Anda di halaman 1dari 22

Konsep Maqashid Syariah dalam Berbisnis

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Bisnis Syariah


Dosen Mata Kuliah :
Ibu Rara Genta Munggarani Basri, M.E

Disusun Oleh :
Qolbu Dzakirilah 221105070864
M Faiz Alvinanto 221105071337

PROGRAM STUDI MANAJEMEN HAJI DAN UMRAH


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
2022/2023
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr wb
Alhamdulillah, Puji serta syukur atas kehadirat Allah ‫ ﷻ‬rabb semesta alam yang telah
memberikan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kita, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Konsep Maqashid Syariah dalam Berbisnis” tepat pada waktunya.
Shalawat beriringkan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda kita nabi
Muhammad ‫ﷺ‬, kepada para keluarga, sahabat, tabi’in, hingga kepada kita selaku ummatnya
yg Insya Allah senantiasa istiqomah dalam melanjutkan estafet dakwah-Nya hingga akhir hayat.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Rara Genta Munggarani Basri, M.E selaku
Dosen mata kulliah Pengantar Bisnis Syariah yang telah memberikan tugas ini kepada kami,
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berbagi
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami juga menyadari, bahwa makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Maka dari itu, kita mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk terus
meningkatkan perbaikan demi kesempurnaan makalah ini, semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca. Terimakasih
Wassalamu’alaikum wr wb

Bogor, 18 Oktober 2022


Penyusun

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN..............................................................................................1
BAB II
PEMBAHASAN.................................................................................................2
A. Hubungan Maqashid Syari’ah dengan Maslahah..........................................2
Maqashid al-Dharuriyat................................................................................4
Maqashid al-hajiyat.......................................................................................6
Maqashid al-Tahsiniyat.................................................................................6
B. Konsep Halal dan Haram..................................................................................7
a. Urgensi Halal dan Haram dalam Islam dan ajaran (hukum) Islam.......7
b. Penentuan Halal dan Haram......................................................................8
c. Pengertian Halal dan Haram......................................................................10
d. Kategori Haram...........................................................................................11
e. Pembagian Haram.......................................................................................13
C. Implementasi Maqashid Syari’ah dalam Aspek Bisnis..................................14
1. Perbankan Syari’ah.....................................................................................14
2. Koperasi Syari’ah .......................................................................................15
3. Asuransi Syari’ah.........................................................................................15
D. Dampak Negatif tidak terwujudnya Maqashid Syari’ah dalam Bisnis........17
BAB III
KESIMPULAN..................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................19

iii
BAB I
PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang komprehensif, yang mengatur seluruh kehidupan insan, baik
daripada sudut aqidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah. Antara ilmu yang tidak kurang
pentingnya dalam islam adalah ilmu Ekonomi Islam, atau dalam bahasa arab disebut iqtishod
islami. Hampir ribuan ulama’ islam telah mengarang berbagai kitab yang menyentuh soal yang
berkaitan dengan muamalah umumnya, dan Ekonomi Islam khususnya.
Perkembangan ekonomi dan bisnis syari’ah dewasa ini terlihat semakin pesat khususnya
di Indonesia. Hal ini terbukti dengan berdirinya beberapa Lembaga syari’ah, seperti perbankan
syari’ah, asuransi syari’ah, pasar modal syari’ah, reksadana syari’ah, Baitul mal wat tamwil,
koperasi syari’ah, pegadaian syari’ah, dan lain-lain. Ekonomi dan bisnis syari’ah ini bukan hanya
bentuk Lembaga-lembaga diatas, akan tetapi juga meliputi banyak aspek yang sangat luas,
seperti ekonomi makro dan mikro dan masalah-masalah ekonomi lainnya
Terkait dengan permasalahan ekonomi dan bisnis syari’ah, agar perkembangan tetap
sejalan dengan prinsip-prinsip syari’ah, maka menurut Agustianto keterlibatan ‘ulama ekonomi
syari’ah menjadi penting, seperti berijtihad memberikan solusi bagi permasalahan ekonomi
keuangan yang muncul baik sekala mikro maupun makro, mendesign akad-akad syari’ah untuk
kebutuhan produk-produk bisnis di berbagai Lembaga keuangan syari’ah, mengawa dan
menjamin seluruh produk perbankan dan keuangan syari’ah dijalankan sesuai syari’ah, oleh
karena itu, menurut hemat penulis bahwa konsep maqoshid syari’ah al-syatibhi ini penting sekali
untuk di gunakan sebagai teori kajian dalam ekonomi dan bisnis syari’ah terkait dengan
permasalahan-permasalahan dewasa ini, sehingga roda perekonomian ditengah-tengah
masyarakat benar-benar sesuai dengan maqashid syari’ah dan yang diharapkan oleh umat
manusia (Ishak, 2014, pp. 659-660).

iv
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hubungan Maqashid Syari’ah dan Mashlahah


Pengertian dari Maqashid Syari’ah di tinjau dari lughawi (bahasa), maka terdiri dari dua
kata, yakni maqashid dan syari’ah. Maqashid adalah bentuk jama’ dari maqshud yang artinya
kesengajaan atau tujuan. Sedangkan Syariah secara bahasa berarti ‫ المواض==غ تح==در إلى الم==اء‬yang
berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini dapat juga dikatakan sebagai jalan
ke arah sumber pokok kehidupan . (bakri, 1996, p. 61). Kaitan dengan maqashid tersebut , Al-
Syatibi mempergunakan kata yang berbeda-beda yaitu Maqashid Syari’ah, Al-Maqashid Al-
Syar’iyyah fi al-syari’ah, dan maqashid min syar’i al-hukm. Walau dengan kata-kata yang
berbeda menurut Asafri Jaya Bakri mengandung tujuan yang sama yakni tujuan hukum yang
diturunkan oleh Allah ‫ﷻ‬. Sebagaimana ungkapan al-syatibi: “sesungguhnya syari’at itu
bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat dan “Hukum-hukum
disyari’atkan untuk kemaslahatan hamba”. Dengan demikian, memberikan pengertian bahwa
kandungan maqashid syari’ah adalah kemaslahatan umat manusia. Sedangkan menurut istilah,
dikalangan ulama ushul fiqh adalah makna dan tujuan yang dikehendaki syarak dalam
mensyariatkan suatu hukum bagi kemaslahatan umat manusia, disebut juga dengan asrar asy-
syari’ah yaitu rahasia-rahasia yang terdapat dibalik hukum yang ditetapkan oleh syarak, berupa
kemaslahatan bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat (bakri, 1996, pp. 63-66). Oleh
karena itu, Asafri Jaya Bakri memandang bahwa kandungan maqashid syari’ah adalah
kemaslahatan. Kemaslahatan itu melalui maqashid syari’ah tidak hanya dilihat dalam teknis
belaka, akan tetapi dalam upaya dinamika dan pengembangan hukum dilihat sebagai sesuatu
yang mengandung nilai filosofis dari hukum-hukum yang disyari’atkan tuhan kepada manusia.
(bakri, 1996, pp. 65-66). Sedangkan pengertian Maqashid Syari’ah secara istilah, dapat diartikan
sebagai tujuan-tujuanajaran Islam atau dapat juga dipahami sebagai tujuan-tujuan pembuat
syariat (Allah) dalam menetapkan atau mensyari'atkan semua atau sebagian besar hukum-
hukumnya, atau tujuan-tujuan dan rahasia-rahasia yang ditetapkan Allah ‫ ﷻ‬pada setiap
hukum-Nya. Jadi, maqashid asy-syari’ah merupakan tujuan-tujuan dan rahasia-rahasia yang ada
dan dikehendaki Allah ‫ ﷻ‬dalam menetapkan semua atau sebagian hukum-hukum-Nya.
Tujuan syariat, pada intinya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia dan menghindarkan
mafsadah, baik di dunia maupun di akhirat (Jurnal Syari'ah dan Hukum Diktum, 2018, pp. 100-
101).
Adapun pengertian maslahat dalam ensiklopedia hukum islam, secara bahasa maslahat
bentuk masdhar dari madli sholaha dan bentuk tunggal dari jama’ masholeh yang artinya sama
dengan manfaat (dkk, 1996, p. 1143). Oleh karena itu, segala sesuatu yang mempunyai nilai
manfaat bisa dikatakan maslahat. Sedangkan maslahat secara istilah diantaranya menurut Imam
al-Ghazali maslahat adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka
memelihara tujuan-tujuan syarak, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia. Tujuan
syarak yang harus dipelihara tersebut adalah memelihara agama, akal, jiwa, keturunan, dan

v
harta. Jadi menurut al-Ghazali bahwa setiap seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang pada
intinya bertujuan memelihara kelima aspek tujuan syarak tersebut, maka perbuatannya disebut
maslahat (dkk, 1996, p. 1144). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa maslahat adalah
manfaat yang hendak dicapai oleh manusia dalam segala aspek kehidupan. Jadi kalau kita
cermati kedua definisi diatas maka maqashid syari’ah dengan maslahat merupakan sesuatu yang
memiliki keterkaitan dan hubungan yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya
(Ishak, 2014, p. 661).
Pembagian dan Metode Memahami Maqashid Syari’ah
Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari menempatkan
hukum menjadi 3 kelompok, yaitu:
1. Memelihara segala sesuatu yang dharuri bagi manusia dalam penghidupan mereka.
Urusan-urusan dharuri itu adalah segala yang diperlukan untuk hidup manusia, yang
apabila tidak diperoleh akan mengakibatkan rusaknya undang-undang kehidupan,
timbulnya kekacauan, dan berkembangnya kerusakan. Urusan-urusan yang dharuri itu
dikembalikan pada lima pokok yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
2. Menyempurnakan segala yang dihayati manusia. Urusan yang dihayati manusia itu
ialah segala sesuatu yang diperlukan manusia untuk memudahkan dan menanggung
kerusakan-kerusakan taklif dan beban-beban hidup. Apabila urusan itu tidak diperoleh,
tidak merusak peraturan hidup dan tidak menimbulkan kekacauan, melainkan hanya
tertimpa kesempitan dan kerusakan saja. Urusan-urusan yang dihayati dalam pengertian
ini, melengkapi segala hal yang menolak kepicikan, meringankan kerusakan taklif dan
memudahkan jalan-jalan bermuamalah.
3. Mewujudkan keindahan bagi perseorangan dan masyarakat. Yang dikehendaki
dengan urusan-urusan yang mengindahkan ialah segala yang diperlukan oleh rasa
kemanusiaan, kesusilaan, dan keseragaman hidup. Apabila yang demikian ini tidak
diperoleh, tidaklah cedera peraturan hidup dan tidak pula ditimbulkan kepicikan. Hanya
dipandang tidak boleh oleh akal kuat dan fitrah sejahtera.

Menurut syathibi, maqashid dapat dipilah menjadi dua bagian, yaitu, maqshud asy-syari’ dan
maqshud al-mukallaf. Dalam pembahasan ini akan difokuskan pada yang pertama, (maqshud
asy-syari’), karena dalam bagian tersebut terdapat teori pokok tentang maqashid. Maqshud asy-
syari’ terdiri dari empat bagian, yaitu :
1. Qashdu asy-syari’ fi wadhi’i asy-syari’ah (maksud Allah ‫ ﷻ‬dalam menetapkan
syari’at)
2. Qashdu asy-syari’ fi wadhi’i asy-syari’ah lil ifham (maksud Allah ‫ ﷻ‬dalam
menetapkan syariatnya ini adalah agar dapat difahami)
3. Qashdu asy-syari’ fi wadhi’i asy-syari’ah lil al-taklif bi muqtadhaha (maksud Allah ‫ﷻ‬
dalam menetapkan syari’ah agar dapat dilaksanakan)
4. Qashdu asy-syari’ fi dukhul al-Mukaaf tahta ahkam asy-syari’ah (maksud Allah ‫ﷻ‬
mengapa individu harus menjalankan syari’ah)

vi
Dalam pandangan Syathibi, Allah ‫ ﷻ‬menurunkan syari’at (aturan hukum) bertujuan
untuk menciptakan kemaslahatan dan menghindari kemudharatan (jalbul mashalih wa dar’ul
mafasid), baik di dunia maupun diakhirat. Aturan-aturan dalam syari’ah tidaklah dibuat untuk
syari’ah itu sendiri, melainkan dibuat untuk tujuan kemashlahatan. (ad-Daraini, 1975, p. 28).
Sejalan dengan hal tersebut Muhammad Abu Zahrah juga menyatakan bahwa tujuan hakiki islam
adalah kemashlahatan. Tidak ada satu aturan pun dalam syari’ah baik dalam al-Qur’an dan
Sunnah melainkan didalamnya terdapat kemashlahatan (Zahrah, 1958, p. 336). Dengan demikian
dapat difahami bahwa serangkaian aturan yang telah digariskan oleh Allah ‫ ﷻ‬dalam syari’ah
adalah untuk membawa manusia dalam kondisi yang baik, tidak saja dikehidupan dunia namun
juga di akhirat. Kata kunci yang kerap disebut kemudian oleh para sarjana muslim adalah
maslahah yang artinya addalah kebaikan, dimana barometernya adalah syari’ah, Adapun kriteria
maslahah, (dawabith al-Maslahah) terdiri dari dua bagian, yaitu :
1. Maslahat itu bersifat mutlak, artinya bukan relatif atau subyektif yang akan membuatnya
tunduk pada hawa nafsu (Mas'ud, 1995, pp. 157-159).
2. Maslahat itu bersifat universal (kuliyyah) dan universalitas ini tidak bertentangan dengan
sebagian (juz ‘iyyat)-nya
Terkait hal tersebut, maka Syatibhi kemudian melanjutkan bahwa agar manusia dapat
memperoleh kemashlahatan dan mencegah kemudharatan maka ia harus menjalankan syari’ah.
Atau dalam istilah yang ia kemukakan adalah Qashdu asy-syari’ fi Dukhul al-Mukallaf tahta
ahkam asy-syari’ah (maksud Allah kenapa individu harus menjalankan syari’ah). Jika individu
telah menjalankan syari’ah maka ia akan terbebas dari ikatan-ikatan nafsu dan menjadi hamba
yang dalam istilah Syatibhi ikhtiyaran dan bukan idhtiraran (Syatibhi, p. 128).
Hakikat atau tujuan awal pemberlakuan syari’at adalah untuk mewujudkan kemaslahatan
Bersama. Sebagaimana dikatakan oleh al-Ghazali bahwa kemaslahatan itu dapat di wujudkan
apabila lima unsur tujuan syarak dapat diwujudkan dan dipelihara yaitu agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta (dkk A. D., p. 1144). Dalam usaha untuk mewujudkan dan memeliara lima
unsur pokok tersebut, maka al-Syathibi membagi kepada tiga tingkatan maqashid atau tujuan
syari’ah, yaitu (bakri, 1996, p. 72) :
1. Maqashid al-Daruriyat manusia. Dimaksud kan untuk memelihara lima unsur pokok
dalam kehidupan manusia. Al-Daruriyat (tujuan-tujuan primer) ini di definisikan oleh
Yudian Wahyudi (Wahyudi, 2006, p. 45). Sebagai tujuan yang harus ada, yang
ketiadaannya akan berakibat menghancurkan kehidupan secara total yang menurut versi
yang paling popular adalah melindungi agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.
Misalnya, untuk menyelamatkan jiwa, islam mewajibkan manusia untuk makan tetapi
secara tidak berlebihan. Untuk menyelamatkan harta, islam mensyari’atkan misalnya
hukum-hukum muamalah sekaligus melarang Langkah-langkah yang merusaknya seperti
pencurian dan perampokan. Berikut beberapa dalil maqshid al-Dharuriyat:
a. Menjaga Agama
- Dalil al-Qur’an Artinya:

vii
dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.(QS.51:56)
- Dalil Hadits
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda, ‘Tidak halal darah seorang muslim, kecuali karena salah
satu dari tiga hal: orang yang berzina padahal ia sudah menikah, membunuh
jiwa, dan orang yang meninggalkan agamanya lagi memisahkan diri dari
jama’ah (kaum muslimin)” (HR al-Bukhari dan Muslim).
b. Menjaga Jiwa
- Dalil al-Qur’an
Artinya: “dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah
dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali
dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan
yang demikian itu, niscaya Dia mendapat (pembalasan) dosa(nya). QS. 25:68.
- Dalil Hadits
Artinya: “Barangsiapa membunuh diri dengan cara terjun dari atas gunung,
kelak ia akan diterjunkan masuk neraka Jahannam dan kekal di dalamnya. (HR.
al-Bukhari no. 1949)
c. Menjaga Akal
- Dalil al-Qur’an
Artinya: “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan
dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah
kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).QS. 05:91.
- Dalil Hadits
Artinya: “Diceritakan kepada kami oleh Hisyam ibn ‘Ammar, diceritakan kepada

Muhammad ibn Sirin dari Anas ibn Malik berkata, Rasulullah ‫ﷺ‬. bersabda
kami Hafs ibn Sulaiman, diceritakan kepada kami Kasir ibn Syanzir dari

“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim”.


d. Menjaga Keturunan
- Dalil al-Qur’an
Artinya: “dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat Berlaku adil. Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-
budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya. QS. 4: 3
- Dalil Hadits
Artinya: “Wahai para pemuda, barang siapa yang telah mampu diantaramu
untuk menikah, maka hendaklah menikah karena akan menundukkan
pandanganmu dan memelihara kehormatanmu. Maka, siapa yang belum mampu

viii
hendaklah berpuasa itu merupakan pengekang syahwat baginya.” (al-Asqalany,
p. 291).
e. Menjaga Harta
- Dalil al-Qur’an
Artinya: “dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan
Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil
harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”. QS.4:5
- Dalil Hadits
Artinya: “Allah melaknat pencuri yang mencuri sebutir telur kemudian
tangannya dipotong, dan mencuri seutas tali kemudian tangannya dipotong. (HR.
Bukhari no. 6783 dan muslim no.1687) (Ghulam, 2016, pp. 96-99)

2. Maqasshid al-Hajiyat. Dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan


pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik lagi. Al-Hajiyat (tujuan-
tujuan sekunder) ini didefinisikan oleh Yudian Wahyudi (Wahyudi, 2006, pp. 45-46).
Sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia untuk mempermudahkan untuk mencapai
kepentingan-kepentingan yang termasuk ke dalam kategori dharuriyat. Karena fungsinya
yang mendukung dan melengkapi tujuan primer, maka kehadiran sekunder ini dibutuhkan
tapi bukan niscaya. Artinya, jika hal-hal hajiyat tidak ada maka kehidupan manusia tidak
akan hancur, tetapi akan terjadi berbagai kekurangan sempurnaan, bahkan kesulitan.
Misalnya, untuk menyelamatkan jiwa sebagai tujuan sekunder melalui makan dibutuhkan
peralatan makan seperti kompor. Memang tanpa kompor manusia tidak akan mati karna
ia masih bisa menyantap makanan yang tidak dimasak, tetapi kehadiran kompor dapat
melengkapi jenis menu yang dapat dihidangkan. Terjadi berbagai kemudahan dengan
hadirnya kompor. Untuk melindungi harta sebagai tujuan primer maka dibutuhkan
peralatan seperti senjata api, memang orang bisa saja melindungi hartanya dengan golok,
pisau , atau sumpit, tetapi senjata api lebih membantu.

3. Maqashid al-Tahsiniyat, dimaksudkan agar manusia dapat melakukan yang terbaik


penyempurnaan pemeliharaan lima unsur pokok. Al-Tahsiniyat (tujuan-tujuan tersier) ini
di definisikan oleh yudian wahyudi (Wahyudi, 2006, p. 47). Sebagai sesuatu yang
kehadirannya bukan niscaya maupun dibutuhkan, tetapi akan bersifat memperindah
proses perwujudan kepentingan dharuriyat dan hajiyat. Sebaliknya ketidak hadirannnya
tidak akan menghancurkan maupun mempersulit kehidupan, tetapi mengurangi rasa
keindahan dan etika. Disini pilihan pribadi sangat dihormati jadi bersifat relatif dan lokal
sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan nash. Misalnya, kompor yang dibutuhkan
dalam rangka mewujudkan tujuan primer yakni menyelamatkan jiwa melaui makan itu
bersumbu delapan belas, kompor gas, kompor listrik, atau kompor sinar surya diserahkan
kepada estetika dan kemampuan lokal. Senjata api yang di butuhkan dalam rangka
merealisir tujuan primer yakni melindungi harta melalui senjata api, ini beralas Panjang

ix
atau pendek, buatan Indonesia atau Amerika, berwarna hitam atau putih, dan seterusnya,
diserahkan kepada pilihan dan kemampuan lokal.
Dari ketiga tingkat tujuan tujuan syari’ah tersebut, maka menurut Asafri Jaya Bakri
menunjukan bahwa betapa pentingnya pemeliharaan lima unsur pokok titu dalam kehidupan
manusia. Selain itu, juga mengacu kepada pengembangan dan dinamika pemahaman hukum
yang diciptakan oleh tuhan dalam rangka mewujudkan kemashlahatan (bakri, 1996, p. 72).
Dengan demikian, menurut hemat penulis perkembangan ekonomi dan bisnis yang berbasis
syari’ah dewasa ini tentu akan memunculkan masalah-masalah baru ditengah-tengah
masyarakat, sehingga perlu adanya kajian-kajian mendalam dan penyelesaian dalam aspek
hukumnya yang relevan dengan mengedepankan maqashid syari’ah (maslahat) itu sendiri.
(Ishak, 2014)

B. Konsep Halal dan Haram


Setiap kegiatan muamalah termasuk berbisnis diperbolehkan selagi tidak ada dalil
yang melarangnya. Maka untuk menjelaskan wilayah halal mengenai bisnis tentunya akan
mudah ketika langsung dbandingkan dengan wilayah keharaman muamalah tersebut.
Mengenai hal-hal yang haram dilakukan dalam bisnis atapun bermuamalah, Allah ‫ﷻ‬
berfirman:
‫ۤاَّل‬ ‫ْأ ْۤو‬ ‫ٰا‬ ‫ٰۤي‬
‫ـَاُّيَها اَّلِذ ْيَن َم ُنْو ا اَل َت ُك ُل ا َاْم َو ا َلـُك ْم َبْيَنُك ْم ِبا ْلَبا ِط ِل ِا َاْن َتُك ْو َن ِتَج ا َر ًة َع ْن َتَر ا ٍض‬
‫ِّم ْنُك ْم ۗ  َو اَل َتْقُتُلْۤو ا َاْنـُفَس ُك ْم ۗ  ِاَّن َهّٰللا َك ا َن ِبُك ْم َر ِح ْيًم ا‬
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar
suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah
Maha Penyayang kepadamu." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 29)

a. Urgensi Halal dan Haram dalam Islam dan ajaran (hukum) Islam
Halal dan haram merupakan persolan yang sangat penting dan dipandang sebagai inti
keberagaman, karena setiap muslim yang akan melakukan atau menggunakan, terlebih lagi
mengkonsumsi sesuatu sangat dituntut oleh agama untuk memastikan terlebih dahulu kehalalan
dan keharamannya. Jika halal, ia boleh (halal) melakukan, menggunakan atau
mengkonsumsinya; namun jika jelas keharamannya, harus dijauhkan dari diri seorang muslim.
Sedemikian urgen kedudukan halal dan haram sehingga sebagian ulama menyatakan, “Hukum
Islam (fiqh) adalah pengetahuan tentang halal dan haram”.
“Halal” adalah sesuatu yang jika digunakan tidak mengakibatkan mendapat siksa (dosa).
Sedangkan “haram” adalah sesuatu yang dilarang Allah ‫ﷻ‬. Jika seseorang melakukan
larangan tersebut akan diancam/siksa oleh Allah ‫ ﷻ‬diakhirat. Pangan halal adalah pangan
yang jika dikonsumsi tidak mengakibatkan mendapat siksa (dosa), dan pangan haram adalah

x
pangan yang jika dikonsumsi akan berakibat mendapat dosa dan siksa (azab) dari Allah ‫ﷻ‬.
Selain itu, menurut Nabi Muhammad ‫ﷺ‬, mengkonsumsi yang haram menyebabkan doa yang
dipanjatkan tidak akan dikabulkan dan segala amal ibadah yang dilakukan tidak akan diterima
oleh Allah ‫ﷻ‬.
Atas dasar tersebut diatas, umat Islam, mengkonsumsi barang yang dijamin kehalalan dan
kesuciannya. Menurut ajaran Islam, mengkonsumsi yang halal, suci, dan baik merupakan
perintah agama dan hukumnya adalah wajib. Cukup banyak ayat dan hadits menjelaskan hal
tersebut. Diantaranya sebagai berikut :
“Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah
musuh yang nyata bagimu” (Q.S. al-Baqarah:168)
“Hai orang yang beriman! Makanlah diantara rezki yang baik-baik yang Kami berikan
kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepadaNya kamu
menyembah” (Q.S. al-Baqarah:172)
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik daari yang Allah telah rezkikan kepadamu, dan
bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepadaNya” (Q.S. al-Maidah:88)
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan
syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepadaNya menyembah” (Q.S. an-Nahl:114)
Ayat-ayat itu tidak saja menyatakan bahwa mengkonsumsi yang halal dan suci hukumnya
wajib, tetapi juga menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan perwujudan dari rasa syukur,
ketakwaan dan keimanan kepada Allah ‫ﷻ‬. Sebaliknya, mengkonsumsi yang tidak halal
dipandang sebagai mengikuti ajaran syaitan.

b. Penentuan Halal dan Haram


Menurut ajaran Islam, penentuan kehalalan atau keharaman sesuatu tidak dapat didasarkan
hanya pada asumsi atau rasa suka dan tidak suka. Sebab, tindakan demikian dipandang sebagai
membuat-buat hukum atau tahakkum dan perbuatan dusta atas nama Allah yang sangat dilarang
agama. Firman Allah ‫ ﷻ‬sebagai berikut :
“Katakanlah, Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun
yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar
(mengharamkan) mempersekutukan dengan Allah sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah
untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”
(Q.S. al-A’raf:33)
Dalam firman-Nya yang lain Allah ‫ ﷻ‬secara tegas melarang tahakkum (penetapan hukum
tanpa didasari argumen dalil). Ini dapat dipahami dari ayat berikut :
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta,
Ini halal dan ini haram, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya

xi
orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” (Q.S. an-
Nahl:116)
Atas dasar itu, penentuan halal-haram hanyalah hak prerogatif Allah ‫ﷻ‬. Dengan kata lain,
penentuan kehalalan atau keharaman sesuatu, termasuk bidang pangan, harus didasarkan pada al-
Quran, Sunnah, dan kaidah-kaidah hukum, yakni pedoman yang dapat dipertanggungjawabkan
secara syari’ah.
Dari sini timbul pertanyaan, dapatkah setiap orang mengetahui mana pangan yang halal dan
mana pula pangan yang haram dengan hanya mencukupkan diri merujuk pada al-Quran dan
Sunnah? Jika pada zaman dulu, jawabannya cukup mudah, dan kehalalan pangan bukan
merupakan suatu persoalan rumit, karena jenis dan bahan pangan yang halal mudah dikenali,
serta cara memprosesannya pun tidak bermacam-macam. Akan tetapi, kini tentu persoalannya
tidak sesederhana itu.
Kemajuan iptek dan kemampuan rekayasa dibidang pangan dewasa ini, kiranya cukup
memberikan alasan untuk mengatakan bahwa mengetahui kehalalan pangan bukanlah persoalan
mudah. Produk-produk pangan olahan, dengan menggunakan bahan dan peralatan canggih,
kiranya dapat dikategorikan ke dalam kelompok pangan yang tidak mudah diyakini
kehalalannya, apalagi jika produk tersebut berasal dari negeri yang penduduknya mayoritas
nonmuslim, sekalipun bahan bakunya berupa barang suci dan halal. Sebab, tidak tertutup
kemungkinan dalam proses pembuatannya tercampur, menggunakan, atau bersentuhan dengan
bahan-bahan yang tidak suci atau tercampur dengan bahan yang haram.
Dari paparan di atas kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tidak setiap orang
(muslim) akan dengan mudah dapat mengetahuinya secara pasti halal tidaknya suatu produk
pangan, obat-obatan maupun kosmetika. Karena untuk mengetahui hal tersebut diperlukan
pengetahuan yang cukup memadai tentang pedoman atau kaidah-kaidah syari’ah Islam. Itulah
kiranya apa yang jauh-jauh hari telah disinyalir oleh Nabi ‫ﷺ‬. Dalam sebuah hadis yang
cukup populer :
“Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; dan diantara keduanya ada hal-
hal yang musytabihat (subhat, samar-samar, tidak jelas halal haramnya), kebanyakan manusia
tidak mengetahui hukumnya. Barang siapa hati-hati dari perkara syubhat, sungguh ia telah
berupaya menyelamatkan agama dan harga dirinya; dan barang siapa terjerumus ke dalam
syubhat, ia terjerumus ke dalam yang haram, laksana penggembala yang mengembalakan
(ternaknya) di sekitar kawasan terlarang, nyaris ia menggebala di kawasan terlarang tersebut.
Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai kawasan terlarang; ketahuilah bahwa kawasan
terlarang (milik) Allah adalah larangan-larangan (hal-hal yang diharamkanNya)” (H.R.
Muslim dari Nu’man bin Basyir).
Hadis ini menunjukkan bahwa segala sesuatu itu ada yang sudah jelas kehalalannya dan ada
pula yang sudah jelas keharamannya. Disamping itu, dalam hadis tersebut disebutkan juga cukup
banyak hal yang samar-samar (syubhat), yang status hukumnya, apakah ia halal ataukah haram,
tidak diketahui oleh banyak orang. Bagi umat Islam, pangan kategori syubhat, tidak dipandang
sebagai persoalan sederhana, tetapi merupakan persoalan yang mendapat perhatian besar dan

xii
serius. Terlebih lagi jika mengingat lanjutan hadis di atas yang menyatakan bahwa “Barang
siapa terjerumus ke dalam syubhat, ia terjerumus ke dalam yang haram”; serta H.R. Tirmizi
yang menegaskan : “Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram, api neraka lebih
berhak terhadapnya”.
Oleh karena itu setiap orang dapat dengan mudah mengetahui kehalalan atau keharaman
suatu pangan sebagaimana dikemukakan di atas, maka peranan ulama sebagai kelompok orang
yang dipandang memiliki pengetahuan tentang hal tersebut sangat diperlukan untuk memberikan
penjelasan (bayan, fatwa) kepada masyarakat luas mengenai status hukum pangan tersebut.

c. Pengertian halal dan haram


Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, penentuan halal dan haram merupakan hak prerogatif
Tuhan. Dalam firmannya, Allah ‫ ﷻ‬telah menjelaskan mengenai halal dan haram. Begitu juga
hadits Nabi telah mengurai makna halal dan haram baik dalam bentuk prinsip umum, terang-
terangan, bertahap, atau dengan cara yang tegas. Allah ‫ ﷻ‬dan RasulNya memiliki maksud
tersendiri kenapa menjelaskan masalah halal dan haram ini dengan berbagai metode dan
pendekatan. Semua ini ada hikmahnya.
Menurut hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Nu’man bin Basyir, yang disebutkan di
atas, tergambar bahwa ada tiga kategori hukum; halal, haram, dan subhat. Sesuatu yang halal
sudah jelas kehalalannya, begitu juga yang haram sudah jelas keharamannya. Sedangkan yang
tidak jelas halal dan haramnya adalah subhat.
Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Salman al-Farisi disebutkan bahwa sesuatu yang
halal adalah apa saja yang dihalalkan (dibolehkan) oleh Allah, dan yang haram adalah apa saja
yang dilarangNya. Sedangkan yang tidak disebutkan (halal atau haramnya) hukumnya diampuni.
Dari dua hadis di atas diketahui bahwa halal adalah sesuatu yang jika digunakan tidak
mengakibatkan mendapat siksa (dosa). Halal adalah segala sesuatu yang dihalalkan oleh Allah
‫ ﷻ‬dan RasulNya dalam al-Quran maupun hadis baik dengan pernyataan tegas maupun dalam
bentuk prinsip, yang diperintahkan Allah ‫ ﷻ‬atau RasulNya, tidak dilarang, tidak
membahayakan, atau sesuatu yang didiamkan Allah ‫ ﷻ‬dan RasulNya.
Sedangkan haram adalah sesuatu yang dilarang oleh Allah ‫ﷻ‬. Haram adalah segala
sesuatu yang diharamkan Allah ‫ ﷻ‬dan RasulNya dalam al-Quran maupun hadits baik dengan
pernyataan tegas maupun dalam bentuk prinsip, yang dilarang Allah ‫ ﷻ‬atau RasulNya, tidak
dianjurkan, membahayakan, atau yang tidak pernah didiamkan Allah ‫ ﷻ‬dan RasulNya.
Sementara subhat adalah segala sesuatu yang hukumnya tidak jelas, kabur, dekat dengan
haram, atau mempunyai dua kemungkinan sehingga patut ditinggalkan atau dicegah.
Dari pengertian ini kita dapat menarik kesimpulan terkait dengan produk halal dan produk
haram. Produk halal adalah produk pangan, obat-obatan, kosmetika dan hal lain yang jika
dikonsumsi atau digunakan tidak berakibat mendapat siksa (dosa), dan produk haram adalah

xiii
produk pangan, obat-oabatan, kosmetika, dan hal yang jika dikonsumsi atau digunakan akan
berakibat mendapat dosa dan siksa (azab) dari Allah ‫ﷻ‬.
Untuk menetapkan apakah sesuatu produk itu halal atau haram perlu diperhatikan sekurang-
kurangnya unsur bahan, baik bahan baku, bahan tambahan, maupun bahan penolong, dan
proses produksinya. Jika semua unsurnya halal dan dalam proses produksinya tidak
menggunakan media yang haram, najis atau terkena najis yang tidak disucikan, maka produk
tersebut dapat ditetapkan kehalalannya. Sebaliknya, jika suatu produk mengandung unsur bahan
haram atau bahannya halal namun dalam proses produksinya menggunakan benda haram, najis
atau terkena najis yang tidak disucikan, maka produk tersebut adalah produk yang haram.
Dalam masalah produk ini, umat Islam memiliki kesempatan untuk melakukan kajian lebih
mendalam tentang status halal atau haramnya. Seperti diungkapkan hadits sebelumnya, Allah
‫ ﷻ‬dan rasulNya membuka peluang adanya peran umat Islam untuk menggali dan
menentukan status halal atau haram, karena ada sesuatu yang tidak dinyatakan (maskut’anhu)
halal atau haram.
Kesempatan dan peluang ini menunjukkan fleksibilitas hukum Islam. Terlebih, persoalan
pangan akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan manusia dan teknologinya.
Karenanya, untuk menentukan status halal atau haram dalam produk modern tidak semudah
menentukan halal atau haram dalam produk yang sederhana.
Dengan pendekatan al-Quran, hadits, ijma’, maupun qiyas, umat Islam dapat menentukan
status hukum produk yang sebelumnya tidak dijelaskan. Melalui ijtihad dan penelitian yang
seksama hukum produk dapat ditetapkan halal atau haram.

d. Kategori Haram
Menurut hukum Islam, ada bahan-bahan yang sudah jelas kehalalannya dan ada pula yang
sudah jelas keharamannya. Dan diantara yang halal dan haram itu, terdapat cukup banyak pangan
yang masih samar-samar (syubhat) status hukumnya. Terhadap yang disebut terakhir ini ulama
menentukan status hukumnya dengan melakukan ijtihad dengan langkah-langkah dan
pendekatan sebagaimana telah dikemukakan.
Kelompok pertama dalah jenis pangan atau bahan pangan yang telah ditegaskan
kehalalannya oleh dalil yang qath’iy al-tsubut (ayat al-Quran atau hadis mutawatir) dan qath’iy
al-dalalah (bermakna tunggal, tidak interpretible). Masuk ke dalam kelompok pertama adalah
jenis-jenis pangan yang dibolehkan untuk dikonsumsi oleh dalil yang bersifat umum sepanjang
tidak ada dalil yang mengharamkannya. Kelompok kedua adalah jenis pangan atau bahan yang
telah ditegaskan keharamannya oleh dalil yang qath’iy al-tsubut dan qath’iy. al-dalalah
(bermakana tunggal). Sedangkan semua jenis pangan atau bahan yang tidak masuk ke dalam
kelompok pertama maupun kelompok kedua digolongkan ke dalam kelompok ketiga, yaitu
mukhtalaf fih. Kelompok ketiga ini ditentukan status hukumnya melalui ijtihad ulama.

xiv
Secara garis besar, jenis pangan, atau bahan pangan, obat-obatan dan kosmetika terdiri atas
hewani dan nonhewani. Semua kelompok nonhewani, seperti nabati dan benda cair, menurut
syari’ah Islam, halal dimakan kecuali yang najis (atau yang terkena najis), yang berbahaya, dan
yang memabukkan (muskir). Demikian juga jenis lain, pada dasarnya hukumnya adalah halal
kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Hal ini didasrkan pada sejumlah dalil dan kaidah fiqh,
antara lain:
“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu...” (Q.S. al-Baqarah:29)
“Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkanNya
untuk hamba-hambaNya dan (siapakah yang mengharamkan) rezki yang baik?’ Katakanlah:
‘Semuanya itu (disediakan) bagi orang-oarang yang beriman dalam kehidupan, khusus (untuk
mereka saja) di hari kiamat.’ Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang
yang mengetahui” (Q.S. al-A’raf:32)
“Dan Dia (Allah) telah menundukkan untuk kamu apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi semuanya (sebagai rahmat) dariNya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir” (Q.S. al-Jasiyah:13).
“Hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah boleh dan hukum asal sesuatu yang berbahaya
adalah haram”
Mengenai keharaman memakan benda najis atau yang terkena najis, Allah ‫ ﷻ‬berfirman:
“... dan ia (Nabi) mengharamkan bagi mereka segala yang buruk...” (Q.S. al-A’raf:157)
Maksud buruk (khaba’its) disini menurut ulama adalah najis.
Nabi ‫ ﷺ‬bersabda berkenaan dengan tikus yang jatuh dan mati dalam keju (samin):
“Jika keju itu keras (padat), buanglah tikus itu dan keju sekitarnya, dan makanlah (sisa) keju
tersebut; namun jika keju itu cair, tumpahkanlah” (H.R. Bukhari, Ahmad, dan Nasa’i dari
Maimunah isteri Nabi ‫)ﷺ‬.
Mengenai keharaman makanan yang dapat membahayakan, Allah ‫ ﷻ‬antara lain berfirman:
“... Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan...” (Q.S. al-Baqarah:195)
Nabi ‫ ﷺ‬bersabda: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh (pula)
membahayakan orang lain” (H.R. Ahmad dan Ibn Majah dari Ibn ‘Abbas dan ‘Ubadah bin
Shamit).
Demikianlah garis besar hukum Islam tentang pangan, kosmetika, dan obatobatan yang
termasuk kelompok jenis nonhewani.
Selanjutnya tentang jenis hewani. Jenis ini terbagi menjadi dua, hewan laut atau air (bahriy,
ma’iy) dan hewan darat (barriy). Mengenai yang pertama, ulama sepakat bahwa semua binatang
laut hukumnya adalah halal, kecuali yang dapat menimbulkan bahaya seperti mengandung racun
berbahaya. Hal ini berdasarkan firman Alah ‫ ﷻ‬dalam Q.S. al-Ma’idah [5]:96 dan hadis Nabi

xv
‫ﷺ‬: “Laut itu suci lagi mensucikan airnya dan halal bangkai (ikan) nya” (H.R. Lima Imam
hadis)
Mengenai yang kedua, hewan darat, ada hewan yang sudah ditegaskan kehalalannya dalam
nash al-Quran dan hadits dan ada yang sudah ditegaskan keharamannya dalam nash al-Quran dan
hadits, disamping banyak pula yang tidak ditegaskan dalam keduanya. Bentuk ketiga ini masuk
dalam kategori al-maskut’anhu.
Sebagaimana penjelasan di atas, terhadap kelompok ketiga ini ditentukan melalui ijtihad
ulama. Umumnya, kelompok ketiga ini ditetapkan hukumnya halal sepanjang tidak menimbulkan
bahaya. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan, yaitu: Sabda Nabi ‫ﷺ‬d sebagai jawaban
terhadap pertanyaan tentang sebagian makanan:
“Yang halal adalah sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dalam KitabNya, dan yang haram
adalah apa yang diharamkan oleh Allah dalam KitabNya; sedang yang tidak dijelaskanNya
adalah yang dimaafkan” (Nail al-Authar, 106).
Sabda Nabi : “Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban; janganlah kamu abaikan, telah
menetapkan beberapa batasan, janganlah kamu langgar, telah mengharamkan beberapa hal,
janganlah kamu rusak, dan tidak menjelaskan beberapa hal sebagai kasih sayang kepadamu,
bukan karena lupa, maka janganlah kamu tanya-tanya hukumnya” (H.R. Darulquthni dan dinilai
sahih oleh Imam Nawawi).
Kaidah fiqh: ‘Hukum asal mengenai sesuatu yang bermanfaat adalah boleh dan mengenai
sesuatu yang berbahaya adalah haram” atau “Hukum asal mengenai sesuatu adalah boleh
selama tidak ada dalil muktabar yang mengahramkannya”.
Dengan demikian, jelaslah bahwa al-maskut‘anhu adalah mubah, halal, sepanjang tidak
menimbulkan bahaya.

e. Pembagian Haram
Haram li dzatihi, sering disebut dengan haram zatiy adalah jenis-jenis benda, pangan, bahan
pangan, atau bahan produk yang substansi benda itu sendiri memang diharamkan oleh hukum
Islam, seperti benda-benda yang telah jelas keharamannya. Benda yang termasuk kelompok ini
tidak boleh dikonsumsi atau digunakan. Oleh karena itu, produk yang mengandung bahan haram
zatiy dinyatakan haram.
Haram li ghairihi adalah benda atau bahan yang substansi benda itu sendiri pada dasarnya
adalah halal (tidak haram), hanya saja, cara penanganannya atau cara memperolehnya tidak
dibenarkan oleh ajaran islam.
Dengan demikian, benda yang haram dikonsumsi jenis kedua ini terbagi menjadi dua.
Pertama, bendanya halal tetapi cara penanganannya atau pengolahannya tidak dibenarkan oleh
syari’ah Islam; misalnya kambing yang tidak dipotong secara syar’iy dan benda halal yang
dalam proses produksi atau pengolahannya tercampur dengan benda yang diharamkan atau

xvi
benda najis. Kedua, bendanya halal, suci, akan tetapi diperboleh dengan jalan atau cara yang
dilarang oleh agama; misalnya, hasil korupsi, menipu, dan sebagainya.
Mengenai benda haram ini (haram li ghairihi) yang karena cara memperolehnya, dijelaskan,
antara lain dalam firman Allah ‫ﷻ‬:
“ Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan
jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu
dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal
kamu mengetahui” (Q.S. al-Baqarah:188) (RAHMADANI, pp. 21-26).

C. Implementasi Maqashid Syari’ah dalam Aspek Bisnis

1. Perbankan syari’ah
Maqashid al-Syari’ah merupakan koridor yang relevan sebagai dasar pengembangan sistem,
praktik, bahkan produk perbankan syariah di era multidimensi ini. Tatanan maqashid al-syari’ah
dinilai oleh mayoritas ulama sebagai jalan terang bagi perjalanan perbankan syariah dalam
menjawab persoalan kontemporer yang dinamis, karena didasarkan pada kemaslahatan dan
kesejahteraan (welfare).
Konsep maṣlaḥah merupakan tujuan syara’ (maqashid al-syari’ah) dari ditetapkannya hukum
Islam. Maslahat di sini berarti jalbul manfa’ah wa daf’ul mafsadah (menarik kemanfaatan dan
menolak kemudaratan) (Sulaeman).
Visi yang akan dicapai dari pengembangan perbankan syariah sendiri dapat dirumuskan
sebagai berikut:
“Terwujudnya sistem perbankan syariah yang kompetitif, efisien, dan memenuhi prinsip kehati-
hatian serta mampu mendukung sektor riil secara nyata melalui kegiatan pembiayaan berbasis
bagi hasil dan transaksi riil dalam kerangka keadilan, tolong menolong dan menuju kebaikan
guna mencapai kemaslahatan masyarakat”.
Berdasarkan visi tersebut, perbankan syariah menghadapi tantangan pengembangan industri
perbankan syariah yang semakin meningkat termasuk operasional dan model-model bank syariah
yang dapat dikembangkan ke depan. Secara operasional, model bisnis bank syariah mencakup
aspek bisnis dan non bisnis (seperti aspek syariat) dari beragam aktivitas ekonomi dan sosial
masyarakat. Contoh aspek bisnis adalah operasional bank syariah yang menguntungkan
(profitable) bagi stakeholder dan perekonomian nasional pada umumnya, di samping
memudahkan aktifitas bisnis masyarakat dan mendorong pertumbuhan industri perbankan
syariah dan perekonomian nasional. Sedangkan contoh aspek syariat adalah kesesuaian model
bisnis bank syariah Indonesia dengan maqashid al-syari’ah yang mengandung unsur keadilan,
kemaslahatan dan keseimbangan guna mencapai masyarakat Indonesia yang lebih sejahtera
secara material dan spiritual.

xvii
Berikut peninjauan produk-produk dan operasional di bank syariah pada umumnya dan di
Bank Muamalat pada khususnya dengan nilai-nilai maqashid al-syari’ah:
1. Terjaga agama para nasabah. Hal ini diwujudkan dengan Bank Muamalat
menggunakan al-Qur’an, hadits, dan hukum Islam lainnya sebagai pedoman dalam
menjalankan segala sistem operasional dan produknya. Dengan adanya Dewan
Pengawas Syariah dan Dewan Syariah Nasional, keabsahan bank tersebut dalam
nilai-nilai dan aturan Islam semakin terjamin dan Insya Allah dapat dipercaya oleh
kalangan Muslim dan non-Muslim.
2. Terjaga jiwa para nasabah. Hal ini terwujud dari akad-akad yang diterapkan dalam
setiap transaksi di bank syariah. Secara psikologis dan sosiologis, penggunaan akad-
akad antar pihak menuntun manusia untuk saling menghargai dan menjaga amanah
yang diberikan. Di sinilah nilai jiwanya. Selain itu, hal ini juga terwujud dari pihak
stakeholder bank syariah di mana dalam menghadapi nasabah dituntut untuk
berperilaku, berpakaian, dan berkomunikasi secara sopan dan Islami.
3. Terjaga akal pikiran nasabah dan pihak bank. Hal ini terwujud dari adanya
tuntutan bahwa pihak bank harus selalu mengungkapkan secara detail mengenai
sistem produknya dan dilarang untuk menutup-nutupi barang sedikit pun. Di sini
terlihat bahwa nasabah diajak untuk berpikir bersama ketika melakukan transaksi di
bank tersebut tanpa ada yang dizalimi oleh pihak bank. Bank syariah ikut
memintarkan nasabah (adanya edukasi di setiap produk bank kepada nasabah).
4. Terjaga hartanya. Hal ini terwujud jelas dalam setiap produk yang dikeluarkan oleh
bank, di mana bank berupaya untuk menjaga dan mengalokasikan dana nasabah
dengan baik dan halal serta diperbolehkan untuk mengambil profit yang wajar. Selain
itu, terlihat juga dari adanya penerapan sistem zakat yang bertujuan untuk
membersihkan harta nasabah secara transparan dan Bersama-sama.
5. Terjaga keturunannya. Hal ini terwujud dengan terjaganya empat hal di atas.
Dengan demikian, dana nasabah yang Insya Allah dijamin halal akan berdampak baik
bagi keluarga dan keturunan yang dinafkahi dari dana tabungannya tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa maqashid al-syari’ah merupakan teori yang
relevan sebagai dasar pengembangan sistem, praktik, bahkan produk perbankan
syariah di era multidimensi ini, dalam menjawab persoalan kontemporer yang
dinamis, karena didasarkan pada kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat.
(Sulaeman).

2. Koperasi Syari’ah
(Ghulam, 2016)Koperasi Syariah secara kasat mata sebenarnya adalah konversi
dari Koperasi Konvensional. Hanya saja dalam pendekatannya, sejalan dengan teladan
ekonomi yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya dengan
berlandaskan al-Qur’an dan Hadits. Prinsip operasional koperasi syariah adalah
menciptakan kesejahteraan (falah) bagi pra anggotanya dengan prinsip saling membantu
dalam kebaikan (alta’awun al al-birri) secara bersama-sama. Prinsip ini
terinternalisasikan ke dalam manajemen operasional, produk-produk, jasa dan hukum
agar pelaku dan obyeknya sama-sama mendapatkan kemaslahatan bersama. Dari ruh
xviii
prinsip ini saja dapat ditemukan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sesuai dengan
maqashid syariah. (Ghulam, 2016).

3. Asuransi Syari’ah
a. Perlindungan Terhadap Kemaslahatan Agama
Muhammad Utsman Najati (2008) mengatakan bahwa secara fitrah, manusia
memiliki kesiapan (potensi) untuk mengenal dan beriman kepada Allah. Manusia
berpotensi untuk bertauhid, mendekatkan diri kepada Allah, kembali kepada-Nya dan
meminta pertolongan kepada-Nya dalam menghadapi kesulitan. Wujud terlaksananya
Islam bagi umat Islam adalah apabila ia mampu menjalankan rukun Islam dengan baik,
yang terdiri dari membaca dua kalimat syahadat, menjalankan sholat, membayar zakat,
menunaikan ibadah haji bagi yang mampu, serta menjalankan ibadah puasa.

b. Perlindungan Terhadap Kemaslahatan Jiwa


Hak pertama dan paling utama yang diperhatikan Islam adalah hak hidup. Hak yang
disucikan dan tidak boleh dihancurkan kemuliaannya. Sangatlah jelas hikmah dari
penciptaan manusia yakni fitrah yang diciptakan-Nya dan menjadikannya dalam bentuk
yang sebaik-baiknya (Jauhar, 2010). Usaha asuransi syariah dalam aspek perlindungan
kemaslahatan jiwa terletak pada hal-hal yang menyebabkan terancamnya jiwa, kerusakan
anggota badan yang menyebabkan kecacatan ataupun kematian seseorang. Peranan
asuransi pada kemaslahatan jiwa ini lebih ditekankan pada aspek pencegahan (min
nahiyyati al- ‘adam).

c. Perlindungan Terhadap Kemaslahatan Akal


Salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan mahluk lainnya ialah memiliki
akal. Selain sebagai dimensi berfikir, akal juga memiliki makna kemuliaan. Maksudnya
adalah orang yang menggunakan akalnya sesuai dengan petunjuk Allah SWT disebut
sebagai orang yang berakal dan ketika ia istiqamah dengan hasil pemikirannya yang
benar maka ia menjadi mulia dengan hakikat-hakikat yang diketahuinya tersebut
sehingga mencegah pemiliknya untuk melakukan hal-hal buruk dan mengerjakan
kemungkaran. Netta Agusti dalam Jurnal Hukum Ekonomi Syariah (2019) mengatakan
bahwa menjaga dan melindungi akal bisa dilaksanakan dengan penjagaan antara akal itu
sendiri dengan ujian dan bencana yang bisa melemahkan, dan merusakkannya, atau
menjadikan pemiliknya sebagai sumber kejahatan dan sampah dalam masyarakat.

d. Perlindungan Terhadap Kemaslahatan Keturunan


Bagian dari maslahah dharuriyah yang harus dilindungi adalah keturunan. Salah satu
melindungi keturunan dari keadaan lemah atau kepunahan adalah dengan cara mengikuti
program asuransi. Asuransi dirancang untuk melindungi manusia dari risiko-risiko yang
kemungkinan akan terjadi di kemudian hari. Peranan asuransi pada kemaslahatan
keturunan ini lebih ditekankan pada segi adanya (min nahiyyati al- wujud) yaitu
mewujudkan kemaslahatan ahli waris atau keluarga yang ditinggal.

xix
e. Perlindungan Terhadap Kemaslahatan Harta
Harta merupakan sesuatu yang harus dilindungi oleh syariah. Segala sesuatu yang
berhubungan dengan harta pada umumnya dibahas dalam muamalah. Islam menghalalkan
berbisnis untuk memenuhi kebutuhan hidup umatnya. Oleh karena itu bentuk
perekonomian seperti jual beli, rahn, mudharabah, musyarakah, dan lain-lainnya menjadi
halal. Kegiatan-kegiatan ini termasuk aspek positif (ijabiyyah). Berkaitan dengan aspek
negatif (salbiyah) Islam melarang jual beli yang mengandung unsur riba, tagrir (spekulasi
tinggi), tadlis (penipuan), maisir (judi). Salah satu ayat yang melarang aktivitas bisnis
dengan cara yang tidak benar misalnya surat al-Baqarah ayat 275. (Prima Dwi Priyatno,
2020).

D. Dampak negatif tidak terwujudnya maqashid syariah dalam bisnis


Jika maqashidus syariah tidak terwujud akan menimbulkan dampak negatif yaitu: 1. Timbul banyak
kemadharatan Dengan diwujudkanya hukum syariat akan terwujud kemaslahatan, tetapi jika tidak
diwujudkan dan hanya hukum buatan manusia akan terjadi kekacauan. Karena setiap manusia menilai
bahkan jika membuat hukum sesuai pandangan masing-masing. (https://search.yahoo.com/search?
fr=mcafee&type=E210US91215G91721&p=dampak+negatif+tidak+menerapkan+maqashid+syariah+dal
am+bisnis)

xx
BAB III
KESIMPULAN
Maqashid asy-syari’ah merupakan tujuan-tujuan dan rahasia-rahasia yang ada dan
dikehendaki Allah ‫ ﷻ‬dalam menetapkan semua atau sebagian hukum-hukum-Nya. pada
intinya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia dan menghindarkan mafsadah, baik di
dunia maupun di akhirat
Sedangkan maslahat secara istilah diantaranya menurut Imam al-Ghazali maslahat adalah
mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syarak,
sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia. Tujuan syarak yang harus dipelihara
tersebut adalah memelihara agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta. Jadi menurut al-Ghazali
bahwa setiap seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang pada intinya bertujuan memelihara
kelima aspek tujuan syarak tersebut, maka perbuatannya disebut maslahat (dkk, 1996, p. 1144).
Dalam pandangan Syathibi, Allah ‫ ﷻ‬menurunkan syari’at (aturan hukum) bertujuan
untuk menciptakan kemaslahatan dan menghindari kemudharatan (jalbul mashalih wa dar’ul
mafasid), baik di dunia maupun diakhirat. Aturan-aturan dalam syari’ah tidaklah dibuat untuk
syari’ah itu sendiri, melainkan dibuat untuk tujuan kemashlahatan. (ad-Daraini, 1975, p. 28).
Sejalan dengan hal tersebut Muhammad Abu Zahrah juga menyatakan bahwa tujuan hakiki islam
adalah kemashlahatan. Tidak ada satu aturan pun dalam syari’ah baik dalam al-Qur’an dan
Sunnah melainkan didalamnya terdapat kemashlahatan (Zahrah, 1958, p. 336).

Penentuan kehalalan atau keharaman sesuatu, termasuk bidang pangan, harus didasarkan
pada al-Quran, Sunnah, dan kaidah-kaidah hukum, yakni pedoman yang dapat
dipertanggungjawabkan secara syari’ah. “Halal” adalah sesuatu yang jika digunakan tidak
mengakibatkan mendapat siksa (dosa). Sedangkan “haram” adalah sesuatu yang dilarang Allah
‫ﷻ‬. Jika seseorang melakukan larangan tersebut akan diancam/siksa oleh Allah ‫ﷻ‬
diakhirat. Sementara subhat adalah segala sesuatu yang hukumnya tidak jelas, kabur, dekat
dengan haram, atau mempunyai dua kemungkinan sehingga patut ditinggalkan atau dicegah.
Implementasi maqashid syari’ah biasanya diterapkan pada perbankan syari’ah, koperasi
syari’ah, Asuransi Syari’ah, dsb.
Jika maqashidus syariah tidak terwujud akan menimbulkan dampak negatif yaitu: 1. Timbul banyak
kemadharatan Dengan diwujudkanya hukum syariat akan terwujud kemaslahatan, tetapi jika tidak
diwujudkan dan hanya hukum buatan manusia akan terjadi kekacauan. Karena setiap manusia menilai
bahkan jika membuat hukum sesuai pandangan masing-masing. (https://search.yahoo.com/search?
fr=mcafee&type=E210US91215G91721&p=dampak+negatif+tidak+menerapkan+maqashid+syariah+dal
am+bisnis).

xxi
DAFTAR PUSTAKA
Ishak, K. Maqashid Syariah Dan Maslahah Dalam Ekonomi Dan Bisnis Syariah. 2014. hlm.
659-660.
Jurnal Syari'ah dan Hukum Diktum. 2018, hlm.111, 524-Article Text-751-1-10-20180907.pdf
dkk, Abdul Aziz Dahlan dan. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta : PT.Ichtiar Baru Van Hove.
1996, hlm 1144.
ad-Daraini, Fathi. al-manahij al-Ushuliyyah fi ijtihad bi al-Ra'yi fi al-Tasyri'. Damsyik : Dar
al-Kitab al-Hadis : 1975, hlm. 28.
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul al-Fiqh. Mesir : Dar al-Fikr al-'Arabi, 1958, hlm.336
Mas'ud, Muhammad Khalid. Shatibi's of Islamic Law. Islamabad : Islamic Research Institute.
1995, hlm.157-159.
Syatibhi, Imam. al-Muwafaqat fi ushul assy-syari'ah. Berut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.
Wahyudi, Yudian. Ushul Fiqh Versus Hermeneutika. Yogyakarta : Pessantren Nawesea
Press, 2006, hlm. 45
al-Asqalany, Ibnu Hajar. Bulugul maram. Semarang : Toha Putra, t.th. hlm. 291
Ghulam, Zainil. IMPLEMENTASI MAQASHID SYARIAH. 2016. hlm. 94.
https://smartlib.umri.ac.id/assets/uploads/files/2fd11-85-1-166-1-10-20160410.pdf
RAHMADANI, GEMA. HALAL DAN HARAM DALAM ISLAM. Hlm. 26-29 admin,
+2.+GEMA+RAHMADANI+20-26.pdf
Sulaeman. Signifikansi Maqashid Asy-Syari’ah Dalam Hukum Ekonomi Islam. Hlm. 113-
115. bisnisssss.pdf

xxii

Anda mungkin juga menyukai