Anda di halaman 1dari 12

HADIS TENTANG LARANGAN MONOPOLI PERDAGANGAN

Makalah Dibuat Dalam Rangka Perkuliahan Studi Hadis Akidah - Akhlaq

Pengampu:

Aida Hidayah, S,Th.I., M.Hum

Disusun Oleh:

Mohammad Fahmi Zakaria 18105030086

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS


USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2021/2022
BAB 1
Pendahuluan
Dalam mempertahankan kesejahteraan manusia diberi kebebasan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya selama tidak bertentangan dengan kepentingan orang lain. Peraturan syariat
Islam telah mengatur mengenai perbuatan yang diperbolehkan oleh Allah SWT, dan perbuatan
yang dilarangnya. Hal ini juga dalam bentuk bisnis para umat Islam dalam melaksanakan aktivitas
ekonominya, baik dalam bentuk bisnis perdagangan maupun dalam bentuk lainnya.

Menimbun dan memonopoli adalah tindakan menyimpan harta, manfaat atau jasa dan
enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain, sehingga mengakibatkan melonjaknya
harga pasar secara drastis karena disebabkan persediaan terbatas atau stok barang hilang sama
sekali dari pasar. Sedangkan masyarakat memerlukan produk, manfaat, atau jasa tersebut.

Syariat Islam menjadi landasan utama dalam menerapkan akhlaq sesuai akidah islam
karena apabila bermuamalah sesuai dengan prinsip akhlaq dan akidah islam maka tidak akan
menimbulkan suatu hal yang dilarang oleh Allah SWT. demikian juga sebaliknya jika dalam
bermuamalah tidak sesuai dengan prinsip akidah dan akhlaq islam maka akan menimbulkan
konflik diantara sesama. Sebab sistem ekonomi Islam mengandung nilai-nilai serta norma
illahiyah, yang secara keseluruhan mengatur kepentingan ekonomi individu dan masyarakat.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Hadist dan Terjemah Larangan Monopoli

ِ ‫إن م ْعمرا‬ ِ ِ
ٍ ‫فقيل لس‬
‫الذي َكا َن حيدث هذا احلديث كان حيتكر‬ َ َ َّ ‫قال َسعي ٌد‬
َ ‫فإنك حتتكر‬
َ ‫عيد‬ َ َ ‫ف ُه َو َخاط ٌئ‬ ْ ‫َم ِن‬
َ ‫احت َك َر‬

Artinya: “Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. Lalu Sa'id ditanya, "Kenapa
engkau lakukan ihtikar?" Sa'id menjawab, "Sesungguhnya Ma'mar yang meriwayatkan hadits ini
telah melakukan ihtikar!' (HR. Muslim 1605).

‫ ال تلقوا الركبان وال يبع‬: ‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬،‫عن طا وس عن ابن عباس رضىا هللا عنهما قال‬
‫ )وال يبع حا ضر لباد؟ قال ال يكون له مسسارا )متفق عليه واللفظ للبخارى‬: ‫ ماقوله‬: ‫ قلت البن عباس‬،‫حاضرلباد‬

Artinya: “Dari Thawus, dari Ibnu Abas r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
Janganlah kamu menjemput (mencegat) para pedagang yang membawa barang-barang dagangan
mereka sebelum diketahui harga pasaran, dan janganlah orang kota menjual barang buat orang
desa. Aku bertanya kepada Ibnu Abas: apa yang dimaksut dari sabda rasul bahwa orang kota tidak
boleh menjual dagangannya dengan orang desa itu ? jawab ibnu abas: maksudnya janganlah orang
kota menjadi makelar atau perantara (penghubung yang memuji-muji dagangannya bagi orang
desa.” (Hadits disepakati Imam Bukhari dan Muslim).

2. Mufrodat

‫ تلقوا‬: Menjegat, maksutnya pergi menjumpai kafilah sebelum mereka sampai dikota dan
sebelum mereka mengetahui harga pasar.
‫ الركبا‬: .Para padagang yang biasanya menunggang unta dan sering disebut kafilah
‫ سمسارا‬: makelar
‫ حا ضر‬: penduduk setempat
3. Ashbabul Wurud

Diantara kebiasaan masyarakat Arab adalah berdagang ke Negara tetangga. Dari Mekkah
mereka membawa barang-barang hasil produk Mekkah untuk dijual ke Negara lain kemudian
pulangnya mereka membawa barang-barang dari Negara lain yang sangat diperlukan oleh
penduduk Mekkah atau kota-kota lainnya di Arab untuk memperdagangkan barang-barang mereka
kepada penduduk Mekkah. Biasanya para pedagang tersebut berangkat bersama-sama dalam satu
rombongan besar yang disebut kafilah

Sebenarnya para kafilah tersebut sudah terbiasa behenti dipasar atau ditempat
berkumpulnya penduduk. Harga barang yang dibawa oleh rombongan dalam kafilah ini tentu saja
murah karena mereka merupakan pedagang pertama. Akan tetapi, penduduk seringkali tidak
mendapatkan barang secara langsung dari tangan kafilah karena barang-barang tersebut telah
dicegat lebih dulu oleh para tengkulak atau makelar. Mereka memanfaatkan kesempatan tersebut
untuk menapatkan keuntungan besar, dengan cara menjual barang yang mereka beli dengan harga
lebih tinggi kepada penduduk yang tidak dapat membeli langsung dari kafilah.

Dengan demikian, kafilah pun tidak dapat lagi datang kepasar atau ke tempat-tempat yang
biasa dipakai untuk berjual beli dengan penduduk desa karena barangnya habis atau penduduk
desa sudah membeli barang dari para tengkulak, dengan harga yang cukup tinggi. Keadaan tersebut
sangat memadaratkan, baik bagi para kafilah para penjual dipasar, maupun bagi para penduduk.
Oleh karena itu, perbuatan tersebut dilarang.

Pengertian ihtikar

Kata Ihtikar berasal dari fi’il madhi yang berbunyi hakira atau hakara. Ihtikar tersebut
merupakan bentuk mashdar. Kata hakara dimaknai dengan al-habs yaitu menahan. Sedangkan
hukrah sendiri dimaknai dengan menyimpan barang (makanan) dan menunggu barang tersebut
langka. Kata ihtikar menurut Ibn Manzhur adalah menahan barang atau makanan kemudian
menjualnya saat harga naik.1

1
Moch. Bukhori Muslim, “Ihtikar dan Dampaknya Terhadap Dunia Ekonomi”, Jurnal Al-Iqtishad, Vol. IV, No. 1,
Januari 2012.
Ihtikar secara terminology juga bermakna membeli barang dan menahannya, kemudian
menjual kembali dengan harga yang sangat mahal ketika barang tersebut langka. Ihtikar secara
bahasa yaitu menahan barang secara mutlak, yang artinya tidak ada batasan berupa makanan atau
sesuatu yang dapat dimakan. Sedangkan makna ihtikar secara syar’i adalah menunda pengedaran
barang ke pasar dengan tujuan mencari laba dengan menjual saat harga sedang naik tinggi.2

Adapun definisi ihtikar menurut para ulama, Diantaranya seperti imam Ghozali yang
mengatikannya sebagai pedagang yang menimbun makanannya dan menjualnya ketika harga
barang tersebut melambung tinggi. Kemudian menurut madzhab malikiyah, ihtikar adalah
penahanan barang yang dilakukan oleh penjual, baik berupa pakaian, makanan, maupun barang
yang lain dengan catatan merusak harga pasaran.

Sedangkan menurut imam Asy-Syaukani, ihtikar adalah menahan sesuatu atau barang dari
distribusi pasar.3 imam Malik dan imam Asy-Syaukani tidak menekankan ihtikar berupa makanan
saja, melainkan semua barang. Berbeda dengan imam Ghozali yang mengartikan ihtikar lebih
spesifik terhadap makanan.

Dapat disimpulkan bahwa ihtikar merupakan penyimpanan barang atau makanan yang dijual
kembali dengan harga yang sangat mahal ketika barang tersebut hampir punah atau langka dan
mampu merusak harga pasar.

Pendapat Ulama :

1. Haram

Haram secara mutlak (tidak dikhususkan bahan makanan saja), hal ini didasari oleh sabda Nabi
SAW: “Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. (HR. Muslim 1605) Menimbun yang
diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih bila memenuhi tiga kriteria:

2
Muh. Ruslan Abdullah dan Fasiha, “Analisis Hukum Ekonomi Islam Terhadap Praktik Ihtikar”, Al-Amwal : Jurnal of
Islamic Economic Law, Vol. 03, No. 02, September 2018.
3
Sumber : Mozaik Republika “Apa itu Ihtikar?“, (https://republika.co.id/berita/plibki313/apa-itu-ihtikar, diakses 27
Desember 2020, 09:44 WIB).
a. Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk masa satu
tahun penuh.Kita hanya boleh menyimpan barang untuk keperluan kurang dari satu tahun
sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.

b. Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan
kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya
dengan harga mahal.

c. Yang ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang dan
lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetatpi tidak
termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat. maka itu tidak
termasuk menimbun.

2. Makruh

Makruh secara mutlak, Dengan alasan bahwa larangan Nabi SAW berkaitan dengan ihtikar
adalah terbatas kepada hukum makruh saja, lantaran hanya sebagai peringatan bagi umatnya.
Haram apabila berupa bahan makanan saja, adapun selain bahan makanan, maka dibolehkan,
dengan alasan hadits riwayat Muslim di atas, dengan melanjutkan riwayat tersebut yang dhohirnya
membolehkan ihtikar selain bahan makanan, sebagaimana riwayat lengkapnya, ketika Nabi SAW
bersabda: “Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. Lalu Sa'id ditanya,"Kenapa
engkau lakukanihtikar?" Sa'id menjawab, "Sesungguhnya Ma'mar yang meriwayatkan hadits ini
telah melakukan ihtikar!” (HR. Muslim 1605) Imam Ibnu Abdil Bar mengatakan: "Kedua orang
ini (Said bin Musayyab dan Ma'mar (perowi hadits) hanya menyimpan minyak, karena keduanya
memahami bahwa yang dilarang adalah khusus bahan makanan ketika sangat dibutuhkan saja, dan
tidak mungkin bagi seorang sahabat mulia yang merowikan hadits dari Nabi SAW dan seorang
tabi'in [mulia] yang bernama Said bin Musayyab, setelah mereka meriwayatkan hadits larangan
ihtikar lalu mereka menyelisihinya (ini menunjukkan bahwa yang dilarang hanyalah bahan
makanan saja).

3. Haram Disebagian Tempat

Haram ihtikar disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah, sedangkan tempat-
tempat lainnya, maka dibolehkan ihtikar di dalamnya, hal ini lantaran Makkah dan Madinah adalah
dua kota yang terbatas lingkupnya, sehingga apabila ada yang melakukan ihtikar salah satu barang
kebutuhan manusia, maka perekonomian mereka akan terganggu dan mereka akan kesulitan
mendapatkan barang yang dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat lain yang luas, apabila ada yang
menimbun barang dagangannya, maka biasanya tidak mempengaruhi perekonomian manusia,
sehingga tidak dilarang ihtikar di dalamnya. Monopoli hukumnya haram berdasarkan dalildalil
sebagai berikut :

Dalil Pertama : Firman Allah subhanahu wa ta’ala : “Dan barang siapa yang bermaksud di
dalamnya ( Mekkah ) melakukan kejahatan secara alim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya
sebahagian siksa yang pedih.” ( Qs alHajj : 25 ) Berkata ath-Thobari di dalam tafsirnya (9/131 ) :
“ Yang dimaksud melakukan kejahatan di dalamnya adalah melakukan monopoli makanan di
Mekkah. “

Dalil Kedua : Hadist Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu 'anhu bahwasanya


Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tidak boleh memberikan madharat kepada diri
sendiri dan kepada orang lain, barang siapa yang memberikan madharat kepada orang lain, maka
Allah akan memberikan madharat kepadanya, dan barangsiapa yang memberikan beban kepada
orang lain, maka Allah akan memberikan beban kepadanya.“ ( HR. Daruquthni (3/ 77 ) Berkata
Ibnu Sholah : “ Hadist ini dinisbatkan kepada Daruquthni dari berbagai jalan yang kesemuanya
menguatkannya dan menjadikan hadist ini hasan. Mayoritas ulama menerimanya dan dijadikan
sebagai sandaran dalam hukum. “

Dalil Ketiga : Hadist Ma’mar bin Abdullah radhiyallahu 'anhu bahwa


Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa menimbun barang, maka ia
berdosa.” (HR Muslim (1605). Walaupun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang
monopoli yang dilarang dalam hadist di atas:

Dampak Ihtikar Terhadap Ekonomi Masyarakat

Dalam berkehiduan, manusia tentunya membutuhkan harta (uang) untuk mencukupi


kebutuhannya. Mereka bekerja keras, baik dengan cara yang dibenarkan oleh agama maupun
dilarang oleh agama. Hal tersebut bertujuan untuk menyambung hidupnya. Seperti halnya
pedangan/penjual.
Pada dasarnya, siapapun boleh mengatur distribusinya, apalagi penjualan tersebut merupakan
hak/milik pribadinya. Namun meraih keuntungan dengan cara yang dilarang oleh agama seperti
halnya ihtikar sudah tidak termasuk distribusi yang benar, melainkan tindakan penimbunan barang
yang ia lakukan. Hal ini berdampak pada kerusakan sistem perekonomian masyarakat.4

Bentuk ihtikar tidak dibenarkan oleh agama karena mengandung kecurangan dan ketidakadilan
dalam berdagang. Ihtikar sangatlah menguntungkan bagi sang penjual (minoritas), namun disisi
lain merugikan masyarakat yang mengkonsumsi (mayoritas). Disini terdapat ketidakadilan
ekonomi yang diterima oleh kaum mayoritas. Padahal dalam ajaran islam selalu menyamaratakan
antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum.

Selain itu, ihtikar juga mengakibatkan darurat dalam sistem perekonomian masyarakat. hal
tersebut terjadi karena pemberian harga oleh penjual sangat mahal sehingga mampu menciptakan
krisis yang sangat membahayakan bagi konsumen maupun masyarakat. Tidak hanya itu, ihtikar
juga mempersulit masyarakat untuk memperoleh makanan maupun kebutuhannya, serta merusak
sistem pamasaran. Karena barang yang dijual sangatlah terbatas, sedangkan masyarakat yang
membutuhkan sangatlah banyak sehingga tidak sebanding. Dengan ini, produsen akan
memberikan harga yang sangat mahal.5

Akibat dari praktik ihtikar tersebut, masyarakat sangat dirugikan oleh kubu minoritas atau
sekelompok kecil manusia yang mencari keuntungan dengan cara tidak sehat. Maka dari itu, ihtikar
dihukumi haram karena mempunyai dampak yang sangat fatal dalam perekonomian masyarakat.

Seperti yang telah dipaparkan di atas, islam mengenal monopoli dengan istilah lain yaitu
ihtikar yang berarti menimbun barang. Meski sama-sama pekerjaannya menimbun barang ada

4
Moch. Bukhori, “Ihtikar dan Dampaknya Tehadap Dunia Ekonomi”, Al-Iqtishad, Vol. IV, No. 1, Januari 2012. 5
Putri Nuraini, “Dampak Ekonomi dari Ihtikar dan Siyasah Al-Ighraq dalam Konsep Jual Beli”, Al-Hikmah : Jurnal
Agama dan Ilmu Pengetahuan , Vol. 16, No. 1, April 2019.
sedikit perbedaan antara muhtakir 5 dan jalib 6 yaitu ketika menjualnya. Muhtakir cenderung
diharamkan karena hal ini sangat merugikan bahkan membahayakan bagi mereka yang sangat
membutuhkan namun tak seimbang dengan keadaan ekonominya. Sedang jalib dalam islam hal
ini cenderung diperbolehkan karena dianggap tidak merugikan pembeli kelas menengah ke
bawah7.

Sehubungan dengan perbedaan tersebut, ulama’ mengkategorikan bentuk-bentuk ihtikar


yang diharamkan, sebagai berikut8 :

a. Barang-barang yang ditimbun hendaklah melalui proses pembelian sebelumnya dari


masyarakat. Adapun apabila barang dagangan itu semata-mata dari hasil pertanian 9
sendiri (seperti apa yang dilakukan Nabi Yusuf itu) tidaklah termasuk ihtikar yang
diharamkan.
b. Barang-barang itu berupa makanan pokok (qut)10.
c. Penimbunan barang dagangan itu hendaklah menyulitkan masyarakat. Di antara yang
mengindikasikan ha itu adalah apabila di dalam suatu kota terdapat muhtakir
(memonopoli penguasaan barang dagangan). Di samping itu juga, penimbunan dilakukan
pada masa krisis pangan yang sudah mulai terjadi. Apabila hal itu dilakukan jauh-jauh
dari sebelumnya seperti apa yang dilakukan Bulog (Badan Urusan logistik) di Indonesia,
tidak termasuk di dalam bentuk ihtikar yang diharamkan, karena itu bisa memberikan
manfaat di kala krisis terjadi11.

5
Orang yang menimbun barang dan menjualnya pada saat masa krisis dengan harga yang tidak wajar.
6
Orang yang menimbun barang sebagai cadangan makanan dan menjualnya pada masa krisis dengan harga yang
layak.
7
Afidah Wahyuni, “Penimbunan Barang Dalam Perspektif Hukum Islam” Jurnal Al-Iqtishadi, Vol. II, No. 2, Juli 2010,
hal. 168.
8
Sayid Sabiq, “Fiqh alSunnah”, 162. Lihat juga Yûsuf Qardlawi, Fatâwâ Mu’âshirah, hal. 441.
9
Sayid Sabiq, “Fiqh alSunnah”, hal 162
10
Ibn Qudâmah, “AlMughni”, hal. 244-245, Jumhur Ulama (selain Syafi’i dan Ahmad Ibn Hanbal) berpendapat bahwa
ihtikar tidak hanya terbatas pada qut saja melainkan juga termasuk semua kebutuhan masyarakat yang apabila dengan
adanya ihtikar itu harga menjadi tidak stabil di pasaran. Sebagian lagi hanya membatasi kepada makan dan pakaian.
Yusuf Qardlawi, h. 431-442. Lihat juga Al-Kahlani di dalam Subulus Salam, hlm 25-26.
Hikmah dari Larangan Melakukan Ihtikar

Imam Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan melakukan ihtikar adalah mencegah hal-
ha yang menyulitkan manusia secara umum, oleh karenanya para ulama’ sepakat apabila ada orang
yang memiliki makanan lebih, sedangkan manusia lain sedang dalm keadaan kelaparan dan tidak
ada makanan kecuali yang ada pada orang tadi, maka wajib bagi orang tersebut menjual atau
memberikan dengan cuma-Cuma makanannya kepada manusia supaya manusia tidak kesulitan.
Demikian juga apabila ada yang menimbun selain bahan makanan (seperti pakaian musim dingin
dan sebagianya) sehingga manusia kesulitan mendapatkannya, dan membahayakan mereka, maka
hal ini dilarang dalam Islam12.

12
K Muhbibah, “Bab II Ihtikar”, Jurnal etheses, hal.25
BAB III

PENUTUP

Hadis yang ada, yang bersifat umum maupun khusus, melarang penimbunan harta dengan
cara apapun. Jenis harta yang ditimbun tidak terbatas pada barang apapun, tidak terbatas pada
makananatau kebutukan pokok saja bila barang-barang itu telah menjadi kebutuhan manusia dan
bila penimbunnya menimbulkan kemedaratan bagi manusia, maka ia masuk katagori ihtikar
AlQuran yang memuat nilai-nilai universal maupun hadis yang menjelaskan tentan ihtikar masih
relevan untuk dikaji dan selalu actual untuk menjelaskan kondisi dan problema perekonomia umat
sepanjang masa. Hal itu sejalan dengan ajaran islam yang sesuai dengan kondisi zaman dan makan.
Islam selalu relevan dengan masa dan tempat kapanpun dan dimanapun.

Menimbun / memonopoli adalah tindakan menyimpan harta, manfaat atau jasa dan enggan
menjual dan memberikannya kepada orang lain, yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar
secara drastis disebabkan persediaan terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar,
sedangkan masyarakat memerlukan manfaat dari produk tersebut.
Secara esensi definisi di atas sama, dan dapat difahami bahwa iktikar yaitu:
a. Membeli barang ketika harga mahal.
b. Menyimpan barang tersebut sehingga kurang persediaannya di pasar.
c. Kurangnya persediaan barang membuat permintaan naik dan harga juga naik.
d. Penimbun menjual barang yang di tahannya ketika harga telah melonjak.
e. Penimbunan barang menyebabkan rusaknya mekanisme pasar.
DAFTAR PUSTAKA

o Moch. Bukhori Muslim, “Ihtikar dan Dampaknya Terhadap Dunia Ekonomi”, Jurnal
AlIqtishad, Vol. IV, No. 1, Januari 2012.
o Muh. Ruslan Abdullah dan Fasiha, “Analisis Hukum Ekonomi Islam Terhadap Praktik
Ihtikar”, Al-Amwal : Jurnal of Islamic Economic Law, Vol. 03, No. 02, September 2018.
o Sumber : Mozaik Republika “Apa itu Ihtikar?“,
(https://republika.co.id/berita/plibki313/apa-itu-ihtikar, diakses 27 Desember 2020, 09:44
WIB).
o Moch. Bukhori, “Ihtikar dan Dampaknya Tehadap Dunia Ekonomi”, Al-Iqtishad, Vol. IV,
No. 1, Januari 2012.
o Putri Nuraini, “Dampak Ekonomi dari Ihtikar dan Siyasah Al-Ighraq dalam Konsep Jual
Beli”, Al-Hikmah : Jurnal Agama dan Ilmu Pengetahuan , Vol. 16, No. 1, April 2019.
o Orang yang menimbun barang dan menjualnya pada saat masa krisis dengan harga yang
tidak wajar.
o Orang yang menimbun barang sebagai cadangan makanan dan menjualnya pada masa
krisis dengan harga yang layak.
o Afidah Wahyuni, “Penimbunan Barang Dalam Perspektif Hukum Islam” Jurnal Al-
Iqtishadi, Vol. II, No. 2, Juli 2010, hal. 168. o Sayid Sabiq, “Fiqh alSunnah”, 162. Lihat
juga Yûsuf Qardlawi, Fatâwâ Mu’âshirah, hal. 441.
o Sayid Sabiq, “Fiqh alSunnah”, hal 162 o Ibn Qudâmah, “AlMughni”, hal. 244-245, Jumhur
Ulama (selain Syafi’i dan Ahmad Ibn Hanbal) berpendapat bahwa ihtikar tidak hanya
terbatas pada qut saja melainkan juga termasuk semua kebutuhan masyarakat yang apabila
dengan adanya ihtikar itu harga menjadi tidak stabil di pasaran. Sebagian lagi hanya
membatasi kepada makan dan pakaian. Yusuf Qardlawi, h. 431-442. Lihat juga Al-Kahlani
di dalam Subulus Salam, hlm 25-26. o Ibn Qudâmah, “AlMughni”, hal. 244-245

Anda mungkin juga menyukai