Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik
dan Hinayahnya. Sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini
yang berjudul “PEGADAIAN SYARIAH ”. Semoga makalah ini dapat di
pergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi  pembaca
dalam pembelajaran Pengantar Lembaga Keuangan Islam.
 
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk
maupun isi makalah ini, dan agar kedepannya dapat menjadi lebih baik.

Makalah ini kami akui masih ada kekurangan. Oleh karena itu kami harapkan
kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang  bersifat
membangun untuk kesempurnaan makalah ini. Kami pun berterima kasih
kepada Ibu Dosen Sistem Lembaga Keuangan Syariah yang sudah memberikan
tugas ini.

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................i
DAFTAR ISI .................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................1
1. Latar Belakang...................................................................................................1
2. Rumusan Masalah ....................................................................................................................2
3. Tujuan Penelitian .....................................................................................................................2
4. Manfaat Penelitian ...................................................................................................................3

BAB 2 PEMBAHASAN................................................................ 4
1. Pegadaian Syariah.....................................................................................................................4
2. Pembiayaan Arrum Haji...........................................................................................................9
3. Denda Keterlambatan (Ta’wid)..............................................................................................11
4. Teori Fatwa DSN ...................................................................................................................15

BAB 3 KESIMPULAN..................................................................18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Pada zaman dahulu ada kesan dalam masyarakat, kalau seseorang pergi ke
pegadaian untuk menjamin sejumlah uang dengan cara menggadaikan barang, adalah
aib dan seolah kehidupan orang tersebut sudah sangat menderita, karena itu banyak
diantara masyarakat yang malu menggunakan fasilitas pegadaian. Lain halnya jika
kita pergi ke sebuah Bank, di sana akan terlihat lebih prestisius, walaupun dalam
prosesnya memerlukan waktu yang relatif lebih lama dengan persyaratan yang cukup
rumit; Akan tetapi pada masa sekarang ini, Kehadiran lembaga pegadaian syari‟ah di
Indonesia bukanlah hal yang asing lagi, bahkan lembaga ini sudah dikenal dikalangan
masyarakat dan sudah banyak orang yang mengenal pegadaian salah satu solusi untuk
mendapatkan pinjaman uang secara mudah dan proses yang cepat, tetapi masih
banyak juga orang yang tidak mau datang ke pegadaian karena malu, lain halnya jika
mereka datang ke lembaga perbankan atau lembaga finansial lainnya walaupun
dengan persyaratan yang sulit dan rumit serta proses yang lama untuk
mendapatkannya, tetapi dipandang lebih prestisius;

Ketika menjelang lebaran tiba sudah merupakan tradisi bagi pemudik diibu
kota untuk menggadaikan barang berharga mereka menjelang bulan syawal atau hari
raya lainnya. Dengan menitipkan emas, kenderaan bermotor atau barang berharga
lainnya sebagai jaminan atas uang yang dipinjam, keinginan untuk bertemu sanak
saudara dikampung dengan kerinduan yang sangatpun terobati, bukan tanpa alasan
karena disaat ongkos dan harga kebutuhan untuk membeli oleh-oleh yang semakin
menggila yang tidak lagi dapat diatasi oleh gaji maupun pendapat selama ini, maka
pegadaian merupakan alternatif yang dapat menjawab masalah tersebut, sekilas
lembaga ini memang terlihat sangat membantu dan tentu saja dengan menyuarakan
motto “mengatasi masalah tanpa masalah”, lembaga ini berhasil menafsir dan
mencitrakan dirinya di mata masyarakat sangat baik; Akan tetapi, disadari atau tidak
ternyata dalam prakteknya lembaga ini belum dapat terlepas dari persoalan, dengan
berkaca mata pada syari‟at islam, ketika perjanjian gadai ditunaikan terdapat unsur-
unsur yang dilarang syariat. hal ini dapat terlihat dari praktek gadai itu sendiri yang
menentukan adanya bunga gadai, yang mana pembayarannya dilakukan setiap hari

1
sekali. Dan tentu saja pembayarannya haruslah tepat waktu karena jika terjadi
keterlambatan pembayaran, maka bunga gadai akan bertambah menjadi dua kali lipat
dari kewajibannya.

Bukan hanya riba, ketidak jelasan (gharar) yang secara jelas terdapat
kencenderungan merugikan salah pihak, memang hal tidaklah terlalu diperhatikan
oleh masyarakat, tetapi ketika mereka terjebak dengan bunga yang membengkak serta
ketidak sanggupan untuk membayarnya; Paradigma pembangunan ekonomi saat ini
didominasi sistem ekonomi konvensional yang berbasis bunga telah menggurita,
mewarnai seluruh aspek ekonomi dan keuangan masyarakat, termasuk masyarakat
islam, ekonomi yang berbasis bunga tidak hanya dipraktekkan dalam lembaga
ekonomi dan keuangan yang bernama bank tetapi juga mewarnai lembaga ekonomi
dan keuangan non bank seperti pegadaian; Oleh karena itu dibentuklah lembaga
keungan yang mandiri yang berdasarkan prinsip syari‟ah. Adapun dalam makalah ini
akan dijelaskan mengenai pegadaian syariah mulai dari pengertian, dasar hukum,
rukun, syarat, Produk- Produknya, pembiayaan Arrum Haji, Ta’wid dan Teori Fatwa
DSN nya.

B. Rumusan masalah

1. Apa saja hal hal yang perlu kita ketahui tentang pegadaian syariah?

2. Apa itu Pembiayaan Arrum Haji?

3. Apa saja hal hal yang perlu kita ketahui tentang Ta'wid( denda
keterlambatan)?

4. Bagaimana Teori Fatwa DSN tentang Ta'wid.?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui Apa saja hal hal yang perlu kita ketahui tentang pegadaian
syariah

2. Untuk mengetahui Apa itu Pembiayaan Arrum Haji

2
3. Untuk mengetahui Apa saja hal hal yang perlu kita ketahui tentang Ta'wid( denda
keterlambatan)

4. Untuk mengetahui Bagaimana Teori Fatwa DSN tentang Ta'wid.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian pada Pegadaian Syariah ini diharapkan dapat memberi manfaat


sebagai berikut:

1. Bagi Peneliti Untuk memperoleh pengetahuan mengenai potensi dan kendala


Pegadaian Syariah yang ada di indonesia.

2. Bagi Perusahaan Dengan penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi
semua pihak yang terlibat dalam sistem pelaksanaan gadai syariah.

3. Bagi Akademisi Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi dan
pertimbangan dalam pengembangan penelitian selanjutnya.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. PEGADAIAN SYARIAH

1. Pengertian Pegadaian Syariah

Gadai dalam bahasa Arab disebut Rahn. Rahn menurut bahasa adalah jaminan

hutang, gadaian, seperti juga dinamai Al-Habsu, artinya penahanan.1 Sedangkan

menurut syara’ artinya akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak

yang mungkin diperoleh bayaran yang sempurna darinya.2 Dalam definisinya rahn

adalah barang yang digadaikan, rahin adalah orang mengadaikan, sedangkan

murtahin adalah orang yang memberikan pinjaman.

Adapun pengertian rahn menurut Imam Abu Zakaria Al-Anshary, dalam

kitabnya Fathul Wahab, mendefinisikan rahn adalah menjadikan benda sebagai

kepercayaan dari suatu yang dapat dibayarkan dari harta itu bila utang tidak dibayar.2

Sedangkan menurut Ahmad Azhar Basyir Rahn adalah menahan sesuatu barang

sebagai tanggungan utang, atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut

pandangan syara’ sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya

tanggungan utang itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.4

Pegadaian menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150 yang

berbunyi:

“Gadai adalah hak yang diperoleh seorang yang mempunyai piutang atas suatu

barang bergerak. Barang tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh

seseorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang

mempunyai utang. Seseorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada


1 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Cet ke-2,
h.126 2 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, Cet. Ke-1, h. 105.
2 Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah , (Jakarta: Salemba Diniyah,
2003), h.51. 4 Ibid, h.105.

4
orang yang memberi utang untuk menggunakan barang bergerak yang telah

diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat memenuhi

kewajibannya pada saat jatuh tempo”.3

Jadi, kesimpulanya bahwa rahn adalah menahan barang jaminan

pemilik, baik yang bersifat materi atau manfaat tertentu, sebagai jaminan atas

pinjaman yang diterimanya. Barang yang diterima memperoleh jaminan

untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian hutangnya dari barang gadai

tersebut apabila pihak yang mengadaikan tidak dapat membayar hutang tepat

pada waktunaya.

Pegadaian syariah menjawab kebutuhan transaksi gadai sesuai syariah,

untuk solusi pendanaan yang cepat, praktis, dan mententramkan.

2. Dasar Hukum Gadai Syariah

a. Al-Qur’an

Firman Allah di dalam Al-Quran QS Al-Baqarah (2) : 283 yang berbunyi :

َِّ ‫ض ُك ْ[م ب َْعضًا ف ْلَيَُؤ د‬


‫الى‬ ُ ‫ضةٌ ۗفا َ ْ ِن ا َِمنَ ب َْع‬ ُْ ‫فر ٰه ٌن َّم ْق‬
َ ‫بو‬ ٍ َ ‫﴿۞ َوا ْ ِن ُك ْنت ُْم ع َٰلى َس‬
َِ ً ‫فر َّول َْم ت َِج ُدوْ ا[ َكاتبِا‬
ٓٗ
ُْ ‫َق ٰاللَّٰ َرب ٗهَّ ۗ َو َل ت َْكت ُُموا ال َّشها َ َدةَۗ َو َم ْن ي َّْكت ُْمها َ فاَنِهَّٗ ٰاث ٌِم ق ْلَب ٗهُ ۗ َو ٰال ُّٰل ب َِما ت َْع َم‬
‫لونَ عَل ْيِ ٌم‬ َِّ ‫اْؤ ت ُِمنَ ا َمانتَهَٗ َو ْليت‬
﴾ ٣٨٢ ࣖ

Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah
ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).
akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya;
dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan
Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia
adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.”4

3 Heri sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h.156.


4 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Madina Raihan Makmur, 2007), h. 49.

5
b. Hadist

‫اح ِد َح َّدثنَا َ ْْال َْع َمشُ قا َ َل َذ َكرْ نا َ ِع ْن َد إ ْبِ َرا ِهي َم‬ِ ‫ى ب ُْن أ َس ٍد َح َّدثنَا َ َع ْب ُد ْال َو‬َّ ‫َح َّدثنَا َ ُم َعل‬
‫أن النب ََِّّي‬ ََّ َ ‫ض َي ال َُّّل َع ْنها‬ ِ ‫في السَّل َِم فقَا َ َل َح َّدثن َِي الَْْس َْو ُد ع َْن عَائ َِشةَ َر‬ ِ َ‫ال َّر ْهن‬
‫ى‬ َّ ‫صل‬ َ
‫أج ٍل َو َرهنَهَُ ِدرْ عًا ِم ْن َح ِدي ٍد‬ َ ‫ي إلِ َى‬ ٍّ ‫ط َعا ًما ِم ْن يهَ ُو ِد‬ َ ‫ال َُّّل عَليَْ ِه َو َسل ََّم ا ْشت َر‬
Artinya :” Telah menceritakan kepada kami [Mu'alla bin Asad] telah
menceritakan kepada kami ['Abdul Wahid] telah menceritakan
kepada kami [Al A'masy] berkata; Kami membicarakan tentang
gadai dalam jual beli kredit (Salam) di hadapan [Ibrahim] maka dia
berkata, telah menceritakan kepada saya [Al Aswad] dari ['Aisyah
radliallahu 'anha] bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah
membeli makanan dari orang Yahuid yang akan dibayar Beliau
pada waktu tertentu di kemudian hari dan Beliau menjaminkannya
(gadai) dengan baju besi”5

c. Ijma Ulama

Jumhur ulama menyepakati kebolehan status hukum gadai. Hal ini

dimaksud, berdasarkan pada kisah Nabi Muhammad saw, yang

menggadaiakan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari seorang

Yahudi. Para ulama juga mengambil indikasi dari contoh Nabi Muhammad

saw tersebut, ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada

para sahabat yang kaya kepada seorang Yahudi, bahwa hal itu tidak lebih dari

sikap Nabi Muhammad saw yang tidak mau memberatkan para sahabat yang

biasanya enggan mengambil gantu ataupun harga yang diberikan oleh Nabi

Muhammad saw kepada mereka.6

3. Rukun Gadai Syariah

Dalam menjalankan pegadaian syariah, pegadaian harus memenuhi rukun gadai syariah.

5 Shahih Bukhari, Abu Abdullah bin Ismail bin Ibrahim Albukhari Alja’fi, Kitab: Jual Beli, juz 3,
(Darul Fikri, Bairut –Libnon, 1981 M), h.8.
6 Adrian Sutedi, hukum Gadai Syariah (Bandung: alfabeta, 2011), h. 185.

6
Rukun gadai syariah tersebut adalah :

a. Pertama, Ar-Rahin (yang menggadaikan) adalah orang yang telah dewasa,

berakal, bisa dipercaya dan memiliki barang yang digadaikan.

b. Kedua, Al-Murtahin (yang menerima gadai) adalah orang, bank atau lembaga

yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang

gadai.

c. Ketiga, Al-Marhun/Rahn (barang yang digadaikan) adalah barang yang

digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam mendapatkan uang.

d. Keempat, Al-Marhun Bih (utang) adalah sejumlah dana yang

diberikanmurtahin kepada rahin atas dasar besarnya tafsiran marhun

e. Kelima, Sighat, Ijab dan Qabul adalah kesepakatan antara rahin dan murtahin

dalam melakukan transaksi gadai.

4. Syarat Gadai

Dalam menjalankan transaksi rahn harus memenuhi syarat-syarat sebagai

berikut:

Syarat Aqid, baik rahin dan murtahin harus mempunyai kemampuan juga

berarti kelayakan seseorang untuk melakukan transaksi pemilikan, setiap orang yang

sah melakukan jual beli gadai.

Marhun Bih (utang) dengan syarat harus merupakan hak yang wajib

diberikan atau diserahkan kepada pemiliknya, memungkinkan pemanfaatannya bila

sesuatu yang menjadi utang itu tidak bisa dimanfaatkan maka tidak sah, harus

dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya bila tidak dapat diukur atau tidak

dikuantifikasi, rahin itu tidak sah.

Marhun (barang) dengan syarat harus bisa diperjualbelikan, harus berupa harta
yang bernilai, marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah, harus diketahui keadaan

fisiknya, harus dimiliki oleh rahin setidaknya harus seizin pemiliknya.

7
Sighat (Ijab dan Qabul) dengan syarat sighat tidak boleh diselingi dengan

ucapan yang lain selain ijab dan qabul dan diam terlalu lama pada waktu transaksi,

serta tidak boleh terikat oleh waktu.

Secara umum barang gadai harus memenuhi beberapa syarat, antara lain :

a) Harus diperjualbelikan

b) Harus berupa harta yang bernilai

c) Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah.

d) Harus diketahui keadaan fisiknya, maka piutang tidak sah untuk digadaikan harus

berupa barang yang diterima secara langsung.

e) Harus dimiliki oleh rahin (pinjaman atau pegadai) setidaknya harus seizing

pemiliknya.

5. Produk-produk Pegadaian Syariah

Produk-produk pegadaian syariah adalah sebagai berikut:

a. Rahn yaitu pembiayaan dengan sistem syariah yang dikeluarkan oleh

pegadaian syariah dengan proses cepat aman penyimpanannya dengan

barang jaminan berupa emas perhiasan, emas batangan, berlian, Smartphone,

laptop, barang elektronik lainnya, sepeda motor serta mobil.

b. Amanah yaitu pembiayaan untuk memudahkan pembelian kendaraan

bermotor dengan pinjaman sesuai syariah untuk karyawan dan pengusaha

mikro.

c. Arrum yaitu pembiayaan untuk memudahkan pengusaha kecil mendapatkan

modal usaha dengan jaminan BPKB dan emas, kendaraan masih dapat

digunakan pemiliknya untuk membantu operasional usahanya.

d. Arrum haji adalah pembiayaan dengan sistem gadai emas untuk pendaftaran

haji

8
B. Pembiayaan Arrum Haji

1. Pengertian Arrum haji

Arrum haji merupakan sebuah produk yang ditawarkan oleh Pegadaian

Syariah yang bertujuan untuk membantu nasabah agar bisa mendapatkan porsi haji

dengan jaminan emas.

Arrum haji merupakan sebuah produk yang ditawarkan oleh Pegadaian

Syariah yang bertujuan untuk membantu nasabah agar bisa mendapatkan porsi haji

dengan jaminan emas (pegadaiansyariah.co.id) Artinya Produk Arrum haji adalah

suatu produk pembiayaan konsumtif yang ditujukan untuk nasabah yang

membutuhkan dana untuk melunasi biaya setoran awal Biaya Penyelenggaraan

Ibadah Haji (BPIH).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Arrum haji yaitu dana

yang diberikan lembaga keuangan syariah kepada calon jemaah haji. Untuk

memenuhi persyaratan minimal setoran awal biaya penyelenggaraan haji sebesar

Rp. 25.000.000, sehingga jemaah tersebut bisa mendapatkan porsi haji.

2. Landasan Syariah Arrum haji

Sebagaimana produk di lembaga keuangan syariah pada umumnya yang memiliki


fatwa

DSN-MUI sebagai landasan syariah. Produk Pembiayaan Arrum haji juga demikian.
Berikut adalah fatwa DSN-MUI yang menjadi landasan syariah produk pembiayaan

arrum haji :

1) Fatwa No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn

Pertama : Hukum Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai

jaminan utang dalam bentuk rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut.

Kedua : Ketentuan umum

9
(a) Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun

(barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.

(b) Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya,

marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin,

dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar

pengganti biaya pemeliharaan dan perawatan.

(c) Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi

kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan

biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.

(d) Beban biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh

ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.

(e) Penjualan Marhun

(1) Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk

segera melunasi uangnya.

(2) Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi hutangnya, maka marhun

dijual paksa/eksekusi melalui lelang sesuai syariah.

(3) Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya

pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya

penjualan.

(4) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya

menjadi kewajiban rahin.

Ketiga : Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di

kemudian hari terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan

sebagaimana mestinya
10
2) Fatwa No.26/DSN-MUI/IV/2002 tentang Rahn Emas

Berikut adalah keputusan Fatwa No.26/DSN-MUI/IV/2002 tentang rahn

emas.

Pertama :

a) Rahn emas dibolehkan berdasarkan prinsip rahn (lihat fatwa DSN nomor:

25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn).

b) Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai

(rahin).

c) Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran

yang nyata-nyata diperlukan.

d) Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad ijarah.

Kedua : Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika

dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan

sebagaimana mestinya.

C. DENDA KETERLAMBATAN ATAU TA’WID

1. Pengertian Denda Keterlambatan atau Ta’wid

Kata al-ta‘wid berasal dari kata iwad yang berarti memberi ganti, sedangkan

alta‘wid secara Bahasa berarti mengganti (rugi) atau membayar kompensasi7.

Ta‘wid (ganti rugi) adalah sistem untuk membagatasi adanya rugi yang bisa

muncul adanya kesalahan dan ketidakpahaman8. Secara umum pengertian ta‘wid

merupakan penutup terjadinya rugi yang terlaksana dengan peristiwa kesalahan

yang tidak sesuai aturan, hal ini memunculkan adanya kerugian yang nyata,

sehingga mampu diperhitungkan dengan nyata dan tegas dalam suatu jelas dalam

7 Tim Kashiko, Kamus Lengkap Arab Indonesia (Surabaya: Kashiko, 2000), hal 449.
8 Wahbah al-Zuhaili dalam Adiwarman A. Karim, Maqashid Bisnis dan Keuangan Islam: Sintesis
Fikih dan Ekonomi (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hal 156.

11
suatu perjanjian tersebut dengan upaya untuk memperoleh pembayaran dan bukan

merupakan kerugian yang diperkirakan akan terjadi karena adanya peluangan yang

hilang.

Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), mengganti kerugian

adalah perbuatan yang memerlukan adanya pemberian uang kembali atas

pembatalan perjanjian, peralihan kesalahan oleh satu pihak yang dapat merugikan

pihak lain dengan tidak melaksanakan apa yang sudah diperjanjikan 9. Hal tersebut

sesuai dengan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) padal 36 dan 38, yang

berbunyi:

1. Pasal 36 berbunyi Pihak dapat dianggap melakukan ingkar janji, apabila

karena kesalahannya: tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk

melakukannya, Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak

sebagaimana dijanjikan, Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi

terlambat, atau Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh

dilakukan.

2. Pasal 38 berbunyi Pihak dalam akad yang melakukan ingkar janji dapat

dijatuhi sanksi dengan membayar ganti rugi, pembatalan akad, peralihan

risiko, denda atau membayar biaya perkara.

Menurut prinsip umum syariah, diperbolehkan meminta suatu ganti rugi

apabila terdapat kerugian atau kerusakan dari pihak lawan secara wajar. Lembaga

keuangan harus mempertimbangkan perolehan jaminan dalam suatu kontrak atau

perjanjian yang telah disepakati. Maka ketika kerugian atau kerusakan tersebut

timbul karena suatu kesalahan pelanggan (nasabah), masuk akal bila sebuah

lembaga keuangan meminta sebuah ganti rugi dari pelanggan (nasabah) tersebut10.

9 kusmedia, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Bandung: Fokusmedia, 2008), hal 22.
10 International Shari’ah Research Academy for Islamic Finance (ISRA), Sistem Keuangan Islam:
prinsip dan Operasi, terj. Ellys T (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015), hal 290.

12
2. Dasar Hukum Denda Keterlambatan

1) Al-qur’an

Q.S. al-Ma’idah ayat 1

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Maksud dari arti al-

Ma’idah ayat 1 tersebut menjelaskan bahwa setiap orang harus memenuhi

sesuatu yang telah diperjanjikan tanpa adanya penundaan dalam pembayaran

apabila dalam keadaan mampu, serta janganlah merugikan pihak lain dalam hal

transaksi. Apabila terjadi kerugian dibalas dengan kerugian yang dapat diterima.

Q.S. al-Isra’ ayat 34

Dan penuhilah janji sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabnya.

Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan umat manusia agar memenuhi janji,

baik

berupa perjanjian kepada Allah maupun sesama manusia. Perjanjian yang telah

disepakati harus dilaksanakan sesuai hukum dan aturan yang berlaku, sehingga

apabila terdapat pihak yang melanggar maka akan mendapatkan balasan yang

setimpal.

2) Hadist

Hadis Nabi riwayat Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf: Perjanjian boleh dilakukan di

antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau

menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat

mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang

haram.

13
3. Ganti Rugi Menurut Ulama

Menurut Yeni Salma, ganti rugi adalah salah satu bentuk ketentuan khusus

mengenai terjadinya kerugian atas akad-akad yang dilakukan oleh bank Syariah dan

nasabah11. Dalam Fatwa DSN MUI tentang Ganti Rugi (ta‘wid) telah membolehkan

Ganti Rugi sebagaimana dijelaskan didalamnya. Ketentuan hukum tersebut

berdasarkan dalil-dalil berikut:

Pendapat Ibnu Qudamah dalam al-Maghni, juz IV, halaman 342, dalam

penundaan pembayaran kewajiban dapat menimbulkan kerugian (dharar) dan

karenanya harus dihindarkan; ia menyatakan: “Jika orang berutang (debitur)

bermaksud melakukan perjalanan, atau jika pihak berpiutang (kreditur) bermaksud

melarang debitur (melakukan perjalanan), perlu kita prhatikan sebagai berikut.

Apabila jatuh tempo utang ternyata sebelum masa kedatangannya dari

perjalanan˗˗misalnya, perjalanan untuk berhaji dimana debitur masih dalam

perjalanan haji sedangkan jatuh tempo utang pada bulan Muharram atau

Dzulhijjah˗maka kreditor boleh melarangnya melakukan perjalanan. Hal ini karena

ia (kreditur) akan menderita kerugian (dharar) akibat keterlambatan (memperoleh)

haknya pada saat jatuh tempo. Akan tetapi, apabia debitur menunjuk penjamin atau

menyerahkan jaminan yang cukup untuk membayar utangnya pada saat jatuh tempo,

ia boleh melakukan perjalanan tersebut, karena dengan demikian, kerugian kreditur

dapat dihindarkan”.

D. Teori Fatwa Dewan Syariah Nasional

11 Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Dalam Sistem Hukum
Nasional di Indonesia (Jakarta: Badan Litbang Dan Kementrian Agama RI, 2010), hal 269

14
1. Latar Belakang Fatwa DSN MUI Mengatur Denda Keterlambatan

Fatwa DSN-MUI Nomor 43 Tahun 2004 menjelaskan tentang Ganti Rugi atau

denda keterlambatan atau dapat disebut ta‘wid. Adapun Dewan Syariah

NasionalMUI mengeluarkan fatwa ini atas dasar beberapa pertimbangan,

diantaranya adalah:

1) Menghindarkan praktik riba atau praktik yang menjurus kepada riba, serta

mengenai denda finansial yang dilakukan oleh lembaga keuangan

konvensional.

2) Mengurangi risiko kerugian yang diakibatkan wanprestasi atau kelalaian

dengan adanya penundaan pembayaran sehingga melanggar perjanjian yang

dilakukan oleh pihak yang melakukan transaksi dalam LKS.

3) Melindungi kepentingan semua pihak yang bertransaksi, baik nasabah maupun

LKS, sehingga tidakada satu pihak yang dirugikan haknya.

4) Menunjukkan kerugian yang benar-benar dialami secara riil oleh para pihak

dalam transaksi wajib diganti oleh pihak yang menimbulkan kerugian tersebut.

5) Adaya permintaan dari pihak yang bertransaksi di LKS untuk adanya fatwa

dari DSN-MUI mengenai ganti rugi yang diakibatkan oleh adanya penunda-

nundaan pembayaran dalam kondisi mampu.

6) Adanya upaya melindungi para pihak yang bertransaksi. 12

2. Fatwa DSN-MUI Nomor 43 Tahun 2004

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dalam fatwa

43 tahun 2004 tentang ta‘wid (Ganti Rugi atau Denda Keterlambatan)

memutuskan beberapa point yaitu diantaranya:

Pertama : Ketentuan Umum

12 Fatwa Nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ta’widh (Ganti Rugi/Denda Keterlambatan)

15
1) Ta‘wid hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena

kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan

menimbulkan kerugian pada pihak lain.

2) Kerugian yang dapat dikenakan ta‘wid adalah kerugian riil yang dapat

diperhitungkan dengan jelas.

3) Kerugian riil adalah biaya riil yg dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yg

seharusnya dibayarkan.

4) Ta‘wid hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan utang

piutang seperti salam, istishna’ serta murabahah dan ijarah.

Kedua : Ketentuan Khusus

1) Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat diakui sebagai hak

(pendapatan) bagi pihak yang menerimanya.

2) Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata

cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.

3) Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.

4) Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan biaya

lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara.

Ketiga : Penyelesaian Perselisihan

Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau terjadi perselisihan

di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiaannya dilakukan melalui Badan

Arbitrase

Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

16
BAB III
KESIMPULAN

Rahn adalah menahan barang jaminan pemilik, baik yang bersifat materi atau
manfaat tertentu, sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang
diterima memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian
hutangnya dari barang gadai tersebut apabila pihak yang mengadaikan tidak dapat
membayar hutang tepat pada waktunya.
Arrum haji merupakan sebuah produk yang ditawarkan oleh Pegadaian

Syariah yang bertujuan untuk membantu nasabah agar bisa mendapatkan porsi haji

dengan jaminan emas (pegadaiansyariah.co.id) Artinya Produk Arrum haji adalah

suatu produk pembiayaan konsumtif yang ditujukan untuk nasabah yang

membutuhkan dana untuk melunasi biaya setoran awal Biaya Penyelenggaraan

Ibadah Haji (BPIH). Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Arrum

haji yaitu dana yang diberikan lembaga keuangan syariah kepada calon jemaah haji.

Untuk memenuhi persyaratan minimal setoran awal biaya penyelenggaraan haji

sebesar Rp. 25.000.000, sehingga jemaah tersebut bisa mendapatkan porsi haji.

Ta‘wid (ganti rugi) adalah sistem untuk membagatasi adanya rugi yang bisa

muncul adanya kesalahan dan ketidakpahaman13. Secara umum pengertian ta‘wid

merupakan penutup terjadinya rugi yang terlaksana dengan peristiwa kesalahan yang

tidak sesuai aturan, hal ini memunculkan adanya kerugian yang nyata, sehingga

mampu diperhitungkan dengan nyata dan tegas dalam suatu jelas dalam suatu

perjanjian tersebut dengan upaya untuk memperoleh pembayaran dan bukan

merupakan kerugian yang diperkirakan akan terjadi karena adanya peluangan yang

hilang.

13 Wahbah al-Zuhaili dalam Adiwarman A. Karim, Maqashid Bisnis dan Keuangan Islam: Sintesis
Fikih dan Ekonomi (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hal 156.

17

Anda mungkin juga menyukai