Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PERKONGSIAN ( SYIRKAH)
( FIQIH MUAMALAH )
DOSEN PENGAMPU: MUHAMMAD SAPWAN, M.EI.

DISUSUN OLEH KELOMPOK 5 :


1.DESI NURMILASARI
2. ANNISA YANI
3. RULINDA AINI
4. HADI HAMZAH

FAKULTAS SYARI’AH
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM HAMZANWADI NWDI PANCOR
TAHUN 2021/ 2022
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat allah SWT karena dengan rahmat dan
karunianya kita dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ PERKONGSIAN
( SYIRKAH) ”. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah
Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya dan seluruh umat pengikutnya yang senantiasa
taat dan patuh pada ajarannya sampai akhir zaman. Aamiin.
Penulisan makalah ini bertujuan guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah”FIKIH
MUAMALAH”. Disamping itu makalah ini diharapkan dapat menjadikan sarana
pembelajaran serta menambah wawasan dan pengetahuan. Dan penyusun menyadari makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi penulisan maupun dari cara penyajiannya.
Oleh karena itu penyusun dengan senang hati menerima kritik dan saran demi perbaikan
di masa yang akan datang, mudah- mudahan makalah ini dapat bermanfaat khusussnya bagi
penyusun dan para pembaca dan umumnya.

Pancor, 5 Juni 2022

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................
DAFTAR ISI.........................................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................................................
A. Latar Belakang................................................................................................................
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................................
BAB 11 PEMBAHASAN.....................................................................................................
A. Arti, Landasan, Rukun, Syarat dan Pembagian Syirkah ..........................................
B. Metode Transaksi Perkongsian Uqud...........................................................................
1. Syirkah ‘ Inan..............................................................................................................
2. Syirkah Mufawidhah..................................................................................................
3. Syirkah Wujuh............................................................................................................
4. Syirkah A’mal dan Abdan..........................................................................................
C. Syarat Syirkah Uqud......................................................................................................
D. Hukum (ketetapan) Syirkah Uqud................................................................................
E. Sifat Akad Perkongsian dan kewenangan....................................................................
F. Hal yang Membatalkan Syirkah....................................................................................
1. Pembatalan Secara Umum........................................................................................
2. Pembatalan Khusus pada Sebagian Syirkah..........................................................
G. Syirkah Fasid Menurut Ulama Hanafiyah...................................................................
BAB 111 PENUTUP............................................................................................................
A. Kesimpulan......................................................................................................................
B. Saran.................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Muslim dewasa ini menghadapi suatu masalah yang sangat dilematis.
Meskipunberpartisipasi aktif dalam dunia bisnis, namun dalam pikiran mereka juga ada
semacam ketidakpastian apakah praktek-praktek bisnis mereka benar menurut pandangan
islam. Yang menjadi masalah yaitu bentuk-bentuk baru, institusi, moetode atau teknik-teknik
bisnis yang sebelumnya belum pernah ada telah menyebabakan keraguan tersebut, sehingga
dalam beberapa kasus, mereka tetap mengikuti system tersebut dengan perasaan bersalah
karena mereka merasa tidak menemukan jalan keluar.Semua bentuk organisasi bisnis yang
didalamnya dua orang atau lebih bekerjasama dalam hal dana, kewiraswastaan, ketrampilan,
dan niat baik untuk menjalankan suatu usaha oleh para fuquha dikategorikan dalam bentuk
organisasi mudhorobah ataupun syirkah.Syirkah menurut bahasa berarti percampuran.
Sedangkan menurut istilah syirkah berarti kerjasama antara dua orang atau lebih, dalam
berusaha yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama. Secara etimologi, syirkah
berarti percampuran, yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan harta lainnya,
tanpa dapat dibedakan antara keduanya.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dipaparkan beberapa rumusan masalah yang berkaitan
dengan permasalahan yang ada dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengertian dari Syirkah?
2. Bagaimanakah dasar hukum tentang adanya Syirkah?
3. Apa saja rukun dan syarat Syirkah?
4. Bagaimanakah macam- macam dari Syirkah?
5. Bagaimanakah metode transaksi Syirkah Uqud?
6. Hal- hal apa saja yang menyebabkan berakhirnya Syirkah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Syirkah
2. Untuk mengetahui dasar hukum Syirkah
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat Syirkah
4. Untuk mengetahui macam- macam Syirkah
5. Untuk mengetahui metode transaksi Syirkah Uqud
6. Untuk mengetahui cara mengakhiri Syirkah
BAB 11
PEMBAHASAN

A. ARTI, LANDASAN, DAN PEMBAGIAN SYIRKAH


2.1 Pengertian Syirkah
Secara bahasa Syirkah berarti “al-ikhtilath” yaitu campur, pencampuran atau
persekutuan . Akad percampuran adalah akad yang mencampurkan aset menjadi satu
kesatuan dan kemudian kedua belah pihak menanggung resiko dari kegiatan usaha yang
dilakukan dan membagi keuntungan/pendapatan sesuai kesepakatan. Syirkah dapat
didefinisikan sebagai Pencampuran, yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan
harta lainnya, tanpa dapat dibedakan antara keduanya.
Menurut istilah yang dimaksud dengan Syirkah, para ulama fuqaha berbeda pendapat
sebagai berikut:
a. Menurut Malikiyah, perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan ( tasharruf ) harta
yang dimiliki dua orang secara bersama- sama oleh keduanya, yakni keduanya saling
mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun
masing-masing memiliki hak untuk bertasharruf.
b. Menurut Hanabilah, perhimpunan adalah hak (kewenangan) atau pengolahan harta
(tasharruf).
c. Menurut Syafi’iyah, ketetapan hak pada sesuatu yang dimiliki dua orang atau lebih dengan
cara yang masyhur (diketahui).
d. Menurut Hanafiyah, ungkapan tentang adanya transaksi (akad) antara dua orang yang
bersekutu pada pokok harta dan keuntungan.
Setelah diketahui definisi – definisi Syirkah menurut ulama, kiranya dapat dipahami
bahwa yang dimaksud dengan Syirkah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam
berusaha, yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama.
2.2 Dasar Hukum Syirkah
Dasar Syirkah terdapat di dalam Al-Quran, Al- Hadis, dan Ijma, berikut ini:
a. Al-Quran
Didalam QS.An-Nisa: 12 yang artinya: “ Mereka bersekutu dalam yang sepertiga.”
Sedangkan didalam QS. Shad: 24 yang artinya:“ Sesungguhnya kebanyakan dari orang-
orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali
orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan amat sedikitlah mereka ini.”
b. As-Sunnah
Yang artinya : “ Dari Abu Hurairah yang dirafa’kan kepada Nabi SAW. Bahwa Nabi
SAW, “ Sesungguhnya Allah SWT. Berfirman, “Aku adalah yang ketiga pada dua orang
yang bersekutu, selama salah seorang dari keduanya tidak mengkhianati temannya, Aku akan
keluar dari persekutuan tersebut apabila salah seorang mengkhianatinya.”( HR.Abu Dawud
dan Hakim dan menyahihkan sanadnya).
Maksudnya, Allah SWT. akan menjaga dan menolong dua orang yang bersekutu dan
menurunkan berkah pada pandangan mereka. Jika salah seorang yang bersekutu itu
mengkhianati temannya, Allah SWT. akan menghilangkan pertolongan dan keberkahan
tersebut.
Legalitas perkongsian pun diperkuat, ketika Nabi diutus, masyarakat sedang melakukan
perkongsian. Beliau bersabda: Yang artinya “ Kekuasaan Allah senantiasa berada pada dua
orang yang bersekutu selama keduanya tidak berkhianat.” ( HR. Bukhari dan Muslim)
c. Al- Ijma
Umat islam sepakat bahwa Syirkah dibolehkan . Hanya saja, mereka berbeda pendapat
tentang jenisnya.
2.3 Rukun dan Syarat Syirkah
1. Rukun Syirkah
Rukun Syirkah diperselisihkan para ulama, menurut para ulama Hanafiyah bahwa rukun
Syirkah ada dua yaitu ijab dan kabul sebab ijab kabul (akad) yang menentukan adanya
syirkah. Adapun yang lain seperti dua orang atau pihak yang berakad dan harta berada diluar
pembahasan akad seperti terdahulu dalam akad jual beli.
Adapun yang menjadi rukun syirkah menurut ketentuan syariah islam adalah :
a. Siqhat (lafadz akad)
b. Orang ( pihak- pihak yang mengadakan serikat), yaitu pihak- pihak yang mempunyai
kepentingan dalam mengadakan perserikatan.
c. Pokok pekerjaan ( bidang usaha yang dijalankan).
Yaitu dalam berserikat atau kerja sama mereka( orang- orang yang berserikat) itu
menjalankan usaha dalam bidang apa yang menjadi titik sentral usaha apa yang dijalankan.
Orang- orang yang berserikat harus bekerja dengan ikhlas dan jujur, artinya semua pekerjaan
harus berasas kemaslahatan dan keuntungan terhadap syirkah.
2. Syarat syirkah
Syarat- syarat syirkah adalah sebagai berikut :
a. Syirkah dilaksanakan dengan modal uang tunai
b. Dua orang atau lebih berserikat, menyerahkan modal, menyampurkan antara harta benda
anggota serikat dan mereka bersepakat dalam jenis dan macam perusahaannya.
c. Dua orang tau lebih mencampurkan kedua hartanya, sehingga tidak dapat dibedakan satu
dari yang lainnya.
d. Keuntungan dan kerugian diatur dengan perbandingan modal harta serikat yang diberikan.
Adapun syarat- syarat orang ( pihak- pihak) yang mengadakan perjanjian serikat atau
kongsi itu haruslah :
a. Orang yang berakal
b. Baligh
c. Dengan kehendak sendiri ( tidak ada unsur paksaan).
Sedangkan mengenai barang modal yang disertakan dalam serikat, hendaklah berupa :
a. Barang modal yang dapat dihargai ( lazimnya sering disebutkan dalam bentuk uang).
b. Modal yang disertakan oleh masing- massing persero dijadikan satu, yaitu menjadi harta
perseroan, dan tidaak dipersoalkan lagi dari mana asal- usul modal itu.

2.4 Macam- macam Syirkah


Perkongsian terbagi atas dua macam, yaitu perkongsian amlak(kepemilikan) dan
perkongsian uqud( kontrak). Perkongsian amlak adalah perkongsian yang bersifat memaksa
dalam hukum positif, sedangkan perkongsian uqud adalah perkongsian yang bersifat
ikhtiariyah(pilihan sendiri).
a. Perkongsian Amlak
Perkongsian amlak adalah dua orang atau lebih yang memiliki barang tanpa adanya akad.
Perkongsian ini ada dua macam:
1. Perkongsian Sukarela (ikhtiar)
Perkongsian ikhtiar adalah perkongsian yang muncul karena adanya kontrak dari dua orang
yang bersekutu. Contohnya dua orang membeli atau memberi atau berwasiat tentang sesuatu
dan keduanya menerima, maka jadilah pembeli, yang diberi , dan yang diberi wasiat
bersekutu diantara keduanya, yakni perkongsian milik.
2. Perkongsian Paksaan (ijbar)
Perkongsian ijbar adalah perkongsian yang ditetapkan kepada dua orang atau lebih yang
bukan didasarkan atas perbuatan keduanya, seperti dua orang mewariskan sesuatu, maka
yang diberi waris menjadi sekutu mereka.
Hukum kedua jenis perkongsian ini adalah salah seorang yang bersekutu seolah-olah
sebagai orang lain di hadapan yang bersekutu lainnya. Oleh karena itu, salah seorang diantara
mereka tidak boleh mengolah (tasharruf) harta perkongsian tersebut tanpa izin dari teman
sekutunta, karena keduanya tidak mempunyai wewenang untuk menentukan bagiann masing-
masing.
b. Perkongsian uqud
Perkongsian ini merupakan bentuk transaksi yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk
bersekutu dalam harta dan keuntunganya. Pengertian ini sama dengan pengertian perseroan
yang telah dikemukakan oleh ulama Hanafiyah di atas.
Menurut ulama Hanabilah, perkongsian ini dibagi lima, yaitu:
a. Perkongsian ‘inan.
b. Perkongsian mufawidhah.
c. Perkongsian abdan.
d. Perkongsian wujuh.
e. Perkongsian mudharabah.
Ulama Hanafiyah membaginya menjadi enam macam, yaitu:
a. Perkongsian amwal
b. Perkongsian a’mal
c. Perkongsian wujuh
Secara umum, fuqaha Mesir, yang kebanyakan bermadzhab Syafi’I dan Maliki,
berpendapat bahwa perkongsian terbagi atas empat macam, yaitu:
a. Perkongsian ‘inan.
b. Perkongsian mufawidhah.
c. Perkongsian abdan.
d. Perkongsian wujuh.
Ulama fiqih sepakat bahwa perkongsian ‘inan dibolehkan, sedangkan bentuk- bentuk
lainya masih diperselisihkan.
Ulama Syafi’iyah, Zhahiriyah, dan Imamiyah menganggap semua bentuk perkongsian
selain ‘inan dan mudharabah adalah batal.
Ulama Hanabilah membolehkan semua bentuk perkongsian sebagaimana yang disebutkan
oleh ulama Hanafiyah di atas, kecuali perkongsian wujuh dan mufawidhah
Ulama Hanafiyah dan Zaidiyah membolehkan semua bentuk perkongsian yang enam di
atas apabila sesuai dengan syarat- syaratnya.
B. Metode Transaksi Syirkah Uqud
Menurut Ulama Hanafiyah, rukun Syirkah ‘uqud adalah ijab dan qabul. Seperti seseorang
berkata, “ Saya berserikat dengan kamu dalam masalah ini.” Orang satu lagi menjawab,”
Saya terima.” Sedangkan rukun perseroan menurut jumhur ada tiga, yaitu ‘aqidan ( dua orang
yang akad), ma’qud ‘alaih ( harta/laba), dan shiqhat.
1. Syirkah ‘inan
Perkongsian ‘inan adalah persekutuan antara dua orang dalam harta milik untuk berdagang
secara bersama-sama, dan membagi laba atau kerugian bersama- sama.
Ulama fiqih sepakat membolehkan perkongsian ini, hanya saja mereka berbeda dalam
menentukan persyaratanya, sebagaimana mereka berbeda pendapat dalam memberikan
namanya.
Contoh: Samsul dan Dimas
Perkongsian ini banyak dilakukan oleh manusia karena di dalamnya tidak disyaratkan
adanya kesamaan dalam modal dan pengolahan (tasharruf). Boleh saja modal satu orang lebih
banyak dibandingkan yang lainnya, sebagaimana dibolehkan juga seseorang bertanggung-
jawab sedang yang lain tidak. Begitu pula dalam bagi hasil , dapat sama dan dapat juga
berbeda, bergantungnya pada persetujuan, yang mereka buat sesuai dengan syarat transaksi.
Hanya saja, kerugian didasarkan pada modal yang diberikan. Sebagaimana dinyatakan dalam
kaidah: “ Laba didasarkan pada persyaratan yang ditetapkan berdua, sedangkan kerugian atau
pengeluaran kadar harta keduanya.”
2. Syirkah Mufawidhah
Arti dari mufawidhah menurut bahasa adalah persamaan. Dinamakan mufawidhah antara
lain sebab harus ada kesamaan dalam modal, keuntungan, serta bentuk kerja sama lainnya.
Menurut istilah, perkongsian mufawidhah adalah transaksi dua orang atau lebih untuk
berserikat dengan syarat memiliki kesamaan dalam jumlah modal, penentuan keuntungan,
pengolahan, serta agama yang dianut.
Dengan demikian, setiap orang akan menjamin yang lain , baik dalam pembeliaan atau
penjualan . Orang yang bersekutu tersebut saling mengisi dalam hak dan kewajibannya, yakni
masing- masing menjadi wakil yang lain atau menjadi orang yang diwakili oleh lainnya.
Selain itu, dianggap tidak sah jika modal salah seorang lebih besar daripada yang lainnya,
antara seorang anak kecil dengan orang dewasa, juga antara muslim dengan kafir, dan lain-
lain. Apabila salah satu dari syarat di atas tidak terpenuhi, perkongsian ini berubah menjadi
perkongsian ‘inan karena tidak adanya kesamaan.
Ulama Hanafiyah dan Zaidiyah membolehkan perkongsian semacam ini yang yang
didasarkan antara lain pada sabda Nabi SAW.: Artinya “ Samakanlah modal kalian sebab hal
itu lebih memperbesar barakah.”
Ulama Maliki membolehkan jenis perkongsian ini, namun bukan dengan pengertian yang
dikemukakan Hanafiyah di atas. Mereka membolehkan perkongsian ini dalam pengertian
bahwa masing-masing yang melangsungkan akad memiliki kewenangan atau kebebasan
dalam mengolah modal tanpa membutuhkan pendapat sekutunya.
Adapun jika didasarkan bahwa salah seorang yang bersekutu tidak berhak mengolah
modalnya sendiri, tetapi harus dilakukan secara bersama-sama, perkongsian seperti ini,
menurut ulama Malikiyah disebut perkongsian ‘inan.
Perkongsian mufawidhah sebagaimana dipahami oleh ulama Malikiyah tidak
diperdebatkan di kalangan ulama fiqih lainnya. Akan tetapi, ulama Syafi’iyah, Hanabilah,
dan kebanyakan ulama fikih lainnya menolaknya. Dengan alasan, perkongsian semacam itu
tidak dibenarkan oleh syara. Di samping itu, untuk merealisasikan adanya kesamaan sebagai
syarat dalam perkongsian ini sangatlah sulit, dan mengundang unsur penipuan (gharar). Oleh
karena itu, dipandang tidak sah sebagaimana pada jual-beli gharar.
3. Syirkah wujuh
Perkongsian wujuh adalah bersekutunya dua pemimpin dalam pandangan masyarakat
tanpa modal, untuk membeli barang secara tidak kontan dan akan menjualnya secara kontan,
kemudian keuntungan yang diperoleh dibagi di antara mereka dengan syarat tertentu.
Penamaan wujuh karena tidak terjual jual beli secara tidak kontan jika keduanya tidak
dianggap pemimpin dalam pandangan manusia secara adat. Perkongsian ini pun dikenal
sebagai bentuk perkongsian karena adanya tanggung jawab bukan karena modal atau
pekerjaan.
Ulama Hanafiyah, Hanabilah, dan Zaidiyah membolehkan perkongsian jenis ini sebab
mengandung unsur adanya perwakilan dari seseorang kepada partner-nya dalam penjualan
dan pembeli. Selain itu, banyak manusia yang mempraktekkan perkongsian jenis ini
diberbagai tempat tanpa ada yang menyangkal.
Adapun ulama Malikiyah,Syafi’iyah, Zhahiriyah, Imamiyah, Laits, Abu Sulaiman, dan
Abu Tsun berpendapat bahwa perkongsian semacam ini tidak sah (batal) dengan alasan
bahwa perkongsian semacam ini tidak memiliki unsur modal dan pekerjaan yang harus ada
dalam suatu perkongsian. Selain itu, akan mendekatan pada munculnya unsur penipuan sebab
perkongsian mereka tidak dibatasi oleh pekerjaan tertentu.
Berdasarkan pendapat yang pertama membolehkan perkongsian ini, keduanya dibolehkan
mendapatkan keuntungan masing- masing setengah atau lebih dari setengah sesuai dengan
persyaratan yang disepakati.
Dalam segi keuntungan, hendaklah dihitung berdasarkan perkiraan bagian mereka dalam
kepemilikan , tidak boleh lebih dari itu sebab perkongsian ini didasarkan pada kadar
tanggung jawab pada barang dagangan yang mereka beli, baik dengan harta maupun
pekerjaan. Dengan demikian keuntunganpun harus diukur berdasarkan tanggung jawab, tidak
boleh dihitung melebihi kadar tanggungan masing- masing.
4. Syirkah a’mal atau abdan
Perkongsian a’mal adalah persekutuan dua orang untuk menerima suaatu pekerjaan yang
akan dikerjakan secara bersama- sama. Kemudian keuntungan dibagi diantara keduanya
dengan menetapakan persyaratan tertentu. Perkongsian jenis ini terjadi, misalnya diantara dua
orang penjahit, tukang besi, dan lain- lain. Perkongsian ini disebut jiga dengan perkongsian
shana’l dan taqaabbul.
Perkongsian jenis ini dibolehkan oleh ulama Malikiyah, Hanabilah, dan Zaidiyah. Dengan
alasan, antara lain bahwa tujuan dari perkongsian ini adalah mendapatkan keuntungan. Selain
itu perkongsian tidak hanya terjadi pada harta, tetapi dapat juga pada pekerjaan, seperti dalam
mudharabah.
Namun demikian ulama Malik menganjurkan syarat untuk keshahihan syirkah itu, yaitu
harus ada kesatuan usaha. Mereka melarangnya kalau jenis barang yang dikerjakan keduanya
berbeda tempat, syirkah ini tidak sah. Persyaratan lainnya hendaklah pembagian keuntungan
harus sesuai dengan kadar pekerjaan dari orang yang bersekutu.
Ulama Hanabilah membolehkan perkongsian jenis ini sampai pada hal- hal yang mubah
seperti pengumpulan kayu bakar, rumput, dan lain- lain. Hanya saja mereka dilarang
kerjasama dalam hal ini mencari makelar.
Ulama Syafi’iyah, Imamiyah, Jafar dari golongan Hanafiyah berpendapat bahwa syirkah
semacam ini batal karena syirkaah ini dikhususkan pada harta dan tidak pada pekerjaan.
Mereka beralasan antara lain bahwa pekongsian dalampekerjaan mengandung unsur penipuan
sebab salah seorang sekutu tidak mengetahui apakah temanya bekerja atau tidak. Selain itu,
kedua orang tersebut berbedaa dalam segi postur tubuh, aktivitas, dnan kemampuannya.
Begitu pula dilarang bahkan mubah menurut Hanafiyah perkongsian dalam pekerjaan,
seperti mencari kayu, berburu, dan lain- lain, sebab perkongsian ini mengandung unsur
perwakilan padahal perwakilan tidak sah dalam perkara mubah sebab kepemilikannya dengan
penguasaan.
C. Syarat syirkah Uqud
Menurut ulama Hanafiyah syarat Syirkah Uqud terbagi atas dua macam, yaitu syarat
‘am(umum) dan khas (khusus).
1. Syarat Umum Syirkah ‘Uqud
Syarat- syarat umum syirkah antara lain:
a. Dapat di pandang sebagai perwakilan
Hendaklah setiap orang yang bersekutu saling memberikan wewenang kepada sekutunya untu
mengelola harta, baik ketika membeli, menjual, bekerja, dan lain-lain. Dengan demikian,
masing dapat menjadi wakil bagi yang lainnya.
b. Ada kejelasan dalam pembagian keuntungan
Bagian masing- masing dan yang bersekutu harus jelas. Jika keuntungannya tidak
jelas(majlu), akad menjadi fasid (rusak) sebab laba merupakan Maq’ud ‘Alaih(salah satu
rukun akad menurut jumhur).
c. Laba merupakan bagian(fuz) umum dari jumlah
2. Syarat Khusus pada Syirkah Amwal
Persyaratan khusus pada syirkah amwal,baik pada syirkah ‘inan maupun syirkah mufawidhah
adalah sebagai berikut:
a. Modal Syirkah Harus Ada Dan Jelas
Jumhur ulama berpendapat bahwa modal dal syirkah harus jelas ada, tidak boleh berupa
uatang atau harta yang tidak ada di tempat, baik ketika akad maupun ketika jual beli.
b. Modal Harus Bernilai atau Berharga Secara Mutlak
Ulama Fikih dari empat madzhab sepakat bahwa modal harus berupa sesuatu yang bernilai
secara umum, seperti uang. Oleh karena itu, tidak sah modal syirkah dengan barang- barang,
baik yaang bergerak(manqul) maupun tetap (‘aqar)
3. Syarat Khusus Syirkah mufawidhah
Ulama Hanafiyah menyebutkan beberapa syarat khususpada ssyirkah mufawidhah
diantaranya:
a. Setiap ‘aqid( yang akad) harus ahli dalam perwakilan dari jaminaan, yakni keduanya harus
merdeka, telah balig,berakal, sehat dan dewasa.
b. Ada kesamaan modal dari segi ukuran,harga awal dan akhir
c. Adapun yang pantas menjadi modal dari salah seorang yang bersekutu dimaksudkan dalam
perkongsian.
d. Ada kesamaan dalam pembagiaan keuntungan.
e. Ada kesamaan dalam berdagang.
f. Pada transaksi(akad) harus menggunakan kata mufawidh.
4. Syarat Syirkah A’mal
Jika syirkah a’mal ini berbentuk mufawidhah, maka harus memenuhi syarat mufawidhah
diatas. Akan tetapi, jika syirkah ini berbentuk ‘inan, hanya diisyaratkan ahli dalam
perwakilan saja. Menurut ulama Hanafiyah , setiap sah menjadi wakil, sah pula berserikat.
5. Syarat Syirkah Wujuh
Apakah syirkah ini berbentuk mufawidhah, hendaklah yang bersekutu itu ahli dalam
memberikan jaminan, dan masing- masing harus memiliki setengah harga yang dibeli. Selain
itu keuntungan dibagi dua dan ketika akad harus menggunakan kata mufawidhah.
D. Hukum Ketetapan Syirkah Uqud
Hukum syirkah Uqud terbaagi menjadi dua, yaitu shahih dan fasid.
Syirkah dikatakan fasid(ruskak) apabila tidak memenuhi persyaratan yang disebutkan di atas..
Adapun syirkah shahih adalah syirkah yang memenuhi persyaratan kesahihannya. Dengan
demikian,hukumnya akan diketahui sesuai dengan pembahasan masing- masing bentuk
syirkah tersebut, yaitu berikut ini.
1. Hukum(ketetapan) Syirkah ‘Inan Amwal
a. Syarat pekerjaan
Dalam syirkah ‘inan dibolehkan kedua orang yang berserikat untuk menetapkan persyaratan
bekerja, misalnya seorang membeli dan seseoraa ng lagi menjual, dan lain-lain.

b. Pembagian Keuntungan

Menurut ulama Hanafiyah, pembagian keuntungan bergantung pada besarnya modal. Dengan
demikian , keuntungan bisa berbeda, jika modal berbeda-beda,tidak dipengaruhi oleh pekerjaan.

c. Harta Syirkah rusak

Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat, jika terjadi kerusakan pada harta syirkah sebelum
dibelanjakan, atau pada salah satu harta sebelum dicampurkan, syirkah batal. Hal ini karena yang
ditransaksikan dalam syirkah adalah harta.

Jika kerusakan terjadi setelah dibelanjakan, akad tidak batal, dan apa yang dibelanjakan itu menjadi
tanggungan mereka berdua karena mereka membelinya dalam pelaksanaan syirkah.

d. Tasharruf( pendayagunaan) Harta Syirkah

Diantara cara atau bentuk tasharruf harta syirkah adalah:

1. Membelanjakan dan menitipkannya sesuai kebiasaan para pedagang.


2. Memeberika modal kepada seseorang untuk berdagang secara mudharabah(baagi hasil).
3. Mewakilkan haak jual beli kepada orang lain.
4. Memakai dalam pergadaian.
5. Memakai dalam persewaan.

2. Hukum (ketetapan) Syirkah Mufawidhah dan Amwal


Adapun ketetapan- ketetapan khusus yang harus ada syirkah mufawidah antara lain:
a. Pengakuan utang, dibolehkan atas dirinya atau rekannya.
b. Penetapan kesamaan utang atau yang semakna dengan ini.
c. Harus ada penjaminan harta.
d. Masing- masing memiliki hak menururt segala aturan yang berkaitan dengan pembelian
aatau penjualan.
3. Hukum (ketetapan) Syirkah Wujuh
Dua orang yang bersekutu , dia dalam syirkah wujuh, baik mufawidhah, maupun ‘inan, dia
berada pada posisi syirkah amwal baik dalam hal perkara yang wajib dikerjakan oleh
keduannya atau yang boleh dikerjakann oleh salah satunya. Apabila syirkah dimutlakan , ia
menjadi syirkah inan, sebab syirkah mutlak mengharuskan ‘inan.
4. Hukum (ketetapan) Syirkah A’mal
a. Berbentuk mufawidhah
Apabila syirkah a’mal berbentuk mufawidhah, setiap yang bersekutu diwajibkan
menanggung segala sesuatu yang berkaitan dengan syirkah atau perkongsian.
b. Berbentuk Inan
c. Pembagian laba
Menanggung kerugian pada syirkah juga tergantung pada pinjaman yang mereka berikan.
d. Penanggungan kerugian
E. Sifat Akad Perkongsian dan Kewenangan
1. Hukum Kepastian ( Luzum) Syirkah
Kebanyakan ulama fikih berpendapat bahwa akad syirkah dibolehkan, tetapi tidak lazim.
Oleh karena itu, salah seorang yang bersekutu dibolehkan membatalkan akad atas
sepengetahuan rekannya untuk menghindari kemadaratan.
2. Kewenangan Syarik (yang Berserikat)
Para ahli fikih sepakat bahwa kewenangan syarik perkongsian adalah amanah, seperti
dalam titipan, karena memegang atau menyerahkan harta atas izin rekannya.
F. Mengakhiri Syirkah
Syirkah akan berakhir apabila terjadi hal- hal berikut:
1. Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan yang lainnya sebab syirkah
adalah akad yang terjadi atas dasar rela sama rela dari kedua belah pihak yang tidak ada
kemestian untuk dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak menginginkannya lagi. Hal ini
menyebutkan pencabutan kerelaan syirkah oleh salah satu pihak.
2. Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharuf ( keahlian mengelola harta), baik
karena gila ataupun karena alasan lainnya.
3. Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggota syirkah lebih dari dua orang,
yang batal hanyalah yang meninggal saja. Syirkah berjalan terus hanyalah untuk anggota-
anggota yang masih hidup. Apabila ahli waris anggota yang meninggal menghendaki turut
serta dalam syirkah tersebut, maka dilakukan perjanjian baru bagi ahli waris yang
bersangkutan.
4. Salah satu pihak ditaruh dibawah pengampuan, baik karena boros yang terjadi pada waktu
perjanjian syirkah tengah berjalan maupun sebab yang lainnya.
5. Salah satu pihak jatuh yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi saham
syirkah. Pendapat ini dikemukakan oleh madzhab Maliki, Syafi’I, dan Hanbali. Hanafi
berpendapat bahwa keadaan bangkrut itu tidak membatalkan perjanjian yang dilakukan oleh
yang bersangkutan.
6. Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah. Bila modal
tersebut lenyap sebelum terjadi pencampuran harta hingga tidak dapat dipisah- pisahkan lagi,
yang menanggung resiko adalah para pemiliknya sendiri. Apabila harta lenyap setelah terjadi
pencampuran yang tidak bisa dipisah- pisahkan lagi, menjadi resiko bersama. Apabila masih
ada sisa harta, syirkah masih dapat berlangsung dengan kekayaan yang masih ada.
Berakhirnya syirkah dapat dikarenakan oleh hal- hal yang dapat membatalkannya, perkara
yang membatalkan syirkah terbagi atas dua hal. Ada perkara yang membatalkan syirkah
secara umum dan adapula yang membatalkan sebagian yang lainnya ( khusus).
1. Pembatalan syirkah secara umum
a. Pembatalan dari salah seorang yang bersekutu
b. Meninggalnya salah seorang syarik
c. salah seorang syarik murtad atau membelot ketika perang
4. Gila
2. Pembatalan secara khusus sebagian syirkah
a. Harta syirkah rusak
Apabila harta syirkah rusak seluruhnya atau harta salah seorang rusak sebelum
dibelanjakan, perkongsian batal. Hal ini terjadi pada syirkah amwal. Alasannya, yang
menjadi barang transaksi adalah harta maka, kalau rusak, akad menjadi batal sebagaimana
terjadi pada transaksijual- beli
b. Tidak Ada Kesamaan Modal
Apabila tidak ada persamaan modal dalam syirkah pada awal transaksi, perkongsian batal
sebab hal itu merupakan syarat transaksi.
BAB 111 PENUTUP
A. KESIMPULAN
Secara bahasa Syirkah berarti “al-ikhtilath” yaitu campur, pencampuran atau
persekutuan . Akad percampuran adalah akad yang mencampurkan aset menjadi satu
kesatuan dan kemudian kedua belah pihak menanggung resiko dari kegiatan usaha yang
dilakukan dan membagi keuntungan/pendapatan sesuai kesepakatan. Secara istilah Syirkah
dapat didefinisikan sebagai Pencampuran, yakni bercampurnya salah satu dari dua harta
dengan harta lainnya, tanpa dapat dibedakan antara keduanya. Syirkah adalah kerjasama
antara dua orang atau lebih dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung
bersama.
Hal-hal yang membatalkan syirkah terbagi atas dua hal:
1. Pembatalan syirkah secara umum
a. Pembatalan dari salah seorang yang bersekutu
b. Meninggalnya salah seorang syarik
c. salah seorang syarik murtad atau membelot ketika perang
4. Gila
2. Pembatalan secara khusus sebagian syirkah
a. Harta syirkah rusak
b. Tidak Ada Kesamaan Modal

B. SARAN
Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai syirkah. Kami menyadari banyak
kekurangan penulisan, maka dari itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat
kami harapkan sebagai referensi kami dalam penulisan makalah kedepan. Harapan penulis,
semoga makalah ini bermanfaat dan menambah pengetahuan pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Ad-Dasuqi, Asy-Syarh Al-Kabir Ma’a Ad- Dasuqi, juz III. Hlm.348


Ibnu Qudamah, Al-Mugni, juz II,hlm.211
Al-Kasani, Bada’i Ash-Shana’i fi Tartib Asy-Syara, juz V1, hlm.56
Muhammad Asy-Syarbini., Op.Cit., juz II, hlm.212
Syafei, Rachmat. Fikih Muamalah. Bandung: Cv Pustaka Setia, 2001

Anda mungkin juga menyukai