PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur
hubungan seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan
mu’amalah ma’allah dan mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang
disebut mu’amalah ma’annas. Hubungan dengan sesama inilah yang
memunculkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang disebut Fiqih muamalah.
Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau
hubungan antara umat satu dengan umat lainnya. Mulai dari jual beli, sewa
menyewa, hutang piutang dan lain-lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, setiap muslim pasti
melaksanakan suatu transaksi yang bisa disebut dengan jual beli. Si penjual
menjual barangnya, dan si pembeli membelinya dengan menukarkan barang
itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Jika
zaman dahulu semua ini dilaksanakan dengan bertemu langsung, makan
sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada suatu ruang saja. Dengan
kemajuan teknologi, danmaraknya penggunaan internet, kedua belah pihak
dapat bertransaksi dengan lancar tanpa perlu adanya pertemuan.
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Jual Beli?
2. Apa Dasar Hukum Jual Beli?
3. Bagaimana Syarat dan Rukun Jual Beli Konvensional dan Borongan?
4. Apa Hukum Jual Beli Onlen?
5. Apa Hukum Jual Beli Kredit?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Pengertian Jual Beli.
2. Mengetahui Dasar Hukum Jual Beli.
3. Mengetahui Syarat dan Rukun Jual Beli Konvensional dan Borongan.
4. Mengetahui Hukum Jual Beli Onlen.
5. Mengetahui Hukum Jual Beli Kredit.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1Abdul Rahman Gazaly, dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 67
2Ghufron A Mas’adi, Fikih Muamalah Konstektual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.
42-43
3
6. Raud Al-Nadii Syarahkafi Al-Muhtadi
Menurutnya, jual beli adalah tukar menukar harta meski ada dalam
tanggungan atau kemanfaatan yang mubah dengan sesuatu semisal dengan
keduanya untuk memberikan secara bertahap.
Dari pendapat beberapa ahli di atas, dapat ditarik pengertian jual
beli adalah sebuah transaksi antara penjual dan pembeli yang melakukan
tukar menukar barang dengan barang atau sesuatu yang lain atau sesuai
dengan metode pembayaran yang berlaku berdasarkan tata cara dan akad
tertentu.
3 Abdul Rahman Gazaly, dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 69-70
4
)(رواه ابزار والحاكم
2. Hadis dari Al-Baihaqy, Ibn Majah dan Ibn Hibban, Rasulullah menyatakan:
5
Jual Beli Konvensional
Jumhur ulama’ menyatakan bahwa rukun jual beli ada empat4, yaitu:
4 Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hlm. 25
5 Abdul Rahman Gazaly, dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 70-78
6
4) Boleh diserahkan saat akad berlangsung atau pada waktu yang telah
disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.
d. Syarat-syarat nilai tukar
1) Harga yang disepakati harus jelas jumlahnya
2) Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun dalam bentuk cek dan
kartu kredit. Apabila barang akan dibayar kemudian (berhutang) maka
waktu pembayarannya harus jelas.
3) Apabila jual beli dilakukan dengan tukar menukar barang (al-
muqayadhah) maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang
yang diharamkan menurut syara’.
6Syekh Jalaluddin al-Mahally, Al-Mahally ‘ala Minhâji al-Thâlibîn, (Kediri: Pesantren Petuk), hlm.
156
7
Maksud dari ibarat di atas adalah bahwa sah melakukan jual beli
sebagian dari barang sejenis yang masih berwujud tumpukan, meskipun di
antara tumpukan itu ada barang yang rusak wujudnya, menjadi sah apabila:
a. Wujud barang yang ditumpuk adalah berupa barang sejenis dan tidak
bercampur dengan barang lain. Misalnya: tumpukan gandum, berarti
seluruh dari isi tumpukan ini terdiri atas gandum.
b. Kedua orang yang berakad harus mengetahui wujud tumpukannya.
Untuk syarat kedua ini sebenarnya bukan syarat baku, karena meskipun
ada barang yang rusak di antara tumpukan itu, asalkan barangnya
sejenis, maka masih sah untuk diperjualbelikan, dengan syarat diketahui
kebutuhan takaran yang dikehendaki oleh pembeli.
c. Kedua orang yang berakad menentukan jumlah takaran yang hendak
dibelinya. Takaran ini bisa berwujud takaran kilogram, liter dan
sejenisnya
Jika syarat ini kita tarik dalam jual beli tebasan di lahan, maka syarat
mutlak yang harus dipenuhi agar jual beli tebasan menjadi sah, adalah:
Dari ketiga syarat ini, syarat yang ketiga sering dilewatkan oleh
kedua orang yang sedang bertransaksi di lapangan. Syarat itu adalah
berupa jumlah takaran yang hendak diborong atau dibutuhkan oleh si
pemborong. Pada umumnya, para pemborong tebasan adalah ingin
mengambil untung dari kelebihan takaran barang yang ditebasnya, dan hal
ini menurut qaul yang paling shohih dari madzhab Syafi’i adalah tidak
diperbolehkan karena adanya unsur gharar yang tersimpan.
8
Syaraf al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Mesir: Maktabah al-
Mathba’ah al-Munîrah, tt.: 9/83) di atas, kesimpulan yang bisa kita ambil
adalah bahwa jual beli tebasan adalah sah dan diperbolehkan manakala
terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
9
repot membangun toko, terikat jam kerja, memiliki pegawai yang banyak,
maupun memajang barang dagangan secara fisik. Sedangkan bagi pihak buyer
(pembeli) keuntungan berbelanja melalui media online (internet) antara lain
dapat mengunjungi merchant kapan saja dan dapat dilakukan dimana saja.
Dalam hukum Islam tidak ada larangan dalam hal media yang digunakan untuk
melakukan transaksi, namun yang harus diperhatikan oleh pihak merchant dan
pihak buyer pada saat melakukan transaksi jual beli adalah memperhatikan
unsur-unsur Sighat al aqd (Ijab qabul), Mahallul „aqd (obyek perjanjian), Al
aqidaian (pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian). Selain itu harus
memenuhi prinsip-prinsip syari’ah yaitu jual beli tersebut harus bebas dari
unsur ribawi, gharar dan maisyir.
Hukum kontrak dalam Islamdisebut dengan “Akad” yang berasal
daribahasa Arab “al aqd” yang berarti perikatan, perjanjian, kontrak atau
permufakatan (al ittifaq), dan transaksi.Menurut Wahab al Zuhaili danIbnu
Abidin, sebagaimana yang dikutipoleh Abdul Manan beliau menggunakan
istilah “kontrak” (akad) yang secara terminologi berarti pertalian antara ijab
dan qabul sesuai dengan kehendak syari‟ah (Allah dan Rasul-Nya) yang
menimbulkan akibat hukumpada obyeknya.7 Ijab dan qabul dimaksudkan
untuk menunjukkan adanya keinginan dan kerelaan timbal balik para pihak
yang bersangkutan terhadap isi kontrak. Oleh karena itu ijabdan qabul ini
menimbulkan hak dan kewajiban atas masing-masing pihak yang melakukan
kontrak. Menurut Hasbi Ash Shiddiqie dalam bukunya Memahami Syari’at
Islam, sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan, mengatakan bahwa
suatukontrak (baca perjanjian) harus memenuhi empat rukun yang tidak boleh
ditinggalkan yaitu sighat al ‘aqd, mahallul ‘aqd, al ‘aqidaian dan maudhu’ul ‘aqd
8
7 DR. H. Abdul Manan, SH.,SIP., M.Hum, Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syariah, Varia
Peradilan, Majalah Hukum Tahun Ke XX1 No.247 Juni 2006, hlm 32
8 DR. H. Abdul Manan, SH.,SIP., M.Hum, Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syariah, Varia
Peradilan, Majalah Hukum Tahun Ke XX1 No.247 Juni 2006, hlm 39-42
10
Formulasi ijab qabul dalam suatuperjanjian jual beli dapat
dilaksanakandengan ucapan lisan, tulisan atau isyara bagi mereka yang
tidak mampu berbicara atau menulis. Bahkan dapat dilaksanakan dengan
perbuatan (fi’li) yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak untuk
melakukan suatu perjanjian yang umumnya dikenal dengan almu’athah.
Tidak ada petunjuk baikdalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits yang
mengharuskan penggunaan bentukatau kata-kata tertentu dalam
pelaksanaan ijab qabul yang dibuat olehpara pihak. Formulasi ijab qabul
dapat dilaksanakan menurut kebiasaan (‘urf) sepanjang tidak
bertentangan dengansyara‟.
Menurut Wahbah Zuhaili ada tiga syarat yang harusdipenuhi agar
suatu ijab dan qabul dipandang sah serta memiliki akibat hukum9, yakni :
a) Jala’ul ma’na, yaitu tujuan yangterkandung dalam pernyataan itu jelas.
b) Tawafuq, yaitu adanya kesesuaianantara ijab dan qabul.
c) Jazmul iradataini, antara ijab danqabul menunjukkan kehendak
parapihak secara pasti, tidak ada keraguansedikitpun, tidak berada
dibawahtekanan dan tidak berada dalam keadaanterpaksa.
َع ْن,ٍ َحدَثَنَا َع ْبد ُ ْال َع ِّزي ِّْز اِّ ْبنُ ُم َح َّمد.ٍ َحدَثَنَا َم ْر َوانَ اِّ ْبنُ ُم َح َّمد,ي ُّ َّاس اِّ ْبنُ اْ َلو ِّل ْي ِّد ْالدَ َم ْش ِّق
ُ َحدَثَنَا ْال َعب
م.س ْو ُل هللا ص ُ قَا َل َر:ُي يَقُ ْول َّ س ِّع ْي ٍد ْال ُخذْ ِّر َ :َ َع ْن أَبِّ ْي ِّه قَال,صا ِّلحٍ ْال َمدَنِّ ْي
َ س ِّم ْعتُ أَبَا َ ُدَ ُاودَ اِّ ْبن
)اض)) (رواه ابن ماجه ٍ (( ِّإنَّ َماالبَ ْي ُع َع ْن ت ََر
Artinya :
9DR.H. Abdul Manan, SH.,SIP., M.Hum, Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syariah, Varia
Peradilan, Majalah Hukum Tahun Ke XX1 No.247 Juni 2006, hlm 39
11
diakhiri dengan klik ”OK” .Dengan buyer melakukan klik ”OK” dapat
dipahami jika buyer telahsetuju untuk terikat perjanjian jual belidengan
merchant. Sehingga telah terjadikesepakatan antara pihak merchantdengan
buyer, yang mana pihakmerchant sepakat untuk mengirimkanbarang yang
dipesan dan buyers sepakatuntuk menyerahkan uang (melaluitransfer
bank, kartu Kredit/debit, ATM).
Oleh karena ada kesesuaian antara ijabdan qabul dari merchant dan
buyer,walaupun tidak diikrarkan secara lisandan langsung, namun ada
tindakan nyata(perbuatan konkrit berupa meng-kliktombol ”OK”) berarti
ada kerelaan pihakbuyer untuk terikat pada ketentuan tatacara pembelian,
pembayaran danpengiriman barang. Disamping itu adatindakan nyata dari
pihak merchantuntuk memproses order yang dimintapihak buyer, maka
menurut kami telahsah memenuhi unsur pertama dariperjanjian jual beli,
12
yakni sighat al aqad (ijab qabul). Hal ini berarti tidakbertentangan dengan
syara’.
10DR. H. Abdul Manan, SH.,SIP., M.Hum, Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syariah, Varia
Peradilan, Majalah Hukum Tahun Ke XX1 No.247 Juni 2006, hlm. 40
11DR. H. Abdul Manan, SH.,SIP., M.Hum, Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syariah, Varia
13
tinggal atau kantor) buyer, apakah di tengah kota atau di daerah yang
terpencil, di luar pulau bahkan dinegara yang berbeda. Disamping
itubuyer tidak dapat langsung memeriksa kondisi barang yang akan ia
beli, apakahsesuai dengan yang di posting atau tidak,apakah ada
cacatnya atau tidak. Menurut hukum Islam keadan demikian
dibolehkan, sepanjang obyek yang diperdagangkan bukan barang
haram seperti minuman keras (khamar),majalah/buku/VCD porno,
makanan kaleng yang mengandung zat yang diharamkan misalnya
babi, darah, alkohol, serta barang-barang yang terlarang menurut
undang-undangnegara yang bersangkutan, misalnya hewan langka,
benda purbakala, barangcurian, rampasan, hasil penjarahan,bebas dari
unsur ribawi, gharar danmaisyir. Selain itu pihak merchant wajib
memastikan bahwa barangnya telah adaatau segera dibuatkan dan siao
dikirim sesuai dengan janji yang telah ia postingpada toko virtualnya
(web).
14
3. Al ‘aqidaian (pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian)
Pihak-pihak yang melaksanakanperjanjian (subyek hukum)
adalahmanusia dan badan hukum. Dalam halsubyek hukum ini maka hal
yang perludiperhatikan yaitu kecakapan bertindak (ahliyah),
kewenangan (wilayah) danperwakilan (wakalah). Apabila hal
initerpenuhi maka perjanjian yang dibuatnya mempunyai nilai hukum
yang dibenarkan syara’12.
Pelaku perjanjian (jual beli online)disyaratkan harus mukhallaf
(aqilbaligh, berakal, sehat, dewasa/bukan mumayyid dan cakap hukum).
Jadi tidak sah perjanjian (jual beli online) apabila dilakukan oleh anak-
anak dan orang gilaserta orang-orang yang berada di
bawahpengampuan. Para ahli hukum Islam sepakat bahwa batasan
umur pelakuperjanjian diserahkan kepada ‘urf (adat) setempat dan atau
perundang-undanganyang berlaku dalam suatu negara13.
Dalam hukum Islam dikenalorang-orang yang tidak cakap
bertindakdalam hukum yang disebut sebagai assyuf’ah/ mahjur ‘alaih
(tidak cakapbertindak), yaitu orang yang tidak sempurna akalnya dalam
hal memelihara hartanya dan kebaikan tasharruf padanya, dalam hal ini
anak-anak yang belum dewasa, orang gila dan orang yang selalu
membuat mubazir dalam hidupnya.14
Dalam transaksi online yang dilakukan oleh manusia sebagai
subyek hukum adalah sah sepanjang ia adalah orang-orang yang cakap
menurut syara’, namun karena antara merchant dan buyer tidak
bertatap muka secara langsung maka kemungkinan untuk terjadinya
penipuan (tadlis) mengenaiusia sangat potensial. Apabila hal initerjadi
maka, pihak yang dirugikan (merchant) dapat membatalkan perjanjian
kepada pihak yang berwenangatau pengadilan. Menurut Abdul Halim
12DR.H. Abdul Manan, SH.,SIP., M.Hum, Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syariah, Varia
Peradilan, Majalah Hukum Tahun Ke XX1 No.247 Juni 2006, hlm.42
13Heri Sudarsono, 2003, Konsep Ekonomi aIslam Suatu Pengantar, Penerbit Ekonisia FE-UII,
Yogyakarta, Hlm.6
14Heri Sudarsono, 2003, Konsep Ekonomi aIslam Suatu Pengantar, Penerbit Ekonisia FE-UII,
Yogyakarta, hlm. 41
15
Mahmud alBa‟ly, sebagaimana dikutip oleh AbdulManan, bahwa
penipuan (tadlis) adatiga macam15 yaitu :
1. Penipuan yang berbentuk perbuatanyaitu menyebutkan sifat yang
tidaknyata pada obyek perjanjian.
2. Penipuan yang berupa ucapan, sepertiberbohong yang dilakukan
oleh satupihak agar pihak lain mau melakukanperjanjian. Penipuan
juga dapat terjadipada harga barang yang dijual denganmenipu
memberi penjelasan yangmenyesatkan.
3. Penipuan dengan menyembunyikancacat pada obyek perjanjian
padahal iasudah mengetahui kecacatan tersebut.
15Heri
Sudarsono, 2003, Konsep Ekonomi aIslam Suatu Pengantar, Penerbit Ekonisia FE-UII,
Yogyakarta, hlm. 6
16
hukum dari suatu perjanjian harus diketahui melalui syara’ (hukum
Islam)dan harus sejalan dengan kehendaksyara’, sehingga apabila
tujuannya bertentangan dengan syara’ adalah tidaksah sehingga tidak
menimbulkan akibathukum. Menurut Ahmad Azhar Basyir,
sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan, syarat sah dari suatu
perjanjian16 adalah:
1) Tujuan perjanjian tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas
pihak-pihak yang bersangkutan tanpa perjanjian yang diadakan,
tujuan hendaknya baru ada pada saat aqad diadakan. Misalnya
perjanjian ijarah (perjanjian kerja) yang diadakan antarauami istri
untuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Perjanjian ini tidak
sahsebab tujuan perjanjian telah menjadi kewajiban istri untuk
melakukan pekerjaan itu menurut ketentuan agama,walaupun tanpa
adanya perjanjian tersebut.
2) Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan
perjanjian. Misalnya dalam perjanjiansewa-menyewa rumah dalam
jangkawaktu dua tahun, tujuannya untuk mengambil manfaat dari
perjanjian tersebut, jika manfaat tidak tercapai maka perjanjian
menjadi rusak sejaktu juannya hilang.
3) Tujuan perjanjian harus dibenarkan syara’, jika syarat ini tidak
terpenuhi maka perjanjian tidak sah. Misalnya perjanjian riba. Dalam
transaksi online, tujuan yang hendak dicapai merchant adalah
memperoleh sejumlah uang, sedang kanbagi buyer tujuannya adala
mendapatkan barang/jasa yang ditawarkan, sehingga akibat
hukumnya adalah kedua belah pihak memiliki kewajiban untuk
serah terima uang dengan barang/jasa. Jika masing-masingpihak
telah melaksanakan hak dankewajibannya tersebut maka
inidibenarkan syara‟, namun jika masingmasingpihak atau salah
satunya ada itikad yang tidak baik untuk tidak melaksanakan hak
atau kewajibannya atau dengan kata lain ada unsur penipuan
16DR.H. Abdul Manan, SH.,SIP., M.Hum, Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syariah, Varia
Peradilan, Majalah Hukum Tahun Ke XX1 No.247 Juni 2006, hlm. 43
17
(tadlis) dan tipu muslihat (taghir), inilah yang bertentangan dengan
syara’ sehingga tidak diperbolehkan.
Hal yang bertentangan dengan syara’ tersebut misalnya pihak
merchant tidak mengirimkan barang yang di order atau apabila
mengirimkan ternyata tidak sesuai sebagaimana yang telah di posting,
atau ternyata barang yang dikirim ada cacatnya. Demikian juga jika
pihak buyer tidak mengirimkan uang pelunasan atas barang yang ia
order, misalnya dalam tata cara pembayaran pihak merchant membuat
keleluasaan peraturan (trik ini biasa digunakan sebagai upaya untuk
menarik minat pembeli namun rawan disalah gunakan oleh buyer)
bahwa barang akan dikirim setelah buyer membayar 50% dan sisa
pembayarannya dilunasi apabila buyer telah menerima barang tersebut.
18
Secara umum, jual beli dengan sistem kredit diperbolehkan oleh syariat.
Hal ini berdasarkan pada beberapa dalil, di antaranya adalah:
1. Firman Allah Ta’ala:
َ ٰيأَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ِإ َذا ت َ َدا َي ْنت ُ ْم بِ َدي ٍْن ِإ ٰلى أ َ َج ٍل ُّم
ُس ًّمى فَا ْكتُب ُْوه
Rambu-Rambu Kredit
1. Obyek jual beli bukan komoditi ribawi yang sejenis dengan alat tukar
Sebagaimana sudah ma’ruf bahwa para ulama membagi komoditi ribawi
menjadi dua kelompok. kelompok pertama adalah kategori barang yang
menjadi alat tukar atau standar harga, seperti; emas, perak, uang, dll.
Dan kelompok yang kedua adalah kategori bahan makanan pokok yang
tahan lama, seperti; gandum, kurma, beras, dll.
19
Hal yang perlu diketahui bahwa akad barter atau jual beli antara
dua komoditi ribawi yang masih dalam satu kelompok (misalkan emas
dengan uang, atau gandum dengan kurma) harus dilakukan secara
tunai. Artinya tidak boleh ada kredit di dalamnya (harus kontan) agar
tidak terjadi praktik riba nasi’ah.
Dasarnya adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
ير َوالت َّ ْم ُر ِّبالت َّ ْم ِّر َو ْال ِّم ْل ُح ِّب ْال ِّم ْلحِّ ربا ا إَّل َّ ير ِّبال
ِّ ش ِّع َّ ض ِّة َو ْالب ُُّر ِّب ْالب ُِّر َوال
ُ ش ِّع َّ ضةُ ِّب ْال ِّف
َّ ب َو ْال ِّف
ِّ َب ِّبالذَّ َه ُ الذَّه
ِّمثْ اًل ِّب ِّمثْ ٍل
18 Al-Mughni: 3/306
20
Diriwayatkan di dalam sebuah hadis dari Ibnu ‘Umar
mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli
hutang dengan hutang.” (HR. Hakim: 2343)
Imam Al Hakim menilai hadis ini sebagai hadis yang shohih
sesuai syarat Muslim, akan tetapi kebanyakan ulama menilai hadis ini
sebagai hadis yang lemah, tidak bisa dijadikan dalil 19. Meskipun
demikian mereka bersepakat untuk menerima maknanya. Sebagaimana
perkataan Ibnul Mundzir yang dinukilkan oleh Ibnu Qudamah, beliau
mengatakan, “Para ahli ilmu telah bersepakat bahwa jual beli hutang
dengan hutang tidak diperbolehkan. Imam Ahmad mengatakan, “Ini
adalah ijma’.”20
Di antara hal penting yang perlu kita ketahui juga adalah akad jual
beli kredit dengan harga ganda. Ilustrasinya adalah sebagai berikut:
Seorang penjual menawarkan barang dagangan kepada para pembeli
dengan beberapa penawaran harga. Jika dibayar secara kontan maka
harganya sekian rupiah (satu juta misalnya), akan tetapi jika dibayar secara
kredit maka harganya sekian (dua juta misalnya), dst.
19Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Para pakar hadis melemahkan hadis ini.” (Nailul Authar:
5/164-165). Syaikh Albani juga menilai hadis ini sebagai hadis dho’if (lihat Dha’if Al Jami’ : 6061)
20 Al- Mughni/ Ibnu Qudamah, penerjemah, ( Jakarta : Pustaka Azzam 2008) hlm. 306
21
Pendapat ini berdasarkan kaidah dalam muamalah bahwa hukum
asal setiap perniagaan adalah halal. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah
ta’ala dalam firman-Nya,
Oleh karena itu selama tidak ada dalil yang valid nan tegas yang
mengharamkan praktik semacam ini, maka perniagaan tersebut halal atau
boleh dilakukan.
Dan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa akad jual beli
seperti ini tidak boleh5. Pendapat ini didukung oleh sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
َ – سلَّ َم
ع ْن بَ ْيعَتَي ِّْن فِّي بَ ْيعَ ٍة َ علَ ْي ِّه َو َّ صلَّى
َ َُّللا ُّ ِّنَ َهى النَّب
َ –ي
22
Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang pertama yang
mengatakan bolehnya transaksi seperti ini. Sebab penafsiran yang lebih
tepat sebagaimana disampaikan oleh Ibnul Qayyim dan yang lainnya21,
bahwa makna hadits ini ialah larangan dari jual beli sistem ‘inah. Yaitu
seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran
dihutang dengan syarat sang penjual membelinya kembali dengan harga
yang lebih mahal secara kredit.
Pada hakikatnya di dalam kasus jual beli di atas tidak terjadi dua
transaksi, sebab meskipun ada variasi harga akan tetapi sang pembeli
hanya memilih salah satu harga saja. Itu artinya harga yang disepakati oleh
penjual dan pembeli hanya satu saja, bukan ganda. Sedangkan yang dilarang
di dalam hadis di atas adalah jual beli dengan akad ganda.
21 Tahdzibus Sunan
23
Catatan Penting
24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pertama, jual beli adalah sebuah transaksi antara penjual dan pembeli
yang melakukan tukar menukar barang dengan barang atau sesuatu yang lain
atau sesuai dengan metode pembayaran yang berlaku berdasarkan tata cara
dan akad tertentu.
Kedua, rukun jual beli konvensional ada empat yaitu muta’aqidain, ijab
kabul, barang yang diperjual belikan dan nilai tukar. Sedangkan syaratnya
meliputi syarat orang yang berakad, yang terikat dengan ijab kabul, barang
yang diperjual belikan dan harga barang.
Ketiga, jual beli borongan sah dilakukan apabila memenuhi beberapa
syarat yaitu: Harga per takaran sudah ditentukan di muka, pihak yang membeli
mengetahui dengan pasti kondisi barang yang hendak ditebasnya, orang yang
melakukan adalah sudah mahir dalam urusan memborong
Keempat, Jual beli melalui melalui media online adalah sah menurut
syara’ (hukum Islam) sepanjang memenuhi empat kriteria yaitu Sighat,
Mahallul aqd, Al aqidaian, tujuan kontrak dan akibatnya, yaitu kewajiban buyer
untuk membayar harga yang telah ia setujui dan kewajiban merchant mengirim
barang yang telah di order oleh buyer dalam kondisi baik dan tanpa cacat,
bebas dari penipuan (tadlis) dan tipu muslihat (taghir).
Kelima, jual beli dengan sistem kredit diperbolehkan oleh syariat,
Meskipun pada dasarnya jual-beli kredit adalah diperbolehkan, akan tetapi ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi praktisi jual beli kredit. Di
antaranya adalah: obyek jual beli bukan komoditi ribawi yang sejenis dengan
alat tukar, hindari penundaan serah terima barang.
25
B. Kritik dan Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun sangat penulis butuhkan untuk
memperbaiki makalah ini.
26
DAFTAR PUSTAKA
Petuk)
Manan, Abdul, Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syariah, Varia Peradilan,
Persada, 2002)
FE-UII, 2003)
Tahdzibus Sunan
27