Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Tentang

“ QIYAS ISTISHNA’I DAN SYARAT-SYARATNYA ”

Diajukan Untuk Tugas Makalah Mata Kuliah Ilmu Mantik Dan Logika

Dosen Pembimbing : Dr. Alma’arif, Hum

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK II

IMELLITA SURI AMANADA (182221361)

DEA FEBIYANA (182221356)

Kelas : III A

PRODI HUKUM TATA NEGARA


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI BENGKALIS
2022
KATA PENGANTAR

          Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan rahmat
dan hidayahnya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Selawat serta salam
semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.

            Dalam makalah “ Qiyas Istishna’i dan Syarat-Syaratnya ” penulis bermaksud


menjelaskan secara detail akan Penalaran. Adapun tujuan selanjutnya adalah untuk
memenuhi salah satu syarat tugas mata kuliah Fiqh Muammalah.

            Akhir kata tak ada gading yang tak retak, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun untuk perbaikan penulis dalam menyelesaikan tugas ini.

Bengkalis, 04 Agustus 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................2
C. Tujuan Pembuatan Makalah..........................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Ijarah .............................................................................................................3
B. Syirkah ..........................................................................................................9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................................15
B. Saran..............................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mantiq adalah alat atau dasar yang penggunaannya akan menjaga
kesalahan dalam berpikir. Diantara pendapat yang lain
mengatakan bahwa,Ilmu mantiq adalah ilmu tentang kaidah-kaidah
yang dapat membimbing manusia ke arah berfikir secara benar, yang
menghasilkan kesimpulan yang benar sehingga ia terhindar dari berfikir
secara keliru dan menghasilkan kesimpulan salah.
Lebih jelasnya,Mantiq adalah sebuah ilmu yang membahas tentang
alat dan formula berpikir, sehingga seseorang yang menggunakannya
akan selamat dari cara berpikir salah. Manusia sebagai makhluk yang
berpikir tidak akan lepas dari berpikir. Namun, saat berpikir, manusia
seringkali dipengaruhi oleh berbagai tendensi, emosi, subyektifitas dan
lainnya sehingga ia tidak dapat berpikir jernih, logis dan obyektif.
Mantiq merupakan upaya agar seseorang dapat berpikir dengan cara
yang benar, tidak keliru.
Diantara pembelajaran ilmu mantiq yang takkalah pentingnya
yaitu
Qiyas istitsna’i.Makalah ini kami coba membahas tentang pengertian
qiyas istitsna’i dan pembagiannya.

Hidup bagi manusia berarti rangkaian keputusan yang tiada henti-hentinya.


Keputusan itu adakalanya dikatakan dalam bentuk bahasa, adakalanya dinyatakan
dalam bentuk tindakan dan adakalanya tinggal saja dalam batin manusia. Adapun
keputusan tersebut merupakan hasil dari qiyas (Syllogisme), yaitu pengambilan
kesimpulan dimana kita menarik dua macam keputusan (qadhiyah) yang mengandung
unsur bersamaan dan salah satunya harus universil, suatu keputusan ketiga yang

1
kebenarannya sama dengan kebenaran yang ada pada kedua keputusan yang
terdahulu itu.
Agar qiyas menjadi jalan pikiran yang lurus sehingga mencapai kebenaran,
maka qiyas harus tunduk pada kebenaran ketentuan. Jika qiyas telah mengikuti
aturan-aturan ini maka ia akan menghasilkan kebenaran logis atau kebenaran formal.
Sedangkan kebenaran objektif atau kebenaran material akan tercapai jika premis-
premisnya telah dibuktikan kebenarannya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang masalah maka perumusan masalah yang akan
diangkat dalam kajian ini adalah
1. Bagaimana ijarah dan syirkah dalam pemahaman islam baik dari segi defenisi?
2. Apa dasar hokum ijarah dan syirkah
3. Apa rukun ijarah dan syirkah
4. Apa syarat ijarah dan syirkah
5. Apa macam dan jenis serta berakhirnya suatuijrah dan syirkah

C. Tujuan Penulisan Makalah


1. Untuk mengetahui definisi ijarah dan syirkah
2. Untuk mengetahui dasar hukum ijarah dan syirkah
3. Untuk mengetahui Rukun dan syarat ijarah dan syirkah
4. Untuk mengethui macam dan jenis serta berakhirnya suatuijrah dan syirkah

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian qiyas istishna’i

Qiyas istisna’i adalah qiyas yang natijahnya telah di sebutkan atau naqidnya
dengan nyata(bil fi’il).1

Qiyas istitsna’i ialah suatu qiyas yang disebutkan ‘ain natijahnya atau naqidh
natijahnya dengan nyata. Qiyas ini tersusun dari dua muqaddimah, salah satunya ialah
qadhiyyah syarthiyyah yang ada pada permulaannya, dan disebut muqaddimah kubra, dan
yang kedua istitsna’i, yaitu suatu qadhiyyah yang permulaannya menggunakan adat istitsna’i
2
yaitu “tetapi” ( ‫) لكنه‬ disebut muqaddimah shugra. Maka dengan
mengecualikan salah satu dari ujung syarthiyahnya atau naqidnya, maka
menatijahkan ujung yang lainnya atau naqidnya.3
Adapun syarat untuk menghasilkan kesimpulan (natijah) yang
benar dalam qiyas sitisna’I ada dua: pertama, mesti menggunakan
qadiyah syartiyah mujabah. Kedua, mesti terdapat hubungan sebab-

1
DRS. H. A. Basiq djalil, S.H.,MA. Logika ilmu mantiq( jakarta,prenadamedia.2010)
hlm 71-73
2
Syukriadi Sambas, Mantik Kaidah Berpikir Islami, (Bandung:Remaja:Rosdakarya Offset,1996) hal. 121
3
M. Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Mantiq (Logika), Cet. Kedua (Jakarta: Widjaya, 1981) hal 141

3
akibat pada qiyas istisna’I ittishali, dan terdapat kontradiksi pada qiyas
istisna’I infishali.4
Qiyas ini dibagi dua bagian, yaitu:
1. Istitsna’i ittishali, yaitu qiyas yang muqaddimah kubranya merupakan
syarthiyyah muttashilah (sebab-akibat).. Contoh :

Apabila seseorang itu hidup bersih, maka ia jarang terkena penyakit. •


Tetapi ia hidup bersih.  Maka ia jarang terkena penyakit.

2. Istitsna’i infishali, yaitu qiyas yang muqaddimah kubranya merupakan


syarthiyyah munfashilah.
Contoh:

• Laut itu adakalanya tenang, dan adakalanya berombak.


• Tetapi laut itu tenang.
 Maka laut itu tidak berombak.
1. Hukum Qiyas Istitsna’i Ittishali Qiyas ini mempunyai hukum-hukum yang berhubungan
dengan natijah, yaitu:
a. Mengistitsnakan (mengecualikan) ‘ain muqaddam, menatijahkan ‘ain tali, seperti:
4
Syukriadi Sambas, opcit., hal. 121

4
• Bilamana matahari telah tergelincir, maka wajib shalat zuhur.
• Akan tetapi matahari telah tergelincir.
 Maka wajib shalat zuhur.

b. Mengecualikan naqidh tali, menatijahkan naqidh muqaddam, seperti: • Bilamana derajat


panas si sakit 42ºC, maka tidak ada harapan untuk hidup. • Akan tetapi, harapan hidup
masih ada. • Maka derajat panas si sakit tidak sampai 42ºC

c. Penjelasan Adapun istitsna’i tali, maka tidak melazimkan menetapkan ‘ain al-muqaddam,
seperti:
“Bilamana sesuatu itu emas, maka ia barang tambang, akan tetapi ia barang tambang”,
maka tidak boleh ditetapkan natijahnya “maka ia adalah emas” karena barang tambang
lebih umum daripada emas, dan tidak melazimkan dari ketetapan umum membawa kepada
ketetapan yang lebih khusus. Demikian pula istitsna’i naqidh muqaddam tidak melazimkan

5
menetapkan naqidh tali, sebagaimana dikatakan “tetapi ia bukan emas”, maka tidak bisa
ditetapkan natijahnya dengan “bahwa ia bukan barang tambang”, karena emas itu lebih
khusus dari barang tambang dan tidak melazimkan menafikan yang lebih khusus untuk
menafikan yang lebih umum. Tegasnya karena tali lebih umum daripada muqaddam, maka
ketetapan umum tidak melazimkan membawa ketetapan yang lebih khusus, seperti adanya
binatang tidak melazimkan adanya manusia. Demikian pula karena muqaddam lebih khusus
daripada tali, maka menafikan yang khusus tidak melazimkan menafikan yang umum,
seperti adanya manusia tidak melazimkan tiadanya binatang.
3. Hukum Qiyas Istitsna’i Infishali Qiyas ini mempunyai hukum-hukum
yang khusus pula, yaitu: a. Apabila syarthiyyah munfashilah itu
haqiqiyyah (mani’ atau jam’in wa khuluwwin), maka istitsna ‘ain salah
satu dari ujung dua qadhiyyah (muqaddam/tali) menatijahkan naqidh
yang lain, seperti: • Adakalanya qadhiyyah itu benar dan adakalanya
bohong. • Tetapi qadhiyyah itu benar. Maka tidak bohong. Atau:
“Tetapi qadhiyyah itu bohong”, maka tidak benar. Dan istitsna’i naqidh
salah satu dari dua ujung qadhiyyah, menatijahkan ‘ain yang lainnya,
seperti: • Adakalanya qadhiyyah itu benar dan adakalanya bohong. •
Tetapi qadhiyyah itu tidak benar. Maka ia bohong. Atau: “Tetapi
qadhiyyah itu tidak bohong”, maka ia benar. b. Apabila syarthiyyah
munfashilah itu mani’ atau khuluwwin saja, maka dengan istitsna’
naqidh salah satu dari dua ujung menatijahkan ‘ain yang lainnya,
seperti: • Adakalanya sesuatu itu bukan pohon dan bukan batu. •
Tetapi ia adalah pohon.  Maka bukan batu. Atau: “Tetapi ia adalah
batu”, maka bukan pohon. Dan istitsna’i ‘ain salah satu dari dua ujung
qadhiyyah tidak ada natijahnya.
c. Apabila syarthiyyah munfashilah itu mani’ atau jam’in saja, maka
mengistitsnakan ‘ain salah satu ujung dua qadhiyyah (muqaddam/tali)
akan menatijahkan naqidh5 yang lainnya, seperti: • Adakalanya kain itu

5
Basiq Djalili, Logika (Ilmu Mantiq), Jakarta:Kencana Predana Media Group, 2010) hal. 94-95

6
merah dan adakalanya hijau. • Tetapi kain itu merah. Maka ia tidak
hijau. Atau: “Tetapi kain itu hijau”, maka ia tidak merah. Dan istitsna’i
naqidh salah satu ujung dua qadhiyyah (muqaddam/tali) tidak ada
natijahnya. 3. Syarat-syarat Qiyas Istitsna’i Agar qiyas istitsna’i itu
mempunyai natijah, maka diperlukan dua syarat: a. Hendaklah
qadhiyyah syarthiyyah itu mujabah, maka tidak ada natijahnya contoh
di bawah ini:

b. Hendaklah qadhiyyah itu luzumiyyah pada qadhiyyah syarthiyyah muttashilah dan


inadiyyah pada qadhiyyah syarthiyyah munfashilah. Jadi tidak ada natijahnya, contoh di
bawah ini:6

6
A. Chaerudji Abdulchalik, Oom Mukarromah. 2013. Ilmu mantiq. PT RajaGrafindo Persada : jakarta,
hlm. 122-128

7
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

Demikian makalah yang dapat kami uraikan. Kritik dan saran dari pembaca
sangat kami harapkan. Terimaksih dan semoga bermanfaat.

8
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai