Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

Riba, Qardh, dan Rahn

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah

Dosen Pengampu :

Dr. Irham Zaki, S. Ag., MEI.

Kelompok 3 Kelas F :

Friscyllia Renindika A. A. (144331005)

Nadya Orlyn Pratista (144231027)

M. Rosyid Wahyudin (144231030)

Allycia Nazwa Ratu D. (144231033)

Ach. Zaki Erfanda (144231191)

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2024

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Puji syukur kehadirat Allah SWT senantiasa kita ucapkan. Atas

karunia-Nya berupa nikmat iman dan kesehatan ini akhirnya penulis bisa menyelesaikan

makalah yang berjudul “Riba, Qardh, dan Rahn”. Tidak lupa shalawat serta salam

tercurahkan bagi Baginda Agung Rasulullah SAW yang syafaatnya akan kita nantikan

kelak.

Makalah berjudul “Riba, Qardh, dan Rahn” dibuat untuk memenuhi tugas mata

kuliah Fiqih Muamalah.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah mendukung serta

membantu penyelesaian makalah. Harapannya, semoga makalah ini dapat memberikan

manfaat bagi pembaca sekaligus menambah pengetahuan tentang “Riba, Qardh, dan

Rahn”.

Dengan kerendahan hati, penulis memohon maaf apabila ada ketidaksesuaian

kalimat dan kesalahan. Meskipun demikian, penulis terbuka pada kritik dan saran dari

pembaca demi kesempurnaan makalah.

Surabaya, 22 April 2024


Tim Penyusun,

(Kelompok 8)

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... 2

DAFTAR ISI..................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 5

1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 5

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................... 6

1.3 Tujuan ..................................................................................................................... 6

1.4 Manfaat ................................................................................................................... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 8

BAB III PEMBAHASAN .............................................................................................. 13

3.1 Pengertian, Tahapan, dan Jenis-Jenis Riba ........................................................... 13

3.1.1 Pengertian Riba .............................................................................................. 13

3.1.2 Tahapan Riba .................................................................................................. 14

3.1.3 Jenis-Jenis Riba .............................................................................................. 15

1. Riba Fadli ................................................................................................... 16

2. Riba Nasiah ................................................................................................ 16

3. Riba Yad ..................................................................................................... 16

4. Riba Qardh ................................................................................................. 16

5. Riba Jahiliyah............................................................................................. 17

3.2 Pengertian, Dasar Hukum, Rukun, Syarat, dan Hikmah Akad Qardh .................. 17

3.2.1 Pengertian Akad Qardh .................................................................................. 17

3.2.2 Dasar Hukum Akad Qardh ............................................................................. 18

3.2.3 Rukun Akad Qardh ......................................................................................... 19

3.2.4 Syarat Akad Qardh ......................................................................................... 20

3
3.2.5 Karakteristik Qardh ........................................................................................ 20

3.2.6 Hikmah Akad Qardh....................................................................................... 21

3.3 Pengertian, Dasar Hukum, Rukun, Syarat, Ketentuan, dan Berakhirnya Akad Rahn
.................................................................................................................................... 21

3.3.1 Pengertian Akad Rahn .................................................................................... 21

3.3.2 Dasar Hukum Akad Rahn ............................................................................... 22

3.3.3 Rukun Akad Rahn .......................................................................................... 24

3.3.4 Syarat Akad Rahn ........................................................................................... 25

3.3.5 Ketentuan Umum Pelaksanaan Rahn dalam Islam ................................... 26

BAB IV PENUTUP ........................................................................................................ 30

4.1 Kesimpulan ........................................................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 32

4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Islam adalah suatu sistem dan jalan hidup yang kokoh dan terpadu, sehingga
hal itu dapat memberi panduan yang terus berkembang untuk setiap aspek kehidupan,
termasuk bisnis dan transaksi keuangan. Ini menunjukkan bahwa penerapan prinsip
syariah Islam diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua orang. Salah satu
keuntungan dari lembaga keuangan syariah adalah mereka tidak meminta
keuntungan dari pokok pinjaman karena hal ini termasuk riba, yang jelas diharamkan
dalam Islam.

Riba adalah praktik yang tidak diperbolehkan dalam syariah Islam. Prinsip
syariah melarang aktivitas peminjaman tersebut dengan menambahkan dana dari
pokok pinjaman. Kelebihan dana yang ditentukan di awal maupun di akhir
merupakan bentuk riba. Untuk menghindari praktek riba tersebut maka syariah
memberikan Solusi yang diamalkan oleh Rasulullah SAW, yaitu gadai (rahn) yang
memiliki pengertian penyerahan suatu benda yang berharga dari seseorang kepada
orang lain untuk mendapatkan hutang. Benda tersebut dijadikan jaminan agar bisa
dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya apabila dia gagal
melunasinya. Gadai syariah dalam hukum Islam disebut rahn, yaitu menahan salah
satu harta milik peminjam (rahin) sebagai marhum atas pinjaman marhum bih yang
diperoleh dari peminjam atau murtahin.

Rahn dapat dilaksanakan jika transaksi muamalah tidak secara kontan (hutang
piutang). Apabila bermuamalah melalui hutang piutang maka dianjurkan untuk
ditulis sebagai bukti agar tidak ada perselisihan. Uang atau dana yang dipinjamkan
dalam bentuk bantuan yang tidak mengharapkan pembayaran tambahan atas hutang
dikenal sebagai transaksi gadai syariah (Rahn). Ada beberapa hal yang membedakan
gadai konvensional dari gadai syariah. terletak pada penggunaan bunga. Untuk
menghindari unsur riba, gadai syariah menggunakan mekanisme yang sesuai dengan
prinsip syariah, seperti akad qardhul hasan, akad mudharabah, akad ijarah, akad rahn,
akad ba'i muqayyadah, dan akad musyarakah.

5
Perbedaan mendasar antara gadai konvensional dan gadai syariah terletak pada
implementasi bunga. Jaminan dalam gadai berbentuk kepercayaan dan amanah
timbal balik bagi keduanya, dimana yang memiliki barang jaminan berhak
memperoleh barangnya kembali setelah memenuhi kewajibannya kepada yang
memberikan, serta apabila diantara keduanya melakukan kecurangan dengan sengaja
atau tidak, maka bagi keduanya berhak memenuhi kesepakatan.

Akad qardh adalah salah satu bentuk penyaluran dana kepada masyarakat.
Akad qardh adalah akad pinjaman dana kepada nasabah dengan ketentuan bahwa
nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya dengan waktu yang telah
disepakati. Syafii Antonio mengatakan bahwa al-qardh adalah memberikan harta
kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali, atau meminjamkan harta
kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Qardh tidak termasuk dalam
transaksi komersial, tetapi termasuk dalam aqd tathawwui, atau akad saling
membantu, dalam karya fikih klasik.Namun, ulama Hanafiyah menganggap qardh
yang menghasilkan keuntungan haram, ulama Malikiyah menganggapnya sah, dan
ulama Syafiiah dan Hanabillah menganggapnya diperbolehkan.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengkaji tentang bagaimana


pengertian, jenis, dan hukum riba, akad qardh, dan akad rahn yang dituliskan dalam
sebuah makalah yang berjudul “Riba, Qardh, dan Rahn”.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian, tahapan, dan jenis-jenis riba?


2. Bagaimana pengertian, dasar hukum, rukun, syarat, dan hikmah dari akad qardh?
3. Bagaimana pengertian, dasar hukum, rukun, syarat, ketentuan umum, dan
berakhirnya akad rahn?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui pengertian, tahapan, dan jenis-jenis riba.


2. Mengetahui pengertian, dasar hukum, rukun, syarat, dan hikmah dari akad qardh.
3. Mengetahui pengertian, dasar hukum, rukun, syarat, ketentuan umum, dan
berakhirnya akad rahn.

6
1.4 Manfaat

1. Pembaca dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang pengertian, tahapan,


dan jenis-jenis riba.
2. Pembaca dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait pengertian, dasar
hukum, rukun, syarat, dan hikmah dari akad qardh.
3. Pembaca dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait pengertian, dasar
hukum, rukun, syarat, ketentuan umum, dan berakhirnya akad rahn.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Akad merupakan hal terpenting yang harus ada dalam suatu perjanjian. Akad
sering disebut sebagai perjanjian, atau dalam bahasa Arab disebut `aqad atau janji (ahdun).
Menurut Wahbah Al-Juhaili, akad adalah ikatan antara dua perkara, baik dalam ikatan
nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi. Sedangkan
menurut ulama hukum Islam, akad adalah setiap tindakan yang memerlukan kehendak
dan persetujuan dua pihak dengan adanya ijab dan qabul. Terdapat dua istilah dalam Al-
Qur’an yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu al-`aqdu (akad) dan al-ahdu (janji).
Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabth)
memiliki arti yaitu menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan
salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya tersambung dan menjadi seperti seutas
tali yang satu. Definisi akad secara fiqih adalah pertalian ijab (pernyataan penerimaan
ikatan) daa kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang
berpengaruh kepada objek perikatan.

Dasar hukum Aqad terdapat di QS. Al Maidah ayat 1 yang berbunyi:

َ ‫ص ْي ِد َواَ ْنت ُ ْم ُح ُر ِۗم اِنَّ ه‬


‫ّٰللا يَحْ ُك ُم‬ َ ‫اْل ْن َع ِام ا َِّْل َما يُتْ ٰلى‬
َ ‫علَ ْي ُك ْم‬
َّ ‫غي َْر ُمحِ لِى ال‬ َ ْ ُ‫ٰ ٰٓيا َ ُّيهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٰٓوا ا َ ْوفُ ْوا ِبا ْلعُقُ ْو ِۗ ِد اُحِ لَّتْ لَ ُك ْم َب ِه ْي َمة‬
‫ُ َما يُ ِريْد‬

Artinya:

Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji! Dihalalkan bagimu hewan ternak,
kecuali yang akan disebutkan kepadamu (keharamannya) dengan tidak menghalalkan
berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki.

Beberapa rukun dan syarat Akad yaitu Aqid (orang yang berakad), Ma’qud Alaih
(objek akad), Maudhu’ Al-Aqid (tujuan akad), dan Sighat (ijab dan kabul). Selain itu,
terdapat beberapa syarat Akad yang meliputi: Ijab dan Kabul wajib bersambung, berjalan
terus tidak dicabut sebelum kabul terjadi. Hukum islam telah menentukan prinsip-prinsip
akad yang mempengaruhi pelaksanaan akad. Prinsip-prinsip tersebut seperti kejujuran,

8
keadilan, keseimbangan, kesepakatan bersama, perjanjian bersifat mengikat, dan
sebagainya. Pelaksanaan prinsip tersebut tentunya diterapkan dalam berbagai kegiatan
manusia pada sudut pandang Ilmu Fiqih.

Dalam Ilmu Fiqih terdapat berbagai kegiatan yang dilakukan oleh manusia. Dari
berbagai kegiatan tersebut, terdapat tiga kegiatan yang termasuk ke dalam bagian
muamalah selain jual-beli, yaitu Riba, Qardh, dan Rahn. Secara bahasa, al-Razi
mendefinisikan kata riba yang berarti tambahan. Menurut Quraish Shihab, kata riba dari
segi bahasa berarti kelebihan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa secara umum
terdapat benang merah antara pengertian secara bahasa (lughah) maupun secara istilah
yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan dalam suatu akad transaksi
tertentu di mana pengambilan tambahan tersebut tanpa disertai imbangan tertentu. Riba
identik dengan bunga. Pendapat ini disebabkan riba merupakan bunga uang, karena
mempunyai arti yang sama maka hukumnya sama. Bunga merupakan keuntungan yang
diperoleh pihak bank atas jasanya yang telah meminjamkan uang kepada debitur dengan
dalil untuk usaha produktif, sehingga dengan uang pinjaman tersebut usahanya menjadi
maju dan lancar, dan keuntungan yang diperoleh semakin besar. Hukum riba adalah
haram. Riba tidak sama dengan jual beli, Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Apabila telah datang peringatan Allah tentang haramnya riba, maka
harus berhenti memakan riba dan dilarang melakukannya.

Dalil tentang pengharaman riba terdapat di QS Al-Baqarah ayat 275-278 yang


berbunyi:

‫طهُ الش َّۡي ٰط ُن مِ نَ ۡال َم ِس ؕ ٰذ ِلكَ ِباَنَّ ُهمۡ َقالُ ۡۤۡوا اِنَّ َما ۡالبَ ۡي ُع مِ ۡث ُل‬ ِ َ‫اَلَّذ ِۡينَ يَ ۡا ُكلُ ۡون‬
ُ َّ‫الر ٰبوا َْل يَقُ ۡو ُم ۡونَ ا َِّْل َك َما يَقُ ۡو ُم الَّذ ِۡى يَت َ َخب‬
‫ّٰللا ؕ َو َم ۡن عَا َد‬ ِ ‫ف َوا َ ۡم ُرهٗۤۡ اِلَى ه‬ َ ‫ظة ِم ۡن َّربِ ٖه َف ۡانت َ ٰهى َفلَ ٗه َما‬
َ ؕ َ‫سل‬ َ ‫الر ٰبوا ؕ َف َم ۡن َجآٰءَهٗ َم ۡو ِع‬ ِ ‫ّٰللاُ ۡالبَ ۡي َع َوح ََّر َم‬
‫الر ٰبوا ۘ َوا َ َح َّل ه‬ِ
َ‫ اِنَّ الَّذ ِۡين‬.‫ب ُك َّل َكفَّ ٍار اَث ِۡي ٍم‬ ُّ ِ‫ّٰللاُ َْل يُح‬
‫ت ؕ َو ه‬ ِ ‫صد َٰق‬
َّ ‫الر ٰبوا َويُ ۡربِى ال‬ ِ ُ‫ّٰللا‬
‫ق ه‬ ُ ‫ يَ ۡم َح‬. َ‫ب النَّ ِار ۚ هُمۡ ف ِۡيهَا ٰخ ِلد ُۡون‬ ُ ‫ص ٰح‬ ۡ َ ‫ولٰٓ ِٕٮكَ ا‬
ٰ ُ ‫َفا‬
َ ‫الز ٰكوةَ لَ ُهمۡ ا َ ۡج ُرهُمۡ ع ِۡن َد َربِ ِهمۡ ۚ َو َْل َخ ۡوف‬
. َ‫علَ ۡي ِهمۡ َو َْل هُمۡ يَ ۡح َزنُ ۡون‬ َّ ‫ت َوا َ َقا ُموا الص َّٰلوةَ َو ٰات َ ُوا‬ ‫ٰا َمنُ ۡوا َوعَمِ لُوا ال ه‬
ِ ‫صل ِٰح‬
ٍ ‫ َفا ِۡن لَّمۡ تَ ۡفعَلُ ۡوا َف ۡاذَنُ ۡوا ِبح َۡر‬. َ‫الر ٰ ٰٓبوا ا ِۡن ك ُۡنت ُمۡ ُّم ۡؤمِ ن ِۡين‬ ۡۤ
ِ ‫ب ِمنَ ه‬
‫ّٰللا‬ َ ‫ٰيـاَيُّهَا الَّذ ِۡينَ ٰا َمنُوا اتَّقُوا ه‬
ِ َ‫ّٰللا َوذَ ُر ۡوا َما بَق َِى مِ ن‬
َ‫س ا َ ۡم َوا ِلكُمۡ ۚ َْل ت َ ۡظ ِل ُم ۡونَ َو َْل ت ُۡظلَ ُم ۡون‬
ُ ‫س ۡول ِٖه ۚ َوا ِۡن ت ُۡبت ُمۡ َفلَـكُمۡ ُر ُء ۡو‬
ُ ‫َو َر‬

Artinya:

9
Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan
sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu
berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh,
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya.
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya
akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu
pokok hartamu, kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

Transaksi pinjam-meminjam uang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-


hari. Kegiatan ini disebut dengan Qardh. Secara etimologi, Qardh berarti Al-Qath’u
(potongan) dari harta yang memberikan pinjaman, yang menunjukkan bahwa seseorang
memiliki harta benda yang kemudian diberikan kepada peminjam dan peminjam itu
akan mengembalikannya setelah mampu, dalam hal ini terjadi perpindahan harta yang
nantinya akan dikembalikan dengan ditagih atau diminta kembali tanpa adanya ganti
rugi tambahan. Para ulama membolehkan transaksi Qardh dalam hukum Islam. Bahkan
mereka yang berhutang atau mendanai orang lain yang benar-benar membutuhkannya
adalah hal yang mereka sukai dan rekomendasikan karena memiliki imbalan yang besar.
Dasar hukum Qardh terdapat pada Terdapat di QS. Al-Baqarah ayat 245 yang berbunyi:

ُ ُۖ ‫ْص‬
‫ط َواِلَ ْي ِه ت ُْر َجعُ ْون‬ ُ ِ‫ّٰللاُ يَ ْقب‬
ُ ‫ض َويَب‬
ِۗ ْ َ‫ض ِعفَ ٗه لَ ٗ ٰٓه ا‬
‫ضعَا ًفا َكثِي َْرةً َو ه‬ ٰ ُ‫سنًا َفي‬
َ ‫ّٰللا َق ْرضًا َح‬
َ‫ض ه‬ ْ ‫َم ْن ذَا الَّذ‬
ُ ‫ِي يُ ْق ِر‬

Artinya:

10
Siapakah yang mau memberi pinjaman yang baik kepada Allah? Dia akan
melipatgandakan (pembayaran atas pinjaman itu) baginya berkali-kali lipat. Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezeki). Kepada-Nyalah kamu dikembalikan.

Menurut Kaidah hukum Fiqih, Hukum qardh sunnah bagi orang yang
memberikannya dan mubah bagi orang yang diberi hutang. Hukum qardh dapat berubah
sesuai dengan situasi dan kondisinya, ada saatnya hukum qardh menjadi wajib, makruh,
dan juga haram. Jika orang yang meminjam itu dalam mencukupi kebutuhannya yang
terdesak, sedangkan orang yang dipinjami orang yang kaya maka orang tersebut wajib
memberinya pinjaman, jika pemberi pinjaman mengetahui bahwa orang yang meminjam
itu akan menggunakan uangnya untuk berbuat maksiat atau perbuatan yang makruh maka
memberikan pinjaman kepada orang tersebut hukumnya makruh atau haram sesuai
dengan kondisinya. Namun apabila seseorang melakukan pinjaman bukan karena adanya
kebutuhan yang mendesak, melainkan untuk dipergunakan modal usaha maka hukumnya
menjadi mubah.

Qardh berhubungan dengan Rahn. Hal ini terjadi ketika penerima pinjaman tidak
mampu mengembalikan harta yang dipinjamkan atau digadaikan dalam waktu yang
ditentukan. Gadai dalam hukum Islam disebut Rahn yang termasuk jenis akad untuk
menahan suatu benda sebagai kewajiban hutang. Secara etimologis, rahn disebut al-habsu
yang memiliki arti baik dan lestari. Menurut terminologi rahn adalah memegang aset
peminjam sebagai jaminan atas hutang yang diterimanya. Barang yang disita memiliki
nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak pemegang mendapat jaminan untuk dapat
mengambil kembali seluruh maupun sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat
dijelaskan bahwa rahn adalah agunan hutang atau gadai.

Rahn dikatakan sebagai hal yang jaiz atau diperbolehkan, baik menurut Al-Qur'an
maupun As-Sunnah dan Ijma Ulama. Gadai dapat dilakukan oleh lembaga atau
perseorangan seperti perusahaan swasta, perum pegadaian, pemerintah, atau bagian dari
produk bank yang ditawarkan. Dasar hukum gadai secara Islam sebagaimana diatur dalam
Al Qur'an dan As-Sunnah dapat dijelaskan sebagai berikut:

11
ِۗ
‫ّٰللا َربَّ ِٗۗه‬
َ‫ق ه‬ ُ ‫سفَ ٍر َّولَ ْم ت َ ِجد ُْوا كَاتِبًا َف ِر ٰهن َّم ْقبُ ْوضَة َفا ِْن اَمِ نَ بَ ْع‬
ِ َّ‫ض ُك ْم بَ ْعضًا َف ْليُؤ َِد الَّذِى اؤْ تُمِ نَ اَ َمانَت َ ٗه َو ْليَت‬ َ ‫َوا ِْن ُك ْنت ُ ْم ع َٰلى‬
ِۗ ِۗ َّ ‫ࣖ َو َْل ت َ ْكتُموا ال‬
‫ع ِليْم‬ ‫شهَا َدةَ َو َم ْن يَّ ْكت ُ ْمهَا َف ِانَّ ٗ ٰٓه ٰاثِم َق ْلبُ ٗه َو ه‬
َ َ‫ّٰللاُ بِ َما ت َ ْع َملُ ْون‬ ُ

Artinya:

Jika kamu dalam perjalanan, sedangkan kamu tidak mendapatkan seorang pencatat,
hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Akan tetapi, jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Janganlah kamu
menyembunyikan kesaksian karena siapa yang menyembunyikannya, sesungguhnya
hatinya berdosa. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Berdasarkan ayat tersebut, ulama fiqh menyepakati bahwa akad Rahn


diperbolehkan, karena mengandung banyak keutamaan, yaitu sebagai sarana tolong
menolong sesama manusia. Ada rukun yang harus dipenuhi untuk mencapai akad yang
sah dalam rahn, rukun Rahn terdiri dari Rahin (penggadai), Murtahin (penerima gadai),
Marhun/rahn (barang gadaian), Marhun bih (hutang), serta Sighat (Ijab dan kabul).
Dengan hadirnya Qardh dan Rahn, diharapkan tercipta keadilan dan kemaslahatan dalam
hubungan ekonomi antar individu masyarakat muslim.

12
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pengertian, Tahapan, dan Jenis-Jenis Riba

3.1.1 Pengertian Riba

Riba (‫( الـربـا‬secara bahasa bermakna: ziyadah (-(‫ زيـادة‬tambahan). Dalam


pengertian lain, secara linguistic riba juga berarti tumbuh dan membesar.
Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta
pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba,
namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba
adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-
meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.

Secara bahasa riba dapat berarti ziadah (tambahan), nama (tumbuh)


sedangkan penggunanya didalam al-Qur‟an memiliki makna tumbuh,
menyuburkan, mengembang, mengasuh, dan menjadi besar dan banyak.
Ringkasnya, secara bahasa riba memiliki arti bertambah, baik dari sisi kuantitas
maupun kualitasnya. Dalam dunia ekonomi riba disebut dengan istilah Usury
(riba) dan interest (bunga). Yang pada dasarnya mempunyai makna sama yang
merupakan dua konsep dengan satu jiwa yaitu keuntungan yang diharapkan oleh
pemberi pinjaman atas pinjaman uang atau barang, yang sebenarnya barang atau
uang tersebut tidak ada unsur tenaga kerja, sehingga sesuatu yang di hasilkan
oleh barang atau uang tersebut muncul tanpa risiko ataupun biaya. Dengan
demikian interest (bunga) dan usury (riba) termasuk dalam kategori riba

Para ulama sepakat bahwa riba itu diharamkan. Riba adalah salah satu
usaha mencari rezeki dengan cara yang tidak benar dan dibenci Allah SWT.
Praktik riba lebih mengutamakan keuntungan diri sendiri dengn mengorbankan
orang lain. Menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin besar antara yang
kaya dan miskin, serta dapat mengurangi rasa persaudaraan. Oleh karena itu,
Islam mengharamkan riba. Allah SWT mengharamkan riba karena banyak
dampak negatif yang ditimbulkan dari praktik riba tersebut. Larangan dari

13
praktik ini adalah bertujuan menolak kemudaratan dan mewujudkan
kemaslahatan manusia. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa riba adalah tambahan atau kelebihan dari modal pokok yang
di syaratkan bagi salah satu dari dua orang yang mengakadkan akad.

3.1.2 Tahapan Riba

1. Tahap Pertama,

Menolak anggapan bahwa pinjaman riba pada zahirnya menambah harta


dan menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati
atau taqarrub kepada Allah SWT. mengubah persepsi

Firman Allah SWT :

ِ َّ َ‫ّٰللا ُۖ َو َما آتَ ْيت ُ ْم مِ ْن َزكَا ٍة ت ُِريدُونَ َو ْجه‬


‫ّٰللا‬ ِ َّ‫َو َما آت َ ْيت ُ ْم مِ ْن ِر ًبا ِل َي ْربُ َو فِي أ َ ْم َوا ِل الن‬
ِ َّ ‫اس َف ََل َي ْربُو ِع ْن َد‬
‫ض ِعفُون‬ ْ ‫َ َفأُو ٰلَئِكَ هُ ُم ا ْل ُم‬

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipatgandakan (pahalanya)” (QS. Ar Rum : 39).

2. Tahap kedua,
Riba digambarkan sebagai suatu yang buruk dan balasan yang keras
kepada orang Yahudi yang memakan riba.

Firman Allah SWT. :

ً ‫ّٰللا َكث‬
‫ِيرا‬ َ ‫ت أُحِ لَّتْ لَ ُه ْم َو ِبص َِد ِه ْم ع َْن‬
ِ َّ ‫س ِبي ِل‬ َ ‫علَ ْي ِه ْم‬
ٍ ‫ط ِيبَا‬ ُ ‫َف ِب‬
َ ‫ظ ْل ٍم مِ نَ الَّ ِذينَ َهادُوا ح ََّر ْمنَا‬

“Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas


mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan
bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan
Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya
mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta

14
orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang
yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih” (QS. An-Nisa: 160-161).

3. Tahap ketiga
riba itu diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat
ganda.

Allah SWT. Berfirman:

َ َّ ‫عفَةً ُۖ َواتَّقُوا‬
‫ّٰللا لَعَلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُحون‬ ِ ‫َيَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا َْل تَأ ْ ُكلُوا‬
ْ َ ‫الربَا أ‬
َ ‫ضعَا ًفا ُمضَا‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan


berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan” (QS. Ali Imran:130).

4. Tahap akhir
Ayat riba diturunkan oleh Allah SWT. Yang dengan jelas sekali
mengharamkan sebarang jenis tambahan yang diambil daripada pinjaman.

Firman Allah SWT. :

َ َّ ‫ِيَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اتَّقُوا‬


ِ َ‫ّٰللا َوذَ ُروا َما بَق َِي مِ ن‬
‫الربَا إِ ْن ُك ْنت ُ ْم ُمؤْ مِ ن‬

“Hai orang-orang yang beriman,bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan


sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu;
kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya”
(QS. Al Baqarah: 278-279).

3.1.3 Jenis-Jenis Riba

Pengertian riba secara umum memiliki arti yang cukup jelas. Namun,
mungkin dalam praktiknya masih ada yang belum benar-benar memahami apa
itu riba. Selain pengertian dan dasar hukum Islam, berikut ini beberapa jenis riba
yang bisa kamu pahami beserta contoh-contohnya.

15
1. Riba Fadli

Riba fadli adalah sebutan untuk riba fadhl yaitu kegiatan transaksi jual beli
atau pertukaran barang dengan jumlaha tau takaran yang berbeda. Contoh riba
fadhl yaitu penukaran uang Rp100.000 dengan 45 lembar pecahan Rp2.000
sehingga nominal uang yang diberikan hanya Rp90.000.

2. Riba Nasiah

Riba nasiah adalah hasil transaksi jual beli dan penukaran barang yang
menghasilkan kelebihan dengan jangka waktu tertentu. Transaksi bisa
menggunakan jenis barang yang sama, tapi ada penangguhan waktu dalam
pembayarannya.

Contohnya saat Anto meminjam emas batangan pada Iman, tapi Iman
meminta dikembalikan dengan uang tunai setahun mendatang. Dengan harga
emas yang kemungkinan naik di masa yang akan datang, Anto yang
meminjam harus membayar dengan lebih tinggi sehingga kelebihan tersebut
menjadi riba nasiah.

3. Riba Yad

Riba yad merupakan hasil transaksi atau penukaran barang yang


menghasilkan riba atau nonribawi. Namun, serah terima barang yang
dilibatkan dalam transaksi mengalami penundaan waktu. Hal ini biasanya
terjadi dalam proses kredit kendaraan.

Pembelian mobil tunai akan dihargai Rp100 juta, tapi harganya menjadi
Rp120 juta saat membeli secara kredit dalam jangka waktu tertentu. Meski
belum menyerahkan uang dengan jumlah yang disepakati, pembeli sudah bisa
mendapatkan mobil. Kelebihan Rp20 juta dari harga pokok termasuk riba yad.

4. Riba Qardh

Jenis riba qardh merupakan jenis riba yang berupa tambahan nilai dari
pengembalian pokok utang dengan persyaratan dari pemberi utang. Contoh

16
riba qardh adalah pinjaman dari bank sebesar Rp200 juta yang harus dilunasi
nasabah dengan tempo angsuran 12 bulan dengan bunga 5%.

5. Riba Jahiliyah

Jenis riba jahiliyah juga merupakan tambahan atau kelebihan yang dikenakan
atas nomimal pelunasan utang yang sudah melebihi pokok jumlah pinjaman.
Biasanya, pengenaan tersebut dikenakan karena peminjam tidak bisa
membayar utang sesuai waktu yang disepakati.

Contoh riba jahiliyah adalah transaksi peminjaman uang dari senilai Rp50
juta yang akan dikembalikan selama 6 bulan. Jika tidak dibayarkan dalam 6
bulan yang disepakati, peminjam akan dikenakan nominal tambahan dari total
pinjaman.

3.2 Pengertian, Dasar Hukum, Rukun, Syarat, dan Hikmah Akad Qardh

3.2.1 Pengertian Akad Qardh

Qardh secara etimologi adalah memotong. Qardh berasal dari bahasa


َ ‫ قَ َر‬yang berarti meminjamkan uang dengan dasar kepercayaan. Selain
arab َ‫ض‬
itu, qardh berarti pertolongan (Anshori, 2006). Pertolongan dalam konteks
qardh adalah pertolongan yang berasal dari harta orang yang memberikan uang.
Sedangkan menurut istilah diartikan meminjamkan harta kepada orang lain
tanpa mengharapkan imbalan. Menurut hukum syara’ salah satu ahli fikih yaitu
Mazhab Syafi’i mendefinisikan Qardh yaitu memindahkan kepemilikan
sesuatu kepada seseorang, namun ia perlu membayar kembali kepadanya.
Sementara itu menurut Mazhab Mailiki, Qardh merupakan pembayaran dari
sesuatu yang berharga untuk pembayran kembali, tidak berbeda, atau setimpal.
Menurut Sayid Sabiq, Qardh berarti harta yang diberikan oleh pemberi hutang
(muqridh) kepada penerima hutang (muqtaridh) kemudian dikembalikan
kepadanya seperti yang diterimanya ketika dia telah mampu membayarnya

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa akad qardh


adalah perikatan atau perjanjian antara kedua belah pihak, dimana pihak

17
pertama menyediakan harta atau memberikan harta dalam arti meminjamkan
harta kepada pihak kedua sebagai peminjam uang atau orang yang menerima
harta yang dapat ditagih atau diminta kembali oleh pihak pertama. Apabila
dilihat dari sifatnya, maka qardh ini bersifat tidak memberikan keuntungan
secara finansial. Oleh karenanya, akad Al-Qardh digunakan untuk membantu
modal usaha yang sangat kecil dan juga kebutuhan sosial manusia lainnya.

3.2.2 Dasar Hukum Akad Qardh

1. Dalil Al-Qur'an

Terdapat di QS. Al-Baqarah ayat 245 yang berbunyi:

ُ ُۖ ‫ْص‬
‫ط َواِلَ ْي ِه‬ ُ ‫ّٰللاُ يَ ْق ِب‬
ُ ‫ض َويَب‬
ِۗ ْ َ‫ض ِعفَ ٗه لَ ٗ ٰٓه ا‬
‫ضعَا ًفا َكثِي َْرةً َو ه‬ ٰ ُ‫سنًا َفي‬
َ ‫ّٰللا َق ْرضًا َح‬
َ‫ض ه‬ ْ ‫َم ْن ذَا الَّذ‬
ُ ‫ِي يُ ْق ِر‬
‫ت ُْر َجعُ ْون‬

Artinya:

Siapakah yang mau memberi pinjaman yang baik kepada Allah? Dia akan
melipatgandakan (pembayaran atas pinjaman itu) baginya berkali-kali lipat.
Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki). Kepada-Nyalah kamu
dikembalikan.

2. Dalil Hadits

Riwayat Imam Muslim yang bersumber dari Abu Rafi’ r.a yang
berbunyi:

Dari Abu Rafi’ (katanya): Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW mengutang


dari seseorang anak sapi. Setelah datang pada beliau unta dari unta-unta
sedekah (zakat), lalu beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk melunasi utangnya
kepada lelaki itu berupa anak unta tersebut. Kata Abu Rafi’: tidak saya dapati
selain unta yang baik berumur enam tahun masuk tujuh tahun (Raba’iyyah).
Lalu beliau bersabda: Berilah dia unta yang baik dan besar itu, karena
sesungguhnya sebaik-baiknya orang adalah orang yang paling baik cara
melunasi hutangnya. (HR. Muslim-3002)

18
3. Ijma Ulama

Para ulama berpendapat bahwa transaksi qardh itu diperbolehkan, ini


dikarenakan manusia selaku makhluk social (civil society) tidak akan lepas
dari pertolongan orang lain. Selain itu tidak ada satu pun orang yang memiliki
semua barang yang dia butuhkan, oleh karenanya pinjam-meminjam menjadi
solusi untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dimiliki oleh orang lain.

4. Dasar Kaidah Hukum Fikih

Hukum qardh sunat bagi orang yang memberikannya dan mubah bagi
orang yang diberi utang. Hukum qardh dapat berubah sesuai dengan situasi
dan kondisinya, ada saatnya hukum qardh menjadi wajib, makruh, dan juga
haram. Jika orang yang meminjam itu dalam mencukupi kebutuhannya yang
terdesak, sedangkan orang yang dipinjami orang yang kaya maka orang
tersebut wajib memberinya pinjaman, jika pemberi pinjaman mengetahui
bahwa orang yang meminjam itu akan menggunakan uangnya untuk berbuat
maksiat atau perbuatan yang makruh maka memberikan pinjaman kepada
orang tersebut hukumnya makruh atau haram sesuai dengan kondisinnya.
Namun apabila seseorang melakukan pinjaman bukan karena adanya
kebutuhan yang mendesak, melainkan untuk dipergunakan modal usaha maka
hukumnya menjadi mubah.

3.2.3 Rukun Akad Qardh

Beberapa Rukun Akad Qardh antara lain sebagai berikut:

1) Ijab dan Qabul (sighat), yaitu penyerahan atau ekpresi saling ridho atau rela
para pihak yang dilakukan secara lisan maupun tulisan.
2) Aqidayn (dua pihak yang melakukan transaksi), yaitu Pemberi Pinjaman
(muqridh) dan Pihak Peminjam (muqtaridh).
3) Objek akad atau harta yang dipinjamkan. Objek akad merupakan barang
pinjaman. Barang pinjaman adalah barang yang dipinjamkan oleh pemilik
barang kepada si peminjam. Syarat barang yang berkenaan dengan objek
yaitu uang.

19
3.2.4 Syarat Akad Qardh

Terdapat beberapa syarat Akad Qardh, yaitu:

1) Akad qardh dilakukan dengan shigat ijab dan qabul atau bentuk lain yang
dapat menggantikannya, seperti muatah (akad dengan tindakan/ saling
memberi dan saling mengerti).
2) Kedua belah pihak yang terlibat akad harus cakap hukum (berakal, baligh,
dan tanpa paksaan). Berdasarkan syarat ini, maka qardh sebagai akad tabaru’
(berderma/sosial), maka akad qardh yang dilakukan anak kecil, orang gila,
orang bodoh atau orang yang dipaksa, maka hukumnya tidak sah.
3) Menurut kalangan hanafiyah, harta yang dipinjamkan haruslah harta yang ada
padanannya di pasaran, atau padanan nilainya (mitsil), sementara menurut
jumhur ulama, harta yang dipinjamkan dalam qardh dapat berupa harta apa
saja yang dijadikan tanggungan.
4) Ukuran, jumlah, jenis dan kualitas harta yang dipinjamkan harus jelas agar
mudah untuk dikembalikan. Hal ini untuk menghindari perselisihan diantara
para pihak yang melakukan akad qardh.

3.2.5 Karakteristik Qardh

Beberapa karakteristik Qardh antara lain sebagai berikut:

1) Ulama Fiqih sepakat bahwa qardh harus dibayar di tempat terjadinya akad
secara sempurna.
2) Menurut Jumhur Ulama selain Mazhab Maliki, waktu pengembalian harta
pengganti adalah kapan saja terserah kehendak pemberi harta setelah
peminjam menerima pinjamannya.
3) Qardh dimiliki dengan serah terima, ketika ia telah diterima oleh muqtaridh
maka telah menjadi miliknya dan berada dalam tanggung jawabnya.
4) Al-Qardh biasanya dalam waktu tertentu, namun jika tempo pembayarannya
diberikan maka akan lebih baik, karena akan lebih memudahkannya lagi.

20
5) Jika barang asli yang dipinjamkan masih ada seperti semula maka harus
dikembalika dan jika telah berubah maka dikembalikan semisalnya atau
seharga.
6) Diharapkan segala persyaratan yang mengambil keuntungan apapun bagi
muqridh dalam qardh, karena menyerupai riba’ bahkan termasuk dari macam
riba’.

3.2.6 Hikmah Akad Qardh

Hikmah yang dapat diambil dari pelaksanaan Akad Qardh yaitu:

1) Melaksanakan kehendak Allah agar kaum muslimin saling tolong-menolong


dalam kebaikan dan ketakwaan.
2) Menguatkan ikatan persaudaraan dengan cara memberikan bantuan kepada
orang yang lebih membutuhkan dan mengalami kesulitan
3) Memudahkan sesama manusia.
4) Mendatangkan kemaslahatan bagi mereka yang berhutang.

3.3 Pengertian, Dasar Hukum, Rukun, Syarat, Ketentuan, dan Berakhirnya Akad
Rahn

3.3.1 Pengertian Akad Rahn

Ar-rahn (gadai) dalam bahasa memiliki arti al-tsubut dan al-habs, yang
merujuk pada penetapan dan penahanan. Beberapa penjelasan juga menyebut
bahwa rahn adalah kondisi terkurung atau terjerat. Secara bahasa, rahn juga
diartikan sebagai sesuatu yang tetap, kekal, dan berfungsi sebagai
jaminan. Dalam pengertian istilah, rahn mengacu pada tindakan menyandera
sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan harta tersebut
dapat diambil kembali setelah ditebus.

Secara etimologi, rahn berarti “tetap dan lama,” yang mengacu pada
keadaan yang tetap atau berarti “pengekangan dan keharusan.” Namun,
menurut terminologi, rahn artinya “penahanan terhadap suatu barang dengan

21
hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.”
Berdasarkan pandangan ulama, terdapat beberapa definisi rahn:

a) Ulama Madzhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai “harta yang


dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.”
b) Ulama Madzab Hanafi mendefinisikan rahn sebagai "menjadikan sesuatu
(barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan
sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, baik seluruhnya maupun
sebagian.”
c) Ulama Madzhab Syafi’i dan Hanbali mendefinisikan rahn sebagai
“menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan
pembayar utang apabila orang yang berutang tidak dapat membayar
utangnya.” Dalam hal ini, rahn berfungsi sebagai jaminan untuk menjamin
pelunasan utang.
d) Ahmad Azhar Basyir mengartikan rahn sebagai “perjanjian menahan
sesuatu barang sebagai tanggungan utang,” atau menjadikan sesuatu benda
bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan marhun bih.
Dengan adanya tanggungan utang ini, seluruh atau sebagian utang dapat
diterima.
e) Muhammad Syafi’i Antonio mengartikan rahn sebagai menahan salah satu
harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhun) atas
utang/pinjaman (marhun bih) yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki
nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan atau penerima
gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali
seluruh atau sebagian piutangnya.

3.3.2 Dasar Hukum Akad Rahn

Akad rahn atau gadai syariah memiliki dasar yang kuat dalam Islam dan
merujuk pada tiga sumber utama: Al-Quran, Al-Hadits, dan ijma ulama.

1. Al-Quran

22
Para ulama fiqh sepakat bahwa akad rahn adalah praktik yang
diperbolehkan. Ayat 283 dalam surat Al-Baqarah menyebutkan bahwa,
“Jika kamu dalam perjalanan, sedangkan kamu tidak mendapatkan seorang
pencatat, hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Akan tetapi, jika
sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada
Allah, Tuhannya. Janganlah kamu menyembunyikan kesaksian karena siapa
yang menyembunyikannya, sesungguhnya hatinya berdosa. Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Dengan demikian, akad rahn
merupakan mekanisme yang memungkinkan seseorang menggunakan harta
benda sebagai jaminan pinjaman atau utang.
2. Hadist Nabi Muhammad SAW
a) Hadis Nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim dari ‘A’isyah r.a., ia berkata,
“Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah membeli makanan dengan
berutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi
kepadanya.”
b) Hadis Nabi Riwayat al-Syafi’I, al-Daraquthni, dan Ibnu Majah dari Abu
Hurairah, Nabi SAW bersabda, “Tidak terlepas kepemilikan barang
gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan
menanggung resikonya.”
c) Hadis Nabi Riwayat Jama’ah, kecuali Muslim dan al-Nasa’i, Nabi SAW
bersabda, “Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki
dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan
dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang
menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya
perawatan dan pemeliharaan.”
d) Hadis dari Anas bin Malik r.a yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Nabi
SAW bersabda, “Rasulullah SAW pernah menggadaikan baju besinya
kepada seorang Yahudi di Madinah, dan darinya beliau telah
mengambil gandum untuk keluarganya.”

23
e) Hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari,
Nabi SAW bersabda, “Hewan yang digadai boleh ditunggangi sesuai
biayanya, dan susu hewan boleh diminum apabila digadaikan.”
f) Hadis Riwayat Ibnu Majah, Nabi SAW bersabda, “Tidak boleh
menyembunyikan barang gadai.”
3. Ijma Ulama

Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan.


Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa
pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki
segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah
menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang
sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya. Di samping itu,
berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 25/DSNMUI/III/2002,
tanggal 26 Juni 2002 dinyatakan bahwa, pinjaman dengan menggadaikan
barang sebagai jaminan hutang dalam bentuk rahn dibolehkan. Jumhur
ulama berpendapat bahwa rahn disyariatkan pada waktu tidak bepergian
maupun pada waktu bepergian.

Hakikat dan fungsi gadai dalam Islam adalah mendatangkan


pemahaman yang membentuk pandangan hidup tertentu dan garis hukum
global. Islam mengajarkan umatnya untuk membantu hidup, yang kaya
membantu yang miskin. Berbicara tentang pinjam meminjam ini,
menggadaikan itu salah satu kategori perjanjian hutang, untuk kepercayaan
dari kreditur, debitur menjaminkan barang tersebut sebagai jaminan
terhadap utang.

3.3.3 Rukun Akad Rahn

Fiqh Muamalah mempersyaratkan rukun gadai dalam hal transaksi gadai


sebagai berikut :

a. Aqid (Orang yang Berakal)

24
Aqid adalah orang yang melakukan akad yang meliputi dua arah, yaitu
rahin (orang yang menggadaikan barangnya) dan murtahin (orang yang
berpiutang dan menerima barang gadai). Hal tersebut didasari oleh sighat,
yaitu ucapan berupa ijab qabul (serah terima antara penggadai dengan
penerima gadai).
b. Ma’qud ‘alaih (Barang yang Diakadkan)
Ma’qud ‘alaih meliputi dua hal, yaitu marhun (barang yang
digadaikan) dan marhun bih (dain) atau utang yang karenanya diadakan
akad rahn.

3.3.4 Syarat Akad Rahn

Syarat-syarat akad rahn dalam hukum Islam harus dipenuhi agar transaksi
gadai dianggap sah dan sesuai dengan syariat. Berikut adalah syarat-syarat
tersebut:

a) Shighat
Syarat shighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan waktu yang
akan datang. Misalnya, orang yang menggadaikan hartanya mempersyaratkan
tenggang waktu utang habis dan utang belum terbayar, sehingga pihak
penggadai dapat diperpanjang satu bulan tenggang waktunya. Kecuali jika
syarat itu mendukung kelancaran akad maka diperbolehkan.

b) Pihak-pihak yang berakad cakap menurut hukum

Pihak-pihak yang berakad cakap menurut hukum mempunyai


pengertian bahwa pihak rahin dan mahrun cakap melakukan perbuatan
hukum, yang ditandai dengan aqil baligh, berakal sehat, dan mampu
melakukan akad. Menurut mazhab Hanafi, anak kecil yang mumayyiz, yang
sudah dapat membedakan sesuatu baik dan buruk, maka ia dapat melakukan
akad rahn dengan syarat akad rahn yang dilakukan mendapat persetujuan dari
walinya.

25
c) Utang (Marhun Bih)

Utang (marhun bih) mempunyai pengertian bahwa:

o utang adalah kewajiban bagi pihak berutang untuk membayar kepada


pihak yang memberi piutang;
o merupakan barang yang dapat dimanfaatkan, jika tidak bermanfaat maka
tidak sah;
o barang tersebut dapat dihitung jumlahnya.

d) Marhun

Marhun adalah harta yang dipegang oleh murtahin (penerima gadai)


atau wakilnya, sebagai jaminan utang. Para ulama menyepakati bahwa syarat
yang berlaku pada barang gadai adalah syarat yang berlaku pada barang yang
dapat diperjualbelikan.

o Agunan itu harus bernilai dan dapat dimanfaatkan menurut ketentuan


syariat Islam; sebaliknya agunan yang tidak bernilai dan tidak dapat
dimanfaatkan menurut syariat Islam maka tidak dapat dijadikan agunan;
o Agunan itu harus dapat dijual dan nilainya seimbang dengan besarnya
utang;
o Agunan itu harus jelas dan tertentu (harus dapat ditentukan secara spesifik);
o Agunan itu milik sah debitur;
o Agunan itu tidak terikat dengan hak orang lain (bukan milik orang lain,
baik sebagian maupun seluruhnya).
o Agunan itu harus harta yang utuh, tidak berada di beberapa tempat.
o Agunan itu dapat diserahkan kepada pihak lain, baik materinya maupun
manfaatnya

3.3.5 Ketentuan Umum Pelaksanaan Rahn dalam Islam

A. Kedudukan Barang Gadai

26
Ketika barang gadai berada di tangan pemegang gadai, maka sebenarnya
kedudukan barang gadai hanya merupakan amanat yang dipercayakan oleh
pihak penggadai kepada pemegang gadai.
B. Pemanfaatan barang Gadai
Secara dasar, barang gadai tidak boleh dimanfaatkan oleh pemiliknya
maupun oleh penerima gadai. Hal ini disebabkan karena status barang
tersebut hanya sebagai jaminan utang dan sebagai amanat bagi penerima
gadai. Namun, jika mendapat izin dari masing-masing pihak yang terlibat,
maka barang gadai dapat dimanfaatkan. Oleh karena itu, dalam perjanjian
gadai, sebaiknya tercantum ketentuan yang mengizinkan penggadai atau
penerima gadai untuk memanfaatkan barang gadai, dengan hasilnya
menjadi milik bersama. Ketentuan ini bertujuan untuk menghindari agar
harta benda tidak menjadi tidak berfungsi atau mubazir.
C. Resiko Atas Kerusakan Barang Gadai
Terdapat beberapa pandangan mengenai kerusakan barang gadai yang
disebabkan tanpa kesengajaan oleh penerima gadai (murtahin). Menurut
ulama mazhab Syafi’i dan Hambali, murtahin tidak harus menanggung
resiko sebesar harga minimum barang gadai. Penghitungan dimulai sejak
barang gadai diserahkan kepada murtahin hingga hari terjadinya kerusakan
atau kehilangan.
D. Pemeliharaan Barang Gadai
Para ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa biaya
pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan penggadai. Alasannya
adalah karena barang tersebut berasal dari penggadai dan tetap merupakan
miliknya. Namun, para ulama Hanafiyah memiliki pandangan berbeda.
Menurut mereka, biaya yang diperlukan untuk menyimpan dan
memelihara keselamatan barang gadai menjadi tanggungan penerima
gadai, mengingat kedudukannya sebagai orang yang menerima amanat.
E. Kategori Barang Gadai
Jenis barang yang biasa digadaikan sebagai jaminan adalah semua barang
bergerak dan tak bergerak yang memenuhi syarat sebagai berikut:

27
a) Benda bernilai menurut hukum syara’
b) Benda berwujud pada waktu perjanjian terjadi
c) Benda diserahkan seketika kepada murtahin.
F. Pembayaran atau Pelunasan Utang Gadai
Apabila sampai pada waktu yang sudah di tentukan, rahin belum juga
membayar kembali utangnya, maka rahin dapat dipaksa oleh marhun
untuk menjual barang gadaianya dan kemudian digunakan untuk melunasi
hutangnya.
G. Prosedur Pelelangan Gadai
Jumhur fukaha berpendapat bahwa orang yang menggadaikan tidak boleh
menjual atau menghibahkan barang gadai, sedangkan bagi penerima gadai
dibolehkan menjual barang tersebut dengan syarat pada saat jatuh tempo
pihak penggadai tidak dapat melunasi kewajibannya.
3.3.6 Berakhirnya Hak Gadai Syariah (Rahn)
Suatu perjanjian tidak bersifat langgeng, artinya perjanjian tersebut sewaktu-
waktu dapat berakhir atau batal. Namun, batalnya hak gadai memiliki
perbedaan dengan hak lainnya. Menurut Abdul Aziz Dahlan, hak gadai
dikatakan batal apabila:
o Hutang piutang telah dibayar dan terlunasi.
o Barang gadai (marhun) keluar dari kekuasaan penerima gadai (murtahin).
o Para pihak tidak melaksanakan hak dan kewajiban yang telah ditetapkan.
o Barang gadai tetap berada dalam kekuasaan pemberi gadai atau
dikembalikan atas kemauan yang berpiutang.

Menurut Sayyid Sabiq, hak gadai akan berakhir apabila:


o Pemberi gadai (rahin) telah melunasi semua kewajibannya kepada
penerima gadai (murtahin).
o Rukun dan syarat perjanjian gadai tidak terpenuhi.
o Salah satu atau kedua belah pihak ingkar terhadap ketentuan syariah dan
akad yang telah disepakati.
o Masa akad berakhir jika akad memiliki tenggang waktu.

28
o Akad dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad jika akad mengikat.
o Dalam akad yang mengikat, akad dapat berakhir jika:
- Akad mengalami cacat (fasid).
- Berlaku opsi pembatalan (khiyar syarat atau khiyar aib).
- Akad tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak yang berakad.
- Tujuan akad telah tercapai secara sempurna.

29
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Riba merupakan hal yang diharamkan atau dilarang keras dalam agama
Islam karena riba sendiri sangat merugikan bagi orang yang berhutang, sedangkan
yang menghutangi akan semakin kaya dan menginjak-injak orang yang miskin. Dari
riba tersebut tidak memakai konsep etika atau moralitas. Allah mengharamkan
transaksi yang mengandung unsur ribawi, hal ini disebabkan mendholimi orang lain
dan adanya unsur ketidakadilan. Islam mengharamkan riba selain telah tercantum
secara tegas dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 278-279 yang merupakan ayat
terakhir tentang pengharaman riba, juga mengandung unsur eksploitasi. Dalam surat
al-baqarah disebutkan tidak boleh menganiaya dan tidak (pula) dianiaya, maksudnya
adalah tidak boleh melipat gandakan uang yang telah dihutangkan, juga karena dalam
kegiatannya cenderung merugikan orang lain.

Qardh adalah salah satu akad pinjam meminjam an tara dua pihak, yang tidak
mensyaratkan adanya kelebihan disaat pengembalian pinjaman. Dibanyak literatur,
Qardh cenderung digunakan oleh bank dengan asas sosial, tolong menolong,
sehingga biasa disebut sebagai Qardh al Hasan. Sumber dana Qardh diambil dari
dana zakat, infaq, shadaqah dan beberapa penghasilan bank yang tidak hala1.
Menurut madzhab Maliki, Syafi'I dan Hambali diperbolehkan melakukan Qardh atas
semua harta yang bisa diperjualbelikan seperti emas, perak, makanan, atau dari harta
yang bernilai seperti barangbarang dagangan, binatang dan sebagainya. Dilain sisi
karena harta yang dipinjamkan sudah merupakan hutang, maka hutang tersebut harus
mempunyai padanan yang sama dengan benda lain atau paling tidak mempunyai
takaran yang jelas apabila akan dilunasi oleh pihak penghutang, seperti halnya uang.

Selain Qardh penulis juga membahas tentang Rahn, dan dua akad tersebut
mempunyai kriteria masing-masing tetapi saling berkaitan. Bedanya saat orang
melakukan akad Rahn ia harus mempunyai sesuatu yang dapat digadaikan, sehingga
ia mendapatkan pinjaman dari sesuatu yang ia gadaikan. Dan juga barang yang

30
digadaikan tersebut sekaligus menjadi jaminan apabila tidak dapat melunasi
hutangnya. Dan berkaitan dengan pendapat ulama mengenai hal-hal yang berkenaan
dengan Rahn, manurut Fuqaha' kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi'iyyah
berpendapat bahwa pemegang gadai tidak boleh mengambil manfaat barang
gadaiannya, karena itu masih merupakan hak bagi Rahin. Sedangkan Imam Ahmad
saja yang membolehkannya. Berkaitan dengan aplikasi dilapangan, lembaga
perbankan syari'ah menjadikan akad Rahn ini sebagai akad pelengkap disamping
menjadi produk yang ditawarkan kepada nasabah. Selain itu tentunya pegadaian
syari'ahlah yang berkompeten dalam pemakaian akad Rahn, dengan berbagai varian
produk yang ditawarkan.

31
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofur. (2016, Mei). Konsep Riba Dalam Al-Qur'an. Economica, Vol. 7, No. 1(1).
https://journal.walisongo.ac.id/index.php/economica/article/view/1030
Jeniza Jamaludin dkk. (2023). The Safe-Keeping Fee In Al-Rahn And Shariah
Compliance. Journal of Survey in Fisheries Sciences, Vol. 10, No. 1, 5848-5857.
http://sifisheriessciences.com/journal/index.php/journal/article/view/1969/2025
Khairul Anuar Ahmad, Nor Fadhilah Bahari. (2019). An Overview of the Shariah Issues
of Rahn-Based Financing in Malaysia. Journal of Muwafaqat, Vol. 2, No. 1, 16-
29.
http://journal.kuis.edu.my/muwafaqat
Andi Triyawan. (n.d.). Konsep Rahn dan Qardh Menurut Fiqih Almadzhahib. Vol. 8, No.
1.

https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/ijtihad/article/download/2587/1818

Nurul Hidayati, Agus Sarono. (2019). Pelaksanaan Akad Qardh Sebagai Akad Tabbaru.
Notarius, Vol. 12, No. 2.
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/notarius/article/download/29137/16796

32

Anda mungkin juga menyukai