasannya kenapa hal ini
dilarang.7
Jumhur ulama berpendapat bahwa pada prinsipnya tidak dibenarkan
adanya penentuan harga karena ini merupakan kezaliman dan tindakan
kedzaliman diharamkan. Mereka mendasarkan argumennya pada hadist
Anas Bin malik, “Pada zaman Rasulullah Saw harga barang pernah
melonjak hebat. Orang-orang pun berkata, “Wahai Rasulullah, kalau saja
Anda mau menentukan/menstabilkan harga?!” Beliau menjawab:

Artinya:
“sesungguhnya Allah adalah Yang Maha Pencipta dan Yang Maha
Menggenggam serta Membentangkan, Maha Pemberi Rezeki dan
Penentu Harga, sungguh aku ingin bertemu Dengan Allah tanpa ada
seorang pun yang menuntutku karena suatu tindak kezhaliman yang
telah aku lakukan terhadapnya, baik dalam urusan jiwa maupun
harta”(riwayat Abu Daud).
7
Abdul Munnan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (PT. Dana Bhakti Waqaf: Yogyakarta, 1997), 59

17
Menurut hadist ini, penguasa (imam) tidak berhak menentukan harga
yang berlaku di masyarakat, melainkan masyarakat bebas menjual harta
benda mereka menurut mekanisme yang berlaku. Penentuan harga (sama
saja) melarang mereka untuk membelanjakan hartanya. Padahal penguasa
diperintahkan untuk menjaga kemaslahatan umum. Perhatian penguasa
terhadap kemaslahatan pembeli dengan (menentukan) harga murah lebih
layak dilakukan daripada perhatiannya terhadap kemaslahatan penjual
dengan (kebijakan) meninggikan harga. Bila dua urusan ini saling
bertentangan, maka penjual dan pembeli wajib diberi keleluasaan untuk
mengusahakan diri mereka sendiri dan mewajibkan pemilik barang
dagangan untuk menjual sesuatu yang tidak disukainya, karena hal ini
bertentangan dengan firman Allah SWT:
َ ً ‫ارة‬
ٍ ‫ع ْن ت ََر‬
‫اض‬ ِ َ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ََل ت َأ ْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالب‬
َ ‫اط ِل ِإ ََّل أَ ْن ت َ ُكونَ تِ َج‬
‫َّللا َكانَ بِ ُك ْم َر ِحي ًما‬ َ َّ ‫ِم ْن ُك ْم ۚ َو ََل تَ ْقتُلُوا أ َ ْنفُ َس ُك ْم ۚ ِإ َّن‬
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan
janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu”(Q.S Nisaa‟: 29)
Ayat diatas menjelaskan bahwa sesungguhnya dalam penentuan harga
tidaklah ditetapkan berdasarkan syariah Islam, tetapi dalam perniagaan
antara penjual dan pembeli harus didasarkan kerelaan atau suka sama suka
yang tidak merugikan antara penjual dan pembeli serta tidak ada unsur
keterpaksaan.
Adapun strategi penetuan harga yang dijalankan Rasulullah SAW
meliputi:

18
a. Strategi penentuan harga yang digunakan Nabi Muhammad
berdasarkan prinsip suka sama suka. Dalam surat An Nisaa‟ ayat 29,
sebagaimana yang telah diungkap sebelumnya. Dari Anas, RA,
katanya Nabi SAW bersabda:

Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah
menceritakan kepada kami 'Abdul Warits dari Abu At- Tayyah
dari Anas radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam berkata: "Wahai Banu Najar, juallah kepadaku
berapa harga (kebun kalian) ". Didalam kebun tersebut terdapat
reruntuhan bangunan dan pohon- pohon kurma”.(H.R
Bukhari).
Hadist di atas menjelaskan bahwa Rasulullah ingin membeli
kebun tersebut dengan harga yang ditetapkan si pemilik kebun. Karna
didalam kebun tersebut terdapat runtuhan dan pohon kurman. Jika
sesuai antara kebun dan harga kebun tersebut maka Rasulullah
menyetujuinya, maka hal tersebut harus ada prinsip keridhaan atau
suka sama suka antara kedua belah pihak.
b. Strategi penentuan harga yang digunakan Nabi Muhammad SAW
adalah prinsip tidak menyaingi harga orang lain dan tidak
menyongsong membeli barang sebelum dibawa ke pasar serta tidak
berbohong atau membeda-bedakan pembeli dengan melakukan
eksploitasi harga. Dari Abu Hurairah, RA, katanya:

19
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Al Makkiy bin Ibrahim
berkata, telah mengabarkan kepada saya Ibnu Juraij dari Ibnu
Syihab dari Sa'id bin Al Musayyab bahwa dia mendengar Abu
Hurairah radliallahu 'anhu berkata, bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah seseorang
membeli apa yang sedang dibeli saudaranya dan janganlah
kalian melebihkan harga tawaran barang (yang sedang ditawar
orang lain) danjanganlah kamu membohongkan harga barang
dan janganlah orang kota menjual buat orang desa".(H.R
Bukhari).
Hadist di atas menjelaskan tidak boleh melarang orang kota
menjual barang orang desa. Serta berbohong atau membeda-bedakan
pembeli dengan melakukan eksplotasi harga dalam menentukan harga
agar barang tersebut terjual, kemudian menyaingi penjual lainnya
dengan menurunkan harga agar pembeli membeli kepadanya serta
menawarkan barang yang sedang ditawarkan oleh saudaranya yang
lain.
c. Nabi Muhammad SAW menetapkan strategi harga dengan prinsip
membantu orang lain.
2. Relevant Market Dalam Konteks Keislaman
Pasar syariah adalah pasar dimana pelaggannya selain memiliki motif
rasional juga memiliki emosional. Pelanggan tertarik untuk berbisnis pada
pasar syariah bukan hanya karena alasan dan keinginan untuk
mendapatkan keuntungan finansial semata yang bersifat rasional, namun
karena keterikatan terhadap nilai-nilai syariah yang dianutnya.8

8
Buchari Alma, Manajemen Bisni Syariah: Sebuah Kajian Historis dan Kontemporer, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2006, 342

20
Islam tidak melarang adanya persaingan dalam sebuah usaha, namun
dalam persaingan tersebut harus dilakukan dengan cara persaingan yang
sehat karena dalam mencari harta haruslah dilakukan secara wajar serta
halal yang mana tidak bertentangan dengan al–Qur‟an maupun al–Hadits,
usaha mencari harta yang di dalamnya terjadi sebuah persaingan yang
sehat dan wajar merupakan sebaik–baiknya cara bagi seorang muslim
dalam berdagang/berusaha. 9 Hal ini terlihat dari firman Allah:

Artinya:
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.
(karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang
mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-
Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
Hukum persaiangan usaha dalam Islam telah ada yakni dimulai pada
masa Rasulullah yang mana setelah terbentuknya negara di Madinah,
Rasulullah SAW sebagai kepala pemerintahan melakukan sistem
pengawasan pasar (Al–Muhtasib) yang membuat kebijakan khusus yang
menangani pengawasan pasar yang dikenal dengan lembaga Al–Hisbah.
Pengawasan pasar yang dilakukan oleh Rasulullah pada saat itu
dilakukan dengan cara Rasulullah langsung menindak para pelaku usaha
yang berperilaku curang dengan turun langsung ke pasar dalam rangka

9
Lukman Hakim, Ihtikar dan Permasalahannya dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal Darussalam:
Jurnal Pendidikan, Komunikasi dan Pemikiran Hukum Islam, Vol. 7, No. 2, April 2016, 323.

21
membersihkan pasar dari perilaku–perilaku curang yang dapat merusak
persaingan. Pengawasan pasar yang dilakukan oleh Rasulullah pada saat
itu dilakukan dengan cara Rasulullah langsung menindak para pelaku
usaha yang berperilaku curang dengan turun langsung ke pasar dalam
rangka membersihkan pasar dari perilaku–perilaku curang yang dapat
merusak persaingan.
Islam tidak membenarkan para pelaku usaha bersaing secara licik
dengan menjadikan dirinya serakah untuk mendapatkan keuntungan
sebanyak–banyaknya karena sikap tersebut membuat manusia lalai,
sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:

Artinya:
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke
dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat
perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.
Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang
yakin,,,”.
Dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa adanya dua pihak atau lebih
yang bersaing, semua berusaha memperbanyak, seakan–akan sama–sama
mengaku memiliki lebih banyak dari pesaingnya dengan menghiraukan
norma–norma dan nilai–nilai agama, kegiatan tersebut tidak akan berakhir
kecuali dengan kematian karena yang bersaing tidak pernah puas, serta
kaitannya dengan persaingan tidak sehat dalam penumpukkan harta secara
tegas Allah memperingatkan jangan lakukan persaingan semacam itu.
Kegiatan persaingan usaha harus dilandasi dengan sifat ketakwaan di
dalamnya yang mana sifat takwa harus diimplikasi dalam berbisnis atau
berusaha, karena takwa itu berkaitan dengan perilaku dan sikap mental

22
seorang pembisnis/pelaku usaha. Dengan adanya sifat takwa yang
tertanam dalam diri seorang pembisnis/pelaku usaha maka dalam bersaing
di pasar pelaku usaha akan melakkan hal–hal sebagai berikut:
a) Melakukan usaha/bisnis dengan cara yang legal dan halal.
b) Tidak akan melakukan manipulasi barang.
c) Tidak akan mempermainkan harga.
d) Tidak merusak perusahaan lain yang sejenis
Selain harus berlandaskan ketakwaan dalam berbisnis atau berusaha,
dalam Islam juga haruslah dicermati unsur–unsur terpenting dalam
persaingan usaha menurut Islam agar tidak terjadi persaingan yang tidak
sehat dalam pasar, unsur terpentingnya yaitu:
a) Pihak–pihak yang bersaing
Mengenai pihak–pihak yang bersaing dalam hal usaha/bisnis,
Islam memerintahkan setiap muslim untuk memiliki etos kerja yang
tinggi sebagaimana Islam telah memerintahkan umatnya untuk
berlomba– lomba dalam kebaikan. Dengan landasan ini persaingan
tidak lagi diartikan sebagai usaha mematikan pesaingnya tetapi
dilakukan untuk memberikan sesuatu yang terbaik dari usahanya.
b) Cara persaingan.
Haruslah memberikan pelayanan terbaik dalam hal cara persaingan
usaha, sebagaimana Rasulullah SAW memberikan contoh bagaimana
bersaing dengan baik ketika berdagang, rasulullah tidak pernah
melakukan usaha untuk menghancurkan pesaing dagangnya,
melainkan beliau memberikan pelayanan yang sebaik–baiknya dan
menyebutkan spesifikasi barang yang dijual dengan jujur termasuk
jika ada cacat pada barang tersebut.
c) Produk barang dan atau jasa yang dipersaingkan.

23
Agar tidak terjadi persaingan yang tidak sehat dalam pasar maka
harus memiliki keunggulan produk barang dan atau jasa yang dapat
digunakan untuk meningkatkan daya saing, yaitu sebagai berikut:
1) Produk. Produk barang dan atau jasa yang dipersaingkan dalam
pasar harus halal.
2) Harga. Harga produk harus kompetitif dalam hal ini Islam
melarang para pelaku usaha membanting harga dengan tujuan
menjatuhkan pesaingnya dalam pasar.
3) Tempat. Dalam hal tempat yakni pasar, para pelaku usaha bebas
masuk maupun keluar pasar agar tidak ada yang dihalang – halangi
dalam berusaha di pasar.
4) Pelayanan. Pelayanan harus diberikan dengan ramah dan tidak
boleh dengan cara–cara yang dilarang dalam Islam.

24
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perilaku strategis terdiri dari dua tipe yaitu, dalam bentuk kooperatif
maupun non kooperatif. Pertama, perilaku yang bersifat non kooperatif
mengacu pada tindakan perusahaan yang mencoba meningkatkan profit
mereka dengan meningkatkan posisi relatifnya terhadap pesaing. Mereka tidak
melakukan kerjasama satu sama lain. Perilaku sejenis ini biasanya
meningkatkan profit satu perusahaan dan menurunkan profit perusahaan
pesaingnya. Kedua, perilaku strategis yang bersifat kooperatif diciptakan
untuk mengubah kondisi pasar sehingga memudahkan semua perusahaan
untuk berkoordinasi dan membatasi respon pesaing mereka. perilaku
penentuan harga itu sendiri ada 2 yaitu: Predatory Pricing (menjual rugi) dan
Diskriminasi harga (Price Discrimination).
Menurut UU No.5 Tahun 1999, pasar bersangkutan didefinisikan sebagai
pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh
pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi
dari barang dan/atau jasa tersebut. Pasar bersangkutan terdiri dua dimensi,
yaitu dimensi produk (set of products) dan dimensi wilayah (relevant
geographic market).
Di dalam ekonomi Islam dibolehkan menggunakan berbagai strategi untuk
menentukan harga pada suatu produk, sepanjang strategi tersebut tidak
menghalalkan segala cara, tidak melakukan cara-cara bathil, tidak melakukan
penipuan dan kebohongan dan tidak menzhalimi pihak lain. Maka, tipu daya
dalam strategi pemasaran terutama dalam penentuan harga itu dilarang dalam
Islam karena tipu daya mengandung penipuan, kecurangan, dan kedzaliman.
Sementara ketiga hal ini dilarang oleh Allah SWT, karena itu dalam strategi
penentuan harga, haruslah senantiasa terbebas dari tipu daya.

25
DAFTAR PUSTAKA

Fahmi, Lubis Andi , Anna Maria Tri Anggraini dkk. 2009. Hukum Persaingan

Usaha Antara Teks dan Konteks. Jakarta: RDV Kreative Media.

Hafidhuddin, Didin dan Hendri Tanjung. 2003. Manajemen Syariah Dalam

Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.

Hakim, Lukman. Ihtikar dan Permasalahannya dalam Perspektif Hukum Islam.

Jurnal Darussalam: Jurnal Pendidikan, Komunikasi dan Pemikiran

Hukum Islam, Vol. 7, No. 2, April 2016.

Munnan, Abdul. 1997. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Dana Bhakti Waqaf:

Yogyakarta.

Syukir, Sula Muhammad. 2004. Asuransi Syari’ah Life And General. Jakarta:

Gema Insani.

Alma, Buchari. 2006. Manajemen Bisni Syariah: Sebuah Kajian Historis dan

Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

26

Anda mungkin juga menyukai