Dosen Pengampu :
Kelompok 3 Kelas F :
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2024
1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah. Puji syukur kehadirat Allah SWT senantiasa kita ucapkan. Atas
karunia-Nya berupa nikmat iman dan kesehatan ini akhirnya penulis bisa menyelesaikan
makalah yang berjudul “Riba, Qardh, dan Rahn”. Tidak lupa shalawat serta salam
tercurahkan bagi Baginda Agung Rasulullah SAW yang syafaatnya akan kita nantikan
kelak.
Makalah berjudul “Riba, Qardh, dan Rahn” dibuat untuk memenuhi tugas mata
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah mendukung serta
manfaat bagi pembaca sekaligus menambah pengetahuan tentang “Riba, Qardh, dan
Rahn”.
kalimat dan kesalahan. Meskipun demikian, penulis terbuka pada kritik dan saran dari
(Kelompok 8)
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..................................................................................................................... 3
5. Riba Jahiliyah............................................................................................. 17
3.2 Pengertian, Dasar Hukum, Rukun, Syarat, dan Hikmah Akad Qardh .................. 17
3
3.2.5 Karakteristik Qardh ........................................................................................ 20
3.3 Pengertian, Dasar Hukum, Rukun, Syarat, Ketentuan, dan Berakhirnya Akad Rahn
.................................................................................................................................... 21
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam adalah suatu sistem dan jalan hidup yang kokoh dan terpadu, sehingga
hal itu dapat memberi panduan yang terus berkembang untuk setiap aspek kehidupan,
termasuk bisnis dan transaksi keuangan. Ini menunjukkan bahwa penerapan prinsip
syariah Islam diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua orang. Salah satu
keuntungan dari lembaga keuangan syariah adalah mereka tidak meminta
keuntungan dari pokok pinjaman karena hal ini termasuk riba, yang jelas diharamkan
dalam Islam.
Riba adalah praktik yang tidak diperbolehkan dalam syariah Islam. Prinsip
syariah melarang aktivitas peminjaman tersebut dengan menambahkan dana dari
pokok pinjaman. Kelebihan dana yang ditentukan di awal maupun di akhir
merupakan bentuk riba. Untuk menghindari praktek riba tersebut maka syariah
memberikan Solusi yang diamalkan oleh Rasulullah SAW, yaitu gadai (rahn) yang
memiliki pengertian penyerahan suatu benda yang berharga dari seseorang kepada
orang lain untuk mendapatkan hutang. Benda tersebut dijadikan jaminan agar bisa
dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya apabila dia gagal
melunasinya. Gadai syariah dalam hukum Islam disebut rahn, yaitu menahan salah
satu harta milik peminjam (rahin) sebagai marhum atas pinjaman marhum bih yang
diperoleh dari peminjam atau murtahin.
Rahn dapat dilaksanakan jika transaksi muamalah tidak secara kontan (hutang
piutang). Apabila bermuamalah melalui hutang piutang maka dianjurkan untuk
ditulis sebagai bukti agar tidak ada perselisihan. Uang atau dana yang dipinjamkan
dalam bentuk bantuan yang tidak mengharapkan pembayaran tambahan atas hutang
dikenal sebagai transaksi gadai syariah (Rahn). Ada beberapa hal yang membedakan
gadai konvensional dari gadai syariah. terletak pada penggunaan bunga. Untuk
menghindari unsur riba, gadai syariah menggunakan mekanisme yang sesuai dengan
prinsip syariah, seperti akad qardhul hasan, akad mudharabah, akad ijarah, akad rahn,
akad ba'i muqayyadah, dan akad musyarakah.
5
Perbedaan mendasar antara gadai konvensional dan gadai syariah terletak pada
implementasi bunga. Jaminan dalam gadai berbentuk kepercayaan dan amanah
timbal balik bagi keduanya, dimana yang memiliki barang jaminan berhak
memperoleh barangnya kembali setelah memenuhi kewajibannya kepada yang
memberikan, serta apabila diantara keduanya melakukan kecurangan dengan sengaja
atau tidak, maka bagi keduanya berhak memenuhi kesepakatan.
Akad qardh adalah salah satu bentuk penyaluran dana kepada masyarakat.
Akad qardh adalah akad pinjaman dana kepada nasabah dengan ketentuan bahwa
nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya dengan waktu yang telah
disepakati. Syafii Antonio mengatakan bahwa al-qardh adalah memberikan harta
kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali, atau meminjamkan harta
kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Qardh tidak termasuk dalam
transaksi komersial, tetapi termasuk dalam aqd tathawwui, atau akad saling
membantu, dalam karya fikih klasik.Namun, ulama Hanafiyah menganggap qardh
yang menghasilkan keuntungan haram, ulama Malikiyah menganggapnya sah, dan
ulama Syafiiah dan Hanabillah menganggapnya diperbolehkan.
1.3 Tujuan
6
1.4 Manfaat
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Akad merupakan hal terpenting yang harus ada dalam suatu perjanjian. Akad
sering disebut sebagai perjanjian, atau dalam bahasa Arab disebut `aqad atau janji (ahdun).
Menurut Wahbah Al-Juhaili, akad adalah ikatan antara dua perkara, baik dalam ikatan
nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi. Sedangkan
menurut ulama hukum Islam, akad adalah setiap tindakan yang memerlukan kehendak
dan persetujuan dua pihak dengan adanya ijab dan qabul. Terdapat dua istilah dalam Al-
Qur’an yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu al-`aqdu (akad) dan al-ahdu (janji).
Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabth)
memiliki arti yaitu menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan
salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya tersambung dan menjadi seperti seutas
tali yang satu. Definisi akad secara fiqih adalah pertalian ijab (pernyataan penerimaan
ikatan) daa kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang
berpengaruh kepada objek perikatan.
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji! Dihalalkan bagimu hewan ternak,
kecuali yang akan disebutkan kepadamu (keharamannya) dengan tidak menghalalkan
berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki.
Beberapa rukun dan syarat Akad yaitu Aqid (orang yang berakad), Ma’qud Alaih
(objek akad), Maudhu’ Al-Aqid (tujuan akad), dan Sighat (ijab dan kabul). Selain itu,
terdapat beberapa syarat Akad yang meliputi: Ijab dan Kabul wajib bersambung, berjalan
terus tidak dicabut sebelum kabul terjadi. Hukum islam telah menentukan prinsip-prinsip
akad yang mempengaruhi pelaksanaan akad. Prinsip-prinsip tersebut seperti kejujuran,
8
keadilan, keseimbangan, kesepakatan bersama, perjanjian bersifat mengikat, dan
sebagainya. Pelaksanaan prinsip tersebut tentunya diterapkan dalam berbagai kegiatan
manusia pada sudut pandang Ilmu Fiqih.
Dalam Ilmu Fiqih terdapat berbagai kegiatan yang dilakukan oleh manusia. Dari
berbagai kegiatan tersebut, terdapat tiga kegiatan yang termasuk ke dalam bagian
muamalah selain jual-beli, yaitu Riba, Qardh, dan Rahn. Secara bahasa, al-Razi
mendefinisikan kata riba yang berarti tambahan. Menurut Quraish Shihab, kata riba dari
segi bahasa berarti kelebihan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa secara umum
terdapat benang merah antara pengertian secara bahasa (lughah) maupun secara istilah
yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan dalam suatu akad transaksi
tertentu di mana pengambilan tambahan tersebut tanpa disertai imbangan tertentu. Riba
identik dengan bunga. Pendapat ini disebabkan riba merupakan bunga uang, karena
mempunyai arti yang sama maka hukumnya sama. Bunga merupakan keuntungan yang
diperoleh pihak bank atas jasanya yang telah meminjamkan uang kepada debitur dengan
dalil untuk usaha produktif, sehingga dengan uang pinjaman tersebut usahanya menjadi
maju dan lancar, dan keuntungan yang diperoleh semakin besar. Hukum riba adalah
haram. Riba tidak sama dengan jual beli, Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Apabila telah datang peringatan Allah tentang haramnya riba, maka
harus berhenti memakan riba dan dilarang melakukannya.
طهُ الش َّۡي ٰط ُن مِ نَ ۡال َم ِس ؕ ٰذ ِلكَ ِباَنَّ ُهمۡ َقالُ ۡۤۡوا اِنَّ َما ۡالبَ ۡي ُع مِ ۡث ُل ِ َاَلَّذ ِۡينَ يَ ۡا ُكلُ ۡون
ُ َّالر ٰبوا َْل يَقُ ۡو ُم ۡونَ ا َِّْل َك َما يَقُ ۡو ُم الَّذ ِۡى يَت َ َخب
ّٰللا ؕ َو َم ۡن عَا َد ِ ف َوا َ ۡم ُرهٗۤۡ اِلَى ه َ ظة ِم ۡن َّربِ ٖه َف ۡانت َ ٰهى َفلَ ٗه َما
َ ؕ َسل َ الر ٰبوا ؕ َف َم ۡن َجآٰءَهٗ َم ۡو ِع ِ ّٰللاُ ۡالبَ ۡي َع َوح ََّر َم
الر ٰبوا ۘ َوا َ َح َّل هِ
َ اِنَّ الَّذ ِۡين.ب ُك َّل َكفَّ ٍار اَث ِۡي ٍم ُّ ِّٰللاُ َْل يُح
ت ؕ َو ه ِ صد َٰق
َّ الر ٰبوا َويُ ۡربِى ال ِ ُّٰللا
ق ه ُ يَ ۡم َح. َب النَّ ِار ۚ هُمۡ ف ِۡيهَا ٰخ ِلد ُۡون ُ ص ٰح ۡ َ ولٰٓ ِٕٮكَ ا
ٰ ُ َفا
َ الز ٰكوةَ لَ ُهمۡ ا َ ۡج ُرهُمۡ ع ِۡن َد َربِ ِهمۡ ۚ َو َْل َخ ۡوف
. َعلَ ۡي ِهمۡ َو َْل هُمۡ يَ ۡح َزنُ ۡون َّ ت َوا َ َقا ُموا الص َّٰلوةَ َو ٰات َ ُوا ٰا َمنُ ۡوا َوعَمِ لُوا ال ه
ِ صل ِٰح
ٍ َفا ِۡن لَّمۡ تَ ۡفعَلُ ۡوا َف ۡاذَنُ ۡوا ِبح َۡر. َالر ٰ ٰٓبوا ا ِۡن ك ُۡنت ُمۡ ُّم ۡؤمِ ن ِۡين ۡۤ
ِ ب ِمنَ ه
ّٰللا َ ٰيـاَيُّهَا الَّذ ِۡينَ ٰا َمنُوا اتَّقُوا ه
ِ َّٰللا َوذَ ُر ۡوا َما بَق َِى مِ ن
َس ا َ ۡم َوا ِلكُمۡ ۚ َْل ت َ ۡظ ِل ُم ۡونَ َو َْل ت ُۡظلَ ُم ۡون
ُ س ۡول ِٖه ۚ َوا ِۡن ت ُۡبت ُمۡ َفلَـكُمۡ ُر ُء ۡو
ُ َو َر
Artinya:
9
Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan
sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu
berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh,
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya.
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya
akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu
pokok hartamu, kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
ُ ُۖ ْص
ط َواِلَ ْي ِه ت ُْر َجعُ ْون ُ ِّٰللاُ يَ ْقب
ُ ض َويَب
ِۗ ْ َض ِعفَ ٗه لَ ٗ ٰٓه ا
ضعَا ًفا َكثِي َْرةً َو ه ٰ ُسنًا َفي
َ ّٰللا َق ْرضًا َح
َض ه ْ َم ْن ذَا الَّذ
ُ ِي يُ ْق ِر
Artinya:
10
Siapakah yang mau memberi pinjaman yang baik kepada Allah? Dia akan
melipatgandakan (pembayaran atas pinjaman itu) baginya berkali-kali lipat. Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezeki). Kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
Menurut Kaidah hukum Fiqih, Hukum qardh sunnah bagi orang yang
memberikannya dan mubah bagi orang yang diberi hutang. Hukum qardh dapat berubah
sesuai dengan situasi dan kondisinya, ada saatnya hukum qardh menjadi wajib, makruh,
dan juga haram. Jika orang yang meminjam itu dalam mencukupi kebutuhannya yang
terdesak, sedangkan orang yang dipinjami orang yang kaya maka orang tersebut wajib
memberinya pinjaman, jika pemberi pinjaman mengetahui bahwa orang yang meminjam
itu akan menggunakan uangnya untuk berbuat maksiat atau perbuatan yang makruh maka
memberikan pinjaman kepada orang tersebut hukumnya makruh atau haram sesuai
dengan kondisinya. Namun apabila seseorang melakukan pinjaman bukan karena adanya
kebutuhan yang mendesak, melainkan untuk dipergunakan modal usaha maka hukumnya
menjadi mubah.
Qardh berhubungan dengan Rahn. Hal ini terjadi ketika penerima pinjaman tidak
mampu mengembalikan harta yang dipinjamkan atau digadaikan dalam waktu yang
ditentukan. Gadai dalam hukum Islam disebut Rahn yang termasuk jenis akad untuk
menahan suatu benda sebagai kewajiban hutang. Secara etimologis, rahn disebut al-habsu
yang memiliki arti baik dan lestari. Menurut terminologi rahn adalah memegang aset
peminjam sebagai jaminan atas hutang yang diterimanya. Barang yang disita memiliki
nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak pemegang mendapat jaminan untuk dapat
mengambil kembali seluruh maupun sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat
dijelaskan bahwa rahn adalah agunan hutang atau gadai.
Rahn dikatakan sebagai hal yang jaiz atau diperbolehkan, baik menurut Al-Qur'an
maupun As-Sunnah dan Ijma Ulama. Gadai dapat dilakukan oleh lembaga atau
perseorangan seperti perusahaan swasta, perum pegadaian, pemerintah, atau bagian dari
produk bank yang ditawarkan. Dasar hukum gadai secara Islam sebagaimana diatur dalam
Al Qur'an dan As-Sunnah dapat dijelaskan sebagai berikut:
11
ِۗ
ّٰللا َربَّ ِٗۗه
َق ه ُ سفَ ٍر َّولَ ْم ت َ ِجد ُْوا كَاتِبًا َف ِر ٰهن َّم ْقبُ ْوضَة َفا ِْن اَمِ نَ بَ ْع
ِ َّض ُك ْم بَ ْعضًا َف ْليُؤ َِد الَّذِى اؤْ تُمِ نَ اَ َمانَت َ ٗه َو ْليَت َ َوا ِْن ُك ْنت ُ ْم ع َٰلى
ِۗ ِۗ َّ ࣖ َو َْل ت َ ْكتُموا ال
ع ِليْم شهَا َدةَ َو َم ْن يَّ ْكت ُ ْمهَا َف ِانَّ ٗ ٰٓه ٰاثِم َق ْلبُ ٗه َو ه
َ َّٰللاُ بِ َما ت َ ْع َملُ ْون ُ
Artinya:
Jika kamu dalam perjalanan, sedangkan kamu tidak mendapatkan seorang pencatat,
hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Akan tetapi, jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Janganlah kamu
menyembunyikan kesaksian karena siapa yang menyembunyikannya, sesungguhnya
hatinya berdosa. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
12
BAB III
PEMBAHASAN
Para ulama sepakat bahwa riba itu diharamkan. Riba adalah salah satu
usaha mencari rezeki dengan cara yang tidak benar dan dibenci Allah SWT.
Praktik riba lebih mengutamakan keuntungan diri sendiri dengn mengorbankan
orang lain. Menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin besar antara yang
kaya dan miskin, serta dapat mengurangi rasa persaudaraan. Oleh karena itu,
Islam mengharamkan riba. Allah SWT mengharamkan riba karena banyak
dampak negatif yang ditimbulkan dari praktik riba tersebut. Larangan dari
13
praktik ini adalah bertujuan menolak kemudaratan dan mewujudkan
kemaslahatan manusia. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa riba adalah tambahan atau kelebihan dari modal pokok yang
di syaratkan bagi salah satu dari dua orang yang mengakadkan akad.
1. Tahap Pertama,
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipatgandakan (pahalanya)” (QS. Ar Rum : 39).
2. Tahap kedua,
Riba digambarkan sebagai suatu yang buruk dan balasan yang keras
kepada orang Yahudi yang memakan riba.
ً ّٰللا َكث
ِيرا َ ت أُحِ لَّتْ لَ ُه ْم َو ِبص َِد ِه ْم ع َْن
ِ َّ س ِبي ِل َ علَ ْي ِه ْم
ٍ ط ِيبَا ُ َف ِب
َ ظ ْل ٍم مِ نَ الَّ ِذينَ َهادُوا ح ََّر ْمنَا
14
orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang
yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih” (QS. An-Nisa: 160-161).
3. Tahap ketiga
riba itu diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat
ganda.
َ َّ عفَةً ُۖ َواتَّقُوا
ّٰللا لَعَلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُحون ِ َيَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا َْل تَأ ْ ُكلُوا
ْ َ الربَا أ
َ ضعَا ًفا ُمضَا
4. Tahap akhir
Ayat riba diturunkan oleh Allah SWT. Yang dengan jelas sekali
mengharamkan sebarang jenis tambahan yang diambil daripada pinjaman.
Pengertian riba secara umum memiliki arti yang cukup jelas. Namun,
mungkin dalam praktiknya masih ada yang belum benar-benar memahami apa
itu riba. Selain pengertian dan dasar hukum Islam, berikut ini beberapa jenis riba
yang bisa kamu pahami beserta contoh-contohnya.
15
1. Riba Fadli
Riba fadli adalah sebutan untuk riba fadhl yaitu kegiatan transaksi jual beli
atau pertukaran barang dengan jumlaha tau takaran yang berbeda. Contoh riba
fadhl yaitu penukaran uang Rp100.000 dengan 45 lembar pecahan Rp2.000
sehingga nominal uang yang diberikan hanya Rp90.000.
2. Riba Nasiah
Riba nasiah adalah hasil transaksi jual beli dan penukaran barang yang
menghasilkan kelebihan dengan jangka waktu tertentu. Transaksi bisa
menggunakan jenis barang yang sama, tapi ada penangguhan waktu dalam
pembayarannya.
Contohnya saat Anto meminjam emas batangan pada Iman, tapi Iman
meminta dikembalikan dengan uang tunai setahun mendatang. Dengan harga
emas yang kemungkinan naik di masa yang akan datang, Anto yang
meminjam harus membayar dengan lebih tinggi sehingga kelebihan tersebut
menjadi riba nasiah.
3. Riba Yad
Pembelian mobil tunai akan dihargai Rp100 juta, tapi harganya menjadi
Rp120 juta saat membeli secara kredit dalam jangka waktu tertentu. Meski
belum menyerahkan uang dengan jumlah yang disepakati, pembeli sudah bisa
mendapatkan mobil. Kelebihan Rp20 juta dari harga pokok termasuk riba yad.
4. Riba Qardh
Jenis riba qardh merupakan jenis riba yang berupa tambahan nilai dari
pengembalian pokok utang dengan persyaratan dari pemberi utang. Contoh
16
riba qardh adalah pinjaman dari bank sebesar Rp200 juta yang harus dilunasi
nasabah dengan tempo angsuran 12 bulan dengan bunga 5%.
5. Riba Jahiliyah
Jenis riba jahiliyah juga merupakan tambahan atau kelebihan yang dikenakan
atas nomimal pelunasan utang yang sudah melebihi pokok jumlah pinjaman.
Biasanya, pengenaan tersebut dikenakan karena peminjam tidak bisa
membayar utang sesuai waktu yang disepakati.
Contoh riba jahiliyah adalah transaksi peminjaman uang dari senilai Rp50
juta yang akan dikembalikan selama 6 bulan. Jika tidak dibayarkan dalam 6
bulan yang disepakati, peminjam akan dikenakan nominal tambahan dari total
pinjaman.
3.2 Pengertian, Dasar Hukum, Rukun, Syarat, dan Hikmah Akad Qardh
17
pertama menyediakan harta atau memberikan harta dalam arti meminjamkan
harta kepada pihak kedua sebagai peminjam uang atau orang yang menerima
harta yang dapat ditagih atau diminta kembali oleh pihak pertama. Apabila
dilihat dari sifatnya, maka qardh ini bersifat tidak memberikan keuntungan
secara finansial. Oleh karenanya, akad Al-Qardh digunakan untuk membantu
modal usaha yang sangat kecil dan juga kebutuhan sosial manusia lainnya.
1. Dalil Al-Qur'an
ُ ُۖ ْص
ط َواِلَ ْي ِه ُ ّٰللاُ يَ ْق ِب
ُ ض َويَب
ِۗ ْ َض ِعفَ ٗه لَ ٗ ٰٓه ا
ضعَا ًفا َكثِي َْرةً َو ه ٰ ُسنًا َفي
َ ّٰللا َق ْرضًا َح
َض ه ْ َم ْن ذَا الَّذ
ُ ِي يُ ْق ِر
ت ُْر َجعُ ْون
Artinya:
Siapakah yang mau memberi pinjaman yang baik kepada Allah? Dia akan
melipatgandakan (pembayaran atas pinjaman itu) baginya berkali-kali lipat.
Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki). Kepada-Nyalah kamu
dikembalikan.
2. Dalil Hadits
Riwayat Imam Muslim yang bersumber dari Abu Rafi’ r.a yang
berbunyi:
18
3. Ijma Ulama
Hukum qardh sunat bagi orang yang memberikannya dan mubah bagi
orang yang diberi utang. Hukum qardh dapat berubah sesuai dengan situasi
dan kondisinya, ada saatnya hukum qardh menjadi wajib, makruh, dan juga
haram. Jika orang yang meminjam itu dalam mencukupi kebutuhannya yang
terdesak, sedangkan orang yang dipinjami orang yang kaya maka orang
tersebut wajib memberinya pinjaman, jika pemberi pinjaman mengetahui
bahwa orang yang meminjam itu akan menggunakan uangnya untuk berbuat
maksiat atau perbuatan yang makruh maka memberikan pinjaman kepada
orang tersebut hukumnya makruh atau haram sesuai dengan kondisinnya.
Namun apabila seseorang melakukan pinjaman bukan karena adanya
kebutuhan yang mendesak, melainkan untuk dipergunakan modal usaha maka
hukumnya menjadi mubah.
1) Ijab dan Qabul (sighat), yaitu penyerahan atau ekpresi saling ridho atau rela
para pihak yang dilakukan secara lisan maupun tulisan.
2) Aqidayn (dua pihak yang melakukan transaksi), yaitu Pemberi Pinjaman
(muqridh) dan Pihak Peminjam (muqtaridh).
3) Objek akad atau harta yang dipinjamkan. Objek akad merupakan barang
pinjaman. Barang pinjaman adalah barang yang dipinjamkan oleh pemilik
barang kepada si peminjam. Syarat barang yang berkenaan dengan objek
yaitu uang.
19
3.2.4 Syarat Akad Qardh
1) Akad qardh dilakukan dengan shigat ijab dan qabul atau bentuk lain yang
dapat menggantikannya, seperti muatah (akad dengan tindakan/ saling
memberi dan saling mengerti).
2) Kedua belah pihak yang terlibat akad harus cakap hukum (berakal, baligh,
dan tanpa paksaan). Berdasarkan syarat ini, maka qardh sebagai akad tabaru’
(berderma/sosial), maka akad qardh yang dilakukan anak kecil, orang gila,
orang bodoh atau orang yang dipaksa, maka hukumnya tidak sah.
3) Menurut kalangan hanafiyah, harta yang dipinjamkan haruslah harta yang ada
padanannya di pasaran, atau padanan nilainya (mitsil), sementara menurut
jumhur ulama, harta yang dipinjamkan dalam qardh dapat berupa harta apa
saja yang dijadikan tanggungan.
4) Ukuran, jumlah, jenis dan kualitas harta yang dipinjamkan harus jelas agar
mudah untuk dikembalikan. Hal ini untuk menghindari perselisihan diantara
para pihak yang melakukan akad qardh.
1) Ulama Fiqih sepakat bahwa qardh harus dibayar di tempat terjadinya akad
secara sempurna.
2) Menurut Jumhur Ulama selain Mazhab Maliki, waktu pengembalian harta
pengganti adalah kapan saja terserah kehendak pemberi harta setelah
peminjam menerima pinjamannya.
3) Qardh dimiliki dengan serah terima, ketika ia telah diterima oleh muqtaridh
maka telah menjadi miliknya dan berada dalam tanggung jawabnya.
4) Al-Qardh biasanya dalam waktu tertentu, namun jika tempo pembayarannya
diberikan maka akan lebih baik, karena akan lebih memudahkannya lagi.
20
5) Jika barang asli yang dipinjamkan masih ada seperti semula maka harus
dikembalika dan jika telah berubah maka dikembalikan semisalnya atau
seharga.
6) Diharapkan segala persyaratan yang mengambil keuntungan apapun bagi
muqridh dalam qardh, karena menyerupai riba’ bahkan termasuk dari macam
riba’.
3.3 Pengertian, Dasar Hukum, Rukun, Syarat, Ketentuan, dan Berakhirnya Akad
Rahn
Ar-rahn (gadai) dalam bahasa memiliki arti al-tsubut dan al-habs, yang
merujuk pada penetapan dan penahanan. Beberapa penjelasan juga menyebut
bahwa rahn adalah kondisi terkurung atau terjerat. Secara bahasa, rahn juga
diartikan sebagai sesuatu yang tetap, kekal, dan berfungsi sebagai
jaminan. Dalam pengertian istilah, rahn mengacu pada tindakan menyandera
sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan harta tersebut
dapat diambil kembali setelah ditebus.
Secara etimologi, rahn berarti “tetap dan lama,” yang mengacu pada
keadaan yang tetap atau berarti “pengekangan dan keharusan.” Namun,
menurut terminologi, rahn artinya “penahanan terhadap suatu barang dengan
21
hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.”
Berdasarkan pandangan ulama, terdapat beberapa definisi rahn:
Akad rahn atau gadai syariah memiliki dasar yang kuat dalam Islam dan
merujuk pada tiga sumber utama: Al-Quran, Al-Hadits, dan ijma ulama.
1. Al-Quran
22
Para ulama fiqh sepakat bahwa akad rahn adalah praktik yang
diperbolehkan. Ayat 283 dalam surat Al-Baqarah menyebutkan bahwa,
“Jika kamu dalam perjalanan, sedangkan kamu tidak mendapatkan seorang
pencatat, hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Akan tetapi, jika
sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada
Allah, Tuhannya. Janganlah kamu menyembunyikan kesaksian karena siapa
yang menyembunyikannya, sesungguhnya hatinya berdosa. Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Dengan demikian, akad rahn
merupakan mekanisme yang memungkinkan seseorang menggunakan harta
benda sebagai jaminan pinjaman atau utang.
2. Hadist Nabi Muhammad SAW
a) Hadis Nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim dari ‘A’isyah r.a., ia berkata,
“Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah membeli makanan dengan
berutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi
kepadanya.”
b) Hadis Nabi Riwayat al-Syafi’I, al-Daraquthni, dan Ibnu Majah dari Abu
Hurairah, Nabi SAW bersabda, “Tidak terlepas kepemilikan barang
gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan
menanggung resikonya.”
c) Hadis Nabi Riwayat Jama’ah, kecuali Muslim dan al-Nasa’i, Nabi SAW
bersabda, “Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki
dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan
dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang
menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya
perawatan dan pemeliharaan.”
d) Hadis dari Anas bin Malik r.a yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Nabi
SAW bersabda, “Rasulullah SAW pernah menggadaikan baju besinya
kepada seorang Yahudi di Madinah, dan darinya beliau telah
mengambil gandum untuk keluarganya.”
23
e) Hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari,
Nabi SAW bersabda, “Hewan yang digadai boleh ditunggangi sesuai
biayanya, dan susu hewan boleh diminum apabila digadaikan.”
f) Hadis Riwayat Ibnu Majah, Nabi SAW bersabda, “Tidak boleh
menyembunyikan barang gadai.”
3. Ijma Ulama
24
Aqid adalah orang yang melakukan akad yang meliputi dua arah, yaitu
rahin (orang yang menggadaikan barangnya) dan murtahin (orang yang
berpiutang dan menerima barang gadai). Hal tersebut didasari oleh sighat,
yaitu ucapan berupa ijab qabul (serah terima antara penggadai dengan
penerima gadai).
b. Ma’qud ‘alaih (Barang yang Diakadkan)
Ma’qud ‘alaih meliputi dua hal, yaitu marhun (barang yang
digadaikan) dan marhun bih (dain) atau utang yang karenanya diadakan
akad rahn.
Syarat-syarat akad rahn dalam hukum Islam harus dipenuhi agar transaksi
gadai dianggap sah dan sesuai dengan syariat. Berikut adalah syarat-syarat
tersebut:
a) Shighat
Syarat shighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan waktu yang
akan datang. Misalnya, orang yang menggadaikan hartanya mempersyaratkan
tenggang waktu utang habis dan utang belum terbayar, sehingga pihak
penggadai dapat diperpanjang satu bulan tenggang waktunya. Kecuali jika
syarat itu mendukung kelancaran akad maka diperbolehkan.
25
c) Utang (Marhun Bih)
d) Marhun
26
Ketika barang gadai berada di tangan pemegang gadai, maka sebenarnya
kedudukan barang gadai hanya merupakan amanat yang dipercayakan oleh
pihak penggadai kepada pemegang gadai.
B. Pemanfaatan barang Gadai
Secara dasar, barang gadai tidak boleh dimanfaatkan oleh pemiliknya
maupun oleh penerima gadai. Hal ini disebabkan karena status barang
tersebut hanya sebagai jaminan utang dan sebagai amanat bagi penerima
gadai. Namun, jika mendapat izin dari masing-masing pihak yang terlibat,
maka barang gadai dapat dimanfaatkan. Oleh karena itu, dalam perjanjian
gadai, sebaiknya tercantum ketentuan yang mengizinkan penggadai atau
penerima gadai untuk memanfaatkan barang gadai, dengan hasilnya
menjadi milik bersama. Ketentuan ini bertujuan untuk menghindari agar
harta benda tidak menjadi tidak berfungsi atau mubazir.
C. Resiko Atas Kerusakan Barang Gadai
Terdapat beberapa pandangan mengenai kerusakan barang gadai yang
disebabkan tanpa kesengajaan oleh penerima gadai (murtahin). Menurut
ulama mazhab Syafi’i dan Hambali, murtahin tidak harus menanggung
resiko sebesar harga minimum barang gadai. Penghitungan dimulai sejak
barang gadai diserahkan kepada murtahin hingga hari terjadinya kerusakan
atau kehilangan.
D. Pemeliharaan Barang Gadai
Para ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa biaya
pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan penggadai. Alasannya
adalah karena barang tersebut berasal dari penggadai dan tetap merupakan
miliknya. Namun, para ulama Hanafiyah memiliki pandangan berbeda.
Menurut mereka, biaya yang diperlukan untuk menyimpan dan
memelihara keselamatan barang gadai menjadi tanggungan penerima
gadai, mengingat kedudukannya sebagai orang yang menerima amanat.
E. Kategori Barang Gadai
Jenis barang yang biasa digadaikan sebagai jaminan adalah semua barang
bergerak dan tak bergerak yang memenuhi syarat sebagai berikut:
27
a) Benda bernilai menurut hukum syara’
b) Benda berwujud pada waktu perjanjian terjadi
c) Benda diserahkan seketika kepada murtahin.
F. Pembayaran atau Pelunasan Utang Gadai
Apabila sampai pada waktu yang sudah di tentukan, rahin belum juga
membayar kembali utangnya, maka rahin dapat dipaksa oleh marhun
untuk menjual barang gadaianya dan kemudian digunakan untuk melunasi
hutangnya.
G. Prosedur Pelelangan Gadai
Jumhur fukaha berpendapat bahwa orang yang menggadaikan tidak boleh
menjual atau menghibahkan barang gadai, sedangkan bagi penerima gadai
dibolehkan menjual barang tersebut dengan syarat pada saat jatuh tempo
pihak penggadai tidak dapat melunasi kewajibannya.
3.3.6 Berakhirnya Hak Gadai Syariah (Rahn)
Suatu perjanjian tidak bersifat langgeng, artinya perjanjian tersebut sewaktu-
waktu dapat berakhir atau batal. Namun, batalnya hak gadai memiliki
perbedaan dengan hak lainnya. Menurut Abdul Aziz Dahlan, hak gadai
dikatakan batal apabila:
o Hutang piutang telah dibayar dan terlunasi.
o Barang gadai (marhun) keluar dari kekuasaan penerima gadai (murtahin).
o Para pihak tidak melaksanakan hak dan kewajiban yang telah ditetapkan.
o Barang gadai tetap berada dalam kekuasaan pemberi gadai atau
dikembalikan atas kemauan yang berpiutang.
28
o Akad dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad jika akad mengikat.
o Dalam akad yang mengikat, akad dapat berakhir jika:
- Akad mengalami cacat (fasid).
- Berlaku opsi pembatalan (khiyar syarat atau khiyar aib).
- Akad tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak yang berakad.
- Tujuan akad telah tercapai secara sempurna.
29
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Riba merupakan hal yang diharamkan atau dilarang keras dalam agama
Islam karena riba sendiri sangat merugikan bagi orang yang berhutang, sedangkan
yang menghutangi akan semakin kaya dan menginjak-injak orang yang miskin. Dari
riba tersebut tidak memakai konsep etika atau moralitas. Allah mengharamkan
transaksi yang mengandung unsur ribawi, hal ini disebabkan mendholimi orang lain
dan adanya unsur ketidakadilan. Islam mengharamkan riba selain telah tercantum
secara tegas dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 278-279 yang merupakan ayat
terakhir tentang pengharaman riba, juga mengandung unsur eksploitasi. Dalam surat
al-baqarah disebutkan tidak boleh menganiaya dan tidak (pula) dianiaya, maksudnya
adalah tidak boleh melipat gandakan uang yang telah dihutangkan, juga karena dalam
kegiatannya cenderung merugikan orang lain.
Qardh adalah salah satu akad pinjam meminjam an tara dua pihak, yang tidak
mensyaratkan adanya kelebihan disaat pengembalian pinjaman. Dibanyak literatur,
Qardh cenderung digunakan oleh bank dengan asas sosial, tolong menolong,
sehingga biasa disebut sebagai Qardh al Hasan. Sumber dana Qardh diambil dari
dana zakat, infaq, shadaqah dan beberapa penghasilan bank yang tidak hala1.
Menurut madzhab Maliki, Syafi'I dan Hambali diperbolehkan melakukan Qardh atas
semua harta yang bisa diperjualbelikan seperti emas, perak, makanan, atau dari harta
yang bernilai seperti barangbarang dagangan, binatang dan sebagainya. Dilain sisi
karena harta yang dipinjamkan sudah merupakan hutang, maka hutang tersebut harus
mempunyai padanan yang sama dengan benda lain atau paling tidak mempunyai
takaran yang jelas apabila akan dilunasi oleh pihak penghutang, seperti halnya uang.
Selain Qardh penulis juga membahas tentang Rahn, dan dua akad tersebut
mempunyai kriteria masing-masing tetapi saling berkaitan. Bedanya saat orang
melakukan akad Rahn ia harus mempunyai sesuatu yang dapat digadaikan, sehingga
ia mendapatkan pinjaman dari sesuatu yang ia gadaikan. Dan juga barang yang
30
digadaikan tersebut sekaligus menjadi jaminan apabila tidak dapat melunasi
hutangnya. Dan berkaitan dengan pendapat ulama mengenai hal-hal yang berkenaan
dengan Rahn, manurut Fuqaha' kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi'iyyah
berpendapat bahwa pemegang gadai tidak boleh mengambil manfaat barang
gadaiannya, karena itu masih merupakan hak bagi Rahin. Sedangkan Imam Ahmad
saja yang membolehkannya. Berkaitan dengan aplikasi dilapangan, lembaga
perbankan syari'ah menjadikan akad Rahn ini sebagai akad pelengkap disamping
menjadi produk yang ditawarkan kepada nasabah. Selain itu tentunya pegadaian
syari'ahlah yang berkompeten dalam pemakaian akad Rahn, dengan berbagai varian
produk yang ditawarkan.
31
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghofur. (2016, Mei). Konsep Riba Dalam Al-Qur'an. Economica, Vol. 7, No. 1(1).
https://journal.walisongo.ac.id/index.php/economica/article/view/1030
Jeniza Jamaludin dkk. (2023). The Safe-Keeping Fee In Al-Rahn And Shariah
Compliance. Journal of Survey in Fisheries Sciences, Vol. 10, No. 1, 5848-5857.
http://sifisheriessciences.com/journal/index.php/journal/article/view/1969/2025
Khairul Anuar Ahmad, Nor Fadhilah Bahari. (2019). An Overview of the Shariah Issues
of Rahn-Based Financing in Malaysia. Journal of Muwafaqat, Vol. 2, No. 1, 16-
29.
http://journal.kuis.edu.my/muwafaqat
Andi Triyawan. (n.d.). Konsep Rahn dan Qardh Menurut Fiqih Almadzhahib. Vol. 8, No.
1.
https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/ijtihad/article/download/2587/1818
Nurul Hidayati, Agus Sarono. (2019). Pelaksanaan Akad Qardh Sebagai Akad Tabbaru.
Notarius, Vol. 12, No. 2.
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/notarius/article/download/29137/16796
32