Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH MAKELAR PERSPEKTIF AL-QUR’AN

Disusun oleh:

1. Shaleh Nuryanto (185221225)


2. Anita Nur Safitri (185221244)
3. Vina Anggun Prastika (185221249)
4. Attarik yusufArdyantama (185221254)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2019
BAB I

Pendahuluan

A. Latar belakang masalah


Salah satu Negara dengan penduduk terbanyak di dunia adalah Negara Indonesia.
Keadaan ini menjadikan Indonesia sebagai Negara yang dipandang sangat potensial dalam
pengembangan dan pertumbuhan ekonomi. Sejatinya dalam bisnis identik dengan jual beli
atau sewa-menyewa tidak semua orang mampu melakukan hal tersebut, sehingga tidak
menutup kemungkinanbagi seseorang untuk memerlukan jasa orang lain dalam melakukan
penjualan yang kita miliki hal demikian disebut dengan perantara. Perantara ialah seorang
yang memasarkan barang orang lain dengan dasar upah yang akan diberikan. Seorang
perantara dalam jual beli biasanya disebut makelar, broker, agen, marketing/pemasaran atau
dalam islam disebut dengan samsarah.

Perantara (makelar) adalah perantara perdagangan antara penjual dan pembeli atau
orang yang menjualkan atau mencarikan pembeli. Dapat juga diartikan sebagai badan hukum
yang menjual belikan sekuritas ataupun barang milik orang lain dengan dasar komisi (upah).
Perantara memiliki hubungan yang tidak tetap dengan pengusaha. Fenomena tentang
perantara dalam islam sebetulnya ada yang memperbolehkan dan ada pula yang melarangnya,
salah satu yang membolehkan akad keperantaraan ini adalah Ibnu Abbas r.a .

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dengan makelar ?
2. Apa peranan makelar dalam bisnis ?
3. Bagaimana pandangan terhadap makelar ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi dari makelar perspektif Al-Qur’an.
2. Untuk mengetahui peranan makelar dalam bisnis.
3. Agar kita mengetahui pandangan Al-Qur’an terhadap makelar.
BAB II

Penjelasan

A. Pengertian Makelar

Makelar dalam kamus besar bahasa indonesia adalah perantara dalam bidang jual beli.
Makelar berasal dari bahasa Arab, yaitu samsah yang berarti perantara perdagangan (orang yang
menjual barang atau mencari pembeli), atau perantara antara penjual dan pembeli untuk
memudahkan jual beli. Makelar juga merupakan pedagang peranan yang berfungsi menjual barang
orang lain dengan mengambil upah atau mencari keuntungan sendiri tanpa mengandung resiko.
Dengan kata lain, makelar adalah penengah antar penjual dan pembeli untuk memudahkan
terlaksananya proses jual beli.

Kata samsarah terdapat dalam hadits, yaitu penafsiran Ibn Abbas terhadap kata ‫لِبَا ٍد‬ ‫اض ٌر‬
ِ ‫َح‬

‫سلَّ َم َأنْ يُتَلَقَّى‬َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬


َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬
ُ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْن ُه َما نَ َهى َر‬
ِ ‫س َر‬ ٍ ‫عنْ ا ْب ِن َعبَّا‬
‫ض ٌر لِبَا ٍد قَا َل اَل‬ِ ‫س َما قَ ْولُهُ اَل يَبِي ُع َحا‬ ٍ ‫اض ٌر لِبَا ٍد قُ ْلتُ يَا ا ْب َن َعبَّا‬ِ ‫الر ْكبَانُ َواَل يَبِي َع َح‬
ُّ
‫سا ًرا‬ ِ ُ‫يَ ُكونُ لَه‬
َ ‫س ْم‬
dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang
menyongsong (mencegat) kafilah dagang (sebelum mereka tahu harga di pasar) dan
melarang pula orang kota menjual kepada orang desa. Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbas
radliallahu ‘anhuma: “Apa arti sabda Beliau ” dan janganlah orang kota menjual kepada
orang desa “. Dia menjawab: “Janganlah seseorang jadi perantara bagi orang kota (HR.
Al-Bukhari)

Samsarah adalah Bahasa Farsi yang diarabkan yang bermakna perantara antara
penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi jual beli. Secara umum dalam Istilah fikih
adalah pekerjaan perantara/makelar antara orang-orang  untuk transaksi komersil seperti  jual
beli, ijarah (sewa menyewa), dan lain-lain. Simsar adalah pekerja yang memperoleh upah
sesuai dengan usahanya karena mempromosikan/mengedarkan komoditas atau sewa
bangunan dengan  tidak melipat gandakan harga. Upah yang diperolehnya dari segi ju’alah
yang tidak akan didapatkan kecuali apabila pekerjaannya sudah selesai.  Dulu makelar
dikenal dengan   ‫المنادين‬  (penyeru),  ‫ الداللين‬ (perantara/penunjuk), ‫( الطوافين‬yang berkeliling),
dan ‫( الص[[اخة‬yang berteriak ). Hal itu dikarenakan mereka menyeru dan berteriak  untuk
memberitahukan sebuah komoditas dan dengan harga yang berbeda sebagai pengganti (upah)
untuk penjualannya.  Dan mereka kadang-kadang berkeliling kepada pembeli untuk
membujuk mereka membeli dagangan.

ُ‫سلَّ َم َونَ ْحن‬


َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬ ُ ‫س ْب ِن َأبِي َغ َر َزةَ قَا َل َخ َر َج َعلَ ْينَا َر‬ ِ ‫عَنْ قَ ْي‬
‫ان ا ْلبَ ْي َع فَشُوبُوا‬
ِ ‫ض َر‬ ُ ‫ان َواِإْل ْث َم يَ ْح‬
َ َ‫ش ْيط‬ َّ ‫س َرةَ فَقَا َل يَا َم ْعش ََر التُّ َّجا ِر ِإنَّ ال‬ ِ ‫س َما‬ َّ ‫س َّمى ال‬ َ ُ‫ن‬
‫ص َدقَ ِة‬
َّ ‫بَ ْي َع ُك ْم بِال‬
dari Qais bin Abu Gharazah ia mengatakan; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang
kepada kami dan kami dinamakan para makelar, lalu beliau bersabda: “Wahai para
pedagang, Sesungguhnya setan dan dosa itu datang ketika transaksi jual beli, maka
gabungkanlah jual beli kalian dengan sedekah.” (HR. Tirmidzi, Nasai dan Ahmad)

Samsarah menurut bahasa adalah perantara antara penjual dan pemebeli. Sedangkan simsar
yang masuk antara penjual dan pembeli sebagai perantara untuk melaksanankan transaski.
Dinamakan juga  ‫ال َّدالَّل‬karena ia yang menunjukkan kepada pembeli komoditas dan memandu
penjual kepada harga.

B. Hukum Makelar Menurut para ahli Fikih

Para ahli fikih berbeda pendapat tentang hukum makelar apakah boleh atau tidak. Berikut
adalah perbedaan hukum mengenai makelar:

1. Mazhab Hanafi

Menurut Mazhab Hanafi makelar tidak boleh karena itu adalah gharar, akan tetapi
diriwayatkan dari Ibn ‘Abidin dalam al-Hasyiyah bahwa Muhammad bin Salamah ditanya
tentang upah makelar, maka ia menjawab tidak apa-apa (tidak jelek), karena banyaknya orang
yang bertransaksi dengan makelar walaupun asalnya fasid. Ia berkata kebanyakan transaksi
ini tidak boleh, mereka membolehkannya karena banyak orang yang melakukannya.

2. Mazhab Maliki

Mazhab maliki membolehkan dengan dua syarat tidak menentukan waktu, harganya
diketahui dan tidak boleh menerima upah  kecuali sesudah beres pekerjaan. Kalau
disyaratkan kontan akadnya fasid. Dan boleh ia mengakadkan bagi pegawai sesuatu yang
tidak ditentukan seperti ia mengatakan barangsiapa yang menemukan barang yang hilang
maka baginya sekian.

3. Mazhab Syafi’i

Menurut Mazhab Syafi’i boleh melakaukan akad jua’lah yaitu, menyerahkan ju’alah (upah)
bagi orang yang menemukan barang hilang. Dan boleh juga untuk pekerjaan yang tidak
ditentukan, karena kebutuhan.Tidak ada hak upah bagi seorang pekerja kecuali dengan izin
pemilik modal dan tidak ada hak jualah (upah) bagi pekerja kecuali kalau sudah mengerjakan
upah.Dan itu termasuk akad yang diperbolehkan, bagi keduanya boleh membatalkan kontrak
sebelum terjadi pekerjaan dan jika sudah diselesaikan maka bagi pemilik modal/harta tidak
boleh membatalkannya, jika membatalkannya mesti baginya untuk menyerahkan upah
sepadan.

4. Mazhab Hanbali

Makelar menurut Mazhab Hanbali adalah boleh pada pekerjaan yang mubah walaupun tidak
diketahui, karena dibutuhkan seperti mengembalikan binatang/barang  yang hilang dan lain-
lain. Ia berhak mendapatkan upah setelah selesai pekerjaan dengan syarat mendapat izin dari
pemilik harta, jika tidak ada maka tidak ada apa-apa baginya.

c. Hukum makelar menurut Islam


Pekerjaan makelar menurut pandangan islam adalah termasuk akad ijarah, yaitu suatu
perjanjian memanfaatkan suatu barang atau jasa, misalnya rumah atau suatu pekerjaan seperti
pelayan, jasa pengacara, konsultan, dan sebagainya dengan imbalan. Karena pekerjaan makelar
termasuk ijarah, maka untuk sahnya pekerjaan makelar ini, harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
Persetujuan kedua belah pihak, sebagaimana dijelaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 29 Allah Swt
berfirman Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-
suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu” (QS. An Nisa’ : 29).

Makelar harus bersikap jujur, ikhlas, terbuka, tidak melakukan penipuan dan bisnis yang
haram maupun yang syubhat. Imbalan berhak diterima oleh seorang makelar setelah ia memenuh
akadnya, sedang pihak yang menggunakan jasa makelar harus memberikan imbalannya, karena upah
atau imbalan pekerja dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja yang bersangkutan.

Jumlah imbalan yang harus diberikan kepada makelar adalah menurut perjanjian
sebagaimana Al Qur’an surat Al Maidah ayat 1 Allah Swt berfirman : Artinya : “Hai orang-orang yang
beriman, penuhilah aqad-aqad itu.”(Qs. Al-Maidah :1)

Adapun sebab-sebab pemakelaran yang tidak diperbolehkan oleh islam yaitu:

1. Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap


pembeli
2. Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap
penjual.

Adapun hukum makelar atau perantara ini menurut pandangan ahli hukum islam tidak
bertentangan dengan syari’at hukum islam. Imam Al Bukhori mengemukakan bahwa : Ibnu Sirin,
Atha’, Ibrahim, dan Al Hasan memandang bahwa masalah makelar atau perantara ini tidak apa-apa.
Menurut pendapat Ibnu Abbas : bahwa tidak mengapa, seseorang berkata “juallah ini bagiku
seharga sekian, kelebihannya untukmu”. Sejalan dengan pandangan para fuqaha’ tersebut,apabila
kita kembali pada aturan pokok, maka pekerjaan makelar itu tidak terlarang atau mubah karena
tidak ada nash yang melarangnya.

Jual Beli Kredit dalam bahasa Arabnya disebut Bai’ bit Taqsith yang pengertiannya menurut
istilah syari’ah, ialah menjual sesuatu dengan pembayaran yang diangsur dengan cicilan tertentu,
pada waktu tertentu, dan lebih mahal daripada pembayaran kontan/tunai.

secara kredit lebih tinggi daripada ketentuan harga kontan. Penjual boleh saja mengambil
keuntungan dari penjualan secara kredit dengan ketentuan dan perhitungan yang jelas.
Dalil syari’ah dalam membolehkan akad jual-beli kredit (bai’ bit taqsith) diambil dari dalil-dalil al-
Qur’an yang menghalalkan praktik bai’ (jual-beli) secara umum, diantaranya firman Allah: “Allah
menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” (al-Baqarah:275) “Hai orang-orang yang beriman,
Adapun sebab-sebab pemakelaran yang tidak diperbolehkan oleh islam yaitu:

1. Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman


terhadap pembeli
2. Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman
terhadap penjual.
Adapun hukum makelar atau perantara ini menurut pandangan ahli hukum islam tidak
bertentangan dengan syari’at hukum islam. Imam Al Bukhori mengemukakan bahwa : Ibnu Sirin,
Atha’, Ibrahim, dan Al Hasan memandang bahwa masalah makelar atau perantara ini tidak apa-apa.
Menurut pendapat Ibnu Abbas : bahwa tidak mengapa, seseorang berkata “juallah ini bagiku
seharga sekian, kelebihannya untukmu”. Sejalan dengan pandangan para fuqaha’ tersebut,apabila
kita kembali pada aturan pokok, maka pekerjaan makelar itu tidak terlarang atau mubah karena
tidak ada nash yang melarangnya. Adapun hukum makelar atau perantara ini menurut pandangan
ahli hukum islam tidak bertentangan dengan syari’at hukum islam. Imam Al Bukhori mengemukakan
bahwa : Ibnu Sirin, Atha’, Ibrahim, dan Al Hasan memandang bahwa masalah makelar atau perantara
ini tidak apa-apa. Menurut pendapat Ibnu Abbas : bahwa tidak mengapa, seseorang berkata “juallah
ini bagiku seharga sekian, kelebihannya untukmu”.

Sejalan dengan pandangan para fuqaha’ tersebut,apabila kita kembali pada aturan pokok,
maka pekerjaan makelar itu tidak terlarang atau mubah karena tidak ada nash yang melarangnya.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.”
(QS.An-Nisa’:29)
Namun para ulama ketika membolehkan jual-beli secara kredit dengan ketentuan selama pihak
penjual dan pembeli mengikuti kaidah dan syarat-syarat keabsahannya sebagai berikut:

1. Harga barang ditentukan jelas dan pasti diketahui pihak penjual dan pembeli

2.Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi sehingga
terhindar dari parktik bai’ gharar, ‘bisnis penipuan’.

3. Harga semula yang sudah disepakati bersama tidak boleh dinaikkan lantaran pelunasannya
melebihi waktu yang ditentukan, karena dapat jatuh pada praktik riba.

4. Seorang penjual tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan pembeli dengan cara menaikkan harga
terlalu tinggi melebihi harga pasar yang berlaku, agar tidak termasuk kategori bai’ muththarr, ‘jual-
beli dengan terpaksa’ yang dikecam Nabi SAW.

Mengenai pertanyaan tentang jual-beli mobil secara kredit yang banyak dilakukan orang
dengan bunga tertentu, jika dalam jual-beli kredit terdapat kenaikan harga (bunga) lantaran
terlambatnya pelunasan dari pihak pembeli, maka menurut ijma’ ulama tidak sah, karena di
dalamnya terkandung unsur riba jahiliyah yang diharamkan Islam. Kalaupun terpaksa harus membeli
secara kredit dari penjual barang yang memberlakukan sistem bunga ini, maka pembeli realitasnya
harus yakin mampu mencicil dan melunasinya tepat waktu tanpa harus terjerat pembayaran bunga
tunggakan, agar terhindar dari laknat rasulullah karena membayar uang riba.

Kartu kredit pada hakekatnya sebagai sarana mempermudah proses jual-beli yang tidak
tergantung kepada pembayaran kontan dengan membawa uang tunai yang sangat riskan. Status
hukumnya menurut fiqih kontemporer adalah sebagai objek atau media jasa kafalah (jaminan).
Perusahaan perbankan dalam hal ini yang mengeluarkan kartu kredit (bukti kafalah) sebagai
penjamin (kafil) bagi pengguna kartu kredit tersebut dalam transaksi jual beli. Oleh karena itu
berlaku di sini hukum masalah ‘kafalah’. Para ulama membolehkan sistem dan praktik kafalah dalam
mu’amalah berdasarkan dalil al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Allah berfirman: “dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin
terhadapnya.” (QS. Yusuf:72) Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “za’im”
dalam ayat tersebut adalah “kafil”. Sabda Nabi saw.: “az-Za’im Gharim” artinya; orang yang
menjamin berarti berutang (sebab jaminan tersebut). (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Hibban).
Ulama sepakat (ijma’) tentang bolehnya praktik kafalah karena lazim dibutuhkan dalam mu’amalah.

Kafalah pada dasarnya adalah akad tabarru’ (suka rela) yang bernilai ibadah bagi penjamin
karena termasuk kerjasama dalam kebajikan (ta’awun ‘alal birri), dan penjamin berhak meminta
gantinya kembali kepada terutang, sepantasnyalah ia tidak meminta upah atas jasanya tersebut,
agar aman/jauh dari syubhat. Tetpi kalau terutang sendiri yang memberinya sebagai hadiah atau
hibah untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya, maka sah sah saja. Tetapi jika penjamin sendiri
yang mensyaratkan imbalan jasa (semacam uang iuran administrasi kartu kredit dan sebagainya)
tersebut dan tidak mau menjamin dengan sukarela, maka dibolehkan bagi pengguna jasa jaminan
memenuhi tuntutan tersebut bila diperlukan seperti kebutuhan yang lazim dalam perjalanan studi,
bisnis, kegiatan sosial, urusan pribadi dan sebagainya Hal itu berdasarkan kaedah fiqih: “al-Hajah
Tunazzal Manzilah Adz-Dzarurah” (kebutuhan dikategorikan sebagai suatu darurat).

Tetapi bisnis jasa kartu kredit tersebut boleh selama dalam prakteknya tidak bertransaksi
dengan sistem riba yaitu memberlakukan ketentuan bunga bila pelunasan hutang kepada penjamin
lewat jatuh tempo pembayaran atau menunggak. Disamping itu ketentuan uang jasa kafalah tadi
tidak boleh terlalu mahal sehingga memberatkan pihak terutang atau terlalu besar melebihi batas
rasional, agar terjaga tujuan asal dari kafalah, yaitu jasa pertolongan berupa jaminan utang kepada
merchant, penjual barang atau jasa yang menerima pembayaran dengan kartu kerdit tertentu.

Dengan demikian dibolehkan bagi umat Islam untuk menggunakan jasa kartu kredit (credit
card) yang tidak memakai sistem bunga. Namun bila terpaksa atau tuntutan kebutuhan
mengharuskannya menggunakan kartu kredit biasa yang memakai ketentuan bunga, maka demi
kemudahan transaksi dibolehkan memakai semua kartu kredit dengan keyakinan penuh menurut
kondisi finansial dan ekonominya mampu membayar utang dan komitmen untuk melunasinya tepat
waktu sebelum jatuh tempo agar tidak membayar hutang. Hal itu berdasarkan prinsip fiqih ‘Saddudz
Dzari’ah’, artinya sikap dan tindakan prefentif untuk mencegah dari perbuatan dosa. Sebab, hukum
pemakan dan pemberi uang riba adalah sama-sama haram berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud bahwa:
“Rasulullah saw melaknat pemakan harta riba, pembayar riba, saksi transaksi ribawi dan
penulisnya.” (HR.Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Pendapat yang kuat

Menurut Sa’duddin Muhammad yang paling kuat adalah pendapat jumhur yaitu, bolehnya
menjadi makelar dan itu sebagaimana Mazhab Imam Bukhari .

Dalilnya dengan firman-Nya QS. Yusuf: 72

‫ص َوا َع ا ْل َملِ ِك َولِ َمنْ َجا َء ِب ِه ِح ْم ُل بَ ِعي ٍر َوَأنَا بِ ِه َز ِعي ٌم‬


ُ ‫قَالُوا نَ ْفقِ ُد‬
penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku
menjamin terhadapnya”.

Dalam hadits

‫س[لَّ َم َع[[ا َم ُحنَ ْي ٍن فَلَ َّما‬


َ ‫ص[لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي[ ِه َو‬
َ ِ ‫ول هَّللا‬
ِ [‫س‬ ُ ‫عَنْ َأبِي قَتَ[[ا َدةَ قَ[[ا َل َخ َر ْجنَ[[ا َم[ َع َر‬
ْ‫ين قَ[ ْد َعاَل َر ُجاًل ِمن‬ ْ ‫[رَأ ْيتُ َر ُجاًل ِمنْ ا ْل ُم‬
َ ‫ش[ ِر ِك‬ َ [َ‫ين َج ْولَ[ةٌ قَ[[ا َل ف‬
َ ‫س[لِ ِم‬ْ ‫ا ْلتَقَ ْينَ[ا َك[[انَتْ لِ ْل ُم‬
‫[ل َعاتِقِ[ ِه َوَأ ْقبَ[ َل‬ ِ [‫ض[ َر ْبتُهُ َعلَى َح ْب‬ َ َ‫ستَ َد ْرتُ ِإلَ ْي[ ِه َحتَّى َأتَ ْيتُ[هُ ِمنْ َو َراِئ ِه ف‬ ْ ‫ين فَا‬ ْ ‫ا ْل ُم‬
َ ‫سلِ ِم‬
ُ‫س[لَنِي فَلَ ِح ْقت‬ َ ‫[وتُ فََأ ْر‬ ْ [‫ت ثُ َّم َأد َْر َك[ هُ ا ْل َم‬ َ ‫ض[ َّمةً َو َج[ دْتُ ِم ْن َه[[ا ِر‬
ْ [‫يح ا ْل َم‬
ِ ‫[و‬ َ ‫ض َّمنِي‬ َ َ‫َعلَ َّي ف‬
‫س[و ُل‬ ُ ‫س َر‬ َ َ‫اس َر َج ُع[[وا َو َجل‬ َ َّ‫س فَقُ ْلتُ َأ ْم ُر هَّللا ِ ثُ َّم ِإنَّ الن‬ِ ‫ب فَقَا َل َما لِلنَّا‬ ِ ‫ُع َم َر ْب َن ا ْل َخطَّا‬
ُ‫سلَبُه‬ َ ُ‫سلَّ َم فَقَا َل َمنْ قَتَ َل قَتِياًل لَهُ َعلَ ْي ِه بَيِّنَةٌ فَلَه‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫هَّللا‬
dari Abu Qatadah dia berkata, “Kami pernah pergi berperang bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dalam pertempuran Hunain, tatkala kami berhadapan dengan
musuh, maka sebagian kaum Muslimin mundur. Aku melihat seorang laki-laki Musyrik
sedang menguasai seorang Muslim, aku langsung berbalik sehingga aku dapat
mendatanginya dari arah belakang. Kemudian aku penggal batang lehernya, akan tetapi
seorang Musyrik tersebut berbalik kepadaku dan merangkulku dengan kuat, aku tahu kalau
dia hampir mati, setelah dia tewas, baru aku dilepaskan. Setelah itu aku bertemu dengan
Umar bin Khattab, dia bertanya kepadaku, “Bagaimana kondisi pasukan?” aku menjawab,
“Itu urusan Allah.” Kemudian orang-orang kembali, sementara Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam duduk seraya bersabda: “Barangsiapa dapat membunuh seorang musuh,
sedangkan dia memiliki seorang saksi, maka segenap perlengkapan si terbunuh boleh
dimilikinya.” (HR. Muslim)

Diantara para sahabat yang membolehkan adalah Ibn Abbas ia berkata: tidak apa-apa engkau
mengatakan juallah baju ini sekian, yang lebih dari itu adalah milikmu. Al-Hasan, Ibn Sirin,
‘Atha’ dan Ibrahim juga membolehkannya.

Imam Bukhari membolehkan makelar dengan beristidlal kepada hadits

ُ ‫ون َعلَى‬
‫ش ُرو ِط ِه ْم‬ ْ ‫ا ْل ُم‬
َ ‫سلِ ُم‬
Orang-orang Muslim terikat di atas syarat-syarat mereka.”

Ibn Hajar beristidlal bolehnya makelar jika bukan pada ‫ض ٌر لِبَا ٍد‬
ِ ‫ يَبِي َع َحا‬berdasarkan mafhum
mukhlafah dari sabda Nabi saw. ‫اض ٌر لِبَا ٍد‬‫ح‬ ‫ع‬ ‫ي‬ ‫ب‬‫ي‬
ِ َ َ َِ َ ‫اَل‬‫و‬

Sayyid Sabiq (Fiqh al-Sunnah, 3:74) juga membolehkan makelar dengan berpegang kepada
pendapat Imam al-Bukhari, Ibn Sirin, Atha, Ibrahim dan al-Hasan. Dan hadits Nabi saw. 
riwayat Abu Dawud, Ahmad, Hakim dan Bukhari meriwayatkannya secara muallaq:

‫المسلمون على شروطهم‬


Jadi makelar itu boleh selama ia tidak melanggar aturan-aturan dalam jual beli. Seperti tidak
melakukan najasy, gharar, ghabn fahsy, ihtikar dan lain-lain.

D. Syarat Makelar

Adapun syarat-syarat makelar menurut Sa’duddin Muhammad

1. Mendapat izin pemilik modal/harta/barang


2. Harganya diketahui. Jika ia mengatakan yang harganya (keuntungan) lebih dari itu 
untukmu
3. Tidak mendapatkan upah kecuali kalau sudah beres pekerjaan
4. Tidak menentukan tempo (misal. jual ini paling lama selama satu minggu.)

‫بيع حاضر لباد‬

Yang dimaksud dengan ‫اد‬HH‫ر لب‬HH‫( بيع حاض‬orang kota menjual kepada orang desa) yaitu calo
keluar untuk membawa dagangan dan berkata psimpanlah disisiku supaya aku bisa
menjualkannya untukmu secara bertahap dengan harga yang lebih tinggi, kemudian terjadilah
kemadharatan bagi orang-orang dan menjadi mahal kebutuhan mereka. Praktek jual beli ini
adalah haram dan batil Menurut Ibn Hajar disebutkan orang desa dalam hadits ini karena
keumumannya tetapi ini juga berlaku bagi orang kota yang tidak tahu harga dan
memadaratkan kepada penduduk. Kemudian menurut Wahbah yaitu menjadi calo bagi orang
yang tidak tahu harganya baik bagi orang desa maupun kota. Jadi yang dimaksud adalah
yaitu, dimana calo melakukan penipuan harga kepada penjual/pembawa barang dan
menjualnya dengan harga yang mahal sehingga hal tersebut memadharatkan orang lain.
Menjadi calo boleh saja selama mengambil keuntungan yang wajar dan tidak menipu yang
mempunyai barang.

Contoh dari perbuatan makelar yang tidak boleh adalah misal makelar tanah mengatakan
kepada penjual bahwa tanah tersebut akan dibangun untuk sekolah sehingga harganya
menjadi murah, padahal makelar menjualnya kepada orang asing untuk dibangun perusahaan,
makelar tanah menjualnya dengan harga 3 kali lipat dari pemilik tanah makelar seperti ini
adalah yang diharamkan oleh Islam.

E. Makelar Yang Dilarang dalam Islam

Pertama : Jika dia berbuat sewenang-wenang kepada konsumen dengan cara menindas,
mengancam, dan mengintimidasi. Sebagaimana yang sering dilakukan oleh sebagian makelar
tanah yang akan dibebaskan dan ticket bis pada musim lebaran.

Kedua : Berbuat curang dan tidak jujur, umpamanya dengan tidak memberikan informasi
yang sesungguhnya baik kepada penjual maupun pembeli yang menggunakan jasanya.

Ketiga : Makelar yang memonopoli suatu barang yang sangat dibutuhkan masyarakat
banyak, dan menaikkan harga lebih tinggi dari harga aslinya, seperti  yang dilakukan oleh
calo-calo ticket kereta api pada musim liburan dan lebaran. 

Keempat : Pegawai negeri maupun swasta yang sudah mendapatkan gaji tetap dari
kantornya, kemudian mendapatkan tugas melakukan kerjasama dengan pihak lain untuk suatu
proyek   dan mendapatkan uang fee karenanya. Maka uang fee tersebut haram dan termasuk
uang grativikasi yang dilarang dalam Islam dan dalam hukum positif di Indonesia.

Kelima : Para pengusaha kota yang mendatangi pedagang dan petani di desa-desa dan
membeli barang mereka dengan harga murah dengan memanfaatkan ketidaktahuan mereka
terhadap harga-harga di kota, dan kadang disertai dengan tekanan dan pemberian informasi
yang menyesatkan.    
BAB III

Penutup

A. Kesimpulan

Dari penjelasan diatas, kita dapat menarik kesimpulan Makelar dalam kamus besar bahasa
indonesia adalah perantara dalam bidang jual beli. Makelar berasal dari bahasa Arab, yaitu
samsah yang berarti perantara perdagangan (orang yang menjual barang atau mencari
pembeli), atau perantara antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli. Makelar
juga merupakan pedagang peranan yang berfungsi menjual barang orang lain dengan
mengambil upah atau mencari keuntungan sendiri tanpa mengandung resiko. Dengan kata
lain, makelar adalah penengah antar penjual dan pembe Pendapat yang kuat.

B. Hukum Makelar Menurut para ahli Fikih

Para ahli fikih berbeda pendapat tentang hukum makelar apakah boleh atau tidak. Berikut
adalah perbedaan hukum mengenai makelar:

1. .Mazhab Hanafi
2. .Mazhab
3. Mazhab Syafi’i
4. Mazhab Hanbali

C. Hukum makelar menurut Islam

Pekerjaan makelar menurut pandangan islam adalah termasuk akad ijarah, yaitu suatu
perjanjian memanfaatkan suatu barang atau jasa, misalnya rumah atau suatu pekerjaan seperti
pelayan, jasa pengacara, konsultan, dan sebagainya dengan imbalan. Karena pekerjaan
makelar termasuk ijarah, maka untuk sahnya pekerjaan makelar ini, harus memenuhi
beberapa syarat, yaitu:

Persetujuan kedua belah pihak, sebagaimana dijelaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 29 Allah
Swt berfirman Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An Nisa’ : 29).

Makelar harus bersikap jujur, ikhlas, terbuka, tidak melakukan penipuan dan bisnis yang
haram maupun yang syubhat. Imbalan berhak diterima oleh seorang makelar setelah ia
memenuh akadnya, sedang pihak yang menggunakan jasa makelar harus memberikan
imbalannya, karena upah atau imbalan pekerja dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja
yang bersangkutan.

Jumlah imbalan yang harus diberikan kepada makelar adalah menurut perjanjian
sebagaimana Al Qur’an surat Al Maidah ayat 1 Allah Swt berfirman : Artinya : “Hai orang-
orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.”(Qs. Al-Maidah :1)

Adapun sebab-sebab pemakelaran yang tidak diperbolehkan oleh islam yaitu:


1. Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman
terhadap pembeli
2. Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman
terhadap penjual.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
diantara kamu.” (QS. An-Nisa’:29)

Syarat-syarat keabsahannya sebagai berikut:

1. Harga barang ditentukan jelas dan pasti diketahui pihak penjual dan pembeli

2.Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi sehingga
terhindar dari parktik bai’ gharar, ‘bisnis penipuan’.

3. Harga semula yang sudah disepakati bersama tidak boleh dinaikkan lantaran pelunasannya
melebihi waktu yang ditentukan, karena dapat jatuh pada praktik riba.

4. Seorang penjual tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan pembeli dengan cara menaikkan
harga terlalu tinggi melebihi harga pasar yang berlaku, agar tidak termasuk kategori bai’
muththarr, ‘jual-beli dengan terpaksa’ yang dikecam Nabi SAW.

Anda mungkin juga menyukai