Oleh : Kelompok 8
Fitriah (200105030012)
BANJARMASIN
2022
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini tepat pada waktunya meskipun dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Harapan
kami semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman, juga membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga
untuk kedepannya kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini dengan lebih baik.
Kami menyadari bahwa maklah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah Yang Maha Kuasa
senantiasa meridhai segala usaha kita. Aamiin.
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan yang dialami oleh manusia pada masa sekarang dalam hal ekonomi telah
memunculkan berbagai macam jenis transaksi yang tak pernah dikenal sebelumnya dalam Islam.
Namun bukan berarti Islam diam atau menerima berbagai macam perkembangan itu secara
keseluruhan. Islam telah menentukan batasan-batasan yang harus diperhatikan dalam setiap
perkembangan yang ada, bukan berarti Islam membatasi perkembangan manusia namun
memberikan batasan agar perkembangan itu tetap sejalan dengan tujuan utama diturunkannya
syariat untuk maslahat umat manusia (maqashid syari’ah). Di sisi lain, dalam literatur fikih telah
terdapat berbagai macam akad yang telah ditetapkan oleh syariat beserta syarat dan rukunnya,
meski hukum asal dalam muamalah adalah kebolehan namun tetap kita harus berpijak kepada
landasan yang telah dibangun oleh tradisi fikih kita sebagai penyambung antar teks-teks syariat
kepada praktik dalam kehidupan kita saat ini sebagai salah satu proses tanzil al-nash ila al-waqi’
yang tak akan pernah terputus hingga akhir zaman.
Makalah ini akan memaparkan mengenai pandangan fikih terhadap transaksi multiakad
yang telah menjadi kebutuhan dalam kehidupan kita saat ini, sebagai bahan acuan yang perlu
diperhatikan dalam perkembangan bentuk transaksi modern. Makalah ini hanya membahas secara
garis besar mengenai dasar hukum transaksi multi akad dalam pandangan fikih dan tidak akan
masuk terlalu dalam kepada berbagai bentuk transaski multi akad yang telah biasa digunakan atau
yang bisa saja digunakan di masa yang akan datang.
4
2. Apa saja pembagian Wadi’ah ?
3. Apa saja ketentuan umum dari produk Wadi’ah ?
4. Apa saja kewajiban menerima daan cara menjaga Wadi’ah ?
5. Apa saja hukum menerima Wadi’ah ?
6. Apa pengertian Wakalah ?
7. Bagaimana implementasi akad Wakalah dalam lembaga keuangan syariah ?
8. Apa contoh Wakalah
5
BAB II
PEMBAHASAN
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah pasal 370 menyebutkan rukun wadi`ah adalah 1)
muwaddi`/penitip; 2) mustauda`/penerima titipan; 3) wadi`ah bih/harta titipan; 4) akad.
Akad Wadi‟ah yad Dhamanah berbeda dengan akad Wadi‟ah yad Amanah. Pada akad
ini, pihak penyimpan bertanggung jawab atas segala kerusakan atau kehilangan yang terjadi pada
barang/aset titipan. Karena itu, penyimpan harus menjaga kondisi barang yang telah dititipkan
kepadanya dengan baik. Selain itu, pihak penyimpan boleh mempergunakan barang/asset yang
dititipkan tersebut dengan catatan pihak penyimpan akan mengembalikan barang/aset yang telah
dititipkan kepadanya secara utuh pada saat penitip menghendaki barangnya. Penyimpan juga
diperkenankan mencampurkan barang penitip dengan barang penitip lainnya.
1
. Khaerul Umam, Manajemen Perbankan Syariah, (Bandung: Pustaka Setia, 2013) h.30
6
Pihak penyimpan berhak atas keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan dari barang
yang dititipkan kepadanya dan segala resiko yang terjadi juga akan menjadi tanggung jawabnya.
Selain itu, penyimpan diperkenankan untuk memberikan bonus secara sukarela kepada pihak
penitip tanpa ada perjanjian atau kesepakatan berapa rupiah yang akan diberikan. Produk dari jenis
akad wadiah ini adalah Giro Wadiah dan Tabungan Wadiah.2
a) Wadi`ah yad dhamanah yang berarti penerima titipan berhak mempergunakan dana/barang
titipan untuk didayagunakan, tanpa ada kewajiban untuk memberikan imbalan kepada
penitip dengan tetap pada kesepakatan dapat diambil setiap saat diperlukan,
b) Wadi`ah amanah tidak memberikan kewenangan kepada penerima titipan untuk
mendayagunakan barang/dana yang dititipkan. 3
Sesuai dengan pembagian wadi‟ah di atas, maka wadi‟ah yad al- amanah, pihak yang
menerima titipan tidak boleh mengunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang ditipkan,
tetapi harus benar-benar menjaganya sesuai kelaziman. Pihak penerima titipan dapat
membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan. Dengan demikian si penitip tidak
akan mendapatkan keuntungan dari titipannya, bahkan dia dibebankan memberikan biaya
penitipan, sebagai jasa bagi pihak perbankan.4
Adapun wadi‟ah dalam bentuk yad adh-dhamanah pihak bank dapat memanfaatkan
dan menggunakan titipan tersebut, sehingga semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan
tersebut menjadi milik bank (demikian juga bank adalah penanggung seluruh kemungkinan
kerugian). Sebagai imbalan bagi si penitip, ia akan mendapatkan jaminan keamanan terhadap
titipannya. Tapi walaupun demikian pihak si penerima titipan yang telah menggunakan barang
titipan tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan
tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal persentase secara
advance.
2
Wiroso, Penghimpun Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah. (Jakarta : PT Grasindo, 2005),
h.5-6
3
Khaerul Umam, Manajemen Perbankan Syariah...., h.30
4
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syari‟ah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 87
7
Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-
MUI/IV/2000, yang menyatakan bahwa ketentuan umum Giro berdasarkan Wadi‟ah ialah 5
1. Bersifat titipan,
2. Titipan bisa diambil kapan saja (on call), dan
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian („athiya) yang
bersifat sukarela dari pihak bank.
Demikian juga dalam bentuk tabungan, bahwa ketentuan umum tabungan berdasarkan
Wadi‟ah adalah
1. Bersifat simpanan,
2. Simpanan bias diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan,
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian („athiya) yang
bersifat sukarela dari pihak bank. (Fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000.)
.
Prinsip wadi`ah implikasi hukumnya sama dengan Qardh, dimana nasabah bertindak
sebagai yang meminjamkan uang dan bank bertindak sebagai yang peminjam. Prinsip ini
dikembangkan berdasarkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank,
sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian. Bank
dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif. Insentif
yang diberikan untuk menarik dana masyarakat tetapi sama sekali tidak diizinkan untuk
menjanjikan hal ini di awal suatu akad terjadi.
2. Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin dari penyaluran
dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan dengan
prinsip syariah.
3. Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan pengganti biaya administrasi
untuk sekedar menutupi biaya yang benar-benar terjadi.
5
Bambang Murdadi, “Menguji Kesyariahan Akad Wadiah Pada Produk Bank Syariah”, VOL.5 NO.1
(september 2015–februari 2016) h.62
8
4. Ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan tetap berlaku selama
tidak bertentangan dengan prinsip syariah.6
Prinsip wadi‟ah yang diterapkan adalah wadi‟ah yad dhamanah yang diterapkan pada
produk rekening giro. Wadi‟ah dhamanah berbeda dengan wadi‟ah amanah. Dalam wadi‟ah
amanah, pada prinsipnya harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi. Sedangkan
dalam hal wadi‟ah dhamanah, pihak yang dititipi (bank) bertanggung jawab atas keutuhan harta
titipan sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan tersebut. Karena wadi‟ah yang diterapkan
dalam produk giro perbankan ini juga disifati dengan yad dhamanah, maka implikasi hukumnya
sama dengan qardh, dimana nasabah bertindak sebagai yang meminjamkan uang, dan bank
bertindak sebagai yang dipinjami.
Penerima simpanan disebut yad al-amanah yang artinya tangan amanah. Ia tidak
bertanggung jawab atas segala kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada titipan selama hal itu
bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan.
6
Sumar`in, Konsep Kelembagaan Bank Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012) h. 22
7
Muhammad Nadratuzzaman Hosen, Buku Saku Perbankan Syariah, Jakarta 2005, h.37
9
1. Tabungan wadiah merupakan tabungan yang bersifat titipan murni yang harus dijaga
dan dikembalikan setiap saat (on call) sesuai dengan kehendak pemilik harta
2. Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana atau pemanfaatan barang menjadi
milik atau tanggungan bank, sedangkan nasabah penitip tidak dijanjikan imbalan dan
tidak menanggung kerugian.
3. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik harta sebagai sebuah insentif
selama tidak diperjanjikan dalam akad pembukaan rekening. 8
Menurut Imam Syafi`i yang berkewajiban menjaga barang tersebut hanya penerima
titipan. Imam al-nawawi menjelaskan bahwa orang yang menerima titipan dia wajib menjaganya,
oleh karena itu diharamkan menerima titipan apabila seseorang tidak mampu menjaga titipan
tersebut. Sementara orang yang mampu menjaga barang titipan baginya dianjurkan untuk
menerimanya. Apabila tidak ada pihak yang dapat menerima amanat titipan tersebut, maka wajib
bagi orang mampu wajib untuk menerimanya.
Tanggung jawab menyimpan wadi`ah adalah amanah. wadi`ah ialah barang yang
disimpan itu hendaklah dijaga seperti berikut.
1. Diasingkan dari barang-barang milik orang lain, yaitu tidak dicampur antara barang yang
disimpan supaya dapat diketahui mana diantaranya milik orang-orang tertentu.
2. Tidak digunakan
3. Tidak dikenakan upah bagi penjaganya.
Apabila wadi`ah yang dijaga sebagaimana dijelaskan diatas hilang, rusak atau musnah
bukan karena kelalaian orang yang menyimpan, maka ia tidak diwajibkan mengganti. Namun,
apabila tidak dijaga sebagaimana mestinya maka hal keadaan tanggung jawab menyimpannya
8
Adiwarman A.Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,
2010), h.346
10
berubah dari amanah kepada dammah yang bermakna ia wajib diganti apabila hilang, rusak atau
musnah.
Semua pembelanjaan atas barang wadi`ah seperti makan dan minum, jika wadi`ah itu
dari jenis binatang, adalah ditanggung oleh yang punya al-wadi`ah. Akan tetapi, jika orang yang
menyimpan wadi`ah itu untuk kepentingannya maka pembelanjaan itu ditanggung olehnya. Orang
yang menyimpan tidak boleh membuat perjanjian wadi`ah dengan orang lain atas barang yang
disimpan tanpa izin dari punya barang. Sekiranya ia membuat perjanjian wadi`ah dengan orang
lain dengan izin maka hendaklah tanggung jawab menyimpan yang pertama kepada orang yang
menyimpan yang kedua. Jika orang yang menyimpan meninggal dunia maka berpindahlah
tanggung jawab wadi`ah itu kepada ahli waris sehingga selesai barang itu diserahkan kembali
kepada yang punya.9
Orang yang merasa mampu dan sanggup menerima barang titipan adalah sangat baik
dan mengandung nilai ibadah yang mendapat pahala disamping mempunyai nilai sosial yang
tinggi. Akan tetapi agar titipan tersebut tidak akan menimbulkan masalah dikemudian hari, maka
disyaratkan :
9
Imam Mustofa, Fiqh Mu`amalah Kontemporer, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016), h.184-186
11
1. Barang titipan itu tidak memberatkan dirinya maupun keluarganya
2. Tidak memungut biaya pemeliharaan
3. Kalau sudah sampai waktunya diambil atau disampaikan kepada yang berhak
Dengan demikian apabila barang titipan itu mengalami kerusakan akibat kelalaian
orang yang menerimanya, maka ia wajib menggantikannya.
1. Orang yang dipercaya titipan menyerahakan kepada orang lain tanp sepengetahuan yang
memilikinya
2. Barang titipan itu dipergunakan atau dibawa pergi sehingga rusak atau hilang
3. Menyia-nyiakan barang titipan
4. Berkhianat, yaitu ketika barang titipan diminta tidak dikabulkan, tanpa sebab yang jelas
5. Lalai atau tidak hati-hati dalam memelihara barang titipan
6. Ketika yang dititipi barang itu sakit atau meninggal tidak berwasiat kepada ahli warisnya
atau keluarganya tentang barang titipan, sehingga mengakibatkan barang rusak dan hilang.
1. Sunnah, yaitu bagi orang yang percaya pada dirinya bahwa dia sanggup memelihara
dan menjaganya, menerimanya bila disertai niat yang tulus ikhlas kepada Allah.
Dianjurkan menerima wadii‟ah, karena ada pahala yang besar di sana, berdasarkan
hadits: “Dan Allah akan menolong seorang hamba, jika hamba itu mau menolong
saudaranya.” (HR. Muslim).
2. Wajib, yaitu apabila sudah tidak ada lagi orang yang bisa dipercaya, kecuali hanya dia
satu-satunya.
3. Haram, apabila dia tidak kuasa atau tidak sanggup menjaganya sebagaimana
mestinya, karena seolah-olah dia membiarkan pintu kerusakan atau hilangnya barang
titipan
10
Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah, (Jakarta : Pustaka Alvabet, 1999), h. 48
12
4. Makruh, menitipkan kepada orang yang dapat menjaganya tetapi ia tidak percaya
pada dirinya, bahkan dikhawatirkan kemudian hari dia akan berkhianat terhadap
barang titipan itu.11
11
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syari‟ah di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2007), h. 72
12
Al-Ustadz H. Idris, Fiqh Menurut Madzhab Syafi’i, (Jakarta: Widjaya, 1969), cet I, h.67.
13
Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), cet I, h. 20.
14
Wirdiyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005),
h.166.
15
Hemansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006), h. 85.
16
Imam Mustofa, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2016), h. 213.
13
Praktek perbankan syariah, transaksi wakalah ibarat pisau dapur. Keberadaannya
kurang dirasakan, namun bila tidak ada, baru terasa betapa pentingnya. Ini karena transaksi
wakalah sering hanya menjadi transaksi pendukung dan bukan sebagai transaksi utama. Lihat saja
transaksi pembiayaan murabahah, salam, istishna, seluruhnya memerlukan transaksi wakalah
untuk alasan kemudahan. Tanpa transaksi wakalah niscaya bank syariah akan sangat kerepotan
dalam memberikan pembiayaan karena harus membeli sendiri barang yang dibutuhkan debitur.
Wakalah dalam Lembaga Keuangan Syariah terjadi apabila nasabah memberikan
kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan
letter of credit dan transfer uang.17
Atas dasar prinsip wakalah, bank membuka L/C atas permintaan nasabah dengan
meminta nasabah untuk menyetorkan dana yang cukup (100%) dari besarnya L/C yang dibuka.
Setoran dana tersebut disimpan oleh bank dengan prinsip wadiah dan bank memungut ujr (fee atau
komisi) sebagai kontraprestasi.7 Ketetapan jasa tentang ujr (fee atau komisi) dikenakan biaya pada
nasabah untuk local Rp 2.000,- dan untuk intercity Rp 10.000,- dan biaya tersebut dikenakan pada
awal penyerahan kliring18
Bank syariah dapat memberikan jasa wakalah, yaitu sebagai wakil dari nasabah
sebagai pemberi kuasa (muwakil) untuk melakukan sesuatu (taukil). Dalam hal ini, bank akan
mendapatkan upah atau biaya administrasi atas jasa tersebut. Sebagai contoh bank dapat menjadi
wakil untuk melakukan pembayaran tagihan listrik atau telepon kepada perusahaan listrik atau
telepon. Contoh lain adalah bank mewakili sekolah atau univeritas sebagai penerima biaya SPP
dari para pelajar untuk biaya studi.19
Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam akad pemberian kuasa harus cakap
hukum. Khususnya pada pembukaan letter of credit, apabila dana nasabah ternyata tidak cukup,
maka penyelesaian L/C dapat dilakukan dengan pembiayaan murabbahah, salam, ijarah,
mudharabah, atau musyarakah. Tugas, wewenang dan tanggung jawab bank harus jelas sesuai
kehendak nasabah bank. Setiap tugas yang dilakukan harus mengatas namakan nasabah dan harus
dilaksanakan oleh bank. Atas pelaksanaan tugasnya tersebut, bank mendapat pengganti biaya
17
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h.166.
18
Suharto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2005), h. 119.
19
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 306.
14
berdasarkan kesepakatan bersama. Pemberian kuasa berakhir setelah tugas dilaksanakan dan
disetujui bersama antara nasabah dengan bank20.
Kelalaian dalam menjalankan kuasa menjadi tanggung jawab bank kecuali kegagalan
karena force majeure menjadi tanggung jawab nasabah. Apabila bank yang ditunjuk lebih dari
satu, maka masing-masing bank tidak boleh bertindak sendiri-sendiri tanpa musyawarah dengan
bank yang lain, kecuali dengan seizin nasabah.21 Atas pelaksanaannya tersebut, bank mengenakan
biaya administrasi kepada nasabah berdasarkan kebijakan bank.22
20
Muhammad Syafi’I Antonio. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek...., h. 166.
21
Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi,(Yogyakarta: EKONISIA,
2013), h. 85.
22
Sofyan Ghufron, Konsep dan Implementasi Bank Syariah, (Jakarta: Renaisa, 2005), h.
15
Dalam model ini, Nasabah Al-Muwakkil meminta bank untuk mendebet rekening
tabungannya, dan kemudian meminta bank untuk menambahkan di rekening nasabah yang
dituju sebesar pengurangan pada rekeningnya sendiri. Yang sangat sering terjadi saat ini
adalah proses yang ketiga ini, dimana nasabah bisa melakukan transfer sendiri melalui
mesin ATM. 23
23
http://viewislam.wordpress.com/2009/04/16/konsep-akad-Wakalah-dalam-fiqhmuamalah/ diunduh pada tanggal
17 September 2022 jam 16.30
24
http://alislamu.com/muamalah/11-jual-beli/291-bab-wakalah-pelimpahan-hak.html diunduh pada tanggal 17
September 2022 jam 17.05
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Pengertian wadi’ah. Al-wadi`ah atau dikenal dengan nama titipan atau simpanan,
merupakan titipan murni dari satu pihak kepihak lain, baik perseorangan maupun badan
hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja apabila penitip menghendaki.
2. Pembagian Wadi’ah. Akad wadiah dalam perbankan syariah dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu Wadi‟ah yad Amanah dan Wadi‟ah yad Dhamanah.
3. Ketentuan umum dari produk wadi`ah
1. Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau
ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak
menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik
dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat namun tidak boleh
diperjanjikan di muka.
2. Bank harus membuat akad pembukaan Khusus bagi pemilik rekening giro,
bank, dapat memberikan buku cek, bilyet giro, dan debit card.
3. Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan pengganti biaya
administrasi untuk sekedar menutupi biaya yang benar-benar terjadi.Ketentuan-
ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan tetap berlaku
selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah
4. Kewajiban menerima dan cara menjaga wadi`ah. Orang yang menerima titipan mempunyai
kewajiban yang mengikat untuk menjaga barang titipan tersebut. Kewajiban ini juga
mengikat keluarga penerima titipan, artinya mereka juga mempunyai kewajiban untuk
menjaga barang tersebut.
5. Hukum menerima wadi’ah Ada 4 (empat), yaitu : Sunnah, wajib,Haram, makruh.
6. Pengertian Wakalah. Al-Ustadz H.Idris . Beliau mengistilahkan wakalah adalah berwakil.
Berwakil menurut logatnya artinya menyerahkan sesuatu.
7. Implementasi Akad Wakalah dalam Lembaga Keuangan Syariah. Wakalah dalam sistem
perbankan syariah adalah akad pemberian kuasa dari nasabah kepada bank (penerima).
17
8. Contoh Wakalah yaitu : Wesel pos, Transfer uang melalui cabang suatu bank, Transfer
melalui ATM
18
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghofur Anshori. Perbankan Syari‟ah di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press. 2007.
Adiwarman A.Karim. Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. 2010.
Bambang Murdadi. “Menguji Kesyariahan Akad Wadiah Pada Produk Bank Syariah”, VOL.5
NO.1 (september 2015–februari 2016)
Imam Mustofa. Fiqh Mu`amalah Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2016.
Khaerul Umam. Manajemen Perbankan Syariah. Bandung: Pustaka Setia. 2013.
Muhammad Nadratuzzaman Hosen. Buku Saku Perbankan Syariah. Jakarta. 2005.
Muhammad Syafi‟i Antonio. Bank Syari‟ah dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani. 2001.
Sumar`in. Konsep Kelembagaan Bank Syariah. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012.
Wiroso. Penghimpun Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah. Jakarta: PT Grasindo. 2005.
Zainul Arifin. Memahami Bank Syariah. Jakarta : Pustaka Alvabet, 1999.
Helmi Karim. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1993.
Hermansyah. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
2006.
Imam Mustofa. Fiqh Muamalah Kontemporer. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2016.
Muhammad Syafi’I Antonio. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press.
2001.
Suharto Zulkifli. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah. Jakarta: Zikrul Hakim. 2005.
Wirdiyaningsih. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2005.
Sofyan Ghufron. Konsep dan Implementasi Bank Syariah. Jakarta: Renaisa. 2005.
19