Anda di halaman 1dari 19

TUJUAN DAN PEMETAAN DISTRIBUSI ZAKAT PADA MUSTAHIK

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

“Hukum Zakat dan Wakaf”

Dosen Pengampu:

Dr. H. Darmawan, SHI, MHI.

Disusun oleh:

1. Musyarrofah C71218077
2. Namira Putri Amerni C71218078
3. Naura Zida Shabrina C71218079
4. Nurul Chomariah C71218081
5. Nurul Hidayati Inayah C71218082

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

PRODI HUKUM KELUARGA (AL AHWAL AL SYAKHSIYYAH)

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah patut penulis ucapkan kehadirat allah SWT, karena atas
segala rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Tujuan Dan Pemetaan Distribusi Zakat Pada Mustahik” ini dengan lancar. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak-pihak yang telah membantu dalam pembuatan
makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulisan makalah ini dalam rangka
untuk memenuhi tugas Hukum Zakat dan Wakaf dan diharapkan dengan adanya makalah ini
pembaca dapat menambah wawasan.

Perlu di ketahui bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak amat penulis harapkan untuk tugas-tugas selanjutnya.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi dunia pendidikan pada umumnya dan bagi diri
penulis pada khususnya.

Surabaya, 11 April 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Zakat sebagai salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh umat muslim.
Al-Qur’an dan Sunnah selalu menggandengkan shalat dengan zakat. Ini menunjukkan
betapa eratnya hubungan antara keduanya. Keislaman seseorang tidak akan sempurna
kecuali dengan kedua hal tersebut. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas
setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam
kategori ibadah (seperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur secara rinci dan paten
berdasarkan al-Qur'an dan Sunnah, sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan
kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia.
Zakat termasuk dalam ibadah maliyah ijtima’iyah, artinya ibadah di bidang harta
yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam membangun masyarakat. Jika zakat
dikelola dengan baik, baik pengambilan maupun pendistribusiannya, pasti akan dapat
mengangkat kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu perlu adanya sistem
pendistribusian zakat, agar proses penyaluran dana zakat kepada mustahik dapat berjalan
lancar dan sesuai dengan aturan yang berlaku. Karena itu kita harus mengetahui tujuan
dari zakat, golongan-golongan yang berhak menerima zakat, dan metode pendistribusian
zakat kepada mustahik akan dibahas dalam makalah ini.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa tujuan dari zakat?
2. Apa pengertian dari pemetaan distribusi zakat pada mustahik?
3. Bagaimana metode distribusi zakat pada mustahik?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui tujuan dari zakat.
2. Untuk mengetahui pengertian dari pemetaan distribusi zakat pada mustahik.
3. Untuk mengetahui metode distribusi zakat pada mustahik.
BAB I

PEMBAHASAN

A. TUJUAN ZAKAT
Ditinjau dari segi tujuannya, zakat mempunyai tujuan yang komplek, namun
tujuan yang asasi adalah membersihkan hati yang sombong, membersihkan sikap
individualisme, disamping memungkinkan para penganutnya mendapatkan pahala dari
Allah SWT. Sesuai dengan hubungan kebutuhan zakat dalam Islam yang telah tersebut di
atas, maka diadakannya zakat mengandung beberapa macam tujuan antara lain:
1. Tujuan Sosial
Dalam pandangan Islam bahwa hasil usaha, kerja dan perjuangan mencari rizqi
tidaklah sama, dan kekayaan yang merupakan hasil kerja itu adalah hak milik
orang yang mengerjakan tetapi masih ada hak-hak yang harus kembali kepada
masyarakat. Menurut pendapat yang lain, menyatakan bahwa tujuan zakat bagi
kepantingan sosial, sebagai berikut:
a. Menggalang jiwa dan semangat saling menunjang dan solidaritas sosial
dikalangan masyarakat Islam.
b. Mempererat tali persaudaraan sesama umat islam dan manusia pada
umumnya. Maksudnya zakat juga bukti pernyataan rasa kemanusiaan,
keadilan, persaudaraan, atau sebagai penghubung antara muzakki dan
mustahiq.1
c. Mengangkat derajat fakir miskin dan membantunya keluar dari kesulitan
hidup, maksudnya bisa mendorong mereka merasakan kehidupan yang
layak
d. Membersihkan sifat iri dan dengki, benci dan hasud (kecemburuan sosial)
dari hati orang fakir dan miskin. Maksudnya seringkali seseorang
memandang rendah atau kurang menghargai. Dalam keadaan demikian itu
tidak menguntungkan dan dapat menimbulkan pertentangan social seperti
kerusuhan.2

1
A. Hidayat, dan Hikmat Kurnia, Panduan Pintar Zakat : Harta Berkah, Pahala Bertambah, (Jakarta:Qultum
Media,2008), hal.49
2
Ridwan Mas’ud, dan Muhammad, zakat dan kemiskinan (Yogyakarta: UII Press,2005), hal.29
e. Menimbulkan rasa gotong-royong dan tolong-menolong dalam kebaikan,
zakat akan menanamkan sifat tolong menolong dalam kebaikan. Sebagai
makhluq sosial, manusia takkan pernah bisa hidup tanpa bantuan orang
lain. Oleh karena itu, apabila sebagian masyarakat tidak sanggup berusaha
karena suatu bencana, wajiblah atas yang mampu memberikan bantuan
untuk kemaslahatan masyarakat yang tertimpa bencana.3
2. Tujuan Keagamaan
a. Zakat termasuk rukun Islam yang harus senantiasa dikerjakan yang
menjadikan seseorang merasakan kebahagiaan di dunia dan juga di akhirat
kelak.
b. Zakat adalah sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT dan bisa
meningkatkan keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT.
c. Bagi umat Islam yang membayar zakat akan mendapatkan pahala yang
besar. Seperti yang tersirat di dalam firman Allah di QS. Al-Baqarah: 276
yang menerangkan “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan
sedekah”.
d. Dengan membayar zakat, Allah berjanji akan menghapus segala dosa yang
dimiliki seseorang. Seperti yang tertuang di dalam sabda rosullullah yang
menyatakan “sedekah itu memadamkan kesalahan, sebagaimana air
memadamkan api”. Maksud sedekah tersebut adalah zakat dan segala
sedekah.
3. Tujuan dari Segi Akhlak4
a. Zakat memasukkan muzakki ke dalam golongan orang dermawan yang
mempunyai sifat mulia berupa kedermawanan dan rasa toleransi yang
tinggi.
b. Zakat bisa meningkatkan rasa kasih sayang dan juga simpati pada diri
muzakki terhadap para saudaranya yang sedang kekurangan. Allah sangat
mencintai orang-orang yang mencintai saudaranya yang sedang dilanda
kekurangan.

3
Afdloluddin, “Analisis Pensistribusian Zakat Bagi Pemberdayaan Masyarakat” (Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan
Ilmu Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Walisongo Semarang, 2015), 43
4
Ahmad Mifdol Muthohar, Keberkahan Dalam Berzakat (Jakarta: Mirbanda Publishing,2011), hal. 31-32
c. Pengorbanan raga dan juga harta bagi kaum muslimin bisa menjadikan
seseorang lapang dada dan melegakan jiwa. Selain itu bisa menjadikan
seseorang lebih dicintai orang lain, karena yang diberikan kepada para
saudaranya menimbulkan manfaat besar.
d. Zakat mampu memperbaiki akhlak seseorang yang dengan ikhlas
menunaikannya. Sifat pelit dan bakhil bisa hilang dari dirinya. Seperti
yang dijelaskan dalam Qs. At-Taubah: 103 yang menyatakan “Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan
dan menyucikan mereka”.

Zakat sebagai salah satu rukun Islam yang kelima, selain sebagai bentuk ketaatan
seorang hamba kepada sang Khalik, juga merupakan ungkapan rasa syukur atas nikmat
yang telah diberikan-Nya. Dengan demikian zakat mengandung makna transendental dan
horizontal, diantara hikmah zakat antara lain:
1. Mensyukuri karunia Allah membersihkan dari sifat kikir, dengki, iri serta dosa.5
2. Menghindari sifat egois atau memikirkan diri sendiri dan menimbulkan rasa
rendah hati, dermawan, dan penyayang
3. Melindungi masyarakat dari bahaya kemiskinan dan kemelaratan, yang
mendorong pada hal-hal negatif, seperti larangan agama dan kekufuran. Sehingga
dengan zakat dapat memberikan kecukupan, kesejahteraan.6
4. Menginvestasi gotong royong dan tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa.
Melalui syari’at zakat, kehidupan orang-orang fakir miskin dan orang-orang
mnderita lainnya, akan terperhatikan dengan baik.
5. Zakat sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun
prasarana yang harus dimiliki umat Islam, seperti sarana ibadah, pendidikan,
kesehatan, sosial maupun ekonomi, segaligus sarana pengembangan kualitas
sumberdaya manusia muslim.7

5
M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2002), 325.
6
Nashruddin Razak, Dienul Islam, (Jakarta: al Ma’arif, 1998), 194.
7
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani Press, Cet. ke-2, 2002), 12.
B. PEMETAAN DISTRIBUSI ZAKAT PADA MUSTAHIQ
Pendistribusian berasal dari bahasa Inggris yaitu “Distribute” yang berarti
penyaluran atau pembagian. Secara terminologi, pendistribusian adalah penyaluran atau
pembagian kepada orang-orang banyak atau di beberapa tempat. Pendistribusian
merupakan penyaluran barang keperluan sehari-hari oleh pemerintah kepada pegawai
negeri, penduduk dan sebagainya.8
Pendistribusian zakat adalah penyaluran, pembagian, pengiriman barang-barang
dan sebagainya kepada beberapa orang dan tempat untuk yang berhak menerima zakat
dan yang menerima zakat disebut dengan mustahiq zakat.9 Pendistribusian zakat adalah
kegiatan yang dapat memudahkan penyaluran dana zakat dari muzakki kepada mustahik
baik dalam pembagian dan pengiriman.10 Pendistribusian zakat dalam literatur lain berarti
suatu aktifitas atau kegiatan untuk mengatur sesuai dengan fungsi manajemen dalam
upaya menyalurkan dana zakat yang diterima dari pihak muzakki kepada mustahiq
sehingga tercapai tujuan organisasi secara efektif.11
Seperti yang kita tahu, bahwa adapun beberapa mustahiq zakat yang berhak
menerima zakat. Sudah dijelaskan pula didalam Q.S At-Taubah ayat 60, yakni:

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang


miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk

8
W.H.S. Poerwadaminta Kamus Umum Indonesia, C.ke-7 (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), 269.
9
Meity Taqdir Qadratillah, et al., Kamus Bahasa Indonesia untuk Pelajar, (Jakarta: Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011), 100.
10
Ibid, 27
11
Afdloluddin, “Analisis Pensistribusian Zakat Bagi Pemberdayaan Masyarakat” (Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan
Ilmu Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Walisongo Semarang, 2015), 52
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah,
dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”12
Dari ayat ini cukup jelas bahwa pendistribusian zakat harus sampai kepada
delapan kelompok yang telah disebutkan, walaupun dalam perkembangannya mengalami
perluasan makna karena menyesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi
modern. Dibawah ini akan dijelaskan orang-orang yang berhak menerima zakat, sesuai
petunjuk Al-Qur’an surat at-Taubah ayat 60.
1. Fakir
Kata fakir berarti orang-orang yang sangat miskin dan hidup menderita yang
tak memiliki apa-apa untuk hidup. Fakir jama’nya Alfuqara’ sebagaimana
yang tersirat dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 273:
“Berinfaqlah kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan
Allah, mereka tidak dapat berusaha di muka bumi, orang yang tidak tahu
menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta.
Kamu mengenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta
kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu
nafkahkan (di jalan Allah). Maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui”.
(Al-Baqarah: 273)” 13
Pernyataan arti ayat tadi sangat jelas bahwa orang fakir adalah orang yang
tidak memiliki harta benda dan tidak mampu untuk melangsungkan hidup
karena ketidakadaan nafkah.
2. Miskin
Golongan miskin sama halnya dengan golongan fakir dalam hal sama-sama
memperoleh manfaat dari dana zakat. Kata miskin mencakup semua orang
yang lemah dan tidak berdaya, oleh karena itu dalam keadaan sakit, usia
lanjut, sementara tidak memperoleh penghasilan yang cukup untuk menjamin
dirinya sendiri dan keluarganya.

12
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Kudus: Menara Kudus, 2006), 196
13
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Ayat Pojok Bergaris), (Semarang: CV. Asy Syifa’,
1998), 36
3. Amil
Adalah orang-orang yang bertugas mengumpulkan zakat yang telah
ditugaskan oleh pemerintah atau pemimpin dalam masyarakat.
Seorang diberi tugas sebagai amil apabila memenuhi persyaratan sebagai
berikut:14
a. Seorang muslim.
b. Mukallaf (dewasa) yang sehat akal pikirannya dan bertanggung jawab.
c. Jujur dan amanat dalam menjaga harta zakat.
d. Memahami selik beluk zakat mulai dari hukumnya sampai pada
pelaksanaan.
e. Seseorang yang dipandang mampu melaksanakan tugas sebagai amil.
f. Seorang laki-laki (menurut sebagian ulama) dengan alasan tugas
sebagai amil dianggap berat.
4. Mu’allaf
Yakni orang-orang yang baru masuk Islam atau kelompok yang memiliki
komitmen tinggi dalam menegakkan Islam. Tujuan pemberian zakat ini guna
menguatkan iman mereka.
Yusuf Qardlawi menambah kriteria mu’allaf yang diberi zakat antara lain:
a. Orang yang dikhawatirkan bila tidak diberi zakat akan mencela dan
melecehkan Islam.
b. Tokoh yang berpengaruh yang sudah memeluk Islam yang masih
mempunyai sahabat kaum kafir, dengan pengaruh tokoh tersebut
diharapkan sahabatnya ikut memeluk Islam.
c. Tokoh kaum muslimin yang imannya masih lemah sehingga zakat
yang diberikan dapat lebih memantapkan imannya.15
5. Fi Riqa’ab
Budak atau hamba yang diberikan kesempatan oleh tuannya mengumpulkan
harta untuk menebus atau membeli kembali dirinya dari tuannya. Mengingat
golongan ini sekarang tidak ada lagi, maka kuota zakat mereka dialihkan

14
M. Ali Hasan, Zakat dan infaq, (Jakarta: Kencana,2006), 97
15
Ibid. 98
kegolongan mustahiq lain menurut pendapat. Mayoritas ulama fiqih. Namun,
sebagian ulama berpendapat bahwa golongan ini masih ada, yaitu para tentara
muslim yang menjadi tawanan.
6. Fisabilillah
Adalah orang berjuang dijalan Allah dalam pengertian luas sesuai dengan
yang ditetapkan oleh para ulama fikih. Intinya adalah melindungi dan
memelihara agama serta meningikan kalimat tauhid, seperti berperang,
berdakwah, berusaha menerapkan hukum Islam, menolak fitnahfitnah
ditimbulkan oleh musuh-musuh Islam, membendung arus pemikiran-
pemikiran yang bertentangan dengan Islam.16
7. Ibnu Sabiil
Adalah orang asing yang tidak memiliki biaya untuk kembali ke tanah airnya
atau orang yang sedang dalam perjalanan. Golongan ini diberi zakat dengan
syarat-syarat:
a. Sedang dalam perjalanan di luar lingkungan negeri tempat tingalnya.
Jika masih di lingkungan negara tempat tinggalnya lalu ia dalam
keadaan membutuhkan, maka ia dianggap sebagai fakir atau miskin.
b. Perjalanan tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam, sehingga
pemberian zakat itu tidak menjadi bantuan untuk berbuat maksiat.
c. Pada saat itu ia tidak memiliki biaya untuk kembali ke negerinya,
meskipun di negerinya sebagai orang kaya.
8. Gharimin
Adapun gharimin (orang berutang) yang berhak menerima penyaluran zakat
dalam golongan ini ialah:
a. Orang yang berutang untuk kepentingan pribadi yang tidak bias
dihindarkan, dengan syarat-syarat, utang itu tidak untuk kemaksiatan,
utang itu melilit pelakunya, si pengutang tidak sangup lagi melunasi
utangnya, utang itu sudah jatuh tempo dan harus dilunasi.

16
Prihar Yusmi Antika, “Strategi Pendistribusian Zakat Melalui Program Jatim Peduli Di Baznas Provinsi Jawa
Timur” (Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Manajemen Dakwah Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan
Ampel 2019), 41.
b. Orang-orang yang berutang untuk kepentingan sosial, seperti berutang
untuk mendamaikan antara pihak yang bertikai dengan memikul biaya
diyat (denda kriminal) atau biaya barang-barang yang dirusak. Orang
seperti ini berhak menerima zakat walaupun mereka orang kaya yang
mampu melunasi utangnya.
c. Orang yang berutang karena menjamin utang orang lain, dimana yang
menjamin dan yang dijamin keduanya berada dalam kondisi kesulitan
keuangan.
d. Orang yang berutang untuk membayar diyat karena pembunuhan tidak
sengaja, ap abila keluarga benar-benar tidak mampu membayar denda
tersebut, begitu pula kas negara.
Syarat-syarat Mustahiq Zakat Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh 8
ashnaf, diantaranya adalah:17
a. Fakir, ialah orang yang sama sekali tidak memiliki apa-apa. Syarat pertama
orang yang berhak menerima zakat kedudukannya harus sama dengan orang
fakir.
b. Penerima zakat harus muslim, menurut mazhab Maliki dan Hanbali zakat
tidak boleh diberikan kepada orang selain muslim kecuali orang-orang yang
baru masuk.
c. Penerima zakat itu bukan keturunan dari Bani Hasyim (keturunan Nabi
Muhammad), menurut mazhab Hanafi dan Hanbali zakat adalah kotoran
manusia, jadi diharamkan bagi keturunan Nabi Muhammad untuk menerima
zakat.
d. Penerima zakat itu bukan orang yang lazim diberi nafkah, artinya zakat itu
tidak boleh diberikan kepada orang-orang yang masih dalam tanggungan
pemberi zakat (ayah kepada anaknya atau suami kepada istrinya).
e. Penerima zakat harus baligh, akil,dan merdeka, sebagai contoh zakat tidak
boleh diberikan kepada anak kecil, karena anak kecil tersebut masih dalam
tanggungan orang tuanya.

17
Wahbah Al-Zuhayli, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), 294.
C. METODE DISTRIBUSI ZAKAT PADA MUSTAHIQ
Dalam bahasa Inggris metode atau method memiliki arti cara. Metode atau
metodik dari bahasa Yunani terbagi menjadi dua kata yaitu metha yang berarti melalui
atau melewati, dan hodos yang berarti jalan atau cara.18 Jadi, metode dapat diartikan
sebagai cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dalam
mendistribusikan atau menyalurkan zakat juga terdapat metode tertentu. Metode
pendistribusian zakat adalah cara menyalurkan zakat dari seorang muzakki kepada orang-
orang yang berhak menerimanya.
Hal pertama dalam langkah pendistribusian zakat adalah dengan melakukan
distribusi lokal atau lebih mengutamakan mustahiq dalam lingkungan terdekat dengan
lembaga zakat dibandingkan pendistribusian untuk wilayah lainnya, hal itu dikenal
dengan sebutan ‛centralistic‛. Kelebihan sistem centralistic dalam pengalokasian zakat
adalah memudahkan penditribusiannya ke setiap provinsi. Hampir di setiap negara Islam
memulai pendistribusian zakat dari pusat lalu meluas hingga mencakup banyak daerah.19
Apabila zakat didistribusikan di luar wilayah zakat itu dikumpulkan sedangkan
dalam wilayah tersebut masih banyak mustahiq yang membutuhkannya, maka hal itu
bertentangan dengan hikmah yang ingin direalisasikan dari adanya kewajiban zakat.
Dalam kitab Al-Mugni, dijelaskan bahwa maksud dari adanya zakat adalah menutupi
kebutuhan fakir miskin. Oleh karena itu, diutamakan pendistribusian zakat kepada fakir
miskin di wilayah zakat dikumpulkan.20
Allah SWT telah menentukan mustahiq zakat dalam surat at-Taubah ayat 60. Ayat
tersebut menisbatkan bahwa kepemilikan zakat adalah untuk semua kelompok dan semua
kelompok memiliki hak yang sama. Atas dasar ini, pengelola zakat tidak diperkenankan
mendistribusikan zakat kepada pihak lain di luar mustahiq. Di sini terdapat kaidah umum
bahwa pendistribusian yang baik adalah adanya keadilan yang sama di antara semua
golongan mustahiq. Maksud adil di sini, sebagaimana yang dikatakan Imam Syafi’i
adalah dengan menjaga kepentingan masing-masing mustahiq dan juga kemaslahatan

18
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2002), hal. 53.
19
Yusuf Qardhawi, Spektrum Zakat dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan, (Terj. Sari Narulita, Dauru az-Zakah
fi ilaj al-Musykilat al-Iqtisadiyah), (Jakarta: Zikrul Media Intelektual, 2005), 139.
20
Ibid., 143
umat Islam semampunya.21 Dalam hal ini, terdapat kaidah pendistribusian zakat dari
beberapa pendapat, penegasan dan pentarjihan dari para ulama fiqih:22
1. Zakat sebaiknya dibagikan kepada semua mustahiq apabila harta zakat itu banyak
dan semua golongan mustahiq ada. Tidak boleh menghalang-halangi satu
golongan pun untuk mendapatkan zakat, apabila itu merupakan haknya serta
benar-benar dibutuhkan. Hal ini hanya berlaku bagi imam yang mengumpulkan
zakat dan membagikannya pada mustahiq.
2. Tidak diwajibkan mempersamakan pemberian bagian zakat kepada semua
golongan mustahiq, semua tergantung pada jumlah dan kebutuhannya. Karena
terkadang pada suatu daerah terdapat seribu orang fakir, sementara jumlah orang
yang mempunyai hutang (garim) atau ibnu sabil hanya sepuluh orang. Jadi lebih
baik mendahulukan sasaran yang paling banyak jumlah dan kebutuhannya dengan
bagian yang besar.
3. Diperbolehkan memberikan semua zakat pada sebagian golongan tertentu, demi
mewujudkan kemaslahatan yang sesuai dengan syari’ah. Begitu juga ketika
memberikan zakat pada salah satu golongan saja, diperbolehkan melebihkan
bagian zakat antara satu individu dengan lainnya sesuai dengan kebutuhan karena
sesungguhnya kebutuhan itu berbeda antara satu dengan yang lain. Hal yang
paling penting adalah jika terdapat kelebihan dana zakat, maka harus berdasarkan
sebab yang benar dan demi kemaslahatan bukan disebabkan hawa nafsu atau
keinginan tertentu dan tidak boleh merugikan golongan mustahiq atau pribadi
lain.
4. Hendaknya golongan fakir dan miskin adalah sasaran pertama dalam
mendistribusikan zakat, karena memberi kecukupan kepada mereka merupakan
tujuan utama dari zakat.
5. Apabila dana zakat itu sedikit seperti harta perorangan yang tidak begitu besar,
maka boleh diberikan pada satu golongan mustahiq bahkan satu orang saja.
Karena membagikan dana zakat yang sedikit untuk golongan yang banyak atau

21
Ibid., 148
22
Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat: Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur’an dan
Hadis, (Terj. Salman Harun, et al., Fiqhuz Zakat), (Jakarta: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 1991), 670-672.
orang banyak dari satu golongan mustahiq, sama dengan menghilangkan
kegunaan yang diharapkan dari zakat itu sendiri.
6. Hendaknya mengambil pendapat mazhab Syafi’i dalam menentukan batas yang
paling tinggi dalam memberikan zakat kepada petugas yang mengumpulkan dan
mendistribusikann zakat (amil), yaitu 1/8 dari dana zakat yang terkumpul dan
tidak boleh lebih dari itu.
Untuk bisa memperoleh keberhasilan dalam mencapai tujuan sosial kemanusiaan
salah satu syaratnya yaitu dengan cara pendistribusian secara profesional yang
berlandaskan pada landasan yang sehat, sehingga zakat tidak salah sasaran. 23 Dalam
pemanfaatnya, pendistribusian zakat sejak dahulu terdapat 4 bentuk pembagian:

1. Distribusi bersifat konsumtif tradisional, yaitu dibagikan kepada mustahiq untuk


dimanfaatkan secara langsung, seperti zakat fitrah atau zakat mal yang dibagikan
kepada para korban bencana alam.

2. Distribuusi bersifat konsumtif kreatif, yaitu diwujudkan dalam bentuk yang berbeda
dari semula, seperti diberikan dalam bentuk peralatan sekolah atau beasiswa.

3. Distribusi bersifat produktif tradisional, yaitu diberikan dalam bentuk barang-


barang yang produktif, seperti kambing, sapi dll. Dengan hal ini mampu membuka
lapangan pekerjaan bagi fakir miskin.

4. Distribusi bersifat produktif kreatif, yaitu diwujudkan dalam bentuk pemodalan


baik untuk membangun proyek sosial atau menambah modal pedagang pengusaha
kecil.24

Sistem pendistribusian zakat dari masa ke masa mengalami perubahan. Semula


lebih banyak disalurkan untuk kegiatan konsumtif tetapi belakangan ini banyak
pemanfaatan dana zakat untuk kegiatan produktif. Upaya seperti ini dapat diharapkan

23
Ibid, 54
24
Riyantama Wiradifa, Desmadi Saharuddin. Srategi Pendistribusian Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS) di Badan Amil
Zakat Nasional (BAZNAS) Kota Tangerang Selatan, Vol. 3 No. 1 2017, 4
dapat tumbuh strata dari yang terendah (mustahiq) ke yang lebih tinggi (muzakki). Ada
dua cara pendistribusian, yaitu secara langsung dan secara tidak langsung.25

1. Pendistribusian secara langsung


Zakat diberikan secara langsung kepada orang yang berhak menerima atau
mustahik untuk digunakan secara konsumtif. Disebagian kalangan masyarakat,
memberikan zakat secara langsung kepada mustahiq masih dianggap sebagai
pilihan utama. Menurut masyarakat, bahwa pemberian zakat secara langsung
dianggap lebih afdhal. Hal tersebut dilakukan karena masyarakat menganggap
lebih paham dan lebih mengetahui kebutuhan dasar mustahiq.
2. Pendistribusian tidak langsung
Zakat dapat dibayarkan melalui suatu lembaga. Lembaga-lembaga zakat akan
mendistribusikan atau menyalurkan dana zakat kepada mustahiq. Pendistribusian
zakat secara tidak langsung dilakukan dengan cara memberikan modal kepada
mustahiq untuk digunakan dan dikembangkan dengan pola investasi. Kelebihan
pendistribusian melalui lembaga diantaranya penyaluran zakat dapat lebih luas
dan merata, dana zakat yang dikelola dengan amanah dan professional
dimanfaatkan untuk kegiatan yang produktif melalui program pemberdayaan.

Menurut UU 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat Pasal 25 yang berbunyi


bahwa “Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat Islam” dan
Pasal 26 yang berbunyi “Pendistribusian zakat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25,
dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan,
keadilan, dan kewilayahan.”26

25
Prihar Yusmi Antika, “Strategi Pendistribusian Zakat Melalui Program Jatim Peduli Di Baznas Provinsi Jawa
Timur” (Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Manajemen Dakwah Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan
Ampel 2019), 30.
26
UU 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Zakat mempunyai tujuan yang komplek, namun tujuan yang asasi adalah
membersihkan hati yang sombong, membersihkan sikap individualisme, disamping
memungkinkan para penganutnya mendapatkan pahala dari Allah SWT. Sesuai dengan
hubungan kebutuhan zakat dalam Islam yang telah tersebut di atas, maka diadakannya
zakat mengandung beberapa macam tujuan antara lain tujuan sosial, keagamaan, dan juga
akhlak.
Pendistribusian zakat adalah kegiatan yang dapat memudahkan penyaluran dana
zakat dari muzakki kepada mustahik baik dalam pembagian dan pengiriman.
Pendistribusian zakat dalam literatur lain berarti suatu aktifitas atau kegiatan untuk
mengatur sesuai dengan fungsi manajemen dalam upaya menyalurkan dana zakat yang
diterima dari pihak muzakki kepada mustahiq sehingga tercapai tujuan organisasi secara
efektif. Seperti yang kita tahu, bahwa adapun beberapa mustahiq zakat yang berhak
menerima zakat. Sudah dijelaskan pula didalam Q.S At-Taubah ayat 60, yakni ada 8
golongan:
1. Fakir
2. Miskin
3. Amil
4. Muallaf
5. Riqab
6. Gharimin
7. Fi sabilillah
8. Ibnu Sabil
Metode pendistribusian zakat adalah cara menyalurkan zakat dari seorang
muzakki kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Hal pertama dalam langkah
pendistribusian zakat adalah dengan melakukan distribusi lokal atau lebih mengutamakan
mustahiq dalam lingkungan terdekat dengan lembaga zakat dibandingkan pendistribusian
untuk wilayah lainnya.
Dalam hal ini, terdapat kaidah pendistribusian zakat dari beberapa pendapat, penegasan
dan pentarjihan dari para ulama fiqih:
1. Zakat sebaiknya dibagikan kepada semua mustahiq apabila harta zakat itu banyak
dan semua golongan mustahiq ada.
2. Tidak diwajibkan mempersamakan pemberian bagian zakat kepada semua
golongan mustahiq, semua tergantung pada jumlah dan kebutuhannya.
3. Diperbolehkan memberikan semua zakat pada sebagian golongan tertentu, demi
mewujudkan kemaslahatan yang sesuai dengan syari’ah.
4. Hendaknya golongan fakir dan miskin adalah sasaran pertama dalam
mendistribusikan zakat, karena memberi kecukupan kepada mereka merupakan
tujuan utama dari zakat.
5. Apabila dana zakat itu sedikit seperti harta perorangan yang tidak begitu besar,
maka boleh diberikan pada satu golongan mustahiq bahkan satu orang saja.
6. Hendaknya mengambil pendapat mazhab Syafi’i dalam menentukan batas yang
paling tinggi dalam memberikan zakat kepada petugas yang mengumpulkan dan
mendistribusikann zakat (amil), yaitu 1/8 dari dana zakat yang terkumpul dan
tidak boleh lebih dari itu.
DAFTAR PUSTAKA

Afdloluddin, “Analisis Pensistribusian Zakat Bagi Pemberdayaan Masyarakat” (Skripsi tidak


diterbitkan, Jurusan Ilmu Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN
Walisongo Semarang, 2015)
Al-Zuhayli, Wahbah, 2008. Zakat Kajian Berbagai Mazhab, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Antika, Prihar Yusmi, “Strategi Pendistribusian Zakat Melalui Program Jatim Peduli Di Baznas
Provinsi Jawa Timur” (Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Manajemen Dakwah Fakultas
Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel 2019)
Departemen Agama Republik Indonesia. 2006. al-Qur’an dan Terjemahannya, Kudus: Menara
Kudus.
Departemen Agama RI, 1998. Al-Qur’an dan Terjemahannya (Ayat Pojok Bergaris), Semarang:
CV. Asy Syifa’.
Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain. 2002. Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: PT.Rineka
Cipta.
Hafidhuddin, Didin. 2002. Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press,
Cet. ke-2
Hasan, M. Ali. 2006. Zakat dan infaq, Jakarta: Kencana.
Hidayat, A., dan Hikmat Kurnia. 2008. Panduan Pintar Zakat : Harta Berkah, Pahala
Bertambah, Jakarta: Qultum Media
Mas’ud, Ridwan dan Muhammad. 2005. Zakat dan kemiskinan Yogyakarta: UII Press.
Muthohar , Ahmad Mifdol. 2011. Keberkahan Dalam Berzakat Jakarta: Mirbanda Publishing
Poerwadaminta, W.H.S. 1991. Kamus Umum Indonesia, C.ke-7 Jakarta: Balai Pustaka
Qadratillah, Meity Taqdir, et al. 2011. Kamus Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Qardhawi, Yusuf. 1991. Hukum Zakat: Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat
Berdasarkan Qur’an dan Hadis, (Terj. Salman Harun, et al., Fiqhuz Zakat), Jakarta: PT
Pustaka Litera Antar Nusa.
Qardhawi, Yusuf. 2005. Spektrum Zakat dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan, (Terj. Sari
Narulita, Dauru az-Zakah fi ilaj al-Musykilat al-Iqtisadiyah), Jakarta: Zikrul Media
Intelektual.
Razak, Nashruddin. 1998. Dienul Islam, Jakarta: al Ma’arif.
Shihab, M. Quraisy. 2002. Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan
UU 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Wiradifa, Riyantama, Desmadi Saharuddin. 2017. Srategi Pendistribusian Zakat, Infak dan
Sedekah (ZIS) di Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Kota Tangerang Selatan, Vol. 3
No. 1

Anda mungkin juga menyukai