Anda di halaman 1dari 21

TEORI DAN KONSEP SYIRKAH

Mata kuliah Ekonomi Syari’ah (Fiqih Muamalah)

Dosen Pembimbing

Ahmad Buchori, S.Pd.I., M.Pd.

Disusun Oleh Kelompok 8:

• Anisa Juniati (22511010)


• Miftahul Ulum (22511011)
• Rahmawati RH (22511017)

PROGRAM STUDI PENDIDKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS YAPIS PAPUA

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur Kami ucapkan kepada Allah SWT, yang telah


memberikan Rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul
“TEORI DAN KONSEP SYIRKAH” ini dapat terselesaikan. Tidak lupa
Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad
SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.

Makalah ini Kami tulis sebagai tugas Kelompok untuk mata kuliah
Ekonomi Syariah (Fiqih Muamalah). Kami ingin mengucapkan terimakasih
kepada semua orang yang telah berkontribusi dalam penyusunan makalah
ini. Kami juga memahami pentingnya sumber bacaan dan referensi internet
yang membantu terciptanya informasi sehingga menjadi bahan peyusunan
makalah.

Kami mengerti bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan


makalah, oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk perbaikan makalah. Mohon maaf yang sebesar-besarnya
jika banyak kekurangan dan kesalahan, karena kesempurnaan hanya milik
Allah SWT, dan kekurangan tentu milik kita sebagai manusia. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin

Jayapura 16 Oktober 2023 M


1 Rabi’ul Akhir 1445 H

Tim Penyusun

ii
TEORI DAN KONSEP SYIRKAH ............................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................................... ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 1
C. Tujuan ..................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................... 3
A. Pengertian Syirkah .................................................................................................. 3
B. Hukum Syirkah ............................................................................................................ 4
1. Al-Qur’an ............................................................................................................. 4
2. Hadits .................................................................................................................. 5
3. Ijma’ .................................................................................................................... 5
C. Rukun dan Syarat Syirkah ........................................................................................... 6
D. Macam-Macam Syirkah .......................................................................................... 7
BAB III PENUTUP ............................................................................................................... 15
A. Kesimpulan............................................................................................................ 15
B. Saran ..................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 17

iii
DAFTAR ISI

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Banyaknya umat muslim yang belum mengetahui bagaimana seharusnya
menjalankan syirkah atau perkongsian dalam memenuhi kebutuhan hidup di dunia
ini yang sesuai dengan tuntunan syari’at. Hal ini menyebabkan kami untuk
membuat sebuah makalah yang berjudul tentang “Teori Dan Konsep Syirkah” guna
untuk memberikan sebuah pemahaman kepada para pembaca makalah ini. Pada
zaman sekarang ini banyak orang-orang muslim yang menjalankan sistem syirkah
atau perkongsian dengan mengikuti tata cara orang eropa atu barat yang belum tentu
sesuai dengan apa yang diajarkan oleh syari’at.
Secara umum, prinsip syirkah atau bagi hasil dalam perbankan syariah
dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu al-musyârakah, al-mudhârabah,
al-muzâra’ah dan al-musâqah. Namun dalam makalah ini akan dijelaskan
mengenai al-musyârakah saja. Sedangkan yang lainnya dalam pembahasan yang
lain.
Sungguhpun demikian, prinsip yang paling banyak dipakai adalah al-
musyârakah dan al-mudhârabah, sedangkan al- muzâra’ah dan al-musâqah di
pergunakan khusus untuk pembiyayaan pertanian oleh beberapa bank islam.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dipaparkan beberapa rumusan masalah
yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian syirkah dan bagaimana landasan hukum tentang
adanya syirkah?
2. Apa saja rukun dan syarat syirkah?
3. Apa saja macam-macam syirkah dan Hal-hal apa sajakah yang
menyebabkan berakhirnya syirkah?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari syirkah dan mengetahui tentang yang
mendasari dari syirkah.

1
2. Untuk mengetahui rukun dan syarat dari syirkah.
3. Untuk mengetahui macam-macam dari syirkah dan Untuk mengetahui hal-
hal apa sajakah yang menyebabkan berakhirnya syirkah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Syirkah

Secara etimologi, syirkah atau perkongsian berarti:


‫اإلختالط أى خلط أحد المالين باآلخر بحيث اليمتزان عن بعضهما‬
"percampuran, yakni bercampunya salah satu dari dua harta dengan harta
lainnya tanpa dapat dibedakan antara keduanya."1
Syirkah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/
expertise) dengan kesepakatan, bahwa keuangan dan resiko ditanggung bersama.2
Sedangkan menurut istilah terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama3
1. Menurut Hanafiah
‫الشركة هي عبارة عن عقد بين المتشاركين في رئس المال والربح‬
Syirkah adalah suatu ungkapan tentang akad (perjanjian) antara dua orang
yang berserikat didalam modal dan keuntungan.
2. Menurut Malikiyah
‫هي اذن فى التصرف لهما معا انفسهما اى أن يأذن كل واحد من الشريكين لصاحبه فى ان‬
‫يتصرف فى مال لهما مع إبقاء حق التصرف لكل منهما‬
Perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharruf) harta yang
dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling
mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya,
namun masing-masing memiliki hak untuk bertasharruf
3. Menurut syafi’iyah
‫ عبارة عن ثبوت الحق في الشيئ الواحد لشخصين فصاعدا على جهة الشيوع‬:‫وفي الشرع‬

1 Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), h. 183


2 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari teori Ke Praktik, (Cet. I; Jakarta: Gema
Insani, 2001), h. 90
3 Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, h. 183

3
Syirkah menurut syara’ adalah suatu ungkapan tentang tetapnya hak atas
suatu barang bagi dua orang atau lebih secara bersama-sama

4. Menurut Hanabilah
‫الشركة هي اإلجتماع في استحقاق أو تصرف‬
Syirkah adalah berkumpul atau bersama-sama dalam kepemilikan atas hak
atau tasarruf.
Dari definisi yang dikemukakan oleh beberapa para ulama mengenai
pengertian dari syirkah bahwa yang dimaksud dengan syirkah adalah kerja sama
antara dua orang atau lebih dalam bidang usaha atau modal yang masing-masing
dari harta yang melakukan syirkah tersebut berbaur menjadi satu tanpa ada
perbedaan satu dengan yang lainnya yang keuntungan dan kerugiannya di tanggung
bersama sesuai kesepakatan yang telah di laksanakan.
Transaksi syirkah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja
sama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama.
Termasuk dalam golongan musyârakah adalah semua bentuk usaha yang
melibatkan dua pihak atau lebih di mana mereka secara bersama-sama memadukan
seluruh bentuk sumber daya, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
Melalui akad ini, kebutuhan nasabah untuk mendapatkan tambahan modal kerja
dapat terpenuhi setelah mendapatkan pembiyaan dari bank. Selain digunakan untuk
pembiyayan modal kerja, secara umum pembiyayaan musyarakah digunakan untuk
pembelian barang investasi dan pembiyayaan proyek, bagi bank, pembiyayaan
musyârakah dan memberi manfaat berupa keuntungan dari hasil pembiyayaan
usaha.4

B. Hukum Syirkah
Syirkah hukumnya diperbolehkan atau disyari’atkan berdasarkan Al-
Qur’an, Al-Hadits dan ijma’ (konsensus) kaum muslimin. Dan berikut ini kami
sebutkan dalil-dalilnya, di antaranya:
1. Al-Qur’an

4 H.R. Daeng Naja, Akad Bank Syariah, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011), h.

4
‫ت َوقَ ِلي ٌل َّما‬
ِ ‫صا ِل َحا‬ َ ‫ض ِإ َّال الَّذِينَ آ َمنُوا َو‬
َّ ‫ع ِملُوا ال‬ ٍ ‫علَى بَ ْع‬ َ َ‫َو ِإ َّن َكثِيرا ً ِم ْن ْال ُخل‬
ُ ‫طاء لَيَ ْب ِغي بَ ْع‬
َ ‫ض ُه ْم‬
﴾٢٤﴿ .‫ُه ْم‬
Firman Allah Ta’ala: “Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang
berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat
sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24)
Dan firman-Nya pula:

ِ ُ‫ش َركَاء فِي الثُّل‬


﴾١٢﴿ ‫ث‬ ُ ‫فَإِن كَانُ َواْ أَ ْكثَ َر ِمن ذَلِكَ فَ ُه ْم‬
“Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS. An-Nisa’: 12)
Kedua ayat di atas menunjukkan perkenanan dan pengakuan Allah akan
adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam surat An-Nisa’
ayat 12 perkongsian terjadi secara otomatis karena waris, sedangkan dalam surat
Shaad ayat 24 terjadi atas dasar akad (transaksi).

2. Hadits

‫ أنا ثالث الشريكين‬:‫ ان هللا عزوجل يقول‬:‫قال‬. ‫م‬.‫عن أبى هريرة رفعه الى النبي ص‬
‫مالم يخن أحدهما صاحبه فإذا خانه خرجت من بينهما‬
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa
jalla berfirman: “Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah
satunya tidak mengkhianati pihak lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku
keluar dari keduanya.” (HR. Abu Daud no.3383, dan Al-Hakim no.2322).5

3. Ijma’
Ijma’ ulama mengatakan, bahwa muslimin telah berkonsensus akan
legitimasi syarikah secara global, walaupun perbedaan pendapat dalam beberapa
elemen dari padanya. Maka secara tegas dapat dikatakan bahwa kegitan syirkah

5 Musthofa Dayb al-Baghâ, at Tadzhîb Fî Adillah Matni al Ghôyah wa al-taqrîb, (Malang:
Ma’had Sunan Ampel al Ali, 2013), h. 135

5
dalam usaha diperbolehkan dalam islam, sebagai dasar hukumnya telah jelas dan
tegas.6
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni, telah berkata, “Kaum
muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global
walaupun terdapat perbedaan dalam beberapa elemen darinya.

C. Rukun dan Syarat Syirkah


Rukun syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu
berlangsung. Ada perbedaan terkait dengan rukun syirkah. Menurut ulama
Hanafiyah rukun syirkah hanya ada dua yaitu ijab (ungkapan melakukan penawaran
perserikatan) dan kabul (ungkapan penerimaan perserikatan), istilah ijab dan kabul
sering disebut dengan serah terima. Jika ada yang menambahkan selain ijab dan
kabul dalam rukun syirkah seperti adanya kedua orang yang berakad dan objek akad
menurut Hanafiyah itu bukan termasuk rukun tetapi termasuk syarat.7
Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah
dibagi menjadi empat bagian, sebagai berikut.8
1. Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah, baik dengan harta maupun
dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu; a) berkenaan
dengan benda, maka benda yang diakadkan harus dapat diterima sebagai
perwakilan, dan b) berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan
harus jelas dan dapat diketahui dua pihak.
2. Semua yang bertalian dengan syirkah mâl. Dalam hal ini terdapat dua perkara
yang harus dipenuhi, yaitu; a) bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah
adalah dari alat pembayaran (nuqud), seperti junaih, riyal dan rupiah, dan b)
benda yang dijadikan modal ada ketika akad syirkah dilakukan, baik jumlahnya
sama maupun berbeda.
3. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mufawadhah, bahwa disyaratkan; a)
modal (harta pokok) harus sama, b) orang yang bersyirkah adalah ahli untuk

6 Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah, Edisi I (Cet. I; Yogyakarta:


Bpfe Yogyakarta, 2005), h. 32
7 Abdul Rahman Ghazali, Ghufron Ihsan, Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, Edisi. I, (Cet. I;
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 128
8 Sohari Sahrani, Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Cet. I; Bogor: Ghalia Indonesia, 2011),
h. 179

6
kafalah, dan c) orang yang dijadikan objek akad, disyaratkan melakukan syirkah
umum, yakni pada semua macam jual beli atau perdagangan.
4. Adapun syarat yang bertalian dengan syirkah ‘inan sama dengan syarat syirkah
mufâwadhah.
Menurut Malikiyah, syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang
melakukan akad ialah merdeka, baligh, dan pintar (rusyd). Imam Syafi’i
berpendapat bahwa syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkah ‘inan, sedangkan
syirkah yang lainnya batal. Akad syirkah ada kalanya hukumnya shahih ataupun
fasid. Syirkah fasid adalah akad syirkah di mana salah satu syarat yang telah
disebutkan tidak dipenuhi, jika semau syarat sudah terpenuhi maka syirkah
dinyatakan shahih.9

D. Macam-Macam Syirkah

1. Syirkah Amlâk (Hak Milik)

Yaitu perserikatan dua orang atau lebih yang dimiliki melalui transaksi jual beli,
hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam bentuk syirkah seperti ini kedua belah
pihak tidak berhak mengusik bagian rekan kongsinya, ia tidak boleh
menggunakannya tanpa seijin rekannya. Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud
dengan syirkah amlâk adalah bila lebih dari satu orang memiliki suatu jenis barang
tanpa akad baik bersifat ikhtiâri atau jabari.10

Syirkah milk juga dibagi menjadi menjadi dua yaitu:11

a. Syirkah milk jabr, ialah berkumpulnya dua orang atau lebih dalam pemilikan
suatu benda secara paksa
b. Syirkah milk al-ikhtiyar, ialah ibarat kesepakatan dua orang atau lebih untuk
menyerahkan harta mereka masing-masing supaya memperoleh hasil dengan

9 Dimyauddin Djuwaini, pengantar Fiqh Muamalah, (Cet. 1; Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


2008), h. 217
10 Dimyauddin Djuwaini, pengantar Fiqh Muamalah, (Cet. 1; Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), h. 217
11 Sohari Sahrani, Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, h. 181

7
cara mengelola harta itu, bagi setiap yang berserikat memperoleh bagian yang
ditentukan dari keuntungan.
Syirkah milk tercipta karena warisan, wasiat atau kondisi lain yang mengakibatkan
pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan
dua orang atau lebih terbagi dalam dua aset nyata dan berbagi dari keuntungan yang
dihasilkan aset tersebut.
Misalnya: Si A dan si B diberi wasiat atau hadiah berupa sebuah mobil oleh
seseorang dan keduanya menerimanya, atau membelinya dengan uang keduanya,
atau mendapatkannya dari hasil warisan, maka mereka berdua berserikat dalam
kepemilikan mobil tersebut.

2. Syirkah Uqûd (Transaksional/kontrak)

Yaitu akad kerja sama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan
keuntungan, artinya kerjasama ini didahului oleh transaksi dalam penanaman modal
dan kesepakatan pembagian keuntungan. Misalnya, dalam transaksi jual beli atau
lainnya. Bentuk syirkah seperti inilah yang hendak kami bahas dalam tulisan kali
ini. Dalam syirkah seperti ini, pihak-pihak yang berkongsi berhak menggunakan
barang syirkah dengan kuasa masing-masing. Dalam hal ini, seseorang bertindak
sebagai pemilik barang, jika yang digunakan adalah miliknya. Dan sebagai wakil,
jika barang yang dipergunakan adalah milik rekannya.

1) Macam-Macam Syirkah Uqûd (Transaksional/kontrak)

Berdasarkan penelitian para ulama fikih terdahulu terhadap dalil-dalil


syar’i, bahwa di dalam Islam terdapat lima macam syarikah, yaitu:

a. syirkah al-‘inân

Yaitu penggabungan harta atau modal dua orang atau lebih yang tidak selalu
sama jumlahnya. Boleh satu pihak memiliki modal lebih besar dari pihak yang lain.

Sementara itu, Ibn Qudamah sebagaimana dikutip oleh Muhammad


Abdurrahman Sadique menyebutkan bahwa syirkah al-‘inân adalah kerjasama dua

8
orang atau lebih dalam hal modal yang dilaksanakan oleh mereka yang berserikat
dalam hal modal tersebut sementara hasilnya dibagi bersama.

Keuntungan dibagi dua sesuai presentase yang telah disepakati maupun


kerugiannya. Sesuai dengan kaidah:

‫الربح على ما شرطا والوضيعة على قدر ما لين‬

Artinya: “keuntungan dibagi sesuai kesepakatan dan kerugian ditanggung


sesuai dengan modal masing-masing”.

Dan hukum syirkah ini diperbolehkan berdasarkan konsensus para ulama,


sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu al-Mundzir.

Contoh syirkah inân: A dan B pengrajin atau tukang kayu. A dan B sepakat
menjalankan bisnis dengan memproduksi dan menjualbelikan meubel. Masing-
masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp.50 juta dan keduanya sama-
sama bekerja dalam syirkah tersebut. Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya
harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau
mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya
pada saat akad.

Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung


oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya,
masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian
sebesar 50%. sebagaimana kaidah fikih yang berlaku, yakni (Ar-Ribhu ‘Alâ mâ
Syarathâ wal Wadhii’atu ‘Alâ Qadril Mâlain).

Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya
modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak
yang bersyirkah).”

b. syirkah al-abdân

Yaitu perserikatan dalam bentuk kerja yang hasilnya dibagi bersama sesuai
dengan kesepakatan, tanpa konstribusi modal (mâl), seperti kerja sama sesama

9
dokter di klinik, tukang besi, kuli angkut atau sesama arsitek untuk menggarap
sebuah proyek, atau kerja sama dua orang penjahit untuk menerima order
pembuatan seragam sekolah dan sebagainya.

Kerja sama semacam ini dibolehkan menurut kalangan Hanafiyah,


Malikiyah, dan Hanabilah, namun imam Syafi’i melarangnya.

Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama


untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual,
hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar
40%.

Syirkah ‘abdân hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah. Dari


Abdullah binMas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku pernah berserikat dengan
Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang
pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan
Ammar tidak membawa apa pun.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)

c. syirkah al-mudârabah

Yaitu, persetujuan seseorang sebagai pemilik modal (investor)


menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola (mudhârib) dalam suatu
perdagangan tertentu yang keuntungannya dibagi sesuai dengan kesepakatan
bersama. Adapun kerugiannya ditanggung oleh pemilik modal saja.

Menurut jumhur ulama (Hanafiyah, malikiyah, Syafi’iah, Zahiriyah, dan


Syiah Imamiyah) tidak memasukkan transaksi mudharabah sebagai salah satu
bentuk perserikatan, karena mudharabah menurut mereka merupaka akad tersendiri
dalam bentuk kerja sama yang lain yang tidak dinamakan dengan perserikatan.

Syarat-syarat mudârabah antara lain:

1. modal harus dinyatakan dengan jelas mengenai jumlahnya


2. modal harus diserahkan kepada mudârib untuk memungkinkannya melakukan
usaha
3. modal harus dalam bentuk tunai bukan utang

10
4. pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam persentase dari keuntungan
yang mungkin dihasilkan nanti
5. kesepakatan ratio persentase harus dicapai melalui negosiasi dan dituangkan
dalam kontrak
6. pembagian keuntungan baru dapat dilakukan setelah mudârib mengembalikan
seluruh atau sebagian modal kepada shahib a-mâl

d. syirkah al-wujûh

Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan
nama baik serta ahli dalam bisnis atau perserikatan tanpa modal. Mereka membeli
barang secara kredit (hutang) dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut
secara tunai, lalu keuntungan yang didapat dibagi bersama atas dasar kesepakatan
di antara mereka.

Syirkah semacam ini juga dibolehkan menurut kalangan hanafiyah dan


hanbaliyah, namun tidak sah menurut kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan
Zhahiriyah.

Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada reputasi (wajâhah)


kepercayaan (amânah), kedudukan, ketokohan, atau keahlian seseorang di tengah
masyarakat. Tak seorang pun memiliki modal, namun mereka memiliki nama baik,
sehingga mereka membeli barang secara hutang dengan jaminan nama baik
tersebut.12

Contohnya: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B


ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya
C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang
yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua,
sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang). Dalam syirkah
wujûh ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan
prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh

12 Muhammad Abdurrahman Sadique, Essentials of Musyârakah and Mudhârabah, h. 32

11
masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki,
bukan berdasarkan kesepakatan.

e. syirkah al-mufâwadhah.

Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan
suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak
membagi keuntungan dan kerugian secara sama.

Syirkah Mufâwadhah juga merupakan syirkah komprehensif yang dalam


syirkah itu semua anggota sepakat melakukan aliansi dalam semua jenis kerja sama,
seperti ‘înan, abdân dan wujûh. Di mana masing-masing menyerahkan kepada
pihak lain hak untuk mengoperasikan segala aktivitas yang menjadi komitmen kerja
sama tersebut, seperti jual beli, penjaminan, penggadaian, sewa menyewa,
menerima tenaga kerja, dan sejenisnya. Atau syirkah ini bisa pula diartikan kerja
sama dalam segala hal. Namun tidak termasuk dalam syirkah ini berbagai hasil
sampingan yang didapatkannya, seperti barang temuan, warisan dan sejenisnya.
Dan juga masing-masing tidak menanggung berbagai bentuk denda, seperti
mengganti barang yang dirampas, ganti rugi syirkah , mengganti barang-barang
yang dirusak dan sejenisnya.

Dengan demikian, syarat utama dari Syirkah ini adalah kesamaan dalam
hal-hal berikut: Dana (modal) yang diberikan, kerja, tanggung jawab, beban utang
dibagi oleh masing-masing pihak, dan agama.

Hukum Syirkah ini dalam pengertian di atas dibolehkan menurut mayoritas


ulama seperti Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Sebab, setiap jenis syirkah
yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis
syirkah lainnya. Namun, imam asy-Syafi’i melarangnya karena sulit untuk
menetapkan prinsip persamaan modal, kerja dan keuntungan dalam perserikatan
ini.13

Adapun keuntungan yang diperoleh dalam syirkah ini dibagi sesuai dengan
kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu

13 Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, h. 154

12
ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah‘inân), atau
ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-
mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika
berupa syirkah wujûh).

Contohnya: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua


insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing
berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal,
untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan
C.

Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdân, yaitu ketika
B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja
saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka
bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan
C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan
konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah‘inân di
antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar
kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B
dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua
jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.

E. Hal –Hal Yang Membatalkan Syirkah


1. sebab-sebab yang membatalkan syirkah secara umum
a. pembatalan oleh salah seorang anggota serikat. Hal tersebut dikarenakan akad
syirkah merupakan akad yang jâiz dan ghair lâzim, sehingga memungkinkan
untuk di-fasakh.
b. meninggalnya salah seorang anggota serikat.
c. murtadnya salah seorang anggota serikat dan berpindah domisilinya ke darul
harb. Hal ini disamakan dengan kematian.
d. gilanya peserta yang terus-menerus, karena gila menghilangkan status wakil
dari wakâlah, sedangkan syirkah mengandung unsur wakâlah.

13
2. Sebab yang membatalkan syirkah secara khusus
a. Rusaknya harta syirkah seluruhnya atau harta salah seorang anggota serikat
sebelum digunakan untuk membeli dalam syirkah amwâl
b. Tidak terwujudnya persamaan modal dalam syirkah mufâwadhah ketika akad
akan dimulai. Hal tersebut karena adanya persamaan antara modal pada
permulaan akad merupakan syarat yang penting untuk keabsahan akad.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Syirkah merupakan bentuk kerja sama antara dua orang atau lebih dalam
usaha atau modal, di mana harta yang digunakan dalam kerja sama ini berbaur
menjadi satu tanpa perbedaan yang menonjol. Keuntungan dan kerugian dalam
Syirkah ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati.
Landasan hukum Syirkah ditemukan dalam al-Qur'an, sunnah, dan ijma.

Rukun Syirkah terdiri dari dua elemen, yaitu ucapan (sighah) penawaran
dan penerimaan (ijab dan qabul), serta pihak yang berkontrak. Syarat-syaratnya
mencakup tiga hal, yakni ucapan yang bisa verbal atau tertulis, pihak yang
berkontrak harus kompeten, dan objek kontrak harus berupa modal yang tunai,
emas, perak, atau yang bernilai setara, seperti yang disepakati oleh para ulama. Ada
dua macam Syirkah, yaitu Syirkah milk dan Syirkah 'uqûd. Pembatalan Syirkah
bisa terjadi baik secara umum maupun secara khusus, sesuai dengan penjelasan
yang telah disampaikan dalam materi.

B. Saran
Materi tentang Syirkah menggarisbawahi pentingnya kerja sama dalam
bidang usaha atau modal, di mana harta bersatu tanpa perbedaan yang signifikan,
serta keuntungan dan kerugian dibagikan sesuai kesepakatan. Untuk penerapan
yang lebih baik dalam praktik bisnis dan keuangan, disarankan agar individu dan
organisasi memahami landasan hukum yang mendasari Syirkah, yaitu al-Qur'an,
sunnah, dan ijma. Selain itu, pemahaman yang kuat mengenai rukun Syirkah,
syarat-syaratnya, serta jenis-jenis Syirkah sangat penting agar kontrak kerja sama
dapat berjalan lancar dan sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh
para ulama.

Dalam praktik bisnis dan investasi, para pelaku bisnis dan investor perlu
mempertimbangkan dengan cermat jenis-jenis Syirkah yang ada, yaitu Syirkah milk

15
dan Syirkah 'uqûd, serta memahami bagaimana pembatalan Syirkah dapat terjadi
baik secara umum maupun secara khusus. Hal ini penting untuk menjaga stabilitas
dan integritas kesepakatan kerja sama. Pemahaman yang mendalam tentang
Syirkah akan membantu masyarakat bisnis dalam mencapai tujuan keuangan
mereka sambil mematuhi prinsip-prinsip yang terkandung dalam hukum Islam,
sehingga bisa meminimalkan risiko dan memaksimalkan hasil dalam konteks
Syirkah.

16
DAFTAR PUSTAKA

Syafei’, Rachmat. Fiqih Muamalah. Bandung: Cv Pustaka Setia, 2001.

Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Cet. 1. Jakarta:
Gema Insani, 2001.

Muhammad. Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah. Edisi 1. Cet. 1.


Yogyakarta: Bpfe-Yogyakarta, 2005

Muslich, Ahmad Wardi. Fiqh Muamalat. Edisi 1. Cet. 1. Jakarta: Amzah, 2010.

Naja, H.R. Daeng. Akad Bank Syariah. Cet. 1. Yogyakarta: pustaka Yustisia, 2011.

Nawawi, Ismail. Fikih Muamalah Klasik dan kontemporer. Cet. 1. Bogor: Ghalia
Indonesia, 2012.

Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Juz III, (Beirut: Dar al-fikr, 2006.

Sahrani, Sohari dan Abdullah, Ru’fah. Fikih Muamalah. Cet. 1. Bogor: Ghalia
Indonesia, 2011.

17

Anda mungkin juga menyukai