Anda di halaman 1dari 29

KEGIATAN BELAJAR 2

JUAL BELI DAN KHIYAR

A. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan


Peserta dapat menganalisis aturan hukum Islam dan dalil-dalil tentang
jual beli dan khiyar serta aplikasinya dalam masyarakat.

B. Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan


1. Menganalisis pengertian dan hukum jual beli;
2. Menganalisis rukun dan syarat jual beli;
3. Membedakan bentuk-bentuk jual beli;
4. Menganalisis pengertian khiyar;
5. Membedakan macam-macam khiyar;
6. Menganalisis sebab-sebab berakhirnya khiyar;
7. Menganalisis hikmah khiyar.

C. Uraian Materi
1. Pengertian Jual Beli
Jual beli dalam bahasa Arab sering disebut dengan kata al-bai', al-
tijarah, atau al-mubadalah. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt. dalam
QS Fathir/35: 29:
ِّ
َ ُ‫يَْر ُجو َن ِتَ َارة لَّن تَب‬
-٢٩- ‫ور‬

Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi.


Secara bahasa, jual beli atau al-bai'u berarti muqabalatu syai'in bi
syai'in (‫)مقابلة ش ْي بش ْي‬. Artinya adalah menukar sesuatu dengan sesuatu.
Sedangkan menurut istilah, Imam Nawawi di dalam kitab Al-Majmu'
Syarah Al-Muhadzdzab mengatakan bahwa jual beli adalah ( ‫مقابلة مال بمال‬
‫ )تمليكا‬yang berarti: tukar menukar harta dengan harta secara kepemilikan.
Sementara itu, Ibnu Qudamah di dalam kitab Al-Mughni menjelaskan
bahwa jual beli sebagai (‫ )مبادلة المال بالمال تمليكا تملكا‬yang artinya pertukaran
harta dengan harta dengan kepemilikan dan penguasaan.
Dari pengertian di atas, jual beli adalah “Menukar barang dengan
barang atau menukar barang dengan uang, yaitu dengan jalan
melepaskan hak kepemilikan dari pihak yang satu kepada pihak yang
lain atas dasar saling merelakan".

13
Jual beli adalah aktivitas ekonomi yang hukumnya boleh. Hal ini
berdasarkan nash al-Qur’an dan hadis serta ijmak dari seluruh umat
Islam. Dalam QS al-Baqarah/2: 275, Allah berfirman:
ِّ‫اّللُ الْبَ ْي َع َو َحَّرَم ر‬
-٢٧٥- ‫الرَاب‬ ‫َح َّل ر‬
َ ‫َوأ‬
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan telah mengharamkan
riba.”
Sedangkan dari hadis Rasulullah saw bersabda:
‫َجيعا أ َْو‬ َِّ ‫اَن‬ ِّ َ‫اح ٍد ِّمْن ُهما ِّاب ْْلِّي‬
َ ‫ار َما َلْ يَتَ َفَّرقَا َوَك‬ ِّ ‫ أَنَّه قَا َل « إِّ َذا تَبايع ا َّلرجالَ ِّن فَ ُك ُّل و‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫اّلل‬
ُ ََ َ ُ
َِّّ ‫ول‬ِّ ‫اب ِّن ُعمر َعن رس‬
ُ َ ْ ََ ْ
َ َ
‫اح ٌد ِّمنْ ُه َما‬
ِّ ‫ك فَ َق ْد وجب الْب يع وإِّ ْن تَ َفَّرقَا ب ع َد أَ ْن تَباي عا وَل ي ْْت ْك و‬ ِّ ِّ َ ‫ُُيَِّرري أَح ُد ُُهَا‬
َ ُ َ ْ َ ََ َ َْ َ ُ َْ َ َ َ َ ‫اآلخَر فَتَ بَايَ َعا َعلَى ذَل‬
َ ‫َح ُد ُُهَا‬
َ ‫اآلخَر فَإ ْن َخ ََّري أ‬ َ ُ
.» ‫ب الْبَ ْي ُع‬
َ ‫الْبَ ْي َع فَ َق ْد َو َج‬
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullh saw bersabda: “Apabila dua orang
melakukan jual beli, maka masing-masing orang mempunyai hak khiyar
(memilih antara membatalkan atau meneruskan jual beli) selama mereka
belum berpisah dan masih bersama; atau selama salah seorang di antara
keduanya tidak menemukan khiyar kepada yang lainnya. Jika salah
seorang menentukan khiyar pada yang lain, lalu mereka berjual beli atas
dasar itu, maka jadilah jual beli itu”. (HR. Muttafaq alaih).
Pada hadis yang lain, Nabi bersabda:
‫ اي رسول هللا أي الكسب اطيب قال عمل الرجل بيده وكل بيع مبور‬: ‫عن رفاعة بن رافع قال قيل‬

Dari Rifa’ah Ibnu Rafi’ r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya:
Pekerjaan apakah yang paling baik? Beliau bersabda: “Pekerjaan sese-
orang dengan tangannya dan setiap jual beli yang bersih”. (HR Ahmad).

2.Rukun Jual Beli


Sebuah transaksi jual beli membutuhkan adanya rukun yang
harus terpenuhi untuk sahnya jual beli. Rukun jual beli, ada tiga, yaitu:
a. Adanya Penjual dan Pembeli
Penjual dan pembeli yang memenuhi syarat adalah mereka
yang telah memenuhi ahliyah untuk boleh melakukan transaksi
muamalah. Ahliyah itu berupa keadaan pelaku yang harus berakal
dan baligh. Dengan rukun ini, maka jual beli tidak memenuhi
rukunnya bila dilakukan oleh penjual atau pembeli yang gila atau

14
tidak waras. Demikian juga bila salah satu dari mereka termasuk
orang yang kurang akalnya.
Demikian juga jual beli yang dilakukan oleh anak kecil yang
belum baligh tidak sah, kecuali bila yang diperjual-belikan
hanyalah benda-benda yang nilainya sangat kecil. Namun bila
seizin atau sepengetahuan orang tuanya atau orang dewasa, jual
beli yang dilakukan oleh anak kecil hukumnya sah, sebagaimana
dibolehkan jual beli dengan bantuan anak kecil sebagai utusan,
tetapi bukan sebagai penentu jual beli. Misalnya, seorang ayah
meminta anaknya untuk membelikan suatu benda di sebuah toko.
Jual beli itu sah karena pada dasarnya yang menjadi pembeli
adalah ayahnya, sedangkan posisi anak saat itu hanyalah utusan
atau suruhan saja.
b. Adanya Akad
Penjual dan pembeli melakukan akad kesepakatan untuk
bertukar dalam jual-beli. Misalnya: “Aku jual barang ini kepada
anda dengan harga Rp 10.000", lalu pembeli menjawab, "Aku
terima." Sebagian ulama mengatakan bahwa akad itu harus
dengan lafaz yang diucapkan, kecuali bila barang yang
diperjualbelikan termasuk barang yang rendah nilainya. Namun,
ulama lain membolehkan akad jual beli dengan sistem mu'athah,
(‫ )معاطة‬yaitu kesepakatan antara penjual dan pembeli untuk
bertransaksi tanpa mengucapkan lafaz.
c. Adanya Barang/Jasa yang Diperjualbelikan
Rukun yang ketiga adalah adanya barang atau jasa yang
diperjual belikan. Para ulama menetapkan bahwa barang yang
diperjual belikan itu harus memenuhi syarat tertentu agar boleh
dilakukan akad. Agar jual beli menjadi sah secara syariah, maka
barang yang diperjual-belikan harus memenuhi beberapa syarat,
salah satunya adalah suci.
Benda yang diperjualbelikan harus benda yang suci dalam arti
bukan benda najis atau mengandung najis. Di antara benda najis
yang disepakati para ulama antara lain bangkai, darah, daging
babi, khamar, nanah, kotoran manusia, kotoran hewan dan
lainnya. Akan tetapi, Mazhab Hanbali menetapkan bahwa
kotoran hewan yang dagingnya boleh dimakan, hukumnya tidak
najis. Dasarnya adalah sabda Rasulullah saw.

15
‫ أنه مسع رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يقول عام الفتح وهو مبكة ( إن‬:‫عن جابر بن عبد هللا رضي هللا عنهما‬
) ‫هللا ورسوله حرم بيع اْلمر وامليتة واْلنزير واألصنام‬

Dari Jabir Ibnu Abdullah r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah


saw. bersabda di Mekah pada tahun penaklukan kota itu:
”Sesungguhnya Allah melarang jual-beli minuman keras,
bangkai, babi, dan berhala”. (HR. Muttafaq Alaih)

3. Syarat-Syarat Jual Beli


a. Syarat bagi orang yang melakukan akad (‫)عاقد‬, antara lain:
1) Baligh (Berakal)
Pihak yang bersangkutan, pembeli dan penjual, harus
sudah dewasa, cakap, dan dalam kondisi sadar saat
melakukan transaksi. Artinya tak ada penipuan,
pengelabuan terhadap salah satu pihak karena sedang
tidak sadar, atau masih anak-anak.
2) Beragama Islam
Hal ini berlaku untuk pembeli (khusus kitab suci
al-Qur’an/budak muslim), bukan penjual. Hal ini dijadikan
syarat karena dihawatirkan jika orang yang membeli
adalah orang kafir, maka mereka akan merendahkan atau
menghina Islam dan kaum muslimin (Syafi’iyah dan
Malikiyah). Bila bukan al-Qur’an dan budak, maka tidak
disyaratkan beragama Islam.
3) Tidak Dipaksa
Pelaku transaksi tidak bisa dipaksa. Bila seseorang
dipaksa untuk melakukan transaksi jual beli, maka
transaksinya dianggap tidak sah.
b. Syarat ma’qud ‘alaih, barang yang diperjualbelikan antara lain:
1) Suci atau mungkin disucikan
Tidak sah menjual barang yang najis, seperti anjing, babi
dan lain-lain. Dalam hadis disebutkan:
‫ أنه مسع رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يقول عام الفتح وهو مبكة ( إن هللا ورسوله‬: ‫عن جابر بن عبدهللا‬
) ‫حرم بيع اْلمر وامليتة واْلنزير واألصنام‬

16
Dari Jabir r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda
pada hari pembebasan Mekah, “Sesungguhnya Allah dan
Rasulnya telah mengharamkan jual beli arak, bangkai, babi,
dan berhala.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
2) Bermanfaat
3) Dapat diserahkan secara cepat atau lambat
4) Milik sendiri
5) Diketahui (dilihat)
Barang yang diperjualbelikan itu harus diketahui
banyak, berat, atau jenisnya. Dalam sebuah hadis
disebutkan:
‫ هنى رسول هللا صلى هللا عليه و سلم عن بيع احلصاة وعن بيع الغرر‬: ‫عن أيب هريرة قال‬

“Dari Abi Hurairah r.a. ia berkata, Rasulullah saw. telah


melarang jual beli dengan cara melempar batu dan jual beli
yang mengandung tipuan.” (HR Muslim)
c. Syarat sah ijab qabul
1) Tidak ada yang membatasi (memisahkan). Si pembeli tidak
boleh diam saja setelah si penjual menyatakan ijab, atau
sebaliknya yang mengindikasikan penolakan menerima;
2) Tidak diselingi kata-kata lain;
3) Tidak ditaklikkan (digantungkan) dengan hal lain.
Misalnya “Jika bapakku mati, maka barang ini aku jual
padamu”
4) Tidak dibatasi waktu. Misal, “Barang ini aku jual padamu
satu bulan saja”

4. Macam-macam Akad Jual Beli


Dari segi barang yang dapat dipertukarkan, akad jual beli dapat
dibagi menjadi empat macam. Pertama sistem barter, yaitu pertukaran
benda tertentu dengan benda lain (bai’ al-‘ain bi al-‘ain), seperti menukar
pakaian dengan beras. Kedua akad jual beli, yaitu menjual benda
tertentu dengan tidak tertentu (bai’ al-‘ain bi al-dain), seperti menjual
barang dengan uang logam atau uang kertas. Ketiga akad sharf, yaitu
menjual benda tidak tertentu dengan benda tidak tertentu lainnya (bai’
al-dain bi al-‘ain), seperti menjual uang rupiah dengan uang dolar atau
valuta lainnya yang berlaku di pasaran. Keempat, akad salam

17
(memesan barang), yaitu menjual benda tidak tertentu dengan benda
lain yang tertentu (bai’ al-dain bi al-‘ain). Benda yang dipesan merupa-
kan barang yang dijual dan merupakan barang tidak tertentu.
Sedangkan modal merupakan harga yang dapat berupa benda tertentu
atau benda tidak tertentu (dain), tetapi modal tersebut harus diserahkan
dalam majlis sebelum kedua belah pihak berpisah sehingga berubah
menjadi barang tertentu.
Dilihat dari segi bentuk harganya, jaul beli dapat dibagi menjadi
empat macam. Pertama murabahah, yaitu pertukaran barang dengan
harga sesuai dengan harga pertama ditambah keuntungan tertentu.
Kedua tawliyah, yaitu pertukaran dengan harga sesuai dengan harga
awal (modal) tanpa tambahan atau pengurangan apa pun. Ketiga
wadhi’ah, yaitu pertukaran dengan harga sesuai dengan harga awal
dengan mengurangi sedikit dengan kerugian tertentu. Keempat
musawamah, yaitu pertukaran barang dengan harga yang disepakati
oleh kedua belah pihak yang melakukan akad karena pada umumnya
penjual selalu menyembunyikan jumlah modalnya. Inilah sistem jual
beli yang umum digunakan saat ini.
Akad jual beli juga dapat dibagi menjadi beberapa macam
lainnya seperti akad istishna’, yaitu menjual barang sebelum barang itu
dibuat atau didatangkan. Demikian juga akad dhaman, yaitu menjual
buah ketika masih di pohon. Pembahasan berikut akan mengemukakan
beberapa jenis jual beli seperti salam, istishna’, murabahan, dan lain-lain.
a. Salam
1) Pengertian
Secara bahasa, salam (‫ )سلم‬adalah al-i'tha' (‫ )العطاء‬dan al-taslif
(‫ )التسليف‬yang berarti pemberian. Sedangkan secara istilah, salam
didefinisikan sebagai ‫( بيع موصوف في الذمة ببدل يعطى عاجال‬jual-beli
barang yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan dengan
imbalan/pembayaran yang dilakukan saat itu juga).
Secara sederhana, salam dapat dikatakan sebagai jual beli
dengan hutang. Jual beli ini biasanya menghutangkan barang
dengan pembayaran uang tunai. Hal ini berkebalikan dengan
kredit, di mana kredit barang diserahkan terlebih dahulu,
sedangkan uang pembayaran menjadi hutang.

18
Dasar diperbolehkannya salam tertera di dalam al-Qur'an,
hadis, dan ijmak ulama. Firman Allah swt. dalam QS al-Baqarah/2:
282:
ِّ ِّ ِّ ِّ َّ
َ ‫ين َآمنُواْ إذَا تَ َدايَنتُم ب َديْ ٍن إ ََل أ‬
ُ‫َج ٍل ُّم َس ًّمى فَا ْكتُبُوه‬ َ ‫َاي أَيُّ َها الذ‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya.”
Di dalam hadis Nabi saw., dalil salam diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas r.a.
‫ قدم النيب صلى هللا عليه و سلم املدينة وهم يسلفون ابلتمر السنتني والثالث‬: ‫عن ابن عباس رضي هللا عنهما قال‬
) ‫فقال ( من أسلف يف شيء ففي كيل معلوم إَل أجل معلوم‬

Ibnu Abbas r.a. berkata bahwa ketika Nabi saw. baru tiba di
Madinah, orang-orang Madinah biasa meminjamkan buah kurma
dua tahun dan tiga tahun. Maka Nabi saw. bersabda, "Siapa yang
meminjamkan buah kurma maka harus meminjamkan dengan
timbangan yang tertentu dan sampai pada masa yang tertentu”.
(HR. Bukhari dan Muslim)
2) Rukun Salam
Rukun di dalam akad salam harus ada ijab dan qabul dengan
sebuah pernyataan dari penjual: seperti aslamtuka (aku jual secara
salam) atau aslaftuka (aku jual secara salaf), atau dengan kata-kata
yang mudah dipahami oleh penjual dan pembeli. Misalnya lafaz:
a'thaituka salaman (aku serahkan kepadamu secara salam).
Sedangkan pembeli menjawabnya: qabiltu (saya terima), atau
radhitu (saya rela), atau kata lain yang bermakna persetujuan.
Dalam akad salam, penjual dan pembeli harus ada di tempat.
Penjual (musallim) dan pembeli (musallam ilaihi), keduanya memiliki
syarat ahliyah (kepantasan) atau wilayah. Syarat ahliyah, pemiliknya
orang yang beragama Islam, aqil, baligh, rasyid. Sedangkan syarat
wilayah orang yang menjadi wali yang mewakili pemilik aslinya
dari uang atau barang dengan penunjukan yang sah dan
berkekuatan hukum sama. Karena dalam akad salam harus ada
uang dan barang, maka uang digunakan sebagai alat pembayaran
dan barang sebagai benda yang diperjualbelikan. Uang dalam akad
salam disebut ra'sul maal, dan barang dalam akad salam disebut
musallam fiihi.

19
3) Syarat Akad Salam
Syarat sahnya akad salam harus ada uang dan barang. Uang
yang digunakan dalam akad salam harus memenuhi kriteria:
a) Jenis Nilainya
Uang yang digunakan harus jelas nilai dan kursnya. Misalnya,
apakah uang yang digunakan berbentuk rupiah atau dolar.
b) Harus Tunai
Akad salam mensyaratkan uang tunai, tanpa ada cicilan atau
apa pun. Diperbolehkan menunda pembayaran asalkan jelas
tanggal dan waktu pembayarannya.
Barang yang diperjualbelikan dalam akad salam memiliki syarat:
a. Spesifikasi Barang jelas
Barang yang dijual dalam akad salam harus ditetapkan
dengan spesifikasi tertentu. Misalnya, seorang pedagang
menjual HP merk Samsung Galaxy A52s 5G sesuai kesepakatan
penjual dan pembeli. Penjual diperbolehkan menjual Samsung
Galaxy A52s 5G pada pembeli lain, asalkan di waktu yang
ditentukan ia bisa memberikan barang kepada pembeli dalam
akad salam. Di sini, setiap kriteria yang diinginkan harus dite-
tapkan dan dipahami kedua belah pihak, sehingga pada waktu
yang telah disepakati, tidak ada komplain terhadap barang
yang diperjualbelikan.
b. Barang menjadi untung bagi Si Penjual
Dalam akad salam, barang yang diperjual belikan tidak
diserahkan pada saat akad sehingga menjadi utang bagi
sipenjual untuk menyerahkan tersebut pada saat yang
disepakati. Akad salam akan gugur jika barang diserahkan saat
terjadi akad. Hal ini sesuai hadis:
‫من أسلف يف متر فليسلف يف كيل معلوم ووزن معلوم إَل أجل معلوم‬

“Siapa yang meminjamkan buah kurma, maka harus


meminjamkan dengan timbangan yang tertentu dan sampai
pada masa yang tertentu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
c. Batas Penyerahan Barang
Ada beberapa pendapat tentang penyerahan barang ini.
Mazhab Hanafiyah mensyaratkan minimal setengah hari dan
tidak boleh kurang; Ibnu Hakam membolehkan satu hari; Ibnu

20
Wahab mensyarakatkan minimal penyerahan barang 2 atau 3
hari sejak akad; dan ulama lain mensyaratkan batasnya cuma 3
hari.
c) Harus Jelas Waktu Penyerahan
Penjual dan pembeli harus memperjelas penyerahan barang
(jatuh tempo). Jatuh tempo di sini, harus jelas, tanggal bulan, tahun,
atau jumlah hari atau pekan sesuai akad antara penual dan pembeli.
Rasulullah saw. bersabda:
‫إَل أجل معلوم‬

Hingga waktu (jatuh tempo) yang telah diketahui (oleh kedua belah
pihak) pula." (Muttafaqun 'alaih)
d) Barang Memungkinkan untuk Diserahkan pada Waktunya
Penjual dan pembeli harus memperhitungkan ketersediaan
barang pada saat jatuh tempo, demi terhindar dari tipu-menipu atau
mengambil keuntungan sebelah pihak. Orang tidak boleh memesan
barang yang sifatnya untung-untungan, seperti memesan buah
musiman. Nabi saw. bersabda:
‫ضَرَر َوالَ ِّضَر َار‬
َ َ‫ال‬
Tidak ada kemadharatan atau pembalasan kemadhorotan dengan
yang lebih besar dari perbuatan. (Riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan
dihasankan oleh Al-Albany).
e) Tempat Penyerahan Barang Harus Jelas
Seorang penjual diperbolehkan mendatangkan barang dari
mana saja. Hal ini demi memudahkan penjual, karena bisa jadi
penjual tidak bisa mendatangkan barang dari gudangnya sendiri,
sehingga ia harus membeli dari orang lain.
b. Istishna’
1) Pengertian
Istishna' adalah bentuk ism mashdar dari kata dasar istashna'a-
yastashni'u berarti meminta orang lain untuk membuatkan sesuatu
untuknya. Misalnya, orang mengatakan istashna'a fulan baitan, kita
meminta orang lain untuk membuatkan rumah.
Menurut sebagian ulama mazhab Hanafiyah, istishna’ dapat
diartikan sebagai sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan
syarat pengerjaannya. Misalnya, satu orang menemui seorang desainer,
lalu berkata:”Buatkan saya desain logo untuk perusahaan saya dengan

21
harga sekian juta”. Lalu, sang desainer menerimanya, berarti mereka
telah melakukan kesepakatan istishna’.
Menurut mazhab Hanabilah, istilah istishna’ berarti jual beli
barang pesanann yang belum dimilikinya yang tidak termasuk dalam
akad salam. Akad ini merupakan akad jual beli terhadap barang
pesanan, bukan pada pekerjaan perbuatan. Sementara, menurut
mazhab Malikiyah dan Syafi'iyah mendeskripsikan akad istishna’
dengan akad salam sehingga pengertiannya ada suatu barang yang
diserahkan kepada orang lain sesuai dengan cara pembuatannya. Akad
istishna’ dapat dikatakan sebagai sebuah transaksi jual beli yang terjadi
antara pemesan sebagai pihak pertama dan produsen sebagai pihak
kedua. Produsen sebagai pihak kedua membuatkan barang atau
sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pihak pertama
sebagaimana kesepakatan yang terjalin di awal. Dalil naqli yang
menjelaskan perihal dibolehkannya akad ini adalah firman Allah swt.
dalam QS. al-Baqarah/2: 275:
ِّ‫اّللُ الْبَ ْي َع َو َحَّرَم ر‬
-٢٧٥- ‫الرَاب‬ ‫َح َّل ر‬
َ ‫َوأ‬
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba..
Ayat ini memang bersifat umum dalam sebuah transaksi jual beli.
Namun, sifat keumuman ini berarti membolehkan akad istishna’,
asalkan terhindar dari riba. Segala transaksi diperbolehkan selama
tidak ada dalil kuat yang mengharamkannya. Dalam sebuah hadis
diterangkan:
.ٌ‫يل لَهُ إِّ َّن الْ َع َج َم الَ يَ ْقبَلُو َن إِّالَّ كِّتَااب َعلَْي ِّه َخ ِّاِت‬ ِّ ِّ ِّ ُ‫ َكا َن أَرا َد أَ ْن يكْت‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫اّلل‬
َ ‫ب إ ََل الْ َع َجم فَق‬
َ َ َ
َِّّ ‫س أ ََّن نَِِّب‬
َّ ٍ َ‫َع ْن أَن‬
.ِّ‫اض ِّه ِّف يَ ِّده‬
ِّ ‫ال َكأ َِّّن أَنْظُر إِّ ََل ب ي‬ ٍ ِّ ِّ
ََ ُ ‫ قَ َ ر‬.‫اصطَنَ َع َخ َامتا م ْن فضَّة‬ ْ َ‫ف‬
“Dari Anas r.a. bahwa Nabi saw. hendak menuliskan surat kepada
raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-
Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau
pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak.
Anas mengisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan
kemilau putih di tangan beliau." (HR. Muslim)
Hadis di atas menjelaskan sebuah deskripsi bahwa akad istishna’
telah dilakukan oleh Nabi sesuai ajaran Islam dan itu artinya
diperbolehkan secara hukum fikhiyyah. Kalangan ulama bersepakat
bahwa istishna' merupakan akad yang dibolehkan dan telah
diaplikasikan sejak dahulu tanpa ada sahabat atau ulama yang

22
mengingkarinya. Artinya, istishna’ diperbolehkan secara nash dan
dilakukan oleh orang terdahulu. Sehingga, adanya pelarangan seolah
menjadi kurang tepat.
‫األصل يف األشياء االابحة حىت يدل الدليل على حترميه‬

Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang
menunjukkan akan keharamannya.
Di era modern, kebutuhan orang mulai beragam dan bervariasi.
Maka, akad jual beli istishna’ seolah menemukan bentuk
pengaplikasiannya. Artinya, ketika orang membutuhkan seuatu
barang dengan spesifikasi dan kriteria tertentu yang diinginkan, tetapi
kesulitan di dapatkan di pasar, maka solusinya tentu dengan
memesan pada produsen. Dengan demikian, apabila pemesanan
semacam itu diharamkan, maka bagaimana masyarakat akan
memecahkan persoalan kebutuhan hidupnya. Tentu, hal semacam ini
perlu dipecahkan dan disikapi secara serius demi kelangsungan hidup
masyarakat.
2) Rukun Istishna’
Akad istishna' memiliki 3 rukun yang harus terpenuhi agar akad
itu benar-benar terjadi: kedua-belah pihak, barang yang diakadkan,
dan shighah (ijab qabul). Ketiga rukun tersebut sebagai berikut:
a) Adanya pemesan dan produsen. Di sini, pemesan biasanya disebut
mustashni' sebagai pihak pertama. Sedangkan produsen sebagai
pihak kedua disebut shani'.
b) Barang yang diakadkan/diperjualbelikan. Barang yang diakadkan
disebut al-mahal. Dalam akad jual beli istishna’, objeknya adalah
benda atau barang harus dihadirkan atau dibuat. Sebagian ulama
berpandangan dibolehkannya akad bukan barang. Tetapi, akad
tersebut bisa berupa jasa, asalkan kedua belah pihak saling
menyepakati.
c) Adanya ijab qabul. Ijab berarti lafaz dari pemesan yang meminta
kepada produsen untuk membuatkan barang atau jasa dengan
imbalan yang ditentukan. Sedangkan, qabul berarti penerimaan
atau jawaban dari pihak produsen bahwa ia siap membuat atau
menyediakan barang atau jasa sesuai dengan apa yang diinginkan
oleh pemesan.
3) Syarat Istishna’

23
Ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi dalam akad istishna’,
yaitu:
a) Adanya penyebutan dan kesepakatan kriteria barang dan jasa yang
akan dilangsungkan, agar tidak ada kesalahpahaman antara kedua
belah pihak. Hal ini penting, agar saat penyerahan barang atau jasa
benar-benar sesuai dengan kriteria yang diinginkan oleh pemesan.
b) Tidak ada batasan waktu penyerahan barang. Dalam akad istishna’,
seorang produsen atau pemesan tidak boleh memerikan tenggat
waktu, karena jika pemesan memberikan tenggat waktu, maka
akadnya berubah menjadi akad salam. Hal ini disampaikan oleh
Imam Abu Hanifah. Sementara, sebagian dari ulama Hanafiyah
(Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan) berpendapat, tidak
menjadi persoalan ada tenggat waktu, karena masyarakat
terdahulu memang melakukan akad semacam itu dan akad
tersebut tidak akan berubah menjadi akad salam. Dapat dikatakan
bahwa tidak ada alasan untuk menentukan batasan waktu
penyerahan barang karena tradisi masyarakat tidak berbeda
pendapat soal dalil dan hukum syar’inya.
c) Barang yang dipesan adalah barang yang telah biasa dipesan
dengan akad istishna'. Persyaratan ini sebagai imbas langsung dari
dasar dibolehkannya akad istishna'. Telah dijelaskan di atas bahwa
akad istishna' dibolehkan berdasarkan tradisi umat Islam yang telah
berlangsung sejak dahulu kala.
Akad ini hanya berlaku dan dibenarkan pada barang-barang
yang oleh masyarakat biasa dipesan dengan skema akad istishna'.
Adapun selainnya, maka dikembalikan kepada hukum asal. Akan
tetapi, dengan merujuk dalil-dalil dibolehkannya akad istishna',
maka dengan sendirinya persyaratan ini tidak kuat. Betapa tidak,
karena akad istishna' bukan hanya berdasarkan tradisi umat Islam,
melainkan juga berdasarkan dalil dari al-Qur'an dan sunnah. Bila
demikian adanya, maka tidak ada alasan untuk membatasi akad
istishna' pada barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan
dengan skema istishna' saja.
4) Apakah Istishna' Akad yang Mengikat?
Imam Abu Hanifah dan kebanyakan pengikutnya
menggolongkan akad istishna' ke dalam jenis akad yang tidak
mengikat. Dengan demikian, sebelum barang diserahkan, keduanya

24
berhak untuk mengundurkan diri dari akad istishna'. Produsen berhak
menjual barang hasil produksinya kepada orang lain, sebagaimana
pemesan berhak untuk membatalkan pesanannya.
Berbeda dengan pandangan tersebut, Abu Yusuf, murid Abu
Hanifah menganggap akad istishna' sebagai akad yang mengikat.
Dengan demikian, bila telah jatuh tempo penyerahan barang dan
produsen berhasil membuatkan barang sesuai dengan pesanan, maka
tidak ada hak bagi pemesan untuk mengundurkan diri dari
pesanannya. Demikian pula produsen tidak berhak untuk menjual
hasil produksinya kepada orang lain.
c. Bai’ bi Tsaman –‘Ajil
1) Pengertian
Bai` bi tsaman –‘ajil dapat dikatakan sebagai istilah baru
dalam literatur fikih Islam, walaupun secara aplikatif telah
dilakukan oleh masyarakat sejak dahulu. Secara harfiyah, bai`
maknanya adalah jual beli atau transaksi. Tsaman maknanya
harga dan ajil maknanya bertempo atau tidak tunai.
Bai` bi al-tsaman ajil dapat dikatakan sebagai jual beli yang
uangnya diberikan secara bertahap atau
belakangan/ditangguhkan. Artinya, harga barang bisa berbeda
ketika barang tersebut dibeli secara tunai. Contohnya, jika HP
dibeli secara tunai seharga 2,5 juta, maka karena ditangguhkan
harganya, bisa berharga 3 juta. Artinya, harga tersebut bisa
menyesuaikan dengan naik-turunnya harga.
Bagaimana menentukan halal dan haramnya harga dalam
bai` bi al-tsaman ajil? Dalam transaksi ini, ketika harga dan barang
telah disepakati sejak awal, maka akadnya halal. Akan tetapi,
jika harga mark up tidak ditentukan sejak pertama kali transaksi,
dan memungkinkan di perjalanan waktu, ada perubahan harga,
maka akad tersebut tidak diperbolehkan, karena barang
berpotensi naik dan turun di masa depan. Artinya, harga harus
ditetapkan dan ditentukan sejak awal, dan tidak ada lagi peru-
bahan waktu pelunasan harga. Berikut ini kami sajikan beberapa
contoh bai` bi al-tsaman ‘ajil:
a) Transaksi jual beli antara harga tunai dan kredit berbeda
yang mana harga kredit lebih tinggi daripada harga tunai.

25
Misalnya, orang menjual HP dengan harga tunai 1,5 juta,
maka harga kredit menjadi 2 juta;
b) Transaksi jual beli yang tidak ada kejelasan apakah tunai atau
kredit. Misalnya, harga barang 1 juta tunai dan 2 juta kredit.
Kedua belah pihak tidak menentukan mana yang akan
diambil; tunai atau kredit. Hal ini tidak diperbolehkan atau
dilarang oleh agama;
c) Membeli harga barang dengan tangguhan, tetapi dengan
persyaratan akan dijual kembali kepada pihak produsen
dengan harga yang lebih rendah. Hal ini diharamkan di
dalam Islam karena mengandung riba;
d) Transaksi jual beli dengan syarat penjualan lagi. Misalnya,
Roni membeli rumah seharga 2 milyar dari Budi dengan
syarat Budi membeli tanah Roni dengan harga 2 milyar.
Transaksi ini dilarang, karena masuk bai’u wa syart;
e) Transaksi dengan syarat mengambil manfaat. Misalnya, Edi
menjual rumahnya kepada Deni tetapi dengan syarat Edi
akan menempatinya terlebih dahulu selama 1 tahun.
Transaksi ini memilik perbedaan pendapat di kalangan
ulama. Mazhab Malikiyah dan Hanabilah membolehkan,
tetapi mazhab Syafi’iyah melarang transaksi seperti ini.
2) Kebutuhan Transaksi Bai’ bi Tsaman ‘Ajil
Jenis transaksi ini dalam Islam memiliki keuntungan,
keringanan, dan kemudahan. Hal ini dikarenakan, tidak semua
orang dapat membeli keinginannya secara kontan dan tunai.
Kadang, orang tidak dapat memiliki kebutuhan hidupnya
hanya dengan sekali bayar. Seorang karyawan akan kesulitan
memenuhi kebutuhan hidupnya untuk membeli rumah, tanah
atau mobil mengingat gaji bulanannya yang tidak mencukup.
Orang yang memiliki penghasilan pas-pasan, boleh saja
menabung uangnya untuk dibelikan ketika uangnya cukup.
Akan tetapi, di tengah kehidupan yang serba cepat dan harga
yang cenderung terus naik/meningkat, orang cenderung
berusaha memenuhi kebutuhannya sesegera mungkin. Jika pun
harus menabung, membutuhkan waktu lama untuk
mendapatkan barang yang diinginkan. Selain itu, para penjual,
biasanya berusaha untuk membuat barangnya segera laku.

26
Karena, jika barang tidak laku, maka kerugian akan ditanggung
penjual. Solusinya, penjual akan melakukan transaksi dengan
cara menjual barang secepat mungkin, walau pun
pembayarannya ditangguhkan terlebih dahulu.
Di sini, antara pembeli dan penjual sama-sama memiliki
kepentingan. Pembeli butuh barang, dan penjual butuh
barangnya segera laku. Maka, jalan keluarnya dengan
melakukan transaksi bai` bi al-tsaman ‘ajil.
3) Bai’ bi Tsaman ‘Ajil dan Sistem Bank Syariah
Bai` bi al-tsaman ‘ajil sebenarnya tidak hanya terbatas pada
pembeli dan penjual di pasar tradisional. Lembaga keuangan
seperti bank pun bisa melakukan transaksi bai` bi al-tsaman –‘ajil
di mana pihak bank memiliki uang dan tidak memiliki barang.
Jika ada orang yang ingin membeli barang, pihak bank
menyediakan barang dengan cara membeli di pasar sesuai
kebutuhan pembeli dengan mengambil keuntungan tertentu
selama tidak mengandung riba.
Prinsip jual beli adalah tukar menukar barang dengan
uang. Di sini, berlaku hukum bahwa barang yang dijual sudah
harus milik dari penjual. Pihak bank berposisi sebagai penjual
sementara nasabah sebagai pembeli. Akan tetapi, secara
aplikatif, pihak bank biasanya tidak akan melakukan penjualan
barang, tetapi meminjamkan uang atau mewakilkan kepada
pembeli untuk dibeli langsung barang yang dibutuhkan oleh
pembeli ke pasar. Dalam proses ini, biasa disebut wakalah atau
ijarah dengan konsekuensi hukum yang telah berlaku.
Akad muwakalah berupa pihak bank mewakilkan pembeli
untuk membeli barang atau pihak bank meminta tolong pada
pembeli untuk membelikan barang. Namun, kepemilikan barang
ketika dibeli tetap milik bank. Pembeli hanya dititipi untuk
membeli barang. Pihak bank hanya perlu mengecek faktur
pembelian kepada pihak yang dititipi ketika disuruh membeli.
Hal ini perlu dilakukan agar menghindari terjadinya barang
tidak dibeli dengan uang tersebut sehingga menjadi pinjaman
uang dengan pengembalian lebih.
Resiko yang muncul dalam proses pengadaan barang,
bukan milik pembeli, tetapi tanggung jawab penjual. Transaksi

27
ini akan berlaku ketika barang sudah diterima oleh pembeli
dalam keadaan selamat. Dalam transaksi ini berlaku dua akad:
a) Akad wakalah antara bank dengan nasabah di mana saat itu
bank membeli barang dari pihak ketiga dan pembeli saat itu
bertindak sebagai wakil dari pihak bank yang melakukan
pembelian barang dari pihak ketiga.
b) Akad jual-beli kredit. Setelah barang telah terbeli, maka bank
menjual barang tersebut dengan harga yang disepakati dua
pihak. Kemudian nasabah/pembeli membayar kepada bank
dengan cara kredit atau tidak tunai.
4) Kelemahan Bai’ bi Tsaman ‘Ajil
Transaksi jual beli bai` bi al-tsaman –‘ajil sangat
memungkinkan terjadi kesalahpahaman dan melangkar hukum
fikih ketika kurang memahami prinsip syariah dan begitu
tipisnya perbedaan dengan akad yang lain. Misalnya, ketika
pihak bank menitipkan uang kepada pembeli untuk membeli
barang yang telah disepakati dalam transaksi, ada celah yang
bisa dimanfaatkan. Misalnya, pembeli tidak membeli barang
yang dimaksudkan dalam transaksi, tetapi digunakan untuk
keperluan lain, atau membeli barang dengan harga yang lebih
murah, dan sisanya digunakan untuk keperluan yang lain. Lalu
ketika jatuh tempo, pembeli akan melunasi pembayaran yang
telah disepakati di awal antara pihak bank dan pembeli.
Jika transaksi semacam ini terjadi, berarti tidak ada
bedanya dengan pinjaman uang berbunga. Alasan membeli
barang hanya bentuk tipuan. Karena, secara aplikatif yang
terjadi adalah peminjaman uang dengan pengembalian
melebihi peminjaman. Dalam transaksi semacam itu telah
terjadi transaksi riba yang dilarang, baik dalil naqli maupun
aqli.
Jika pihak bank terjebak transaksi seperti di atas berarti
telah hilang prinsip syariahnya. Prinsip syariah yang
digunakan hanya kedok untuk menipu umat. Maka, bank yang
berlabel syariah harus berhati-hati dalam melakukan transaksi
agar tidak melanggar aturan agama. Di sini, penting kiranya,
pihak bank merekrut para bankir atau karyawan yang benar-
benar memahami prinsip bank syariah. Karena, ketika bankir

28
atau karyawan tidak memiliki pemahaman ekonomi syariah,
potensi penyalahgunaan atau kekeliruan semakin besar terjadi.
d. Sharf (Jual Beli Valuta)
1) Pengertian
Sharf menurut bahasa berarti tambahan. Sedangkan
menurut istilah, sharf adalah bentuk jual beli naqdaian, baik
sejenis maupun tidak, yaitu jual beli emas dengan emas, perak
dengan perak, atau emas dengan perak, baik berbentuk
perhiasan maupun mata uang.
Transaksi sharf dibolehkan karena Nabi saw. membolehkan
jual beli komoditas ribawi satu sama lainnya Ketika jenisnya
sama dan ada kesamaan ukuran, atau jenisnya berbeda
walaupun ada ketidaksamaan ukuran dengan syarat
diserahterimakan secara tunai {kontan).
2) Syarat Sharf
Syarat-syarat sharf adalah:
a) Adanya serah terima antara kedua pihak sebelum berpisah
Dalam akad sharf, disyaratkan adanya serah terima
barang sebelum kedua pihak yang melakukan akad berpisah.
Hal itu agar tidak terjatuh pada riba nasiah. Rasul saw.
bersabda:
،‫ ِّمثْال مبِِّّثْ ٍل‬،‫ َوالْ ِّملْ ُح ِّابلْ ِّملْ ِّح‬،‫ َوالت َّْمُر ِّابلت َّْم ِّر‬،‫ َوالشَّعِّريُ ِّابلشَّعِّ ِّري‬،‫ َوالُُّْب ِّابلُِّْرب‬،‫ضةُ ِّابلْ ِّفض َِّّة‬
َّ ‫ َوالْ ِّف‬،‫ب‬ ِّ ‫الذ َهب ِّاب َّلذ َه‬
ُ َّ «
‫ يَدا بِّيَ ٍد‬،‫َس َواء بِّ َس َو ٍاء‬

“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan


gandum jelai dengan jelai, kurma dengan kurma, dan garam
dengan garam, masing-masing harus serupa, harus sama,
diserahkan dari tangan ke tangan (tunai).” (HR. Jamaah kecuali
al-Bukhari)
Apabila kedua pihak atau salah satunya berpisah sebelum
adanya serah terima kedua barang, maka keduanya menjadi
fasid atau batal karena tidak adanya serah terima. Selain itu agar
akadnya tidak berubah bentuk menjadi jual beli utang dengan
utang yang mengakibatkan adanya riba fadl.
b) Adanya kesamaan ukuran jika kedua barang sejenis

29
Apabila barang sejenis dijual dengan sejenisnya seperti
perak dengan perak atau emas dengan emas, maka tidak boleh
dilakukan, kecuali bila timbangannya sama meskipun berbeda
kualitas dan bentuknya di mana salah satunya lebih berkualitas
daripada yang lain atau lebih bagus bentuknya.
c) Terbebas dari hak khiyar syarat
Dalam akad sharf tidak diperbolehkan adanya khiyar syarat
bagi kedua pihak yang melangsungkan akad atau salah satunya
karena dalam akad sharf serah terima merupakan salah satu
syarat. Apabila pihak yang mempunyai hak khiyar
menggugurkan haknya itu di majlis (tempat akad) kemudian
kedua pihakberpisah tanpa adanya serah terima, maka akadnya
menjadi boleh. Berbeda dengan itu, khiyar ru’yah dan khiyar aib
tidak menghalangi hak kepemilikan sehingga tidak memengaruhi
serah terima sama sekali meskipun kedua pihak berpisah dari
majlis.
d) Akad dilakukan secara kontan
Di antara syarat akad sharf adalah tidak adanya
penangguhan waktu, baik dari kedua pihak maupun salah
satunya. Kalau syarat ini tidak dipenuhi, maka akadnya menjadi
fasid karena sebagaimana diketahui serah terima dua barang yang
saling dipertukarkan mesti terlaksana sebelum terpisah.
Penangguhan waktu jelas akan menunda terjadinya serah terima
sehingga akad menjadi batal. Namun, apabila orang yang
menangguhkan tersebut membatalkan niatnya sebelum berpisah
dan melaksanakan aturan yang semestinya kemudian keduanya
berpisah dengan adanya serah terima, maka akad kembali lagi
menjadi boleh.
e. Jual Beli Online
Pengertian online shop adalah suatu proses pembelian barang
atau jasa dari mereka yang menjual melalui internet. Istilah lain
untuk bisnis onlinem adalah e-commerce. Tetapi yang pasti, setiap
kali orang berbicara tentang e- commerce, mereka memahaminya
sebagai bisnis yang berhubungan dengan internet. Dari definisi di
atas, bisa diketahui karakteristik bisnis online, yaitu:
1) Terjadinya transaksi antara dua belah pihak;
2) Adanya pertukaran barang, jasa, atau informasi;

30
3) Internet merupakan media utama dalam proses atau mekanisme
akad tersebut.
Jadi, yang membedakan antara bisnis online dan bisnis offline yaitu
proses transaksi (akad) dan media utama dalam proses tersebut.
Bentuk baru kegiatan jual beli ini tentu mempunyai banyak nilai
positif, di antaranya kemudahan dalam melakukan transaksi
(karena penjual dan pembeli tidak perlu repot bertemu untuk
melakukan transaksi). Online shop biasanya menawarkan
barangnya dengan menyebutkan spesifikasi barang, harga, dan
gambar. Dari situ pembeli memilih dan kemudian memesan barang
yang biasanya akan dikirim setelah pembeli mentransfer uang.
Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Risalah mengatakan bahwa
semua persoalan yang terjadi dalam kehidupan seorang muslim itu
tentu ada hukum jelas dan mengikat atau sekurang-kurangnya
ketentuan hukum harus dicari dengan cara ijtihad. Secara
konvensional jual beli dalam Islam diatur dalam fikih muamalah
yang mengharuskan adanya empat hal, yaitu: sighat al-’aqd (ijab
qabul), mahallul ‘aqd (obyek perjanjian/barang), al’aqidaian (para
pihak yang melaksanakan isi perjanjian) dan maudhu’ ul’aqd (tujuan
perjanjian).
Dalam transaksi mengunakan internet, penyediaan aplikasi
permohonan barang oleh pihak penjual di website merupakan ijab
dan pengisian serta pengiriman aplikasi yang telah diisi oleh
pembeli merupakan qabul. Adapun barang hanya dapat dilihat
gambarnya serta dijelaskan spesifikasinya dengan gamblang dan
lengkap, dengan penjelasan yang dapat memengaruhi harga jual
barang. Setelah ijab qabul, pihak penjual meminta pembeli
melakukan tranfer uang ke rekening bank milik penjual. Setelah
uang diterima, si penjual baru mengirim barangnya melalui kurir
atau jasa pengiriman barang. Jadi, Transaksi seperti ini (jual beli
online) mayoritas para ulama menghalalkannya selama tidak ada
unsur gharar atau ketidakjelasan, dengan memberikan spesifikasi
baik berupa gambar, jenis, warna, bentuk, model dan yang meme-
ngaruhi harga barang.
Dalam Islam sendiri sesungguhnya telah mengatur akad jual
beli dengan sistem pemesanan sebagaimana akad salam.
Sebagaimana ungkapan Abdullah bin Mas’ud juga menegaskan:

31
bahwa apa yang telah dipandang baik oleh muslim, maka baiklah
dihadapan Allah, Begitu juga sebaliknya.

5. Khiyar
a. Pengertian Khiyar
Khiyar menurut bahasa artinya “memilih yang terbaik”.
Sedangkan pengertian khiyar menurut istilah syara’ adalah penjual
dan pembeli boleh memilih antara meneruskan atau
mengurungkan jual belinya. Dalam pengertian lain, khiyar adalah
hak yang dimiliki oleh orang yang melakukan transaksi untuk
meneruskan atau membatalkannya sesuai kondisi orang yang
bertransaksi masing-masing.
Dalam bisnis, khiyar merupakan hal yang perlu
dipertimbangkan dan juga dipahami, baik oleh penjual maupun
pembeli. Khiyar dalam konteks jual beli bisa memiliki beberapa
maksud. Hal ini di antaranya adalah hak memilih yang diberikan
kepada dua belah pihak (penjual dan pembeli). Penjual dan
pembeli memiliki hak yang sama untuk melangsungkan jual beli
serta mengikuti syarat-syarat jual beli.
Tujuan adanya khiyar adalah agar kedua belah pihak (penjual
ataupun pembeli) tidak akan mengalami kerugian atau penyesalan
setelah transaksi yang diakibatkan dari sebab-sebab tertentu dari
proses jual beli yang dilakukan. Atau hal yang terkait mengenai
barang ataupun harga. Berikut adalah penjelasan mengenai khiyar
dalam jual beli.
Setiap aturan Islam pasti ada hikmah dan orientasi
pemecahan masalah yang dapat diselesaikan. Begitu pula dengan
adanya aturan khiyar dalam proses transaksi jual beli. Dengan
adanya aturan khiyar, dapat diambil beberapa hikmah yang luas, di
antaranya sebagai berikut:
1) Dengan adanya khiyar dapat dipertegas adanya akad yang
terdapat dalam jual beli;
2) Membuat kenyamanan dan akan muncul kepuasan dari masing-
masing belah pihak;
3) Dengan adanya khiyar, maka penipuan dalam transaksi akan
juga terhindarkan, karena adanya kejelasan dan hak yang sudah
jelas;

32
4) Tiap-tiap penjual dan pembeli dapat secara jujur dan transparan
melakukan proses transaksi;
5) Menghindarkan adanya perselisihan dalam proses jual beli.
Adanya khiyar tentu sangat menjaga proses transaksi jual
beli itu terlaksana dengan baik. Umat Islam yang baik dan taat
terhadap aturan agama hendaknya memperhatikan masalah
khiyar ini agar dapat terlaksana dengan lancar segala macam
transaksi bisnis yang dilakukannya. Masalah-masalah dalam
transaksi jual beli biasanya terjadi karena tidak ada kejujuran,
keterbukaan, dan transparansi dari tiap-tiap pihak. Khiyar ini
juga sekaligus mengajarkan pada manusia bahwa dalam sektor
apapun juga harus dilaksanakan sesuai dengan aturan yang
sesuai ajaran agama Islam.
b. Dasar Hukum Khiyar
Allah swt. berfirman dalam QS al-Baqarah/2: 275
ِّ‫اّللُ الْبَ ْي َع َو َحَّرَم ر‬
-٢٧٥- ‫الرَاب‬ ‫َح َّل ر‬
َ ‫َوأ‬
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan telah
mengharamkan riba.”
Lafaz jual beli dalam ayat ini adalah umum meliputi akad
jual beli. Dengan begitu, ia menjadi mubah (boleh) untuk semua
termasuk khiyar.
Sedangkan dari hadis Rasulullah saw. bersabda:
‫ قال النيب صلى هللا عليه و سلم ( البيعان ابْليار ما ل يتفرقا أو يقول أحدُها‬:‫عن ابن عمر رضي هللا عنهما قال‬
) ‫ ورمبا قال ( أو يكون بيع خيار‬. ) ‫لصاحبه اخْت‬

Telah bersabda Nabi: “Penjual dan pembeli boleh melakukan


khiyar selagi keduanya belum berpisah, atau salah seorang
mengatakan kepada temannya: pilihlah. Dan kadang-kadang
beliau bersabda: atau terjadi jual beli khiyar.” (HR. Al-Bukhari).
Pada hadis yang lain, Nabi bersabda:
‫عن حكيم بن حزام رضي هللا عنه قال قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم ( البيعان ابْليار ما ل يتفرقا أو قال حىت‬
) ‫يتفرقا فإن صدقا وبينا بورك هلما يف بيعهما وإن كتما وكذاب حمقت بركة بيعهما‬

Dari Hakim bin Hizam dari Nabi, beliau bersabda: “Penjual dan
pembeli boleh melakukan khiyar selama mereka berdua belum
berpisah. Apabila mereka berdua benar-benar dan jelas, maka
mereka berdua diberi keberkahan di dalam jual beli mereka, dan

33
apabila mereka berdua berbohong dan merahasiakan, maka
dihapuslah keberkahan jual beli mereka berdua.” (HR. Al-
Bukhari).
Dua hadis di atas menunjukkan adanya hak khiyar bagi
orang yang sedang melakukan transaksi jual beli.
c. Macam-macam Khiyar
Secara umum, khiyar dibagi kepada:
1) Khiyar Majlis
Khiyar majlis sah menjadi milik si penjual dan si pembeli
semenjak dilangsungkannya akad jual beli hingga mereka
berpisah, selama mereka berdua tidak mengadakan kesepakatan
untuk tidak ada khiyar, atau kesepakatan untuk menggugurkan
hak khiyar setelah dilangsungkannya akad jual beli atau seorang
di antara keduanya menggugurkan hak khiyarnya, sehingga
hanya seorang yang memiliki hak khiyar.
Dari Ibnu Umar r.a. dari Rasulullah saw. bersabda,
“Apabila ada dua orang melakukan transaksi jual beli, maka
masing-masing dari mereka (mempunyai) hak khiyar, selama
mereka belum berpisah dan mereka masih berkumpul atau salah
satu pihak memberikan hak khiyarnya kepada pihak yang lain.
Namun, jika salah satu pihak memberikan hak khiyar kepada
yang lain lalu terjadi jual beli, maka jadilah jual beli itu, dan jika
mereka telah berpisah sesudah terjadi jual beli itu, sedang salah
seorang di antara mereka tidak (meninggalkan) jual belinya,
maka jual beli telah terjadi juga).”
Penjual dan pembeli yang khawatir membatalkan bila
meninggalkan majlis, maka hendaknya tidak meninggalkan
majlis. Hal ini sesuai dengan hadis dari Amr bin Syu’aib dari
bapaknya dari datuknya bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Pembeli dan penjual (mempunyai) hak khiyar selama mereka
belum berpisah, kecuali jual beli dengan akad khiyar, maka
seorang di antara mereka tidak boleh meninggalkan rekannya
karena khawatir dibatalkan”.
2) Khiyar Syarat
Khiyar syarat yaitu kedua orang yang sedang melakukan
jual beli mengadakan kesepakatan menentukan syarat, atau

34
salah satu di antara keduanya menentukan hak khiyar sampai
waktu tertentu, maka ini dibolehkan meskipun rentang waktu
berlakunya hak khiyar tersebut cukup lama. Hadis dari Ibnu
Umar r.a., dari Nabi saw. Beliau bersabda, “Sesungguhnya dua
orang yang melakukan jual beli mempunyai hak khiyar dalam
jual belinya selama mereka belum berpisah, atau jual belinya
dengan akad khiyar”.
Jika mencermati pengertian, tujuan dan maksud
disyariatkannya khiyar syarat, maka dapat dipahami bahwa
antara khiyar syarat dan garansi memiliki perbedaan yang
cukup mendasar sekalipun dalam hal tertentu memiliki sisi
kesamaan. Perbedaan mendasarnya adalah bahwa khiyar syarat
merupakan suatu transaksi antara penjual dan pembeli yang
dapat menyebabkan terjadinya pembatalan transaksi jual beli
sesuai dengan kesepakan kedua belah pihak. Sedangkan garansi
umumnya merupakan salah satu bentuk pelayanan pihak
penjual untuk menjamin kualitas barang, di mana selama waktu
yang telah ditentukan, penjual memberikan perawatan terhadap
barang yang telah dijual jika terjadi sesuatu, baik menyangkut
perawatan maupun kerusakan dan tidak berakibat pada
pembatalan transaksi jual beli.
Adapun persamaannya adalah, baik khiyar syarat maupun
sistem garansi, sama-sama memiliki motif untuk menjamin hak-
hak mereka (penjual dan pembeli) sehingga mereka tidak merasa
dirugikan dan terciptanya kepuasan dan saling rida (rela) antara
mereka berdua sesuai dengan spirit yang diajarkan oleh
Rasulullah saw.,“Innamal bai’ ‘an taradhin” (hanya saja jual beli
harus atas dasar saling meridai).
3) Khiyar Aib
Jika seseorang membeli barang yang mengandung aib atau
cacat dan ia tidak mengetahuinya hingga si penjual dan si
pembeli berpisah, maka pihak pembeli berhak mengembalikan
barang dagangan tersebut kepada si penjualnya. Hal ini sesuai
riwayat dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasul saw. bersabda
“Barangsiapa membeli seekor kambing yang diikat teteknya,
kemudian memerahnya, maka jika ia suka, ia boleh
menahannya, dan jika ia tidak suka (ia kembalikan) sebagai
ganti perahannya adalah (memberi) satu sha’ tamar”.

35
4) Khiyar Ru'yah
Khiyar ru'yah adalah hak pembeli dalam membatalkan atau
meneruskan transaksi jual beli yang disebabkan objek transaksi
belum tampak saat akad dilakukan. Pada khiyar ini, pembeli
belum dapat meneliti barang yang dibelinya. Nabi Muhammad
bersabda: ”Siapa saja yang membeli sesuatu yang belum
dilihatnya, maka ia berhak khiyar bila telah melihatnya.”(HR.At-
Tirmizi).
d. Cara Menggugurkan Khiyar
Cara mengugurkan Khiyar ada tiga:
1) Pengguguran Jelas (Sharih)
Penguguran sharih ialah penguguran oleh orang yang
berkhiyar, seperti menyatakan,”Saya batalkan khiyar dan saya
rida.” Dengan demikian, akad menjadi lazim (sahih).
Sebaliknya, akad gugur dengan pernyataan, ”Saya batalkan
atau saya gugurkan akad.”
2) Pengguguran dengan Dilalah
Pengguguran dengan dilalah adalah adanya tasharruf
(beraktivitas dengan barang tersebut) dari perilaku khiyar
yang menunjukkan bahwa jual beli jadi dilakukan, seperti
pembeli menghibahkan barang tersebut kepada orang lain,
atau sebaliknya, pembeli mengembalikan kepemilikan kepada
penjual.
3) Pengguran khiyar dengan kemudaratan
e. Sebab-sebab Gugurnya Khiyar
1) Habis Waktu
Khiyar menjadi gugur setelah habis waktu yang telah
ditetapkan walaupun tidak ada pembatalan dari yang berkhiyar.
Dengan demikian, akad menjadi lazim atau mengikat. Hal ini
sesuai dengan pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanbaliyah.
Sedangkan menurut ulama Malikiyah, akad tidak gugur dengan
berakhirnya waktu, tetapi harus ada ketetapan dari yang
berkhiyar, sebab khiyar bukan kewajiban. Contohnya, janji
seorang tuan terhadap budak untuk dimerdekakan pada waktu
tertentu. Budak tersebut tidak merdeka karena berkhirnya
waktu.
2) Kematian Orang yang Memberikan Syarat

36
Jika orang yang memberikan syarat meninggal dunia, maka
khiyar menjadi gugur, baik yang meninggal itu sebagai pembeli
maupun penjual, lalu akad pun menjadi lazim, sebab tidak
mungkin membatalkannya. Namun, tentang kewarisan syarat
para ulama berbeda pendapat, antara lain: Menurut ulama
Hanafiyah, khiyar syarat tidak dapat diwariskan, tetapi gugur
dengan meninggalnya orang yang memberikan syarat; Ulama
Hanbaliyah berpendapat bahwa bahwa khiyar menjadi batal
dengan meninggalnya orang yang memberikan syarat, kecuali
jika ia mengamanatkan untuk membatalkannya. Dalam hal ini,
khiyar menjadi kewajiban ahli waris; Ulama syafi’iyah dan
Malikiyah berpendapat bahwa khiyar menjadi haknya ahli
waris. Dengan demikian, tidak gugur dengan meninggalnya
orang yang memberikan syarat.
3) Adanya Hal-hal yang Semakna dengan Mati
Khiyar gugur dengan adanya hal-hal yang serupa dengan
mati, seperti gila, mabuk, dan lain-lain. Dengan demikian, jika
akal seseorang hilang karena gila, mabuk, tidur, maka akadnya
menjadi batal.
4) Barang Rusak Ketika Masa Khiyar
Tentang rusaknya barang ketika khiyar terdapat beberapa
masalah, apakah rusaknya setelah diserahkan kepada pembeli
atau masih dipegang penjual dan lain-lain, sebagaimana akan
dijelaskan di bawah ini:
a) Jika barang masih di tangan pembeli batallah jual beli dan
khiyar pun gugur;
b) Jika barang sudah pada tangan pembeli, jual beli batal jika
khiyar berasal dari penjual, tetapi pembeli harus
menggantinya;
c) Jika barang suadah ada di tangan pembeli dan khiyar dari
pembeli, jual-beli menjadi lazim dan khiyar pun gugur.
5) Adanya Cacat pada Barang
Dalam masalah ini ada beberapa penjelasan. Jika khiyar
berasal dari penjual dan cacat terjadi dengan sendirinya, khiyar
gugur dan jual-beli batal. Tetapi, jika cacat karena perbuatan
pembeli atau orang lain,maka khiyar tidak gugur dan pembeli
bertanggung jawab atas kerusakannya. Jika khiyar berasal dari

37
pembeli dan ada cacat karena perbuatan orang lain, maka khiyar
gugur, tetapi jual beli tidak gugur sebab barang menjadi
tanggung jawab pembeli.
f. Hak Khiyar dalam Jual Beli Online
Perkembangan teknologi saat ini bisa memudahkan transaksi
melalui jarak jauh, dimana manusia bisa dapat berinteraksi secara
singkat walaupun tanp face to face, akan tetapi di dalam bisnis
adalah yang terpenting memberikan informasi dan mencari
keuntungan. Oleh sebab itu, jual beli online dalam Islam
diperbolehkan dengan syarat harus diterangkan sifat-sifatnya dan
ciri-cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan
penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi, jika tidak sesuai maka
pembeli mempunyai hak khiyar, artinya boleh meneruskan atau
membatalkan jual belinya.
Dalam UU RI No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen Pasal 7 huruf E yang berbunyi “memberi kesempatan
kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi
atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan”. UU
tersebut kiranya penting karena pada umumnya konsumen sering
berada pada posisi yang dirugikan dalam transaksi jual beli online,
seperti barang yang tidak sesuai dengan pemesanan, penipuan, dan
sebagainya. Dalam hukum jual beli online, perlu ada ketentuan
khiyar agar hak-hak konsumen bisa terlindungi. Yang paling
penting adalah kejujuran, keadilan, dan kejelasan dengan
memberikan data secara lengkap dan tidak ada niat untuk menipu
atau merugikan orang lain sebagaimana firman Allah dalam QS al-
Baqarah/2: 275 dan 282 harus ada dalam transaksi jual beli online.
g. Hikmah Khiyar
1) Khiyar dapat membuat akad jual beli berlnagsung menurut
prinsip-prinsip Islam, yaitu suka sama suka antara penjual dan
pembali;
2) Mendidik masyarakat agar hati-hati dalam melakukan akad jual
beli, sehingga pembeli mendapatkan barang yang baik atau
benar-benar disukainya;

38
3) Penjual tidak semena-mena menjual barangnya kepada pembeli
dan mendidiknya agar besikap jujur dalam menjelaskan keadaan
barang;
4) Terhindar dari unsur-unsur penipuan, baik dari pihak penjual
maupun pembeli, karena ada kehati-hatian dalam proses jual
beli;
5) Khiyar dapat memelihara hubungan baik dan terjalin cinta kasih
antra sesama. Adapun ketidakjujuran atau kecurangan pada
akhirnya akan berakibat dengan penyesalan yang mengarah
pada kemarahan, kedengkian.

D. Kontekstualisasi Nilai-nilai Moderasi Beragama dalam Materi Jual Beli dan


Khiyar
Jual beli merupakan aktivitas ekonomi yang dibolehkan dalam Islam.
Aktivitas jual beli mengharuskan adanya kerelaan dalam serah terima barang
yang diperjualbelikan. Aktivitas jual beli saat ini sangat bervariasi dan bentuk
lain dapat muncul setiap saat, baik diadaptasi dari kebiasaan masyarakat
tertentu mapun perpaduan dari berbagai bentuk jual beli. Syariat Islam
membolehkan aktivitas jual beli termasuk jual beli yang baru bermunculan
seperti salam, istishna, jual beli online dan sebagainya selama tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Akomodasi terhadap bentuk-bentuk jual beli tersebut merupakan
implementasi dari nilai-nilai moderasi beragama berupa i'tibar al- ‘urf (ramah
terhadap budaya) dan juga mengandung nilai ishlah (perdamaian) sehingga
kemaslahatan dalam bermuamalah dapat diraih atau diperoleh. Keharusan
adanya kerelaan dalam transaksi jual beli serta adanya khiyar untuk
melanjutkan jual beli atau tidak juga mengandung nilai la ‘unf (anti kekerasan)
sebagai bentuk moderasi beragama.
Selain nilai ‘urf dan ishlah tersebut, nilai moderasi beragama apa saja
yang dapat Saudara peroleh dari materi jual beli dan khiyar?

E. Latihan
Rina seorang gadis yang sangat aktif di media sosial. Ia membeli kue
kesukaannya melalui aplikasi secara online dan membayarnya setelah kue
tersebut diantar ke rumahnya. Satu minggu sebelumnya, ia juga membeli
sebuah tas melalui aplikasi online shooping secara tunai dengan mentransfer
harga tas tersebut. Satu minggu kemudian tas tersebut sampai tetapi

39
warnanya berbeda dari warna yang dipesan. Hari itu juga Rina membeli
sepatu olahraga yang akan dicicil selama 3 bulan sejak sepatu itu diterima.
Tugas: Baca dan analisis kasus tersebut di atas, lalu kemukakan jawaban
Saudara terhadap pertanyaan berikut!
1. Akad jual beli apa saja yang dilakukan oleh Rina ketika membeli
kue, tas, dan sepatu? Apakah jual beli tersebut dibolehkan
meskipun penjual dan pembeli tidak saling bertemu muka dalam
satu tempat?
2. Dapatkah Rina mengembalikan tas yang ia beli secara online
namun berbeda dengan yang ia terima?
3. Bagaimana kalau pihak penjual sepatu yang dibeli oleh Rina tidak
mau menerima kembali sepatu tersebut?
F. Daftar pustaka
Abd. Rahman, dkk. Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana, 2010.
Abdur Rahman I. Muamalah (Syari‟ah III). Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996.
Afandi, M. Yazid. Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009.
al-Anshari, Imam Abi Zakaria. Fathu al-Wahab. Surabaya: al-Hidayah.
al-Azzam, Abdul Aziz Muhammad. Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi dalam
Islam. Jakarta: Amzah, 2014.
Basyir. Asas – Asas Hukum Muamalah (Hukum Perdata Islam)
Basyith, Ahmad Azhar. Asas-asa Hukum Mu’amalah. Yogyakarta: UII Pres,
1990.
Daud, Ali Mahmud. Hukum Islam di Indonesia: Pengantar Hukum Islam dan Tata
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Grafindo, 1993.
Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Ibn Abidin¸ Ad-Dar-Al-Muhtar, Hasan, Ali, Bebagai Macam Transaksi dalam
Islam,
Ibn Husain, Imam Ahmad. Fathu al-Qorib al-Mujib. Surabaya: al-Hidayah.
Ibnu Mas’ud & Zainal Abidin. Fiqih Madzhab Syafi’i. Bandung: Pustaka Setia,
2007.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Jld. III, Cet. IV; Beirut: Dar al-Fikr, 1983
Sahroni, Oni. Fikih Muamalah. Jakarta: PT Grafindo Persada, 2016.

40
Syafii, Imam. Al-Risalah. Alih bahasa Ahmadi Thoha, Cet. I; Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1986.
Syarifuddin, Amir. Fiqh Muamalah. Jakarta: Pranada Media, 2005.
Thayar, Abdullah bin Muhammad, dkk. Ensiklopedi Fiqh Muamalah dalam
Pandangan 4 Madzab. Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2004.
al-Zuhaily, Wahbah. Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu. Jilid IV, Cet. IV;
Beirut: Dar al-Fikr al- Muashir, 2005.
Ibn Rusyd, Abu al-Walid bin Muhammad bin Ahmad, Bidayah al-
Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Berikut:Dar al-Kitab al-‘Ulumyyah,
1983, jilid 2,
Al-Dasuqi, Muhammad bin Ahmad bin Arafah, Hasyiyah al-Dasuqi ‘ala
Ummi al-Barahin, Berikut:Dar al-Kutub al-Islamiyyah,1989, jilid 3

41

Anda mungkin juga menyukai