Anda di halaman 1dari 9

Ba’I al-Murabahah

A. Pengertian

Secara etimologi murabahah berasal dari kata Ar-Ribhu yang berati ‫( الَّنَم اُء‬An-
namaa) yang berarti tumbuh dan berkembang dalam perniagaan. Sedangkan murabahah
menurut istilah yaitu jual beli benda dengan alat tukar disertai tambahan laba yang telah
ditentukan. Menurut al-Nawawi murabahah yaitu Suatu akad harga barang merupakan
harga pembelian (pertama) disertai adanya tambahan.

Ulama Hanafiah mendefinisikan dengan mengatakan, pemindahan sesuatu yang


dimiliki dengan akad awal dan harga awal disertai tambahan keuntungan. Menurut
ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah, murabahah adalah jual beli dengan harga pokok atau
harga perolehan penjual ditambah keuntungan satu dirham pada setiap sepuluh dinar.
Atau semisalnya, dengan syarat kedua belah pihak yang bertransaksi mengetahui harga
pokok.

Ba’I Murabahah adalah kegiatan yang berbentuk jual beli, dimana barangnya
diterima didepan, sementara pembayaran kemudian (ditangguhkan). Dalam murabahah
pihak penjual mendapatkan margin yang telah disepakati oleh kedua belah pihak
sebelum terjadi akad/perjanjian. Sistem pembiayaan ini sangat tepat untuk memenuhi
kebutuhan nasabah terhadap barang-barang modal.

Apabila si penjual berkata bahwa harga barang ini adalah sekian dan saya jual
dengan keuntungan bagi harga sepuluh adalah sebelas tetapi hal-hal lain tidak dijelaskan
secara detail saat akad, maka aqadnya fasid (rusak) karena pembeli tidak mengetahui
berapa modal yang disertai labanya.35 Fasidnya jual beli tersebut akibat adanya
kesamaran dimana penjual hanya menyebutkan sebagian dari transaksi, tidak dijelaskan
seluruhnya.

B. Landasan Hukum

Murabahah merupakan suatu akad yang dibolehkan secara syar’i serta didukung
oleh mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in serta ulama-ulama dari berbagai
mazhab dan aliran.

Dasar hukum bagi ulama yang membolehkan jual beli murabahah adalah ayat al-
Quran surat al-Baqarah ayat 275 dan surat An-nisa ayat 29;
‫َو َاَح َّل ُهّٰللا اْلَبْيَع َو َح َّر َم الِّر ٰب وۗا‬...

" ... dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba." (Q.S Al

Baqarah: 275)

‫ْأ‬ ‫ٰا‬ ‫ٰٓي‬


‫َاُّيَها اَّلِذ ْيَن َم ُنْو ا اَل َت ُك ُلْٓو ا َاْم َو اَلُك ْم َبْيَنُك ْم ِباْلَباِط ِل ِآاَّل َاْن َتُك ْو َن ِتَج اَر ًة َع ْن َتَر اٍض‬
‫ِّم ْنُك ْم‬
" Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (Q.S An-Nisa: 29)

Dalam dua ayat ini, Allah mempertegas legalitas dan keabsahan jual beli secara
umum serta menolak dan melarang konsep ribawi. Berdasarkan dari ketentuan ini jual
beli murabahah mendapat pengakuan dan legalitas syariah, dan sah untuk dijalankan
dalam praktek pembiayaan bank syariah karena ia merupakan salah satu bentuk jual beli
dan tidak mengandur unsur ribawi.

Dijelaskan juga dalam hadis Nabi Muhammad SAW;

“Dari Abu Sa'id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya jual
beli itu harus dilakukan suka sama suka." (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan
dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).

“Nabi bersabda, „Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai,
muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk
keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).

Hadits diatas memberikan prasyarat bahwa akad jual beli murabahah harus
dilakukan dengan adanya kerelaan masing- masing pihak ketika melakukan transaksi.
Segala ketentuan yang terdapat dalam jual be li murabahah, seperti penentuan harga
jual, margin yang diinginkan, mekanisme pembayaran, dan lainnya, harus terdapat
persetujuan dan kerelaan antara pihak nasabah dan bank, tidak bisa ditentukan secara
sepihak.

C. Syarat Jual Beli Murabahah

Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam jual beli murabahah yaitu:


1. Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah
2. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
3. Kontrak harus bebas dari riba.
4. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang
sesudah pembelian.
5. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian,
misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.

Jika penjual melakukan penipuan serta menyembunyikan kondisi produk yang tidak
disukai pembeli, maka pembeli dapat memilih antara melanjutkan jual beli atau
mengembalikan barang, penjual tidak dapat memaksanya.

Ba’I Salam

A. Pengertian

Kata salam berasal dari kata at-taslîm (‫)الَّتْس ِلْيم‬. Kata ini semakna dengan as-salaf (
‫ )الَّس َلف‬yang bermakna memberikan sesuatu dengan mengharapkan hasil dikemudian
hari.

Menurut syafi’iyah salam ialah:

‫ُهَو َع ْقٌد َع َلى َم ْو ُصْو ٍف ِبِذ مٍة ُم َؤ جٍل ِبَثَمٍن َم ْقُبْو ٍض ِبَم ْج ِلِس اْلَع ْقِد‬
Artinya: “Akad yang disepakati dengan menetukan ciri-iri tertentu dengan
membayar harganya lebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian
dalam suatu majelis akad”.

Menurut para Ulama, definisi bai’us salam yaitu jual beli barang yang disifati
(dengan kriteria tertentu/spek tertentu) dalam tanggungan (penjual) dengan pembayaran
kontan dimajlis akad. Dengan istilah lain, bai’us salam adalah akad pemesanan suatu
barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat
akad berlangsung.

Dengan demikian, bai’us salam memiliki kriteria khusus bila dibandingkan dengan
jenis jual beli lainnya, diantaranya:
1. Pembayaran dilakukan didepan (kontan di tempat akad), oleh karena itu jual beli
ini dinamakan juga as-salaf.
2. Serah terima barang ditunda sampai waktu yang telah ditentukan dalam majlis
akad.

Barang-barang non-fungible seperti batu mulia, lukisan berharga, dan lain-lain yang
merupakan barang langka tidak dapat dijadikan objek salam (Al-Omar dan Abdel-Haq,
1996). Risiko terhadap barang yang diperjualbelikan masih berada pada penjual sampai
waktu penyerahan barang. Pihak pembeli berhak untuk meneliti dan dapat menolak
barang yang akan diserahkan apabila tidak sesuai dengan spesifikasi awal yang
disepakati.

B. Hukum Bai’us Salam (Jual Beli Sistem Pesan)

Jual beli sistem ini diperbolehkan dalam syariat Islam. Ini berdasarkan dalil-dalil
dari al-Qur`ân dan sunnah serta ijma dan juga sesuai dengan analogi akal yang benar
(al-qiyâsush shahîh).

1. Dalam al-Qur`ân, Allah Azza wa Jalla berfirman:

‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا ِإَذ ا َتَداَيْنُتْم ِبَد ْيٍن ِإَلٰى َأَجٍل ُمَس ًّم ى َفاْك ُتُبوُه‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang telah ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.
[al-Baqarah/2:282].

Firman Allâh Azza wa Jalla diatas, yang artinya, “apabila kamu


bermu’amalah tidak dengan secara tunai,” bersifat umum, artinya meliputi
semua yang tidak tunai, baik pembayaran maupun penyerahan barang. Apabila
yang tidak tunai adalah penyerahan barang maka itu dinamakan bai’us salam.

2. Dalam hadits Abdullâh bin Abbâs Radhiyallahu anhu diriwayatkan:

‫ َم ْن َأْس َلَف ِفى َتْم ٍر َفْلُيْس ِلْف‬: ‫َقِد َم الَّنِبُّى َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم اْلَم ِد يَنَة َو ُهْم ُيْس ِلُفوَن ِفى الِّثَم اِر الَّسَنَة َو الَّسَنَتْيِن َفَقاَل‬
‫ِفى َكْيٍل َم ْع ُلوٍم َو َو ْز ٍن َم ْع ُلوٍم ِإَلى َأَجٍل َم ْع ُلوٍم‬

Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, penduduk


Madinah telah biasa memesan buah kurma dengan waktu satu dan dua tahun.
maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa memesan
kurma, maka hendaknya ia memesan dalam takaran, timbangan dan tempo yang
jelas (diketahui oleh kedua belah pihak).” [Muttafaqun ‘alaih]

3. Para Ulama telah berijmâ’ (berkonsensus) tentang kebolehan bai’us salam


ini,

Seperti diungkapkan Ibnu al-Mundzir rahimahullah dalam al-Ijma’, hlm. 93.


Ibnu Qudâmah rahimahullah menguatkan penukilan ijma’ ini. Beliau
rahimahullah menyatakan, “Semua ulama yag kami hafal sepakat menyatakan
as-salam itu boleh.”

C. Rukun dan Syarat Ba’I Salam

Jual beli ini memiliki tiga rukun yaitu:

1. Ada transaktor, yaitu al-muslim dan al-muslam ilaihi


2. Ada modal as-salam (ra’su mâlis salam).
3. Ada shighah (akad) yaitu ijab dan qabûl, baik tertulis maupun terucap.

Disamping rukun, untuk keabsahan jual beli salam, para Ulama menetapkan syarat-
syarat sah. Secara garis besar, para Ulama menggolongkan syarat-syarat ini menjadi
enam yaitu:

1. Pihak yang berakad: Ridha dua belah pihak dan tidak ingkar janji serta
Cakap hukum
2. Barang/Hasil Produksi/Muslam Fiih
a. Hasil produksi yang akan dibeli (dipesan) harus jelas seperti, jenis,
ukuran (tipe), mutu dan jumlahnya.
b. Hasil produksi tersebut tidak termasuk dalam kategori yang
dilarang syara (najis, haram, samar (tidak jelas), atau menimbulkan
kemudharatan (menimbulkan maksiat).
3. Harga/ Ra’su Al Maal As Salam
a. Harga jual dan masa penyerahannya harus jelas dan dicantumkan
dalam perjanjian dan tidak boleh berubah.
b. Modal yang diberikan dalam bentuk barang atau manfaat harus
diukur berdasarkan nilai wajarnya (fair value) dari barang atau
manfaat yang akan diberikan kepada nasabah.
c. Pembayaran Salam harus diakui pada saat modal Salam dibayarkan
kepada Muslam Ilaihi.
4. Sistem pembayaran dan jangka waktunya disepakati bersama.

Ba’I Istisna

A. Pengertian

Kata istishna’ berasala dari kata shana’a yang berarti membuat. Istishna’ merupakan
salah satu bentuk dari jual beli Salam. Hanya saja obyek yang diperjanjikan berupa
manufacture order atau kontrak produksi. Istishna’ didefinisikan dengan kontrak
penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini pembuat barang
(shani) menerima pesanan dari pembeli (Mustashni’) untuk membuat barang dengan
spesifikasi yang telah disepakati kedua belah pihak yang bersepakat atas harga serta
sistem pembayaran yang dilakukan dimuka melalui cicilan atau ditangguhkan sampai
waktu yang akan datang.

Bai’ al istishna’ hampir sama dengan bai’ as salam, yaitu kontrak jual-beli dimana
harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal
dan syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi
dan diserahkan kemudian.

B. Dasar Hukum

Substansi dan bentuk Bai’al Istishna’ sama dengan bai’ salam maka dasar
hukumnya sama, adapun dasar hukum yang pertama firman Allah dalam surat al-
Baqarah ayat 282 yaitu,

‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا ِإَذ ا َتَداَيْنُتْم ِبَد ْيٍن ِإَلٰى َأَجٍل ُمَس ًّم ى َفاْك ُتُبوُه‬
Artinya: “Wahai orang – orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang di tentukan, hendaklah kamunmenuliskanya” (QS. Al-
Baqarah 282).

Ayat di atas jelas hukum mubahnya dan perlunya ada catatan yaitu kata istilah
sekarang dengan tata administrasi atau pembukuan, seperti kuitansi dan buku-buku
lainnya yang di perlukan untuk ketertiban dan terjaminya lupa atau perbuatan penipuan,
serta dalam jual beli hendaknya waktu untu pembayaran itu ditentukan.

C. Syarat istishna‟
Ulama fikih mengemukakan syarat yang ketat sebagai berikut:

1. Objek akad itu harus dijelaskan secara rinci, baik jenisnya, ukurannya, maupun
sifatsifatnya. Syarat ini sangat penting untuk bisa menghilangkan unsur al-
jahalah (sulit diidentifikasi) yang membuat akad ini bisa batal. Apabila salah
satu unsur ini tidak jelas, maka akadnya tidak sah.
2. Objek akad ini merupakan sesuatu yang telah biasa dilakukan melalui akad
istishna‟ oleh masyarakat, seperti pesan sepatu, peralatan untuk hewan
tunggangan, dan peralatan dapur. Oleh sebab itu, menurut Ahmad al-Hajji al-
Kurdi, ahli fikih kontemporer dari Suriah, jenis barang yang menjadi objek akad
istishna‟ bisa berkembang, sesuai dengan kebutuhan masyarakat banyak.
3. Akad ini tidak mempunyai tenggang waktu pesanan, karena apabila akad ini
dibatasi dengan tenggang waktu tertentu, menurut Imam Abu Hanifah, akad ini
berubah menjadi jual beli salam dan berlakulah bagi akad ini seluruh syarat jual
beli salam. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, tenggang waktu dalam akad
istishna‟ harus jelas, akad istishna‟ sama dengan akad al-bay‟ as-salam (jual
beli pesanan)

Ba’I Sharf
A. Pengertian Al-sharf
Al-sharf secara etimologi artinya Al-Ziyadah (penambahan), Al-‘Adl (seimbang),
penghindaran atau transaksi jual beli. Sharf adalah jual beli suatu valuta dengan valuta
asing.

Menurut istilah fiqh, Ash-Sharf adalah jual beli antara barang sejenis atau antara
barang tidak sejenis secara tunai. Seperti memperjual belikan emas dengan emas atau
emas dengan perak baik berupa perhiasan maupun mata uang. Praktek jual beli antar
valuta asing (valas), atau penukaran antara mata uang sejenis.

B. Rukun dan Syarat Al-Sharf


Rukun dari akad sharf yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa hal, yaitu :

1. Pelaku akad, yaitu ba’I (penjual) adalah pihak yang memiliki valuta untuk
dijual, dan musytari (pembeli) adalah pihak yang memerlukan dan akan
membeli valuta
2. Objek akad, yaitu sharf (valuta) dan si’rus sharf (nilai tukar)
3. Shighah yaitu ijab dan qabul
Sedangkan syarat dari akad sharf, yaitu:

1. Valuta (sejenis atau tidak sejenis) apabila sejenis, harus ditukar dengan jumlah
yang sama. Apabila tidak sejenis, pertukaran dilakukan sesuai dengan nilai
tukar.
2. Waktu penyerahan (spot).
3. Al-Tamatsul (Sama rata)
4. Tidak mengandung akad khiyar syarat

C. Dasar Hukum Ash-Sharf


1. Menurut Al-quran
Dalam Al-quran tidak ada penjelasan mengenai jual beli sharf itu sendiri, melainkan
hanya menjelaskan dasar hukum jual beli pada umumnya yang terdapat dalam surat Al-
Baqarah ayat 275, yaitu:

‫اَّلِذ يَن َيْأُك ُلوَن الِّر َبا اَل َيُقوُم وَن ِإاَّل َك َم ا َيُقوُم اَّلِذ ي َيَتَخَّبُطُه الَّش ْيَطاُن ِم َن اْلَم ِّس ۚ َٰذ ِلَك ِبَأَّنُهْم‬
‫َقاُلوا ِإَّنَم ا اْلَبْيُع ِم ْثُل الِّر َباۗ َو َأَح َّل ُهَّللا اْلَبْيَع َو َح َّر َم الِّر َباۚ َفَم ْن َج اَءُه َم ْو ِع َظٌة ِم ْن َر ِّبِه َفاْنَتَهٰى‬
‫َفَلُه َم ا َس َلَف َو َأْم ُر ُه ِإَلى ِهَّللاۖ َو َم ْن َعاَد َفُأوَٰل ِئَك َأْص َح اُب الَّناِر ۖ ُهْم ِفيَها َخ اِلُد وَن‬

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan


seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya.
2. Menurut Al-Hadis
Para Fuqaha mengatakan bahwa kebolehan melakukan praktek sharf didasarkan
pada sejumlah hadis Nabi yang antara lain pendapat:

Dari Ubadah bin Shamit r.a Nabi SAW. Berkata, “Emas dengan emas, perak dengan
perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam
dengan garam, hendaklah sama banyaknya, tunai dan timbang terima. Apabila
berlainan jenisnya boleh kamu jual kehendakmu asal tunai.”

Anda mungkin juga menyukai