Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

WADI’AH, JI’ALAH, DAN LUQATHAH

Disusun Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah

Fiqih Muamalah

Dosen Pengampu : Widodo Hamid, M.Ag.

Disusun Oleh :

1. M. Aktar Asyaidi (20122112)


2. Haliza Qodrunnada (20122152)
3. Lailatul Khoirunada (20122158)

KELAS : D

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN KH. ABDURRAHMAN WAHID PEKALONGAN
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan
Hidayahnya kepada kita semua sehingga penyusun bisa menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul “Wadia’ah, Ji’alah, dan Luqathah” dengan baik tanpa
suatu kendala apapun. Tak lupa sholawat serta salam selalu tercurah kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW, semoga kita termasuk umat-Nya yang
kelak mendapatkan hidayah dan pertolongan di hari pembalasan kelak, aamiin.
Dalam proses pengerjaan makalah ini, banyak sekali dukungan yang kami terima
dalam bentuk moral dan materiil. Untuk itu kami ingin mengucapkan banyak
terima kasih kepada semua yang telah mendukung dan ikut berpartisipasi serta
berkontribusi dalam pengerjaan tugas makalah ini.
Selanjutnya kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
kesalahan dan kekeliruan, untuk itu kami memohon maaf yang sebesar besarnya.
Dan kami juga mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk sebagai
wawasan ilmu pengetahuan bagi penulis agar kedepannya bisa memperbaiki
makalah ini dengan baik.
Akhirnya, semoga makalah ini bisa bermanfaat dan bisa menambah ilmu
pengetahuan serta wawasan bagi kita semua.

Pekalongan, 05 April 2023


Penyusun,

Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................... i
KATA PENGANTAR....................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 2
C. Maksud dan Tujuan Penyusunan ........................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................. 3
A. Definisi Wadi’ah, Ji’alah, dan Luqathah ................................................ 3
B. Dasar Hukum Wadi’ah, Ji’alah, dan Luqathah ...................................... 7
C. Syarat dan Rukun Wadi’ah dan Luqathah ............................................. 11
D. Macam-macam Wadi’ah ........................................................................ 16
E. Aplikasi Wadi’ah dan Ji’alah dalam Perbankan Syariah ....................... 17
F. Menumumkan Luqathah ........................................................................ 21
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 25
A. Simpulan ................................................................................................ 25
B. Saran ....................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 26

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Muamalah merupakan suatu kegiatan yang mengatur hal-hal yang
berhubungan dengan tata cara hidup sesama umat manusia untuk memenuhi
keperluannya sehari-hari yang bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam
melengkapi kebutuhan hidup, untuk saling memahami antara penjual dan
pembeli, untuk saling tolong menolong (ta’awul), serta untuk mempererat
silaturahmi karena merupakan proses ta’aruf (perkenalan). Namun dari
beberapa tujuan muamalat tersebut, tidak sepenuhnya terlaksana. Masih
banyak masalah-masalah yang terjadi karena proses muamalat tersebut.
Diantaranya masih banyak orang yang dirugikan dalam suatu proses muamalat
tersebut. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka pedoman dan tatanannya
pun perlu dipelajari dan diketahui dengan baik, sehingga tidak terjadi
penyimpangan dan pelanggaran yang merusak kehidupan ekonomi dan
hubungan sesama manusia.
Kesadaran bermuamalah hendaknya tertanam lebih dahulu dalam diri
masing-masing, sebelum orang terjun ke dalam kegiatan muamalah itu.
Pemahaman agama, pengendalian diri, pengalaman, akhlaqul-karimah dan
pengetahuan tentang seluk-beluk muamalah hendaknya dikuasai sehingga
menyatu dalam diri pelaku (pelaksana) muamalah itu.
Pengetahuan tentang seluk-beluk muamalah memiliki maksud yaitu bahwa
kita selaku umat muslim hendaknya mengetahui apa-apa yang bersangkutan
dengan muamalah. Seperti dalam rukun muamalat-jual beli harus ada akad
(ijab dan qabul). Dalam akad muamalat terdapat beberapa transaksi atau akad
yang ada, diantarannya adalah akad Al-Wadi’ah, akad Al-Wakalah, dan Al-
Kafalah, Ji’alah, Luqathah dsb. Dalam hal ini pemakalah mencoba
menjelaskan salah satu bagian dari mumalat tersebut yaitu akad tentang
Wadi’ah (titipan).

1
B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang kamu ketahui tentang wadi’ah, ji’alah, dan luqathah?


2. Bagaimana Dasar Hukum Wadi’ah, Ji’alah, dan Luqathah?
3. Apa Syarat dan Rukun Wadi’ah dan Luqathah?
4. Jelaskan Macam-macam Wadi’ah?
5. Apa saja Aplikasi Wadi’ah dan Ji’alah dalam Perbankan Syariah?
6. Bagaimana Cara Mengumumkan Luqathah?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi Wadi’ah, Ji’alah, dan Luqathah.
2. Mahasiswa mampu mengetahui Dasar Hukum Wadi’ah, Ji’alah, dan
Luqathah.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan Syarat dan Rukun Wadi’ah dan
Luqathah.
4. Mahasiswa mampu memahami Macam-macam Wadi’ah.
5. Mahasiswa mampu mengetahui Aplikasi Wadi’ah dan Ji’alah dalam
Perbankan Syariah.
6. Mahasiswa mampu mengetahui cara mengumumkan Luqathah.

D. MANFAAT PENULISAN
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini diharapkan bagi para pembaca
makalah ini bisa mendapatkan tambahan wawasan mengenai ilmu fiqih dan
hukum syari’at islam yang baik dan benar. Dan diharapkan bagi para pembaca
makalah ini bisa menjadi merubah pola pikirnya menjadi lebih kritis tentang
pendalaman mengenaai ilmu fiqih da hukum syari’ah Islam.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Wadi’ah, Ji’alah dan Luqathah

Apa itu Wadi’ah?

Secara etimologi wadi’ah berartikan titipan (Amanah).Yaitu meletakan


sesuatu  kepada orang lain untuk dijaga dan dipelihara. Sehingga secara
sederhana wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan. Secara terminologi wadi’ah
menurut mazhab hanafi, maliki dan hambali. Ada dua definisi wadi’ah yang
dikemukakan ulama fiqh :
a. Ulama Hanafiyah :
“mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, (baik dengan
ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat)”
b. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (Jumhur Ulama)
“mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara
tertentu”
c. Secara harfiah, wadi’ah ialah memberikan kekuasaan kepada orang lain
untuk menjaga dan memelihara harta atau barangnya dengan cara terang-
terangan ataupun dengan isyarat yang semakna dengan itu.
d. Sementara itu menurut Menurut UU No 21 Tentang Perbankan Syariah
yang dimaksud dengan “Akad wadi’ah” adalah Akad penitipan barang
atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang
diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan,
serta keutuhan barang atau uang. Sedangkan secara terminologi wadi’ah
ialah memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga dan
memelihara harta atau barangnya dengan cara terang-terangan ataupun
dengan isyarat yang semakna dengan itu.
 Secara lazim titipan adalah murni akad tolong-menolong. Dimana dengan
alasan tertentu pemilik harta memberikan amanah kepada pihak lain untuk
menjaga dan memelihara hartanya. Seseorang yang memiliki harta dan

3
berkeinginan untuk menitipkan hartanya kepada orang lain bukan untuk
dikuasai, namun harta tersebut untuk dipelihara dan dijaga karena ada suatu hal
dan hal lain yang menjadi sebab harta tersebut dititipkan.  Tidak ada ketentuan
mengenai alasan kenapa akad wadiah harus dilakukan. Tetapi yang pasti
seseorang mempunyai hak penuh atas harta untuk dititipkan kepada orang lain,
bagi orang yang merima barang yang dititipkan bisa menerima ataupun
menolaknya.
Menurut pendapat yang dianggap paling shahih, dalam wadi’ah tidak
diisyaratkan mengucapkan qobul (kalimat menerima) dari penerimaan titipan.
Akan tetapi cukup dengan menerima barang  yang ditirpkan  oleh pemilik
barang tersebut. Disamping itu, kedua belah pihak dapat membatalkan akad
perjanjian kapan saja. Penerima titipan bisa saja mengembalikan barang titipan
sewaktu-waktu dan pihak yang mentitipkan barang bisa mengambilnya
sewaktu-waktu pula.
Dengan demikian, dalam akad wadi’ah keberadaan orang yang mempunyai
harta tidak memeliki kepentingan apapun dari harta yang dia titipkan,
terkecuali semata-mata agar harta yang dititipkanya dapat terjaga dengan aman
dan baik. Demikin juga pada orang yang ditipkan harta, pada dasarnya tidak
boleh menyalahgunakan harta yang ditipkan pemilik kepadanya.
Apa aitu Ji’alah?
Ji’alah merupakan akad atas suatu manfaat yang diyakini bisa dicapai. Hal
tersebut seperti seseorang menjajikan hadiah tertentu bagi siapa saja yang dapat
mengembalikan barang hilang, binatang yang melarikan diri, membangunkan
dinding, menggalikan sumur baginya sampai keluar air, membuat anaknya
hafalan Al-Qur‟an, menang dalam pertandingan tertentu, dan sebagainya.19
Secara terminologi, ji’alah berarti suatu iltizaam (tanggungjawab) dalam
bentuk janji memberikan imbalan atau upah tertentu secara suka rela terhadap
orang yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang belum
pasti dapat dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan. Akad dalam ji’alah
identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuah pekerjaan yang belum
pasti dapat diselesaikan. Jika seseorang mampu menyelesaikan, maka ia berhak

4
mendapatkan upah atau hadiah.20 Istilah ji’alah menurut Wahbah al Zuhaili
dalam kitabnya mendefinisikan ji’alah dengan ungkapan sebagai berikut:
“Kesepakatan memberikan imbalan atas suatu pekerjaan tertentu atau
pekerjaan yang belum pasti dilakukan.”
Ji’alah juga dapat diartikan sebagai tindakan meminta mengembalikan barang
yang hilang dengan upah atau bayaran yang ditentukan. Dalam hal ini, ji’alah
bukan hanya sekedar untuk meminta pengembalian barang yang hilang namun
juga bisa pekerjaan yang bisa menguntungkan seseorang. Begitu pula dengan
imbalannya, tidak harus berupa uang.21 Jika dipahami konsep ji’alah secara
ringkas adalah suatu akad perjanjian untuk memberikan upah atau imabalan
atas suatu pekerjaan yang masih belum pasti bisa dikerjakan. Apabila
pekerjaan tersebut telah selesai dikerjakan dan memenuhi syarat, maka janji
untuk memberikan upah atau imbalan wajib untuk diberikan.22
Apa itu Luqathah?
Banyak dialek yang digunakan untuk mengungkapkan kata luqathah. Yang
paling mashur adalah dibaca dengan huruf lam berharkat dhammah, qaf dibaca
fathah atau mati. Al-Khalil berkata, “Huruf qaf-nya mati. Jika qaf dibaca fathah
maka yang dimaksud adalah orang yang menemukan luqathah (laaqith).
Demikian secara qiyas. Hanya saja para ahli bahasa dan hadis membaca qaf-
nya dengan harakat fathah. Hingga boleh dikatakan selain itu tidak boleh.” (Al
Bassam 2006, 159)
Menurut istilah fiqh Barang Temuan itu sama dengan “luqathah”.
Mendengar barang temuan / luqathah tersebut maka hal ini tertuju kepada
bentuk suatu tindakan yang mendapatkan sesuatu milik orang lain secara tidak
sengaja, sedangkan benda tersebut tidak diketahui siapa pemiliknya. Ini berarti
bahwa benda yang ditemukan itu bukanlah kepunyaan si penemu, melainkan
milik orang lain. Luqathah berasal dari bahasa Arab, yaitu: ‫ لقط‬- ‫ لقطم‬yang
berarti “benda yang tertinggal dan didapati tak tahu siapa yang punya”. (Yunus
Tth, 400)
Luqathah secara Etimologi berarti “barang temuan”. Kata barang ini
bersifat umum, bukan dikhususkan pada barang tertentu saja. Al-Luqathah juga

5
berarti sesuatu yang diperoleh setelah diusahakan, atau sesuatu yang dipungut.
(Haroen 2000, 260)
Secara Terminologis Fiqh, ada beberapa defenisi Luqathah yang
dikemukakan Ulama Fiqh, yaitu:
1. Luqathah menurut Abu Hanifah adalah:
“Harta yang ditemukan seseorang tidak diketahui pemiliknya dan harta
tidak termasuk harta yang boleh dimiliki (mubah), 14 seperti harta
milik kafir harbi (kafir yag memusuhi orang Islam)”. (Haroen 2000,
260) 2.1.2.
2. Ibnu Rusyd, Luqathah adalah:
“ Sesungguhnya yang dilakukan Luqathah adalah tiap-tiap harta orang
Muslim yang ditemui karena sia-sia baik di negeri yang sunyi, baik
benda/hewan sama saja, kecuali unta”. ( Rusyd 1990, 229 ) 2.1.3.
3. Menurut Ibnu Qudamah Hanbali, adalah:
“Harta seseorang yang hilang atau jatuh dari pemiliknya dan ditemukan
oleh orang lain.” (Zuhaili 1989, 769) 2.1.4.
4. Menurut Sayyi`d Sabiq, Luqathah adalah:
“Barang temuan adalah tiap-tiap harta yang terpelihara oleh seseorang
pada suatu tempat karena hilang dan tidak tahu pemiliknya”. ( Sabiq
1981, 242) 2.1.5.
5. Menurut Sudarsono, SH, barang temuan adalah:
menemukan harta seorang di jalan, yang hilang karena jatuh, terlupa
dan sebagainya. (Sudarsono, tth, 505)
Beberapa pengertian yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan
bahwa yag dikatakan Luqathah adalah barang yag tercecer di jalan dan
ditemukan oleh orang lain. Barang temuan disini bisa termasuk kepada harta,
binatang dan manusia. Secara syara’, luqathah adalah harta yang hilang dan ia
termasuk barang yang dinginkan oleh orang-orang secara umum. ( Al Bassam
2006, 159 )

6
B. Dasar Hukum Wadi’ah, Ji’alah, dan Luqathah.

Dasar Hukum Wadi’ah

Dalil yang menghadirkan akad ini yaitu Q.S An-Nisa: 58

artinya,

“sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang


berhak merimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia
hendaknya kamu  menetapkanya dengan adil. Sungguh, sebaik-baik yang
memberi pengajaran kepadamu. Sungguh Allah maha mendengar, maha
melihat”

Dasar Hukum Ji’alah

Dalam sejarah, Al-Qur‟an menceritakan tentang kisah saudara Nabi Yusuf


yang mendapatkan pengumuman tentang hilangnya gelas atau piala raja.
Sehingga bagi siapa saja yang bisa menemukannya, maka dijanjikan untuk
diberi hadiah.23 Hal tersebut tercantum dalam surah Yusuf ayat 72:

Artinya: “Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan


siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan
(seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".24

Ayat tersebut menjelaskan bahwa raja pada waktu itu melakukan praktik
ji’alah dalam bentuk sayembara berhadiah bagi siapa saja yang bisa
menemukan piala raja, maka akan diberikan upah beruapa bahan makanan
seberat beban unta. Dalam hadis juga terdapat dalil mengenai ji’alah yang
berasal dari riwayat Imam Bukhari dari Abu Sa‟id al Khudri tentang kisah

7
sekelompok sahabat yang sedang safar, lalu mereka meruqyah seorang
pemimpin sebuah kampung yang saat itu sedang digigit ular dengan surah Al-
Fatihah.

Menurut mazhab Hanafiyah, akan ji’alah tidak diperbolehkan karena


mengandung unsur gharar didalamnya. Yakni ketidakjelasan atas pekerjaan
dan jangka waktu yang ditentukan. Hal ini dianalogikan dengan akad ijarah
yang menyaratkan kejelasan pekerjaan, upah dan jangka waktunya. Namun,
ada sebagian ulama Hanafiyah yang memperbolehkan karena ada nilai manfaat
didalamnya. Dalam mazhab Maliki, Hambali dan Syafi‟i akad ji’alah
diperbolehkan dengan dalil kisah Nabi Yusuf dan para saudaranya.28

Dasar Hukum Luqathah

Ulama berbeda pendapat tentang hukum mengambil barang temuan, ada


pendapat yang mengatakan hukumnya dianjurkan (mustahab), bila barang yang
ditemukan itu berada di tempat yang aman, dan tidak menyebabkan hilang bila
tidak diambil. Pendapat kedua mengatakan, hukumnya wajib bila barang itu
berada ditempat yang tidak aman, yang menyebabkan barang itu hilang jika
tidak diambil. Menurut Ibnu Hubair, hukumnya boleh (mubah).

Berdasarkan hadis Rasulullah SAW:

“Rasulullah SAW ditanya mengenai luqathah emas dan perak. Beliau lalu
menjawab, “kenalilah pengikat dan kemasannya. Kemudian umumkan selama
satu tahun.jika kamu tidak mengetahui (pemiliknya) gunakanlah dan hendaklah
menjadi barang titipan padamu. Jika suatu hari nanti orang yang mencarinya
datang berikanlah kepadanya. (HR.Bukhari Muslim).

Ada Ulama yang berpendapat bahwa mengambil barang temuan itu hukumnya
mustahab (dianjurkan), seperti yang dikemukakan oleh Abu Hanifah.
Menurutnya, seorang muslim wajib memelihara harta benda saudaranya yang
tersia-sia, dan karena itu lebih utama bila ia mengambil dan menyimpan
sesuatu yang ditemukannya tersia-sia itu. Rasulullah SAW bersabda:

8
“Sesungguhnya Allah akan menolong hambanya selama hambanya itu
menolong saudaranya.” Imam Malik dan sekelompok Hanabilah berpendapat
bahwa memungut barang temuan itu hukumnya makruh.

Alasannya ialah karena seseorang tidak boleh mengambil harta saudaranya


serta dikhawatirkan orang yang mengambil itu bersifat lalai menjaga atau
memberitahukannya. Bila pernyataan diatas diamati, kelihatan bahwa
ketentuan itu masih bersifat umum.

Para Ulama kelompok Hanafiyah dan Syafi’iyah memberikan uraian yang


lebih rinci berdasarkan illat hukum. Dua golongan ulama tersebut berpendapat
bahwa sesungguhnya bila barang temuan iu dikhawatirkan akan jatuh ketangan
orang fasik bila tidak dipungut sedangkan ia mampu memegang amanah, maka
hukum mengambil barang temuan itu dianjurkan. Bila tidak ada kekhawatiran,
hukum mengambilnya menjadi mubah. Namun, bila seorang mengetahui
bahwa dirinya akan berlaku khianat terhadap benda yang dipungutnya itu maka
hukum mengembilnya menjadi haram.

‫ال أيوي الضا لة إال ضال‬.

Artinya: “Tidaklah melindungi hewan yang sesat itu kecuali ia seorang


yang sesat.”

Disamping itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa memungut


barang temuan itu hukumnya wajib. Hal ini berlaku bila sekitar barang temuan
itu berada ditengah-tengah kaum yang tidak dapat dipercaya, sedangkan imam
masyarakat itu seorang yang adil. Dalam keadaan yang demikian, imam wajib
memungut barang temuan. Pemegang barang temuan berkewajiban menjaga
dan memelihara barang yang dipungutnya sebagaimana ia menjaga harta benda
miliknya sendiri. Ia tidak boleh menyia-nyiakannya, sebab secara moral dan
agama pemungutan itu mengandung nilai amanah yang harus di tunaikan, baik
barang yang dipungutnya itu bernilai murah ataupun bernilai tinggi.

9
Kedudukan Luqathah itu dari segi pemeliharaan amanah sama
dengan wadi’ah (titipan) yang mesti dipelihara dengan sebaik-baiknya.23
Fuqaha berbeda pendapat seputar status hukum Luqathah setelah selama
satu tahun diumumkan namun pemilikya tidak juga diketahui.

Dalam hal ini ada dua pendapat.

Pendapat pertama mengatakan , mulltaqith boleh memilikinya jika ia


adalah orang miskin, jika ia orang kaya maka tidak boleh.

Pendapat kedua mengatakan, mulltaqith boleh memilikinya secara mutlak,


baik apakah ia orang miskin maupun orang kaya.

Ulama Hanafiyyah mengatakan, apabila ia mulltaqith orang kaya,


maka ia tidak boleh memanfaatkan atau menggunakan Luqathah tersebut.
Akan tetapi ia harus menyedekahkannya kepada orang-orang miskin, baik
kepada orang miskin yang bukan kerabatnya, maupun kepada orang
miskin yang masih termasuk kerabatnya meskipun ia adalah kedua orang
tuanya, atau istrinya, atau anaknya sendiri. Karena Luqathah itu adalah
harta orang lain, sehingga oleh karena itu tidak boleh dimanfaatkan dan
digunakan tanpa kerelaan pemiliknya. Hal ini berdasarkan kemutlakan
nash-nash agama yang menyatakan larangan “memakan” harta orang lain
secara batil, baik dari Al-Quran maupun hadits diantaranya adalah
surahAl-Maidah: 87

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan


apaapa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah
kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas.

Rasulullah SAW. Bersabda, “Tidak halal harta seorang muslim


kecuali dengan kerelaan hatinya.”

Sementara itu, Ulama Malikiyah berpendapat, Luqathah itu bisa menjadi


milik multaqith dengan syarat ia memperbaharui keinginan dan

10
maksudnya untuk memilikinya, karena tidak adanya ijab dari orang lain.
Sedangkan ulama Syafi’iyah mengatakan, luqathah itu menjadi milik
mulltaqith jika ia berkeinginan memilih untuk memilikinya dengan
mengucapkan suatu perkataan yang menunjukan hal itu, seperti aku ingin
memiliki Luqathah yang aku temukan dan pungut ini.

Alasanya adalah, karena kepemilikan atas luqathah itu adalah bentuk


pemilikan dengan adanya ganti, maka disini dibutuhkan adanya keinginan
memilih untuk memilikinya, sama seperti yang berlaku dalam kasus syafi’i
memiliki al-Masyfu’ fihi dengan berdasarkan hak syuf’ah. Ulama sepakat
kecuali ulama mazhab Azh-Zhahiri, bahwa apabila multaqith memakan
(menggunakan, mengkonsumsi) luqathah yang dipungutnya, maka ia
menanggung untuk menggantinya.25

C. Syarat dan Rukun Wadi’ah dan Luqathah

Syarat dan Rukun Wadi’ah

Setiap kegiatan baik dalam rangka ibadah dan muamalam pasti


memiliki rukun yang menyertainya. Berikut ini rukun-rukun akad wadiah
menurut jumhur ulama:

1. Mudi, (orang yang menitipkan barang)


2. Wadii’ (orang yang dititipi barang)
3. Wadi’ah (barang yang dititipkan)
4. Sighat titipan (ijab-qobul)

Menurut ulama hanafiah rukun wadi’ah hanya ada satu yaitu


adanya ijab qobul (sighat), sedangkan menurut madzhab Syafi’i dan
hambali memiliki tambahan syarat  ialah barang tersebut harus memiliki
nilai atau qimah sehingga dapat dipandang sebagai maal.

11
Syarat-syarat Wadi’ah
1. Syarat yang terkait penitipan dan penerima titipan (aqidain) harus
orang yang termasuk ithlaq al-tasharruf (bebas melakukan
transaksi). Maka dianggap tidak sah akad wadi’ah apabila yang
dilakukan oleh anak kecil, orang tidak waras (gila), dan mahjur
alaih bi safih (orang bodoh yang tidak mengerti mata uang).
Persyaratan tersebut diperjelas dengn penambahan aqil baligh oleh
jumhur ulama.
Berbeda dengan jumhur ulama, Imam Abu Hanifah boleh
bagi anak yang belum baligh melakukan akad wadi’ah, asalkan
mendapatkan  izin dari orang tua atau walinya.
2. Syarat yang terkait dengan barang yang menjadi objek akad
wadi’ah harus muhtaramah, dianggap mulya oleh syara’. Meskipun
barang tersebut tidak memiliki nilai jual. Disamping itu barang
yang dititipkan juga harus diketahui indentitasnya dan bisa
dikuasai untuk dipelihara.
Syarat dan Rukun Luqathah
1. Orang yang mengambil Jika yang mengambil barang tersebut
adalah orang yang tidak adil, hakim berhak menyerahkan barang
temuan tersebut kepada orang yang adil dan ahli. Jika
yangmengambil anak kecil, maka hendaknya diurus oleh walinya.
2. Bukti barang temuan Ada empat kategori barang temuan
a. Barang yang dapat disimpan lama seperti emas dan perak,
hendaknya disimpan ditempat yang sesuai dengan barang
itu, kemudian diberitahukan kepada di tempat-tempat yang
ramai dalam satu tahun. Hendaklah pula dikenal beberapa
sifat barang yang ditemukannya itu, umpamanya tempat,
tutup, ikat, timbangan, atau bilangannya. Sewaktu
diterangkan jangan semuanya, agar jangan terambil oleh
orang-orang yang tidak berhak.

12
b. Barang yang tidak tahan disimpan lama seperti makanan.
Orang yang mengambil barang seperti itu boleh memilih
antara mempergunakan barang itu, asal dia sanggup
menggantinya apabila bertemu dengan pemilik barang, atau
uangnya disimpan jika kelak bertemu dengan pemiliknya.
c. Barang yang dapat tahan lama dengan usaha seperti susu
dapat disimpan lama apabila dibuat keji. Yang mengambil
hendaklah memperhatikan yang lebih berfaedah bagi
pemiliknya.
d. Suatu yang membutuhkan nafkah, yaitu binatang atau
manusia umpamanya anak kecil. Sedangkan binatang ada
dua macam: pertama, binatang yang kuat; berarti dapat
menjaga dirinya sendiri terhadap binatang yang buas,
misalnya unta, kerbau, atau kuda. Kedua, binatang yang
lemah, tidak kuat menjaga dirinya terhadap bahaya
binatang yang buas.
Binatang seperti ini hendaklah diambil. Sesudah diambil
diharuskan melakukan salah satu dari tiga cara:
1) disembelih, lalu dimakan, dengan syarat “sanggup membayar
harganya apabila bertemu dengan pemiliknya”.
2) dijual, dan uangnya disimpan agar dapat diberikannya kepada
pemiliknya.
3) Dipelihara dan diberi makan dengan maksud menolong semata-
mata.
Kalau barang yang didapat itu barang yang besar atau berharga,
hendaklah diberitahukan dalam masa satu tahun. Tetapi kalau barang yang
kecil-kecil (tidak begitu berharga), cukup diberitahukan dalam masa kira-
kira yang kehilangan sudah tidak mengharapkannya lagi.26
Rukun Luqathah ada tiga macam seperti pertanyaan berikut ini
27.‫ القطو ملقوط ولقط‬: ‫وأركاهنا‬

13
Artinya: rukun-rukun luqathah itu orang yang menemukan (latif)
dan benda yang ditemukan (malqut) dan penemuannya (Luqat) Hal yang
sama di kemukakan oleh as-Syarqawi dalam kitab nya asSyarqawi’ala at-
tahrir sebagai berikut:
Artinya: rukun Luqathah itu ada tiga yaitu, penemuan (iltiqat) dan
orang yang menemukan luqathah (multaqith) dan benda yang ditemukan
(luqathah) dengan makna sesuatu benda yang ditemukan.
1) Orang yang mengambil berstatus merdeka, baliqh, sebab barang
temuan mengandung makna penguasaan dan orang yang tidak
merdeka dan belum baligh bukan termasuk yang memiliki kuasa
2) Hendaklah ia merasa aman dengan dirinya sendiri, jika dia tidak
merasa aman dengan dirinya sendiri, maka tidak boleh
mengambilnya demi menghindari pengkhianatan.
3) Barang yang ditemuakan bisa diumumkan, seperti emas, perak,
perhiasan, pakaian dan yang lainnya.
Syarat Luqathah
1) Persyaratan yang berhubungan dengan orang yang menemukan
barang luqathah
As-Syarqawi menjelaskan bahwa syarat yang berhubungan dengan
orang yang menemukan luqathah adalah sebagai berikut :
29 ‫ور علیھ‬d‫یر محج‬dd‫دل ح غ‬d‫ف ع‬dd‫لم مكل‬dd‫نھ مس‬
‫بسفھ‬
Artinya: Bahwa orang islam, mukallaf, adil, merdeka, tidak
dalam pengampunan dengan sebab ketidak tahuannya (bodoh).
Ar-Ramli menjelaskan keberadaan persyaratan yang berhubungan
dengan orang yang menemukan barang temuan (luqhatah) yaitu :
Artinya: Dan bahwa ditetapkan orang yang boleh
menemukan barang temuan itu bagi mukallaf, merdeka, orang
kaya, atau fakir, orang islam, adil, cerdas, maka jika orang yang
menemukan luqathah itu anak-anak atau orang gila atau orang
fasiq atau orang di bawah pengampuan dengan sebab bodoh

14
sekalipun orang kafir menjadi islam maka hakim harus mengambil
darinya. Menganalisa pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa
syarat yang berhubungan dengan orang yang menemukan luqathah
adalah :
a. Muslim
b. Mukallaf
c. Adil
d. Merdeka
e. Tidak di bawah pengampuan karena bodoh.
1) Persyaratan Yang Berhubungan Dengan Benda Yang Ditemukan
Adapun benda yang ditemukan tidak ditentukan jenisnya baik bergerak
atau tidak. Persyaratan yang berhubungan dengan benda yang ditemukan
dapat dilihat melalui pernyataan di bawah ini :
Artinya: Dengan makna sesuatu yang ditemukan dan maksudnya
adalah semua yang mencakup dengannya beserta bendanya. Karena dilihat
dari keadaan bagi orang yang menemukannya bukan dilihat melalui benda
(zat) yang ditemukan.
Berdasarkan pernyataan diatas dapat dipahami bahwa persyaratan
yang berhubungan dengan benda yang ditemukan tersebut tidak menjadi
masalah karena benda yang ditemukan tidak ditentukan jenis bendanya
seperti hewan ataupun yang lainnya, namun persyaratan yang dimaksud
adalah melihat kepada keadaan menemukannya, dengan demikian tidak
ditentukan jenis benda yang ditemukannya sebagaimana pernyataan
berikut ini :
‫والفر ق في ا لمال بین الحیو ان وغیره وال في الحیوان بین ا لمأكول و غیره‬
Artinya: Dan tidak dibedakan pada harta benda diantara hewan (
binatang) dan selain binatang dan tidak ada dibedakan antara hewan
yang boleh dimakan ataupun tidak boleh dimakan.
2) Persyaratan Yang Berhubungan Dengan Benda Yang Penemuannya
Tersebut memang benar-benar ditemukan, hal ini seperti dalam
persyaratan di bawah ini :

15
‫و قولھ ا لتقاط ي مطلقا‬
Artinya: Dan perkataannya penemuannya, maksudnya adalah
seorang mengambilnya (menemukan) secara mutlak.
Dalam menerangkan rukun dan syarat luqathah tersebut ternyata
mazhab Syafi’i dan mazhab Maliki tidak jauh berbeda dalam penetapan
rukun dan syaratnya. Hal ini disebabkan kedua Mazhab menetapkannya
melihat kepada persyaratan yang berkaitan dengan rukun-rukun tersebut
Persyaratan tersebut sangat dipastikan berkaitan dengan rukun-rukun
tersebut. Dengan demikian rukun dan syarat yang dikemukakan keduanya
mazhab banyak memiliki kesamaan.
D. Macam-macam Wadi’ah

1. Wadi’ah yad al-amanah, yaitu titipan yang bersifat amanah belaka.


Kedua pihak (penitip dan yang dititipi) melakukan kesepakatan bahwa
barang yang dititipkan tidak digunakan dalam hal apapun oleh pika
yang dititipi. Pihak yang diberi amanah hanya menjaga keberadaan
harta yang dititi tersebut.  Dalam kondisi yang seperti ini tidak ada
kewajiban bagi orang yang dititipi untuk menanggung kerugian jika
barang titipan rusak, terkecuali ada unsur kesengajaan atau karena
kelalaian.
2. Wadiah yad al-dhamanah, akad titipan dimana pihak yang dititipi harus
menanggung kerugian. Akad wadi’ah pada dasarnya bersifat amanah.
Namun, saja bisa berubah menjadi dhamanah dengan sebab-sebab
berikut ini;
a. Barang tidak dipelihara dengan baik oleh penerima titipan.
Apabila seseorang merusak barang titipan, dan pihak yang
dititipi tahu dan tidak berusaha untuk mencegah hal tersebut
padahal ia mampu, maka pihak yang dititipi wajib menanggung
kerugian.
b. Barang titipan kemudian dititipkan kepada orang lain yang tidak
termasuk keluarga deket dan tidak dibawah tanggung jawabnya.

16
c. Barang titipan tersebut dimanfaatkan oleh pihak yang menerima
titipan. Dalam hal ini ulama fiqh sepakat bahwa orang yang
dititpi barang apabila orang tersebut menggunakan barang
titipan, maka orang yang dititpi wajib membayar ganti rugi,
sekalipun kerusakan tersebut disebabkan oleh faktor lain diluar
kemampuanya.
d. Orang yang dititipi barang itu mencampurkan barang titipan
dengan harta pribadinya, sehingga sulit untuk dipisahkan.
Jumhur ulama sepakat  bahwa apabila pihak yang dititipi
barang  mencampur barang titipan dengan harta milik
pribadinya, semenstara barang titipan  sulit untuk dipisahkan,
maka pemilik berhak untuk menuntut ganti rugi barang tersebut.
e. Penerima barang titipan melanggar syarat-syarat yang telah
disepakati. Misalnya, ketika akad wadi’ah dilaksanakan, kedua
belah pihak  sepakat bahwa barang yang dititipkan ditaruh
dibrankas. Akan tetapi pihak penerima titipan tidak
melakukannya. Maka jika barang titipan rusak atau hilang
pemilik barang berhak menuntut ganti rugi.

Maka, berdasarkan beberapa sebab di atas, wadi’ah yang semula


merupakan amanah berubah menjadi dhamanah. Dimana pihak yang
dititipi punya tanggungjawab penuh terhadap keberadaan harta titipan
tersebut. Berawal dari logika seperti inilah akad wadi’ah di terapkan pada
Lembaga Keuangan Syariah.

E. Aplikasi Wadi’ah dan Ji’alah dalam Perbankan Syariah


Wadiah Dalam Praktek Perbankan Syariah

Wadiah terkait dengan praktek dalam perbankan pada awalnya


hanyalah sebuah akad amanah yang sederhana dikemas sedemikian rupa oleh
perbankan dalam rangka mengakomodasi uang tabungan nasabah yang ada
dalam bank. Dengan alasan untuk menghindari riba akad ini digunakan untuk

17
mengakomodasi nasabah yang berkeinginan uangnya aman. Bank siap
menerima titipan uang.

Mengingat salah satu fungsi perbankan adalah lembaga mediasi


permodalan. Tentunya uang yang ada di dalam bank tidak di diamkan begitu
saja, namun juga digunakan dengan tujuan investasi atau pembiayaan, yang
secara otomatis bercampur dengan uang milik bank yang lain. Karena dengan
praktek ini, pihak bank mendapatkan keuntungan, maka bank dengan sukarela
memberikan sebagian keuntungannya kepada nasabah. Titik Inilah yang
disebut munculnya perkembangan dalam akad wadi’ah

Perbankan dapat mempraktekkan akad wadi’ah ini khususnya dalam


rangka untuk melakukan penghimpunan dana masyarakat (funding).
Berdasarkan akad wadi’ah ini jenis produk perbankan yang dapat diaplikasikan
diantaranya:

1) Giro wadi’ah bank. Yang dapat diartikan sebagai bentuk simpanan


yang penarikannya dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek,
bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara
pemindahbukuan yang didasarkan pada prinsip titipan. Dalam giro
wadi’ah nasabah tidak mendapatkan keuntungan berupa bunga,
melainkan bonus yang nilainya tidak boleh diperjanjikan di awal akad.
Sesuai dengan fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama
Indonesia No. 01/DSN-MUI/IV/2000 Giro wadi’ah yang dapat
dipraktekkan oleh perbankan syari’ah adalah giro wadi’ah yang
memenuhi persyaratan bersifat titipan, titipan bisa diambil kapan saja
(on call), tidak ada imbalan yang diisyaratkan, kecuali dalam bentuk
pemberian (‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.

Selanjutnya bank syariah memberlakukan giro sebagai titipan


wadi’ah yad al-dlamanah. Dana titipan ini dapat dipergunakan oleh
bank sebagai penerimaan titipan selama dana tersebut mengendap di
bank. Tetapi bank punya kewajiban untuk membayarnya setiap saat jika

18
nasabah mengambil titipan tersebut. Sebagai imbalan dari titipan yang
dimanfaatkan oleh bank syariah, nasabah dapat menerima imbal jasa
dari pemanfaatan dana yang mengendap di bank dalam bentuk bonus.
Akan tetapi bonus yang akan diterima kan oleh pihak bank kepada
nasabah tidak boleh diperjanjikan di awal titik pihak nasabah harus
memahami bahwa bonus yang kemungkinan diterima adalah hak penuh
pihak bank untuk memberikannya atau tidak.

2) Tabungan wadiah yad al-dlomanah, adalah rekening tabungan yang


memberlakukan ketentuan dapat ditarik setiap saat dan bukan tabungan
berjangka. Rekening tabungan seperti ini pada dasarnya hampir sama
dengan giro yang dapat ditarik setiap saat. Hal yang membedakannya
hanya pada mekanisme penarikannya saja. Sedangkan kalau dilihat dari
jenis simpanan nya sama dengan giro, maka aturan tentang pemberian
bonus atau imbalan lainnya pun sama dengan rekening giro.

Skema Akad Wadiah al-dlomanah:

Kalau dari uang yang diputarkan pada akad wadiah dhamanah dan
bank mendapatkan keuntungan apakah keuntungan itu harus dibagikan?
Nah, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya kalau pada akad wadiah,
bank tidak memiliki hak untuk memberikan bonus. Tetapi, umumnya

19
Bank memberikan keuntungan tersebut sebagai hadiah/bonus untuk
nasabah secara sukarela dan dalam islam hal tersebut diperbolehkan.

Bila dilihat dari skema di atas maka barang/aset yang


ditipkan diputar oleh bank pada suatu usaha yang kemudian dari
usaha tersebut menghasilkan keuntungan yang diperuntukan
khusus untuk bank. Keputusan bank untuk memberikan bonus atau
tidak maka itu tergantung dari kebijakan bank itu
3) Di samping itu, perbankan juga dapat mempraktekkan wad’iah Yad Al-
amanah dengan jalan pemberian jasa safe deposit box. Dimana nasabah
yang membutuhkan jasa ini akan mendapatkan fasilitas penyimpanan
barang berharga mereka dalam bentuk kotak penyimpanan dengan
inisial tertentu, menyimpan dan memegang kunci sendiri. Pihak bank
akan menerima upah titipan yang ditentukan dan secara keseluruhan
akan menjaga keamanan lingkungan dan ruang penyimpanan melalui
prosedur administrasi keluar dan masuk ruang penyimpanan serta
pengawasan dari karyawan yang ditunjuk.

Skema Akad Wadiah Al-amanah:


 

Dari skema tersebut, akad wadiah amanah tergambar pada proses


yang lebih sederhana. Yaitu pihak penitip akan memberikan barang
untuk dititipkan. Namun, sebagai jasa atas penyimpanan maka penitip
memberikan bayaran. Ini biasanya terjadi di Bank Syariah pada produk
save deposit box.
Aplikasi Ji’alah dalam Perbankan Syariah

20
Aplikasinya yaitu pada SBIS ( Sertifikat Bank Indonesia Syariah ).
SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu
pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh bank Indonesia
menggunakan akad ji’alah ( janji atau komitmen ) untuk memberikan
ketidakseimbangan tertentu atas standar hasil yang ditentukan dari suatu
pekerjaan
F. Hukum Mengumumkan Luqathah.

Orang yang memungut barang temuan harus memastikan tandatandanya yang


membedakannya dari barang-barang lainnya, seperti tempat dan talinya, serta
segala sesuatu yag berkaitan dengannya, seperti jenis, tipe, dan kuantitasnya. Dia
harus menjaga barang tersebut sebagaimana dia menjaga hartanya. Sama saja
dalam hal ini antara barang yang berharga dan yang tidak berharga. (Sabiq 2013,
221)

“Dan dari “Iyadl bin Himar, ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda, ‘Barang siapa
yang menemukan barang pungutan maka hendaklah dia mencari saksi dua orang
yang adil, atau hendaklah dia pelihara tutup dan tempatnya, kemudian jika si
pemiliknya datang maka janganlah dia sembunyikan barang tersebut, karena
dialah yang lebih berhak atasnya. Akan tetapi jika si pemiliknya tidak datang
maka barang itu adalah harta Allah yang ia berikan kepada siapa yang Ia
kehendaki”. (HR Ahmad dan Ibnu Majah) (diterjemahkan oleh Hamidy, Imron,
Fanany 1994, 1958) Barang tersebut menjadi titipan di tangannya. Dia tidak
bertanggung jawab ketika barag tersebut rusak kecuali apabila dia bertindak
zalim. Kemudia dia harus menyebarkan berita tentang barang tersebut kepada
masyarakat dengan segala sarana, baik dipasar maupun di tempat-tempat lainnya
dimana dia menduga bahwa pemilik barang tersebut ada disana. (Sabiq 2013, 221)
Adapun rentang waktu untuk mengumumkan barang temuan, sebagaimana hadist
Nabi SAW yang berbunyi sebagai berikut:

Artinya: Dari Salamah; aku mendengar Suwaid bin Ghaflah berkata: Aku bertemu
Ubay bin Ka’ab RA, lalu dia berkata, “Aku mendapat pundi yang berisi 100 dinar,
lalu aku membawanya kepada Rasulullah SAW. maka beliau bersabda,

21
‘Umumkan selama satu tahun!’ aku mengumumkan selama satu tahun dan belum
mendapatkan orang yang mengenalinya. Lalu aku datang kepada Nabi SAW.
maka beliau bersabda, ‘Umumkan (lagi) selama satu tahun!’ Akupun
mengumumkan kembali selama satu tahun, namun tidak mendapati orang yang
mengenalinya. Kemudian aku mendatangi Nabi SAW. untuk yang ketiga kalinya,
maka beliau bersabda, ‘Kenali tempatnya, jumlahnya dan pengikatnya, apabila
pemiliknya datang, (maka serahkan kepadanya); dan jika tidak, maka
manfaatkanlah’. Maka, akupun memanfaatkannya. Setelah itu aku bertemu dia di
Makkah dan berkata, ‘Aku tidak tahu, apakah tiga tahun atau satu tahun saja”.
(Asqalani 2005, 444) Dalam hadist diatas bahwa ulama Mutaakhirin (generasi
terakhir) dalam madzhab Syafi’i berkata, “Ada kemungkinan kewajiban
menyerahkan barang temuan kepada orang yang mampu menyebutkan sifatnya
dengan benar adalah berlaku sebelum barang itu dimiliki, karena pada saat itu
barang tersebut merupakan harta yang hilang dan tidak terkait hak dengan pihak
kedua. (Asqalani 2005, 447) Al-Mundziri berkata, “tidak seorang pun diantara
imam ahli fatwa yang mengatakan bahwa barang temuan diumumkan selama tiga
tahun, kecuali sekilas keterangan yang dinukil dari Umar.” Pendapat yang
mengatakan diumumkannya barang temuan selama tiga tahun telah dinyatakan
oleh Al-Mawardi sebagai salah satu pendapat yang ganjil dikalangan ahli fikih.

Ibnu Mundzir menukil dari Umar empat pendapat; yaitu tiga tahun, satu tahun,
tiga bulan, dan sepuluh hari. Tapi semua ini diterapkan sesuai dengan besar
kecilnya barang temuan. Lalu Ibnu Hazm menambahkan pendapat kelima dari
Ibnu Umar, yaitu selama empat bulan. Setelah itu, Ibnu Hazm dan Ibnu Al Jauzi
menegaskan bahwa tambahan ini adalah salah. Dia berkata, “adapun yang tampak
bahwa Salamah telah melakukan kekeliruan, lalu dia kembali ingat dan terus
meriwatkan lafazh ‘satu tahun’, dan tidak boleh dijadikan pedoman kecuali
riwayat yang tidak mengandung unsur keraguan dari para perawi.” Ibnu Al-Jauzi
berkata berkata, “Ada kemungkinan Nabi SAW mengetahui bahwa pengumuman
itu belum dilakukan sebagaimana mestinya, maka beliau SAW memerintahkan
Ubay untuk mengumumkan kembali selama satu tahun, sama seperti sabda beliau

22
terhadap orang yang salah shalatnya ‘kembali dan shalat, sesungguhnya engkau
belum shalat”. Demikian menurut pernyataan Ibnu Al Jauzi, akan tetapi cukup
jelas hal ini tidak mungkin terjadi pada diri Ubay, sementara dia tergolong ahli
fikih terkemuka di kalangan sahabat. Penulis kitab Al Hidayah (salah seorang
ulama madzhab Hanafi) menyebutkan satu pendapat dalam madzhab mereka
bahwa perintah untuk mengumumkan barang temuan diserahkan kepada
kebijakan orang yang menemukannya. Namun, hendaknya mengumumkan barang
itu hingga timbul keyakinan yang kuat bahwa pemiliknya tidak akan mencari
setelah itu. (Asqalani 2005, 448-449) Apabila pemilik barang tersebut datang lalu
menjelaskan tandatanda dan ciri-ciri yang membedakannya dari barang-barang
lainnya maka penemu boleh menyerahkannya kepadanya, meskipun dia tidak
menunjukkan bukti. Apabila si pemilik tidak kunjung datang maka penemu harus
mengumumkan barang tersebut selama satu tahun maka boleh bagi penemu untuk
menyedekahkannya atau memanfaatkannya, baik dia kaya maupun miskin, dan
dia tidak wajib menggannti. (Sabiq 2013, 221) Hukum mengumumkan barang
temuan berbeda-beda. Terkadang hukumnya wajib, kadang menjadi mandud
(sunnah) sesuai keinginan dan niat orang yang mengambilnya. Jika dia
mengambilnya dengan niat menjaga dan tidak untuk dimiliki, maka tidak wajib
mengumumkannya, sebab pengumuman tujuannya untuk memiliki sedangkan dia
tidak berniat memiliki, maka tidak wajib dan hanya mustahab. Dan jika dia
berniat memilikinya, maka mengumumkannya menjadi wajib. Namun pendapat
yang rajih (unggul) dalam mazhab Syafi’i bahwa pengumuman adalah wajib
secara mutlak baik untuk dijaga atau dimiliki. Imam An-Nawawi mengatakan
inilah pendapat yang lebih kuat dan yang menjadi pilihan dalam mazhab. ( Azzam
2014, 279) Jika dia berniat untuk memiliki, maka tidak boleh dimiliki kecuali
setelah dia mengumumkannya selama satu tahun sesuai dengan hadis Zaid bin
Khalid Al-Juhani bahwa ketika baginda Nabi ditanya tentang barang temuan emas
dan perak baginda menjawab:

“Kenali ikatan dan bungkusnya kemudian umumkan selama satu tahun” (Al-
Albani 2007, 243) Hadis di atas menunjukkan bahwa pengumuman waktunya

23
selama satu tahun dan jika sipemilik tidak datang, maka ia boleh memilikinya jika
dia menginginkannya.

BAB III
PENUTUP

24
A. Simpulan
Dari berbagai penjelasan di atas, maka dapat ditarik sebuah
kesimpulan dahwa Fiqih Muamalah merupakan ilmu yang mempelajari
segala perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan
tujuan memperoleh falah (kedamaian dan kesejahteraan duniaakhirat).
Perilaku manusia di sini berkaitan dengan landasan-landasan syariah
sebagai rujukan berperilaku dan kecenderungan-kecenderungan dari fitrah
manusia. Kedua hal tersebut berinteraksi dengan porsinya masing-masing
sehingga terbentuk sebuah mekanisme ekonomi (muamalah) yang khas
dengan dasar-dasar nilai ilahiyah.
B. Saran
Demikianlah makalah dari kami, kami menyadari masih banyak
kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Maka dari itu, kritik yang
membangun sangat kami harapkan untuk memperbaiki penulisan yang
selanjutnya. Atas perhatian dan partisipasinya kami ucapkan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

25
26

Anda mungkin juga menyukai