Anda di halaman 1dari 15

larangan menimbun dan monopoli

Oleh :
SALAHUDDIN AL AYYUBI SYARIF (20200119042)

IAN PERTIWI (20200119038)

SINDY (20200119004)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kami panjatkan
puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-NyA kepada
kami sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk
masyarakat.

Makalah ini sudah kami susun dengan maksimal dan mendapat bantuan dari berbagai pihak
sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan terimakasih
kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari segala hal tersebut, Kami sadar sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karenanya kami dengan lapang dada
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya ini bisa
memberikan manfaat maupun inspirasi untuk pembaca.
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL JUDUL………………………………………………………………...I

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………..II

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………III

BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………………………………………..IIII

A. Latar Belakanng…………………………………………………………………………..1

B. Rumusan masalah………………………………………………………………………....2

C. Tujuan……………………………………………………………………………………..4

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………………7

A. Defenisi penimbun harta (ikhtiar)…………………………………………………………8

B. Aturan dalam islam tentang larangan menimbun harta (ikhtiar)………………………….8

C. Hukum monopoli (ikhtiar)……………………………………………………………….10

D. Jenis- Jenis monopoli (ikhtiar)…………………………………………………………...12

E. Hikmah pelarangan praktik penimbun harta……………………………………………..13

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………………….....15

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………...15
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam agama Islam kita memang di halalkan dan di suruh untuk mencari rezki melalui
berbagai macam usaha seperti bertani, berburu atau melakukan perdagangan atau jual beli.
Namun tentu saja kita sebagai orang yang beriman diwajibkan menjalankan usaha
perdagangan secara Islam, dituntut menggunakan tata cara khusus menurut Alquran dan
Sunnah, ada aturan mainnya yang mengatur bagaimana seharusnya seorang Muslim berusaha
di bidang perdagangan agar mendapatkan berkah dan ridha Allah SWT di dunia dan akhirat.

Aturan main perdagangan Islam, menjelaskan berbagai macam syarat dan rukun yang harus
dipenuhi oleh para pedagang Muslim dalam melaksanakan jual beli. Dan diharapkan dengan
menggunakan dan mematuhi apa yang telah di syariatkan tersebut, suatu usaha perdagangan
dan seorang Muslim akan maju dan berkembang pesat lantaran selalu mendapat berkah Allah
SWT di dunia dan di akhirat.

Selain harus mengetahui bagaimana jual beli yang di perbolehkan dan sah menurut hukm
islam, kita juga dituntut untuk tahu apa saja jual beli yang dilarang oleh Islam, agar kita tidak
terjerumus kepada hal yang dilarang oleh Allah SWT, untuk itulah dalam makalah sederhana
ini saya akan membahas satu dari sekian banyak jual beli yang tidak diperbolehkan, yaitu
monopoli atau Ihtikar. Tentang apa dan bagaimana ihtikar itu menurut pandangan hukum
islam.

B. Rumusan Masalah

1. Apa defenisi ikhtiar?


2. Bagaimana islam mengatur terhadapa larangan perbuatan ikhtiar?
3. Bagaimana hukum dalam dalam monopoli?
4. Apa saja jenis-jenis dari monopoli?
5. Apa hikmah pelarangan praktik perbuatan menimbun harta
Tujuan

1. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan perilaku menimbun harta


2. Untuk dapat memahami metode islam mengatur pelanggaran perbuatan
menimbun harta
3. Untuk mengetahui bagaimana hukum dalam monopoli
4. Untuk dapat mengetahui apa saja jenis-jenis dari monopoli
5. Untuk dapat mengidentifikasi hikmah dari pelarangan praktik menimbun harta.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi Penimbunan Harta (Ihtikhar)

Penimbunan harta atau dalam bahasa arab lebih dikanl dengan Ihtikar( ‫كار‬
ُ ِ‫) االحْ ت‬, yaitu
penimbunan barang sehingga persediaan (Stok) hilang di pasar dan harga menjadi naik. Al-
Fahrius Abdi menyebutkan bahwa ihtikar artinya mengumpulkan, menahan barang, dengan
harapan mendapatkan harga yang mahal. Dan Ibnu Mandzur menyebutkan bahwa ihtikar adalah
perbuatan mengumpulkan makanan atau yang sejenis dan menahan dengan maksud menunggu
naiknya harga barang tersebut. Berdasarkan kedua pendapat diatas dapat dikatakan bahwa
kegiatan penimbunan harta merupakan kegiatan menahan barang yang dikumpulkan saat harga
murah kemudian menjualnya pada saat harga barang tersebut tinggi.

Lebih lanjut lagi para ulama fikih memberikan gambaran lebih jauh tentang praktek penimbunan
harta (ihtikar) tersebut, pendapat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Asy-Syukaini mendefenisikan bahwa Ihtikar merupakan penimbunan barang dari


peredarannya.
2. Al- Gazali mendefisinisakan ikhtiar sebagai penyimpanan barang dagang oleh penjual
makanan untuk menunggu melonjaknya harga-harga dan penjualannya ketika harga
melonjak.
3. AL-Maliki mendefinisikan ikhtiar sebagai penyimpanan barang oleh produsen, baik
makanan, pakaian, dan segala barang yang merusak pasar.

Dari pendapat diatas dapat ditarik makna bahwa praktek tersebut merupakan suatu
penimbunan barang pada saat lapang sehingga dapat membuat barang tersebut akan
menjadi langkah dipasarannya dan menjualnya pada saat harganya berangsur-angsur
mulai melonjak.
B. Aturan Islam terhadap Larangan Praktek Penimbunan Harta (Ihtikar)

1. Landasan Hukum Larangan Praktek Penimbunan Harta

Ikhtiar (penimbun) yaitu membeli komuditas makanan pokok pada saat keadaan
tertentu kemudian menimbunnya dan menjualnya kembali dengan harga yang mahal
pada saat kebutuhan mendesak. Mayoritas fuqaha berpendapat haram pada praktek ini
berdasarkan landasan hukum yang ada. Berdasarkan landasan hukum praktek
penimbunan harta terdapat dalam sebuah hadis nabi yang diriwayatkan oleh Ma‟mar bin
Abdullah :

‫ قال ال يحتكر إال‬.‫ عن معمر بن عبدهللا عن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬،‫عن سعيد بن المسيب‬
‫خاطئ‬

Artinya: “Dari Sa‟id ibnul Musayyib, dari Ma‟mar bin Abdillah dari Rasulullah
shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:”Tidaklah seorang menimbun kecuali dia
berdosa.”

Dari penjelasan hadis diatas dapat di fahami bahwa hadis tersebut hukumnya belaku
mutlak, artinya tidak ada pembatasan secara khusus dalam beberapa komoditas
tertententu dalam praktek ihtikhar, larangan menimbun harta itu mencakup segala
komuditas yang diperlukan masyarakat bukan hanya kebutuhan poko saja.

Akan tetapi lain halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh kalangan mazhab
Syafi‟iyah bahwa mereka menganggap larangan menimbun harta hanya berlaku pada
komuditas makanan pokok saja, gagasan ini didasari dengan hadis Nabi yang
diriwayatkan oleh dari Abu Ummah menjelaskan bahwa “Rasulullah saw melarang
ihtokar Makanan”. Menurut mereka hadis Ma‟mar telah di taqyid (dibatasi
berlakuannya) dengan hadis dari abu Ummah.
Akan tetapi asy-Syaukani memberikan pendapat bahwa illat keharaman perbuatan
menimbun harta itu bila merugukan kaum muslimin. Namun
jikatidasampamerugikanhukumnya tidak diharamkan.Pendapat ini seolah memberikan
jalan tengah bahwa keharaman dari praktek penimbunan harta itu dilihat dari segi
illatnya. Dalam hal ini jelas kalau dalam hal praktek penimbunan makanan pokok itu
diharamkan karena memberikan sebuah kemudhratan yang luar biasa, akan tetapi tidak
menutup juga barang-barang lain selama itu menjadi sebuah kebutuhan masyarakat.

2. Kriteria Pelarangan Praktek Penimbunan Harta

Menurut Monzer Khaf perbuatan penimbunan harta merupakan sutatu kejahatan. Oleh karena
itu padre fuqaha sepakat untuk mengharamkan praktek tersebut. Tentu saja pengharaman
praktek penimbunan harta telah dilihat dari sudut pandang kemaslahatannya. Dengan
demikian para fuqaha membagi menjadi tiga kriteria pelarangan atau keharaman praktik
ihtikar sebagai berkut:

pertama, Objek barang yang ditimbun itu kelebihan dari yang ia butuhkan, berikut
tanggungan untuk persediaan setahun penuh. Karena seseorang boleh menimbun untuk
persediaan kebutuhan dirinya dan keluarganya dalam jangka waktu satu tahun kedepannya.

Kedua, pelaku ihtikar menunggu saat-saat naiknya harga barang agar dapat menjualnya
dengan harga yang lebih tinggi karena masyarakat luas sangat membutuhkan barang tersebut
kepadanya.

Ketiga, praktik penimbunan dilakukan pada saat dimana orang-orang membutuhkan barang
yang timbun, seperti halnya makanan, bahan bakar dan kebutuhan pokok lainnya, jika barang
yang ditangan pedagang tersebut tidak dibutuhkan oleh manusia maka tidak termasuk dalam
hal penimbunan karena tidak mengakibatkan kesulitan atau kemudharatan pada manusia.

Berdasarkan landsan hukum dan kriteria tersebut dapat dapat ditarik kesimpulan bahwa
pelarangan praktik penimbunan harta itu merujuk kepada kemaslahatan umat dengan prinsip
maqasidu syariah yaitu menjaga harta sehingga akan membuat umat muslim jauh dari
perbuatan tersebut, sehingga terhindar dari perbutan menzolimi antar umat
C.Hukum monopoli (ikhtiar)

1. Haram secara mutlak (tidak dikhususkan bahan makanan saja), hal ini di dasari
oleh sabda Nabi SAW:

ِ ‫َي ٍِ احْ ت َ َك َز فَ ُٓ َٕ خ‬
‫َاطئ‬

Artinya: “Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa”. (HR. Muslim
1605).

2. Makruh secara mutlak, dengan ocial bahwa larangan Nabi SAW berkaitan
dengan ihtikar adalah terbatas kepada hukum makruh saja, lantaran hanya sebagai
peringatan bagi umatnya.

3. Haram apabila berupa bahan makanan saja, adapun selain bahan makanan, maka
dibolehkan, dengan ocial hadits riwayat Muslim di atas, dengan melanjutkan
riwayat tersebut yang dhohirnya membolehkan ihtikar selain bahan makanan,
sebagaimana riwayat lengkapnya, ketika Nabi SAW bersabda:

‫َّث َْدًا‬ ْ ‫س ِعٍْد إِ ٌَّ َي ْع ًَ ًزا انّذ‬


ُ ‫ِي َكَُا ٌُ َحد‬ َ ‫س ِع ٍْ ٍد فَئََِّاكَ تَحْ ت َ ِك ُز قَا َل‬
َ ‫ئ فَ ِق ٍْ َم ن‬ ِ ‫َي ٍِ احْ ت َ َك َز فَ ُٓ َٕ خ‬
ُ ‫َاط‬
‫ْج َكاٌَ ٌَحْ ت َ ِك ُزس‬ ُ ٌ‫ْان َح ِد‬

Artinya: “Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. Lalu Sa‟id ditanya,
“Kenapa engkau lakukan ihtikar?” Sa‟id menjawab, “Sesungguhnya Ma‟mar yang
meriwayatkan hadits ini telah melakukan ihtikar!‟ (HR. Muslim 1605).

Imam Ibnu Abdil Bar mengatakan: “Kedua orang ini (Said bin Musayyab dan
Ma‟mar (perowi hadits) hanya menyimpan minyak, karena keduanya memahami
bahwa yang dilarang adalah khusus bahan makanan ketika sangat dibutuhkan saja,
dan tidak mungkin bagi seorang sahabat mulia yang merowikan hadits dari Nabi
SAW dan seorang tabi‟in (mulia) yang bernama Said bin Musayyab, setelah mereka
meriwayatkan hadits larangan ihtikar lalu mereka menyelisihinya (ini menunjukkan
bahwa yang dilarang hanyalah bahan makanan saja).
4. Haram ihtikar disebagian tempat saja. Seperti di kota Makkah dan Madinah,
sedangkan tempat-tempat lainnya, maka dibolehkan ihtikar di dalamnya, hal ini
lantaran Makkah dan Madinah adalah dua kota yang terbatas lingkupnya, sehingga
apabila ada yang melakukan ihtikar salah satu barang kebutuhan manusia, maka
perekonomian mereka akan terganggu dan mereka akan kesulitan mendapatkan
barang yang dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat lain yang luas, apabila ada yang
menimbun barang dagangannya, maka biasanya tidak mempengaruhi perekonomian
manusia, sehingga tidak dilarang ihtikar di dalamnya.

5. Boleh ihtikar secara mutlak. Mereka menjadikan hadits-hadits Nabi SAW yang
memerintahkan orang yang membeli bahan makanan untuk membawanya ke tempat
tinggalnya terlebih dahulu sebelum menjualnya kembali sebagai dalil dibolehkahnya
ihtikar, seperti dalam hadits:

‫س ْٕ ِل‬
ُ ‫ع ْٓ ِد َر‬
َ ‫هى‬
َ ‫ع‬َ ‫او ُي َجاسَ فَة‬ َّ
َ َ‫انطع‬ ٌَْٔ ‫ع ُْ ُٓ ًَا قَا َل َرأ َ ٌْتُ انَّ ِذ ٌٍَْ ٌَ ْشت َ ُز‬
َ ُ‫ً للا‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ع ًَ ُز َر‬ُ ٍِ ‫ع ٍْ ا ْب‬
َ
‫نى ِر َحا ِن َٓ ْى‬َ ِ‫سهَّ َى ٌَ ُْ َٓ ٌَْٕ أ َ ٌْ ٌَبِ ٍْعُ ُِْٕ َحتَّى ٌُؤْ ُُِٔٔ إ‬
َ َٔ ِّ ٍْ َ‫عه‬َ ُ‫هى للا‬ َ ‫ص‬َ ِ‫للا‬

Artinya : “ Dari ibnu umar r.a beliau berkata : “Aku melihat orang-orang yang
membeli bahan makanan dengan tanpa ditimbang pada zaman pada zaman
Rasulullah SAW mereka dilarang menjualnya kecuali harus mengangkatnya ke
tempat tinggal mereka terlebih dahulu.” (H.R. Bukhori 2131, dan muslim 5/8).

Secara esensi definisi di atas sama, dan dapat difahami bahwa iktikar yaitu:

a. Membeli barang ketika harga mahal.

b. Menyimpan barang tersebut sehingga kurang persediaannya di pasar.

c. Kurangnya persediaan barang membuat permintaan naik dan harga juga naik.

d. Penimbun menjual barang yang di tahannya ketika harga telah melonjak.

e. Penimbunan barang menyebabkan rusaknya mekanisme pasar.


D. Jenis- Jenis monopoli (ikhtiar)

a. Monopoli yang haram, yaitu monopoli pada makanan pokok masyarakat, Sabda
riwayat Al-Asram dari Abu Umamah:

‫او‬ َّ ‫أٌ ٌَحْ ت َ ِك ُز‬


َ ‫انط َع‬ َ َٔ ِّ ٍْ َ‫عه‬
ْ ‫سهى َ َٓى‬ َ ُ‫صهَى للا‬
َ ً‫انُب‬
ُ ٌْ َ ‫أ‬

Artinya: “Nabi SAW melarang monopoli makanan” Jenis inilah yang dimaksud dalam hadis
bahwa pelakunya bersalah, maksudnya bermaksiat, dosa dan melakukan kesalahan.

b. Monopoli yang diperbolehkkan, yaitu pada suatu yang bukan kepentingan umum, seperti:
minyak, lauk pauk, madu, pakaian, hewan ternak, pakan hewan.

Sehubungan dengan celaan melakukan penimbunan ini, telah disebutkan sejumlah hadis
diantaranya:

 Hadits Umara dari Nabi SAW

‫ض َزبَُّ للاُ بِ َم ا ُجذَ ِو َٔا ِال ْفالَ ِس‬ َ ًٍٍَِْ ‫َي ٍْ احْ تَك ََز َعهَى ن ًُ ْس ِه‬
َ ‫طعَا ُيٓث ْى‬

Artinya: “Siapa menimbun makanan kaum muslimin, niscaya Allah akan menimpakan penyakit
dan kebangkrutan kepadanya.”

 Diriwayatkan Ibnu Majah dengan Sanad Hasan

ٌُ ْٕ ُ‫ب َي ْز ُس ْٔ ُق َٔ ْن ًُحْ ت َ ِك ُز َي ْهع‬ ْ ‫ا َ َج‬


ُ ‫ال ِن‬

Artinya : “orang yang mendatangkan barang akan diberi rezeki dan orang yang menimbun akan
dilaknat”

E. Hikmah pelarangan praktik menimbun harta

Secara umum, hikmah larangan perbuatan menimbun harta adalah mecegah dari
segala sesuatu yang dapat menyulitkan manusia, karena hal itu mempunyai kadar
kemudharatan. Oleh karena itu para ulama sependapat bahwa praktek penimbuanan harta
atau yang sering disebut dalam makalh ini sebagai ihtikar adalah haram.

Secara khusus, hikmah pelarangan praktik pertama, menjauhkan manusia untuk saling
menzholimi antara satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain adanya larangan menimbun
harta akan menjauhkan manusia untuk menimbulkan kemudharatan bagi orang lain, karena
penimbunan harta akan menimbulkan sebuahkemudharatan yang sangat besar bagi
masyarakat karena mengakibatkan hilangnya barang yang sangat dibutuhkan masyarakat
dipasaran sehingga akan mengakibatkan tingginya harga barang tersebut, akbitnya harga
barang dipasaran dapat mencekik leher masyarakat karena itu adalah kebutuhan jadi mau
tidak mau akan dibeli.

Kedua, memunculkan sifat kedermawanan seseorang kepada orang disekitarnya (lingkungan


ocial), artinya sikap kepedulian ocial akan menimbulkan suatu sikap untuk saling
memberi antar sesema makhluk Tuhan, sehingga praktek penimbunan harta itu memang tidak
ada, karena orang yang mempraktekannya hanya orang-orang yang mengutamakan sikap
individualitik semata.

Ketiga, Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya dan menjauhkannya dari


peredaran. Artinya praktek penimbunan harta akan melumpuhkan aktivitas ekonomi
disekitarnya baik itu produksi, distribusi ataupun dalam pengecerannya, sehingga akan
banyak aktivitas perekonomian yang akan lumpuh karena volume daya beli masyarakat akan
semakin berkurang karena adanya kenaikan harga yang sangat siknifikan, ditambahlagi
dengan lumpuhnya akativitas ekonomi akan menimbulkan kenaikan angka pengangguran di
sekita lokasi tersebut yang disebabkan tidak berjalannya praktek produksi, distribusi dan
pengecaran barang, dengan demikian dengan adanya pelarangan praaktek menimbun harta
akan mendorong volume daya beli masyarakat dengan ocial terjangkaunya harga barang
dipasaran dan meluasnya lapangan kerja karena aktvitas perekonomian berjalan sebagai
mana mestinya.

Keempat, Penimbunan barang merupakan halangan terbesar dalam pengaturan persaingan


dalam pasar Islam. Dalam tingkat internasional, menimbun barang menjadi penyebab
terbesar dari krisis yang dialami oleh manusia sekarang, yang mana beberapa ocial kaya
dan maju secara ekonomi memonopoli produksi,perdagangan, bahan baku kebutuhan pokok.
Bahkan, ocial-negara tersebut memonopoli pembelian bahan-bahan baku dari ocial yang
kurang maju perekonomiannya dan memonopoli penjulan komoditas ocial y yang
dibutuhkan oleh ocial-negara tadi. Hal itu menimbulkan bahaya besar terhadap keadilan
distribusi kekayaan dan pendapatan dalam tingkat dunia.

Berdasarkan hikmah diatas maka dapat dilihat bahwa pelarangangan praktik


penimbunan harta mempunyai kemaslahatan yang luar biasa karena bukan hanya
menyangkut masalah ibadah, akan tetapi aspek ocial dan ekonomipun mempunyai dampak
yang baik. Sehingga jika aturan ini dilakukan maka akan memberikan dampak posisitif yang
luar biasa bagi kehidupan umat muslim secara khususnya.

.
BAB III

KESIMPULAN

Penimbunan harta atau dalam bahasa arab lebih dikenal dengan Ikhtiar )‫َار‬
ُ ‫) االحْ تِك‬. Praktik
ihtikar dapat dikatakan bahwa kegiatan penimbunan harta merupakan kegiatan menahan
barang yang dikumpulkan saat harga murah kemudian menjualnya pada saat harga barang
tersebut tinggi. Kegiatan penimbun harta merupajkan kegiatan menahan barang yang
dikumpulkan saat harga murah kemudian menjualnya pada saat harga barang tersebut tinggi.

Secara umum, hikmah larangan perbuatan menimbun harta adalah mecegah dari segala
sesuatu yang dapat menyulitkan manusia, karena hal itu mempunyai kadar kemudharatan.
Secara khusus pelarangan praktik penimbunan harta lebih mengatur kepada masalah sosial
eknomi masyarakat seperti mecegah perbuatan dzalim antar sesame umat, memunculkan sifat
kepedulian sosial, memunculkan lapangan kerja serta tidak

SARAN

Kami ucapkan terimakasih terhadap semua pihak yang sudah berpartisipasi dalam
pembatan makalah ini sehingga dapat diselesaikan tepat waktu. Dan apabila terdapat
kekurangan kami sebagai penulis membutuhkan saran dan masukan dari pembaca, demi
kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Aravik, Havis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Kontenporer. Cet. I; Jakarta: Kencana.
2017.

Husen, La Ode. Hukum Persaingan Usaha; Hakikat Fungsi KPPU di Indonesia. Cet. I;
Makassar: CV. Social Politic Jenius. 2017.

Sarwat, Ahmad. Ensiklopedia Fikih Indonesia 7: Muamalat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama. 2018.

Soemitra, Andri. Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqih Muamalah di Lembaga Keuangan dan
Bisnis Kontenporer. Cet. I; Jakarta: Kencana. 2019.

Salim Abd.Rasyid, Meraih Jalan Petunjuk, Syarah Bulugul Maram 3. Bandung: Nuansa
Aulia, 2007.

Salim Abd.Rasyid, Meraih Jalan Petunjuk, Syarah Bulugul Maram. Bandung: Nuansa Aulia,
2007.

Al-Asqalani Ibn Hajar, Panduan Lengkap Masalah-Masalah Fiqih, Akhlak dan Keutamaan
Amal. Bandung: Mizan Pustaka, 2010.

Anda mungkin juga menyukai