Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur
hubungan seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan
mu’amalah ma’allah dan mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang
disebut mu’amalah ma’annas. Hubungan dengan sesama inilah yang
memunculkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang disebut Fiqih muamalah.
Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau
hubungan antara umat satu dengan umat lainnya. Mulai dari jual beli, sewa
menyewa, hutang piutang dan lain-lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, setiap muslim pasti
melaksanakan suatu transaksi yang bisa disebut dengan jual beli. Si penjual
menjual barangnya, dan si pembeli membelinya dengan menukarkan barang
itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Jika
zaman dahulu semua ini dilaksanakan dengan bertemu langsung, makan
sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada suatu ruang saja. Dengan
kemajuan teknologi, danmaraknya penggunaan internet, kedua belah pihak
dapat bertransaksi dengan lancar tanpa perlu adanya pertemuan.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Jual Beli?
2. Apa Dasar Hukum Jual Beli?
3. Bagaimana Syarat dan Rukun Jual Beli Konvensional dan Borongan?
4. Apa Hukum Jual Beli Onlen?
5. Apa Hukum Jual Beli Kredit?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Pengertian Jual Beli.
2. Mengetahui Dasar Hukum Jual Beli.
3. Mengetahui Syarat dan Rukun Jual Beli Konvensional dan Borongan.
4. Mengetahui Hukum Jual Beli Onlen.
5. Mengetahui Hukum Jual Beli Kredit.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Jual Beli


Merut bahasa jual beli bersal dari bahasa arab yaitu bai’ yang artinya
menjual atau mengganti. Wahbah al-Zuhaily mengartikan menukar sesuatu
dengan seesuatu yang lain. Kata bai’ terkadang digunakan sebagai pengertian
lawan katanya, yaitu kata syira’ (beli). 1 Dengan demikian, kata bai’ berarti jual
sekaligus beli.
Menurut istilah yang dikemukakan oleh beberapa ahli2 diantaranya:
1. Taqiyyudin
Menurutnya jual beli merupakan saling tukar harta, menerima, dapat
dikelola dengan proses ijab qabul dengan cara yang sesuai syara’.
2. Idris Ahmad
Jual beli merupakan proses tukar menukar barang dengan barang atau
barang dengan uang, dengan cara melepas hak milik dari satu orang kepada
orang lain atas dasar ridha.
3. Imam Nawawi
Jual beli merupakan pertukaran harta dengan harga dengan tujuan untuk
kepemilikan.
4. Ulama Hanafiah
Pengertian jual beli adalah proses pertukaran harta atau benda dengan
harta lain berdasarkan cara-cara khusus yang diperbolehkan.
5. Ibnu Qudamah
Jual beli adalah proses pertukaran harta dengan harta untuk saling menjadi
milik seseorang.

1Abdul Rahman Gazaly, dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 67
2Ghufron A Mas’adi, Fikih Muamalah Konstektual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.
42-43

3
6. Raud Al-Nadii Syarahkafi Al-Muhtadi
Menurutnya, jual beli adalah tukar menukar harta meski ada dalam
tanggungan atau kemanfaatan yang mubah dengan sesuatu semisal dengan
keduanya untuk memberikan secara bertahap.
Dari pendapat beberapa ahli di atas, dapat ditarik pengertian jual
beli adalah sebuah transaksi antara penjual dan pembeli yang melakukan
tukar menukar barang dengan barang atau sesuatu yang lain atau sesuai
dengan metode pembayaran yang berlaku berdasarkan tata cara dan akad
tertentu.

B. Dasar Hukumjual Beli


Jual beli mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Qur’an maupun Hadist3,
beberapa diantaranya yaitu:
1. Surat Al-Baqarah ayat 275

ِّ ‫ا َ َح َّل هللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم‬


)275 :‫ (البقرة‬. . . ‫الربَا‬
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...

2. Surat Al-Baqarah ayat 198

َ َ‫علَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح أ َ ْن ت َ ْبتَغُ ْوا ف‬


)198 :‫ض اًل ِّم ْن َربَّ ُك ْم (البقرة‬ َ ‫لَي‬
َ ‫ْس‬
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu.

3. Surat An-Nisa’ ayat 29


)29 :‫ (النسآء‬. . . ‫اض ِّم ْن ُك ْم‬
ٍ ‫ع ْن ت ََر‬ َ ‫ إِّ ََّّل أ َ ْن ت َ ُك ْونَ تِّ َج‬. . .
َ ‫ارة ا‬
...kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
diantara kamu ...

Dasar hukum berdasarkan sunnah Rasulullah SAW, antara lain:


1. Hadis yang diriwayatkan oleh Rifa’ah ibn Rafi’:
.‫لر ُج ِّل ِّب َي ِّد ِّه َو ُك ُّل بَيْعٍ َمب ُْر ْو ٍر‬ َ :َ‫ب؟ فَقَال‬
َّ ‫ع َم ُل ا‬ ْ َ‫ب أ‬
ُ ‫ط َي‬ ِّ ‫ي ْال َك ْس‬
ُّ َ ‫ أ‬:‫ي صلي هللا عليه وسلم‬
ُّ ‫سئِّ َل النَّ ِّب‬
ُ

3 Abdul Rahman Gazaly, dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 69-70

4
)‫(رواه ابزار والحاكم‬

“Rasulullah SAW ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan


(profesi) apa yang paling baik. Rasulullah SAW menjawab: usaha tangan
manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati” (HR. Al-Bazzar dan Al-
Hakim).

Artinya, jual beli yang jujur tanpa diiringi kecurangan-kecurangan,


mendapat berkat dari Allah.

2. Hadis dari Al-Baihaqy, Ibn Majah dan Ibn Hibban, Rasulullah menyatakan:

َ ‫إِّنَّ َما ْالبَ ْي ُع‬


ٍ ‫ع ْن ت ََر‬
)‫اض (رواه البيهقي‬
“jual beli itu didasarkan atas suka sama suka” (HR. Al-Bayhaqi)

3. Hadis yang diriwayatkan Al-Tirmidzi,


.)‫اء (رواه الترمذي‬
ِّ َ‫ش َهد‬ ِّ ‫صد ُْو ُق األ َ ِّمي ُْن َم َع النَّبِّيِّيْنَ َو‬
ُّ ‫الص ِّد ْي ِّقيْنَ َوال‬ ِّ َّ ‫الت‬
َّ ‫اج ُر ال‬
“pedagang yang jujur dan terpercaya sejajar (tempatnya di syurga)
dengan para Nabi, shaddiqiin dan syuhada’” (HR.Tirmidzi)

C. Rukun dan Syarat Jual Beli Konvensional dan Borongan


Rukun dalam jual beli adalah beberapa hal yang harus ada agar akad
jual beli menjadi sah dan mengikat. Ulama Hanafiyah menegaskan bahwa
rukun jual beli hanya satu yaitu ijab. Menurut mereka hal yang paling inti
dalam jual beli adalah saling rela yang diwujudkan dengan kerelaan untuk
saling memberikan barang. Maka jika telah terjadi ijab, pasti ditemukan hal-hal
yang terkait dengannya, seperti para pihak yang berakad, objek jual beli dan
nilai tukarnya.

5
 Jual Beli Konvensional

Jumhur ulama’ menyatakan bahwa rukun jual beli ada empat4, yaitu:

1. Pihak yang bertransaksi atau penjual dan pembeli (muta’aqidain)


2. Shighat (lafal ijab kabul)
3. Barang yang diperjual belikan (ma’qud’alaih)
4. Nilai tukar pengganti barang.
Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli
berdasarkan kesepakatan jumhur ulama’5 adalah sebagai berikut:
a. Syarat-syarat orang yang berakad
Para ulama’ fiqh sependapat bahwa orang yang melakukan jual beli harus
memenuhi syarat:
1) Berakal.
2) Yang melakukan akad adalah dua orang yang berbeda.
b. Syarat-syarat yang terkait dengan ijab kabul
1) Orang yang mengucapkan telah baligh dan berakal.
2) Kabul sesuai dengan ijab.
3) Ijab kabul dilakukan dalam satu majelis.
Di zaman modern, perwujudan ijab kabul tidak lagi diucapkan,
tetapi dilakukan dengan sikap mengambil barang, membayarnya, kemudian
menerima barang tanpa adanya ucapan apapun (ba’i al mu’athah). Misalnya,
jual beli yang berlangsung di Swalayan.
Dalam kasus ini jumhur ulama’ berpendapat hukumnya boleh,
apabila hal ini telah menjadi kebiasaan suatu masyarakat di suatu negeri,
karena hal ini telah menunjukkan saling rela antara kedua belah pihak.
c. Syarat-syarat barang yang diperjual belikan
1) Barang itu ada.
2) Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.
3) Milik seseorang.

4 Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hlm. 25
5 Abdul Rahman Gazaly, dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 70-78

6
4) Boleh diserahkan saat akad berlangsung atau pada waktu yang telah
disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.
d. Syarat-syarat nilai tukar
1) Harga yang disepakati harus jelas jumlahnya
2) Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun dalam bentuk cek dan
kartu kredit. Apabila barang akan dibayar kemudian (berhutang) maka
waktu pembayarannya harus jelas.
3) Apabila jual beli dilakukan dengan tukar menukar barang (al-
muqayadhah) maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang
yang diharamkan menurut syara’.

 Jual Beli Borongan


Jual beli borongan adalah jual beli suatu barang yang masih ada
dalam bentuk tumpukan, atau bahkan belum dipetik sama sekali dari
pohonnya. Barang yang dijual adalah barang yang berwujud sebagaian dari
tumpukan itu, atau bahkan total semua barang yang ada namun tidak
diketahui kadarnya. Di dalam literatur fiqih, akad jual beli
tebasan/borongan ini dikenal dengan istilah bai’u shabratin atau bai’u
jazafin. Dalam kitab Al-Mahally ‘ala Minhâji al-Thâlibîn, Syekh Jalaluddin Al-
Mahally6 menjelaskan hukum dari jual beli borongan ini sebagai berikut:
‫ويصح بيع صاع من صبرة تعلم صيعا نها للمتعا قدين وينزل على اإلشاعة فإذا علما أنها عشرة‬
‫آصع فالمبيع‬
‫عشرها فلوتلف بقدره من المبيع‬
Artinya: “Sah jual beli satu sha’ di antara tumpukan barang yang
diketahui wujud tumpukannya oleh dua orang yang berakad sehingga
barang dipandang secara global saja. Misalnya, diketahui bahwa tumpukan
itu terdiri dari 10 sha’, sementara barang yang dijual hanya 1/10-nya (1
sha’), meskipun sebagian dari barang itu ada yang rusak.”

6Syekh Jalaluddin al-Mahally, Al-Mahally ‘ala Minhâji al-Thâlibîn, (Kediri: Pesantren Petuk), hlm.
156

7
Maksud dari ibarat di atas adalah bahwa sah melakukan jual beli
sebagian dari barang sejenis yang masih berwujud tumpukan, meskipun di
antara tumpukan itu ada barang yang rusak wujudnya, menjadi sah apabila:
a. Wujud barang yang ditumpuk adalah berupa barang sejenis dan tidak
bercampur dengan barang lain. Misalnya: tumpukan gandum, berarti
seluruh dari isi tumpukan ini terdiri atas gandum.
b. Kedua orang yang berakad harus mengetahui wujud tumpukannya.
Untuk syarat kedua ini sebenarnya bukan syarat baku, karena meskipun
ada barang yang rusak di antara tumpukan itu, asalkan barangnya
sejenis, maka masih sah untuk diperjualbelikan, dengan syarat diketahui
kebutuhan takaran yang dikehendaki oleh pembeli.
c. Kedua orang yang berakad menentukan jumlah takaran yang hendak
dibelinya. Takaran ini bisa berwujud takaran kilogram, liter dan
sejenisnya

Jika syarat ini kita tarik dalam jual beli tebasan di lahan, maka syarat
mutlak yang harus dipenuhi agar jual beli tebasan menjadi sah, adalah:

a. Kedua orang yang berakad harus mengetahui wujud tanaman yang


hendak diborongnya
b. Tanamannya harus seragam (sejenis).
c. Pemborong harus menentukan besar takaran yang hendak dibelinya
karena ada kemungkinan sebagian dari barang ada yang rusak.

Dari ketiga syarat ini, syarat yang ketiga sering dilewatkan oleh
kedua orang yang sedang bertransaksi di lapangan. Syarat itu adalah
berupa jumlah takaran yang hendak diborong atau dibutuhkan oleh si
pemborong. Pada umumnya, para pemborong tebasan adalah ingin
mengambil untung dari kelebihan takaran barang yang ditebasnya, dan hal
ini menurut qaul yang paling shohih dari madzhab Syafi’i adalah tidak
diperbolehkan karena adanya unsur gharar yang tersimpan.

Pandangan Imam Nawawi dan terhadap jual beli tebasan yang


termaktub dalam kitab al-Majmu’ (Lihat: Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin

8
Syaraf al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Mesir: Maktabah al-
Mathba’ah al-Munîrah, tt.: 9/83) di atas, kesimpulan yang bisa kita ambil
adalah bahwa jual beli tebasan adalah sah dan diperbolehkan manakala
terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Harga per takaran sudah ditentukan di muka


b. Pihak yang membeli mengetahui dengan pasti kondisi barang yang hendak
ditebasnya. Cara mengetahui ini sebagaimana dicontohkan dalam bunyi
ibarat adalah dengan jalan menenggelamkan tangan ke dalam tumpukan
sehingga dapat memprediksi kondisi bagian bawahnya. Bila hal ini ditarik
ke lahan, ada kalanya jarak tanam, panjang larikan tanaman, berat buah
yang dihasilkan dari sekian batang yang hendak ditebas, cukup dapat
dijadikan patokan tolok ukur mengetahui kondisi takaran barang.
c. Orang yang melakukan adalah sudah mahir dalam urusan memborong
barang sehingga kecil kemungkinan mengalami kesalahan dalam
prediksinya.
d. Karena adanya kemungkinan salah atau benarnya hasil prediksi terhadap
ukuran barang, maka jual beli tebasan disamakan dengan jual beli barang
yang belum pernah dilihat (ghaib).

Jika diperhatikan dengan seksama, pendapat Syekh Jalaluddin al-


Mahally dan pendapat Imam Nawawi di atas pada dasarnya tidak saling
bertabrakan. Syekh Jalaluddin al-Mahally menyatakan keharusan menentukan
kadar disebabkan ada kemungkinan barang rusak dalam tumpukan. Sementara
itu, kadar kesalahan prediksi ini oleh Imam Nawawi dinyatakan dapat
dijembatani melalui penaksiran dengan menyatakan langsung bukti fisik
barang. Batasan-batasan kondisi barang sehingga mudah diprediksi secara
tidak langsung ditetapkan sebagai langkah praktis memberikan perkiraan total
takaran yang bisa didapat.

D. Hukum Jual Beli Online


Penggunaan media internet untuk mendukung proses jual beli sangat
efisien. Bagi pihak merchant (penjual atau toko online), mereka tidak perlu

9
repot membangun toko, terikat jam kerja, memiliki pegawai yang banyak,
maupun memajang barang dagangan secara fisik. Sedangkan bagi pihak buyer
(pembeli) keuntungan berbelanja melalui media online (internet) antara lain
dapat mengunjungi merchant kapan saja dan dapat dilakukan dimana saja.
Dalam hukum Islam tidak ada larangan dalam hal media yang digunakan untuk
melakukan transaksi, namun yang harus diperhatikan oleh pihak merchant dan
pihak buyer pada saat melakukan transaksi jual beli adalah memperhatikan
unsur-unsur Sighat al aqd (Ijab qabul), Mahallul „aqd (obyek perjanjian), Al
aqidaian (pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian). Selain itu harus
memenuhi prinsip-prinsip syari’ah yaitu jual beli tersebut harus bebas dari
unsur ribawi, gharar dan maisyir.
Hukum kontrak dalam Islamdisebut dengan “Akad” yang berasal
daribahasa Arab “al aqd” yang berarti perikatan, perjanjian, kontrak atau
permufakatan (al ittifaq), dan transaksi.Menurut Wahab al Zuhaili danIbnu
Abidin, sebagaimana yang dikutipoleh Abdul Manan beliau menggunakan
istilah “kontrak” (akad) yang secara terminologi berarti pertalian antara ijab
dan qabul sesuai dengan kehendak syari‟ah (Allah dan Rasul-Nya) yang
menimbulkan akibat hukumpada obyeknya.7 Ijab dan qabul dimaksudkan
untuk menunjukkan adanya keinginan dan kerelaan timbal balik para pihak
yang bersangkutan terhadap isi kontrak. Oleh karena itu ijabdan qabul ini
menimbulkan hak dan kewajiban atas masing-masing pihak yang melakukan
kontrak. Menurut Hasbi Ash Shiddiqie dalam bukunya Memahami Syari’at
Islam, sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan, mengatakan bahwa
suatukontrak (baca perjanjian) harus memenuhi empat rukun yang tidak boleh
ditinggalkan yaitu sighat al ‘aqd, mahallul ‘aqd, al ‘aqidaian dan maudhu’ul ‘aqd
8

1. Sighat al aqd (Ijab qabul).

7 DR. H. Abdul Manan, SH.,SIP., M.Hum, Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syariah, Varia
Peradilan, Majalah Hukum Tahun Ke XX1 No.247 Juni 2006, hlm 32
8 DR. H. Abdul Manan, SH.,SIP., M.Hum, Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syariah, Varia
Peradilan, Majalah Hukum Tahun Ke XX1 No.247 Juni 2006, hlm 39-42

10
Formulasi ijab qabul dalam suatuperjanjian jual beli dapat
dilaksanakandengan ucapan lisan, tulisan atau isyara bagi mereka yang
tidak mampu berbicara atau menulis. Bahkan dapat dilaksanakan dengan
perbuatan (fi’li) yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak untuk
melakukan suatu perjanjian yang umumnya dikenal dengan almu’athah.
Tidak ada petunjuk baikdalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits yang
mengharuskan penggunaan bentukatau kata-kata tertentu dalam
pelaksanaan ijab qabul yang dibuat olehpara pihak. Formulasi ijab qabul
dapat dilaksanakan menurut kebiasaan (‘urf) sepanjang tidak
bertentangan dengansyara‟.
Menurut Wahbah Zuhaili ada tiga syarat yang harusdipenuhi agar
suatu ijab dan qabul dipandang sah serta memiliki akibat hukum9, yakni :
a) Jala’ul ma’na, yaitu tujuan yangterkandung dalam pernyataan itu jelas.
b) Tawafuq, yaitu adanya kesesuaianantara ijab dan qabul.
c) Jazmul iradataini, antara ijab danqabul menunjukkan kehendak
parapihak secara pasti, tidak ada keraguansedikitpun, tidak berada
dibawahtekanan dan tidak berada dalam keadaanterpaksa.

‫ َع ْن‬,ٍ‫ َحدَثَنَا َع ْبد ُ ْال َع ِّزي ِّْز اِّ ْبنُ ُم َح َّمد‬.ٍ‫ َحدَثَنَا َم ْر َوانَ اِّ ْبنُ ُم َح َّمد‬,‫ي‬ ُّ ‫َّاس اِّ ْبنُ اْ َلو ِّل ْي ِّد ْالدَ َم ْش ِّق‬
ُ ‫َحدَثَنَا ْال َعب‬
‫م‬.‫س ْو ُل هللا ص‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:ُ‫ي يَقُ ْول‬ َّ ‫س ِّع ْي ٍد ْال ُخذْ ِّر‬ َ :َ‫ َع ْن أَبِّ ْي ِّه قَال‬,‫صا ِّلحٍ ْال َمدَنِّ ْي‬
َ ‫س ِّم ْعتُ أَبَا‬ َ ُ‫دَ ُاودَ اِّ ْبن‬
)‫اض)) (رواه ابن ماجه‬ ٍ ‫(( ِّإنَّ َماالبَ ْي ُع َع ْن ت ََر‬

Artinya :

“Menawarkan kepada kami al-‘Abas ibn al-Walîd al-Dmasqiy; mewartakan


kepada kami Marwân ibn Muhammad; mewartakan kepada kami ‘Abd al-Aziz
dari ayahnya, dia berkata: Rasûllâh Saw bersabda: sesungguhnya jual beli itu
atas dasar suka sama suka.” (HR. Ibn Mâjah)

Dalam transaksi online, buyer, setelah melihat-lihat daftar barang


danharga berikut prosedur pembayaran danpengirimannya, apabila ia
menyetujuiaturan-aturan yang tercantum pada formtata cara pembelian
maka ia akanmelakukan proses order dengan mengisiform pembelian dan

9DR.H. Abdul Manan, SH.,SIP., M.Hum, Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syariah, Varia
Peradilan, Majalah Hukum Tahun Ke XX1 No.247 Juni 2006, hlm 39

11
diakhiri dengan klik ”OK” .Dengan buyer melakukan klik ”OK” dapat
dipahami jika buyer telahsetuju untuk terikat perjanjian jual belidengan
merchant. Sehingga telah terjadikesepakatan antara pihak merchantdengan
buyer, yang mana pihakmerchant sepakat untuk mengirimkanbarang yang
dipesan dan buyers sepakatuntuk menyerahkan uang (melaluitransfer
bank, kartu Kredit/debit, ATM).

Namun apabila buyer keberatan dengan apa yang tercantum dalam


form, makadapat mengabaikannya denganmenghentikan transaksi (tekan
cancel atau close).Tindakan buyer agar berhati-hati dan tidak tergesa-gesa
dalam membaca peraturan mengenai cara pemesanan, cara pembayaran
dan cara pengiriman barang yang dibuat dan di posting olehmerchant
merupakan upaya agar terhindar dari kesalahan melakukan transaksi yang
tidak dikehendaki, sehingga apabila buyer setuju dengan peraturan
tersebut ia akan menekantombol ”OK”, dan manakala tidak setuju ia akan
menekan tombol ”cancel”.

Apa yang dilakukan tersebut merupakan perwujudan darikerelaan


pihak buyer untukterikat/menyetujui atau tidakterikat/tidak menyetujui
denganpenawaran aturan yang dibuat olehmerchant. Tidak ada paksaan
samasekali dari pihak merchant agar buyermelanjutkan proses transaksi
ataumembatalkan proses tersebut. Demikianhalnya pihak merchant,
tindakan berupamemproses permintaan order dari buyerdengan rela hati
dan tanpa paksaan daripihak buyer atau pihak manapun merupakan
perwujudan dari unsurjazmul iradataini.

Oleh karena ada kesesuaian antara ijabdan qabul dari merchant dan
buyer,walaupun tidak diikrarkan secara lisandan langsung, namun ada
tindakan nyata(perbuatan konkrit berupa meng-kliktombol ”OK”) berarti
ada kerelaan pihakbuyer untuk terikat pada ketentuan tatacara pembelian,
pembayaran danpengiriman barang. Disamping itu adatindakan nyata dari
pihak merchantuntuk memproses order yang dimintapihak buyer, maka
menurut kami telahsah memenuhi unsur pertama dariperjanjian jual beli,

12
yakni sighat al aqad (ijab qabul). Hal ini berarti tidakbertentangan dengan
syara’.

2. Mahallul ‘aqd (obyek perjanjian).


Obyek perjanjian dalammuamalah jangkauannya sangat
luas,bentuknya pun berbeda-beda satudengan yang lain. Para ahli hukum
Islam(fuqaha) sepakat bahwa obyekperjanjian harus memenuhi empat
syarat10yaitu :
a) Obyek harus sudah ada secarakonkrit ketika perjanjian dilangsungkan
atau diperkirakan ada pada masa yangakan datang.
b) Dibenarkan syara’.
c) Obyek harus dapat diserahkan ketikaterjadi perjanjian, namun tidak
harusseketika melainkan dapat diserahkanpada saat yang telah
ditentukan dalamkontrak.
d) Obyek harus jelas dan dapatditentukan (mu‟ayyan) dan harusdiketahui
oleh kedua belah pihak yangmembuat perjanjian.Selain itu untuk
mencegahterjadinya sengketa atau timbul hal-halyang tidak diinginkan,
para fuqahamembedakan dua macam kekeliruan11
1. Kekeliruan pada jenis obyekperjanjian, dipandang sebagai
kesalahanfatal yang dapat menyebabkan tidaksahnya perjanjian
sehingga sejak awalbatal demi hukum.
2. Kekeliruan pada sifat perjanjian,dipandang sebagai kesalahan
ringanyang tidak sampai merusak aqad, karena aqad dipandang sah
tetapi bagi pihakyang merasa dirugikan dengan adanya perjanjian
itu dapat meminta pembatala kepada pengadilan.

Dalam transaksi online, buyerdapat melihat barang atau jasa


yang ditawarkan pada layar monitor, namun obyek tersebut tidak bisa
seketika diperoleh karena harus menunggu dikirim oleh pihak
merchant. Lamanyamasa pengiriman tergantung dari lokasi(tempat

10DR. H. Abdul Manan, SH.,SIP., M.Hum, Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syariah, Varia
Peradilan, Majalah Hukum Tahun Ke XX1 No.247 Juni 2006, hlm. 40
11DR. H. Abdul Manan, SH.,SIP., M.Hum, Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syariah, Varia

Peradilan, Majalah Hukum Tahun Ke XX1 No.247 Juni 2006, hlm. 46

13
tinggal atau kantor) buyer, apakah di tengah kota atau di daerah yang
terpencil, di luar pulau bahkan dinegara yang berbeda. Disamping
itubuyer tidak dapat langsung memeriksa kondisi barang yang akan ia
beli, apakahsesuai dengan yang di posting atau tidak,apakah ada
cacatnya atau tidak. Menurut hukum Islam keadan demikian
dibolehkan, sepanjang obyek yang diperdagangkan bukan barang
haram seperti minuman keras (khamar),majalah/buku/VCD porno,
makanan kaleng yang mengandung zat yang diharamkan misalnya
babi, darah, alkohol, serta barang-barang yang terlarang menurut
undang-undangnegara yang bersangkutan, misalnya hewan langka,
benda purbakala, barangcurian, rampasan, hasil penjarahan,bebas dari
unsur ribawi, gharar danmaisyir. Selain itu pihak merchant wajib
memastikan bahwa barangnya telah adaatau segera dibuatkan dan siao
dikirim sesuai dengan janji yang telah ia postingpada toko virtualnya
(web).

14
3. Al ‘aqidaian (pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian)
Pihak-pihak yang melaksanakanperjanjian (subyek hukum)
adalahmanusia dan badan hukum. Dalam halsubyek hukum ini maka hal
yang perludiperhatikan yaitu kecakapan bertindak (ahliyah),
kewenangan (wilayah) danperwakilan (wakalah). Apabila hal
initerpenuhi maka perjanjian yang dibuatnya mempunyai nilai hukum
yang dibenarkan syara’12.
Pelaku perjanjian (jual beli online)disyaratkan harus mukhallaf
(aqilbaligh, berakal, sehat, dewasa/bukan mumayyid dan cakap hukum).
Jadi tidak sah perjanjian (jual beli online) apabila dilakukan oleh anak-
anak dan orang gilaserta orang-orang yang berada di
bawahpengampuan. Para ahli hukum Islam sepakat bahwa batasan
umur pelakuperjanjian diserahkan kepada ‘urf (adat) setempat dan atau
perundang-undanganyang berlaku dalam suatu negara13.
Dalam hukum Islam dikenalorang-orang yang tidak cakap
bertindakdalam hukum yang disebut sebagai assyuf’ah/ mahjur ‘alaih
(tidak cakapbertindak), yaitu orang yang tidak sempurna akalnya dalam
hal memelihara hartanya dan kebaikan tasharruf padanya, dalam hal ini
anak-anak yang belum dewasa, orang gila dan orang yang selalu
membuat mubazir dalam hidupnya.14
Dalam transaksi online yang dilakukan oleh manusia sebagai
subyek hukum adalah sah sepanjang ia adalah orang-orang yang cakap
menurut syara’, namun karena antara merchant dan buyer tidak
bertatap muka secara langsung maka kemungkinan untuk terjadinya
penipuan (tadlis) mengenaiusia sangat potensial. Apabila hal initerjadi
maka, pihak yang dirugikan (merchant) dapat membatalkan perjanjian
kepada pihak yang berwenangatau pengadilan. Menurut Abdul Halim

12DR.H. Abdul Manan, SH.,SIP., M.Hum, Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syariah, Varia
Peradilan, Majalah Hukum Tahun Ke XX1 No.247 Juni 2006, hlm.42
13Heri Sudarsono, 2003, Konsep Ekonomi aIslam Suatu Pengantar, Penerbit Ekonisia FE-UII,

Yogyakarta, Hlm.6
14Heri Sudarsono, 2003, Konsep Ekonomi aIslam Suatu Pengantar, Penerbit Ekonisia FE-UII,

Yogyakarta, hlm. 41

15
Mahmud alBa‟ly, sebagaimana dikutip oleh AbdulManan, bahwa
penipuan (tadlis) adatiga macam15 yaitu :
1. Penipuan yang berbentuk perbuatanyaitu menyebutkan sifat yang
tidaknyata pada obyek perjanjian.
2. Penipuan yang berupa ucapan, sepertiberbohong yang dilakukan
oleh satupihak agar pihak lain mau melakukanperjanjian. Penipuan
juga dapat terjadipada harga barang yang dijual denganmenipu
memberi penjelasan yangmenyesatkan.
3. Penipuan dengan menyembunyikancacat pada obyek perjanjian
padahal iasudah mengetahui kecacatan tersebut.

Berdasarkan pernyataan Abdul Halim Mahmud al Ba’ly di atas,


maka menurutkelompok kita, perjanjian jual beli online tetap sah dan
tidak melanggar syara’ sepanjang antara pihak merchant danpihak
buyer sama-sama memiliki itikadbaik untuk tidak berbuat curang
(bebasdari upaya penipuan atau tadlis ataupuntipu muslihat atau
taghir). Maksud daritidak berbuat curang ini adalah daripihak merchant
apabila telah menerimapembayaran dari buyer maka ia wajib
mengirimkan barang sesuai yangdipesan dan menjamin bahwa barang
yang ia kirimkan itu dalam kondisi baik. Sedangkan daripihak buyer,
juga harus ada itikad baikbahwa jika ia belum mukhallaf
(aqilbaligh,dewasa/bukan mumayyid dancakap hukum) maka janganlah
membuattransaksi apapun, selain itu segera melunasi pembayaran
manakala ia sudahmenerima barang namun barumembayar sebagian
dari total harga.

4. Maudhu’ul aqd (tujuan kontrak danakibatnya)


Adalah untuk apa suatu perjanjiandilakukan oleh seseorang
dengan oranglain dalam rangka melaksanakan suatu muamalah, adapun
yang menentukan akibat hukum dari suatu kontrak adalahal musyarri’
(yang menetapkan syariat,yakni Allah sendiri). Dengan kata lain,akibat

15Heri
Sudarsono, 2003, Konsep Ekonomi aIslam Suatu Pengantar, Penerbit Ekonisia FE-UII,
Yogyakarta, hlm. 6

16
hukum dari suatu perjanjian harus diketahui melalui syara’ (hukum
Islam)dan harus sejalan dengan kehendaksyara’, sehingga apabila
tujuannya bertentangan dengan syara’ adalah tidaksah sehingga tidak
menimbulkan akibathukum. Menurut Ahmad Azhar Basyir,
sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan, syarat sah dari suatu
perjanjian16 adalah:
1) Tujuan perjanjian tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas
pihak-pihak yang bersangkutan tanpa perjanjian yang diadakan,
tujuan hendaknya baru ada pada saat aqad diadakan. Misalnya
perjanjian ijarah (perjanjian kerja) yang diadakan antarauami istri
untuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Perjanjian ini tidak
sahsebab tujuan perjanjian telah menjadi kewajiban istri untuk
melakukan pekerjaan itu menurut ketentuan agama,walaupun tanpa
adanya perjanjian tersebut.
2) Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan
perjanjian. Misalnya dalam perjanjiansewa-menyewa rumah dalam
jangkawaktu dua tahun, tujuannya untuk mengambil manfaat dari
perjanjian tersebut, jika manfaat tidak tercapai maka perjanjian
menjadi rusak sejaktu juannya hilang.
3) Tujuan perjanjian harus dibenarkan syara’, jika syarat ini tidak
terpenuhi maka perjanjian tidak sah. Misalnya perjanjian riba. Dalam
transaksi online, tujuan yang hendak dicapai merchant adalah
memperoleh sejumlah uang, sedang kanbagi buyer tujuannya adala
mendapatkan barang/jasa yang ditawarkan, sehingga akibat
hukumnya adalah kedua belah pihak memiliki kewajiban untuk
serah terima uang dengan barang/jasa. Jika masing-masingpihak
telah melaksanakan hak dankewajibannya tersebut maka
inidibenarkan syara‟, namun jika masingmasingpihak atau salah
satunya ada itikad yang tidak baik untuk tidak melaksanakan hak
atau kewajibannya atau dengan kata lain ada unsur penipuan

16DR.H. Abdul Manan, SH.,SIP., M.Hum, Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syariah, Varia
Peradilan, Majalah Hukum Tahun Ke XX1 No.247 Juni 2006, hlm. 43

17
(tadlis) dan tipu muslihat (taghir), inilah yang bertentangan dengan
syara’ sehingga tidak diperbolehkan.
Hal yang bertentangan dengan syara’ tersebut misalnya pihak
merchant tidak mengirimkan barang yang di order atau apabila
mengirimkan ternyata tidak sesuai sebagaimana yang telah di posting,
atau ternyata barang yang dikirim ada cacatnya. Demikian juga jika
pihak buyer tidak mengirimkan uang pelunasan atas barang yang ia
order, misalnya dalam tata cara pembayaran pihak merchant membuat
keleluasaan peraturan (trik ini biasa digunakan sebagai upaya untuk
menarik minat pembeli namun rawan disalah gunakan oleh buyer)
bahwa barang akan dikirim setelah buyer membayar 50% dan sisa
pembayarannya dilunasi apabila buyer telah menerima barang tersebut.

E. Hukum Jual Beli Kredit


Di zaman yang serba canggih ini perkembangan sistem ekonomi sudah
sangat pesat. Beragam sistem ditawarkan oleh para niagawan untuk bersaing
menggaet hati para pelanggan. Seorang niagawan muslim yang tidak hanya
berorientasi pada keuntungan dunia sudah semestinya cerdik dan senantiasa
menganalisa fenomena yang ada agar mengetahui bagaimana pandangan
syariat terhadap transaksi ini. Dengan demikian tidak mudah terjerumus ke
dalam larangan-Nya.Di antara sistem yang saat ini terus dikembangkan adalah
sistem kredit, yaitu cara menjual barang dengan pembayaran secara tidak tunai
(pembayaran ditangguhkan atau diangsur).17
Di dalam ilmu fikih, akad jual beli ini lebih familiar dengan istilah jual
beli taqsith (‫)التَ ْقسيـْط‬. Secara bahasa, taqsith itu sendiri berarti membagi atau
menjadikan sesuatu beberapa bagian.Meskipun sistem ini adalah sistem klasik,
namun terbukti hingga kini masih menjadi trik yang sangat jitu untuk
menjaring pasar, bahkan sistem ini terus-menerus dikembangkan dengan
berbagai modifikasi.

17Kamus Besar Bahasa Indonesia

18
Secara umum, jual beli dengan sistem kredit diperbolehkan oleh syariat.
Hal ini berdasarkan pada beberapa dalil, di antaranya adalah:
1. Firman Allah Ta’ala:

َ ‫ٰيأَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ِإ َذا ت َ َدا َي ْنت ُ ْم بِ َدي ٍْن ِإ ٰلى أ َ َج ٍل ُّم‬
ُ‫س ًّمى فَا ْكتُب ُْوه‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara


tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS.
Al Baqarah : 282)

Ayat di atas adalah dalil bolehnya akad hutang-piutang, sedangkan akad


kredit merupakan salah satu bentuk hutang, sehingga keumuman ayat di
atas bisa menjadi dasar bolehnya akad kredit.

2. Hadis ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,beliau mengatakan,

َ ٍ ‫سلَّ َم ِّم ْن يَ ُهودِّي‬


َ ‫ َو َر َهنَهُ د ِّْر‬،ٍ‫طعَا اما بِّنَسِّيئَة‬
ُ‫عه‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ ُ ‫ا ْشت ََرى َر‬
َّ ‫سو ُل‬
َ ِّ‫َّللا‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli sebagian bahan makanan


dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang dan beliau juga
menggadaikan perisai kepadanya.” (HR. Bukhari:2096 dan Muslim: 1603)

Dalam hadis ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli bahan


makanan dengan sistem pembayaran dihutang, itulah hakikat kredit.

Rambu-Rambu Kredit

Meskipun pada dasarnya jual-beli kredit adalah diperbolehkan, akan tetapi


ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi praktisi jual beli kredit. Di
antaranya adalah:

1. Obyek jual beli bukan komoditi ribawi yang sejenis dengan alat tukar
Sebagaimana sudah ma’ruf bahwa para ulama membagi komoditi ribawi
menjadi dua kelompok. kelompok pertama adalah kategori barang yang
menjadi alat tukar atau standar harga, seperti; emas, perak, uang, dll.
Dan kelompok yang kedua adalah kategori bahan makanan pokok yang
tahan lama, seperti; gandum, kurma, beras, dll.

19
Hal yang perlu diketahui bahwa akad barter atau jual beli antara
dua komoditi ribawi yang masih dalam satu kelompok (misalkan emas
dengan uang, atau gandum dengan kurma) harus dilakukan secara
tunai. Artinya tidak boleh ada kredit di dalamnya (harus kontan) agar
tidak terjadi praktik riba nasi’ah.
Dasarnya adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

‫ير َوالت َّ ْم ُر ِّبالت َّ ْم ِّر َو ْال ِّم ْل ُح ِّب ْال ِّم ْلحِّ ربا ا إَّل‬ َّ ‫ير ِّبال‬
ِّ ‫ش ِّع‬ َّ ‫ض ِّة َو ْالب ُُّر ِّب ْالب ُِّر َوال‬
ُ ‫ش ِّع‬ َّ ‫ضةُ ِّب ْال ِّف‬
َّ ‫ب َو ْال ِّف‬
ِّ ‫َب ِّبالذَّ َه‬ ُ ‫الذَّه‬
‫ِّمثْ اًل ِّب ِّمثْ ٍل‬

‫ْف ِّشئْت ُ ْم إِّذَا َكانَ يَداا بِّيَد‬


َ ‫َاف فَبِّيعُوا َكي‬
ُ ‫صن‬ْ َ ‫ت َه ِّذ ِّه ْاأل‬
ْ َ‫اختَلَف‬
ْ ‫ويَداا بِّيَ ٍد فَإِّذَا‬

“Menukarkan emas dengan emas, perak dengan perak, gandum burr


dengan gandum burr, gandum sya’ir dengan gandum sya’ir, kurma
dengan kurma dan garam dengan garam adalah termasuk akad riba,
kecuali dengan dua syarat:sama ukurannya dan dilakukan secara
tunai (cash) Namun, Jika jenisnya berbeda (dan masih dalam satu
kelompok) maka tukarlah sekehendakmu dengan satu syarat, yaitu
harus diserahkan secara tunai” (HR Muslim).

Konsekuensi dari penjelasan di atas, maka tidak diperbolehkan


jual beli uang, valas, emas atau alat tukar sejenisnya dengan cara kredit.

2. Hindari penundaan serah terima barang


Di dalam akad kredit tidak boleh ada penundaan serah terima
barang. Sebab hal itu merupakan praktik jual beli hutang dengan
hutang. Artinya, barang masih berada dalam tanggungan penjual dan
uang pun juga masih berada dalam tanggungan pembeli. Inilah praktik
jual beli dain bid dain yang disepakati keharamannya oleh para ulama.
Sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab beliau, Al-
Mughni18.

18 Al-Mughni: 3/306

20
Diriwayatkan di dalam sebuah hadis dari Ibnu ‘Umar
mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli
hutang dengan hutang.” (HR. Hakim: 2343)
Imam Al Hakim menilai hadis ini sebagai hadis yang shohih
sesuai syarat Muslim, akan tetapi kebanyakan ulama menilai hadis ini
sebagai hadis yang lemah, tidak bisa dijadikan dalil 19. Meskipun
demikian mereka bersepakat untuk menerima maknanya. Sebagaimana
perkataan Ibnul Mundzir yang dinukilkan oleh Ibnu Qudamah, beliau
mengatakan, “Para ahli ilmu telah bersepakat bahwa jual beli hutang
dengan hutang tidak diperbolehkan. Imam Ahmad mengatakan, “Ini
adalah ijma’.”20

Harga Ganda dalam Jual Beli Kredit

Di antara hal penting yang perlu kita ketahui juga adalah akad jual
beli kredit dengan harga ganda. Ilustrasinya adalah sebagai berikut:
Seorang penjual menawarkan barang dagangan kepada para pembeli
dengan beberapa penawaran harga. Jika dibayar secara kontan maka
harganya sekian rupiah (satu juta misalnya), akan tetapi jika dibayar secara
kredit maka harganya sekian (dua juta misalnya), dst.

Kenyataannya praktik semacam inilah yang banyak berkembang di


dalam jual beli kredit. Oleh karena itu penting kiranya kita mengetahui
tinjauan syariat terhadap sistem perniagaan seperti ini.

Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi transaksi seperti ini.


Mayoritas para ulama membolehkan praktik jual beli kredit semacam ini,
dengan catatan sudah terjadi kesepakatan harga antara penjual dan
pembeli sebelum mereka berpisah. Artinya pembeli sudah menentukan
pilihan harga dan pihak penjual juga sudah menyepakati hal itu.

19Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Para pakar hadis melemahkan hadis ini.” (Nailul Authar:
5/164-165). Syaikh Albani juga menilai hadis ini sebagai hadis dho’if (lihat Dha’if Al Jami’ : 6061)

20 Al- Mughni/ Ibnu Qudamah, penerjemah, ( Jakarta : Pustaka Azzam 2008) hlm. 306

21
Pendapat ini berdasarkan kaidah dalam muamalah bahwa hukum
asal setiap perniagaan adalah halal. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah
ta’ala dalam firman-Nya,

ِّ ‫َّللاُ ْال َب ْي َع َو َح َّر َم‬


‫الر َبا‬ َّ ‫َوأ َ َح َّل‬

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al


Baqarah: 275)

Oleh karena itu selama tidak ada dalil yang valid nan tegas yang
mengharamkan praktik semacam ini, maka perniagaan tersebut halal atau
boleh dilakukan.

Dan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa akad jual beli
seperti ini tidak boleh5. Pendapat ini didukung oleh sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

َ – ‫سلَّ َم‬
‫ع ْن بَ ْيعَتَي ِّْن فِّي بَ ْيعَ ٍة‬ َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ ُّ ِّ‫نَ َهى النَّب‬
َ –‫ي‬

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dual transaksi dalam


satu jual beli.” (HR. Tirmidzi: 3/1290 dan Nasai: 7/296)6

Pendapat inilah yang dipegang oleh Imam An Nasa’i. Beliau


membuat sebuah judul bab “Transaksi Ganda dalam jual beli” (‫)بيعتين في بيعة‬
kemudian beliau mengatakan, “Yaitu perkataan seseorang, ‘saya jual
dagangan ini seharga seratus dirham cash/tunai, dan dua ratus dirham
secara kredit.”

Pendapat yang Lebih Kuat

Perbedaan pendapat ini didasari atas perbedaan mereka dalam


memahami konteks hadits ini. Ulama yang memperbolehkan transaksi ini,
mereka berpendapat bahwa transaksi tersebut (kredit dengan harga ganda)
bukanlah transaksi yang dimaksud dalam hadits Abu Hurairah di atas.
Sedangkan pendapat ke dua yang mengharamkan transaksi ini, mereka
berpendapat bahwa transaksi kredit adalah contoh riil dari hadis di atas.

22
Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang pertama yang
mengatakan bolehnya transaksi seperti ini. Sebab penafsiran yang lebih
tepat sebagaimana disampaikan oleh Ibnul Qayyim dan yang lainnya21,
bahwa makna hadits ini ialah larangan dari jual beli sistem ‘inah. Yaitu
seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran
dihutang dengan syarat sang penjual membelinya kembali dengan harga
yang lebih mahal secara kredit.

Pendapat ini dikuatkan dengan beberapa alasan:

Pada hakikatnya di dalam kasus jual beli di atas tidak terjadi dua
transaksi, sebab meskipun ada variasi harga akan tetapi sang pembeli
hanya memilih salah satu harga saja. Itu artinya harga yang disepakati oleh
penjual dan pembeli hanya satu saja, bukan ganda. Sedangkan yang dilarang
di dalam hadis di atas adalah jual beli dengan akad ganda.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ٍ ُ‫وم إِّلَى أ َ َج ٍل َم ْعل‬


‫وم‬ ٍ ُ‫زن َم ْعل‬ ٍ ُ‫ف فِّي َك ْي ٍل َم ْعل‬
ٍ ‫وم َو َو‬ َ َ‫َم ْن أ َ ْسل‬
ْ ‫ف فِّي شَيءٍ فَليُ ْس ِّل‬

“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia


memesan dengan takaran serta timbangan yang jelas dan hingga batas
waktu yang jelas pula.” (HR. Bukhari: 2240 dan Muslim: 1604)

Hadis di atas menunjukan bolehnya akad salam (akad pemesanan).


Sebagaimana dalam akad salam diperbolehkan mengakhirkan penyerahan
barang dengan syarat pembayaran kontan serta ukuran dan waktu
penyerahannya jelas, maka boleh juga dalam akad kredit mengakhirkan
penyerahan uang dengan syarat peyerahan barang secara kontan serta
nominal pembayaran dan waktu pembayarannya jelas.

21 Tahdzibus Sunan

23
Catatan Penting

Ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan dalam akad


jual beli kredit. Di antaranya adalah;

Jika pembeli sudah menentukan pilihan harga, maka sebesar itulah


jumlah uang yang berhak di ambil oleh penjual. Pihak penjual tidak berhak
untuk mengambil lebih, sekalipun pembeli terlambat melunasi
pembayaran.

Misalnya, “A” membeli barang kepada pihak “B” dengan harga 10


juta dibayar kredit selama satu tahun. Jika ternyata pihak “A”tidak mampu
melunasi dalam tempo satu tahun, maka pihak “B” tidak berhak menaikkan
harga yang telah disepakati. Karena di dalam jual bei kredit tidak boleh
adanya harga ganda. Semisal pembeli belum bisa melunasi maka diberi
perpanjangan waktu, dan tidak diperkenankan untuk menaikkan harga
artinya harga tetap pada kesepakatan awal.

Jika barang sudah berada di tangan pembeli dan kesepakatan harga


juga sudah disetujui, maka barang dagangan resmi menjadi milik pembeli.
Dengan demikian, penjual tidak berhak menyita atau menarik kembali
barang dagangannya meskipun uang cicilan kredit belum selesai. Semisal
“ada seseorang membeli kulkas dibayar kredit dengan harga 1.000.000 dan
jangka waktu pembayarnnya yaitu satu tahun. Pada pembayaran pertama
kulkas sudah ada di tangan pembeli. Setelah satu tahun kemudian ternyata
pembeli belum bisa melunasi, maka dari pihak penjual tidak boleh menarik
lagi kulkas tersebut, melainkan penjual memberi kelonggaran waktu
kepada si pembeli, sampai pembeli bisa melunasi sesuai dengan harga yang
sudah disepakati dari awal.

24
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pertama, jual beli adalah sebuah transaksi antara penjual dan pembeli
yang melakukan tukar menukar barang dengan barang atau sesuatu yang lain
atau sesuai dengan metode pembayaran yang berlaku berdasarkan tata cara
dan akad tertentu.
Kedua, rukun jual beli konvensional ada empat yaitu muta’aqidain, ijab
kabul, barang yang diperjual belikan dan nilai tukar. Sedangkan syaratnya
meliputi syarat orang yang berakad, yang terikat dengan ijab kabul, barang
yang diperjual belikan dan harga barang.
Ketiga, jual beli borongan sah dilakukan apabila memenuhi beberapa
syarat yaitu: Harga per takaran sudah ditentukan di muka, pihak yang membeli
mengetahui dengan pasti kondisi barang yang hendak ditebasnya, orang yang
melakukan adalah sudah mahir dalam urusan memborong
Keempat, Jual beli melalui melalui media online adalah sah menurut
syara’ (hukum Islam) sepanjang memenuhi empat kriteria yaitu Sighat,
Mahallul aqd, Al aqidaian, tujuan kontrak dan akibatnya, yaitu kewajiban buyer
untuk membayar harga yang telah ia setujui dan kewajiban merchant mengirim
barang yang telah di order oleh buyer dalam kondisi baik dan tanpa cacat,
bebas dari penipuan (tadlis) dan tipu muslihat (taghir).
Kelima, jual beli dengan sistem kredit diperbolehkan oleh syariat,
Meskipun pada dasarnya jual-beli kredit adalah diperbolehkan, akan tetapi ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi praktisi jual beli kredit. Di
antaranya adalah: obyek jual beli bukan komoditi ribawi yang sejenis dengan
alat tukar, hindari penundaan serah terima barang.

25
B. Kritik dan Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun sangat penulis butuhkan untuk
memperbaiki makalah ini.

26
DAFTAR PUSTAKA

Al- Mughni/ Ibnu Qudamah, penerjemah, ( Jakarta : Pustaka Azzam 2008)

Al-Mahally, Syekh Jalaluddin, Al-Mahally ‘ala Minhâji al-Thâlibîn, (Kediri: Pesantren

Petuk)

Gazaly, Abdul Rahman dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010)

Kamus Besar Bahasa Indonesia

Manan, Abdul, Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syariah, Varia Peradilan,

Majalah Hukum Tahun Ke XX1 No.247 Juni, 2006.

Mas’adi, Ghufron A, Fikih Muamalah Konstektual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2002)

Mustofa, Imam, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016)

Sudarsono, Heri, Konsep Ekonomi aIslam Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Ekonisia

FE-UII, 2003)

Tahdzibus Sunan

27

Anda mungkin juga menyukai