Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di tengah krisis ekonomi yang berkepanjangan yang menimpa negara Indonesia,


khususnya umat Islam, banyak sekali orang-orang yang ingin memperoleh keuntungan
dengan jalan yang tidak halal, yaitu tidak sesuai dengan peraturan-peraturan dalam Islam.
Misalnya saja, masalah penimbunan barang pokok telah banyak sekali terjadi karena ingin
mempeoleh keutnngan yang lebih untuk pribadinya sendiri, sedangkan orang-orang yang
berada di kalangan bawah menjadi rugi karenanya.

Oleh karena itu, banyak sekali penguasa yang mengeruk keutnungannya dengan cara
ihtikar (penimbunan) khususnya makanan pokok, jenis sekali ini sangat menguntungkan
mereka karena dengan menimbun barang poko tersebut. Mereka memaksa masyarakat untuk
membeli dengan harga 2 kali lipat, karena barang yang ada di pasaran sudah habis dan para
konsumen mau tidak mau harus membelinya dari mereka. Oleh karenanya, ihtikar sangat
dilarang oleh agama Islam karena sangat merugikan orang-orang kecil dan hukumnya
berdosa.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Yang Dimaksud Dengan Tengkulak?


2. Bagaimanakah Hukum Tengkulak Dalam Islam?
3. Bagaimanakah Hukum Menimbun Barang Pokok Dalam Islam?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Tengkulak


2. Untuk mengetahui hukum tengkulak dalam islam
3. Untuk mengetahui hukum menimbun barang pokok dalam islam

1
BAB II

LARANGAN MENIMBUN DAN MEMONOPOLI

A. Pengertian Tengkulak

Tengkulak menurut bahasa adalah mencegat atau menjumpai kafilah-kafilah


sedangkan tengkulak menurut istilah adalah menjumpai atau mencegat kafilah sebelum
mereka sampai dikota dan sebelum mereka mengetahui harga pasar. Tengkulak berarti
pedagang perantara (yang membeli hasil bumi dan sebagainya dari petani atau pemilik
pertama) peraih: harga beli para tengkulak umumnya lebih rendah dari pada harga pasar1.

1. Hadis larangan Tengkulak

ُّ ‫الَ تَلَقُّو ا‬: ‫ قَ َل رسول هللا صلّى هللا عليه وسلم‬:َ‫طا ُو ٍس َع ِن اب ِْن َعبَّا ٍس قَل‬
َ ‫الر َّكا‬
ِ ‫ب َوالَ َي ِب ْع َحا‬
‫ض ُر‬ َ ‫َع ْن‬

)‫(متفق عليه والفظ للبخارى‬.‫ارا‬


ً ‫س‬َ ‫ الَيَ ُكنُ لَهُ ِس ْم‬:َ‫قَل‬,ٍ‫ضر ِلبَاد‬ ٍ ‫ قُ ْلتُ ِالب ِْن َعب‬,ٍ‫ِلبَاد‬
ِ ‫ َوالَ يَبِ ْع َحا‬:ُ‫ َماقُ ْولُه‬:‫َّاس‬

Terjemahan hadis :

Dari Thawus dari Ibnu Abbas ia berkata, “Telah bersabda Rasulullah saw, janganlah kamu
mencengat kafilah-kafilah dan janganlah orang kota menjualkan buat orang desa. “Saya
bertanya kepada Ibnu Abbas,” Apa arti sabdaya,” Jangalah kamu mencengat kafilah-kafilah
dan jangalah orang kota jualkan buat orang desa.” Ia menjawab,” Artinya jangalah ia
menjadi perantara baginya.”

Hadis ini mengandung larangan mencegah para pedagang dari dusun ke kota untuk
menjual barang dagangannya. Biarkanlah mereka menjual hasil pertanian mereka dengan
harga pasar agar mereka tidak rugi dan tertipu dari pada pencegat tersebut.

1
A. Hasan, Terjemah Bulughul Mahram, (Bandung: CV Diponogoro, 1972), h.398.

2
Berdasarkan tunjukan hadis ini, kita dapat menangkap ada larangan yang
dikemukakan oleh Rasulullah saw, yaitu larangan mencegat kafilah dagang agar mereka mau

menjual barang dagangannya dengan harga di harga pasar. Kedua, larangan menjadi
pelantara atau agen yaitu mengambil keuntungan dari kedudukannya tersebut2.

Perantara merupakan penafsiran Ibnu Abbas dari kata Khadirulibad, yakni penduduk
kota menjadi perantara bagi penduduk desa. Dengan kata lain, menjual barang dengan
mengambil keuntungan atau bayaran. Jika perantara tidak mengambil keuntungan ataupun
bayaran, hal itu dibolehkan secara mutlak, bahkan orang tersebut dianggap telah melakukan
kebaikan bagi para penduduk.

Dengan demikian, tujuan para tengkulak dari kota menjadi perantara tidak lain untuk
mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Mereka membodohi penduduk desa dengan
penduduk desa sebenarnya dapat langsung pergi ke kota untuk membeli barang tersebut,
tidak melalui perantara.akan tetapi akan kebodohan mereka karena atau sebab-sebab lain
mereka tidak dapat pergi ke kota. Keadaan tersebut dimanfaatkan oleh para perantara
sehingga penduduk desa membeli barang dengan harga sangat tinggi. Mereka membeli
barang tersebut, karena sangat membutuhkan dan kebodohan mereka terhadap harga
sebenarnya.

Berbeda hukumnya betul-betul berusaha menolong penduduk yang tidak dapat


membeli langsung dari pasar atau dari pada kafilah, sebagaimana yang telah disebutkan di
atas, barang-barang tersebut tidak akan sampai kependuduk jika tidak melalui pelantara atau
tengkulak. Pelantara seperti itu diperbolehkan bahkan dia telah menjadi penolong bagi orang-
orang yang mampu ke kota untuk pergi membeli barang. Akan tetapi harganya jangan sampai
mencekik penduduk lebih baik jika tidak mengambil keuntungan ia hanya mengambil
keuntungan sedikit atau hanya sekedarnya saja, perantara seperti dikategorikan sebagai
pedagang yang dibolehkan dalam Islam bahkan kalau jujur dan bersih, mereka telah
melakukan pekerjaan paling baik. Dengan demikian yang menjadi landasan tentang larangan

2
Abdul Hamid Ritonga, Op.,Cit, h. 151.

3
untuk menjadi pelantara adalah adanya kemudhratan bagi penduduk, sedangkan jika
menimbulkan kemaslatan bagi penduduk itu diperbolehkan bahkan diajurkan.3

Pendapat para ulama tentang tengkulak :

1. Menurut Imam Hanafi menetapkan hukum larangan mencegat pedagang berdasarkan


‘illat adanya kerugian atau unsur (gharar) bagi para kafilah atau masyarakat umum4.
2. Menurut Ahmad dan Ishaq, melarang mencegat para kafilah di luar pasar secara mutlak
dengan mengamalkan zahir hadits5.

Tengkulak (makelar) adalah seseorang yang menjadi jasa untuk menjual barang-
barang yang akan dijual kepada yang lain. Diantara kebiasaan orang arab adalah bedagang
kenegara-kenegara tetangga. Dari Mekkah mereka membawa barang-barang hasil pekerjaan
penduduk Mekkah kenegara lain atau juga sebaliknya dari negara lain membawa
dagangannya ke Mekkah atau kota-kota lainnya di arab. Dan biasannya mereka berombongan
membentuk sebuah kelompok yang disebut kafilah.

Para kafilah tersebut sudah biasa menjual barang dagangannya di daerah-daerah yang
mereka kunjungi. Akan tetapi banyak juga para penduduk yang tidak mendapatkan barang
yang mereka inginkan, dikarenakan barang-barang tersebut sudah dicegat dan diborong
terlebih dahulu oleh para tengkulak atau makelar. Mereka memanfaatkan kesempatan
tersebut untuk memperoleh keuntungan yang besar dan akan menjual kembali dengan harga
yang lebih mahal dari pada yang aslinya.6

B. Larangan Menimbun Barang Pokok

‫سلَّ َم قَال َم ِن احْ تَك ََر فَ ُه َو َخاِطئ‬ َّ ‫صلَّى‬


َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫َّللاِ َع ْن َر‬
َّ ‫سو ِل‬
َ ِ‫َّللا‬ َّ ‫ب َع ْن َم ْع َم ِر ب ِْن َع ْب ِد‬ َ ‫س ِعي ِد ب ِْن ْال ُم‬
ِ َّ‫سي‬ َ ‫َع ْن‬

Terjemahan hadis:

Dari Sa’id bin Musayyab ia meriwayatkan: bahwa Ma’mar, ia berkata,”Rasulullah Saw


bersabda,:”Barang siapa menimbun barang, maka ia berdosa”. (HR. Muslim)

3
Rachmat Syafi’i,Op.,Cit, h. 173.
4
Abdul Hamid Ritonga,Op.,Cit,h. 151.
5
Rachmat Syafi’i, Op.,Cit, h. 170.
6
Rachamat Syafi’i, Op.,Cit, h.169

4
Di dalam bahasa arab, menimbun barang tersebut dikenal dengan istilah ihtikar.
Ihtikar adalah menimbun barang dengan tujuan agar dapat dijual dengan harga mahal.
Wahbah az Zuhaili mengutip pendapat mazhab Hanafi menjelaskan bahwa menimbun barang
menurut etimologi adalah: lama hanafiah mendefinisikan dengan ungkapan mereka
“Menimbun barang merupakan mashdar dari kata haraka yakni, yang menahan suatu jenis
barang menunggu agar mahal harganya, sedangkan secara terminologi menimbun barang
berarti : dimaksud dengan menimbun barang menurut syara’ adalah menjualnya.

Ibnu Hajar mendefinisikan ikhtikar sebagai berikut :

Ikhtikar syar’I adalah menahan munjual bahan makanan dan menunggu menjualnya
agar harga naik dan mendistribusikannya ketika manusia memerlukan dan membutuhkannya.

Berdasarkan nukilan diatas dapat dipahami bahwa menimbun barang adalah menahan
barang degangan atau menyimpannya agar harga jual barang tersebut menjadi mahal, setelah
selang waktu beberapa lama, yakni sewaktu harganya mahal, maka barulah yang mempunyai
barang tersebut mengeluarkannya untuk dipasarkan.

Menimbun artinya membeli barang dalam jumlah banyak kemudian menyimpannya


dengan maksud untuk menjualnya dengan harga tinggi kepada penduduk ketika mereka
sangat membutuhkannya7.

Dalam beberapa riwayat tidak dijelaskan secara pasti barang apa yang dilarang untuk
ditimbun. Dengan ini dikalangan ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini. Sebagian
berpendapat bahwa barang apa saja yang dapat memberi mudharat orang lain itu haram.
Salah satunya adalah Abu Yusuf mengatakan bahwa barang apa saja yang ditimbun jika
menyatakan barang tersebut itu menyebabkan banyak mudharat dari Hanabilah, Ibn Abidin
Syaukani, dan sebagian ulama Malikiyah. Adapun menurut ulama Syafi’iyyah dan
Hanabilah, barang yang dilarang untuk ditimbun adalah barang kebutuhan primer, sedangkan
barang kebutuhan sekunder tidaklah diharamkan. Ulama lainnya berpendapat bahwa
penimbunan yang dilarang adalah barang-barang yang biasa diperdagangkan karena akan

7
Ibid., h. 174.

5
menimbulkan ketidak stabilan harga. Para ahli fiqh, sebagaimana dikutip oleh Drs. Sudirman
M., MA, berpendapat bahwa penimbunan diharamkan bila terdapat syarat sebagai berikut :

1. Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya atau dapat dijadikan persediaan untuk
setahun penuh.
2. Barang yang ditimbunnya dalam usaha menunggu saat naiknya harga, sehingga barang
tersebut dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi dan para konsumen sangat
membutuhkannya.
3. Penimbunan itu dilakukan pada saat manusia sangat membutuhkannya, misalnya
makanan, pakaian, dan lain-lain. Dengan demikian penimbunan barang-barang yang
tidak dibutuhkan oleh konsultan, hal itu tidak dianggap sebagai penimbunan karena tidak
mengakibatkan kesulitan pada manusia.

Sedangkan mengenai hukum dari penimbunan barang tersebut, di kalangan ulama


terjadi perbedaan pendapat. Akan tetapi, secara umum pendapat mereka dapat digolongkan
menjadi dua kelompok :

1. Menurut mazhab jumhur dari kalangan Syafi’iyyah, Malikiyah, Hanabilah, Zahiriyah,


Zaid’ryah, Ibadiyah, Al-Imamiyah, dan Al-Kasani dari golongan Hanafiyah, bahwa
penimbunan barang hukumnya haram. Dengan pertimbangan bahwa perbuatan tersebut
akan menimbulkan kerugian bagi manusia.
2. Menurut pendapat fuquha dari kalangan mazhab Hanafiyag, bahwa penimbunan barang
dagangan hukumnya adalah makruh tohrim.

Dengan pertimbangan bahwa penimbunan tersebut diperbolehkan demi kemaslatan


manusia Pendapat ulama Hanafiyah tidak menimbulkan sanksi hukum karena hanya makruh
tahrun saja padahal penimbun barang demi keuntungan pribadi sangatlah tercelah karena ia
berusaha mengeruk keuntungan ketika orang lain sangat kesusahan atau menari di atas
penderitaan orang lain. Tindakan itu tentu saja tidak bermoral dan tidak mengindakan
prinsip-prinsip kemanusiaan. Oleh karena itu, sangat tepat kalau perbuatan itu diharamkan
oleh syara. Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Titinnidzi dan sahih
Muslim dari Ma’mar r.a bahwa Rasulullah saw bersabda, artinya: “Siapa saja yang
melahirkan penimbunan, ia dipandang (dianggap) bersalah.”

Tidak heran kalau para penimbun dianggap sebagai sejelek-jeleknya hamba yang
secara tidak langsung telah merampas hak dan krhidupan orang lain demi kepentingan dirinya

6
sendiri. Rasulullah saw bersabda : Sejelek-jeleknya hamba adalah si penimbun, jika ia
mendengar barang murah ia murka dan jika barang menjadi mahal ia gembira.

Bahkan, mereka yang menimbun barang selama empat puluh hari, dianggap telah
terlepas dari Allah swt, sebagaimana sabda Rasulullah saw artinya : Siapa yang menimbun
barang pangan selama empat puluh hri ia sunggu telah terlepas dari Allah dan Allah lepas
darinya.

Berkenaan dengan masalah penimbunan barang Dr. Yusuf Qanihawy menyebutkan


syarat-syarat pedagang yang akan mendapat rida Allah swt, yaitu antara lain :

1. Pedagang hanya menjual barang-barang yang mubah, tidak memperdagangkan barang


yang diharamkan syara.
2. Pedagang tidak menipu dan berkhianat, sebagaimana sabda Rasulullah saw dari Abu
Hurairah, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas’ud: artinya:”Barang siapa menipu (mengecoh)
bukan dari golongan kami.” (H.R Muslim dan lain-lain).
3. Pedagang tidak menimbun barang dagangan pada saat masyarakat sedang membutuhkan
dengan tujuan memperoleh laba sebanyak-banyaknya karena menimbun dengan tujuan
seperti itu hukumnya haram. Artinya: “Tidak akan menimbun, kecuali orang yang
berbuat dosa.” (H.R Muslim Dan Abu Dawud)
4. Pedagang tidak boleh bersumpah palsu, bahkan sedapat mungkin harus menjauhi sumpah
walaupun ia benar. Hal ini karena sumpah akan menenggelamkan pelakunya ke dalam
dosa di dunia dan neraka kelak di akhirat.
5. Pedagang tidak boleh meninggikan harga kepada kaum muslimin. Apalagi kalau harga
tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah.
6. Pedagang tidak boleh disibukkan oleh perdagangannya sehingga lalai atas kewajibannya
agamanya.

Didalam hadis diatas ditemukan bahwa Rasulullah saw melarang para pelaku
ekonomi menimbun makanan pokok didalam gudang-gudang simpanannya agar mendapat
keuntungan dari kelangkaan bahan pokok tersebut, diantara kecurangan ekonomi yang
diharamkan adalah menimbun barang yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat dengan
tujuan untuk mendapat laba yang besar dari perilaku tersebut. Sebab dengan menimbun itu
maka harga makanan pokok tersebut jadi melambung. Ketika harga menjadi tinggi barulah

7
pedagang itu menjualnya dengan keuntungan yang berlipat ganda. Praktik menurut hadis
Nabi saw adalah sesuatu yang diharamkan8.

8
Abdul Hamid Ritonga, Op.,Cit, h. 153.

8
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
1. Tengkulak berarti pedagang perantara (yang membeli hasil bumi dan sebagainya dari
petani atau pemilik pertama) peraih harga beli para tengkulak umumnya lebih rendah
daripada harga pasar.
2. Sumber hukum larangan terhadap tegkulak terdapat pada al-qur’an surah an-nisa ayat 29-
30 dan hadis yang Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas r.ayang merupakan anak
paman Rasullah Saw, dia berkata: Rasulullah Saw melarang penghadangan barang-
barang perdagangan (untuk dimonopoli) sebelum tiba dipasar, juga melarang orang kota
memonopoli perdagangan terhadap orang desa. Kata thawus: aku menanyakan kepada
Ibnu Abbas, ‘apa maksud sabda Rasulullah Saw,’orang kota terhadap orang desa? Ibnu
Abbas menjawab, ‘maksudnya dilarang menjadi tengkulak yang memonopoli.hadis ini
mengandung dua arti yaitu dilarang mencegat para kafilh dan tempat yang dilarang
mencegat barang adalah diluar tempat menjual barang.
3. Larangan terhadap ihtikar ini terdapat dalam Al-Qu’an surah Qs. Al-Hasyr ayat 7, QS
Al-Maidah ayat 2, QS Al-Hajj ayat 78, QS Al-Maidah ayat 6 dan hadis yang
diriwayatkan oleh Sa’id bin Musayyab yang merupakan seorang imam besar, ulama kota
Madinah, penghulu para tabi'in. Dia berkata bahwa Ma’mar, ia berkata,”Rasulullah Saw
bersabda,:”Barang siapa menimbun barang, maka ia berdosa”
Menimbun yang diharamkan oleh Islam ialah, menumpuk kebutuhan-kebutuhan pokok
manusia, dan tidak menjualnya sambil menunggu sampai harga barang di pasaran
menjadi naik.

B. Saran
Dalam mempelajari Hadis ini, diharapkan agar pembaca mengetahui bahwa
Tengkulak dan Menimbun barang pokok itu dilarang dalam Islam, dan tidak boleh dilakukan.

9
DAFTAR PUSTAKA

Hasan, A. 1972. Terjemahan Bulughul Mahram. Bandung. CV Diponogoro.

Syafi’i, Rachmat. 2000. Al-Hadis. Bandung. Pustaka Setia.

Syafi’i, Rachmat. 2003. Al-Hadis, Akhlak, Sosial dan Hukum. Bandung. Pustaka Setia.

Ritonga, Abdul Hamid. 2010. Hadist Seputar Islam dan Tata Kehidupan. Bandung. Citapustaka.

10

Anda mungkin juga menyukai