Anda di halaman 1dari 16

GENERALISASI KAIDAH-KAIDAH HUKUM ISLAM

MAKALAH
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Filsafat Hukum Islam”

Dosen Pengampu :
H. M. Ghufron, LC, MHI.

Disusun Oleh:
Kelompok8:

• Septilah Qurrota A’yun C71218087


• Agus Eko Saputro C91218093
• Abdur Rohim C91218092

PROGRAM STUDI AL-AKHWAL AS-SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN AMPEL SURABAYA


2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah Swt. Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judulKaidah-kaidah Hukum Islam.
Dalam menyelesaikan makalah ini kami telah berusaha untuk mencapai
hasil yang maksimum, akan tetapi dengan keterbatasan wawasan pengetahuan,
pengalaman, kemampuan dan waktu yang kami miliki, kami meyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna.

Terselesaikanya makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan terima kasih kepada
dosen pembimbing mata kuliah Filsafat Hukum Islam dan teman yang telah
bekerjasama untuk menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari


sempurna. Oleh karena itu, kami mengharap kritik dan saran demi perbaikan dan
sempurnanya makalah ini sehingga dapat bermanfaat bagi pembaca.

gresik, 13 Oktober2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

COVER ......................................................................................................................................1
KATA PENGANTAR ...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................................4
A. Latar Belakang ................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah ...........................................................................................................4
C. Tujuan ............................................................................................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN ...........................................................................................................5


A. Definisi Kaidah Hukum Islam ........................................................................................5
B. Macam-macam Kaidah Hukum Islam ............................................................................5
C. Urgensi Kaidah Hukum Islam .....................................................................................12
BAB III PENUTUP .................................................................................................................14
A. Kesimpulan ...................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................16

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Untuk menetapkan hukum atas sebuah persoalan yang dihadapi oleh umat
Islam maka jalan yang ditempuh oleh para ulama untuk menetapkannya
adalah dengan melihatnya dalam al-Qur’an, Al-Hadis, Ijma' dan Qiyas.
Sumber hukum baru yang timbul akibat adanya persoalan baru yang tidak
dimuat dalam sumber hukum Islam, para ulama berbeda pendapat dalam
menetapkannya. Ada yang berpendapat bahwa apabila suatu persoalan baru
timbul dan itu tidak diatur dalam al-Qur’an dan al-Hadis, maka dikembalikan
kepada Ijma’. Apabila dalam ketiga hal tersebut di atas tidak juga ditemukan
maka para ulama mengembalikannya kepada sumber-sumber hukum yang lain
seperti Qiyas, Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah dan Syar’u man Qablana.
Untuk menetapkan sumber-sumber hukum Islam ini, selain para ulama
berbeda pendapat, mereka (para ulama) juga berbeda pendapat dalam
menetapkan kaidah-kaidahnya. Perbedaan dalam kaidah-kaidah ini secara
otomatis akan menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam bidang produk
hukum, sebab kaidah sangat menentukan produk hukum. Namun satu hal yang
pasti adalah kaidah-kaidah sangat menentukan dan sangat membantu
seseorang dalam mengistinbathkan hukum.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi kaidah hukum Islam?
2. Apa saja macam-macam kaidah hukum Islam?
3. Bagaimana urgensi kaidah hukum Islam?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi kaidah hukum Islam
2. Untuk mengetahui macam-macam kaidah hukum Islam
3. Untuk mengetahui urgensi kaidah hukum Islam

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi GeneralisasiKaidah Hukum Islam


Generalisasi adalah suatu penalaran yang menyimpulkan suatu kesimpulan
bersifat umum dari premis-premis yang berupa proposisi empiris. Prinsip yang
menjadi penalaran generalisasi dapat dirumuskan “ sesuatu yang beberapa kali
terjadi dalam kondisi tertentu, dapat diharapkan akan selalu terjadi apabila
kondisi yang sama terpenuhi”.
Macam-macam generalisasi dibagi menjadi dua, yakni generalisasi
sempurna adalah generalisasi dimana seluruh fenomena yang menjadi
dasarpenyimpulan diselidiki. Sedangkan generalisasi tidak sempurna yaitu
generalisasi yang berdasarkan sebagian fenomena untuk mendapatkan
kesimpulan yang berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diselidiki.
Generalisasi dibedakan menjadi dua bentuk, yakni generalisasi loncatan
induktif dan tanpa loncatan induktif. Loncatan induktif tetap bertrolak dari
beberapa fakta, namun fakta yang digunakan belum mencerminkan seluruh
fenomena yang ada, sedangkan tanpa loncatan induktif adalah sebuah
generalisasi apabila fakta-fakta yang diberikan cukup banyak dan
meyakinkan, sehinggatidak dapat peluang untuk menyerang kembali.
Secara etimologi kata kaidah berarti asas. Sedangkan secara terminologi
kata kaidah memiliki beberapa makna diantaranya sebagai berikut:
1. Menurut As-Suyuthi dalam kitab Al-Asybah wa An-Nazhair bahwa kaidah
adalah hukum yang bersifat kulli (menyeluruh) atau general law yang
meliputi semua bagiannya.
2. Menurut Mustafa Az-Zarqa, kaidah ialah hukum yang bersifat aghlabi
(berlaku sebagian besar) yang meliputi sebagian besar dalilnya.1
3. Kaidah ialah pengendalian dari hukum-hukum furu' yang bermacam-
macam dengan meletakkannya dalam satu wadah (kaidah) yang umum
(kulli) yang mencakup seluruh furu'.2

1
T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 442-443.

5
Kaidah merupakan rumusan-rumusan yang bersifat global guna membantu
mujtahid dalam penetapan hukum tentang masalah furu' (cabang) atau kaidah-
kaidah umum yang disusun oleh para ulama berdasarkan norma yang terdapat
dalam nash Al-Qur'an dan sunnah melalui metode induktif. Kaidah-kaidah ini
kemudian dijadikan pedoman dalam menentukan hukum berbagai peristiwa
dan masalah yang berhubungan dengan perbuatan manusia.

B. Macam-macam Kaidah Hukum Islam

1. Kaidah Asasiyah, adalah kaidah yang dipandang sebagai kaidah induk.


Kaidah ini dipegang oleh seluruh madzhab. Kaidah ini juga terkenal
dengan istilah Qawaid al-Khamsah (kaidah yang lima) atau panca kaidah.
Adapun kelima kaidah ini adalah sebagai berikut:3
a. " ‫االمور بمقا صد حا‬Segala sesuatu (perbuatan) tergantung pada
tujuannya"
Pengertian kaidah bahwa hukum yang berimplikasi terhadap suatu
perkara yang timbul dari perbuatan atau perkataan subjek hukum
(Mukallaf) tergantung dari maksud dan tujuan perkara tersebut (niat).
Kaidah ini berkaitan dengan setiap perbuatan atau perkataan-
perkataan hukum yang dilarang dalam syariat Islam. Dalam perbuatan
ibadah khusus, niat adalah merupakan rukun, sehingga menentukan
sah atau tidaknya suatu amal. Misalnya seseorang tidak makan dan
minum dari sebelum terbit matahari sampai tenggelam matahari. Niat
menentukan perbuatan ini apakah termasuk puasa atau sekedar
menahan lapar dan haus. Dalam perbuatan yang berhubungan dengan
sesama makhluk seperti muamalah, munakahah, jinayah, dan
sebagainya, niat merupakan penentu apakah perbuatan-perbuatan
tersebut mempunyai nilai ibadah atau sebaliknya. Perbuatan tersebut
membawa dosa atau tidak. Misalnya menjadi anggota dewan, niat

2
Abdul Mujib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih, (Jakarta: Kalam Mulia, 1999), hlm. 7.
3
Suparman Usman dan Itang, Filsafat Hukum Islam, (Serang: Laksita Indonesia, 2015), hlm. 106

6
menentukan apakah betul untuk pengabdian atau untuk mendapatkan
gaji yang tinggi.
Niat juga merupakan pembeda tingkatan suatu ibadah, misalnya
ibadah itu fardhu atau sunnah. Niat juga merupakan pembeda antara
ibadah dan bukan ibadah yaitu amal kebiasaan. Wudhu dan mandi,
bisa berlaku sebagai ibadah, tetapi bisa juga sekedar mendinginkan
badan atau membersihkannya. Tayammum bisa menjadi pengganti
wudhu (untuk hadats kecil) dan bisa juga untuk hadats besar
(janabat).Semua bentuk pelaksanaannya sama, tetapi kedudukannya
tidak sama tergantung maksud (niat)nya. Hampir semua masalah-
masalah fiqh kembali kepada kaidah pertama ini.
b. " ‫اليقين بزال بالشك‬Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan"
Kaidah ini berarti bahwa keyakinan yang sudah mantap tidak dapat
dikalahkan oleh keraguan yang muncul sebagai bentuk
kontradiktifnya akan tetapi ia hanya dapat dikalahkan oleh keyakinan
atau asumsi kuat yang menyatakan sebaliknya. Dalil yang menjadi
acuan kaidah ini adalah hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu
Hurairah yang artinya: “Apabila salah seorang dari kalian
mendapatkan suatu di dalam perutnya lalu timbul keraguan, apakah
sesuatu itu keluar dari perutnya atau tidak maka hendaklah ia tidak
keluar masjid sampai ia benar-benar mendengar suara atau mencium
baunya”. Kaidah ini juga bersumber dari hadits Nabi yang artinya:
"Jika salah seorang di antara kalian ragu-ragu dalam mengerjakan
shalat dan tidak tahu berapa raka’at ia telah shalat. Apakah telah
mengerjakan tiga atau empat rakaat maka hendaklah menghilangkan
keraguan itu dan tetap dengan apa yang diyakininya."
Dari batasan ini dapat dipahami bahwa seseorang dapat dikatakan
telah menyakini terhadap suatu perkara, manakala terhadap perkara
itu telah ada bukti keterangan yang ditetapkan oleh panca indra atau
pikiran. Dari kaidah ini Ulama Fiqih mengembangkan kaidah lainnya
di antaranya adalah “al-asl bara’ah az-zimmah” pada dasarnya

7
seseorang tidak dibebani tanggung jawab. Maksudnya adalah pada
dasarnya seseorang tidak dikenakan hukum atau tangung jawab
sebelum terbukti ia melakukan suatu kesalahan.
c. " ‫الضرر بزال‬Kemudharatan harus dihilangkan"
Konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus
dijauhkan dari Idhar (tidak menyakiti) baik oleh dirinya sendiri
maupun orang lain dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya
kepada orang lain.
Kaidah ini dipergunakan ahli hukum Islam dengan dasar
argumentative hadits Nabi: "Tidak boleh memberi mudarat dan
membalas kemudaratan. "Kaidah ini dipergunakan para ahli hukum
Fiqih yang bersifat pratikular (furu') diantaranya bentuk-bentuk
Khiyar dalam transaksi jual beli pembatasan wewenang (al-Hijr), Hak
Syuf’ah (membeli pertama) oleh patner bisnis dan tetangga, Hudud,
ta’zir dan pembatasan kebebasan manusia dalam masalah kepemilikin
atau pemanfaatan agar tidak menimbulkan bahaya bagi orang lain.
Contoh jika seorang tetangga membuat saluran air untuk rumahnya
yang menyebabkan kerapuhan tembok (dinding) rumah tetangganya
sehingga dapat membuatnya roboh maka perbuatan saluran air ini
tidak diperbolehkan karena alasan ini dan mengingat bahaya yang
begitu jelas didalamnya. Contoh lain adalah seorang perokok dimana
dalam kandungan rokok mengandung berbagai racun dan mempunyai
mudarat yang tinggi maka untuk menghilangkan bahaya maka rokok
harus ditinggalkan. Atau jika perokok merokok disekitar orang
banyak maka akan merugikan orang disekitarnya dan bisa saja
menjadi penyakit bagi yang terkena asap rokok maka hal ini untuk
menghindari bahaya orang lain perokok tidak boleh merokok disekitar
orang banyak.
Berdasarkan ketetapan para ahli hukum Islam tersebut apabila
seorang menimbulkan bahaya yang nyata padahal orang lain dan
memungkinkan ditempuh langkah-langkah pencegahan untuk

8
menepis bahaya tersebut. Dari kaidah ini dikembangkan kaidah Fiqih
lainnya diantaranya "Yatahammalad-dararul khasliajlidaf’idararal-
‘am" (Mudarat yang bersifat khusus atau terbatas harus ditanggung
demi mencegah mudarat yang bersifat umum. "Daral-mafasid
muqaddam‘alajalba al-masalih" (menolak bentuk kemudaratan lebih
didahulukan daripada mengambil manfaat).
d. " ‫المشقة تخلب التيسير‬Kesulitan mendatangkan kemudahan"
Kaidah ini memiliki makna apabila suatu perintah yang harus
dilaksanakan mengalami kesulitan dalam mengerjakannya, maka
ketika itu munculah kelapangan.
Kaidah ini juga didasarkan pada Hadits Nabi yang Artinya “Agama
itu mudah”. Agama yang lebih disenangi Allah ialah yang benar dan
mudah. Dengan kaidah ini diharapkan agar syari’at Islam dapat
dilaksanakan oleh hambanya kapan dan dimana saja, yakni dengan
memberikan kelonggaran atau keringan di saat seseorang menjumpai
kesukaran atau kesempitan.
Contoh kaidah ini didasarkan pada beberapa Hadits Nabi SAW,
yang artinya: "Kami keluar bersama Rasulullah saw, dari Madinah ke
Mekkah, Beliau mengerjakan shalat dua raka’at, dua raka’at sehingga
kami pulang ke Madinah." Tegasnya dalam keadaan musafir,
dibolehkan mengqashar shalat (Jumlah Raka’at) dari empat raka’at
menjadi dua raka’at.
Kaidah ini dikalangan Ulama Ushul Fiqih disebut dengan hukum
“Rukshah”. Selain dari contoh kaidah di atas terdapat contoh lain
yaitu dibolehkan berbuka puasa bagi orang musafir dan orang sakit,
dibolehkan makan bangkai atau makanan lain yang diharamkan,
diwaktu tidak ada makanan selain bangkai yang haramkan itu. Kaidah
ini juga merupakan kaidah dasar dalam mengatasi berbagai kesulitan
pada masalah ibadah. Dari kaidah ini kemudian dikembangkan Ulama
Fiqih berbagai kaidah lainnya seperti Keadaan darurat membolehkan

9
yang dilarang dan yang dibolehkan karena darurat terbatas pada
kebutuhannya saja.
e. " ‫العادة محكمة‬Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan
dan menerapkan hukum"
Al-‘Adat Muhakkamat (adat dapat dihukumkan) atau al-‘adat
syari’at muhakkamat (adat merupakan syariat yang dihukumkan).
Kaidah tersebut kurang lebih bermakana bahwa adat (tradisi)
merupakan variabel sosial yang mempunyai otoritas hukum (hukum
Islam). Adat bisa mempengaruhi materi hukum, secara proporsional.
Hukum Islam tidak memposisikan adat sebagai faktor eksternal non-
implikatif, namun sebaliknya, memberikan ruang akomodasi bagi
adat. Kenyataan sedemikian inilah antara lain yang menyebabkan
hukum Islam bersifat fleksibel.
Abd al-Karim Zaidan menjelaskan bahwa ‘urf (tradisi) adalah
sesuatu yang telah menjadi kebiasaan masyarakat dan menjadi
pedoman perilaku dalam kehidupan dan muamalah mereka.
Kebanyakan fuqaha menyebutnya dengan âdat (adat). Karena itu,
menurut Abd al-Karim Zaidan, tradisi dan adat itu sama. Dalam
bahasa Arab, al-‘adat sering pula dipadankan dengan al-‘urf. Dari
kata terakhir itulah, kata al-ma’ruf yang sering disebut dalam Al-
Qur’an diderivasikan. Oleh karena itu, makna asli al-ma’ruf ialah
segala sesuatu yang sesuai dengan adat (kepantasan). Kepantasan ini
merupakan hasil penilaian hati nurani. Mengenai hati nurani,
Rasulullah pernah memberikan tuntunan agar manusia bertanya
kepada hati nuraninya ketika dihadapkan pada suatu persoalan
(mengenai baik dan buruk). Beliau juga pernah menyatakan bahwa
keburukan atau dosa ialah sesuatu yang membuat hati nurani menjadi
gundah. Dalam perkembangannya, al-‘urf kemudian secara general
digunakan dengan makna tradisi, yang tentu saja meliputi tradisi baik
(al-urf al-shahih) dan tradisi buruk (al-‘urf al-fasid). Dalam konteks
ini, tentu saja al-ma’ruf bermakna segala sesuatu yang sesuai dengan

10
tradisi yang baik. Arti “baik” disini adalah sesuai dengan tuntunan
wahyu.
Amr bi al-ma’ruf berarti memerintahkan sesama manusia untuk
bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang pantas menurut suatu
masyarakat, yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai wahyu. Nilai-
nilai yang pantas menurut suatu masyarakat merupakan manifestasi
hati nurani masyarakat tersebut dalam konteks kondisi lingkungan
yang melingkupi masyarakat tersebut. Kondisi lingkungan yang
berbeda pada masyarakat akan menyebabkan variasi pada nilai-nilai
kepantasan yang dianut. Karena itu, tradisi pada suatu masyarakat
bisa berbeda dengan tradisi pada masyarakat yang lain.
Contoh sederhana adalah mengenai mas kawin atau mahar. Al-
Qur'an menegaskan bahwa seorang lelaki harus memberikan mas
kawin kepada perempuan yang dinikahinya. Tetapi Al-Qur'an tidak
menerangkan, berapa jumlah mahar yang harus diberikan oleh suami
kepada isterinya. Di sini, ada ruang “legal” yang dibiarkan terbuka
oleh teks agama. Adat masuk untuk mengisinya. Jumlah mahar,
menurut ketentuan yang kita baca dalam literatur fiqih, diserahkan
pada adat dan kebiasaan sosial yang ada. Oleh karena itu, jumlah
mahar berbeda-beda sesuai dengan adat yang berlaku dalam
masyarakat. Itulah yang dikenal dalam fiqih sebagai “mahr al-mitsl“,
yakni mas kawin yang sepadan dengan kedudukan sosial seorang
isteri dalam adat dan kebiasaan masyarakat setempat.
Contoh paling nyata adalah tahlilan. Tahlilan yang sampai pada
masa sekarang masih mengundang perdebatan merupakan salah satu
dakwah Wali Songo. Di jaman pra Islam, meninggalnya seseorang
diikuti dengan kebiasaan kumpul-kumpul di rumah duka yang
kemudian cenderung diisi hal-hal negatif, mabuk-mabukan dan
seterusnya. Di sinilah tahlilan muncul sebagai terobosan cerdik dan
solutif dalam merubah kebiasaan negatif masyarakat.

11
Contoh lain adalah proses akulturasi budaya pada arsitektur masjid
dan surau. Bangunan masjid dan surau pun dibuat bercorak Jawa
dengan genteng bertingkat-tingkat, bahkan masjid Kudus dilengkapi
menara dan gapura bercorak Hindu. Selain itu, untuk mendidik calon-
calon dai, Walisongo mendirikan pesantren-pesantren yang menurut
sebagian sejarawan mirip padepokan-padepokan orang Hindu dan
Budha untuk mendidik cantrik dan calon pemimpin agama.
2. Kaidah Ghairu Asasiyah
Walaupun kedudukannya bukan sebagai kaidah asasiyah, namun
keberadaannya tetap didudukkan sebagai kaidah yang penting dalam
hukum Islam. Oleh karena itu, para fuqaha sepakat akan kehujjahan kaidah
ini. Adapun kaidah-kaidah ghairu asasiyah ini ada sebanyak 40 kaidah
yang dapat kita ketahui di dalam kitab Al-Asybah Wa An-Nazhair,
karangan Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar Al-Suyuthi.
Kemudian ditambah lagi dengan 68 kaidah yang terdapat dalam kitab At-
Majallatul Ahkamil Adhiyah, yang telah disempurnakan oleh Mustafa
Ahmad Az-Zarqa.4

C. Urgensi Kaidah Dalam Hukum Islam

Sebagaimana telah diketahui, bahwa di dalam hukum-hukum fiqih yang


terperinci terdapat kesamaan alasan dan sebab, dan oleh karenanya disusunlah
kaidah-kaidah yang bersifat umum. Kaidah-kaidah ini bertujuan sebagai
petunjuk bagi para mujtahid dalam menetapkan hukum yang bersifat furu' dan
untuk mewujudkan keadilan dan kemaslahatan umat. Selain itu, tujuan dari
pembuatan kaidah-kaidah kulliyah ini adalah sebagai klasifikasi masalah furu'
(cabang) menjadi beberapa kelompok, dan tiap-tiap kelompok itu merupakan
kumpulan dari masalah-masalah yang serupa.

Dengan demikian, nyatalah bahwa kaidah-kaidah ini sangat penting dalam


penetapan hukum syara' yang bersifat furu'. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam

4
Mukhlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fikhiyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997),
hlm. 177

12
bukunya Pengantar Hukum Islam mengatakan: "Tidak dapat diragukan bahwa
seseorang yang hendak berijtihad memerlukan kaidah-kaidah kulliyah yang
perlu dipedomani dalam menetapkan hukum."

Abdul Wahab Khallaf berkata: "Di antara nash-nash tasyri' yang telah
menetapkan prinsip-prinsip umum dan undang-undang kulliyah yang dengan
dia diterangi segala undang-undang. Dan diantara nash-nash tasyri', ada yang
menetapkan hukum-hukum yang asasi dalam cabang fiqih yang bersifat amal
dan beraneka rupa itu."

Dan dari Al-Qur'an membatasi diri untuk menerangkan dasar-dasar yang


menjadi sendi pada tiap undang-undang dan berbilang jumlah petunjuk nash
dalam membuahkan hukum, nyatalah tentang keluasan, keelastisan hukum
nash Al-Qur'an itu dan nash itu merupakan koleksi membentuk undang-
undang yang terdiri dari dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum yang
membantu ahli undang-undang dalam usaha mewujudkan keadilan dan
kemaslahatan di setiap masa dan tidak bertentangan dengan tiap undang-
undang yang adil, yang dikemukakan mewujudkan kemaslahatan masyarakat.5

5
Faisar Ananda Arfa, Filsafat Hukum Islam, (Medan: Citapustaka Media Perintis, 2008), hlm. 98.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kaidah merupakan rumusan-rumusan yang bersifat global guna membantu
mujtahid dalam penetapan hukum tentang masalah furu' (cabang) atau kaidah-
kaidah umum yang disusun oleh para ulama berdasarkan norma yang terdapat
dalam nash Al-Qur'an dan sunnah melalui metode induktif. Kaidah-kaidah ini
kemudian dijadikan pedoman dalam menentukan hukum berbagai peristiwa
dan masalah yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Sesuai dengan
yang telah disepakati oleh para ulama' bahwa kaidah-kaidah hukum Islam
terbagi menjadi dua bagian yakni kaidah asasiyah dan kaidah ghairu asasiyah.
Kaidah Asasiyah adalah kaidah yang dipandang sebagai kaidah induk.
Kaidah ini dipegang oleh seluruh madzhab. Kaidah ini juga terkenal dengan
istilah Qawaid al-Khamsah (kaidahyanglima) atau panca kaidah. Walaupun
kedudukannya bukan sebagai kaidah asasiyah, namun keberadaannya tetap
didudukkan sebagai kaidah yang penting dalam hukum Islam. Oleh karena itu,
para fuqaha sepakat akan kehujjahan kaidah ini. Adapun kaidah-kaidah ghairu
asasiyah ini ada sebanyak 40 kaidah yang dapat kita ketahui didalam kitab Al-
Asybah Wa An-Nazhair, karangan Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abi
Bakar Al-Suyuthi. Kemudian ditambah lagi dengan 68 kaidah yang terdapat
dalam kitab At-Majallatul Ahkamil Adhiyah, yang telah disempurnakan oleh
Mustafa Ahmad Az-Zarqa.
Kaidah-kaidah ini bertujuan sebagai petunjuk bagi para mujtahid dalam
menetapkan hukum yang bersifat furu' dan untuk mewujudkan keadilan dan
kemaslahatan umat.Selain itu, tujuan dari pembuatan kaidah-kaidah kulliyah
ini adalah sebagai klasifikasi masalah furu' (cabang) menjadi beberapa

14
kelompok, dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan dari masalah-
masalah yang serupa.

15
DAFTAR PUSTAKA

Arfa,Faisar Ananda,2008. Filsafat HukumIslam. Medan: Citapustaka Media


Perintis.
Ash-Siddieqy, T. M. Hasbi. 1992. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Mujib, Abdul. 1999. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih. Jakarta: Kalam Mulia.
Usman, Mukhlis. 1997. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fikhiyah. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Usman, Suparman dan Itang.2015. Filsafat Hukum Islam. Serang: Lakista
Indonesia.

16

Anda mungkin juga menyukai