Anda di halaman 1dari 27

Nama : Mitra Amelia

NIM : 2020603041
Kelas : International Class SPS 2020
Mata Kuliah : Fiqh Muamalah

Akad mu’awadhah : jual-beli

Jual beli berasal dari bahasa Arab al-bai’, at-tijarah, al-mubadalah yang artinya
mengambil, memberikan sesuatu atau barter dan secara istilah ada banyak pendapat dari ulama
ahli fiqih dan para pakar yang mendefinisikan secara berbeda.10 Jual beli atau dalam bahasa
Arab al-bai’ menurut etimologi adalah :

‫َشي ٍء بِ َشي ٍء ةُ َل ب ُمقَا‬

“Tukar-menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain”

Sayid Sabiq mengartikan jual beli (al bai’) menurut bahasa sebagai berikut:12

‫يع َم ع نَاهُ لُغَةً ُمط لَ ُق ا ملبَ َاد َل‬


ُ ‫الب‬
ُ

“Pengertian jual beli menurut bahasa adalah tukar-menukar secara mutlak”.

Dalam pengertian beberapa istilah syara’ terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh
ulama madzab:

1. Madzab Hanafiah, sebagaimana dikemukakan oleh Ali Fikri, menyatakan bahwa jual beli

memiliki dua arti:Arti khusus, yaitu:

ِ ‫ف‬ِ ‫ب وا ل‬
ِ ِ ِ َ ‫ع ىَل و ُهو ب يع ا ل‬ ِ ٍ ٍ ِ ِ ‫ َأو مباد لَة ال س‬,‫وت ح ِو مِه ا‬
‫ضة‬ َ ‫ع ي ِن با لن ق َد ي ن اَل ذ َه‬ ُ َ َ َ ‫جص وصخ ِوه‬ُ ‫لع ة ب الن ق د َأ و َن َو جه َم‬
َ َ َُ َ َ َ

“Jual beli adalah menukar benda dengan dua mata uang (emas dan perak) dan semacamnya,
atau tukar menukar barang dengan uang atau semacamnya menurut cara yang khusus”.

Arti umum, yaitu:

‫ك انَ َذاتا ً َأ ون قدًا‬ ِ ‫َوهُ َو ُمبَ َدلَةُ ال َما ِل بِال َم‬


ٍ ‫ال َعلَى َو ج ٍه َم خصُو‬
َ ‫ فَا ل َم ا ُل‬, ‫ص‬
َ ‫ي ش َم ُل ما‬
“Jual beli adalah tukar menukar harta dengan harta menurut cara yang khusus, harta mencakup
zat (barang) atau uang”.

2. Madzab Malikiah seperti halnya Hanafiah menyatakan bahwa jual beli mempunyai dua arti,
yaitu arti umum dan arti khusus. Pengertian jual beli yang umum adalah sebagai berikut:

ٍ ‫ض ٍة َعلَى َغ‬
‫ير َمنَا فِ َع َوالَ ُم ت َع ٍة َل ذ ٍة‬ َ ‫فَ ه َُو َع ق ُد ُم َعا َو‬

“Jual beli adalah akad mu’awadhah (timbal balik) atas selain manfaat dan bahkan pula untuk
menikmati kesenangan”.

Sedangkan jual beli dalam arti khusus adalah sebagai berikut:

َ‫ب َوال‬ َ ‫س ٍة َأ َح ُد ِع َو‬


ٍ َ‫ضيه غَي ُر َذ ه‬ َ َ‫َير َمنَا فِ َع َوالَ ُم ت َع ِة َل ذ ٍة ُذو ُم َكا ي‬ َ ‫فَ ه َُو َع ق ُد ُم َع َو‬
ِ ‫ض ٍة عَلى غ‬

‫ ُم َعي ن غَي ُر ا ل َع ي ِن فِي ِه‬, ‫ض ٍة‬


َ ِ‫ف‬

“Jual beli adalah akad mu’awadhah (timbal balik) atas selain manfaat dan bukan pula untuk
menikmati kesenangan, bersifat mengalahkan salah satu imbalannya bukan emas dan bukan
perak, objeknya jelas bukan utang”.

3. Madzab Syafi’iyah memberikan definisi jual beli sebagai berikut:

ِ ‫ض منُ ُمقاَب لَة َما ٍل بِ َما ٍل بِ َشر ِط ِه اآل‬


‫ت ي ِال ستِفَ ا َد ِة ِمل عَي ٍن َأو َم ن فَ َع ٍة ُم ب دَة‬ َ َ‫ َع ق ًد ي ت‬:‫ش رعًا‬
َ ‫َو‬

“Jual beli menurut syara’ adalah suatu akad yang mengandung tukar-menukar harta dengan
harta dengan syarat yang akan diuraikan nanti untuk memperoleh kepemilikan atas benda atau
manfaat untuk waktu selamanya”.18

4. Madzab Hanabilah memberikan definisi jual beli sebagai berikut:

ِ ‫ َأو ُم بَا َد لَةُ َمنفَ َع ٍة ُم بَا َح ٍة بِ َم ن فَ َع ٍة ُمبَا َح ٍة َعلَى الت أ‬,‫رع ُمبَ َدلَةُ َما ٍل بِ َم ٍل‬
‫ب ي ِد غَي ُر‬ ِ ‫يع فِي ش‬
ِ َ‫َم عنَى الب‬

‫رض‬
ٍ َ‫ِربَا َأ وق‬

“Pengertian jual beli menurut syara’ adalah tukar-menukar harta dengan harta, atau tukar-
menukar manfaat yang mubah dengan manfaat yang mubah untuk waktu selamanya, bukan riba
dan bukan hutang”
Dasar Hukum Jual Beli ,telah disahkan oleh Al-qur’an, sunnah, dan ijma’.

Rukun dan Syarat Jual Beli

Rukun Jual beli ada tiga, yaitu akad (ijab kabul), orang-orang yang berakad (penjual dan
pembeli), dan ma’kud ‘alaih (objek akad). Akad adalah ikatan antara penjual dan pembeli. Jual
beli belum dapat dikatakan sah sebelum ijab dan kabul dilakukan, sebab ijab dan kabul
menunjukkan kerelaan (keridhaan). Pada dasarnya ijab kabul dilakukan dengan lisan namun
apabila tidak memungkinkan maka ijab kabul dapat dilakukan dengan isyarat. Fenomena saat ini
ijab kabul dapat dilakukan dengan tulisan, misalnya pada jual beli online, pemesanan dapat
dilakukan hanya dengan mengirim pesan dengan format yang sudah ditentukan.
Jual beli harus memenuhi syarat, baik tentang subjeknya, objeknya dan tentang lafal,
antara lain:
1) Tentang subjeknya kedua belah pihak yang melakukan jual beli haruslah memenuhi syarat
antara lain:
a. Berakal, orang gila atau bodoh tidak sah jual belinya
b. Dengan kehendaknya sendiri (bukan dipaksa)
c. Keduanya tidak mubadzir, artinya bukan orang yang boros.
d. Baligh atau dewasa
2) Tentang objeknya, yang dimaksud dengan objek jual beli adalah benda yang jadi sebab
terjadinya jual beli. Benda yang dijadikan sebagai objek jual beli haruslah memenuhi syarat-
syarat berikut:
a. Bersih barang
b. Dapat dimanfaatkan
c. Milik orang yang melakukan akad
d. Mampu menyerahkannya
e. Mengetahui kedaan barang dan harganya
f. Barang yang diakadkan ada ditangan atau dikuasainya

Prinsip-prinsip dalam Jual Beli

1. Prinsip Halal
Alasan mencari rizki (berinvestasi) dengan cara halal.
2. Prinsip Maslahah
Maslahah adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh dalil hukum tertentu yang membenarkan
atau membatalkannya atas segala tindakan manusia dalam rangka mencapai tujuan syara.
3. Prinsip Ibahah (Boleh)
Bahwa berbagai jenis muamalah, hukum dasarnya adalah boleh sampai ditemukan dalil
yang melarangnya. Kaidah-kaidah umum yang ditetapkan syara’.
4. Prinsip terhindar dari investasi yang dilarang
a. Terhindar dari ihtikaar
Upaya dari seseorang untuk menimbun barang pada saat barang langka atau diperkirakan
harga akan naik, seperti menimbun bahan bakar.
b. Terhindar dari iktinaz
Dalam Islam penimbunan harta seperti emas, perak, dan lain sebagainya disebut iktinaz
c. Terhindar dari tas’ir
Adapun yang dimaksud tas’ir adalah penetapan harga standar pasar yang ditetapkan oleh
pemerintah atau yang berwenang untuk disosialisasikan secara paksa kepada masyarakat
dalam jual beli.
d. Terhindar dari upaya melambungkan harga
1) Larangan an-najasy
Najsy adalah mempermainkan harga, yaitu pihak pembeli menawar dalam suatu
pembelian dengan maksud agar orang lain menwar lebih tinggi.
2) Larangan ba’i ba’adh ‘ala ba’adh
Praktik bisnis ini adalah dengan melakukan lonjakan atau penurunan harga di mana
kedua belah pihak yang terlibat tawar-menawar masih melakukan dealing, atau baru akan
menyelesaikan penetapan harga.
3) Baranga tallaqi al-rukban
Praktik ini adalah sebuah perbuatan seseorang di mana ia mencegah orang-orang yang
membawa barang dari desa dan membeli barang itu sebelum tiba di pasar.
4) Larangan jual beli ahlul hadhar
Praktik perdagangan seperti ini sangat potensial untuk melambungkan harag dan sangat
dilarang oleh Syarat Islam karena dapat menimbulakan kenaikan harga.
e. Terhindar dari Riba
Secara etimologis riba berarti ziyadah (tambahan), tumbuh dan membesar, secara
terminologis fiqih riba yaitu pengambilan tambahan dari pokok atau modal secara tidak
baik atau bertentangan dengan prinsip syariah.

Akad mu’awadhah : ijarah/sewa-menyewa, ju’alah

Al Ijarah berasal dari kata Al Ajru yang berarti Al Iwadhu (ganti). Dari sebab itu Ats
Tsawab (pahala) dinamai Ajru (upah) (Sabiq, 1987). Secara etimologi ijarah berasal dari ajara
yajuru yang berarti upah yang kamu berikan dalam suatu pekerjaan (Abdullah, et.al, 2009).
Menurut pengertian syara’, Al Ijarah ialah sesuatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan
jalan penggantian (Sabiq 13, 1987). Adapun ijarah secara terminologi adalah transaksi atas suatu
manfaat yang mubah yang berupa barang tertentu atau yang dijelaskan sifatnya dalam
tanggungan dalam waktu tertentu, atau transaksi atas suatu pekerjaan yang diketahui dengan
upah yang diketahui pula.

Adapun definisi ijarah yang disampaikan oleh kalangan fuqaha antara lain sebagai
berikut (Mas'adi, 2002) : menurut fuqaha Hanafiyah, ijarah adalah akad atau transaksi terhadap
manfaat dengan imbalan. Menurut Fuqaha Syafi‟iyah, ijarah adalah transaksi terhadap manfaat
yang dikehendaki secara jelas harta yang bersifat mubah dan dapat dipertukarkan denngan
imbalan tertentu. Munurut Fuqaha Malikiyah dan Hanabilah, ijarah adalah pemilikan manfaat
suatu harta benda yang bersifat mubah selama periode waktu tertentu dengan suatu imbalan.

Manakala akad sewa menyewa telah berlangsung, penyewa sudah berhak mengambil manfaat.
Dan orang yang menyewakan berhak pula mengambil upah, karena akad ini adalah mu’awadhah
(penggantian) (Sabiq 13, 1987).

Rukun dan Syarat Ijarah

Rukun ijarah ada empat beserta syarat yang harus dipenuhi untuk keabsahan rukun tersebut,
yaitu dua belah pihak yang melakukan akad, shighah ijarah, imbalan (ujrah), dan hak pakai
(manfaat). Sedangkan mengenai syaratnya sebagai berikut:
a). Dua belah pihak yang melakukan akad

Pihak pertama disebut orang yang menyewakan (mu’ajir) dan pihak kedua disebut
(musta’jir). Keduanya harus memenuhi persyaratan yang berlaku bagi penjual dan pembeli.
Diantaranya mereka harus cakap, artinya masing-masing pihak sudah baligh dan mampu menata
agama dan mengelola kekayaan dengan baik. Dengan demikian ijarah yang dilakukan oleh anak-
anak meskipun dia telah memiliki pengetahuan tentang itu, orang gila, dan orang yang dicekal
untuk membelanjakan hartanya bodoh, meskipun akad tersebut mendatangkan keuntungan,
hukumnya tidak sah.

Persyaratan berikutnya adalah mu’jir mampu menyerahkan manfaat barang. Karena itu,
tidak sah hukumnya menyewa barang ghashaban kepada orang yang tidak mampu mengambil
alih barang tersebut setelah kesepakatan akad. Begitu pula, tidak sah menyewakan tanah gersang
untuk bercocok tanam, yaitu tanah yang tidak bisa menyerap air, baik air hujan musiman atau
lelehan air salju dari atas bukit. Hukum barang yang tidak boleh disewakan karena larangan
syar’i sama dengan larangan yng bersifat kongkret, seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

c). Imbalan (Ujroh)

Dalam hal sewa-menyewa barang yang berwujud (ijarah ain), disyaratkan upah harus
diketahui jenis, kadar, dan sifatnya, layaknya harga dalam akad jual-beli. Karena ijarah
merupakan akad yang berorientasi keuntungan, yaitu tidak sah tanpa menyebutkan nilai
kompensasi layaknya jual-beli. Oleh karena itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa khamr
dan babi tidak boleh menjadi upah dalam akad ijarah, karena kedua benda itu tidak bernilai harta
dalam islam.

Adapun imbalan tersebut berupa barang yang berwujud, musta’jir cukup dengan
melihatnya, meskipun itu diperuntukan untuk kompensasi manfaat tertentu atau dalam bentuk
tanggungan, sementara itu menyewa manfaat suatu barang dengan imbalan manfaat sejenis atau
berbeda hukumnya boleh, sebab manfaat dalam akad ijarah statusnya sama dengan barang. Dan
barang boleh diperjual-belikan dengan barang sejenis, sama dengan manfaat.

Uang sewa menjadi hak milik mu’jir yang dilindungi hukum dan sepanjang waktu, begitu
akad ijarah disepakati. Artinya ketika masa persewaan sudah habis, kompensasi tersebut tetap
menjadi haknya. Jadi kepemilikan mu’jir atas uang tersebut sebagai hasil penyewaan barang
telah berkekuatan hukum.

d). Hak Pakai (manfaat)

Manfaat barang yang di sewakan, seperti rumah misalnya, harus memenuhi beberapa
syarat, baik sewa-menyewa itu secara langsung maupun dalam tanggungan, beberapa syarat
tersebut sebagai berikut:

1. Manfaat barang memiliki nilai ekonomis yang layak mendapatkan imbalan sebagai
kompensasi penyewaan. Misalnya seperti mengontrakan rumah sebagai tempat tinggal.

2. Manfaat barang yang disewakan tersebut mubah menurut syara, jadi tidak sah menyewakan
manfaat yang dilarang oleh agama, seperti menyewakan jasa penari yang diharamkan,
menyewakan kedai untuk pesta minuman minuman keras dan narkoba atau sejenisnya, atau
mengangkut minuman bukan untuk di musnahkan (Nasrun, 2007).

3. Objek ijarah dapat diserah terimakan dan dimanfaatkan secara langsung dan tidak ada cacat
yang menghalangi fungsinya. Tidak dibenarkan transaksi ijarah atas harta benda yang masih
dalam penguasaan pihak ke tiga (Mas'adi, 2002).

4. Manfaat diketahui oleh kedua belah pihak yang mengadakan akad, meskipun sekilas. Masing-
masing pihak mengetahui manfaat barang yang disewakan dari sisi fisik, sifat, dan kadarnya.
Karena itu, menyewakan salah satu dari rumah, dua kedai, atau dua macam barang, hukumnya
tidak sah, begitu pula menyewakan barang yang tidak terlihat dan menyewakan tanpa batas
waktu, kecuali masuk toilet umum, hukumnya boleh mennurut ijma’ ulama.

5. Pemanfaatan barang sewaan dibatasi dengan jangka waktu tertentu, akad ijarah menggunakan
jangka waktu yang tidak jelas hukumnya tidak sah. Misalnya mu’jir berkata, “tempatilah rumah
ini selama kamu suka”, “tanamilah tanah ini” atau “dirikanlah bangunan diatasnya” sebab,
ketidaksahan memicu perselisihan.

6. Mustajir belum mengambil manfaat barang tersebut.


7. Objek ijarah adalah manfaat barang itu sendiri.
Ketujuh persyaratan diatas haruslah dipenuhi dalam setiap ijarah yang mentransaksikan
manfaat harta benda.
Ju’alah identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuah pekerjaan yang belum
pasti dapat diselesaikan. Jika seseorang mampu menyelesaikan, maka ia berhak mendapatkan
upah atau hadiah. Secara harfiah, Ju’alah bermakna sesuatu yang dibebankan kepada orang lain
untuk dikerjakan, atau perintah yang dimandatkan kepada seseorang untuk dijalankan. Menurut
ahli hukum, Ju’alah diartikan dengan hadiah yang dijanjikan ketika seseorang berhasil
melakukan sebuah pekerjaan. Sayyid Sabiq dalam fikih Sunnah menjelaskan : Ju’alah adalah
jenis akad atas manfaat sesuatu yang diduga kuat akan diperolehnya.
Secara istilah, menurut madzhab malikiyyah, Ju’alah adalah akad sewa (ijarah) atas
sesuatu manfaat yang belum diketahui keberhasilannya (terhadap probabilitas atas keberhasilan
atau kegagalan dalam menjalankan suatu pekerjaan). Seperti halnya ucapan seseorang, barang
siapa mampu menggali sumur ini hingga mengalir airnya, maka ia berhak mendapatkan hadiah
yang saya janjikan.
Madzhab Maliki mendefinisikan Ju’alah: “Suatu upah yang dijanjikan sebagai imbalan atas
suatu jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan oleh seseorang”. Madzhab Syafi’i
mendefinisikannya: “Seseorang yang menjanjikan suatu upah kepada orang yang mampu
memberikan jasa tertentu kepadanya”. Definisi pertama (madzhab Maliki) menekankan segi
ketidakpastian berhasilnya perbuatan yang diharapkan. Sedangkan definisi kedua (madzhab
Syafi’i) menekankan segi ketidakpastian orang yang melaksanakan pekerjaan yang diharapkan.
Seperti halnya lomba lari maraton, barang siapa yang mampu lebih awal mencapai garis finish,
maka ia berhak mendapatkan hadiah. Begitu juga dengan Formula 1, Grand Prix atau yang
sejenisnya. Seperti halnya seorang dokter yang mampu menyembuhkan suatu penyakit, atau
seorang ulama yang bisa membuat seseorang hafal al-Qur’an. Ulama fikih klasik mencontohkan
dengan, barang siapa yang bisa menemukan kuda tunggangan atau budaknya yang hilang maka
ia berhak mendapatkan hadiah.
Secara logika Ju’alah dapat dibenarkan, karena merupakan salah satu cara untuk
memenuhi keperluan manusia, sebagaimana halnya dengan ijarah dan mudharabah (perjanjian
kerjasama dagang). Namun, ada beberapa ulama yang melarang akad Ju’alah seperti hanafiyah,
madzhab Hanafi tidak membenarkan Ju’alah. Karena dalam Ju’alah terdapat unsur garar,
perbuatan yang mengandung garar itu merugikan salah satu pihak dan dilarang dalam Islam
(Zuhaili, juz 5, hlm. 512). Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali memandang, bahwa Ju’alah
adalah perbuatan hukum yang bersifat suka rela. Dengan demikian, pihak pertama yang
menjanjikan upah atau hadiah, dan pihak kedua yang melaksanakan pekerjaan dapat melakukan
pembatalan.
Syarat Akad Ju’alah
Secara esensial pada Ju’alah disyaratkan supaya nyata (jelas), maka syarat-syarat jelasnya
Ju’alah adalah sebagai berikut :
1) Kalimat atau lafadz yang menunjukkan izin pekerjaan, yang merupakan syarat atau
tuntunan dengan takaran tertentu (Asy Syarbini, 1997). Bila seseorang mengerjakan
perbuatan, tetapi tanpa seizin orang yang menyuruh (yang punya barang), maka baginya
tidak ada (tidak memperoleh) suatu apapun, jika barang itu ditemukannya. Madzhab
Maliki, Syafi’i dan Hambali berpendapat, bahwa agar perbuatan hukum yang dilakukan
dalam bentuk Ju’alah itu dipandang sah, maka harus ada ucapan (sigah) dari pihak yang
menjanjikan upah atau hadiah, yang isinya mengandung izin bagi orang lain untuk
melaksanakan perbuatan yang diharapkan dan jumlah upah yang jelas tidak seperti iklan
dalam surat kabar yang bisaanya tidak menyebutkan imbalan secara pasti. Ucapan tidak
mesti keluar dari orang yang memerlukan jasa itu, tetapi boleh juga dari orang lain seperti
wakilnya, anaknya atau bahkan orang lain yang bersedia memberikan hadiah atau upah.
Kemudian Ju’alah dipandang sah, walaupun hanya ucapan Ijab saja yang ada, tanpa ada
ucapan Qabul (cukup sepihak).
2) Keadaan Ju’alah (upah yang akan diberikan) hendaknya ditentukan, uang atau barang,
sebelum seseorang mengerjakan pekerjaan itu.
Dan berikut beberapa ulama’ memberikan beberapa syarat terkait dengan keabsahan akad
Ju’alah, yaitu sebagai berikut :
1) Orang yang terlibat dalam akad Ju’alah harus memiliki ahliyyah. Ja’il (pemilik
sayembara) haruslah orang yang memiliki kemutlakan dalam transaksi (baligh, berakal
dan rasyid), tidak boleh dilakukan oleh anak kecil, orang gila atau safih. Untuk amil
(pelaku) haruslah orang yang memiliki kompetensi dalam menjalankan pekerjaan,
sehingga ada manfaat yang bisa dihasilkan.
2) Hadiah, upah yang diperjanjikan harus disebutkan secara jelas jumlahnya. Jika upahnya
tidak jelas, maka akad Ju’alah batal adanya. Karena ketidak jelasan kompensasi.
3) Manfaat yang akan dikerjakan pelaku (amil) haruslah jelas dan diperbolehkan secara
syar’i. tidak diperbolehkan menyewa tenaga paranormal untuk mengeluarkan jin, praktek
sihir, atau perkara haram lainnya. Kaidahnya adalah, setiap aset yang boleh dijadikan
sebagai objek transaksi dalam akad ijarah, maka dibolehkan juga penggunaannya dalam
akad Ju’alah, vice versa. Namun demikian, akad ijarah lebih umum dan kompleks
daripada akad Ju’alah. Madzhab Syafi’iyah menambahkan, setiap pekerjaan (manfaat)
yang dilakukan haruslah mengandung beban (usaha), karena tidak ada kompensasi tanpa
adanya usaha (risk versus return).
4) Madzhab Malikiyah menambahkan satu syarat, akad Ju’alah tidak boleh dibatasi dengan
jangka waktu. Namun ulama lain memperbolehkan perkiraan jangka waktu dengan
pekerjaan yang ada.
5) Malikiyyah mensyaratkan, jenis pekerjaan Ju’alah haruslah spesifik, walaupun terbilang.

Akad mu’awadhah : muyarakah/kerjasama

Musyarakah adalah bentuk kerjasama dua orang atau lebih dengan pembagian
keuntungan secara bagi hasil.Menurut Dewan Syariah Nasional MUI dan PSAK Np. 1069
mendefinisikan musyarakah sebagai akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu, dimana masing – masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan
dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian berdasarkan kontribusi dana. Para mitra
bersama – sama menyediakan dana untuk mendanai suatu usaha tertentu dalam masyarakat, baik
usaha yang sudah berjalan maupun yang baru. Investasi musyarakah dapat dalam bentuk kas,
setara kas atau asset non kas.Jenis akad musyarakah berdasarkan eksistensi terdiri dari :

a. Syirkah Al Milk atau perkongsian amlak

Mengandung kepemilikan bersama yang keberadaannya muncul apabila dua orang atau lebih
memperoleh kepemilikan bersama atas suatu kekayaan.Syirkah ini bersifat memaksa dalam
hukum positif.Misalnya : dua orang atau lebih menerima warisan atau hibah atau wasiat sebidang
tanah.
b. Syirkah Al Uqud

Yaitu kemitraan yang tercipta dengankesepakatan dua orang atau lebih untuk bekerja sama dlam
mencapai tujuan tertentu. Setiap mitra berkontribusi dana dn atau dengan bekerja, serta berbagai
keuntungan dan kerugian. Syirkah jenis ini dapat dianggap kemitraan yang sesungguhnya karena
pihak yang bersangkutan secara sukarela berkeinginan untuk membuat kerjasama investasi dan
berbagi keuntungn dan resiko.Syirkah uqud sifatnya ikhtiariyah (pilihan sendiri). Syirkah Al
Uqud dapat dibagi menjadi sebagai berikut :

1) Syirkah abdan, yaitu bentuk syirkah antara dua pihak atau lebih dari kalangan pekerja atau
professional dimana mereka sepakat untuk bekerjasama mengerjakan suatu pekerjaan dan
berbagi penghasilan yang diterima. Syirkah ini dibolehkan oleh ulama malikiyah, hanabilah dan
zaidiyah dengan alasan tujuan dari kerjasama ini adalah mendapat keuntungan selain itu
kerjasama ini tidak hanya pada harta tetapi dapat juga pada pekerjaan. Sedangkan ulama
syafiiyah, imamiyah dan zafar dari golongan hanafiyah menyatakan bahwa sirkah jenis ini batal
karena syirkah itu dikhususkan pada harta (modal) dan bukan pada pekerjaan.
2) Syirkah wujuh, yaitu kerjasama antara dua pihak dimana masing – masing pihak sama sekali
tidak menyertakan modal dan menjalankan usahanya berdasarkan kepercayaan pihak ketiga.
Penamaan wujuh ini dikarenaknan jual beli tidak terjadi secara kontan. Kerjasama ini hanya
berbentuk kerjasama tanggungjawab bukan modal atau pekerjaan. Ulama hanafiyah, hanabilah
dan zaidiyah membolehkan syirkah ini sebab mengandung unsure perwakilan dari seorang
partner dalam penjualan dan pembelian. Ulama malikiyah, sayifiiyah berpendapat bahwa syirkah
ini tidak sah karena syirkah ini gada unsur kerjasama modal atau pekerjaan.
3) Syirkah inan, yaitu sebuah persekutuan dimana posisi dan komposisi pihak – pihak yang
terlibat di dalamnya adalah tidak sama, baik dalam modal maupun pekerjaan. Ulama fiqih
membolehkan syirkah ini.
4) Syirkah muwafadah, yaitu sebuah persekutuan dimana posisi dan komposisi pihak – pihak
yang terlibat didalamnya harus sama, baik dalam hal modal, pekerjaan, agama, keuntungan
maupun resiko kerugian. Jika komposisi modal tidak sama maka syirkahnya batal. Menurut
pendapat ulama hanafiyah dan maliki syirkah ini boleh. Namun menurut syafii dan hanabilah dan
kebanyakan ulama fiqih lain menolaknya karena syirkah ini tidak dibenarkan syara, selain itu
syarat untuk menyamakan modal sangatlah sulit dilakukan dan mengundang unsur ke-gharar-an.
5) Musyarakah berdasarkan PSAK terdiri dari:

a) Musyarakah permanen
Musyarakah permanen adalah musyarakah dengan ketentuan bagian dana setiap mitra
dotentukan saat akad dan jumlahnya tetap hingga akhir masa akad (PSAK No 106 par
04).
b) Musyarakah menurun atau musyarakah mutanaqisah.
Musyarakah menurun adalah musyarakah dengan ketentuan bagian dana salah satu
mitra akan dialihkan secara bertahap kepada mitra lainnya sehingga bagian dananya
akan menurun dan pada akhir masa akad mitra lain tersebut akan menjadi pemilik penuh
usaha musyarakah tersebut.

6) Perlakuan Akuntansi PSAK 106

Perlakuan akuntansi untuk transaksi musyarakah akan dilihat dari dua sisi pelaku yaitu mitra
aktif dan mitra pasif. Yang dimaksud dengan mitra aktif adalah pihak yang mengelola usaha
musyarakah baik mengelola sendiri maupun menunjuk pihak lain untuk mengelola atas namanya,
sedangkan mitra pasif adalah pihak yang tidak ikut mengelola usaha (biasanya lembaga
keuangan). Mitra aktif adalah pihak yang bertanggungjawab melakukan pengelolaan sehingga ia
yang wajib melakukan pencatatan akuntansi .

7) Rukun dan ketentuan syariah dalam akad musyarakah

a) Unsur – unsur yang harus ada dalam akad musyarakah ada 4 :

 Pelaku terdiri dari para mitra


 Objek musyarakah berupa modal dan kerja
 Ijab qabul
 Nisbah keuntungan (bagi hasil)

b) Ketentuan syariah

 Pelaku : mitra harus cakap hukum dan baligh


 Objek musyarakah:
c) Modal :

 Modal yang diberikan harus tunai


 Modal yang diserahkan dapat berupa uang tunai, emas, asset perdagangan
atau asset tak berwujud seperti hak paten dan lisensi.
 Apabila modal yang diserahkan dalam bentuk nonkas, maka harus
ditentukan nilai tunainyaterlebih dahulu dan harus disepakati bersama.
 Modal para mitra harus dicampur, tidak boleh dipisah.

d) Kerja :

 Partisipasi mitra merupakan dasar pelaksanaan musyarakah


 Tidak dibenarkan jika salah satu mitra tidak ikut berpartisipasi
 Setiap mitra bekerja atas dirinya atau mewakili mitra‟
 Meskipun porsi mitra yang satu dengan yang lainnya tidak harus sama,
mitra yang bekerja lebih banyak boleh meminta bagian keuntungan lebih
besar.

e) Ijab qabul

Ijab qabul disini adalah pernyataan tertulis dan ekspresi saling ridha antara para pelaku
akad.

f) Nisbah

 Pembagian keuntungan harus disepakati oleh para mitra.


 Perubahan nisbah harus disepakati para mitra.

g) Keuntungan yang dibagi tidak boleh menggunakan nilai proyeksi akan tetapi harus
menggunakan nilai realisasi keuntungan.

h) Berakhirnya akad musyarakah

 Jika salah satu pihak menghentikan akad


 Salah seorang mitra meninggal atau hilang akal. Dalam hal ini bisa
digantikan oleh ahli waris jika disetujui oleh para mitra lainnya.
 Modal musyarakah habis

Landasan Hukum Musyarakah

a. Al-Qur‟an

Firman Allah,” …maka mereka berserikat pada sepertiga…(an-nisa : 12)

Firman Allah,“Dan, sesungguhnya kabanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian
mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan
amal shaleh.”

Kedua ayat di atas menunjukkan perkenan dan pengakuan Allah SWT akan adanya perserikatan
dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam surah an-nisa: 12 perkosian terjadi secara otomatis
(jabr) karena waris; Sedangkan dalam surah Shaad: terjadi atas dasar akad (ikhtiyari).

b. Al-hadis

Hadis yang diriwayatkan oleh abu hurairah yang artinya: Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfiman, „Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat
selama salah satuhnya tidak mengkhianati lainnya.” (HR Abu Dawud no 2936, dalam kitab
al;buyu, dan hakim).

Hadits qudsi tersebut menunjukkan kecintaan Allah kepada hamba-hambanya yang melakukan
perkongsian selama saling menjujung tinggi amanat kebersamaan dan menjauhi pengkhianatan.

c. Ijma

Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mugni telah berkata, “kaum muslimin telah berkonsensus
terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam
beberapa elemen darinya.”
Pengertian Riba berikut hukum dan pembagiannya

Pengertian riba secara etimologi berasal dari bahasa arab yaitu dari kata riba
yarbu ,rabwan yang berarti az-ziyadah (tambahan) atau al-fadl (kelebihan) . Sebagaimana pula
yang disampaikan didalam Alqur’an: yaitu pertumbuhan, peningkatan, bertambah, meningkat,
menjadi besar, dan besar selain itu juga di gunakan dalam pengertian bukti kecil. Pengertian riba
secara umum berarti meningkat baik menyangkut kualitas maupun kuantitasnya.

Sedangkan menurut istilah teknis, riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok
atau modal secara batil.riba adalah memakan harta orang lain tanpa jerih payah dan
kemungkinan mendapat resiko, mendapatkan harta bukan sebagai imbalan kerja atau jasa,
menjilat orang – orang kaya dengan mengorbankan kaum miskin, dan mengabaikan aspek
prikemanusiaan demi menghasilkan materi.

Dasar hukum tentang riba

1. Alqur’an

Orang-orang yang memakan riba itu tidak dapat berdiri melainkan sebagaimana
berdirinya orang yang dirasuki setan dengan terbuyung-buyung karena sentuhanya. Yang
demikian itu karena mereka mengatakan: “perdaganagan itu sama saja dengan riba”. Padahal
Allah telah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba. Oleh karena itu, barang siapa
telah sampi kepadanya peringatan dari tuhanya lalu ia berhenti (dari memakan riba), maka
baginya yang telah lalu dan barang dan barang siapa mengulangi lagi memakan riba maka itu
ahaki mereka akan kekal di dalamnya.

2. Al-hadist

Dari jabir ra, Rasulullah saw mencela penerima dan pembayar bunga orang yang
mencatat begitu pula yang menyaksikan7. Beliau bersabda, “mereka semua sama-sama dalam
dosa “(HR. Muslim, Tirmidzi dan Ahmad) dari abu said al-khudri ra, Rasulullah saw bersabda,
“Jangan melebih lebihkan satu dengan lainya; janganlah menjual perak dengan perak kecuali
keduanya setara; dan jangan melebih lebihkan satu dengan lainya; dan jangan menjual sesuatu
yang tidak tampak“ HR. Bukhori, Muslim,Tirmidzi,Naza’I dan Ahmad). Dari Ubada Bin Sami
Ra, Rasulullah saw bersabda “Emas untuk emas, perak untuk perak, gandung untuk gandum.
Barang siapa yang membayar lebih atau menerima lebih dia telah berbuat riba, pemberi dan
penerima sama saja (dalam dosa)“ (HR.Muslim dan Ahamad). Emas dengan emas, perak dengn
perak, bur dengan bur, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma garam dengan garam
dengan ukuran yang sebanding secara tunai. Apabila kelompok ini berbeda beda (ukuranya),
maka juallah sesuka kalian, apabila tunai (HR. Imam Muslim dan Ubdah bin Shamit). Dari Abu
Sa’id Al-Khudri, bahwa Rasulullah saw telah membagi makan di antara mereka dengan
pembagian yang berbeda. Yang satu melebihi lain. Kemudian Sa’id berkata, “Kami selalu
(mengambil cara dengan) saling melebihkan di antara kami”. Kemudian Rasulullah saw
melarang kami untuk saling memperjual belikanya selain dengan timbangan (berat) yang sama,
tidak melebihkan (HR Ahmad). Dari jabir, Rasulullah saw bersabda, “Hendaknya seonggok
makanan tersebut tidak dijual dengan seonggok makanan, dan (hendaknya) tidak dijual seonggok
makanan dengan timbangan makanan yang telah di tentukan (HR. Nasa’i). dari Ubaidah Bin
Shamit bahwa Rasulullah saw bersabada, “Emas dengan emas,biji dan zatnya harus sebanding
timbanganya. Perak dengan perak,biji dan zatnya harus sebading timbanganya, garam dengan
garam, kurma dengan kurma, bur dengan bur, syair dengan syair, sama dan sepadan. Maka siapa
saja yang menambah atau minta tamabahan, maka dia telah melakukan riba” (HR. Imam Nasa’i).
Dari Abu Said Al-Khudri Ra dan Abu Hurairah Ra, bahwasanya seorang yang bekerja untuk
Rasulullah saw di khaibar, membawakan Rasulullah janib (kurma dengan kualitas istimewa).
Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Apakah buah kurma di khaibar memeliki kwalitas ini
semua?” orang itu menjawab, “Tidak demi Allah ya Rasulullah (seraya menjelaskan) mereka
menjual satu sha’ untuk di tukar dengan dua atau tiga sha’ dengan kwalitas seperti ini”. Maka
Rasulullah bersabda “Jangan lakukan itu,jual satu sha’ kurma (yang kwalitasnya lebih rendah)
dengan harga satu dirham dan gunakan hasil penjualan itu untuk membeli janib yang lain
“(HR.Bukhori,muslim, dan Nasa’i). Dari Abu Aa’id Ra katanya pada suatu ketika Bilal datang
kepada Rasulullah saw membawa kurma bumi, lalu Rasulullah saw bertanya kepadanya: “Kurma
siapa ini”, jawab bilal ”Kurma kita rendah mutunya, karena itu kutukar dua gantung dengan satu
gantung kurma ini untuk makan Nabi saw”. maka Rasulullah saw bersabda, ”inilah disebut riba
jangan sekali kali engkau lakukan lagi. Apabila engkau ingin membeli kurma (yang bagus), jual
lebih dahulu kurmamu (yang kurang bagus) itu, kemudian dengan uang penjualan itu kurma
yang lebih bagus” (HR. Muslim dan Ahmad).
Pembagian riba

Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang
piutang dan riba jual-beli.8 Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan jahiliyah.
Adapun kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasiah.

1) Riba Qordh

Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang beruntung
(muqtaridh).

2) Riba Jahiliyah

Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada
waktu yang di tetapkan. Riba jahiliyah dilarang karena kaedah “kullu qardin jarra manfa ab
fabuwa” (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Dari segi penundaan waktu
penyerahanya, riba jahiliyah tergolong riba nasiah, dari segi kesamaan objek yang dipertukarkan
tergolong riba fadhl,”

3) Riba Fadhl

Riba fadhl disebut juga riba buyu yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang
tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mistlin), sama kwantitasnya (sawa-an bi
sawa-in) dan sama waktu penyerahanya (yadan bi yadin).

4) Riba Nasiah

Riba nasiah juga disebut juga riba duyun yaitu riba yang timbul akibat utang piutang yang tidak
memenuhi criteria untung muncul bersama resiko (al ghunmu bil ghumi) dan hasil usaha muncul
bersama biaya (kharaj bi dhaman).

Prinsip-prinsip riba

Prinsip untuk menentukan adanya riba di dalam transaksi kridit atau barter yang diambil
dari sabda Rasulullah saw.
1) Penukaran barang yang sama jenis dan nilainya, tetapi berbeda jumlahnya, baik secara kridit
maupun tunai, mengandung unsure riba, contoh, adanya unsur riba di dalam pertukaran satu ons
emas dengan setengah ons emas.

2) Pertukaran barang yang sama jenis jumlahnya, tetapi berbeda nilai atau harganya dan
dilakukan secara kridit, mengandung unsure riba. Pertukaran semacam itu akan terbebas dari
unsur riba apabila dijalankan dari tangan ke tangan secara tunai.

3) Pertukaran barang yang sama nilainya atau harganya tetapi berbeda jenis dan kuantitasnya,
serta dilakukan secara kridit, mengandung unsurriba. Tetapi apabila pertukaran dengan cara dari
tangan ketangan tunai, maka pertukaran tersebut terbebas dari unsure riba. Contoh jika satu ons
emas mempunyai nilai sama dengan satu ons perak. Kemudian dinyatakan sah apabila dilakukan
pertukaran dari tangan ke tangan tuani. Sebaliknya, transaksi ini dinyatakan terlarang apabila
dilakukan secara kridit karena adanya unsur riba.

4) Pertukaran barang yang berbeda jenis, nilai dan kuantitasnya, baik secara kridit maupun dari
tangan ke tangan, terbebas dari riba sehingga di perbolehkan. Contoh, garam dengan gandum,
dapat dipertukarkan, baik dari tangan ke tangan maupun secara secara kridit dengan kuantitas
sesuai dengan yang disepakati oleh kedua belah pihak.

5) Jika barang itu campuran yang mengubah jenis dan nilainya, pertukaran dengan kuantitas
yang berbeda baik secara kridit maupun dari tangan ke tangan, terbebas dari

6) Di dalam perekonomian yang berazazkan uang, di mana harga barang ditentukan dengan
standar mata uang suatu Negara pertukaran suatu barang yang sama dengan kuantitas berbeda,
baik secara kridit maupun dari tangan, keduannya terbebas dari riba, dan oleh karenanya
diperbolehkan. Contoh, satu grade gandum di jual seberat 10 kg per dolar,sementara grade
gandum yang lain 15 kg per dolar. Kedua grade gandum ini dapat ditukarkan dengan kuantitas
yang tidak sama tanpa merasa ragu adanya riba karena transaksi itu dilakukan berdasarkan
ketentuan harga gandum, bukan berdasarkan jenis atau beratnya.

Dampak riba
Dampak adanya riba di tengah-tengah masyarakat tidak saja berpengaruh dalam kehidupan
ekonomi, tetapi dalam seluruh aspek kehidupan manusia:

1) Riba dapat menimbulkan permusuhan antara pribadi dan mengurangi semangat kerja sama/
saling menolong dengan

sesama manusia. Dengan mengenakan tamabahan kepada peminjam tidak tahu kesulitan dan
tidakmautahu kesulitan orang lain.

2) Menimbulkan tumbuhnya mental pemboros dan pemalas. Dengan membungakan uang,


kriditur bisa mendapatkan tambahan penghasilan dari waktu ke waktu. Keadaan ini
menimbulkan anggapan bahwa dalam jangka waktu yang tidak terbatas ia mendapatkan
tambahan pendapatan rutin, sehingga menurunkan dinamisasi,inovasi dan kreatifitas dalam
bekerja.

3) Riba merupakan salah satu bentuk penjajahan. Kreditur yang meminjamkan modal dengan
menunutut pembayaran lebih kepada peminjam dengan nilai yang telah disepakati bersama.
Menjadikan kreditur mempunyai legitimasi untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak baik
untuk menuntutkesepakatan tersebut. Karena dalam kesepakatan kreditur telah
memperhitumgkan keuntungan yang diperoleh dari kelebihan bunga yang akan diperoleh, dan itu
sebenarnya hanya berupa pengharapan dan belum terwujud.

4) Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.bagi orang yang mempunyai
pendapatan lebih akan banyak mempunyai kesempatan untuk menaikkan

pendapatanya dengan membungkan pinjaman pada orang lain, sedangkan bagi yang mempinyai
pendapatan kecil, tidak hanya kesulitan dalam membayar cicilan utang tetapi harus memikirkan
bunga yang akan dibayarkan.

5) Riba dalam kenyataanya adalah pencurian, karena uang tidak melahirkan uang. Uang tidak
mempunyai fungsi selain sebagai alat tukar yang mempunyai sifat stabil karena nilai uang dan
barang sama atau intrinsik. Bila uang dipotong uang tidak bernilai lagi, bahkan nilainya tidak
lebih dari kertas biasa. Oleh karena itu, uang tidak bisa dijadikan komoditas.
6) Tingkat bunga tinggi menurunkan minat untuk berinvestasi. Investor akan memperhitungkan
besarnaya harga pinjaman atau bunga bank. Investor tidak mau menanggung biaya produksi
yang tinggi yang diakibatkan biaya bunga dengan mengurangi produksinya. Bila hal ini terjadi
maka akan mengurangi kesempatan kerja dan pendapatan sehingga akan menghambat
pertumbuhan ekonomi.

Gharar dan maysir dalam praktek dan transaksi ekonomi

Gharar secara bahasa adalah bahaya, dan taghrir yaitu membawa diri pada sesuatu yang
membahayakan. Dalam Kontrak muamalah bisnis perdagangan syariah melarang adanya Gharar
dalam setiap transaksinya. Gharar ini dapat diartikan sebagai suatu ketidakjelasan atau bahaya.3
Sedangkan makna secara istilah fiqih gharar mempunyai tiga definisi. Pertama, gharar khusus
berlaku pada sesuatu yang hasilnya tidak jelas, dapat atau tidak dapat, sebagaimana ungkapan
Ibnu „Abidin, Gharar adalah syak atau keraguan pada apakah komoditi tersebut ada atau tidak
ada. Kedua, gharar khusus pada komoditi yang tidak diketahui spesifikasinya. Berkata Ibnu
Hazm, gharar pada bisnis yaitu sesuatu dimana pembeli tidak tahu apa yang dibeli, atau
pedagang tidak tahu apa yang dijual. Ketiga, gharar mengandung dua makna tersebut diatas.
Gharar adalah sesuatu yang aqibatnya tidak jelas.

Dalil – dalil Pengharaman Gharar

1. Al-Qur‟an Surat Al-Baqarah ayat 188:

‫َواَل تَْأ ُكلُ ْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل‬

Artinya: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian dari yang lain diantara kamu
dengan yang batil.”(QS. Al-Baqarah: 188)

2. Al-Qur‟an Surat An-Nisa‟ ayat 29

Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan batil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara
kamu.” (Q.S. An-Nisa : 29)
3. Hadis Riwayat Muslim

‫صلى هللَا عَليو َو َسلم عَن بَيع اَلحصاة َو عَن بَي َع‬
َ ‫الغر عن اَبي ىَريرة قَال نَهى َرسول هللَا‬

Artinya : Dari Abi Hurairah berkata : rasullulah telah melarang jual beli hasah dan jual beli
gharar. (HR. Muslim).

4. Hadis Riwayat Ibnu Majah

‫صلى هللَا عَليو َو َسلم عَن بَيع اَلغرر‬


َ ‫عن اَبن عَباس قَال نَهى َرسول هللَا‬

Artinya: Dari Ibnu Abbas berkata : Rasullulah saw telah melarang jual beli gharar (HR. Ibnu
Majah)

Maisir dalam bahasa Arab arti secara harfiah adalah memperoleh sesuatu dengan sangat
mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Merupakan hal yang
mengandung unsur judi, taruhan, atau permainan beresiko.6 Istilah lain yang digunakan dalam
al-Quran adalah kata `azlam` yang berarti praktek perjudian.

Secara bahasa Maisir bisa dimaknakan dalam beberapa kalimat : Gampang/mudah, orang
yang kaya dan wajib. Secara istilah, Maisir adalah setiap Mu‟amalah yang orang masuk
kedalamnya dan dia mungkin rugi dan mungkin beruntung. Kalimat “mungkin rugi dan mungkin
untung”, juga ada dalam Mu‟amalat jual beli, sebab orang yang berdagang mungkin untung
mungkin rugi. Namun Mu‟amalat jual beli ini berbeda dengan Maisir, seorang pedagang bila
mengeluarkan uang maka ia memperoleh barang dan dengan barang itu ia bermu‟amalat untuk
meraih keuntungan walaupun mungkin ia mendapat kerugian, tapi Maisir, begitu seseorang
mengeluarkan uang maka mungkin ia rugi atau tidak dapat apapun dan mungkin ia beruntung.

Ini definisi Maisir dalam istilah ulama, walaupun sebagian orang mengartikan Maisir ini
ke dalam bahasa Indonesia dengan pengertian sempit, yaitu judi. Judi dalam terminologi agama
diartikan sebagai “suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu benda
atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan
transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau kejadian tertentu”. Contoh maysir yaitu dalam
suatu transaksi adalah Evi membeli sebuah tiket lotere sebesar seribu rupiah per lembarnya
dengan harapan akan memenangkan lotere tersebut dan mendapatkan hadiah dari lotere itu. Tiket
lotere tersebut berhadiah uang tunai senilai 1 Milyar rupiah.

Prinsip berjudi adalah terlarang, baik itu terlibat secara mendalam maupun hanya
berperan sedikit saja atau tidak berperan sama sekali, mengharapkan keuntungan semata
(misalnya hanya mencoba-coba) di samping sebagian orang-orang yang terlibat melakukan
kecurangan, kita mendapatkan apa yang semestinya kita tidak dapatkan, atau menghilangkan
suatu kesempatan. Melakukan pemotongan dan bertaruh benar-benar masuk dalam kategori
definisi berjudi.

Judi pada umumnya (maisir) dan penjualan undian khususnya (azlam) dan segala bentuk
taruhan, undian atau lotre yang berdasarkan pada bentuk-bentuk perjudian adalah haram di
dalam Islam. Rasulullah s.a.w melarang segala bentuk bisnis yang mendatangkan uang yang
diperoleh dari untung-untungan, spekulasi dan ramalan atau terkaan (misalnya judi) dan bukan
diperoleh dari bekerja.

Dalil – dalil Pengharaman Maisir :

Terdapat beberapa dalil yang menjadi dasar atas pengharaman maisir, di antaranya adalah
firman Allah Subhanahu wa Ta‟ala dalam surat Al-Ma‟idah ayat 90-91 :

َ‫صابُ َوااْل َ ْزاَل ُم ِرجْ سٌ ِّم ْن َع َم ِل ال َّشي ْٰط ِن فَاجْ تَنِبُوْ هُ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُوْ ن‬
َ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِنَّ َما ْالخَ ْم ُر َو ْال َم ْي ِس ُر َوااْل َ ْن‬

َ‫ص َّد ُك ْم ع َْن ِذ ْك ِر هّٰللا ِ َوع َِن الص َّٰلو ِة فَهَلْ اَ ْنتُ ْم ُّم ْنتَهُوْ ن‬
ُ َ‫ض ۤا َء فِى ْالخَ ْم ِر َو ْال َم ْي ِس ِر َوي‬
َ ‫اِنَّ َما ي ُِر ْي ُد ال َّشي ْٰطنُ اَ ْن يُّوْ قِ َع بَ ْينَ ُك ُم ْال َعدَا َوةَ َو ْالبَ ْغ‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maisir,


(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara
kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah
dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”. (QS. Al-Ma`idah :
90-91)

Selain firman Allah di atas, terdapat pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu „anhu riwayat Al-
Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu „alaihi wa „ala alihi wa sallam bersada :
َ ‫ف ْل َي ت‬
‫َص د ْق بَِ َش ْي ٍَء‬ َ ْ‫ت عَا َل َُأقَا ِمر‬
َ ‫ك‬ َ ‫صا ِحبِ ِو‬ َ َ‫َم ْن ق‬
َ َِ‫ال ل‬

Artinya:“Siapa yang berkata kapada temannya : “Kemarilah saya berqimar denganmu”, maka
hendaknya ia bershodaqoh.” (HR. Bukhari-Muslim)

Qimar menurut sebagian ulama sama dengan maisir, dan menurut sebagian ulama lain
qimar hanya pada mu‟amalat yang berbentuk perlombaan atau pertaruhan. Dan hadits di atas
menunjukan haramnya maisir/qimar dan ajakan melakukannya dikenakan kaffarah (denda)
dengan bershodaqoh. Dan tidak ada perselisihan pendapat di kalangan para „ulama tentang
haramnya maisir.

Ba’i najasy dan ghaban fahisy

Bai’Najasy

Najsy adalah sebuah praktek dagang dimana seseorang pura-pura menawar barang yang
didagangkan degan maksud hanya untuk menaikkan harga, agar orang lain bersedia membeli
dengan harga itu, Ibnu ‘Umar r.a. berkata: “Rasulullah SAW melarang keras praktek jual beli
najsy”. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda :

“Janganlah kamu sekalian melakukan penawaran barang tanpa maksud untuk membeli”.
(HR.Tirmidzi)

Transaksi najasy diharamkan karena si penjual menyuruh orang lain memuji barangnya
atau menawar dengan harga tinggi agar orang lain tertarik pula untuk membeli. Si penawar
sendiri tidak bermaksud untuk benar-benar membeli barang tersebut. Ia hanya ingin menipu
orang lain yang benar-benar ingin membeli. Sebelumnya orang ini telah mengadakan
kesepakatan dengan penjual untuk membeli dengan harga tinggi agar ada pembeli yang
sesungguhnya dengan harga tinggi pula dengan maksud untuk ditipu. Akibatnya terjadi
permintaan palsu (false demand). Tingkat permintaan yang tercipta tidak dihasilkan secara
alamiah.
Al-Ghaban al-Fahisy

Al-Ghaban menurut bahasa bermakna al-khada‟ (trik). Ghabn adalah menjual/membeli


sesuatu dengan harga yang lebih tinggi dari harga rata-rata, atau dengan harga yang lebih rendah
dari harga rata-rata. Ghabn yang keji, secara syar’i hukumnya memang haram. Sebab
keharamannya telah ditetapkan berdasarkan hadits yang sahih, yang mengandung tuntutan yang
tegas untuk meninggalkannya.

Imam al-Bukhari menuturkan hadis dari abdullah bin Umar ra bahwa pernah ada seorang
laki-laki mengatakan kepada Nabi Saw. bahwa dia telah melakukan trik dalam jual-beli. Beliau
bersabda:”Apabila kamu menjual maka katakanlah, “tidak ada khilabah”(HR al Bukhari). Dari
hadits telah menuntut agar khilabah atau khadi’ah (penipuan) ditinggalkan sehingga hukumnya
haram. Dari sini maka al-ghabn (melakukan trik) itu juga haram. Hanya saja, ghabn yang
diharamkan adalah ghabn yang keji. Sebab, „illat pengharaman ghabn adalah karena ghabn itu
merupakan penipuan dalam harga; tidak disebut penipuan kalau hanya sedikit (ringan), karena
ghabn adalah ketangkasan pada saat menawar.

Jadi, ghabn disebut khida‟ (penipuan) jika sudah sampai pada taraf keterlaluan (keji).
Jika ghabn memang telah terbukti maka pihak yang tertipu boleh memilih sesukanya, antara
membatalkan atau meneruskan jual-belinya. Artinya, jika telah tampak adanya unsur penipuan
dalam jual-beli maka pihak yang tertipu boleh mengembalikan harganya dan meminta kembali
barangnya, jika dia seorang penjual; atau boleh mengembalikan pembeliannya dan mengambil
kembali uangnya jika dia seorang pembeli, sama sekali tidak dibolehkan meminta ganti rugi.
Artinya, orang yang bersangkutan tidak boleh mengambil perbedaan harga barang yang
sesungguhnya dengan harga yang sebelumnya telah digunakan untuk menjualnya.

Imam ad-Daruquthni telah menuturkan hadis dari Muhammad bin yahya bin hibbab, yang
mengatakan, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda “ Jika engkau membeli maka katakanlah,
„Tidak ada penipuan (khilabah).‟. kemudian, dalam setiap pembelian, engkau diberi pilihan
hingga tiga malam. Jika engkau ridha maka ambillah. Jika engkau marah (tidhak ridha) maka
kembalikanlah kepada pemiliknya.”(HR ad-Daruquthni)

Hadis ini menunjukkan, bahwa pihak yang tertipu diberi pilihan. Hanya saja, pilihan ini
ditetapkan berdasarkan dua syarat : (a) pada saat terjadinya akad jual-beli yang bersangkutan
tidak tahu; (b)Penambahan atau penjual untuk membeli dengan harga tinggi agar ada pembeli
yang sesungguhnya dengan harga tinggi pula dengan maksud untuk ditipu. Akibatnya terjadi
permintaan palsu (false demand). Tingkat permintaan yang tercipta tidak dihasilkan secara
alamiah.

Ihtikar dan talaqqi rukban

Ikhtikar

Ihtikar yaitu melakukan penimbunan barang dengan tujuan spekulasi,sehingga ia


mendapatkan keuntungan besar di atas keuntungan normal atau dia menjual hanya sedikit barang
untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi, sehingga mendapatkan keuntungan di atas
keuntungan normal. Ikhtikar sering kali diterjemahkan sebagai monopoli dan/atau penimbunan.
Padahal sebenarnya ihtikar tidak identik dengan monopoli dan/atau penimbunan. Dalam Islam,
siapapun boleh berbisnis tanpa peduli apakah dia satu-satunya penjual (monopoli) atau ada
penjual lain. Menyimpan stock barang untuk keperluan persediaan pun tidak dilarang dalam
Islam. Jadi monopoli sah-sah saja. Demikian pula menyimpan persediaan. Yang dilarang adalah
ihtikar, yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih
sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi, atau istilah ekonominya monopoly’s rent-seeking.
adi dalam Islam, monopoli boleh. Sedangkan monopoly’s rent seeking tidak boleh.

Suatu kegiatan masuk dalam ketegori ihtikar apabila tiga unsur berikut terdapat dalam
kegiatan tersebut :

1. Mengupayakan adanya kelangkaan barang baik dengan cara menimbun stock atau
mengenakan entry barriers.
2. Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga sebelum
munculnya kelangkaan
3. Mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan sebelum
komponen 1 dan 2 dilakukan.
Bersumber dari Said bin al-Musayyab dari Ma’mar bin Adbullah al-adawi bahwa
Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah orang yang melakukan ikhtikar itu kecuali ia berdosa”.
Ikhtikar ini sering kali diterjemahkan sebagai monooli atau penimbunan, padahal sebenarnya
ikhtikar tidak identik dengan monopoli atau penimbunan. Dalam Islam, siapapun boleh berbisnis
tanpa peduli apakah dia satu-satunya penjual (monopoli) atau ada penjual lain. Menyimpan stok
barang untuk keperluan persediaan pun tidk dilarang dalam Islam. Jadi monopoli sah-sah saja.
Demikian pula menyimpan persediaan. Yang dilarang adalah ikhtikar, yaitu mengambil
keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga
yang lebih tinggi, atau istilah ekonominya monopoly‟s rent-seeking. Hakikat dari ikhtikar adalah
memproduksi lebih sedikit dari kemampuan produksinya untuk mendapatkan keuntungan yang
lebih.

Tallaqi Rukhban

Tindakan yang dilakukan oleh pihak yang lebih memiliki informasi yang lebih lengkap
(pedagang) membeli barang penjual (produsen yang tidak memiliki informasi yang benar tentang
harga di pasar) yang masih diluar kota, untuk mendapatkan harga yang lebih murah dari harga
pasar sesungguhnya. Transaksi ini dilarang karena mengandung dua hal : pertama, rekayasa
penawaran yaitu mencegah masuknya barang ke pasar (entrybarrier), dan kedua, mencegah
penjual dari luar kota untuk mengetahui harga pasar yang berlaku.

Inti dari pelarangan ini adalah tidak adilnya tindakan yang dilakukan oleh pedagang kota
yang tidak menginformasikan harga yang sesungguhnya terjadi dipasar. Apabila transaksi jual
beli antara dua belah pihak di mana yang satu memiliki informasi yang lengkap dan yang satu
tidak tahu berapa harga dipasar yang sesungguhnya dan kondisi demikian dimanfaatkan untuk
mencari untung yang berlebih, maka terjadilah penzaliman.

Inilah bukti bahwa tindakan Tallaqi Rukhbn tidak hanya saja menzalimi si petani, tetapi
telah merusak keseimbangan pasar pada level yang lebih rendah. Abu Hurairah pernah
meriwayatkan, bahwa Rasulullah Saw, bersabda: “Janganlah kau keluar menyambut orang-orang
yang membawa hasil panen ke dalam kota kita”.
Hikmah yang bisa diambil dari pelarangan ini adalah pembelian hasil panen, yang
merupakan komoditi yang pokok dan dibutuhkan semua orang, baik kaya maupun miskin harus
dijual secara terbuka di pasar. hal ini untuk mencegah pemeblian tunggal komoditi pokok
tersebut pindah ke satu pihak, dengan demikian pemerintah lebih mudah untuk mengontrol harga
dipasar.

Anda mungkin juga menyukai