Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH KAJIAN AKAD FIQIH MUAMALAH

Tentang

QARDHUL HASAN

Disusun Oleh :

Fatir Arahman

Melly Syahpiani
Taufik Hidayat

Wahyu Ramadhan

Dosen pengampuh:

Dr. H. Mursalim Manggangka, Lc., MA

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH ( HESY )

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

IBNU SINA BATAM

2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang te lah melimpahkan segala rahmat dan karunia-
Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Qardhul Hasan.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran akan senantiasa Penulis terima dengan senang hati. Dengan segala
keterbatasan, Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak akan terwujud tanpa bantuan,
bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati,
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. H. Mursalim Manggangka,
Lc., MA , selaku pengampu mata pelajaran Kajian Akad Fiqih Muamalah.
Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan selalu mencurahkan hidayah-Nya, Amin.

Batam, 15 November 2023

Penulis

Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... ii


DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii
PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................... 1
1.3 Tujuan ..................................................................................................................... 2
BAB II .............................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN .............................................................................................................. 3
2.1 QARDHUL HASAN .............................................................................................. 3
2.1.1 Pengertian Qardhul Hasan .......................................................................... 3
2.1.2 Rukun dan Ketentuan Syariah .................................................................... 3
2.1.3 Perlakuan Akutansi Qardhul Hasan ............................................................ 4
a. Bagi Pemberi Pinjaman ......................................................................................... 4
b. Bagi Pihak yan Meminjam........................................................................................ 5
2.2 AKAD AL-HIWALAH/HAWALAH ( PENGALIHAN ) ............................... 5
2.2.1 Pengertian Al-Hiwalah/Hawalah ( Pengalihan ) ............................................. 5
A. Landasan Hukum Hawalah ...................................................................................... 6
B. Rukun dan Syarat Hawalah ..................................................................................... 6
2.2.2 Jenis Akad Hiwalah .................................................................................. 11
Alternatif 1 .................................................................................................................. 13
Alternatif 2 .................................................................................................................. 13
Alternatif 3 .................................................................................................................. 14
Alternatif 4 .................................................................................................................. 14
2.2.4 Perlakuan Akutansi Hiwalah (ED PSAK 110) ............................................... 14
2.3 AKAD AL-RAHN ( PINJAMAN DENGAN JAMINAN ) ................................. 16
2.3.1 Pengertian Akad Al-Rahn............................................................................... 17
2.3.2 Pengertian Rahn Tajlisi............................................................................. 17

iii
2.3.3 Rukun dan Ketentuan Syariah .................................................................. 18
A. Bagi Pihak yang Menerima Gadai (Murtahin)...................................................... 19
B. Bagi Pihak yang Menggadaikan............................................................................. 20
2.4 AKAD JU’ALAH (HADIAH)......................................................................... 21
2.4.1 Pengertian Akad Ju’alah (hadiah) ................................................................ 21
2.4.3 Perlakuan Akuntansi Ju’alah .......................................................................... 22
2.5 CHARGE CARD dan SYARIAH CARD ....................................................... 22
2.5.1 Pengertian Charge Card dan Syariah Card ..................................................... 23
2.5.2 Rukun dan Ketentuan Syariah ........................................................................ 23
Pertama: HUKUM ...................................................................................................... 29
Kedua: KETENTUAN UMUM .................................................................................. 29
Ketiga: KETENTUAN AKAD ................................................................................... 30
Kelima : Ketentuan Penutup ....................................................................................... 32
PENUTUP ..................................................................................................................... 33

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam Hukum Islam diperintahkan untuk bekerja sekuat tenaga untuk mencari rizki
yang halal. Dalam menjalankan usahanya dilarang melakukan transaksi riba dan
dianjurkan untuk memanifestasikan sejumlah nilai-nilai akhlaqul karimah seperti tolong-
menolong. Prinsip At Ta'âwunadalah salah satu prinsip dalam Hukum Islam. Prinsip
tolong-menolong dalam ketakwaan merupakan salah satu faktor penegak agama karena
dengan tolong menolong akan menciptakan rasa saling memiliki di antara umat sehingga
akan lebih mengikat persaudaraan. Selain itu secara lahiriah manusia adalah mahluk
sosial yang tidak dapat hidup sendirian karena manusia butuh berinteraksi dengan
sesamanya. Dengan tolong-menolonglah seorang muslim dapat dikatakan sebagai
seorang muslim. Tolong-menolong yang dilakukan tidak hanya dalam lingkup yang kecil
seperti antara dua orang tapi juga dalam sebuah perkumpulan yang besar termasuk dalam
bisnis yang di dalamnya ada transaksi pembiayaan.
Salah satu bentuk aplikasi prinsip tolong menolong adalah dalam akad qardh, yakni
Qardhul Hasan. Akad Qardh merupakan salah satu perwujudan prinsip tolong menolong
dalam praktek bank syariah. Perjanjian gardh adalah perjanjian pinjaman. Perjanjian
qardh, pemberi pinjaman (kreditor) memberikan pinjaman kepada pihak lain dengan
ketentuan penerima pinjaman akan mengembalikan pinjaman tersebut pada waktu yang
telah diperjanjikan dengan jumlah yang sama ketika pinjaman itu diberikan. Qardh ul-
hasan merupakan perjanjian qardh untuk tujuan sosial. Adalah tidak mustahil bagi suatu
bank syariah yang terpanggil untuk memberikan pinjaman-pinjaman kepada mereka yang
tergolong lemah ekonominya untuk memberikan fasilitasgardh ul-hasan.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Qardhul Hasan?

2. Apa yang dimaksud dengan Al-Hiwalah/Hawalah ( pengalihan )?

1
3. Apa yang dimaksud dengan Al-Rahn ( Pinjaman dengan jaminan )?

4. Apa yang dimaksud dengan Akad Ju’alah?

5. Apa yang dimaksud dengan Charge Card dan Syariah Card?

6. Apa saja rukun dan syarat akad-akad tersebut?


7. Apa saja jenis-jenis akad tersebut?

8. Akad-akad tersebut jika dikaitkan dengan sistem perbankan?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui penjelasan tentang Qardhul Hasan dan unsur-unsurnya.

2. Untuk mengetahui penjelasan tentang Al-Hiwalah/Hawalah ( pengalihan ).

3. Untuk mengetahui tentang Ju’alah, Charge Card, dan Syariah Card.

4. Untuk mengetahui hubungan akad-akad tersebut dengan system perbankan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 QARDHUL HASAN

2.1.1 Pengertian Qardhul Hasan

Qardhul Hasan adalah pinjaman tanpa dikenakan biaya ( hanya wajib membayar
sebesar pokok utangnya).
Pinjaman uang seperti inilah yang sesuai dengan ketentuan syariah (tidak ada riba).
Pinjaman qardh bertujuan untuk diberikan pada orang yang membutuhkan atau tidak
memiliki kemampuan finansial,untuk tujuan sosial atau untuk kemanusiaan.
Cara pelunasan dan waktu pelunasan pinjaman ditetapkan bersama antara pemberi dan
penerima pinjaman. Walaupun sifat utang ini sangat lunak tidak berarti pihak yang
berhutang dapat semaunya sendiri, karena dalam Islam, utang yang tidak dibayar akan
menjadi penghalang dia di hari akhir nanti walaupun ia gugur dalam jihad di medan
perang yang pahalanya sudah dijamin bahkan rasul tidak bersedia menshalatkan jenazah
yang masih memiliki utang.
2.1.2 Rukun dan Ketentuan Syariah
Rukun Qhardhul Hasan ada 3 yaitu :

1.Pelaku yang terdiri dari pemberi dan penerima pinjaman

2.Objek akad, berupa uang yang dipinjamkan

3.Ijab Kabul/serah terima

Ketentuan syariah, yaitu :

1. Pelaku, harus cakap hukum dan baliqh

2. Objek akad

a. Jelas nilai pinjamannya dan waktu pelunasannya.

3
b. Peminjam diwajibkan membayar pokok pinjaman pada waktu yang telah
disepakati, tidak boleh diperjanjikan akan ada penambahan atas pokok
pinjamannya. Namun peminjam dibolehkan memberikan sumbangan secara
sukarela.
c. Apabila memang peminjam mengalami kesulitan keuangan maka waktu
peminjaman dapat diperpanjang atau menghapuskan sebagian atau seluruh
kewajibannya. Namun jika peminjam lalai maka dapat dikenakan denda.

3. Ijab Kabul/serah terima adalah pernyataan dan ekspresi saling rida/rela di antara
pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan secara verbal,tertulis,melalui
korespondensi atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.

2.1.3 Perlakuan Akutansi Qardhul Hasan

Pelaporan qardhul hasan disajikan tersendiri dalam laporan sumber dan penggunaan
dana qardhul hasan karena dana tersebut bukan aset perusahaan. Oleh sebab itu,
seluruhnya dicatat dengan akun dana kebajikan dan dibuat buku besar pembantu atas dana
kebajikan berdasarkan jenis dana kebajikan yang diterima atau yang dikeluarkan.
a. Bagi Pemberi Pinjaman

Saat menerima dana sumbangan dari pihak eksternal, jurnal :

Dr. Dana Kebajikan-kas xxx

Kr. Dana Kebajikan-Infak/sedekah/hasil wakaf xxx


2. Untuk penerimaan dana yang berasal dari denda dan pendapatan non halal,jurnal
:

Dr. Dana Kebajikan-kas xxx

Kr. Dana Kebajikan-denda/pendapatan Non-halal xxx

3. Untuk pengeluaran dalam rangka pengalokasian dana qardh hasan,jurnal :

Dr. Dana Kebajikan-Dana Kebajikan Produkstif xxx

Kr. Dana Kebajikan-Kas xxx

4. Untuk penerimaan saat pengembalian dari pinjaman untuk qardhul hasan,jurnal :

4
Dr. Dana Kebajikan-kas xxx

Kr. Dana Kebajikan-Dana Kebajikan Produktif xxx

b. Bagi Pihak yan Meminjam

1. Saat menerima uang pinjaman, jurnal :


Dr. Kas xxx

Kr.Utang xxx

2. Saat pelunasan, jurnal :

Dr. Utang xxx

Kr.Kas xxx
2.2 AKAD AL-HIWALAH/HAWALAH ( PENGALIHAN )

2.2.1 Pengertian Al-Hiwalah/Hawalah ( Pengalihan )


Hawalah secara harfiah artinya pengalihan, pemindahan,perubahan warna kulit atau
memikul sesuatu di atas pundak.
Objek yang dialihkan dapat berupa utang atau piutang. Jenis akad ini pada dasarnya
adalah akad tabaruu’ yang bertujuan untuk saling tolong menolong untuk menggapai
ridho Allah.
Jika yang dialihkan utang maka akad hawalah merupakan akad pengalihan utang dari
satu pihak yang berutang kepada pihak lain yang wajib menanggung (membayar )
utangnya.
Secara teknis, pihak yang berutang ( muhil ) meminta pihak lain (muhal’alaih) untuk
membayarkan terlebih dahulu utangnya pada pihak lain (muhal). Setelah akad hawalah
dilakukan pihak yang berutang (muhil) akan membayar kepada pihak yang telah
menanggung utangnya (muhal’alaih) atau hak penagihan berpindah menjadi hak
muhal’alaih. Dalam hal ini pihak yang mengambil alih utang harus yakin pihak yang
diambil alih utangnya dapat memenuhi kewajibannya di kemudian hari.

5
Jika yang dialihkan piutang maka akad hawalah merupakan akad pengalihan piutang
dari satu pihak yang berpiutang kepada pihak lain yang berkewajiban menagih
piutangnya.
Secara teknis, pihak yang berpiutang ( muhil ) meminta pihak lain untuk mengambil
alih (muhal’alaih) piutang yang dimilikinya,dengan pengambil alihan ini pihak yang
berpiutang akan menerima uang dari yang mengambil alih piutang, sementara pihak yang
berhutang (muhal) akan membayar pada pihak yang telah mengambil alih piutang.
A. Landasan Hukum Hawalah

Imam bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
saw,bersabda,
‫مطل الغنى فاذا اتبع احدكم على ملي فليتبع‬
Artinya :“ Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kezaliman.
Yang mampu atau kaya, terimalah hawalah itu.
Sedangkan di dalam riwayat Imam At-Thabrani, redaksi haditsnya adalah sebagai
berikut:
‫مطل الغنى ظلم وإذا ااحلت على مليء فاتبعه‬
Sedangkan di dalam riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah, Red aksinya adalah:
ْْ ‫لي ُملي ٍء فلَْْ يتَبع‬
َ ‫ع‬ َ ‫ َمطْ ُل الْغَني ظلُْْ ٌم َوإذ َْ ا أتْ ُْ بع َْ أ‬.
َ ‫ح َْ دُكُم‬
Adapula yang meriwayatkan dengan redaksi
‫مطل الغنى ظلم فإذا ااحيل على ملىء‬
Pada hadits tersebut, Rasulullah memberitahukan kepada orang yang mengutangkan,
jika orang yang berutang menghawalahkan kepada orang kaya atau mampu, hendaklah ia
menerima hawalah terseebut dan hendaklah ia menagih kepada orang yang dihawalahkan
(muhal alaih). Dengan demikian haknya dapat terpenuhi.
Sebagian ulama berpendapat bahwa perintah untuk menerima hawalah dalam hadits
terseebut menunjukkan wajib. Oleh sebab itu, wajib bagi yang mengutangkan (muhal)
menerima hawalah. Adapun mayoritas ulama brpendapat bahwa perintah itu
menunjukkan sunnah. Jadi, sunnah hukumnya menerima hawalah bagi muhal.
B. Rukun dan Syarat Hawalah

6
Dalam pelaksanaan, hawalah harus memenuhi rukun dan syarat sebagai
berikut:

a. Orang yang memindahkan tanggungan utang (muhil).

b. Orang yang memberikan utang yang dipindahkan pelunasannya dari orang yang
berutang padanya secara langsung (muhal).
c. Orang yang dipindahkan tanggungan utang padanya (muhal alaih)..

d. Harta yang diutang yang dialihkan( muhal bih)

e. Shighat.

Ulama hanafiyah berpendapat, bahwa yang menjadi rukun hawalah adalah ijab atau
pernyataan dari pihak pertama atau muhil dan qabul atau pernyataan menerima hawalah
dari pihak kedua al muhal dan pihak ketiga al-muhal alaih.

Syarat-syarat yang diperlukan pihak pertama (muhil):

1. Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baligh dan berakal.
Hawalah tidak sah bila dilakukan anak-anak meskipun ia sudah ia mengerti (mummayiz),
ataupun dilakukan orang gila.
2. Ada pernyataan persetujuan atau rida. Jika pihak pertama dipaksa untuk
melakukan hawalah maka akad itu tidak sah. Adapun persyaratan ini ini berdasarkan
pertimbangan bahwa sebagian orang merasa keberatan dan terhina harga dirinya, jika
kewajibannya untuk membayar utang dialihkan kepada pihak lain.
Syarat-syarat yang diperlukan oleh pihak kedua ( muhal) sebagai berikut:

1. Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal sebagaimana pihak
pertama.
2. Ada persetujuan pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan hawalah.
Persyaratan ini berdasarkan pertimbangan bahwa kebiasaan orang dalam membayar
utang berbeda-beda, ada yang mudah dan ada yang sulit membayarnya, sedangkan
menerima pelunasan utang itu merupakan hak pihak kedua.
Syarat-syarat yang diperlukan oleh pihak ketiga (muhal alaih) adalah:

7
1. Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal sebagaimana pihak
pertama dan kedua.
2. Adanya pernyataan persetujuan dari pihak ketiga (muhal alaih). Hal ini
diharuskan karena tindakan hawalah merupakan tindakan hukum yang melahirkan
pemindahan kewajiban kepada pihak ketiga (muhal alaih) untuk membayar utang kepada
pihak kedua (muhal) , sedangkan kewajiban membayar utang baru dapat dibebankan
kepadanya, apabila ia sendiri yang berutang kepada pihak kedua. Atas dasar itu,
kewajiban itu hanya dibebankan kepadanya, jika ia menyetujui akad hawalah.
3. Imam Abu Hanifah menambahkan syarat bahwa qabul atau pernyataan menerima
akad harus dilakukan dengan sempurnaoleh pihak ketiga didalam suatu majelis akad.
Syarat-syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan (muhal bih) adalah:

1. Yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang piutang yang
telah pasti.
2. Pembayaran utang itu mesti sama waktu jatuh tempo pembayarannya, jika terjadi
perbedaan waktu jatuh tempo pembayaran diantara kedua utang itu, maka hawalah tidak
sah.
3. Utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga kepada
pihak pertama mestilah sama jumlah dan kualitasnya. Jika diantara kedua utang itu
terdapat perbedaan jumlah, misalnya utang uang, atau perbedaan kualitas misalnya utang
dalam bentuk barang, maka hawalah itu tidak sah.

C. Macam-macam Hawalah.
Dalam pelaksanaannya, hawalah ada dua yaitu hawalah muthalaqoh d an
muqayyadah.

1. Hawalah mutlaqoh adalah seseorang memindahkan utang pada


yang lain tanpa memberikan keterangan bahwa orang tersebut harus membayar
utangnya dari utang yang ada padanya.

8
2. Hawalah muqayyadah adalah seseorang memindahkan
pembayaran utangnya pada orang lain, dari utangnya yang ada pada orang
tersebut.
Hawalah muthalaqoh tidak diperbolehkan oleh para ulama, kecuali ulama hanafiyah,
alasan ulama (tiga madzhab selain hanafiyah) yang melarang hawalah semacam ini
adalah karena orang yang dipindahkan pembayaran utang (muhal alaih) tidak ada
hubungannya dengan orang yang memindahkan utang (muhil). Artinya ia tidak
mempunyai kewajiban yang harus ditanggung dan dibayarkan kepada muhil, sehingga
jika hal ini terrjadi berarti bukan hawalah, melainkan kafalah.

Ditinjau dari segi obyeknya hiwalah dibagi 2, yaitu :

1. Hawalah al-Haqq (pemindahan hak) Hawalah haqq adalah pemindahan piutang


darisatu piutang kepada piutang yang lain atau pemindahan hak untuk menuntut hutang.
Dalam hal ini yang bertindak sebagai muhil adalah pemberi hutang dan ia mengalihkan
haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah
atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi piutang A mempunyai hutang
kepada piutang B.
2. Hawalah ad-Dain (pemindahan hutang) Hawalah ad-dain adalah pemindahan
hutangkepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini berbeda dari hiwalah
haqq, karena pengertiannya sama dengan hawalah yang telah diterangkan di depan yakni
yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar hutang.

D. Beban Muhil Setelah Hawalah.


Dalam buku fiqh sunnah,Sayyyid Sabiq mengatakan bahwa apbila hawalah berjalan
sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil menjadi gugur, and ai kata muhal alaih
mengalami kebangkrutan atau menbantah adanya hawalah atau meninggal dunia maka
pihak kedua (muhal) tidak boleh kembali lagi berurusan dengan pihak pertama (muhil)
karena memeng utangnya telah dihawalahkan. Demikianlah pendapat jumhur ulama.

9
Berbeda dengan jumhur ulama, Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam keadaan
muhal alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang
mengutangkannya (al muhal) boleh menagih utangnya lagi kepada pihak pertama (
muhil). Sementara madzhab maliki berpendapat apabila muhil telah menipu muhal
ternyata muhal alaih adalah orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk
membayar , maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil. Dalam kitab al-muwatta Imam
Malik menulis bahwa orang yang menghawalahkan utang kepada orang lain, kemudian
muhal alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar
kewajibannya, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil.Perlu dikemukakan bahwa
akad hawalah ini mempunyai jangka waktu berlakunya.

Akad hawalah akan berakhir apabila :

1. Salah satu pihak yang sedang melakukan akad itu membatalkan


akad hawalah sebelum akad itu berlaku secara tetap. Dengan adanya
pembatalan akad itu pihak kedua kembali berhak menuntut pembayaran utang
kepada pihak pertama.
2. Pihak ketiga telah melunasi utang yang dialihkan itu kepada pihak
kedua.

3. Pihak kedua menghibahkan atau menyedahkan harta yang


merupakan utang dalam akad hawalah itu kepada pihak ketiga.
4. Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk
membayar utang yang dialihkan itu.
5. Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris
yang mewarisi harta pihak kedua. Dalam hal ini tentu beban utang pihak ketiga
tersebut diperhitungkan dalam pembagian warisan.

E. Aplikasi Hawalah Dalam Dunia Perbankan.


Fikih kontemporer , khususnya dalam dunia perbankan, mengembangkan konsep
hawalah ini dalam beberapa bentuk, antara lain bilyet giro cek bertempo. Dalam hal ini,
kita cobntohkan seorang penulis buku yang mendapatkan royalti dari sebuah penerbit.

10
Ketika jatuh tempo membayar royalti, penerbit memberikan giro yang berisi jumlah
uang tertentu yang bisa dicairkan antara penerbit dan bank. Dalam kasus ini, penerbit
adalah muhil, kemudian bank sebagai muhal alaih dan penulis sebagai muhal.

Kontrak hawalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada hal-hal berikut:

1. Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang
kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar
piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
2. Post dated check.

3. Bill discounting. Secara prinsip serupa dengan hawalah. Hanya saja, dalam
billdiscounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan pembahsan fee tidak didapati
pada akad hawalah.

2.2.2 Jenis Akad Hiwalah


Ditinjau dari segi objek akad, hiwalah dapat dibagi menjadi dua :
1. Apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menagih piutang, maka pemindahan
itu disebut hiwalah al haqq (pemindahan hak)/anjak piutang.
2. Apabila yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar utang, maka pemindahan
itu disebut hiwalah ad-dain (pemindahan utang).
Ditinjau dari sisi persyartan, hiwalah dapat dibagi menjadi dua :
1. Hawalah al-muqayyadah (pemindahan bersyarat) adalah hawalah dimana muhil
adalah pihak yang berutang sekaligus berpiutang kepada muhal’alaih. Contoh : B
(muhil) berutang kepada A (muhal) sebesar dua juta rupiah, sedangkan B
berpiutang kepada C (muhal’alaih) juga sebesar dua juta rupiah. B kemudian
mengalihkan piutangnya yang terdapat pada C untuk A, sebagai ganti dari
pembayaran utang B kepada A.
2. Hawalah al-muthlaqah (pemindahan mutlak) adalah hawalah dimana muhil adalah
pihak yang berutang, tetapi tidak berpiutang kepada muhal’alaih.

11
2.2.3 Rukun dan Ketentuan Syariah
Rukun hiwalah ada 3 yaitu :
1. Pelaku yang terdiri atas :

a. Pihak yang berutang atau berpiutang atau muhil

b. Pihak yang berpiutang atau berutang atau muhal

c. Pihak pengambil alih utang atau piutang atau muhal’alaih

2. Pelaku yang terdiri atas :


a. Adanya utang,atau

b. Adanya piutang 3. Ijab Kabul/serah terima

Ketentuan syariah, yaitu :

1. Pelaku

a. Baliq (dewasa) dan berakal sehat

b. Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan
rela
(rida) dengan pengalihan utang piutang tersebut

c. Diketahui identitasnya

2. Objek penjaminan (makful bihi)

a. Bisa dilaksanakan oleh pihak yang mengambil alih utang atau piutang

b. Harus merupakan utang/piutang mengikat,yang tidak mungkin hapus


kecuali setelah dibayar atau dibebaskan.

c. Harus jelas nilai,jumlah dan spesifikasinya

d. Tidak bertentangan dengan syariah

12
3. Ijab Kabul/serah terima adalah pernyataan dan ekspresi saling rida/rela di
antara pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan secara verbal,tertulis,melalui
korespondensi atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.

Untuk membantu masyarakat yang ingin menghindari riba dengan mengalihkan


utang yang timbul dari transaksi non syariah yang telah berjalan menjadi transaksi yang
sesuai syariah. Dewan Syariah Nasional mengeluarkan fatwa terkait dengan pengalihan
utang ini dan memberikan berbagai alternatif,yaitu:

Alternatif 1

1. LKS (Lembaga Keuangan Syariah) memberikan qardh kepada nasabah.


Dengan qardh tersebut nasabah melunasi kredit (utang) nya, dengan
demikian aset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah
secara penuh.

2. Nasabah menjual aset dimaksud (1) kepada LKS dan dengan hasil
penjualan itu nasabah melunasi qardhnya kepada LKS

3. LKS menjual secara murabahah, aset yang telah menjadi miliknya tersebut
kepada nasabah, dengan cara pembayaran secara cicilan/diangsur.

Alternatif 2

1. LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qard h tersebut nasabah


melunasi kredit (utang) nya,dan dengan demikian, aset yang dibeli dengan
kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh.

2. Nasabah menjual aset dimaksud angka kepada LKS, dan dengan hasil
penjualan itu nasabah melunasi qardhnya kepada LKS.

3. LKS menyewakan aset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada


nasabah, dengan akad al ijarah al muntahiya bit tamlik.

13
Alternatif 3

1. LKS membeli sebagian aset nasabah, dengan seizin LKK (Lembaga


Keuangan Konvensional), sehingga dengan demikian terjadilah syirkah al-
milk antara LKS dan nasabah terhadap aset tersebut.

2. Bagian aset yang dibeli oleh LKS sebagaimana dimaksud angka 1 ad alah
bagian aset yang senilai dengan utang (sisa cicilan) nasabah kepada LKK.

3. LKS menjual secara murabahah bagian aset yang menjadi miliknya


tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan.

Alternatif 4

1. Dalam pengurusan untuk memperoleh kepemilikan penuh atas


aset,nasabah dapat melakukan akad ijarah dengan LKS

2. Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi kewajiban nasabah


dengan menggunakan prinsip al-qardh.
3. Akad ijarah sebagaimana dimaksudkan angka 1 tiddak boleh
dipersyaratkan dengan (harus terpisah dari) pemberian talangan
sebagaimana dimaksudkan angka 2.

4. Besar imbalan jasa ijarah sebagaimana dimaksudkan angka 1 tidak boleh


didasarkan pada jumlah talangan yang diberikan LKS kepada nasabah
sebagaimana dimaksudkan angka 2.

2.2.4 Perlakuan Akutansi Hiwalah (ED PSAK 110)


1. Akutansi Pihak yang Mengalihkan Utang / Muhil
Ketika pengambil alihan utang dimana muhal’alaih membayar utang muhil
pada
muhal, jurnal :

Dr. Utang –A (muhal) xxx

14
Kr. Utang –B (muhal’alaih) xxx
Jika utang yang dialihkan harus dilunasi dalam jangka pendek maka ujrah (fee)
yang dibayarkan diakui pada saat terjadinya, Jurnal :
Dr. Beban hawalah xxx
Kr. Kas xxx

Jika utang yang dialihkan harus dilunasi dalam jangka panjang maka ujrah
(fee)
yang dibayarkan diakui sebagai beban tangguhan, Jurnal :
Dr. Beban Tangguhan hawalah xxx
Kr. Kas xxx

Kemudian beban diakui melalui amortisasi beban tangguhan secara garis lurus,
jurnal :

Dr. Beban hawalah xxx


Kr. Beban Tangguhan Hawalah xxx
Biaya transaksi hawalah seperti biaya legal dan biaya administrasi diakui
sebagai
beban pada saat terjadinya,jurnal :
Dr. Beban hawalah xxx

Kr. Kas xxx

Pelunasan utang oleh muhil pada muhal’aliah, jurnal :


Dr. Utang-B (muhal’alaih) xxx
Kr. Kas xxx

2. Akutansi Pihak yang Menerima Pengalihan Utang/Muhal’alaih


Pada saat pembayaran kepada pihak muhal sebesar jumlah utang yang diambil
alih,

15
jurnal :

Dr. Piutang – C (muhil) xxx


Kr. Kas xxx
Jika piutang dari muhil akan dilunasi dalam jangka pendek, jurnal :

Dr. Kas xxx


Kr. Pendapatan Hawalah xxx
Jika piutang dari muhil akan dilunasi dalam jangka panjang, ketika muhal’alaih
menerima feel ujrah sekaligus, jurnal :
Dr. Kas xxx
Cr. Pendapatan diterima dimuka xxx

Pendapatan diakui melalui amortisasi pendapatan diterima dimuka secara


proposional dengan jumlah piutang yang tertagih, jurnal :

Dr. Pendapatan diterima dimuka xxx


Cr. Pendapatan hawalah xxx
Ketika menerima pelunasan piutang, jurnal :
Dr. Kas xxx
Cr. Piutang C xxx
Pengungkapan entitas keuangan syariah mengungkapkan terkait pengalihan
utang, tetapi tidak terbatas pada :
a. Jumlah dan saldo utang yang dialihkan pada tanggal pelaporan
b. Persentase utang yang dialihkan terhadap total piutang
c. Kebijakan manajemen resiko atas utang yang dialihkan, dan
d. Kebijakan akutansi yang digunakan untuk utang yang dialihkan

2.3 AKAD AL-RAHN ( PINJAMAN DENGAN JAMINAN )

16
2.3.1 Pengertian Akad Al-Rahn
Secara harfiah adalah tetap,kekal,dan jaminan. Secara istilah rahn adalah apa yang
disebut dengan barang jaminan,agunan,cagar, atau tanggungan.
Rahn yaitu menahan barang sebagai jaminan atas utang. Akad Rahn juga diartikan
sebagai sebuah perjanjian pinjaman dengan jaminan atau dengan melakukan penahanan
harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya
Akad Rahn bertujuan agar pemberi pinjaman lebih mempercayai pihak yang berutang.
Apabila barang gadai dapat diambil manfaatnya, misalnya mobil maka pihak yang
menerima barang gadaian boleh memanfaatkannya atas seizin pihak yang menggadaikan
sebaliknya ia berkewajiban memelihara barang gadaian. Untuk barang gad ai berupa emas
tentu tidak ada biaya pemeliharaan, yang ada adalah biaya penyimpanan.
Pada saat jatuh tempo yang berhutang berkewajiban untuk melunasi utangnya. Apabila
ia tidak dapat melunasinya maka barang gadaian dijual dan kemudian hasil penjualan
bersih digunakan untuk melunasi utang dan biaya pemeliharaan yang terutang, jika ada
kelebihan maka selisih diserahkan kepada yang berutang tetapi apabila ad a kekurangan
maka yang berutang tetap harus membayar sisanya.
2.3.2 Pengertian Rahn Tajlisi
Selain akad rahn, MUI pada tahun 2008 mengeluarkan fatwa tentang Fidusia / Rahn
Tajlisi dalam rangka mengurangi kendala yang timbul sehubungan masalah jaminan
khususnya dalam masalah pemeliharaan dan pemanfaatan jaminan.
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuanbahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam
penguasaan pemilik benda.
Agar sesuai syariah maka akad rahn tajlisi harus memenuhi hal-hal sebagai berikut :
a. Biaya pemeliharaan harus ditanggung oleh pihak yang menggadaikan, namun
jumlah biaya pemeliharaan tidak boleh dihubungkan dengan besarnya
pembiayaan
b. Pihak penerima gadai dapat menyimpan bukti kepemilikan sedangkan barang
yang digadaikan dapat digunakan pihak yang menggadaikan dengan seizin dari
penerima gadai.

17
c. Jika terjadi eksekusi jaminan, maka dapat dijual oleh pihak penerima gadai
tetapi harus dengan izin dari pihak yang menggadaikan sebagai pemilik.
2.3.3 Rukun dan Ketentuan Syariah
Rukun Qhardhul Hasan ada 3 yaitu :

1. Pelaku yang terdiri atas pihak yang menggadaikan (rahin) dan pihak yang
menerima gadai (murtahin)

2. Objek akad berupa barang yang digadaikan (marhun) dan utang (marhun bih).

3. Syarat utang adalah wajib dikembaikan oleh debitur kepadakreditor,utang itu


dapat dilunasi dengan agunan tersebut, dan utang itu harus jelas (harus
spesifik).

4. Ijab kabul/serah terima

Ketentuan syariah, yaitu :

1. Pelaku, harus cakap hukum dan baliqh

2. Objek yang digadaikan (marhun)

a. Barang gadai (marhun)

1) Dapat dijual dan nilainya seimbang

2) Harus bernilai dan dapat dimanfaatkan

3) Harus jelas dan dapat ditentukan secara spesifik

4) Tidak terkait dengan orang lain (dalam hal kepemilikan)

b. Utang (marhun bih), nilai utang harus jelas demikian juga tanggal jatuh
temponya

18
3. Ijab Kabul/serah terima adalah pernyataan dan ekspresi saling rida/rela di
antara pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan secara verbal,tertulis,melalui
korespondensi atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.

2.3.4 Perlakuan Akutansi Rahn


A. Bagi Pihak yang Menerima Gadai (Murtahin)

Pada saat menerima barang gadai tidak dijurnal tetapi membuat tanda terima atas
barang.

1. Pada saat menyerahkan uang pinjaman,jurnal :


Dr. Piutang xxx
Kr. Kas xxx

2. Pada saat menerima uang untuk biaya pemeliharaan dan penyimpanan,jurnal:


Dr. Kas xxx
Kr. Pendapatan xxx

3. Pada saat mengeluarkan biaya untuk biaya pemeliharaan dan penyimpanan,jurnal


:
Dr. Beban xxx
Kr. Kas xxx

4. Pada saat pelunasaan uang pinjaman, barang gadai dikembalikan dengan


membuat tanda serah terima barang,jurnal :
Dr. Kas xxx
Kr. Piutang xxx

5. Jika pada saat jatuh tempo, utang tidak dapat dilunasi dan kemudian barang gadai
dijual oleh pihak yang menggadaikan.penjualan barang gadai, jika nilainya sama
dengan piutang, jurnal :

19
Dr. Kas xxx
Kr. Piutang xxx
Jika kurang, maka piutangnya masih tersisa sejumlah selisih antara nilai penjualan
dengan saldo piutang.
B. Bagi Pihak yang Menggadaikan

Pada saat menyerahkan aset tidak dijurnal, tetapi menerima tanda terima atas
penyerahan aset serta membuat penjelasan atas catatan akutansi atas barang yang
digadaikan.
1. Pada saat menerima uang pinjaman,jurnal :
Dr. Kas xxx
Kr. utang xxx

2. Bayar uang untuk biaya peeliharaan dan penyimpanan,jurnal :


Dr. Beban xxx Kr. Kas xxx

3. Ketika dilakukan pelunasan atas utang,jurnal :


Dr. Utang xxx
Kr. Kas xxx

4. Jika pada saat jatuh tempo, utang tidak dapat dilunasi sehingga barang gadai dijual
pada saat penjualan barang gadai, jurnal :
Dr. Kas xxx
Dr. Akumulasi penyusutan (apabila aset tetap) xxx
Dr. Kerugian (apabila rugi) xxx
Kr. Keuntungan (apabila untung) xxx
Kr. Aset xxx
5. Pelunasan utang atas barang yang dijual pihak yang menggadai,jurnal :
Dr. Utang xxx
Kr. Kas xxx

20
2.4 AKAD JU’ALAH (HADIAH)

2.4.1 Pengertian Akad Ju’alah (hadiah)


Ju’alah berasal dari kata ja’ala yang memiliki banyak arti : jumlah imbalan,
meletakkan, membuat, menasabkan, menurut fiqih diartikan sebagai suatu tanggung
jawab dalam bentuk janji memberikan hadiah tertentu secara sukarela terhadap orang
yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang belum pasti dapat
dilaksanakan atau dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan.
Ju’alah dapat juga dianalogikan sebagai sayembara, imbalan, upah atau perlombaan.
Menurut Az-Zuhaili dalam maksum (2008), perbedaan antara akad ju’alah dengan upah
bekerja (ijarah dalam tenaga kerja) adalah :
1) Ju’alah diberikan jika pekerjaan telah selesai, sedangkan upah sesuai dengan
ukuran tertentu.
2) Ju’alah tidak dibatasi oleh waktu, sedangkan upah ditentukan batas waktunya.
Walaupun Mazhab hambali dan Syafii membolehkan menentukan batas waktu.
3) Ju’alah tidak bisa dibayar dimuka, sedangkan upah bisa dibayar dimuka
4) Ju’alah dapat dibatalkan meskipun upaya telah dilakukan asalkan belum selesai,
sedangkan upah tidak dapat dibatalkan karena mengikat 5) Upah lebih luas ruang
lingkupnya dari ju’alah.

2.4.2 Rukun dan Ketentuan Syariah


Rukun Ju’alah ada 4 yaitu :

1. Pihak yang membuat sayembara/penugasan (al aqid/al ja’il)

2. Objek akad berupa pekerjaan yang harus dilakukan (al maj’ul)

3. Hadiah yang akan diberikan(al ji’l)

4. Ada sighat dari pihak yang menjanjikan (ijab)

Ketentuan syariah, yaitu :

21
1. Pihak yang membuat sayembara: cakap hukum, baligh dan dapat juga
dilakukan oleh orang lain.

2. Objek yang harus dikerjakan :

a. Harus mengandung manfaat yang jelas

b. Boleh dimanfaatkan sesuai syariah

3. Hadiah yang diberikan harus sesuatu yang bernilai (harta) dan jumlahnya
harus jelas

4. Sah dengan ijab saja tanpa ada kalbu

2.4.3 Perlakuan Akuntansi Ju’alah


1. Bagi Pihak yang Membuat Janji
Saat membuat janji tidak diperlukan pencatatan apa pun karena belum pasti
hasil
atas sayembara tersebut.
Setelah sayembara itu terpenuhi maka jurnal :
Dr. Beban ju’alah xxx

Kr. Kas/aset Nonkas Lain xxx

2. Bagi Pihak yang Menerima Janji


Saat medengar janji tidak diperlukan pencatatan apa pun karena belum pasti
hasil
atas sayembara tersebut.
Setelah sayembara itu terpenuhi maka jurnal :

Dr. Kas/Aset Nonkas Lain xxx


Kr. Pendapatan ju’alah xxx

2.5 CHARGE CARD dan SYARIAH CARD

22
2.5.1 Pengertian Charge Card dan Syariah Card
Charge Card dan Syariah Card merupakan salah satu produk dari perbankan syariah,
sedangkan akad yang digunakan adalah kombinasi dari akad-akad yang telah dijelaskan
Charge Card adalah fasilitas kartu talangan yang dipergunakan oleh pemegang kartu
(hamil al-bithaqah) sebagai alat bayar atau pengambilan uang tunai pada tempat-tempat
tertentu yang harus dibayar lunas kepada pihak yang memberikan talangan (mushdir
albithaqah) pada waktu yang telah ditetapkan.
Syariah Card adalah kartu yang berfungsi sebagai kartu kredit yang hubungan hukum
(berdasarkan sistem yang sudah ada) antara para pihak berdasarkan prinsip syariah.
Kedua jenis kartu tersebut merupakan pola pembiayaan seperti halnya kartu kredit dan
kartu debit di bank konvensional. Hanya saja, charge dan syariah card tidk mengenakan
bunga,tetapi mengenakan fee atas keanggotaan dan transaksi yang dilakukan.
2.5.2 Rukun dan Ketentuan Syariah
Mengingat transaksi ini merupakan implementasi dari gabungan akad, maka rukun dan
ketentuan syariahnya akan merujuk pada rukun dan ketentuan syariah dari akad kafalah,
ijarah dan qardh hasan.
Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia no: 42/DSNMUI/V/2004
tentang Syariah Charge Card.
Menimbang :
a. Bahwa untuk memberikan kemudahan, keamanan, dan kenyamanan bagi nasabah
dalammelakukan transaksi dan penarikan tunai diperlukan charge card

b. Bahwa fasilitas charge card yang ada dewasa ini masih belum sesuai dengan
prinsip-prinsipsyariah.
c. Bahwa agar fasilitas tersebut dilaksanakan sesuai dengan Syari'ah, Dewan
Syari'ah Nasionalmemandang perlu menetapkan fatwa mengenai hal tersebut untuk
dijadikan pedoman.

Mengingat :
1. Firman Allah SWT, antara lain:

23
QS. al-Ma'idah [5]: 1

"Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu...".

QS.Yusuf [12]: 72:

"Penyeru-penyeru itu berseru: 'Kami kehilangan piala Raja,. dan barang siapa yang
dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban
unta, dan aku menjamin terhadapnya."

QS. al-Ma'idah [5]: 2:

"Dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan


janganlah tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran..."

QS. al-Furqan [25]: 67

"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak herlebih-


lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah
antara yang demikian."

QS. Al-Isra' [17]:

"Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.


Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan
syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya."

QS. al-Isra' [17]: 34:

"Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan


jawabannya."

QS. al-Qashash [28]: 26:

24
"Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, 'Hai ayahku! Ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang
kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya."

QS. al-Baqarah [2]: 275:

"Orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi

(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya."

QS. al-Baqarah [2]: 282:

"Hai orang yang beriman! Jika kamu bermu'amalah tidak secara tunai sampai
waktu tertentu, buatlah secara tertulis..."

QS. al-Bagarah [2]: 280:

"Dan jika ia (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, berilah tangguh sampai
ia berkelapangan..."

2. Hadist-hadist Nabi SAW, antara lain:

Hadis Nabi riwayat Imam al-Tirmidzi dari `Amr bin `Auf alMuzani, Nabi s.a.w.
bersabda:

25
"Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum kecuali perjanjian yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin
terikat dengan syaratsyarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal
atau menghalalkan yang haram."

Hadis Nabi riwayat Imam Ibnu Majah, al-Daraquthni, dan yang lain, dari Abu
Sa'id alKhudri, Nabi s.a.w. bersabda:

"Tidak boleh membahayakan (merugikan) diri sendiri maupun orang lain."

Hadis Nabi riwayat Bukhari dari Salamah bin al-Akwa':

"Telah dihadapkan kepada Rasidullah s. a.w. jenazah seorang laki-laki untuk


disalatkan. Rasulullah bertanya, "Apakah ia mempunyai hutang?" Sahabat
menjawab, `Tidak'. Maka, beliau mensalatkannya. Kemudian dihadapkan lagi
jenazah lain, Rasulullah pun bertanya, Apakah ia mempunyai hutang?' Mereka
menjawab, `Ya'. Rasulullah berkata, 'Salatkanlah temanmu itu' (beliau sendiri
tidak mau mensalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata, `Saya menjamin
hutangnya, ya Rasulullah'. Maka Rasulullah pun menshalatkan jenazah tersebut."

Hadis Nabi riwayat Abu Daud, Tirmizi dan lbn Hibban:

"Za'im (penjamin) adalah gharinz (orang yang menanggung hutang)."

Hadis Nabi riwayat Abu Daud dari Sa'd Ibn Abi Waqqash, ia berkata:

"Kami pernah menyewankan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka,


Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami
menyewakannya dengan emas atau perak "

Hadis riwayat 'Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id al-Khudri. Nabi
s.a.w. bersabda:

26
"Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya."

Hadis Nabi riwayat Muslim, Nabi bersabda:

"Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan
melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hanzba-
Nya selama ia (suka) menolong saudaranya"

Hadis Nabi riwayat Jama'ah, Nabi bersabda:

"Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu


kezaliman..."

Hadis Nabi riwayat Nasa'i, Abu Daud, Ibn Majah, dan Ahmad, Nabi bersabda:
"Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu, menghalalkan
harga diri dan memberikan sanksi kepadanya."

Hadis Nabi riwayat Bukhari, Nabi bersabda:

"Orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang paling baik dalam
pembayaran hutangnya."

Kaedah Fiqh, antara lain:

a. Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.
b. Kesulitan dapat menarik kemudahan.

c. Keperluan dapat menduduki posisi darurat.

d. Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang
berlaku berdasarkan syara' (selama tidak bertentangan dengan syari'at).

27
Memperhatikan:

Pendapat fuqaha' antara lain dalam:

1. Kitab I'anah al-Thalibin, jilid 111/77-78 :

"(Tidak sah akad penjaminan [dhaman] terhadap sesuatu yang akan menjadi
kewajiban, seperti hutang dari akad qardh) yang akan dilakukan.... Misalnya ia
berkata: `Berilah orang ini hutang sebanyak seratus dan aku menjaminnya.'
Penjaminan tersebut tidak sah, karena hutang orang itu belum terjadi. Dalam
pasal tentang Qardh, pensyarah telah menuturkan masalah ini --penjaminan
terhadap suatu kewajiban (hutang) yang belum terjadi dan menyatakan bahwa ia
sah menjadi penjamin. Redaksi dalam pasal tersebut adalah sebagai berikut:
`Seandainya seseorang berkata, Berilah orang ini hutang sebanyak seratus dan
aku menjaminnya. Kemudian orang yang diajak bicara memberikan hutang
kepada orang dimaksud sebanyak seratus atau sebagiannya, maka orang tersebut
menjadi penjamin menurut pendapat yang paling kuat (aitjah).' Dengan
demikian, pernyataan pensyarah di sini (dalam pasal tentang dhaman) yang
menyatakan dhaman (terhadap sesuatu yang akan menjadi kewajiban) itu tidak
sah bertentangan dengan pernyataannya sendiri dalam pasal tentang qardh di
atas yang menegaskan bahwa hal tersebut adalah (sah sebagai) dhaman."

2. Kitab Mughni al-Muhtaj, jilid II: 201-202:

"(Hal yang dijamin) yaitu hutang (disyaratkan harus berupa hak yang telah
terjadi) pada saat akad. Oleh karena itu, tidak sah menjamin hutang yang belum
menjadi kewajiban... (Qaul qadim --Imam al-Syafl'i-- menyatakan sah
penjaminan terhadap hutang yang akan menjadi kewajiban), seperti harga
barang yang akan dijual atau sesuatu yang akan dihutangkan. Hal itu karena hajat
--kebutuhan orang-- terkadang mendorong adanya penjaminan tersebut."

28
3. Kitab al-Muhadzdzab, juz I Kitab al-Ijarah hal. 394:

“Boleh melakukan akad ijarah (sewa menyewa) atas manfaat yang dibolehkan...
karena keperluan terhadap manfaat sama dengan keperluan terhadap benda.
Manakala akad jual beli atas benda dibolehkan, maka sudah seharusnya
dibolehkan pula akad ijarah atas manfaat."

4. Kitab Fiqh al-Sunnah jilid 4/221-222 :

"Kafalah (jaminan) harta yaitu kajil (penjamin) berkewaj iban memberikan


jaminan dalam bentuk harta."

5. Pendapat Majma' al-Fiqh al-Islami & Hai'ah al-Muhasabah wa al-Muraja'ah li-


al-

Mu'assasah al-Maliyah al-Islamiyah, Bahrain, al-Ma 'ayir al-Syar 'iyah Mei


2001: alMi'yar alSyar'i, nomor 2 tentang Bithaqah al-Hasm wa Bithaqah
alI'timan.

6. Pendapat Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional MUI pada hari Kamis, 07
Rabi'ul Akhir 1425 H. / 27 Mei 2004.

MEMUTUSKAN

Menetapkan FATWA TENTANG SYARIAH CHARGE CARD


Pertama: HUKUM

Penggunaan charge card secara syariah dibolehkan, dengan ketentuan-ketentuan


sebagai berikut:
Kedua: KETENTUAN UMUM

Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:

29
a. Syariah Charge Card adalah fasilitas kartu talangan yang dipergunakan oleh
pemegangkartu (hamil al-bithaqah) sebagai alat bayar atau pengambilan uang tunai
pada tempattempat tertentu yang harus dibayar lunas kepada pihak yang memberikan
talangan (mushdir al-bithaqah) pada waktu yang telah ditetapkan.

b. Membership Fee (rusum al-'udhwiyah) adalah iuran keanggotaan, termasuk


perpanjanganmasa keanggotaan dari pemegang kartu sebagai imbalan izin
menggunakan fasilitas kartu;

c. Merchant Fee adalah fee yang diambil dari harga objek transaksi atau pelayanan
sebagaiupah/imbalan (ujrah samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil
aldayn);

d. Fee Penarikan Uang Tunai adalah fee atas penggunaan fasilitas untuk penarikan uang
tunai
(rusum sahb alnuqud)

e. Denda keterlambatan (Late Charge) adalah denda akibat keterlambatan pembayaran


yang akan diakui sebagai dana sosial.

f. Denda karena melampaui pagu (Overlimit Charge) adalah denda yang dikenakan
karenamelampaui pagu yang diberikan (overlimit charge) tanpa persetujuan penerbit
kartu dan akan diakui sebagai dana sosial.

Ketiga: KETENTUAN AKAD

Akad yang dapat digunakan untuk Syariah Charge Card adalah:

a. Untuk transaksi pemegang kartu (hamil cd-bithaqah) melalui merchant (qabil al-
bithaqahlpenerima kartu), akad yang digunakan adalah akad Kafalah wal Ijarah.

b. Untuk transaksi pengambilan uang tunai digunakan akad al-Qardh wal Ijarah.

30
Keempat:

1. Ketentuan dan batasan (dhawabith wa hudud) Syariah Charge Card :

a. Tidak boleh menimbulkan riba.

b. Tidak digunakan untuk transaksi objek yang haram atau maksiat.

c. Tidak mendorong israf (pengeluaran yang berlebihan) antara lain dengan cara
menetapkan pagu.
d. Tidak mengakibatkan hutang yang tidak pernah lunas (ghalabah al-dayn).

e. Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada
waktunya.

2. Ketentuan Fee:

a. Iuran keanggotaan (Membership fee)

Penerbit kartu boleh menerima iuran keanggotaan (rusum al-'udhwiyah) termasuk


perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu sebagai imbalan izin
penggunaan fasilitas kartu.

b. Ujrah (Merchant Fee)

Penerbit kartu boleh menerima fee yang diambil dari harga objek transaksi atau
pelayanan sebagai upah/imbalan (ujrah samsarah), pemasaran (taswiq) dan
penagihan (tahsil al-dayn).

c. Fee Penarikan Uang Tunai

Penerbit kartu boleh menerima fee penarikan uang tunai (rusum sahb al-nuqud)
sebagai fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas yang besarnya tidak dikaitkan
dengan jumlah penarikan.

31
3. Ketentuan Denda

a. Denda Keterlambatan (Late Charge)

Penerbit kartu boleh mengenakan denda keterlambatan pembayaran yang akan


diakui sebagai dana sosial.

b. Denda karena melampaui pagu (Overlimit Charge)

Penerbit kartu boleh mengenakan denda karena pemegang kartu melampaui pagu
yang diberikan (overlimit charge) tanpa persetujuan penerbit kartu dan akan
diakui sebagai dana sosial.

Kelima : Ketentuan Penutup

a. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan
Arbitrase Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
b. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemud ian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana
mestinya.

32
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan.

Menurut terminologi hukum Islam akad adalah pertalian antara penyerahan (ijab) dan
penerimaan (qobul) yang dibenarkan oleh syariah yang menimbulkan akibat hukum
terhadap objeknya. Aplikasi dalam Perbankan Akad qard biasanya diterapkan sebagai
produk perlengkapan kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas dan bonaf iditasnya,
yang membutuhkan dana talangan segera untuk masa yang relatif pendek. Nasabah
tersebut akan mengembalikan secepatnya sejumlah uang yang dipinjamnya itu. Hiwalah
adalah memindahkan utang dari tanggungan seseorang kepada tanggungan orang lain.
Rukun hiwalah:
1. Muhil
2. Muhal
3. Muhal ‘alaih
4. Utangmuhil kepada muhal
5. Utang muhal ‘alaih kepada muhal
6. Sighat

Praktek hiwalah tidak hanya dilakukan oleh masyarakat pada umumnya namun
praktek ini juga diterapkan oleh Bank Syariah sebagai salah satu bentuk pelayanan jasa
dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam Fatwa DSN No. 12/DSN-
MUI/IV/2000.

33
DAFTAR PUSTAKA

Nurhayati,Sri dan Wasilah.2013.Akuntansi Syariah Indonesia.SALEMBA


EMPAT:Jakarta

Sumber Internet: http://hukum-islam.com/2014/06/konsep-dan-dalil-qardhul-hasan-

pinjaman-lunak/ https://sharianomics.wordpress.com/2010/11/17/definisi-jua lah/

http://www.ekonomisyariah.org/konsultasi-detail/detail-konsultasi/1/40

https://viewislam.wordpress.com/2009/04/15/konsep-akad-hiwalah-dalam-fiqh-

muamalah/

34

Anda mungkin juga menyukai