Perkawinan, dalam perspektif figh disebut nikah berasal dari bahasa arab
ﻧﻜﺢ – ﯾﻨﻜﺢ – ﻧﻜﺎﺣﺎdan “ Zawwaja” dari زوج – ﯾﺰوج – ﺗﺰوﯾﺠﺎ. Nikah secara etimologi berarti:
( اﻟﻀﻢarti hakiki) yang artinya menindih, menghimpit, berkumpul, atau ( اﻟﻮطءarti
kiasan) yang artinya bersetubuh atau اﻟﻌﻘﺪyang artinya akad/perjanjian (Fathu al-
Wahhab II, 30; Tuhfatu al-Muhtaj VII, 183). Kata ﻧﻜﺢbanyak disebut dalam al-
Qur’an dengan arti kawin, seperti dalam surat al-Nisa (4): 3:
وان ﺧﻔﺔم اﻻ ةﻗﺴﻄﻮا ﻓﻰ اﻻﯾﺘﻤﻰ ﻓﺎﻧﻜﺤﻮا ﻣﺎ طﺎب ﻟﻜﻢ ﻣﻦ اﻟﻠﻨﺴﺎء ﻣﺜﻨﻰ وﺛﻼث
ورﺑﺎع ﻓﺎن ﺧﻔﺘﻢ اﻻ ﺗﻌﺪﻟﻮا ﻓﻮاﺣﺪة
“ Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah
perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat orang, dan
jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup satu orang …”.
Demikian pula kara zawaja dalam al-Qur’an berarti kawin, seperti pada surat al-
Azab (33 ): 37:
ﻓﻠﻤﺎ ﻗﻀﻰ زﯾﺪ ﻣﻨﮭﺎ وطﺮا زوﺟﻨﺎﻛﮭﺎ ﻟﻜﯿﻼ ﯾﻜﻮن ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻮءﻣﻨﯿﻦ ﺣﺮج ﻓﻰ ازواج
ادﻋﯿﺎءھﻢ
“ maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan (mencerai) isterinya, kami kawinkan
kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini)
mantan isteri-isteri anak angkat mereka…”.
1
c. Menggunakan kalimat: ﺑﻠﻔﻆ اﻟﻨﻜﺎح اواﻟﺜﺰوﯾﺞmengandung maksud bahwa akad yang
membolehkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan itu harus dengan
menggunakan kata na-ka-ha dan za-wa-ja. Namun mazhab Hanafi mendefinisikan
nikah yaitu: “akad yang memfaedahkan halalnya melakukan hubungan suami isteri
antara seorang laki-laki dan seorang wanita selama tidak ada halangan syarak”.
dalam definisi tersebut ulama Hanafiyah tidak mengharuskan memakai kata na-ka-
ha, atau za-wa-ja, boleh dilakukan dengan segala redaksi yang menunjukan maksud
menikah, bahkan sekalipun dengan lafaz al-tamlik (pemilikan), al-hibah
(penyerahan), al-bay’ (penjualan), al-‘atha’ (pemberian), al-ibahah (pembolehan),
dan al-ihlal (penghalalan). Mazhab Maliki dan Hambali berpendapat bahwa: akad
nikah dianggap sah jika menggunakan lafaz na-ka-ha dan za-wa-ja serta lafaz
bentukan dari keduanya. Juga dianggap sah dengan lafaz al-hibah, dengan syarat
harus disertai penyebutan maskawin, selain kata-tersebut tidak dianggap sah.1
d. Disebut pula dalam definisi tersebut: “berdasarkan Ketuhanan yang Maha Es”,
maksudnya perkawinan itu dalam Islam adalah suatu peristiwa agama dan
dilakukannya untuk mentaati perintah Allah SWT.
1
Abu Zahra, al-Ahwal al-Shakhsiyah (Mesir: Dar al-Fikri al-Araby,1957). 36
2
Perkawinan merupakan suatu perbuatan yang diperintah oleh Allah SWT dan
juga merupakan tuntunan Rasulullah SAW . Banyak ayat dalam al-Qur’an yang
menunjukkan suruhan atau perintah tersebut, antara lain dalam firman Allah:
وأﻧﻜﺤﻮا اﻷﯾﺎﻣﻰ ﻣﻨﻜﻢ واﻟﺼﻠﺤﯿﻦ ﻣﻦ ﻋﺒﺎدﻛﻢ ان ﯾﻜﻮﻧﻮا ﻓﻘﺮاء ﯾﻐﻨﮭﻢ ﷲ ﻣﻦ ﻓﻀﻠﮫ وﷲ واﺳﻊ
ﻋﻠﯿﻢ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang
layak (untuk kawin) diantara hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-
hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memberikan
kemampuan kepada mereka dengan karuniaNya, Allah maha luas (pemberitaanNya)
dan maha mengetahui”.2
وﻣﻦ اﯾﺎﺗﮫ ھﺎن ﺧﻠﻖ ﻟﻜﻢ ﻣﻦ اﻧﻔﺴﻜﻢ ازواﺟﺎ ﻟﺘﺴﻜﻨﻮا اﻟﯿﮭﺎ وﺟﻌﻞ ﺑﯿﻨﻜﻢ ﻣﻮدة ورﺣﻤﺔ ان ﻓﻰ
ذﻟﻚ ﻻﯾﺎت ﺗﻠﻘﻮم ﯾﺘﻔﻜﺮون
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah, Dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikanNya diantara kamu rasa kasih dan saying. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berfikir”.3
Demikian juga banyak suruhan atau tuntunan Rasulullah SAW kepada umatnya
untuk melaksanakan perkawinan, antara lain hadits Rasulullah yang berasal dari
Abdullah ibn Mas’ud, Nabi bersabda:
ﯾﺎ ﻣﻌﺸﺮ اﻟﺸﺒﺎب ﻣﻦ اﺳﺘﻄﺎع ﻣﻨﻜﻢ اﻟﺒﺎءة ﻓﺎﻟﯿﺘﺰوج ﻓﺎﻧﮫ اﻏﺾ ﻟﻠﺒﺼﺮ واﺣﺼﻨﻦ ﻟﻠﻔﺮج ﻓﻤﻦ ﻟﻢ
(ﯾﺴﺘﻄﻊ ﻓﻌﻠﯿﮫ ﺑﺎﻟﺼﻮم ﻓﺎﻧﮫ ﻟﮫ وﺟﺎء )ﻣﺜﻔﻖ ﻋﻠﯿﮫ
“Wahai para pemuda, siapa diantaramu telah mempunyai kemampuan untuk kawin,
maka kawinlah; karena perkawinan itu lebih menghalangi penglihatan (dari maksiyat)
dan lebih menjaga kehormatan (dari kerusakan seksual), siapa yang belum mampu
hendaklah berpuasa; karena puasa itu baginya akan mengekang syahwat”.(muttafaq
‘ alaih).4
2
al-Qur’an, 24 (al-Nur): 32.
3
Al-Qur’an, 30 (al-Rum): 21.
4
Al-Shan’any, Subul al-Salam (Kairo: Dar Ihya al-Turath al-Araby,79H/1980M). 109.
3
1. Perkawinan hukumnya sunnah, apabila dipandang dari segi pertumbuhan
jasmaninya telah wajar dan cenderung untuk kawin, sekedar biaya hidup telah
ada, maka sunnah melakukan perkawinan. Kalau ia kawin maka mendapat
pahala dan kalau tidak atau belum kawin, maka tidak berdosa dan juga tidak
mendapat pahala.
2. Perkawinan hukumnya wajib, apabila dipandang dari segi biaya kehidupan
telah mencukupi dan dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaninya sudah
sangat mendesak untuk kawin, sehingga kalau dia tidak kawin akan
terjerumus kepada penyelewengan, maka menjadi wajib baginya untuk kawin.
Kalau dia tidak kawin akan mendapat dosa dan kalau dia kawin , maka dia
dapat pahala, baik dia seorang laki-laki atau seorang perempuan..
3. Perkawinan itu hukumnya makruh, apabila dipanadang dari sudut
pertumbuhan jasmaninya telah wajar untuk kawin walaupun belum sangat
mendesak, tetapi belum ada biaya untuk hidup, sehingga kalau dia kawin
hanya akan membawa kesengsaraan hidup bagi isteri dan anak-anaknya.
Maka makruh baginya untuk kawin, kalau dia kawin dia tidak berdosa dan
tidak pula mendapat pahala . sedangkan kalau dia tidak kawin dengan
pertimbangan yang telah dokemukakan itu tadi, maka dia akan mendapat
pahala.
4. Perkawinan hukumnya haram, apabila seseorang laki-laki hendap mengawini
seseorang wanita dengan majsud menganiayanya atau memperolok-
olokkannya, maka haramlah bagi laki-laki itu kawin dengan perempuan
bersangkutan. Kalau dia kawin untuk maksud terlarang itu dia berdosa
walaupun perkawinan iti tetap sah. Sedangkan kalau dia tidak kawin dengan
maksud yang terlarang itu maka dia akan mendapat pahala.( Sayuti Thalib,
Hukum Kekeluargaan Indonesia, hal. 50.
Di Indonesia perkawinan diatur dalam kitab Undang-Undang yaitu
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Misalnya dalam Pasal
2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa:” perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu”, pasal 2 ayat (2) menyatakan: “ Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Disamping
Undang-Undang tentang perkawinan, diberlakukan juga Kompilasi Hukum
Islam sebagai Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991, buku
I tentang hukum perkawinan, yang berfungsi sebagai hukum materiel dan
menjadi buku pegangan hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan
persoalan terkait dengan perkawinan. Kompilasi Hukum Islam menguatkan
apa yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Diantaranya dalam
pasal 4 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan bahwa: “perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)
Undang-UNdang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”. Pasal 5 ayat (1) KHI
menyatakan bahwa:”agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat
Islam setiap perkawinan harus dicatat”.