Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

FIQH MUAMALAH KONTEMPORER


Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah

Dosen Pengampu :
Ulil Amri, Lc, M.H.I
NIP. 198308032011011005

Disusun Oleh :
Mitra Amelia 2020603041
Della Delvia 2020603075
Popi Marsela 2020603092

S1 PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, taufik
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan
tepat waktu. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman bagi pembaca mengenai “Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah”.
Terlebih kami mengucapkan ribuan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dosen
pembimbing mata kuliah Fiqh Muamalah Kontemporer. Tidak lupa pula kami mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang turut membantu kontribusi dalam penyusunan makalah ini
dengan semaksimal mungkin.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami harapkan
kepada para pembaca untuk memberikan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

Palembang, 8 September 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................................. 1
1.3 Tujuan .................................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................................... 2
2.1 Musaqah ..................................................................................................................................... 2
2.1.1 Pengertian Musaqah............................................................................................................ 2
2.1.2 Dasar Hukum al-Musaqah ................................................................................................... 3
2. 1.3 Rukun, Objek dan Syarat-syarat al-Musaqah ..................................................................... 4
2.1.4 Kewajiban Musaqi (Pekerja) ............................................................................................... 5
2.1.5 Berakhirnya Akad Musaqah ................................................................................................ 6
2.1.6 Contoh Musaqah .................................................................................................................. 6
2.2 Al-Muzaraah ............................................................................................................................... 7
2.2.1 Pengertian Al-Muzaraah ...................................................................................................... 7
2.2.2 Rukun dan Syarat Muzaraah ................................................................................................ 7
2.2.3 Dasar Hukum Muzara’ah atauMukhabarah ....................................................................... 10
2.2.4 Hal-hal yang membatalkan Muzara’ah danMukhabarah ................................................... 12
2.2.5 Contoh Muzara’ah ............................................................................................................. 14
2.3 Mukhabarah .............................................................................................................................. 14
2.3.1 . Pengertian Mukhabarah ................................................................................................... 14
2.3.2 Dasar Hukum Mukhabarah ................................................................................................ 15
2.3.3 Syarat dan Rukun Mukhabarah ......................................................................................... 16
2.3.4 Akibat Hukum Akad Mukhabarah..................................................................................... 17
2.3.5 Berakhirnya Mukhabarah .................................................................................................. 17
2.3.6 Contoh Mukhabarah .......................................................................................................... 18
2.4 Perbedaan Antara Musaqah, Muzara’ah, dan Mukhabarah ..................................................... 18
2.5 Hubungan Mukhabarah, Muzara’ah, Dan Musaqah ................................................................ 19
2.6 Zakat Muzara’ah Dan Mukhabarah .......................................................................................... 20
BAB III PENUTUP ........................................................................................................................... 21
3.1 Kesimpulan............................................................................................................................... 21
3.2 Saran ......................................................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 22
ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuhan menciptakan manusia di muka bumi ini sebagai khalifah atau pemimpin untuk
diri sendiri maupun orang lain. Meskipun manusia berperan sebagai khalifah, tentu tak luput
dari bantuan manusia lainnya, sehingga antara manusia satu dengan yang lainnya saling
membutuhkan satu sama lain. Di dalam islam hubungan antar manusia telah diatur sedemikian
rupa agar tidak terjadi perselisihan yang mampu menimbulkan permusuhan antara individu.
Apabila tidak dilandaskan hokum islam, maka kecurangan dan kekecewaan pasti akan
dirasakan oleh salah satu pihak yang terlibat. Dari beberapa kemungkinan buruk tersebut,
maka hendaklah setiap melakukan pekerjaan ataupun hubungan bisnis dengan orang lain
dilandaskan hokum agama agar kedua belah pihak tidak merasa dirugikan.
Manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan
antara satu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha
mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomi. Dalam kehidupan
sosial, Nabi Muhammad mengajarkan kepada kita semua tentang bermuamalah agar terjadi
kerukunan antar umat serta memberikan keuntungan bersama. Manusia sebagai makluk sosial
tidak bisa hidup sendiri dan pastti memerlukan bantuan dari orang lain dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat banyak beragam, sehingga terkadang secara
pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain.
Dalam konteks ini akan membahas tiga diantara muamalah yang diajarkan Nabi
Muhammad SAW yaitu Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah. Hubungan antara satu
manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan (hablum min al-Nas), harus
terdapat qturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan
(akad).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah ?
2. Apa landasan hukum syariah Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah ?
3. Apa syarat dan rukun Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah ?
4. Bagaimana ketentuan dan berakhirnya akad Musaqah ?
5. Kapan berakhirnya Muzara’ah dan Mukhabarah ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah.
2. Mengetahui landasan hukum syariah Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah.
3. Mengetahui syarat dan rukun Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah.
4. Mengetahui ketentuan dan kapan berakhirmya Musaqah.
5. Mengetahui kapan berakhirnya Musaqah.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Musaqah
2.1.1 Pengertian Musaqah
Istilah Musaqah secara etimologi (lughawi) berasal dari kata ( ) yang mengandung makna :
memberikan.1 Menurut pendapat lain musaqah berasal dari kata dasar as-saqy (penyiraman). Ini
adalah pemberian nama dari suatu kerja yang diambil dari salah satu proses kerja tersebut.2
Para ulama ahli fiqh, para sahabat, para tabi’in, dan para imam mazhab sepakat atas bolehnya
musaqah, yaitu mengupah buruh untuk menyiram tanaman, menjaganya dan memeliharanya dari
hasil yang diperoleh dari tanaman tersebut. Diperbolehkan terhadap segala pepohonan yang berbuah,
seperti kurma, anggur, tin dan kelapa.3
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat ditegaskan bahwa pengertian musaqah adalah
menggunakan tenaga orang lain untuk mengurus kebun dengan memperoleh bagian berbentuk dari
hasil kebun tersebut.
Musaqah adalah penyerahan pohon-pohon kepada orang yang diberi kewenangan untuk
mengairi dan merawatnya hingga benar-benar matang. buahnya dengan imbalan tertentu dari
buahnya. Ini adalah kerja sama pertanian terkait perawatan pohon hingga berbuah dengan status
pohon merupakan satu hal, pekerjaan merawat pohon merupakan hal lain. Sedangkan buah yang di
hasilkan dibagi di antara keduanya dengan persentase yang telah di sepakati kedua belah pihak,
seperti seperdua, sepertiga, dan semacamnya.4
Tanaman yang dimaksud dalam kerja sama muamalah ini adalah tanaman yang keras atau tua
yang berbuah untuk mengharapkan buahnya seperti tanaman kelapa, kelapa sawit, atau bergetah
untuk mengharapkan getahnya. Bukan untuk mengharapkan kayunya.
Kerja sama dalam bentuk al-musaqoh ini berbeda dengan mengupah tukang kebun untuk
merawat tanaman karena hasil yang diterimanya adalah upah yang telah pasti ukurannya dan bukan
dari hasilnya yang belum pasti.5
Berdasarkan pengertian musaqoh tersebut dapat penulis menarik kesimpulan bahwa yang
dinamakan musaqoh adalah bentuk perjanjian bagi hasil antara pemilik kebun dengan penggarap.
Berarti musaqah merupakan bermu’amalah terhadap kebun untuk diurus dengan ketentuan bagi hasil
yang sebelumnya telah disepakati.

1
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggaraan/penafsir al-qur’an, 1972, hal. 183

2
Abdullah bin Abdurrahman al basan, Syarah Bulughul Maram, Terj; Thahirin Suparta, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2006), hal. 40
3
Syaikh al-allamah Muhammad bin ‘abdurrahman ad-dimasyiqi, fiqh empat mazhab, terj: lullah jaki Alkaf,
(Bandung: Hasyimi, 2013) hal. 278
4
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj: Abdurrahim, dk, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), jilid 5, hal. 394
5
Amir Sarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Rawa Mangun: Prenada Media, 2003), hal. 243
2
3

2.1.2 Dasar Hukum al-Musaqah


Bagi hasil al-musaqoh ini disyariatkan berdasarkan sunah Nabi SAW. Para ahli fikih
kebanyakan berpendapat membolehkan al-musaqoh karena melihat hal ini sangat dibutuhkan, kecuali
imam Abu Hanifah.
Jumhur fukaha membolehkan bagi hasil ini, mereka berpegangan dengan hadits sebagai
berikut:
1. Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari tentang al-musaqah antara Muhajirin dan
Anshar, berbunyi:
‫ قال عنھ هللا رضي یره ھر ابي وعنھ‬: ‫ وسلم علیھ هللا صلى للنبي ر اآلنصا قالت‬: ‫بین و بیننا اقسم‬

‫ النخیل اخوائنا‬. ‫ قال‬: (‫ )ال‬. ‫ فقالوا‬: ‫ المؤونة نا تكفو‬, ‫ الثمرة في ككم ونشر‬, ‫ قالوا‬: ‫وأطعنا سمعنا‬

Artinya: Diriwayatkan darinya (Abu Hurairah) r.a: Kaum Anshar berkata kepada Nabi
Saw., “Bagikanlah pohon-pohon kurma milik kami kepada saudara-saudara kami (kaum
Muhajirin).” Nabi Saw menjawab, “Tidak”. Kaum Anshar berkata (kepada kaum
Muhajirin), “Uruslah pohon-pohon kami dan bagilah hasilnya dengan kami.” Kaum
Muhajirin berkata, “Sami’na wa atha’na (kami dengar dan taat).” (HR. Bukhari).6
Ibn Rusd juga mengemukakan dasar hukum al-musaqoh berdasarkan kepada jumhur
para fukaha yang berpegang kepada hadits shahih Ibn Umar yang berbunyi:

ّ ‫أن ال ّنب‬
‫ على أن‬, ‫ي صلى هللا علیھ و سلم د فع الى یھود خیبر نخل خیبر وارضھا‬ ّ , ‫عن ابن عمر‬

ّ , ‫یعتملوھا من أموالھم‬
‫وأن لر سول هللا صلى هللا علیھ وسلم شطر ثمر تھا‬

Artinya: Dari Ibnu Umar bahwasannya Nabi Saw menyerahkan pohon kurma dan
tanahnya kepada orang-orang Yahudi di Khaibar agar mereka memelihara pohon-pohon
kurma itu dengan harta mereka, dan bagi Rasulullah SAW (mendapatkan hak) separoh
buahnya. (Shahih Muttafaq ‘Alaih).7
2. Hadits dari Ibnu Umar yang berbunyi:
‫أن النّبي صلى هللا علیھ و سلم عامل خیبر بشطر ما‬
ّ : ‫عن عبد هللا بن عمر رضي هللا عنھما‬

‫ ثمانین وسق تمر وعشرین‬, ‫ فكان یعطي أزواجھ مائة وسق‬, ‫یخرج منھا من ثمر أو زرع‬

‫وسق شعیر‬

Artinya: Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a : Nabi Saw. menandatangani
perjanjian dengan penduduk Khaibar untuk memanfaatkan tanah dengan persyaratan

6
Al-Imam Zainuddin Ahmad bin Abdul Latif Az-Zabidi, Ringkasan Shahih Al-Bukhari, Diterjemahkan dari Al-
Tajrid Al-Shahih li Ahadits Al-Jami’ Al-Shahih, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2004), Cet. X, hal. 428
7
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), jilid 2, hal. 566
4

separuh dari hasil tanah itu, yang berupa sayuran dan buah-buahan, akan menjadi bagian
mereka. Nabi Saw. memberi istri-istrinya masing-masing 100 wasq, yaitu 80 wasq kurma
dan 20 wasq gandum. (HR. Bukhari).8

Berdasarkan hadits-hadits di atas, maka Jumhur ulama sepakat menjadikan hadits Nabi SAW
mengenai bagi hasil yang berlangsung di Khaibar tersebut sebagai landasan hukum dibolehkan al-
musaqah. Di samping itu akad musaqah ini dibutuhkan oleh manusia karena terkadang disatu pihak
pemilik pepohonan atau perkebunan tidak sempat atau tidak dapat mengurus dan merawatnya,
sedangkan pihak lain ada orang yang mampu dan sempat mengurus dan merawat pepohonan atau
perkebunan tersebut. Dengan demikian pihak pertama memerlukan penggarap, sedangkan pihak
kedua memerlukan pekerjaan.9
2. 1.3 Rukun, Objek dan Syarat-syarat al-Musaqah
Sebagai kerja sama yang timbul dari kehendak bersama, maka kerja sama ini memerlukan
suatu perjanjian atau akad. Dalam hal ini al-musaqah merupakan pelaksanaan suatu akad, dalam
bermuamalah dengan kerja sama dalam perawatan tanaman.10
Sayyid Sabiq dalam bukunya mengatakan, ada dua rukun terkait kerja sama musaqah, yaitu:
1. Ijab
2. Kabul
Musaqah tercapai dengan kata-kata apapun yang maksudnya adalah musaqah, bisa pula
dengan tulisan dan isyarat, selama itu berasal dari orang-orang yang di perkenankan untuk melakukan
transaksi.11
Menurut Jumhur ulama rukun musaqah ada tiga, yaitu:
1. Aqidain (pemilik kebun dan penggarap)
2. Objek akad, yaitu pekerjaan buah
3. Sighat, yaitu ijab dan qabul.
Para Fuqaha berbeda pendapat dalam masalah objek diperbolehkan dalam musaqah. Menurut
Hanafiah adalah semua jenis pohon yang berbuah, seperti anggur dan kurma.
Akan tetapi ulama-ulama dari mutaakhirin dari Hanafiah membolehkan musaqah dalam
pohon-pohon yang tidak berbuah, karena pohon-pohon tersebut sama-sama membutuhkan
pengurusan dan perawatan.
Menurut Syafi’iyah, yang boleh di musaqahkan hanyalah kurma dan anggur saja. Sedangkan
menurut Hanafiah semua pohon yang mempunyai akar ke bumi dapat di musaqahkan, seperti tebu.12
Menurut Malikiyah, objek musaqah adalah tumbuh-tumbuhan seperti kacang dan pohon yang
berbuah, yang memiliki akar yang tetap di dalam tanah, misalnya anggur dan kurma, yang berbuah
dan lain-lain dengan syarat:
1. Akad musaqah dilakukan sebelum buah kelihatan tua dan boleh diperjual belikan.

8
Al-Imam Zainuddin Ahmad bin Abdul Latif Az-Zabidi, Op. Cit., hal. 429
9
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010), Cet. 1, hal. 406
10
Amir Syarifuddin, Loc. Cit
11
Sayiyid Sabiq, Op. Cit., hal. 396
12
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), hal. 149
5

2. Akad musaqah ditentukan waktunya.13


Syarat dalam melakukan musaqah dalam Fiqh sunnah yang dikemukakan Sayyid Sabiq
sebagai berikut:
1. Pohon-pohon yang ditetapkan dalam musaqah harus diketahui dengan penglihatan nyata
atau dengan deskripsi yang disepakati, karena transaksi terkait sesuatu yang tidak diketahui
hukumnya tidak sah.
2. Batas waktu harus diketahui, karena musaqah adalah transaksi yang mengikat sebagaimana
transaksi penyewaan, ini juga dimaksudkan agar tidak ada faktor kecurangan.
3. Kerja sama musaqah dilakukan sebelum tampak buahnya yang layak, karena sebelum
tampak buahnya yang layak tanaman membutuhkan perawatan. Adapun setelah buah tampak
layaknya, maka di antara ulama fikih ada yang berpendapat bahwa musaqah tidak
diperkenankan dalam kondisi ini, karena tidak ada keperluan terhadapnya. Seandainya terjadi,
maka itu merupakan pengerjaan dengan upah bukan kerja sama musaqah. Di antara mereka
ada yang membolehkannya dalam kondisi ini, karena jika musaqah dibolehkan sebelum Allah
menciptakan buah, maka setelah tampak buahnya musaqah lebih layak untuk dibolehkan.
4. Pihak yang merawat berhak mendapatkan bagian dari keseluruhan buah yang tercakup
dalam kerjasama musaqah. Maksudnya bagiannya ditetapkan besarnya, seperti seperdua dan
sepertiga. Seandainya dia atau pemilik pohon mensyaratkan pohon-pohon tertentu atau kadar
tertentu, maka kerja sama musaqah batal.14
2.1.4 Kewajiban Musaqi (Pekerja)
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Nawawi, kewajiban musaqi adalah mengerjakan
apa saja yang dibutuhkan pohon-pohon dalam rangka pemeliharaannya untuk mendapatkan buah.
Untuk setiap pohon yang berbuahmusiman diharuskan menyiram,membersihkan saluran air,
mengurus pertumbuhan pohon, memisahkan pohon-pohon yang merambat, memelihara buah, dan
perintisan batangnya.15
Sedang pekerjaan yang sifatnya tidak perlu dilakukan setiap tahun adalah pemeliharaan hal-
hal tertentu yang terjadi sewaktu-waktu, seperti membangun pematang, menggali sungai, mengganti
pohon-pohon yang rusak atau pohon yang tidak produktif adalah kewajiban pemilik tanah dan
pengadaan bibit.
Jadi yang menjadi tugas pokok pekerja atau penggarap adalah mengerjakan sebagaimana
layaknya, agar pohon atau tanaman itu dapat berbuah baik sebagaimana lazimnya dilakukan disuatu
tempat. Dan tentunya tidak termasuk mengerjakan sesuatu yang tidak langsung berhubungan dengan
upaya peningkatan hasil/buah, seperti pembuatan parit yang sifatnya permanen, pembuatan pagar
keliling kebun.16
Bagi pekerja atau penggarap yang tidak dapat melaksanakan pekerjaannya disebabkan suatu
halangan, seperti karena sakit yang tidak mungkin dapat mengerjakan pekerjaan seperti yang telah
disepakati dengan pihak pemilik kebun atau si pekerja secara mendadak yang akibatnya tidak dapat
melaksanakan pekerjaannya. Maka secara hukum pelaksanaan bagi hasil (al-musaqah) menjadi

13
Ibid
14
Sayyid Sabiq, Op.Cit., hal. 396-397
15
Hendi Suhendi, Op. Cit., hal. 150
16
Sulaiman bin Ahmad bin Yahya Al-Falfi, Mukhtasar fiqh Sunnah Sayyid Sabiq, Terj: Abdul Majid, dkk,
(Kartasura: PT. Aqwam Media Profetika, 2010), hal. 367
6

fasakh. Ini apabila dalam perjanjian yang dibuat dengan pihak pemilik kebun bahwa pekerjaan itu
akan dikerjakan langsung olehnya sendiri. Tapi apabila tidak dibuat pernyataan bahwa pekerja sendiri
yang akan mengerjakannya, maka perjanjian tidak menjadi fasakh. Artinya pekerja atau penggarap
boleh mencarikan orang lain untuk meneruskan pekerjaannya.17
2.1.5 Berakhirnya Akad Musaqah

Menurut ulama Hanafiyah berakhir dengan adanya salah satu dari tiga hal, yaitu:
1. Memang karena jangka waktu al-musaqah yang telah disepakati telah habis.
2. Meninggalnya salah satu pihak.
3. Adanya pembatalan akad baik dengan cara al-iqaalah (pembatalan yang diinginkan oleh
salah satu pihak, lalu pihak yang satunya lagi menyetujui pembatalan itu), maupun karena
ada udzur atau alasan yang bisa diterima.
Menurut ulama Hanabilah, al-musaqah berakhir dengan berakhirnya jangka waktu yang
ditetapkan, jika memang akad al-musaqah itu disertai dengan penentuan jangka waktunya. Ini
seperti yang ditegaskan oleh ulama mazhab lain. Akan tetapi jika pemilik kebun mengadakan
akad al-musaqah dengan jangka waktu di mana biasanya buah yang ada telah sempurna dalam
jangka waktu tersebut, namun ternyata buah yang ada tidak berbuah, maka pihak penggarap
tidak mendapatkan apa-apa, sama seperti yang berlaku dalam akad al-mudharabah.18
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa musaqah adalah akad yang dapat diwariskan.
Dengan demikian ahli waris penggarap berhak untuk meneruskan garapan. Akan tetapi, jika
ahli warisnya menolak, pemilik harus menggarapnya. Imam Malik juga berpendapat jika
penggarap itu adalah seorang pencuri atau orang zhalim, maka akad tersebut tidak batal.19
Menurut Syafi’iyah musaqah tidak batal karena adanya udzur. Apabila penggarap
berkhianat misalnya, maka ditunjuklah seorang pengawas yang mengawasi pekerjaannya
sampai selesai.20
2.1.6 Contoh Musaqah
Diko adalah orang yang sangat kaya dan memiliki banyak tanah / lading dimana-mana
dan Meli adalah seorang yang rajin bekerja tapi kekurangan lapangan pekerjaan, karena Meli
orang yang jujur dan dapat dipercaya. Maka Diko menyerahkan sebagian kebunnya kepada si
Meli dengan kententuan-ketentuan tertentu yang telah di setujui oleh kedua pihak. Dan dengan
disetujuinya perjanjian tersebut maka Meli pun harus merawat kebun Diko dengan sebaik-
baiknya sampai waktu panen telah tiba.
Dari contoh diatas merupakan kerjasama antara pemilik kebun atau tanaman dengan
pengelola/penggarap untuk memelihara dan merawat kebun atau tanaman dengan perjanjian
bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama dan perjanjian itu disebutkan dalam
akad.

17
7Sayyid Sabiq, Op. Cit., hal. 173
18
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Terj: Abdul Hayyie al- Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011),
jilid 6, hal. 600-605
19
Ibnu Rusyd, Bidayatul al-Mujtahid, Terj: Abdurrahman dan Haris Abdullah, (Jakarta:
20
Syafe’i Rachmat, Fiqh Muamalah, (Bandung: CV. Pustaka Setia), hal. 219
7

2.2 Al-Muzaraah
2.2.1 Pengertian Al-Muzaraah
Muzaraah berasal dari kata zara’a yang berati menyemai, menanam, menaburkan benih, surat
yang berkaitan penuh dengan kata tersebut adalah:
َ ‫شت َو َغی َْر َّم ْع ُرو َّٰ َشت َج َّٰنَّت أَن‬
‫شأ َ ٱلَّذِى َوھ َُو‬ َ َّٰ ‫ع َوٱلنَّ ْخ َل َم ْع ُرو‬ َّ ‫ٱلز ْیتُونَ أ ُ ُكلُ ۥهُ ُم ْختَ ِلفًا َو‬
َ ‫ٱلز ْر‬ َّ ‫ٱلر َّمانَ َو‬
ُّ ‫ش ِب ًھا َو‬ َ َّٰ َ ‫ش ِبه َو َغی َْر ُمت‬
َ َّٰ َ‫ۚ ُمت‬
َ ‫ْٱل ُمس ِْرفِینَ ی ُِحبُّ َال إِنَّ ۥهُ ۚ تُس ِْرفُوا َو َال ۖ َح‬
‫صا ِدِۦه یَ ْو َم َح َّق ۥهُ َو َءاتُوا أَثْ َم َر إِذَا ث َ َم ِرِۦه ِمن ُكلُوا‬

Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon
korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa
(bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-
macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan
disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. ( Q. S. Al – An’am : 141)21
Sehingga muzaraah diartikan dengan kerjasama pengelolaan antara pemilik kebun dengan
memberikan kebun pertanian kepada si pekerja untuk ditanami dan di pelihara dengan imbalan bagian
tertentu dari hasil panen.22

‫ لقد نھانا رسول هللا صلى هللا‬: ‫ قال ع ّمي ظھیر بن رافع‬: ‫عن رافع بن خدیج رضي هللا عنھ قال‬

ّ ‫ فھو‬, ‫ ما قال رسول هللا صلى هللا علیھ وسلم‬: ‫ قلت‬, ‫علیھ وسلم عن أمر كان بنا رافقا‬
: ‫ قال‬, ‫حق‬

‫ نؤاجرھا على الربع‬: ‫ قلت‬. )‫ (ما تصنعون بمحاقلكم؟‬: ‫ قال‬, ‫دعاني رسول هللا صلى هللا علیھ وسلم‬

‫ قال‬. )‫ أو أمسكوھا‬, ‫ أو أزرعوھا‬, ‫ ازرعوھا‬, ‫ (ال تفعلوا‬: ‫ قال‬,‫ وعلى اآلوسق من التمر والشعیر‬,

Artinya: Diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij r.a: Pamanku, Zhuhair bin Rafi’, berkata,
“Rasulullah Saw. melarang kami melakukan suatu perbuatan yang dahulu menjadi sumber
pendapatan kami.” Aku berkata, “Apa pun yang dikatakan Rasulullah Saw. adalah benar.” Ia
berkata, “Rasulullah Saw. memanggilku, dan bertanya, ‘Apa yang kamu lakukan dengan
tanah pertanianmu?’ Aku menjawab, ‘Kami menyewakan tanah kami yang didasarkan (pada
perjanjian) bahwa kami memperoleh hasil dari tanah pertanian yang terdapat disepanjang
pinggir sungai sebagai sewa, atau (kami) menyewakannya untuk beberapa wasq gandum dan
kurma. Rasulullah Saw. bersabda, ‘Jangan dengan cara seperti itu, tetapi olahlah lahan
pertanianmu olehmu sendiri, atau biarkan lahanmu diolah orang lain dengan Cuma-Cuma,
atau biarkan tidak diolah.’ Aku berkata, ‘Kami dengar dan taat.’’’ (HR. Bukhari)23
2.2.2 Rukun dan Syarat Muzaraah
Rukun-rukun Muzara’ah dan Mukhabarah

21
1 Departemen Agama, op.cit,h.91
22
Muhammad, Etika dan Strategi Bisnis, ( Yokyakarta: CV. Andi Offiset, 2008), h. 245
23
Al-Imam Zainuddin Ahmad bin Abdul Latif Az-Zabidi, Op. Cit., hal. 431
8

Jumhur ulama yang membolehkan akad muzaraah mengemukakan rukun yang harus
dipenuhi, agar akad itu menjadi sah:
a. Penggarap dan pemilik tanah (akid)
Akid adalah seseorang yang mengadakan akad, disini berperan sebagai penggarap atau
pemilik tanah pihak-pihak yang mengadakan akid, maka para mujtahid sepakat bahwa
akad muzara’ah atau mukhabarah sah apabila dilakukan oleh : seseorang yemg telah
mencapai umur, seseorang berakal sempurna dan seseorang yang telah mampu berihtiar.
Jika tidak bisa terselenggara akad muzara’ah atau mukhabarah di atas orang gila dan
anak kecil yang belum pandai, maka apabila melakukan akad ini dapat terjadi dengan
tanpa adanya pernyataan membolehkan. Hal ini dibolehkan apabila ada izin dari walinya.
Untuk kedua belah pihak yang melakukan akad disyaratkan berkemampuan yaitu
keduanya berakal dan dapat membedakan. Jika salah seorang yang berakat itu gila atau
anak kecil yang belum dapat membedakan, maka akad itu tidak sah.24
Adapun kaitannya dengan orang yang berakal sempurna, yaitu orang tersebut telah
dapat dimintai pertanggungjawaban, yang memiliki kemampuan untuk membedakan yang
baik dan buruk (berakal).Nampak padanya bahwa ddoirinya telah mampu mengatur harta
bendanya.
b. Obyek muzara’ah dan mukhabarah (ma’qud ilaih)
Ma’qud ilaih adalah benda yang berlaku pada hukum akad atau barang yang
dijaddikan obyek pada akad.25 Ia dijadikan rukun karena kedua belah pihak telah
mengetahui wujud barangnya, sifat keduanya serta harganya dan manfaat apa yang
diambil. Akad muzara’ah atau mukhabarah itu tidak boleh kecuali tanah yang sudah
diketahui.Kalau tidak diketahui kecuali dengan dilihat seperti tanah pekarangan, maka
dengan hal ini tidak boleh hingga dilihat terlebih dahulu.Dan juga tidak boleh kecuali atas
tanah-tanah yang bermanfaat atau subur.Kesuburan tanah-tanah terseebut dapat dilihat
dari penggunaan tersebut pada masa sebelumnya atau dapat menggunakan alat pengukur
kualaitas kesuburan tanah tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghindari kerugian(baik
tenaga maupun biaya) dari masing-masing pihak yang bersangkutan.
Hal-hal yang harus diperhatikan perjanjian kerjasama yang berkaitan dengan tanah
antara lain : untuk apakah tanah tersebut digunakan ? apabila tanah digunakan untuk lahan
pertanian, maka harus diterangkan, dalam perjanjian jenis apakah tanaman yang harus
ditanam ditanah tersebut. Sebab jenis tanaman yang ditanam akan berpengaruh terhadap
jangka perjanjian (sewa) tersebut. Dengan sendirnya akan berpengaruh terhadap uang
sewanya. Penggunaan yang tidak jelas dalam perjanjian, dikhawatirkan akan melahirkan
prestasi yang akan berbeda antara pemilik tanah dengan penyewa (penggarap) dan pada
akhirnya akan menimbulkan persengketaan.26
c. Harus ada ketentuan bagi hasil
Menurut ketentuan dalam akad muzara’ah atau mukhabarah perlu diperhatikan
ketentuan pembagian hasil seperti setengah, sepertiga, seperempat, lebih banyak atau
lebih sedikit dari itu.27 Hal itu harus diketahui dengan jelas, disamping untuk
pembagiannya.Karena masalah yang sering muncul kepermukaan dewasa ini dalam dunia
perserikatan adalah masalah yang menyangkut pembagian hasil serta waktu
pembiayaan.Pembagian hasil harus sesuai dengan kesepakatan keduanya.

24
Sayyid Sabiq, Op. Cit, hlm.115
25
Tengku Muhammad Hasbi As-Shididieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, Bulan Bintang, Jakarta, 1998, hlm. 23
26
Suhwardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 148
27
Syekh Muhammad Yusuf Qardawi, Halal Dan Haram Dalam Islam, PT. Bina Ilmu, Jakarta, 2001, hlm. 384
9

d. .Ijab dan Qabul.


Suatu akad akan terjadi apabila ada ijab dan qabul, baik dalam bentuk perkataan atau
dalam bentuk persyaratan yang menunjukkan adanya persetujuan kedua belah pihak
dalam melakukan akad tersebut. Ijab dan Qabul artinya ikatan antara pemilik tanah dan
penggarapnya. Dalam hal ini baik akad munajjaz (akad yang di ucapan seseorang dengan
member tahu batasan) maupun qhairu munajjas (akad yang diucapkan seseorang tanpa
memberikan batasan) dengan suatu kaidah tanpa mensyaratkan dengan suatu syarat. 28
Akad dalam fiqh mu’amalah berasal dari kata bahasa Arab ‫عقدا‬-‫ عقد‬yang berarti,
membangun atau mendirikan, memegang, perjanjian, percampuran, menyatukan.29
Sedangkan menurut para ulama ada beberapa pendapat diantaranya :
Menurut al-Sayyid Sabiq akad berarti ikatan atau kesepakatan.30 Menurut basri, akad
menurut bahasa berarti ikatan (al-rabthu), kaitan (al- ‘akadah) atau janji (al-‘ahdu).31
Menurut M. Ali Hasan, akad berasal dari bahasa Arab adalah “perkataan, perjanjian dan
permufakatan “.Pertalian ijab (pernyataan menerima ikatan) sesuai dengan kehendak
syari’at yang berpengaruh pada obyek perikatan.32
Yang dimaksud ijab dalam definisi akad adalah ungkapan atau pernyataan kehendak
melakukan perikatan (akad) oleh suatu pihak, biasanya disebut sebagai pihak pertama.
Sedangkan qabul adalah pernyaan atau ungkapan yang menggambarkan kehendak pihak
lain, biasanya dinamakan pihak kedua, menerima atau menyetujui pernyataan ijab.33
Secara sederhana ijab dan kabul cukup dengan lisan saja, namun sebaliknya dapat dituangkan
dalam surat perjanjian yang dibuat dan disetujui bersama, termasuk bagi hasil persentase kerjasama
itu).
Menurut jumhur ulama, syarat syarat muzaraah ada yang berkaitan dengan orang yang
berakad, benih yang akan ditanam, kebun yang akan dikerjakan, hasil yang akan dipanen,dan jangka
waktu berlaku akad:
1. Syarat yang berkaitan dengan orang yang melakukan akad, harus balig dan berkal, agar
meraka mereka dapat bertindak atas nama hukum. Oleh sebagian ilama mazhab Hanafi,
selain syarat tersebut ditambah lagi dengan syarat bukan bukan orang murtrad, karena
tindakan orang murtad dianggap tidak mempunyai efek hukum sampai ia masuk kembali.
2. Syarat yang berkaitan dengan benih yang akan ditanam harus jelas dan menghasilkan.
3. Syarat syarat yang berkaitan degan perkebunan :
a) Menurut adat kebiasaan dikalangkan petani, kebun itu bisa diolah dan menghasilkan.
Sebab ada tanaman yang tidak cocok, ditanami pada daerah tertentu.
b) Batas batas kebun itu jelas
c) Kebun itu diserahkan sepenuhnya kepada pekerja untuk diolah dan pemilik kebun
tidak boleh campur tangan untuk mengelolanya.
4. Syarat yang berkaitan dengan hasil adalah sebagai berikut:
a) Pembagian hasil panen harus jelas (persentase)

28
Tengku Muhammad Hasbi As-Shididieqy, Op. Cit, hlm. 75
29
A.Warson Al-Munawir, Kamuus Arab Indonesia al-Munawir, Ponpes Al-Munawir, Yogyakarta, 1997, hlm.
1023
30
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Jilid 3, Cet. Ke-3, Dar Al-Fikr, Beirut, 1993 hlm. 127
31
Hasan Basri, Kontekstualisasi Transaksi Jual Beli Dalam Sistem Ekonomi Islam, Dalam Aiyub Ahmad, Transaksi
Ekonomi : Perspektiif Hukum Perdata Dan Hukum Islam, Kiswah, Jakarta, 2004, hlm. 24
32
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 10
33
Ghufron A. mas’adi, Fiqh Mu’amalah kontekstual, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 77
10

b) Hasil panen itu benar benar milik bersama oarang yang berakad, tampa ada
pengkhususan seperti disisihkan lebih dahulu sekian persen.34
c) Pembagian hasil panen itu ditentukan: sepertiga atau seperempat, sejak dari awal akad,
sehingga tidak timbul perselisihan dikemudikan hari, dan penentuannya tidak boleh
berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti satu kwital untuk pekerja, atau satu
karung, karena kemungkinan hasil panen jauh dibawah itu atau juga jauh melampaui
jumlah itu.35
d) Syarat yang berkaitan dengan waktupun harus jelas didalam akad. Sehingga pengelola
tidak dirugikan, seperti membatalkan akad sewaktu waktu. Untuk menentukan batas
waktu ini biasanya disesuaikan dengan adat kebiasaan setempat.
e) Syarat yang berhubungan dengan objek akad juga harus jelas pemanfaatan benihnya,
pupuknya dan obatnya. Seperti yang berlaku pada daerah setempat.
Imam Abu Yusuf dan Muhammad Bin Hasan Asy-Syaibani menyatakan, bahwa dilihat dari
segi sah akad muzaraah, maka ada empat bentuk muzaraah :
a) Apabila kebun dan bibit dari pemilik lahan, kerja dan alat dari pekerja sehingga yang
menjadi objek muzaraah adalah jasa petani, maka hukumnya.
b) Apabila pemilik kebun hanya menyediakan kebunnya saja,sehingga pekerja menyediakan
bibit, alat dan pekerja, sehingga yang menjadi objek muzaraah jiga dipandang sah.
c) Apabila kebun, alat dan bibit dari pemilik kebun dan dan alat kerja dari pekerja maka akad
muzaraah juga sah.
d) Apabila kebun dan alat disediakan pemilik kebun, sedangkan bibit disediakan pekerja,
maka akad itu tidak sah. Mereka beralasan apabila alat pertanian dari pemilik kebun, maka
akad menjadi rusak, karena alat pertanian tidak bisa mengikat pada kebun. Menurut
mereka, manfaat alat pertanian itu tidak sejenis dengan manfaat lahan. Karena lahan
adalah untuk menghasilkan tumbuh tumbuhan dan buah. Sedangkan manfaat alat hanya
untuk mengelola saja.36
2.2.3 Dasar Hukum Muzara’ah atauMukhabarah
1. Dalam Al-Qur’an
Dalam Al-qur’an disebutkan :
‫س ْمنَا نَحْ نُ ۚ َر ِبكَ َرحْ َمتَ یَ ْق ِس ُمونَ أَ ُھ ْم‬ َ ‫ض ُھ ْم َو َرفَ ْعنَا ۚ ٱلدُّ ْنیَا ْٱل َحیَ َّٰوةِ فِى َّم ِعی‬
َ َ‫شت َ ُھ ْم َب ْی َن ُھم ق‬ َ ‫ض ُھم ِلیَت َّ ِخذَ دَ َر َّٰ َجت بَ ْعض فَ ْوقَ بَ ْع‬
ُ ‫بَ ْع‬
‫س ْخ ِریًّا َب ْعضًا‬ ُ ۗ ُ‫ت‬‫م‬ ‫ر‬ ‫و‬ ‫ب‬‫ر‬
َ ْ‫َ ِكَ َ َ ح‬ ‫ْر‬ ‫ی‬ َ
‫خ‬ ‫ا‬ ‫م‬
َّ ِ َ‫َیجْ َم ُون‬
‫م‬ ‫ع‬

Artinya : Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan
antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan
sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” ( Q.S.
AlZukhruf Ayat 32 ).37

34
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. Ke-
2, h. 275
35
Abdul Rahmad Gazaly, Fiqh Muamalah, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2010), h.117
36
M. Ali Hasan, OP .Cit,h. 275-278.
37
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan terjemah,, CV Dipoogoro, Bandung, 2010,hlm. 491
11

Ayat menegaskan bahwa penganugrahan rahmat Allah, apalagi pemberian wahyu, semata-
mata adalah wewenang Allah, bukan manusia, apakah mereka yang musyrik, durhaka, dan bodoh itu
yang dari saat ke saat dan secara bersinambuga membagi-bagi rahmat tuhanpemelihara dan pelimpah
rahmat bagimu, wahai nabi yang agung, tidak kami telah membagi melalui penetapa hukum-hukum
kami tetap kan atara mereka serta berdasar kebijaksanaan kami baik yang bersifat umum maupun
khusus kami telah membagi-bagi sarana kehidupan dalam kehidupan dunia karena mereka tidak dapat
melakukannya sendiri dan kami telah meningkatkan sebagian mereka dalam harta benda, ilmu,
kekuatan, dan lain-lain atas sebagian yang lain peninggian beberapa derajat agar sebagian mereka
dapat mempergunakan sebagian yang lain sehingga mereka dapat tolong menolong dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Penggunaan kata Rabbika yang ditunjukkan kepada Nabi Muhammad saw. Kata
ma’isyatahum/penghidupan mereka,terambil dari kata’aisy yaitu kehidupan yang berkaitan dengan
hewan dan manusia di dunia ini.Ba’dhuhum ba’dhan/sebagian kamu atas sebagian yang lainmecakup
semua manusia. Misalnya, sikaya membutuhkan kekuatan fisik si miskin, dan simiskin membutuhkan
uang si kaya.38
Adapun dalam ayat lain dalam Al-Qur’an yakni dalam Al-Qur’an suratAl- Waqi’ah ayat 63-
64
َ‫أَفَ َرأ َ ْیت ُ ْم َما تَحْ ُرثُون‬
َّ ُ‫أَأ َ ْنت ُ ْم ت َْز َرعُونَهُ أ َ ْم نَحْ ن‬
َ‫الز ِارعُون‬

Artrinya :Maka Terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam.Kamukah yang


menumbuhkannya atau kamikah yang menumbuhkannya (Q.S.Al-Waqi’ah ayat 63-64)39
Dalam ayat diatas menjelaskan tentang, beritahukanlah kepadaku tentang tanaman yang kamu
tanam, apakah kamu yang menumbuhkan ataukah kami yang menumbuhkannya, maksudnya, apakah
kamu yang membuatnya menjadi tanama yang tumbuh atakah kami yang menjadikannya begitu.Dan
diriwayatkan dari Hujr Al-Mundzir, bahwan apabila Nabi SAW, membaca :

Yang artinya kamukah yang menumbuhkannya ataukah kami yang menumbuhkannya dan
ayat-ayat lain yang semisalnya, maka beliau berkata :bahkan engkaulah ya rabbi.40
Adapun dalam ayat lain, dalam Al-Qur’an Surat AlMuzammilayat 20.41
Artinya :dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah
(Q.SAl-Muzammil Ayat 20)42
Ayat diatas menuntun umat manusia untuk menelusuri jalan Allah. Ini boleh jadi menjadikan
sementara orang memberatkan dirinya dalam beribadah ataukah memberatkan orang lain. Ayat diatas
mengisyaratkan hendaknya orang bersikap moderat, agar tidak memikul beban yang berat.Allah SWT
yang maha bijaksana itu selalu mengetahui bahwa aku ada diantara kamu orang-orang berjalan

38
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume 12, Letera hati, Jln. Kertamukti, jakarta, 2010, Hlm. 240-241
39
Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm. 536
40
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, CV. Toha Putra Semarang, jln. Kauman, 1989, Hlm. 268
41
Al-Qur’an surah :73 Ayat 20
42
Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm.574
12

dimuka bumi,bepergian untuk meninggalkan tempat tinggalnya, untuk mencari sebagian karunia
Allah.Baik keuntungan perniagaan atau perolehan ilmu.43
2. Dalam hadist
Dalam Hadist disebutkan
Artinya:“Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah ia
menyuruh saudaranya untuk menanaminya.” (Hadits Riwayat Bukhari)44
Adapun dalam hadis lain menyebutkan :
Artinya :” Diriwayatkan oleh Ibnu Umar R.A. sesungguhnya Rasulullah Saw. Melakukan
bisnis atau perdagangan dengan penduduk Khaibar untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil
berupa buah-buahan atau tanaman” (Hadis Riwayat Bukhari)45
Adapun dalam hadis lainya juga disebutkan
Artinya : Sesungguhnya Thawus r.a bermuukhabarah, Umar r.a berkata: dan aku berkata
kepadanya : ya Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan
nabi melarangnya . kemudian Thawus berkata : telah menceritakan kepadaku orang yang suungguh-
sungguh mengetahui hal itu, yaitu Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW tidak melarang mukhabarah, hanya
beliau berkata, bila seseorang member manfaat kepada saudaranya, hal itu lebih baik daripada
mengambil manfaat dari saudaranya dengan yang telah dimaklumi. (HR.Muslim)46
Dalil al-Qur’an atau hadist tersebut diatas merupakan landasan hukum yang dipakai oleh para
ulama’ yang membolehkan akad perjanjian muzara’ah atau mukhabarah.Menurut para ulama’ akad
ini bertujuan untuk saling membantu antara petani dengan pemilik tanah pertanian.Pemilik tanah
tidak mampu mengerjakan tanahnya, sedang petani tidak mempunya tanah atau lahan pertanian.47
2.2.4 Hal-hal yang membatalkan Muzara’ah danMukhabarah
Manusia banyak yang mempunyai binatang ternak seperti kerbau, sapi, dan lainnya.Dia
sanggup untuk berladang dan bertani untuk mencukupi keperluan hidupnya, tetapi tidak memilki
tanah. Sebaliknya, banyak diantara manusia mempunyai sawah, tanah, ladang dan lainnya, yang layak
untuk ditanami (bertani), tetapi ia tidak memiliki binatang untuk mengelola sawah dan ladangnya
tersebut atau ia sendiri tidak sempat untuk mengerjakannya, sehingga ia bekerjasama dengan pihak
lain untuk mengelolanya, dalam istilah ekonomi Islam disebut dengan al-muzara’ah atau
mukhabarah.
Beberapa hal yang menyebabkan batalnya muzara’ahatau mukhabarah adalah sebagai berikut:
a. Habis masa muzara’ah danmukhabarah
Yakni jika masa atau waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak telah habis maka,
muuzara’ah yang dilakukan oleh kedua belah pihak itu secara otomatis berakhir. Jika
diiantara keduanya akan melanjutkan muzara’ah tersebut maka kedua belah pihak harus
melakukan akad kembali.

43
M. Quraish Shihab, Op.Cit, volume 14, hlm.429-430
44
Achmad Sunarto dan Syamsudin, Himpunan Hadits Shahih Bukhari, Annur Press, Jln. Raya Panggilingan,
Jakarta Timur, 2008, hlm. 227
45
Muhammad faud Abdul Baqi, AL-Lu’lu’ Wal Marjan, mutiara hadits Sahih Bukhari dan Muslim, Ummul Qura,
Jln. Malaka Raya, kelapa dua waten ciracas Timur, 2013, hlm. 687
46
Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari Juz: II, diterjemahkan oleh Ahmad Sunarto,
Al-Hidayah, Surabaya, hlm. 989.
47
Nasrun Haroen, fiqh Muamalah, cet. Ke 2, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 277
13

b. Salah seorang yang berakad meninggal dunia


Jika salah satu diantara orang yang berakad meninggal dunia maka akad muzara’ah yang
telah dilaksanakan atau yang baru akan dilaksanakan secara otomatis berakhir, karena
muzara’ah adalah akad kerja sama dalam hal percocok tanama, jadi kedua belah pihak
memiliki tanggung jawab masiing-masing.
c. Adanya uzur
Menurut ulama Hanafiyah, diantara uzur yang menyebabkan batalnya muzara’ah antara
lain :tanah garapan terpaksa dijual , misalnya untuk membayar utang atau keperluan lain
oleh pemilik tanah. Penggarapan tidak dapat mengelola tanah, seperti sakit, jihat dijalan
Allah SWT dan lain sebagainya.48
Suatu akad muzara’ah atau mukhabarah menurut Imam al-Mawardi akan berakhir apabila :
a. Meningalnya salah satu pihak. Namun dapat iteruskan oleh ahli warisnya. Jika pemilik
lahan meninggal dunia sementara tanamannya masih hijau, maka penggarap harus terus
bekerja sampai tanamanitu matang. Ahli waris dari yang meninggal tidak berhak melarang
orang itu untuk berbuat demikian. Jika penggarap yang meninggal dunia, maka ahli
warisnya menggantikannya dan jika ia mau boleh meneruskan kerjamengolah tanah
sampai tanaman itu matang dan pemilik lahan tidak melarangnya.
b. Jangka waktu yang disepakati berakhir. Jika dalam menyewa tanah berada dalam tahun
(waktu dalam tahun tersebut) yang dimungkinkan adanya panen, maka diperbolehkan. Hal
itu menghindari waktu habis sebelum panen tiba.
c. Jika terjadi banjir dan melanda tanah sewaan tersebut sehingga kondisi tanah dan tanaman
rusak maka perjanjian berakhir.
d. Jika waktu berakhir pemilik dilarang mencabut tanaman sampai pembayaran diberikan
dan hasil panen dihitung.
Sedangkan menurut para ulama fiqh yang membolehkan akad muzara’ah atau mukhabarah
bahwa akad ini akan berakhir apabila :
a. Jangka waktu yang disepakati berakhir. Akan tetapi jika jangka waktu sudah habis,
sedangkan hasil pertanian itu belum layak panen, maka akad itu tidak dibatalkan sampai
panen dan hasilnya dibagi sesuai denagn kesepakatan bersama diwaktu akad.
b. Menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah, apabila salah seorang yang berakat wafat, maka
akad muzaraa’ah atau mukhabarah berakhir. Karena mereka berpendapat bahwa akad
ijarah tidak boleh diwariskan. Akan tetapi Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat
bahwa akad muzara’ah atau mukhabarah itu dapat diwariskan. Oleh sebab itu akad tidak
berakhir disebabkan oleh wafatnya salah seorang yang berakad.
c. Adanya uzursalah satu pihak. Baik dari pihak pemilik tanah ataupun dari pihak pengarap
atau pengelola yang meneybabkan tidak boleh untuk melanjutkan akad tersebut. Uzur
dimaksud antara lain :
a) Pemilik tanah terbelit utang sehingga tanah tersebut dijual oleh pemilik tanah, karena
tidak ada lagi harta yang dapat dijual oleh pemilik tanah kecuali tanah tersebut untuk
melunasi hutangnya.
b) Adanya uzur petani. Seperti sakait ataupun akan melakukan perjalanan keluar kota,
sehingga tidak mampu untuk melaksanakan pekerjaannya.

48
Rachemad Syafe’I, Op.Cit. Hlm. 211
14

2.2.5 Contoh Muzara’ah


Mega belum mempunyai pekerjaan, tetapi ia ahli dalam bidang pertanian, karena Mega tahu
bahwa Sarah mempunyai tanah yang luas, Mega datang ke rumah Sarah untuk menwarkan kerjasama.
Sarah menanyakan apa keuntungan kerjasama itu baginya. Mega pun menjawab, saya ingin menyewa
sebagian tanah yang anda miliki, saya akan menanam benih pada tanah tersebut dan merawatnya
hingga masa panen. Jika waktu panen tiba, sepertiga dari hasil panennya akan saya berikan kepada
anda, sedangkan saya mendapatkan 2/3 hasil panen. Sarah menyetujui perjanjian tersebut.
Dari contoh di atas merupakan kerjasama antara pemilik lahan pertanian dan petani penggarap
dimana benih tanamannya berasal dari benih penggarap.
2.3 Mukhabarah
2.3.1 . Pengertian Mukhabarah
Mukhabarah adalah bentuk kerja sama antara pemilik sawah/tanah dan penggarap dengan
perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara pemilik tanah dan penggarap menurut kesepakatan
bersama seperti seperdua, sepertiga atau lebih, atau kurang dari itu, sedangkan biaya, dan benihnya
dari petani penggarap.49
Mukhabarah menurut definisi para ulama, seperti yang dikemukakan oleh Abd al- Rahman
al-Jaziri, dalam buku fiqh muamalah karangan Hendi Suhendi, sebagai berikut :
1. Menurut Hanafiyah,Mukhabarah ialah:

ِ ‫ض َم ا یـ َ ْخ ُر ُج ِم نَ اْ أل َ ْر‬
‫ض‬ ْ َ ‫ب بـ‬
ِ ‫ع‬ ِ ِ‫الز ُر ع‬ َ ٌ‫ع ْقد‬
َّ ‫ع َل ى‬ َ

“Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian apa-apa yang keluar dari bumi.”50
2. Menurut Hanabilah, dalam buku fiqh muamalah karangan Rachmat Syafe’iMukhabarah ialah:
‫دفع ا الرض ا لى من یزرعھا او یعمل علیھا وا لزرع بینحما‬

“Menyerah tanah kepada orang yang akan bercocok tanam atau mengelolahnya, sedangkan
hasilnya tersebut dibagi di antara keduanya.”
3. Menurut Malikiyah, dalam buku fiqh muamalah karangan Rachmat Syafe’iMukhabarah ialah:
“Perkongsian adalah bercocok tanam.”
4. Menurut Syafi’iyah, , dalam buku fiqh muamalah karangan Saleh Al-Fauzan,Mukhabarah
ialah:

ِ‫ال بـ َ ْز ُر ِم نَ الـ َما ِل ك‬ َ ‫علَى ا َ ْن‬


ْ َ‫ي كُ ْو ن‬ َ ‫ض َمایخ َْْ ُر ُج مِ نـْ َھا‬ ِ ‫ُمعَا َملَةُ ْالعَا مِ ِلفِى اْأل َ ْر‬
ِ ‫ض بِبـ َ ْع‬

“Menggarap tanah dengan apa yang dikeluarkan dari tanah tersebut.”


5. Menurut Syaikh Ibrohim al-Bajuri, dalam buku fiqh muamalah karangan Saleh Al-Fauzan,
Mukhabarah ialah:

49
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 117
50
H. Hendi Suhendi, Op.Cit, h. 154
15

‫ع ا ِم ِل‬ ْ َ‫ال بـ َ ْز ُر ِم ن‬
َ ‫ال‬ ْ ‫ض َم ا یـ َ ْخ ُر ُج ِم ْن ـهَ َاو‬ ْ َ ‫ب بـ‬
ِ ‫ع‬ ْ ‫ض‬
ِ ِ‫ال َم ا ِل ك‬ َ ‫ع َم الُ ْل‬
ِ ‫ع ِام ِل فـِى ا َ ْر‬ َ

“Sesungguhnya pemilik hanya menyerahkan tanah kepada pekerja dan modal dari pengelola.”
Definisi-definisi di atas, dapat di ketahui bahwa akad mukhabarah merupakan kebutuhan
orang-orang yang memiliki tanah perkebunan, namun tidak bisa bercocok tanam. Ada juga yang
mampu bercocok tanam, namun tidak memiliki tanah perkebunan, kebijaksanaan syariat Islam
menuntut dibolehkannya mukhabarah, agar kedua belah pihak tersebut sama-sama mendapatkan
manfaat, yaitu satu pihak mendapatkan manfaat dari tanah yang ia miliki dan satu pihak mendapat
manfaat dari kerja yang ia lakukan. Sehingga dengan Mukhabarah ini tercipta kerja sama untuk
mendapatkan kebaikan dan menolak kerugian.51
2.3.2 Dasar Hukum Mukhabarah
Mukhabarah adalah salah satu bentuk ta'awun antar petani dan pemilik sawah dan saling
menguntungkan antara kedua belah pihak. Seringkali kali ada orang yang ahli dalam masalah
pertanian tetapi dia tidak punya lahan, dan sebaliknya banyak orang yang punya lahan tetapi tidak
mampu menanaminya. Maka Islam mensyari'atkan mukhabarah sebagai jalan tengah bagi keduanya.
Itulah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan mentradisi di tengah para sahabat dan kaum
muslimin setelahnya. Ibnu 'abbas menceritakan bahwa Rasululah Saw bekerjasama (mukhabarah)
dengan penduduk Khaibar untuk berbagi hasil atas panenan, makanan dan buah-buahan. Bahkan
Muhammad Albakir bin Ali bin Al-Husain mengatakan bahwa tidak ada seorang muhajirin yang
berpindah ke Madinah kecuali mereka bersepakat untuk membagi hasil pertanian sepertiga atau
seperempat. Para sahabat yang tercatat melakukan mukhabarah antara lain adalah Ali bin Abi Thalib,
Sa'ad bin Malik, Abdullah bin Mas'ud dan yang lainnya.
Mukhabarah adalah masyru’ (disyariatkan) berdasarkan ijma dan nash, di antaranya Imam as-
Sadiq, mukhabarah dapat dilakukan dengan sepertiga, seperempat, seperlima…” juga ucapan beliau,
“ketika menaklukkan khaibar, Rasulullah saw menyerahkannya (yakni pengelolaan tanah perkebunan
khaibar) kepada mereka dengan (pembagian hasil) separuh.”52
Seperti dalam hadis berikut :53

َ ، َ ‫رك تَ اْ لـ ُم خابـ َ َر ة‬
‫ف إ َّن ـھ ْم‬ َ ‫ ُق لتُ ِل‬: ‫ع ْم ٌر و‬
ْ َ‫ َل ْو ت‬: ‫ط ُاو ِس‬ َ ‫ ق َل‬: ُ‫في ان‬
َ ‫س‬ُ ‫ َح دَّ ثـ َ نَ ا‬: ‫ع بْ ِد الـ َّل ِه‬
َ ُ‫ي بْ ن‬ َ ‫حدّ ثنا‬
ُ ‫ع ِل‬

َ ‫ یـ‬-‫ع َل َم هُ ْم أ َ ْخ بـ َ َر ِن ـي‬
ْ َ ‫ َو ِإ َّن أ‬، ‫ـن ی ِه ْم‬
ِ ‫غ‬ْ َ ‫ع طِ ـی ِه ْم َو أ‬
ْ َ ‫إِ ّن ـي أ‬،‫ع ْم ُر و‬
َ ‫ أ َ ي‬: ‫ع ْن هُ ! قا َل‬
َ ‫ي ص م نَ ـھى‬
َّ ‫ب ـ‬ َّ ‫ع ُم و نَ أ َ َّن‬
ِ ‫الن‬ ُ ‫یـ َ ْز‬
ْ
‫ع ِن ـي‬

ٌ ‫ َخ‬، ُ‫ي ـ ْم نَ َح أ َ َح دُ كُ ْم أ َ َخ اه‬


‫یر‬ َ ‫ أ َ ْن‬: ‫ َو لكِ ْن قا َل‬، ُ‫ع ْن ه‬
َ َ‫ي ص م َل ـ ْم یـ َ ْن ه‬
َّ ‫ب ـ‬ َّ ‫ أ َ َّن‬-‫ع نـْ هُ َم ا‬
ِ ‫الن‬ َ ُ‫ـي الـ َّل ه‬
َ ‫ض‬ِ ‫اس َر‬
ِ َّ‫ع ب‬
َ َ‫ابْ ن‬

(2634 , 2342 : ‫طر في‬- -2330 ‫ع ُل و ما َ (الحدیث‬ َ َ‫ي أْ ُخ ذ‬


ْ ‫ع َل ی ِه َخ ْر جا َ َم‬ َ ‫لهَُْ ِم ْن أ َ ْن‬

Artinya : Dari Amr bahwa dia berkata kepada Thawus, “Coba engkau tidak meninggalkan
mukhabarah. Karena, orang-orang berkata bahwa Nabi saw, melarangnya.”Maka Thawus

51
Saleh Al-Fauzan,Fiqh sehari-hari,(Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 480
52
Abdul Rahman Ghazaly,Op.Cit, h. 118
53
Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah,1998), Jilid ke-2,h. 88
16

menjawab, wahai Amr, aku member mereka dan mencukupi mereka. Sesungguhnya orang
yang paling tahu-yang dia maksud adalah Ibnu Abbas- bahwa Nabi saw. (Pergi ke sebidang
tanah yang penuh dengan tanaman. Lalu beliau berkata,”milik siapa ini ?’orang-orang
menjawab, ‘ini disewakan oleh si fulan), lalu beliau tidak melarangnya, akan tetapi beliau
bersabda, “seseorang memberikan tanahnya kepada saudaranya untuk dirawat adalah lebih
baik.”(Dalam riwayat lain,”Apabila dia memberikannya kepada orang tersebut, maka iti lebih
baikbaginya daripada mengambil bayaran darinya),”Dalam riwayat lain,” mengambil sesuatu
darinya.” Dan dalam riwayat lain,” mengambil upah dalam jumlah tertentu,” (HR. Bukhari).54
2.3.3 Syarat dan Rukun Mukhabarah
1. Syarat mukhabarah
Syarat-syarat Mukhabarah meliputi syarat-syarat yang berkaitan dengan pelaku (aqid),
tanaman yang ditanam, hasil tanaman, tanah yang ditanam, dan masa penanaman.
1) Syarat aqid (pelaku)
Secara umum ada dua syarat yang diberlakukan untuk aqid yaitu:
a. Aqid harus berakal (mumayyiz). Dengan demikian, tidak sah akad yang
dilakukan oleh orang yang gila, atau anak yang belum mumayyiz, karena akal
merupakan syarat kecakapan (ahliyah) untuk melakukan tasarruf. Adapun
baligh tidak menjadi syarat dibolehkannya Mukhabarah.
b. Aqid tidak murtad, menurut pendapat Imam Abu Hanifah, dalam buku
berbagai macam transaksi dalam Islam karanganAli Hasan, hal tersebut
dikarenakan menurut Imam Abu Hanifah, tasarruf orang yang murtad
hukumnya ditangguhkan (mauqud) sedangkan menurut Abu Yusuf dan
Muhammad bin Hasan, akad Mukhabarah dari orang yang murtad hukumnya
dibolehkan.
2) Syarat tanaman
Syarat yang berlaku untuk tanaman adalah harus jelas dan menghasilkan. Dalam
hal ini harus dijelaskan apa yang akan ditanam. Namun dilihat dari segi istihsan,
menjelaskan sesuatu yang akan ditanam tidak menjadi syarat Mukhabarah karena
apa yang akan ditanam diserahkan sepenuhnya kepada penggarap.
3) Syarat hasil tanaman
a. Hasil tanaman harus dijelaskan (persentasenya) dalam perjanjian.
b. Hasil tanaman harus dimiliki bersama oleh para yang melakukan akad. Apabila
disyaratkan hasilnya untuk salah satu pihak maka menjadi batal.
c. Pembagian hasil tanaman harus ditentukan kadarnya (nisbah-nya), seperti
separuh, sepertiga, seperempat, dan sebagainya.
d. Hasil tanaman harus berupa bagian yang belum dibagi di antara orang-orang
yang melakukan akad.
4) Syarat tanah yang akan ditanami
a. Tanah harus layak untuk ditanami, menurut adat kebiasaan dikalangan petani,
dalam artian bisa diolah dan menghasilkan. Sebab, ada tanaman yang tidak
cocok ditanami pada daerah tertentu.
b. Tanah yang akan digarap harus diketahui dengan jelas, supaya tidak
menimbulkan perselisihan antara para pihak yang melakukan akad.

54
Nashiruddin Al-Albani,Op.Cit, h.124
17

c. Tanah tersebut harus diserahkan sepenuhnya kepada penggarap, sehingga ia


mempunyai kebebasan untuk menggarapnya dan pemilik lahan tidak boleh
ikut campur tangan untuk mengelolahnya.55
5) Syarat objek akad
Objek akad dalam Mukhabarah harus sesuai dengan tujuan dilaksanakannya akad,
baik menurut syara’ maupun urf (adat).
6) Syarat masa Mukhabarah
Masa berlakunya akad Mukhabarah harus jelas dan ditentukan atau diketahui,
misalnya satu tahun atau dua tahun.Apabila masanya tidak ditentukan (tidak jelas)
maka akad Mukhabarah tidak sah.
2. Rukun Mukhabarah
Rukun Mukhabarah menurut Hanafiah adalah ijab dan qabul, yaitu berupa pernyataan
pemilik tanah, “Saya serahkan tanah ini kepada anda untuk digarap dengan imbalan separuh
dari hasilnya” dan pernyataan pengarap “Saya terima atau saya setuju”. Sedangkan menurut
jumhur ulama, sebagaimana dalam akad-akad yang lain, rukun Mukhabarah ada empat, yaitu:
1) Pemilik tanah, yaitu orang yang memiliki lahan tetapi tidak memiliki kemampuan
atau kesempatan dalam mengelola lahannya.
2) Petani penggarap, yaitu orang yang memiliki kemampuan untuk mengelola lahan
dan kesempatan tetapi tidak memiliki lahan.
3) Objek Mukhabarah, yaitu antara manfaat lahan dan hasil kerja pengelola.
4) Ijab dan Kabul.56
2.3.4 Akibat Hukum Akad Mukhabarah
1) Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan pemeliharaan pertanian
tersebut.
2) Biaya pertanian seperti pupuk, biaya perairan, serta biaya perawatan tanaman,
ditanggung oleh petani atau pemilik lahan sesuai dengan persentase bagian masing-
masing.
3) Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama.
4) Pengairan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan bersama dan apabila tidak ada
kesepakatan, berlaku kebiasaan di tempat masing-masing
5) Apabila salah seorang meninggal dunia sebelum panen, akad tetep berlaku sampai
panen dan yang meninggal diwakili oleh ahli warisnya. Lebih lanjut. Akad itu dapat
dipertimbangkan oleh ahli waris, apakah akan diteruskan atau tidak.57
2.3.5 Berakhirnya Mukhabarah
Mukhabarah terkadang berakhir karena telah terwujudnya maksud dan tujuan akad, misalnya
tanaman telah selesai panen. Akan tetapi, terkadang akad Mukhabarah berakhir sebelum terwujudnya
tujuan Mukhabarah, karena sebab-sebab berikut :
1. Masa perjanjian Mukhabarah telah berakhir.

55
Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 276-
56
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat,(Jakarta: Amzah, 2010),h. 396-398
57
Ali Hasan, Op.Cit, h. 278
18

2. Meninggalnya salah satu pihak, baik meninggalnyaitu sebelum dimulainya penggarapan


maupun sesudahnya, baik buahnya sudah bisa dipanen atau belum.
3. Adanya udzur atau alasan, baik dari pemilik lahan maupun dari pihak penggarap. Di antara
udzurnya adalah sebagai berikut:
1) Pemilik tanah mempunyai utang yang besar dan mendesak, sehingga tanah yang
sedang digarap oleh penggarap harus dijual kepada pihak lain dan tidak ada harta lain
selain tanah tersebut.
2) Timbulnya udzur dari pihak penggarap, misalnya sakit atau bepergian untuk kegiatan
usaha, atau jihad fi sabilillah, sehingga ia tidak bias mengelola tanah tersebut.58
2.3.6 Contoh Mukhabarah
Pak Ahmad adalah seorang saudagar kaya, dia memiliki banyak tanah di berbagai desa.
Tanah-tanah tersebut tidak ada yang merawat, karena Pak Ahmad sering ke luar kota untuk urusan
bisnisnya. Istrinya pun memberi saran agar Pak Ahmad memasrahkan tanah-tanah itu agar di rawat
oleh orang lain. Akhirnya, Pak Ahmad meminta tolong kepada Pak Badrun, salah satu saudara
jauhnya agar mau membantu Pak Ahmad merawat tanah-tanah itu. Pak Badrun hanya perlu menanam
bibit-bibit yang telah dibeli oleh Pak Ahmad dan merawatnya hingga panen. Jika waktu panen sudah
tiba sebagian hasilnya akan diberikan kepada Pak Badrun.
Dari contoh di atas merupakan perjanjian kerjasama antara pemilik lahan pertanian dengan
petani penggarap dimana benih tanamannya berasal dari pemilik lahan.
2.4 Perbedaan Antara Musaqah, Muzara’ah, dan Mukhabarah
Al-musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah, di mana muzara’ah yaitu
kerja sama pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap yaitu berupa pemilik lahan
memberikan lahan pertanian kepada penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian
tertentu (persentase) dari hasil panen. Muzara’ah sering kali diidentikkan dengan mukhabarah, di
antara keduanya terdapat sedikit perbedaan yaitu dalam muzara’ah benih dari pemilik lahan
sedangkan dalam mukhabarah benih dari penggarap.59

Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa, al-musaqah sama seperti al- muzara’ah kecuali dalam
empat hal, yaitu:
1. Di dalam al-musaqah, apabila salah satu pihak menolak untuk meneruskan dan
melanjutkan akad, maka ia harus dipaksa untuk melanjutkannya, karena kelanjutan akad
tidak akan menimpakan kerugian sama sekali terhadapnya. Berbeda dengan al-muzara’ah,
karena di dalam al-muzara’ah, jika pihak yang mengeluarkan modal benih tidak bersedia
melanjutkan akad sebelumnya benihnya itu ditaburkan dan ditanam, maka ia tidak bisa
dipaksa untuk melanjutkan akad al-muzara’ah tersebut. Sebab kelanjutan akad al-
muzara’ah itu akan menimpakan semacam “kerugian” terhadap dirinya.
2. Jika jangka waktu al-musaqah telah habis sementara pohonnya belum siap panen, maka
akadnya tetap dibiarkan berlanjut tanpa ada kompensasi apa-apa dan pihak penggarap juga
tetap melanjutkan pekerjaannya, tanpa dirinya harus membayar sewa pohon kepada
pemilik pohon. Adapun dalam akad al-muzara’ah jika jangka waktu al- muzara’ah yang
ditetapkan telah berakhir, sementara tanaman yang ada belum siap panen maka pihak
penggarap tetap melanjutkan aktivitasnya.

58
Ahmad Wardi Muslich, Op.Cit, h. 403-404
59
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani, 2001), Cet. 1, hal. 99
19

3. Jika pohon kurma yang telah berbuah misalnya, ternyata hak milik orang lain bukan hak
milik si pemilik kebun itu sendiri (mustahaqq), maka pihak penggarap berhak
mendapatkan upah. Namun jika yang terjadi adalah pohon kurma yang ada tidak berbuah,
maka ia tidak berhak meminta ganti rugi apapun. Adapun di dalam muzara’ah seandainya
lahan yang ada ternyata statusnya hak milik orang lain bukan hak milik orang yang
mempekerjakannya dan hal itu terjadi setelah penanaman, maka pihak penggarap berhak
meminta ganti rugi atau kompensasi berupa nilai bagiannya dari tanaman yang ada.
4. Di dalam akad al-musaqah, menjelaskan dan menentukan batas waktunya bukanlah
menjadi syarat berdasarkan prinsip al-isthsan, akan tetapi batas waktu atau jangka
waktunya cukup diketahui dengan berdasarkan jangka waktu al-musaqah yang bisa dan
lumrah berlaku. Berbeda dengan tanaman pertanian, terkadang masa panennya bisa maju
atau mundur sesuai dengan kapan penaburan benih dilakukan.
Perbedaan antara Musaqah dan Muzarah menurut ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
musaqah sama dengan muzaraah, kecuali empat perkara, yaitu sebagai berikut :
1. Jika salah seorang yang menyepakati akad tidak memenuhi akad, dalam musaqah, ia harus
dipaksa, tetapi dalam muzaraah ia tidak boleh dipaksa.
2. Jika waktu musaqah habis, akad diteruskan sampai berbuah tanpa pemberian upah,
sedangkan dalam muzaraah, jika waktu habis pekerjaan diteruskan dengan pemberian
upah.
3. Waktu dalam musaqah ditetapkan berdasarkan istihsan, sebab dapat diketahui dengan
tepat, sedangkan waktu dalam muzaraah terkadang tidak tertentu.
4. Jika pohon diminta oleh selain pemilik tanah, penggarap diberi upah, sedangkan dalam
muzaraah jika diminta sebelum menghasilkan sesuatu, penggarap tidak mendapatkan apa-
apa.60
Adapun di dalam al-muzara’ah, menurut pendapat asal mazhab Hanafi, penentuan jangka
waktunya adalah termasuk salah satu syarat. Al-musaqah dan al-muzara’ah menurut ulama Hanafiyah
dan ulama Syafi’iyah, pada awalnya adalah berupa ijarah namun ujung-ujungnya adalah syarikah
(joinan). Sedangkan ulama Hanabilah menyerupakan al- musaqah dengan akad al-mudharabah (bagi
hasil).61
2.5 Hubungan Mukhabarah, Muzara’ah, Dan Musaqah
Mukhabarah adalah aqad yang terjadi antara pemilik tanah dan penggarap tanah, dengan
ketentuan benihnya dari penggarap tanah.62
Muzara’ah adalah penyerahan tanah yang layak untuk ditanami oleh pemiliknya kepada
penggarap yang akan menanaminya, dan menyerahkan bibit yang akan akan ditanamnya, dengan
ketentuan ia memperoleh bagian tertentu yang dimiliki bersama dalam hasil yang diperolehnya,
seperti seperdua, sepertiga dan seperempat.63
Musaqah adalah suatu akad antara dua orang di mana pihak pertama memberikan pepohonan
dalam sebidang tanah perkebunan untuk di rawat dan diairi oleh pihak kedua dalam rentang waktu
memanen hingga buahnya matang dan halal dijual.64

60
Rahmat Safe`i, Op.cit, h. 213
61
Wahbah az-Zuhaili, Op. Cit., hal. 585-586
62
A. Zainuddin, Al-Islam 2,(Bandung: Pustaka Setia, 1999),h. 26
63
Imam Syafi’I, Kitab Al Umm, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 140
64
Imam Malik, Al Muwaththa’, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006),h. 105
20

Ulama Hanafiyah berpendapat dalam buku fiqh muamalah karangan Rachmat Syafe’I bahwa
musaqah, sama dengan muzara’ah dan mukhabarah kecuali dalam empat perkara:
1. Jika salah seorang menyepakati akad, tidak memenuhi akad, dalammusaqah, ia harus dipaksa,
tetapi dalammuzara’ah, tidak boleh dipaksa.
2. Jika waktu musaqah habis, akad diteruskan sampai berbuah tanpa pemberian upah, sedangkan
dalam muzara’ah, jika waktu habis, pekerjaan diteruskan dengan pemberian upah.
3. Waktu dalam musaqah ditetapkan berdasarkan istihsan, sebab dapat diketahui dengan tepat,
sedangkan waktu dalam muzara’ah terkadang tidak tertentu.
4. Jika pohon diminta oleh selain pemilik tanah, penggarap diberi upah. Sedangkan dalam
muzara’ah jika diminta sebelum menghasilkan sesuatu, penggarap tidak mendapatkan apa-
apa.65
Sedangkan perbedaan muzara’ah dengan mukhabarah hanya terletak dari benih
tanaman.Dalam muzara’ah, benih berasal dari pemilik tanah, sedangkan dalam mukhabarah,
benih berasal dari pihak penggarap lahan.66
2.6 Zakat Muzara’ah Dan Mukhabarah
Zakat hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang punya benih, jadi pada
muzara’ah, zakatnya wajib atas orang yang mempunyai ladang atau tanah, karena pada hakekatnya
dialah yang bertanam, orang yang bekerja hanya mendapatkan upah atas pekerjaanya.
Sedangkan pada mukhabarah, zakat diwajibkan atas petani yang bekerja, pada hakekatnya dialah
yang bertanam, yang punya tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya, sedangkan penghasilan
sewaan tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Jika benih berasal dari keduannya, maka zakatnya wajib
atas keduanya.67

65
Rachmat Syafe’I, Op.Cit, h. 213
66
Abdul Rahman Ghazaly, Op.Cit, h. 117
67
Yusran-juni.blogspot.com
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dapat disimpulkan dari pembahasan diatas mengenai Musaqah, muzara’ah,
mukhabarah ialah dimana suatu akad kerja sama yang dilakukan antara dua orang atau lebih dalam
pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan si penggarap.
Dalam Musaqah, penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan.
Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen. Berbeda dengan Musaqah,
dalam muzara’ah pemilik lahan menyerahkan lahan pada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara
dengan imbalan tertentu (nisbah) dari hasil panen yang benihnya dari pemilik lahan.
Dalam muzara’ah dan mukhabarah terdapat kesamaan dari pembagian kerjasama tersebut
dan yang membedakannya adalah apabila modal berasal dari pemilik lahan maka
disebut muzara’ah dan pabila modal berasal dari si penggarap itu sendiri maka disebut mukhabarah.
Dan untuk pembagian hasil sesuai kesepakatan masing-masing yang melakukan kerja sama tersebut.
Demikian pula hukum musaqah, muzara’ah dan mukhabarah ini diperbolehkan dikarenakan
bentuk kerja sama ini sama-sama memberi manfaat berupa keuntungan hasil perolehannya dapat
dibagi bersama sesuai kesepakatan diawal.
3.2 Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam
makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan
dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Kami banyak berharap para pembaca yang budiman dapat memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada kami, demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan–
kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penyusun pada khususnya juga para
pembaca yang budiman pada umumnya.

21
DAFTAR PUSTAKA

ad-dimasyiqi, S. a.-a. (2013). fiqh empat mazhab. Bandung.


Al-Albani, M. N. (2006). Shahih Sunan Abu Daud,. Jakarta: Pustaka Azam.
Al-Falfi, S. b. (2010). Mukhtasar fiqh Sunnah Sayyid Sabiq. Kartasura: PT. Aqwam Media Profetika.
Al-Falfi, S. b. (2010). Mukhtasar fiqh Sunnah Sayyid Sabiq. Kartasura: PT. Aqwam Media Profetika.
Al-Munawir, .. (1997). Kamuus Arab Indonesia al-Munawir. Yogyakarta: Ponpes Al-Munawir,.
As-Shididieqy, T. M. (1998). Pengantar Fiqh Mu’amalah. Jakarta: Bulan Bintang.
Az-Zabidi, A.-I. Z. (2004). Ringkasan Shahih Al-Bukhari. Bandung: PT. Mizan Pustaka.
Az-Zuhaili, W. (2011). Fiqh Islam wa Adillatuhu. Jakarta: Gema Insani.
basan, A. b. (2006). Syarah Bulughul Maram. Jakarta: Pustaka Azam.
Basri, H. (2004). Kontekstualisasi Transaksi Jual Beli Dalam Sistem Ekonomi Islam, Dalam Aiyub
Ahmad, Transaksi Ekonomi : Perspektiif Hukum Perdata Dan Hukum Islam. Jakarta: Kiswah.
Lubis, S. K. (2000). Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Muhammad. (2008). Etika dan Strategi Bisnis. Yogyakarta: CV. Andi Offiset.
Muslich, A. W. (2010). Fiqh Muamalah. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Qardawi, S. M. (2001). Halal Dan Haram Dalam Islam. Jakarta: PT. Bina Ilmu.
Rachmat, S. (n.d.). Fiqh Muamalah. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Sabiq, S. (2009). Fiqh Sunnah. Jakarta: Cakrawala Publishing.
Sarifuddin, A. (2003). Garis-garis Besar Fiqh. Rawa Mangun: Prenada Media.
Suhendi, H. (n.d.). Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada).
Yunus, M. (1972). Kamus Arab Indonesia. Yayasan Penyelenggaraan/penafsir al-qur’an.

22

Anda mungkin juga menyukai