Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

MACAM-MACAM AKAD TRANSAKSI

Dosen Pengampu :

Muhammad Yusuf Bahtiar, M.E

Disusun oleh:

Rini sayyidah. 2051030362


Riski Alfiansyah. 2051030333

Syalsabila Syaidina. 2051030198


Tika Yulinda. 2051030332

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARI’AH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM (FEBI)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
RADEN INTAN LAMPUNG
1442 H/2021 M

-1-
KATA PENGANTAR
ِ‫الرحِ ي ِْم‬
َّ ‫ن‬ِِ ‫الرحْ َم‬
َّ ِِ‫ْــــــــــــــــــم للا‬
ِِ ‫بِس‬

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas limpahan berkah dan
karunia-Nyaِ sehinggaِ makalahِ kamiِ yangِ berjudulِ “MACAM-MACAM AKAD
TRANSAKSI”ِ dapat dibuat dan diselesaikan dengan baik dan lancar guna
memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Islam. Semoga kita selalu senantiasa
mendapatkan limpahan rahmat dan ridha-Nya. Shalawat dan salam semoga tetap
tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga dan para
sahabatnya yang telah membimbing kita untuk meniti jalan lurus menuju kejayaan
dan kemuliaan.
Tidak lupa pula kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang sudah Ikut
berkontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan
makalah ini.

Kami menyadari dengan sepenuh hati bahwa makalah ini jauh dari kata
kesempurnaan. Untuk ini kami menerima kritik dan saran yang bersifat membangun
guna menyempurnakan makalah ini.
Harapan kami semoga hasil dari makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang membaca pada umumnya dan bagi kami (penulis) pada khususnya.

Bandar Lampung, 02 Juni 2021

Penulis

-2-
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................2

DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 4

A. Latar belakang..............................................................................................4
B. Rumusan masalah.........................................................................................4
C. Tujuan penulisan..........................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................5
A. Wadi’ah........................................................................................................5
B. Ijarah Dan Ijarah muntahiiyah Bit-Tamlik..................................................6
C. Kafalah Wakalah Hiwalah dan Rahn............................................................8
D. Hikmah......................................................................................................18
BAB III PENUTUP................................................................................................19

A. A Kesimpulan.............................................................................................19
B. B Saran.......................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................20

-3-
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Akad merupakan perjanjian tertulis yang memuat ijab (penawaran) dan
Qabul (penerimaan) antara satu pihak dengan pihak lain yang berisi hak dan
Kewajiban masing-masing sesusi dengan prinsip syariah. 1Salah satu akad
yangDigunakan BMT dalam transaksi pembiayaan berbasis jual beli adalah
Murabahah. Murabahah adalah kontrak jual-beli dimana bank bertindak
Sebagai penjual sementara nasabah sebagai pembeli. Undang-undang
No.21ِTahunِ2008ِtentangِPerbankanِSyari’ahِtelahِmerumuskanِmaksudِ
dariِakad,ِBahwaِ“ِAkadِadalahِkesepakatanِtertulisِantaraِBankِSyari’ahِ
atauِ Unitِ Usahaِ Syari’ahِ danِ pihakِ lainِ yangِ membuatِ adanyaِ hakِ danِ
kewajiban bagi Masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip
Syari’ah’’.Praktikِ akadِ murabahahِ dilapanganِ haruslahِ memenuhiِ rukunِ
dan Ketentuan yang menjadi prasyaratnya rukun dan ketentuan tersebut
yaitu:2
1. Adanyaِpelakuِyangِmeliputiِpenjualِ(ba’i)ِdanِpembeliِ(musytari).
2. Adanyaِobjekِjualِbeliِ(mabi’)ِyangِdiperbolehkanِsecaraِsyariah.
3. Munculnya harga barang (tsaman) yang disebutkan secara jelas
jumlah dan Satuan mata uangnya.
4. Terjadinya kontrak (ijab qabul) antara penjual dan pembeli

Dalam melaukuan suatu kegiatan muamalah, islam mengatur ketentuan-


ketentuan akad. Ketentuan akad ini tentunya berlaku dalam kegiatan
lembaga keungan syariah seperti perbankan syariah. Akad-akad dalam
permuamalahan (transaksi) sangatlah beragam secara fungsi dan tentunya
yang lebih penting terpenuhinya rukun dan syarat akad haruslah
diperhatikan. Dalam makalah ini secara sederhana menguraikan konsep
akad (perikatan) dalam hukum Islam dijelaskan secara umum dan singkat
saja. Karena akad secara umumnya sangatlah laus dalam bermuamalah,
pembahasan akad ini dipersempit pada bidang yang sedang ditekuni. Dalam
judul makalah Macam-Macam Akad

B. Rumus masalah
1. Apa yang dimaksud dengan wadi’ah?
2. Apa yang dimaksud ijarah dan ijarah Ijarah muntahiiyah Bit-
Tamlik?
3. Apa yang dimaksud dengan Kafalah Hiwalah dan Rahn?
4. Apa hikmah dari akad?

C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu wadi’ah.
2. Untuk mengetahui apa ituijarah dan ijarah Ijarah muntahiiyah Bit-
Tamlik.

-4-
3. Untuk mengetahui apa itu Kafalah Hiwalah dan Rahn.
4. Untuk mengetahui hikmah dari adanya akad.
BAB II PEMBAHASAN

A. Wadi’ah
Secara bahasa al-wadau berarti meninggalkan, sedangkan al-wadiah adalah
suatu barang tertentu yang ditinggalkan oleh pemilik kepada selain
pemiliknya. Beberapa ulama berbeda pendapat dalam memberikan nama
terhadap akad ini, ada yang berpendapat bahwa akad yang berlaku disebut
denganِ akadِ ‘idaِ bukanlahِ wadahِ dikarenakanِ wadiahِ adalah barangnya
namunِadaِjugaِyangِberpendapatِbahwaِakadِiniِbisaِdisebutِakadِ‘ida’ِ
ataupun akad wadiah.

Akad wadiah secara istilah, menurut Hanafiah adalah melimpahkan kepada


orang lain untuk menjaga harta seseorang dengan cara jelas/terang (explisit)
atau tersirat (implisit). Contoh apabila secara jelas/terang, misal: datang
seorang laki-lakiِ berkataِ padaِ temannya:ِ “akuِ titipkanِ iniِ padamu”ِ danِ
orang tersebut menerimanya maka ini disebut secara terang. Namun, ketika
ada seorang laki-laki datang dan dia menyerahkan kepada orang lain
didepannya dan pihak lain menerimanya kemudian langsung pergi maka ini
yang disebut menggunakan isyarat/tersirat.
Wadi’ahِ artinyaِ Titipan,ِ dalamِ terminologi,ِ artinyaِ menitipkanِ barangِ
kepada orang lain tanpa ada upah. Jika Bank meminta imbalan (ujrah) atau
mensyaratkan upah, maka akad berubah menjadi ijaroh. Pada bank Syariah
sepertiِGiroِberdasarkanِprinsifِwadi’ah

Adapunِ menurutِ Syafi’iyahِ danِ Malikiyah,ِ akadِ wadi’ahِ didefinisikanِ


sebagai sebuah akad memberikan orang lain sebuah perwakilan (agensi)
untuk menjaga barang atau kepemilikan yang sah. Misalnya: menitipkan
barang berupa anggur (penitipan sebelum orang memeluk agama islam),
kulit yang bisa disamak. Disisi lain, penitipan tidak boleh berupa barang
yang tidak menjadi kepemilikan penuh, contoh Barang yang dilarang
penggunaannya dan properti yang hilang.

1. Rukun wadi’ah
Jumhur Ulama menetapkan 4 rukun atas akad titipan yaitu

a. Orang yang mentipkan barang,


b. Orang yang dititipi barang,
c. Barangِyangِdititipkanِ(wadi’ah),
d. Sighah titipan (ijab-qabul)

-5-
Adapun dalam praktik shighah wadiah (ijab-qabul) bisa berupa terucapkan
(lafadh) atau hanya dengan pesetujuan melalui gerakan dan tankman seperti
jual-beliِ muathah’ِ yangِ hanyaِ perluِ menggunakanِ isyaratِ karenaِ padaِ
dasarnya isyarat tersebut sudah menjadi urf dalam transaksi tersebut.

2. Akad Wadiah
Kedua belah pihak harus berakal, tidak boleh anak kecil yang belum
berakal, orang gila, orang mabuk, hilang akal dan mumayiz.Terkait dengan
barang yang dititipkan harus berupa properti atau barang yang mampu untuk
diberikan secara fisik. Barang titipan tidak bisa berupa hewan yang kabur,
ikan di laut, burung di udara atau barang lain yang tidak mampu dijangkau
atau dipindahtangankan.

3. Teputusnya Akad Wadiah


lima kondisi yang dapat menyebabkan akad wadiah menjadi terputus:

a. Pengembalian barang oleh orang yang dititipi kepada penitip baik


diminta atapun tidak.
b. Meninggalnya orang yang dititipi ataupun penitip
c. Salah satu dalam keadaan koma berkepanjangan, atau menjadi gila
atapun stress dalam beberapa waktu dan hal ini merusak akad titipan
tersebut.
d. Ketikaِterjadiِ“hajr”ِatauِlegalِrestrictionِyangِterjadiِpadaِpenitipِ
seperti hilang kompetensi, dan pada pihak orang yang dititipi
bangkrut atau pailit, maka akad titipan terputus
e. Ketika pihak yang dititipi mentransfer kepemilikan barang titipan
kepada pihak lain, seperti dijual, ataupun diberikan sebagai hadiah.

B. Ijarah dan Ijarah muntahiiyah Bit-Tamlik

1. Ijarah
Ijarah berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna imbalan, atau
upah sewa/jasa. Secara makna dan konteksnya dalam perbankan, ijarah
adalah pemindahan hak guna suatu barang dengan pembayaran biaya
sewa tanpa diikuti pemindahan kepemilikan atas barang tersebut.

-6-
Dilihat dari segi objeknya, ijarah dibagi menjadi 2 macam, yaitu ijarah
manfaat
Benda/ barang dan ijarah manfaat manusia. Ijarah manfaat benda/
barang dibagi
Menjadi 3 macam, diantaranya:

a. Ijarah benda yang tidak bergerak (uqar), yaitu mencakup benda-


benda yang Tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan
menggunakannya, seperti sewa rumah Untuk ditempati atau sewa
tanah untuk ditanami.
b. Ijarah kendaraan (kendaraan tradisional maupun modern) seperti
unta, Kuda dan benda-benda yang memiliki fungsi sama seperti
mobil, pesawat dll.
c. Ijarah barang-barang yang bisa dipindah-pindahkan, seperti banjo,
Perabotan dan tenda.

Sedangkan ijarah yang berupa manfaat manusia merupakan ijarah yang


Objeknya adalah pekerjaan atau jasa seseorang, seperti buruh bangunan,
tukang Jahit, buruh pabrik, dokter, konsultan dan advokat. Ijarah jenis
ini dibagi menjadi 2 macam, yaitu:

a. Ijarah manfaat manusia yang bersifat khusus (khas), yaitu seseorang


Yang disewa tenaga atau keahliannya secara khusus oleh penyewa
Untuk waktu tertentu dan dia tidak bisa melakukan pekerjaan lain
Kecuali pekerjaan atau jasa untuk penyewa tersebut, seperti
pembanturumah tangga yang hanya mengerjakan pekerjaan untuk
majikannya bukan pada yang lain.
b. Ijarah manfaat manusia yang bersifat umum (musytarik), yaitu
pekerjaan atau jasa seseorang yang disewa atau diambil manfaatnya
oleh banyak penyewa. Misalnya: Jasa dokter yang dapat disewa oleh
orang banyak dalam waktu tertentu.

1) Rukun Ijarah

a) Adaِorangِyangِmenyewakanِsuatuِbarangِ(Mu’ajjirِdanِMusta’jir)
b) Ada akad antara penyewa dan yang menyewakan
c) Ada ijab qabul (shigat)
d) Ada upah (ujrah)
e) Ada manfaat baik antara pihak yang menyewakan dan pihak penyewa.

2) Syarat Ijarah

-7-
a) Kedua pihak yang melakukan transaksi Ijarah sudah dewasa (baligh) dan
berakal (tidak mabuk).
b) Kedua pihak yang melakukan transaksi memiliki kerelaan dan tidak
didasarkan suatu paksaan dari pihak mana pun.
c) Barang yang menjadi objek transaksi harus jelas adanya.
d) Barang yang menjadi objek transaksi harus halal sesuai syariat Islam.
e) Barang yang menjadi objek transaksi menjadi hak Mu’jarِ atasِ seizinِ
pemiliknya.
f) Manfaat yang didapatkan harus diinformasikan secara terang dan jelas.

3) Berakhirnya Akad Ijarah

a) Meninggalnya salah satu pihak yang melakukan akad (menurut hanafiyah),


Sedangkanِ menurutِ jumhurِ ulama’ِ akadِ ijarahِ bisaِ berpindah ke ahli
Waris.
b) Iqalah, yaitu pembatalan oleh kedua belah pihak.
c) Rusaknya barang yang disewakan.
d) Telah selesainya masa sewa kecuali ada udzur

2. Muntahiya Bittamlik

Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT) adalah transaksi sewa dengan


perjanjian Untuk menjual atau menghibahkan objek sewa di akhir periode
sehingga transaksi Ini diakhiri dengan alih kepemilikan objek sewa. Bentuk
ini hampir sama dengan Ijarah murni, perbedaannya terdapat pada
pengalihan kepemilikan atau tidak. Berbagai bentuk alih kepemilikan IMBT
antara lain:
a. di akhir periode, yaitu ketika pada akhir periode sewa aset
Dihibahkan kepada penyewa.
b. Harga yang berlaku pada akhir periode, yaitu ketika pada akhir
periode Sewa aset dibeli oleh penyewa dengan harga yang berlaku
pada saat itu
c. Harga ekuivalen dalam periode sewa, yaitu ketika penyewa membeli
Aset dalam periode sewa sebelum kontrak sewa berakhir dengan
harga Ekuivalen.
d. Bertahap selama periode sewa, yaitu ketika alih kepemilikan
dilakukan Bertahap dengan pembayaran cicilan selama periode
sewa.

C. Kafalah Wakalah Hiwalah dan Rahn


1. Kafalah

-8-
Secara etimologi berarti penjaminan. Kafalah mempunyai padanan kata
yangِ banyak,ِ yaituِ dhamanah,ِ hamalah,ِ danِ za’amah.ِ Menurutِ Al-
Mawardi,ِ ulamaِ madzhabِ Syafi’i,ِ semuaِ istle tersebut memiliki arti
yang sama, yaitu penjaminan.
Menurut istilah kafalah berarti akad pemberian jaminan yang diberikan
satuِ pihakِ (kafil)ِ kepadaِ pihakِ lainِ (makfulِ ‘anhu)ِ dimanaِ pemberiِ
jaminan bertanggung jawab atas pembayaran suatu hutang yang menjadi
hak penerima jaminan (makful lahu).
Istilah kafalah dalam praktek perbankan sekarang ini adalah
merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada
pihak ketiga dalam rangka memenuhi kewajiban yang ditanggung
(makfulِ ‘anhu)ِ apabilaِ pihakِ yangِ ditanggungِ cideraِ janji atau
wanprestasi. Secara teknis dapat dikatakan bahwa pihak bank dalam hal
ini memberikan jaminan kepada nasabahnya sehubungan dengan
kontrak kerja/perjanjian yang telah disepakati antara nasabah dengan
pihak ketiga. Pada hakikatnya pemberian kafalah ini akan memberikan
kepastian dan keamanan bagi pihak ketiga untuk melaksanakan isi
perjanjian/kontrak yang telah disepakati tanpa khawatir apabila terjadi
sesuatu dengan nasabah sehingga nasabah cidera janji untuk memenuhi
prestasinya.

a. Rukun Kafalah
Rukun Kafalah menurut sebagian besar ulama adalah sebagai berikut:

1) Penjamin (dhomin/kafiil), yaitu orang yang tidak cacat muamalahnya secara


hukum, maka anak-anak dan orang idiot tidak sah.
2) Barang yang dijamin/utang (madhum), yaitu sesuatu yang boleh diganti
dengan sejenisnya secara hukum, yaitu utang atau benda selain uang yang
merupakan harta, jadi tidak boleh nyawa atau anggota badan dalam qishash
dan hudud.
3) Pihakِ yangِ dijaminِ (makfulِ ‘anhu/madhumِ ‘anhu),ِ yaituِ orangِ yangِ
dituntut/yang berutang baik hidup atau sudah mati.
4) Sighah akad, yaitu ijab dari penjamin atau ijab-qabul dari akad transaksi.

Menurutِ madzhabِ Syafi’iِ adaِ lima,ِ yangِ kelimaِ adalahِ pemilikِ


utang(makful lahu/madhmun lahu), yaitu orang yang berpiutang atau orang yang
berhak menerima pembayaran utang.
b. Akad Kafalah

MenurutِmadzhabِHanafiِdanِSyafi’iِakadِKafalahِtersebutِbisaِterbagiِmenjadiِ
2, yaitu:

-9-
1) Akad Sharih artinya terang-terangan,ِ menggunakanِ kataِ “jamin”ِ atauِ
sinonimnya. Contoh, saya menjamin utangnya, saya menanggung utangnya,
utangnya saya jamin, utangnya saya tanggung, kalau ia tidak mampu saya
yang membayarnya.
2) Akadِ Kinayahِ artinyaِ tidakِ menggunakanِ kataِ “jamin”ِ atauِ semisalnya,ِ
tetapi bisa dipahami dari kata-katanya, ia sebagai penjamin. Seperti, biarkan
dia, jangan lagi usik dia dengan utang itu, tagihlah saya, percayalah pada
saya. Jika niatnya menjamin maka harus ia tepati, jika tidak maka batal.

c. Syarat-Syarat Kafalah

Dalam kafalah ada beberapa syarat yang berkenaan dengan Kafiil (penjamin),
Ashil/Makfulِ ‘anhuِ (yangِ berutang),ِ Makfulِ Lahuِ (yangِ memberikanِ
utang/berpiutang) dan Makful Bih (harta/batang yang dijamin).
Syarat-Syarat yang berkenaan dengan si Penjamin (Kafiil), adalah sebagai
berikut:
1) Kafilِdimintaِmakfulِ‘anhuِdanِiaِmeridjoi permintaan tersebut
2) Ketikaِmenjaminِutangِmakfulِ‘anhu,ِsiِkafilِmenyatakanِjaminanِituِatasِ
namaِmakfulِ‘anhu
3) Kafilِtidakِmempunyaiِutangِkepadaِmakfulِ‘anhu
4) Kafil mampu melunasi (membayar) kewajiban utang tersebut
5) Tanggung jawab kafil tetap eksis, selama makful ;anhu memiliki utang
kepadaِmakfulِlahu.ِJikaِmakfulِ‘anhuِsudahِterbebasِdariِutang,ِbarulahِ
kafil bebas tanggung jawab
6) Kafil boleh dari satu
7) Jikaِ dalamِ kafalahِ bilِ mal,ِ laluِ makfulِ ‘anhuِ meninggal,ِ makaِ kafilِ
bertanggung jawab

Syarat-syaratِyangِberkenaanِdenganِOrangِyangِTerutangِ(Makfulِ‘Anhu/Ashiil),ِ
adalah sebagai berikut:
1) Sanggup untuk menyerahkan tanggungannya (utang).
2) Yang terutang adalah orang yang dikenal oleh penjamin.
Syarat-syarat yang berkenaan dengan Orang yang Berpiutang (Makful
Lahu), adalah sebagai berikut:
1) Diketahui identitas dirinya
2) Orang yang berpiutang hadir di tempat akad
3) Berakal sehat
4) Makful lahu mempunyai hak (misalnya: piutang atau tanggung jawab)
kepadaِmakfulِ‘anhu

- 10 -
Syarat-syarat yang berkenaan dengan Barang yang Akan Dijadikan Barang
Jaminan (Makful Bih), adalah sebagai berikut:
1) Merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang, baik berupa uang,
benda, maupun pekerjaan
2) Bisa dilaksanakan oleh penjamin
3) Harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus
kecuali setelah dibayar atau dibebaskan
4) Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya
5) Tidakِbertentanganِdenganِsyari’ahِ(yangِtidakِdiharamkan)

d. Jenis-Jenis Kafalah
Menurut ulama wahbah az-Zuhayliy dan Sayyid Sabiq, ditinjau dari segi
obyeknya Kafalah terbagi menjadi 2 Jenis, yaitu:
1) Kafalah bin Nafs (kafalah bil Wajhi), Merupakan akad jaminan dari kafil
untuk menghadirkan diri seseorang pada waktu tertentu di tempat tertentu.
Kafalah ini bukan merupakan kajian ekonomi Islam.
2) Kafalah bil Mal, Merupakan jaminan pembayaran barang atau pelunasan
hutang. Kafalah bil Mal sendiri terbagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a) Kafalah bit Taslim, yaitu merupakan jaminan yang diberikan dalam rangka
menjamin penyerahan atas barang yang disewa pada saat berakhirnya masa
sewa.
b) Kafalah Munjazah, yaitu merupakan jaminan yang diberikan secara mutlak
tanpa adanya pembatasan waktu tertentu.
c) Kafalah muqayyadah/muallaqah, yaitu merupakan jaminan atau kafalah
yang dibatasi waktunya, sebulan, setahun dan sebagainya.

2. Wakalah
Wakalah termasuk salah satu akad yang menurut kaidah Fiqh Muamalah, akad
Wakalah dapat diterima. Wakalah itu berarti perlindungan (al-hifzh), pencukupan
(al-kifayah), tanggungan (al-dhamah), atau pendelegasian (al-tafwidh), yang
diartikan juga dengan memberikan kuasa atau mewakilkan. Adapula pengertian-
pengertian lain dari Wakalah yaitu:
Wakalah atau wikalah yang berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian
mandat.
Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang sebagai pihak pertama
kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang diwakilkan (dalam hal
ini pihak kedua) hanya melaksanakan sesuatu sebatas kuasa atau wewenang yang
diberikan oleh pihak pertama, namun apabila kuasa itu telah dilaksanakan sesuai

- 11 -
yang disyaratkan, maka semua resiko dan tanggung jawab atas dilaksanakan
perintah tersebut sepenuhnya menjadi pihak pertama atau pemberi kuasa.

a. Rukun Dan Syarat-Syarat Dalam Wakalah


Menurut kelompok Hanafiah, rukun Wakalah itu hanya ijab qabul. Ijab
merupakan pernyataan mewakilkan sesuatu dari pihak yang memberi kuasa dan
qabul adalah penerimaan pendelegasian itu dari pihak yang diberi kuasa tanpa harus
terkait dengan menggunakan sesuatu lafaz tertentu. Akan tetapi, jumhur ulama
tidak sependirian dengan pandangan tersebut. Mereka berpendirian bahwa rukun
dan syarat Wakalah itu adalah sebagai berikut.

1) yang mewakilkan (Al-Muwakkil)


a) Seseoarang yang mewakilkan, pemberi kuasa, disyaratkan memiliki hak
untuk bertasharruf pada bidang-bidang yang didelegasikannya. Karena itu
seseorang tidak akan sah jika mewakilkan sesuatu yang bukan haknya.
b) Pemberi kuasa mempunyai hak atas sesuatu yang dikuasakannya, disisi lain
juga dituntut supaya pemberi kuasa itu sudah cakap bertindak atau mukallaf.
Tidak boleh seorang pemberi kuasa itu masih belum dewasa yang cukup
akal serta pula tidak boleh seorang yang gila. Menurut pandangan Imam
Syafi’Iِanak-anak yang sudah mumayyiz tidak berhak memberikan kuasa
atau mewakilkan sesuatu kepada orang lain secara mutlak. Namun madzhab
Hambali membolehkan pemberian kuasa dari seorang anak yang sudah
mumayyiz pada bidang-bidang yang akan dapat mendatangkan manfaat
baginya.
2) Orang yang diwakilkan. (Al-Wakil)
a) aturan-aturan yang mengatur proses akad wakalah ini. Sehingga cakap
hukum menjadi salah satu syarat bagi pihak yng diwakilkan.
b) Seseorang yang menerima kuasa ini, perlu memiliki kemampuan untuk
menjalankan amanahnya yang diberikan oleh pemberi kuasa. Ini berarti
bahwa ia tidak diwajibkan menjamin sesuatu yang diluar batas, kecuali atas
kesengajaanya,
3) Obyek yang diwakilkan.
a) mestilah sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti jual beli,
pemberian upah, dan sejenisnya yang memang berada dalam kekuasaan
pihak yang memberikan kuasa.
b) Para ulama berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan sesuatu yang
bersifat ibadah badaniyah, seperti shalat, dan boleh menguasakan sesuatu
yang bersifat ibadah maliyah seperti membayar zakat, sedekah, dan
sejenisnya. Selain itu hal-hal yang diwakilkan itu tidak ada campur tangan
pihak yang diwakilkan

- 12 -
c) Tidak semua hal dapat diwakilkan kepada orang lain. Sehingga obyek yang
akanِdiwakilkanِpunِtidakِdiperbolehkanِbilaِmelanggarِSyari’ahِIslam.
4) Shighat
a) Dirumuskannya suatu perjanjian antara pemberi kuasa dengan penerima
kuasa. Dari mulai aturan memulai akad wakalah ini, proses akad, serta
aturan yang mengatur berakhirnya akad wakalah ini.
b) Isi dari perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi kuasa kepada
penerima kuasa.
c) Tugas penerima kuasa oleh pemberi kuasa perlu dijelaskan untuk dan atas
pemberi kuasa melakukan sesuatu tindakan tertentu.

b. Berakhirnya Wakalah

Yang menyebabkan Wakalah menjadi batal atau berakhir adalah:


1) Bila salah satu pihak yang berakad Wakalah itu gila.
2) Bila maksud yang terkandung dalam akad Wakalah sudah selesai
pelaksanaannya atau dihentikan.
3) Diputuskannya Wakalah tersebut oleh salah satu pihak yang berWakalah
baik pihak pemberi kuasa ataupun pihak yang menerima kuasa.
4) Hilangnya kekuasaan atau hak pemberi kuasa atau sesuatu obyek yang
dikuasakan

3 Hiwalah

Kata Hiwalah berasal dari kata tahwil yang berarti intiqal (pemindahan) atau dari
kataِ ha’aul(perubahan).ِ Orangِ Arabِ biasaِ mengatakanِ haalaِ ’anilِ ’ahdi,ِ yaituِ
berlepas diri dari tanggung jawab. Sedang menurut fuqaha, para pakar fiqih,
hiwalah adalah pemindahan kewajiban melunasi hutang kepada orang lain.
Hiwalah merupakan pengalihan hutang dari orang yang berutang kepada
orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam hal ini terjadi perpindahan
tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain. Dalam istilah ulama,
hiwalah adalah pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang)
menjadiِtanggunganِmuhalِ‘alaihِ(orangِyangِberkewajibanِmembayarِhutang).

a. Rukun Dan Syarat-Syarat Dalam Hiwalah


Dalam hal ini, rukun akad hiwalah adalah:

1) muhil, yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang

- 13 -
2) muhal , yakni orang berpiutang kepada muhil.
3) Muhalِ ‘alaih,ِ yakniِ orangِ yangِ berhutangِ kepadaِ muhilِ danِ wajibِ
membayar hutang kepada muhal
4) muhal bih 1, yakni hutang muhil kepada muhal, dan juga
5) muhal bih 2 sebagai hutang muhal alaih kepada muhil
6) sighat (ijab-qabul)
Untuk sahnya hiwalah disyaratkan hal-hal berikut:

1) pihakِmuhilِdanِmuhalِtanpaِmuhalِ‘alaihِberdasarkanِdalilِkepadaِhadisِ
di atas. Rasulullah SAW telah menyebutkan kedua belah pihak, karenanya
muhil yang berhutang berkewajiban membayar hutang dari arah mana saja
yang sesuai dengan keinginannya. Dan karena muhal mempunyai hak yang
ada pada tanggungan muhil, maka tidak mungkin terjadi perpindahan tanpa
kerelaannya.
2) samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaian, tempo
waktu, serta mutu baik dan buruk. Maka tidak sah hiwalah apabila hutang
berbentuk emas dan di-hiwalah-kan agar ia mengambil perak sebagai
penggantinya. Demikian pula jika sekiranya hutang itu sekarang dan di-
hiwalah-kan untuk dibayar kemudian (ditangguhkan) atau sebaliknya. Dan
tidak sah pula hiwalah yang mutu baik dan buruknya berbeda atau salah
satunya lebih banyak.
3) , stabilnya hutang. Jika peng-hiwalah-an itu kepada pegawai yang gajinya
belum lagi dibayar, maka hiwalah tidak sah.
4) kedua hak tersebut diketahui dengan jelas. Apabila hiwalah berjalan sah,
dengan sendirinya tanggungan muhil menjadi gugur. Andai kata muhal
‘alaihِ mengalamiِ kebangkrutanِ atauِ meninggal dunia, muhal tidak boleh
lagi kembali kepada muhil.

b. Berakhirnya Hiwalah
Apabila kontrak hiwalah telah terjadi, maka tanggungan muhil menjadi gugur. Jika
muhal’alaihِ bangkrutِ (pailit)ِ atauِ meninggalِ dunia,ِ makaِ menurutِ pendapatِ
Jumhur Ulama, muhal tidak boleh lagi kembali menagih hutang itu kepada muhil.
MenurutِImamِMaliki,ِ jikaِmuhilِ“menipu”ِmuhal,ِdiِmanaِ iaِ menghiwalahkanِ
kepada orang yang tidak memiliki apa-apa (fakir), maka muhal boleh kembali lagi
menagih hutang kepada muhil.
c. Jenis-Jenis Hiwalah

Akad Hiwalah, dalam praktiknya dapat dibedakan ke dalam dua kelompok.


Yang pertama adalah berdasarkan jenis pemindahannya. Dan yang kedua adalah
berdasarkan rukun Hiwalahnya. Kelompok pertama yang berdasarkan jenis

- 14 -
pemindahannya, terdiri dari dua jenis Hiwalah, yaitu Hiwalah Dayn dan Hiwalah
Haqq. Hiwalah Dayn adalah pemindahan kewajiban melunasi hutang kepada orang
lain. Sedangkan Hiwalah Haqq adalah pemindahan kewajiban piutang kepada
orang lain.
Hiwalah Dayn dan Haqq sesungguhnya sama saja, tergantung dari sisi mana
melihatnya. Disebut Hiwalah Dayn jika kita memandangnya sebagai pengalihan
hutang, sedangkan sebutan Haqq, jika kita memandangnya sebagai pengalihan
piutang. Berdasarkan definisi ini, maka anjak piutang (factoring) yang terdapat
pada praktik perbankan, termasuk ke dalam kelompok Hiwalah Haqq, bukan
Hiwalah Dayn.
Kelompok kedua yaitu Hiwalah yang berdasarkan rukun Hiwalah, terdiri dari
Hiwalah Muqayyadah dan Hiwalah Muthlaqah. Hiwalah Muqayyadah adalah
Hiwalah yang terjadi dimana orang yang berhutang, memindahkan hutangnya
kepada Muhal Alaih, dengan mengaitkannya pada hutang Muhal alaih padanya.
Maka dalam rukun Hiwalah, terdapat Muhal bih
Hiwalah Muthlaqah adalah Hiwalah dimana orang yang berhutang, memindahkan
hutangnya kepada Muhal alaih, tanpa mengaitkannya pada hutang Muhal alaih
padanya, karena memang hutang muhal alaih tidak pernah ada padanya. Dengan
demikian, Hiwalah Muthlaqah ini sesuai dengan konsep anjak piutang pada praktik
Perbankan, dimana tidak ada hutang muhal alaih kepadanya sehingga didalam
rukun hiwalahnya, tidak terdapat Muhal bih
4. Rahn

SecaraِEtimologiِ(bahasa),ِRahnِberartiِ“AssyubuutuِWaddawamu”ِ(tetapِ
dan lama), yakni berarti Pengekangan dan Keharusan. Sedangkan menurut
Terminologiِ syara’,ِ Rahnِ berartiِ “Penahananِ terhadapِ suatuِ barangِ denganِ hakِ
sehinggaِdapatِdijadikanِsebagaiِpembayaranِdariِbarangِtersebut.”

MenurutِUlamaِSyafi’iyah,ِRahnِadalahِ“Menjadikanِsuatuِbendaِsebagaiِ
jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar
utang.”ِSedangkanِmenurutِUlamaِHanabilahِ“Hartaِyangِdijadikanِjaminanِutangِ
sebagai pembayar harga (nilai) utang ketika berutang berhalangan (tak mampu)
membayarِutangnyaِkepadaِpemberiِpinjaman.”

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Rahn


adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman
yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan
demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil
kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan
bahwa rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.

a. Rukun Rahn (Gadai)

- 15 -
Rahn memiliki empat unsur, yaitu rahin (orang yang memberikan jaminan),
al-murtahin (orang yang menerima), al-marhun (jaminan), dan al-marhun nih
(utang). Menurut sebagian besar ulama rukun rahn adalah sebagai berikut:

1) Akad ijab dan kabul dilakukan secara lisan atau bisa pula dilakukan selain
dengan kata-kata,seperti dengan surat, isyarat atau yang lainnya. Akan
tetapi akad rahn tidak akan sempurna sebelum adanya penyerahan barang.
2) Aqid, yaitu yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai
(murtahin). Adapun syarat bagi yang berakad adalah ahli tasharuf,yaitu
mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-
persoalan yang berkaitan dengan gadai.
3) Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda yang dijadikan
jaminan ialah keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji utang harus
dibayar.Rasulِbersabda:ِ“Setiap barang yang telah diperjual belikan boleh
dijadikan borg gadai.

Menurut Ahmad bin Hijazi bahwa yang dijadikan jaminan dalam masalah
gadai ada tiga macam, yaitu:

a) Kesaksian
b) barang gadai
c) barang tanggungan.
d) Ada utang, disyaratkan keadaan utang telah tetap.

b. Syarat-;Syarat Rahn

Dalam rahn disyaratkan beberapa Syarat berikut.


1) Persyaratan Aqid

Kedua orang yang akan akad harus memenuhi kriteria al-ahliyah. Menurut ulama
Syafi’iyahِahliyahِadalahِorangِyangِ telahِsahِuntukِjualِbeli,yakniِ berakal dan
mumayyiz,tetapi tidak disyaratkan harus baligh. Dengan demikian,anak kecil yang
sudah mumayyiz,dan orang yang bodoh berdasarkan izin dari walinya dibolehkan
melakukan rahn. Menurut ulama selain Hanafiyah, ahliyah dalam rahn seperti
pengertian ahliyah dalam jual-beli dan derma. Rahn tidak boleh dilakukan oleh
orang yang mabuk,gila,bodoh,atau anak kecil yang belum baligh.Begitu pula
seorang wali tidak boleh menggadaikanbarang orang yang dikuasainya,kecuali jika
dalam keadaan madarat dan meyakini bahwa pemegangnya yang dapat dipercaya.

2) Shighat
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa shighat dalam rahn tidak boleh memakai
syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut
batal dan rahn tetap sah.

- 16 -
c. Pengambilan Manfaat Barang Rahn

Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan, para ulama


berbeda pendapat, diantaranya jumhur fuqaha dan Ahmad. Jumhur Fuqaha
berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang
gadaian tersebut, sekalipun rahin mengijinkannya, karena hal ini termasuk utang
yang dapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits dan al-Hasan, jika barang gadaian
berupa kendaraan yang dapat digunakan atau binatang ternak yang dapat diambil
susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai
tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya selama
kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya.
Jadi, pengambilan manfaat pada benda-benda gadai diatas ditekankan
kepada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga yang memegang barang-
barang gadai seperti diatas punya kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai
berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus
memberikan bensin atau biaya perawatan bila yang dipegangnya berupa kendaraan.
Jadi, yang dibolehkan disini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang
gadaian yang ada pada dirinya.

d. Penyelesaian Rahn
Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum
membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh
murtahin sendiri atau yang lain, tetapi dengan harga umum yang berlaku pada
waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar
piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah
utang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan
marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran
kekurangannya. Setelah itu Rahn dipandang sudah selesai.
Selain keadaan yang dijelaskan tadi, Rahn dipandang habis dengan
beberapa keadaan sebagai berikut:

1) Rahin melunasi semua hutangnya


2) Pembebasan hutang, dalam bentuk apapun meskipun utang tersebut
dipindahkan kepada orang lain.
3) Pembatalan rahn dari pihak murtahin, rahn dipandang habis jika murtahin
membatalkan rahn meskipun tanpa seizin rahin. Sebaliknya dipandang tidak
batal jika rahin membatalkanya. Menurut ulama Hanafiyah murtahin
diharuskan untuk mengatakan pembatalan borg kepada rahin. Hal ini karena
rahn tidak terjadi, kecuali dengan memegang. Begitu pula cara
membatalkannya adalah dengan tidak memegang. Ulama hanafiyah

- 17 -
berpendapat bahwa rahn dipandang batal jika murtahin membiarkan borg
pada rahin sampai dijual.
4) Borgِ yangِ diserahkanِ kepadaِ pemiliknya,ِ Jumhurِ ulamaِ selainِ Safi’iyahِ
memandang habis rahn jika murtahin menyerahkan borg kepada pemiliknya
sebab borg merupakan jaminan hutang. Jika borg diserahkan, tidak ada lagi
jaminan. Selain itu dipandang habis pula rahn jika murtahin meminjamkan
borg kepada rahn atau kepada orang lain atas seizin rahin.
5) Rahin atau murtahin meninggal, Menurut ulama Malikiyah, rahn habis jika
rahin meninggal sebelum menyerahkan borg kepada murtahin. Juga
dipandang batal jika murtahin meninggal sebelum mengembalikan borg
kepada rahin.
6) Tasharruf dan borg, Rahn dipandang habis apabila borg ditasharufkan
seperti dijadikan hadiah, hibah, sedekah, dan lain-lain atas seizin
pemiliknya.

D. Hikmah akad

Hikmah akad-akad dalam dalam ekonomi Islam adalah:


1. Muncul pertanggung jawaban moral dan material;
2. Timbulnya rasa ketentraman dan kepuasan;
3. Terhindarnya perselisihan;
4. Terhindar dari kepemilikan harta secara sah
5. Status kepemilikan terhadap harta menjadi jelas;
6. Adanya ikatan yang kuat antara dua orang atau lebih di dalam
bertransaksi atau memiliki sesuatu;
7. Tidak dapat sembarangan dalam membatalkan suatu ikatan perjanjian,
karenaِtelahِdiِaturِsecaraِsyar’i;ِ
8. Akadِ merupakanِ “payungِ hukum”ِ diِ dalamِ kepemilikianِ sesuatu.ِ
Secara sederhana hikmah Akad adalah usaha mengungkap kebenaran,
pengamalan kebenaran dan melawan hawa nafsu dari segala bentuk
kebatilan dan merealisasikan kemaslahatan dan menolak kerusakan
dalam akad muamalah ekonomi Islam.

- 18 -
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Wadi’ahِartinyaِTitipan,ِdalamِterminologi,ِartinyaِmenitipkanِbarangِ
kepada orang lain tanpa ada upah. Jika Bank meminta imbalan (ujrah)
atau mensyaratkan upah, maka akad berubah menjadi ijaroh. Ijarah
berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna imbalan, atau upah
sewa/jasa. Secara makna dan konteksnya dalam perbankan, ijarah
adalah pemindahan hak guna suatu barang dengan pembayaran biaya
sewa tanpa diikuti pemindahan kepemilikan atas barang tersebut.kafalah
berarti akad pemberian jaminan yang diberikan satu pihak (kafil) kepada
pihakِlainِ(makfulِ‘anhu)ِdimanaِpemberiِjaminanِbertanggungِjawabِ
atas pembayaran suatu hutang yang menjadi hak penerima jaminan
(makful lahu).Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang
sebagai pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-
hal yang diwakilkan (dalam hal ini pihak kedua) hanya melaksanakan
sesuatu sebatas kuasa atau wewenang yang diberikan oleh pihak
pertama, namun apabila kuasa itu telah dilaksanakan sesuai yang
disyaratkan, maka semua resiko dan tanggung jawab atas dilaksanakan
perintah tersebut sepenuhnya menjadi pihak pertama atau pemberi
kuasa. Hiwalah merupakan pengalihan hutang dari orang yang berutang
kepada orang lain yang wajib menanggungnya.Rahn adalah menahan
salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis.
Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk
dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
B. Saran
Demikianِ makalahِ yangِ berjudulِ “Macam-Macamِ Akadِ Transaksi”ِ
Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangan.
Maka, kritik dan saran konstruktif penulis harapkan demi terciptanya
makalah yang lebih baik. Semoga makalah ini menjadi motivator dan
inspirator bagi kita semua.

- 19 -
DAFTAR PUSTAKA

http://bahasa.uin-alauddin.ac.id/detailpost/akad-wadiah-pada-bank-syariah
https://pa-sampit.go.id/macam-macam-akad/#_ftn7

https://amp.wartaekonomi.co.id
Nurhadi.(2019). Rahasia Hikmah Dibalik Akad-Akad Dalam Ekonomi Islam.Vol
5, No 01

http://galuhboys.blogspot.com/2014/02/hiwalah-wakalah-kafalah-dan-
rahn.html?m=1

Ni’matulِ Ulya,Husna.(2018).PENERAPAN AKAD IJARAH MUNTAHIYA


BITTp TRANSAKSI LEMBAGA KEUANGAN.vol 6, Nomor 1.

- 20 -

Anda mungkin juga menyukai