Anda di halaman 1dari 16

Di zaman online ini, model bisnis dengan teknik dropship menjadi marak.

Karena
pesatnya media komunikasi membuat proses bisnis dropship ini menjadi lebih mudah.
Namun bagaimana hukum bisnis dengan cara dropship dalam Islam?

Baca Juga:Renungan Untuk Para Pelaku Bisnis

Definisi Dropship
Dropship sebenarnya kependekan dari drop-shipping. Ia adalah metode jual-beli yang
dilakukan oleh seorang retailer ketika ia dalam hal ini tidak memiliki barang di
tempatnya, namun ia meneruskan pesanan dari pembeli kepada pemilik barang.
Sebagaimana disebutkan oleh Wikipedia:

Drop shipping is a supply chain management method in which the retailer does not keep
goods in stock but instead transfers the customer orders and shipment details to either
the manufacturer, another retailer, or a wholesaler, who then ships the goods directly to
the customer. (Sumber: Wikipedia).

Retailer biasanya menjual barang dengan memberikan deskripsi barang kepada calon
pembeli. Baik berupa tulisan, gambar atau secara lisan. Kemudian retailer akan
mendapatkan keuntungan dari selisih harga antara harga dari pemilik barang dengan
harga yang diterapkan kepada konsumen.

Maka, dari sini kita bisa simpulkan beberapa poin:

1. Dropship dilakukan oleh retailer


2. Retailer tidak memiliki barang
3. Retailer memberikan deskripsi barang kepada calon pembeli
4. Retailer meneruskan pesanan kepada pemilik barang
5. Barang dikirimkan kepada pembeli bisa jadi dari produsen, atau dari wholesale,
atau dari retailer itu sendiri.

Dalam praktiknya, model transaksi dropship ada beberapa macam namun sifat-sifat ini
umumnya ada dalam semua model dropship yang dipraktekkan masyarakat.

Baca Juga: Transaksi Jual Beli Hutang Dengan Hutang

Beberapa Pendekatan Fikih


Untuk menentukan hukum fikih mengenai metode transaksi dropship ini, maka perlu
didefinisikan dulu akad apa yang terjadi dalam transaksi dropship. Dan ada beberapa
pendekatan yang memungkinkan dalam hal ini. Yaitu sebagai berikut:

1. Akad Samsarah (makelar)


Akad samsarah kita kenal dengan istilah makelar atau keagenan. Definisi akad samsarah
dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah (10/151):

‫ الذي‬: ‫ والسمسار هو‬, ‫ بين البائع والمشتري‬E‫ هي التوسط‬: ‫السمسرة‬


‫ وهو المسمى‬, ‫يدخل بين البائع والمشتري متوسطا ً إلمضاء البيع‬
‫ ويدل البائع على األثمان‬, ‫ ألنه يدل المشتري على السلع‬, E‫الدالل‬
“Samsarah adalah perantara antara penjual dan pembeli. Simsar adalah orang yang
menjadi penengah antara penjual dan pembeli untuk menjalankan proses transaksi.
Disebut juga dallal, karena ia mengantarkan pembeli kepada barang yang ia cari, dan
mengantarkan penjual kepada penjualan”.

Akad samsarah ini dibolehkan dalam syariat. Al Bukhari mengatakan dalam Shahih
Bukhari:

‫ن‬Eُ ‫ين َو َعطَا ٌء َوِإب َْرا ِهي ُم َو ْال َح َس‬ َ ‫ير‬ِ ‫ َولَ ْم يَ َر اب ُْن ِس‬. ‫ة‬Eِ ‫بَاب َأجْ ِر ال َّس ْم َس َر‬
‫ بِ ْع هَ َذا‬: ‫س َأ ْن يَقُو َل‬ َ ‫ ال بَْأ‬: ‫س‬ Eٍ ‫ َوقَا َل اب ُْن َعبَّا‬. ‫ار بَْأسًا‬ ِ ‫بَِأجْ ِر ال ِّس ْم َس‬
‫ ِإ َذا قَا َل‬: ‫ين‬ َ ‫ير‬ِ ‫ْن ِس‬Eُ ‫ َوقَا َل اب‬. ‫ك‬ َ َ‫ب فَ َما َزا َد َعلَى َك َذا َو َك َذا فَه َُو ل‬ َ ‫الثَّ ْو‬
. ‫س بِ ِه‬ َ ‫ك فَاَل بَْأ‬ َ َ‫ َأ ْو بَ ْينِي َوبَ ْين‬، ‫ك‬ َ َ‫ْح فَه َُو ل‬ ٍ ‫ان ِم ْن ِرب‬ َ ‫بِ ْعهُ بِ َك َذا فَ َما َك‬
ِ ‫ون ِع ْن َد ُشر‬
) ‫ُوط ِه ْم‬ Eَ ‫ ( ْال ُم ْسلِ ُم‬: ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ‫َوقَا َل النَّبِ ُّي‬
“Bab akad samsarah. Dibolehkan oleh Ibnu Sirin, Atha’, Ibrahim, dan Al Hasan. Ibnu
Abbas mengatakan: tidak mengapa seorang berkata: jualkanlah baju ini, kelebihannya
sekian-sekian silakan engkau ambil. Ibnu Sirin mengatakan: jika seseorang berkata:
jualkanlah barang ini dengan harga sekian, keuntungannya sekian menjadi milikmu, atau
antara engkau dan aku bagiannya sekian, maka ini tidak mengapa. Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: kaum Muslimin wajib menepati syarat-syarat
yang mereka sepakati”.

Baca Juga: Adakah Batasan Mencari Untung dalam Jual Beli?

Para ulama ijma tentang bolehnya samsarah dengan nilai komisi yang fixed. Semisal
seorang mengatakan, “silakan jualkan rumah ini, komisimu 50 juta rupiah”. Karena ini
komisi yang ma’lum (diketahui). Namun mereka khilaf mengenai samsarah dengan
komisi berupa nisbah (prosentase). Jumhur ulama melarangnya karena termasuk gharar.
Imam Malik mengatakan:

ِّ‫ «بِ ْعها ولك كذا وكذا في ُكل‬:‫ له‬E‫فأ َّما الرجل يُ ْعطَى السلعةَ فيقال‬
َ َ‫فإن ذلك ال يصلح؛ ألنه ُكلَّما نَق‬
‫ص دينا ٌر ِمن‬ َّ ‫دينار» لشي ٍء يُ َس ِّميه‬
ٍ
‫ص ِمن حقِّه الذي َس َّمى له؛ فهذا غر ٌر ال يدري كم‬
َ َ‫ثَ َم ِن السلعة نَق‬
‫َج َعل له‬
“Adapun seseorang yang memberikan barang lalu mengatakan: silakan jualkan barang ini
lalu dari setiap 1 dinar, keuntunganmu sekian persen. Maka ini tidak diperbolehkan.
Karena setiap kali harga barang turun maka turun juga komisinya. Maka ini gharar, ia
(makelar) tidak mengetahui berapa yang akan didapatkannya” (Al Muwatha, 2/685).

Maka transaksi dropship bisa disebut samsarah jika memenuhi kriteria berikut:

1. Retailer atau dropshipper berlaku sebagai simsar (makelar) yang ia menjadi


penengah antara penjual dan pembeli.
2. Harga jual sesuai kesepakatan antara penjual dan makelar. Makelar tidak boleh
mengubah harga di luar kesepakatan.
3. Komisi dari penjual haruslah komisi yang fixed, bukan berupa persentase dari
harga barang.

Jika transaksi dropship memenuhi syarat ini maka hukumnya boleh.

2. Akad Salam

Akad salam atau disebut juga akad salaf adalah jual beli yang didasari dari deskripsi
barang, belum berupa yang nyata, dengan pembayaran di awal. Disebutkan dalam Fiqhus
Sunnah (3/171):

‫ بيع شيئ موصوف في الذمة بثمن معجل‬E:‫السلم‬


“Akad salam adalah jual beli suatu barang yang disebutkan sifat-sifatnya dengan
penyerahan barang tertunda, namun pembayaran kontan di awal”.

Akad salam dibolehkan dalam syariat dengan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Dalil
dari Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman:

ُ‫م بِ َدي ٍْن ِإلَ ٰى َأ َج ٍل ُم َس ًّمى فَا ْكتُبُوه‬Eْ ُ‫ين آ َمنُوا ِإ َذا تَ َدايَ ْنت‬
َ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذ‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang telah ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.” (QS. Al-Baqarah: 282).

Ibnu Abbas radhiallahu’anhu mengatakan:

‫أشهد أن السلف المضمون إلى أجل مسمى قد أحله هللا في الكتاب‬


‫وأذن فيه‬
“Aku bersaksi bahwa akad salaf yang penyerahannya dilakukan dalam tempo tertentu
telah dihalalkan dan diizinkan oleh Allah dalam Al Qur’an (kemudian beliau membaca
ayat di atas)” (HR. Al Hakim, Al Baihaqi, dishahihkan Al Albani dalam Al Irwa
[1369]).

Dalil dari As Sunnah, dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, beliau berkata:

Eَ ُ‫قَ ِد َم النبي صلى هللا عليه و سلم ْال َم ِدينَةَ َوهُ ْم يُ ْسلِف‬
‫ْن‬Eِ ‫ون بِالتَّ ْم ِر ال َّسنَتَي‬
‫وم‬ ٍ ُ‫وم َو َو ْز ٍن َم ْعل‬ ٍ ُ‫ف في َش ْي ٍء فَفِي َكي ٍْل َم ْعل‬ َ َ‫ من َأ ْسل‬:‫ فقال‬.‫ث‬
َ ‫َوالثَّاَل‬
ٍ ُ‫إلى َأ َج ٍل َم ْعل‬
‫وم‬
“Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, penduduk Madinah ketika
itu sudah biasa memesan buah kurma dalam waktu dua atau tiga tahun. Maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa memesan sesuatu, maka hendaknya
ia memesan dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan tempo yang jelas”
(Muttafaqun ‘alaihi).

Contoh akad salam adalah sebagai berikut. Budi ingin membeli seekor kambing, maka ia
berkata kepada Anto: “Carikan saya kambing, warnanya putih, sehat, usianya lebih dari 2
tahun, dan gemuk. Silakan kamu cari dari penjual manapun, saya beli seharga 4 juta, ini
dia saya serahkan uangnya. Tolong serahkan kambingnya dalam 2 hari”.

Sebagaimana penduduk Madinah mereka memesan kurma dengan pembayaran di muka,


lalu kurma diserahkan 2 atau 3 tahun.

Syarat sahnya akad salam disebutkan dalam Al Mulakhas Al Fiqhi (283) :

1. Disebutkannya sifat-sifat dari musallam fihi (barang yang diperjual-belikan dalam


akad salam) secara rinci.
2. Disebutkan jenis dari musallam fihi
3. Disebutkan berat, takaran atau panjang dari musallam fihi
4. Disebutkan tempo batas akhir penyerahan musallam fihi
5. Musallam fihi harus merupakan barang yang dimungkinkan untuk didapatkan
dalam tempo yang disepakati
6. Penyerahan uang di muka secara kontan di majelis akad
7. Musallam fihi bukanlah barang yang mu’ayyan (aset pasif) seperti pohon, rumah
atau semisalnya. Karena barang seperti ini bisa jadi rusak sebelum batas tempo
penyerahan.

Baca Juga: Hukum Jual Beli Kucing

Dengan pendekatan ini, maka bisa kita lihat bahwa dropship bisa dimasukkan sebagai
akad salam. Retailer atau dropshipper sebagai musallim, barangnya sebagai musallam
fihi, dan dalam dropship retailer menyebutkan sifat-sifat dari barang. Namun syarat-
syarat agar dropship bisa dianggap sebagai akad salam adalah sebagai berikut:

1. Disebutkan sifat-sifat barang secara rinci beserta jenis dan ukurannya


2. Pembayaran harus kontan di muka
3. Harus disebutkan tempo batas akhir penyerahan barang
4. Barang bukan berupa aset pasif

Jika syarat-syarat ini dipenuhi maka dropship hukumnya boleh karena termasuk akad
salam.

3. Wakalah bil Ujrah

Wakalah artinya perwakilan. Disebutkan dalam Al Fiqhul Muyassar (232):

‫الوكالة تفويض شخص غيره ليقوم مقامه فيما تدخله النيابة‬


“Wakalah adalah seseorang mengutus orang lain untuk menggantikannya dalam urusan-
urusan yang bisa digantikan”.

Dan diantara urusan yang bisa diwakilkan adalah urusan jual beli. Diantara dalil bolehnya
wakalah dalam jual beli, firman Allah Ta’ala:

‫فَا ْب َعثُوا َأ َح َد ُك ْم بِ َو ِرقِ ُك ْم هَ ِذ ِه ِإلَى ْال َم ِدينَ ِة‬


“Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa
uang perakmu ini…” (QS. Al Kahfi: 19).

Juga dalam hadits Jabir radhiallahu’anhu, ia berkata:

‫ إذا‬E:‫ فقال النبي صلى هللا عليه و سلم‬.‫أردت الخروج إلى الخيبر‬
‫أتيت وكيلي فخذ منه خمسة عشر وسقا‬
“Aku berniat untuk pergi ke Khaibar, maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
jika engkau bertemu dengan wakilku, maka ambil darinya 15 wasaq…” (HR. Abu Daud
no. 3632, Ad Daruquthni, 4/155).

Juga dalam hadits Urwah bin Al Ja’d radhiallahu’anhu, ia berkata:

‫ يا‬:‫ فأعطاني دينارا فقال‬,‫عرض للنبي صلى هللا عليه و سلم جلب‬
‫ ائت الجلب فاشتر لنا شاة‬,‫عروة‬
“Ditawarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beberapa barang. Lalu Beliau
memberiku satu dinar dan bersabda: Wahai Urwah, datangilah barang-barang itu dan
belilah seekor kambing untuk kita.” (HR. Bukhari no. 3642).

Dan ulama ijma akan bolehnya wakalah dalam jual beli.

Baca Juga: Transaksi Jual-Beli Di Masjid

Namun dalam Al Fiqhul Muyassar (hal. 232) disebutkan syarat sah wakalah, yaitu
sebagai berikut :

1. Wakil (yang mewakilkan) dan muwakkil (yang diwakilkan) haruslah orang yang
baligh dan berakal
2. Wakalah terjadi pada perkara-perkara yang sah untuk diwakilkan
3. Tidak melakukan wakalah pada perkara-perkara yang merupakan hak Allah
seperti shalat dan wudhu
4. Batas kekuasaan wakil adalah sebatas yang diizinkan oleh muwakkil
5. Wakil tidak boleh menyerahkan mandat pada orang lain lagi, kecuali diizinkan
oleh muwakkil
6. Wakil statusnya adalah orang yang memegang amanah, dan orang yang
memegang amanah wajib mengganti rugi jika ada kerugian akibat kelalaiannya

Dan dibolehkan adanya ujrah (komisi) dari wakalah sesuai dengan kesepakatan kedua
pihak. Sehingga, transaksi dropship bisa disebut sebagai wakalah jika memenuhi syarat-
syarat berikut:

1. Reseller atau dropshipper adalah orang yang mewakili penjual, telah diizinkan
oleh penjual untuk menjualkan barangnya secara resmi
2. Reseller atau dropshipper tidak menentukan harga dan kebijakan terkait barang
kecuali atas izin penjual
3. Reseller atau dropshipper bersedia mengganti rugi jika ada kerugian akibat
kelalaiannya

Jika kita perhatikan, model kerjasama seperti ini sering disebut dengan agen resmi atau
distributor resmi. Jika dropshipper sebagai agen atau distributor resmi maka hukumnya
boleh karena memenuhi syarat-syarat di atas.

4. Murabahah

Murabahah adalah jual-beli yang harga dan untungnya sama-sama diketahui oleh pembeli
dan penjual. Disebutkan dalam Al Fiqhul Muyassar (218):

‫ بربح معلوم‬,‫ بيع السلعة بثمنها المعلوم بين المتعاقدين‬: ‫المرابحة‬


‫بينهما‬
“Murabahah adalah jual-beli yang harga dan keuntungannya diketahui oleh penjual dan
pembeli”.

Contoh praktek murabahah yang sering terjadi di masyarakat kita adalah sebagai berikut:

1. A ingin membeli kulkas di toko XYZ seharga 2 juta rupiah, namun tidak memiliki
uangnya
2. A datang kepada B untuk meminta B membeli kulkas tersebut dari toko XYZ
3. B menyetujui permintaan A, mereka sepakat bahwa setelah B membeli kulkas
dari toko XYZ, B akan menjual kepada A
4. Mereka sepakat bahwa B akan menjual kulkas kepada A seharga 2,5 juta, dibayar
5 kali.
5. B membeli kulkas ke toko XYZ
6. Toko XYZ mengirim kulkas ke rumah B
7. B mengirim kulkas ke rumah A, dan A membayar cicilan pertama

Murabahah dibolehkan syariat berdasarkan keumuman ayat:

‫َوَأ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَا‬


“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah: 275)

Juga firman-Nya:

‫اض ِم ْن ُك ْم‬ َ ‫ِإاَّل َأ ْن تَ ُك‬


ٍ ‫ون تِ َجا َرةً َع ْن تَ َر‬
“kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu“
(QS. An Nisa: 29).

Disebutkan syarat sahnya akad murabahah dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah


(36/319-322) :

1. Akad pertama adalah akad yang sah


2. Harga awal diketahui kedua belah pihak
3. Barang bukan termasuk komoditi riba
4. Keuntungan diketahui kedua belah pihak

Konsekuensi dari syarat pertama, barang yang dibeli harus diserah-terimakan terlebih
dahulu dengan pembeli pertama. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫إذا اشتريت مبيعا فال تبعه حتى تقبضه‬


“Jika engkau membeli barang, maka jangan dijual sebelum serah-terima“ (HR. Ahmad
no. 15399, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no.342).
Maka dalam contoh di atas, B boleh menjual barang kepada A setelah ada serah-terima
barang dari toko XYZ kepada B, sehingga kulkas ditaruh di rumah B.

Dengan demikian, transaksi dropship bisa dianggap murahabah jika terpenuhi syarat-
syarat berikut:

1. Reseller atau dropshipper dan pembeli sama-sama tahu harga awal barang
2. Reseller atau dropshipper dan pembeli sama-sama tahu besar keuntungan yang
diambil dropshipper
3. Harus ada serah-terima barang dulu antara pemilik barang dengan dropshipper

Yang model jual beli seperti ini sering disebut al murabahah lil amir bisy syira’. Dan jika
syarat-syarat ini terpenuhi maka menjadi transaksi dropship yang dibolehkan.

Baca Juga: Tinjauan Syariat Terhadap Jual-Beli Kredit

Apakah Termasuk Menjual Barang Yang


Tidak Dimiliki?
Dari Hakim bin Hizam radhiallahu’anhu, ia berkata:

‫ أبيعه منه ثم‬، ‫ عندي‬E‫يا رسول هللا يأتيني الرجل فيسألني البيع ليس‬
) ‫ ( ال تبع ما ليس عندك‬: ‫ له من السوق ؟ فقال‬E‫أبتاعه‬
“Wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku lalu ia memintaku untuk menjual barang
yang belum aku miliki. Yaitu saya membelinya dari pasar lalu aku menjual barang
tersebut kepadanya. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam lalu bersabda: jangan engkau
menjual barang yang bukan milikmu“ (HR. Tirmidzi no.1232, dishahihkan Al Albani
dalam Shahih At Tirmidzi).

Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan bentuk menjual barang yang belum dimiliki:

‫ أن‬: ‫أحدهما‬: E‫ وبيع ما ليس عندك يحتمل معنيين‬: ‫ المنذر‬E‫قال ابن‬


‫ فيشبه بيع الغرر‬، ‫ أبيعك عبدا أو دارا معينة وهي غائبة‬: ‫يقول‬
‫ هذه الدار بكذا‬: ‫ أن يقول‬: ‫ ثانيهما‬. ‫الحتمال أن تتلف أو ال يرضاها‬
‫ أو على أن يسلمها لك صاحبها‬، ‫ على أن أشتريها لك من صاحبها‬،
‫ ” وقصة حكيم موافقة لالحتمال الثاني‬: ‫قال ابن حجر‬. ”
“Ibnul Mundzir mengatakan: menjual barang yang belum dimiliki ada dua bentuk.
Pertama, seseorang berkata: “saya menjual kepadamu budak atau rumah tertentu” namun
rumah atau budak tersebut tidak ada. Maka ini seperti jual-beli gharar karena adanya
resiko rugi atau ketidak-ridhaan salah satu pihak. Kedua, seseorang mengatakan: “rumah
ini aku membelinya untukmu dari pemiliknya (padahal belum terjadi)” atau mengatakan,
“rumah ini telah diserahkan pemiliknya untukmu (padahal belum)”. Ibnu Hajar
mengatakan: kisah Hakim bin Hizam pas dengan bentuk kedua” (Fathul Bari, 6/460).

Demikian juga menjual barang orang lain yang dititipkan, atau disewakan, atau
digadaikan, termasuk menjual barang yang tidak dimiliki. Dan ini hukumnya haram
karena dilarang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits. Ibnul Qayyim
mengatakan:

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم – لِ َح ِك ِيم ب ِْن ِح َز ٍام (اَل تَبِ ْع َما‬ َ – ‫َوَأ َّما قَ ْو ُل النَّبِ ِّي‬
‫ْن‬Eِ ‫ك) فَيُحْ َم ُل َعلَى َم ْعنَيَي‬ َ ‫ْس ِع ْن َد‬ َ ‫لَي‬:
،‫ك لِ ْل َغي ِْر‬ ٌ ‫ بَلْ ِم ْل‬،ُ‫ت ِع ْن َده‬ ْ ‫ َأ ْن يَبِي َع َع ْينًا ُم َعيَّنَةً َو ِه َي لَ ْي َس‬:‫َأ َح ُدهُ َما‬
‫ إلَى ْال ُم ْشتَ ِري‬E‫صيلِهَا َوتَ ْسلِي ِمهَا‬ ِ ْ‫فَيَبِي ُعهَا ثُ َّم يَ ْس َعى فِي تَح‬.
،‫ان فِي ال ِّذ َّم ِة‬ َ ‫ َوِإ ْن َك‬، ‫ َأ ْن ي ُِري َد بَ ْي َع َما اَل يَ ْق ِد ُر َعلَى تَ ْسلِي ِم ِه‬:‫َوالثَّانِي‬
‫ون قَ ْد بَا َعهُ َش ْيًئا اَل‬ ُ ‫ فَيَ ُك‬،‫ْس ِع ْن َدهُ ِح ًّسا َواَل َم ْعنًى‬ Eَ ‫ فَلَي‬،ُ‫َوهَ َذا َأ ْشبَه‬
‫ص ُل لَهُ َأ ْم اَل ؟‬ُ ْ‫يَ ْد ِري هَلْ يَح‬
“Perkataan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kepada Hakim bin Hizam: “jangan menjual
yang belum menjadi milikmu” ini memiliki dua kemungkinan makna: Pertama, seseorang
menjual suatu barang secara spesifik padahal itu bukan miliknya namun milik orang lain.
Ia menjualnya, setelah itu ia baru berusaha membelinya dari pemiliknya lalu
menyerahkannya kepada pembeli. Kedua, ia ingin menjual barang yang ia tidak mampu
untuk serahkan walaupun dengan tempo (tidak langsung). Ia tidak mampu baik secara
fisik maupun secara maknawi. Maka ia telah menjual sesuatu yang ia tidak ketahui
apakah bisa didapatkan atau tidak?” (I’lamul Muwaqqi’in, 2/20).

Baca Juga: Hukum Membeli Diskon Natal dan Hari Raya Non-Muslim

Maka dari empat skema dropship yang dibahas di atas, apakah termasuk menjual barang
yang bukan miliknya? Perhatikan poin-poin berikut:

1. Dalam akad samsarah, maka simsar tidak menjual barang yang belum ia miliki
karena ia hanya sebagai penengah antara pemilik barang dan pembeli.
2. Dalam akad wakalah bil ujrah, agen sebagai wakil mewakili pemilik barang.
Sehingga ia menempati posisi pemilik barang dalam transaksi. Sehingga ia tidak
termasuk menjual barang yang belum ia miliki.
3. Dalam akad murabahah, pembeli pertama wajib menyelesaikan dahulu transaksi
hingga sempurna barang menjadi miliknya dan sudah terjadi qabdhun (serah-
terima barang), sebelum menjual kembali kepada pembeli kedua. Jika syarat ini
dipenuhi maka ia menjual barang yang sudah ia miliki. Adapun jika tidak
terpenuhi maka ia termasuk menjual barang yang belum dimiliki.

Yang tersisa adalah akad salam. Dan inilah yang musykil dalam benak sebagian orang.
Hal ini dijelaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah:

‫ت قَ ْو ِل‬ َ ْ‫ تَ َوهَّ َم ُد ُخولَهُ تَح‬، ‫اس‬ ِ َ‫ف ْالقِي‬ ِ ‫َوَأ َّما ال َّسلَ ُم فَ َم ْن ظَ َّن َأنَّهُ َعلَى ِخاَل‬
َ ‫ْس ِع ْن َد‬
‫ك) فَِإنَّهُ بَ ْي ٌع‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم – (اَل تَبِ ْع َما لَي‬
َ – ‫النَّبِ ِّي‬
ُ‫ َو ْالقِيَاسُ يَ ْمنَ ُع ِم ْنه‬،‫ َم ْع ُدو ٌم‬.
، ‫ون فِي ال ِّذ َّم ِة‬ ٌ ‫ فَِإنَّهُ بَ ْي ٌع َمضْ ُم‬E،‫اس‬ ِ َ‫ق ْالقِي‬ ِ ‫ َأنَّهُ َعلَى َو ْف‬: ُ‫َوالص ََّواب‬
‫ َم ْق ُدو ٌر َعلَى تَ ْسلِي ِم ِه َغالِبًا‬، ‫ُوف‬ ٌ ‫ َم ْوص‬..
‫ الَّتِي اَل يَ ْد ِري َأيَ ْق ِد ُر َعلَى‬، ‫م َعلَى بَي ِْع ْال َعي ِْن ْال َم ْع ُدو َم ِة‬Eَِ‫َوقِيَاسُ ال َّسل‬
Eِ َ‫ ِم ْن َأ ْف َس ِد ْالقِي‬،‫ ِم ْنهَا َعلَى َغ َر ٍر‬E‫ َو ْالبَاِئ ُع َو ْال ُم ْشتَ ِري‬، ‫صيلِهَا َأ ْم اَل‬
‫اس‬ ِ ْ‫تَح‬
‫صُو َرةً َو َم ْعنًى‬
“Adapun akad salam, sebagian orang menganggap ia menyelisihi qiyas, karena termasuk
dalam sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: jangan menjual yang belum menjadi
milikmu. Karena menyangka jual beli salam adalah bai’ ma’dum (jual beli barang yang
tidak ada). Dan qiyas melarang hal ini. Maka jawabannya, akad salam tetap sesuai
dengan qiyas. Karena ia hakikatnya menjual barang yang dideskripsikan sifatnya untuk
diserahkan dalam tempo tertentu dan mampu untuk diadakan secara umum. Maka
mengqiyaskan akad salam dengan bai’ ma’dum yang tidak diketahui apakah bisa
diadakan atau tidak sehingga penjual dan pembeli dalam keadaan gharar (ketidak-
pastian), ini adalah qiyas yang paling rusak, baik secara deskripsi ataupun secara makna”
(I’lamul Muwaqqi’in, 2/20).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin juga menjelaskan:

‫ فالفرق أن قوله صلى هللا‬، ‫ هو على شيء موصوف في الذمة‬E‫السلم‬


‫أما الموصوف‬. ‫ عندك ) يقصد المعين‬E‫عليه وسلم ( ال تبع ما ليس‬
‫ ولهذا نطالب الذي باع الشيء‬. ‫ فهذا غير معين‬: ‫في الذمة‬
‫ نطالبه بإيجاده على كل حال‬، ‫الموصوف بالذمة‬
“Akad salam itu menjual barang yang maushuf fi dzimmah (dideskripsikan sifatnya
dengan tempo tertentu). Bedanya dengan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: jangan
menjual yang belum menjadi milikmu, yang dimaksud dalam hadits ini adalah barang
yang sudah ada dan spesifik. Adapun barang yang maushuf fi dzimmah itu tidak spesifik.
Oleh karena itu orang yang menjual dengan akad salam diminta untuk menghadirkan
barang yang dideskripsikan tersebut dengan bagaimana pun caranya.” (Syarhul Kafi fi
Fiqhil Imam Ahmad, 1/1274, Asy Syamilah).

Kesimpulannya, jual beli salam tidak termasuk jual beli barang yang tidak dimiliki
karena penjual tidak menjual suatu barang secara spesifik namun ia hanya menjual suatu
barang yang mencocoki deskripsi yang disebutkan secara umum, tanpa menyebutkan
suatu barang secara spesifik.

Maka transaksi dropship yang menggunakan akad salam, namun tidak memenuhi kriteria
akad salam, diantaranya:

 Penjual tidak mengetahui apakah ia mampu menghadirkan barang yang dijual


 Penjual dengan pasti tidak bisa menghadirkan barang yang dijual
 Yang disebutkan bukan deskripsi barang namun suatu barang secara spesifik,
semisal “motor Pak Fulan”, “rumah pak Fulan”, “baju bekas bu Fulanah”, dan
semisalnya.

Ini termasuk menjual barang yang tidak dimiliki yang dilarang dalam hadits.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/45301-jual-beli-dengan-sistem-


dropship.html
Untuk hukum seputar jual beli reseller, para ulama sepakat membolehkan disebabkan
karena barang sudah menjadi milik dari supplier. Sistem jual beli reseller masuk kategori
bai’u maushufin fi al-dzimmah, yaitu jual beli barang yang sudah menjadi milik dari
pedagang. Akad yang berlaku adalah akad salam, yaitu sistem jual akad pesan. Cirinya
adalah:

- Barang sudah berada dalam kuasa pedagang


- Diketahui ra’sul maal-nya (modal pokoknya)

Ikhtilaf terjadi pada sistem perdagangan dropshipping. Ada beberapa pangkal ikhtilaf
mengingat sistem jual beli dropshipping ini ada dua, sebagaimana telah dijelaskan di
atas. 

Dropshipping dengan barang yang belum mendapatkan izin dari supplier 

Biasanya sistem ini dilakukan dengan jalan, penjual membuat akun sendiri. Ia
mencantumkan banyak ragam barang yang ditawarkan, sementara barangnya masih
berada di tangan orang lain yang menjadi pedagang aslinya. Ia hanya berperan
mencarikan barang, tanpa kesepakatan imbalan (ujrah) dengan pedagang pertama.
Sebagai gambaran mudahnya adalah perdagangan ala makelaran. Barang yang
ditawarkan belum menjadi milik makelar, dan belum mendapat izin atau meminta izin
kepada pedagang aslinya, tapi dia sudah menawarkan barang. 
Jual beli sistem dropship model makelaran seperti ini disepakati oleh mayoritas ulama
sebagai haram, kecuali mazhab Hanafi yang masih membolehkan, asalkan ia mengetahui
ciri-ciri umum dari barang. Sebagian dari kalangan Syafi’iyah juga masih ada yang
menyatakan boleh, namun sifatnya hanya terbatas pada barang tertentu yang mudah
dikenali dan tidak gampang berubah ciri khasnya. Contoh makelar sepeda motor dengan
merek Jupiter Z1, atau makelar mobil dengan merek Avanza. Baik sepeda motor maupun
mobil Avanza adalah merupakan jenis barang yang tidak gampang berubah dan mudah
dikenali oleh pembelinya, meskipun barangnya itu tidak ada di tempat penjualnya. Untuk
jual beli barang seperti ini termasuk jual beli ainun ghaibah, yaitu jual beli barang yang
belum ada di tempat. 

Pangkal hukum yang memperlemah status kebolehan dropshipping sistem pertama ini
adalah masalah izin yang belum didapatkan oleh dropshipper dari supplier. Itulah
sebabnya ia dikelompokkan dalam sistem samsarah (makelar) yang hanya di mazhab
Hanafi saja yang membolehkannya. Salah satu ulama dari kalangan Malikiyyah, yakni
Syekh Wahbah Zuhaily juga menyatakan kebolehan dari akad samsarah ini. Dalam Al-
Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu, beliau menyampaikan:

‫ ﻭاﻷﺟﺮ اﻟﺬﻱ ﻳﺄﺧﺬﻩ اﻟﺴﻤﺴﺎﺭ ﺣﻼﻝ؛ ﻷﻧﻪ ﺃﺟﺮ ﻋﻠﻰ ﻋﻤﻞ ﻭﺟﻬﺪ ﻣﻌﻘﻮﻝ‬،‫ﻭاﻟﺴﻤﺴﺮﺓ ﺟﺎﺋﺰﺓ‬

Artinya: “Jual beli makelaran adalah boleh. Dan upah yang diambil oleh makelar adalah
halal karena ia didapat karena adanya amal dan jerih payah yang masuk akal.” (Lihat:
Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu, Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah,
tt.,: 5/21!).

Namun, sayangnya dalam mazhab Maliki tetap mensyaratkan adanya al-ajru, yaitu upah
bagi makelar, yang berarti harus ada izin langsung dari pihak supplier. Jadi, satu-satunya
mazhab yang membolehkan dalam masalah ini adalah mazhab Hanafi saja.

Dropshipping dengan barang yang mendapat izin dari supplier

Untuk sistem kedua ini, biasanya dilakukan dengan jalan pihak dropshipper meminta izin
kepada supplier untuk ikut menjualkan barangnya. Dengan demikian pedagang berperan
selaku orang yang diizinkan atau mendapatkan kuasa menjualkan. Selaku orang yang
mendapatkan hak kuasa, maka kedudukannya hampir sama dengan pedagang reseller.
Hanya saja, kondisi barang yang dijual belum ada di tangan pedagang. 

Selaku orang yang diberi izin menjualkan barang, maka dropshipping sistem kedua ini
masuk kategori bai’u ainin ghaibah maushufatin bi al-yad, yaitu jual beli barang yang
belum ada di tempat namun bisa diketahui sifat dan ciri khas barangnya dan
diperbolehkan sebab pemberian kuasa. Kalangan ulama mazhab Syafi’i ada yang
memandang hukumnya sebagai boleh sebagaimana pendapat berikut ini:

‫وقوله لم تشاهد يؤخذ منه أنه إذا شوهدت ولكنها كانت وقت العقد غائبة أنه يجوز‬
Artinya: “Maksud dari pernyataan Abi Syujja’ “belum pernah disaksikan”, difahami
sebagai “apabila barang yang dijual pernah disaksikan, hanya saja saat akad dilaksanakan
barang tersebut masih ghaib (tidak ada)”, maka hukumnya adalah boleh.” (Taqiyuddin
Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr,
Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/240)

Namun kebolehan ini disertai dengan syarat mutlak yaitu apabila contoh barang tersebut
pernah disaksikan oleh pembeli, mudah dikenali dan tidak gampang berubah modelnya,
sebagaimana pendapat ini tercermin dari pernyataan berikut ini:

‫ ونحوها أو كانت ال تتغير في المدة المتخللة بين الرؤية‬E‫إن كانت العين مما ال تتغير غالبا كاألواني‬
‫والشراء صح العقد لحصول العلم المقصود‬

Artinya: “Jika barang “‘ain ghaibah” adalah berupa barang yang umumnya tidak mudah
berubah, misalnya seperti wadah (tembikar) dan sejenisnya, atau barang tersebut tidak
mudah berubah oleh waktu ketika mulai dilihat (oleh yang dipesani) dan dilanjutkan
dengan membeli (oleh yang `memesan), maka akad (jual beli ‘ain ghaibah) tersebut
adalah sah disebabkan tercapainya pengetahuan barang yang dimaksud.” (Lihat:
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati
al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/241). 

Adapun akad jual beli untuk dropshipping model kedua ini adalah akad salam, yaitu jual
beli dengan sistem pemesanan. Hukumnya adalah boleh (jaiz). 

Kesimpulan 

Dropshipping adalah jual beli online tanpa modal dengan barang yang masih belum
menjadi milik pihak penjual. Ada dua sistem dropshipping berdasarkan keberadaan izin
yang dipegang oleh penjual. Pertama, dropshipping tanpa izin menjualkan barang oleh
supplier. Hukumnya adalah haram menurut mayoritas ulama. Hanya mazhab Hanafi saja
yang memperbolehkan sistem jual beli ini. Akad yang dibangun dalam sistem pertama ini
adalah akad makelaran (samsarah). 

Kedua, dropshipping dengan izin menjualkan barang oleh supplier. Akad yang dibangun
dalam model kedua ini adalah akad salam. Ulama empat mazhab menyatakan status
kebolehan hukumnya. Khusus untuk mazhab Syafi’i, ada catatan khusus terkait dengan
barang yang dijual, yaitu apabila barang terdiri atas barang yang tidak mudah berubah
baik model maupun sifat barangnya. Untuk barang yang mudah berubah model dan sifat
barangnya, maka hukumnya sepakat tidak boleh. Wallahu a’lam bi al-shawab.

  Larangan menjual barang yang bukan miliknya


‫س ِعْن َد َك‬ ِ ِ ُّ ‫الرجل َفيسَألُيِن الْبيع لَيس ِعْن ِدي َأبِيعه ِمْنه مُثَّ َأبتَاعه لَه ِمن‬ ِ ِ َ ‫يا رس‬
َ ‫السوق قَ َال اَل تَب ْع َما لَْي‬ ْ ُ ُُ ْ ُ ُُ َ ْ َ َْ ْ َ ُ ُ َّ ‫ول اللَّه يَْأتييِن‬ َُ َ
“Wahai Rasulullah, ada seseorang yang mendatangiku lalu ia meminta agar aku menjual
kepadanya barang yang belum aku miliki, dengan terlebih dahulu aku membelinya untuk
mereka dari pasar?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Janganlah
engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu.” (HR. Abu Daud no. 3503, An Nasai no.
4613, Tirmidzi no. 1232 dan Ibnu Majah no. 2187. Syaikh Al Albani mengatakan hadits
ini shahih).[11]

Dari penjelasan tentang sistem jual beli dropship di atas, sekilas kami melihat paling
tidak ada dua cacat dari sisi syariat.

1. Penjual berpenampilan seolah-olah sebagai pemilik barang.

Padahal dia bukan pemiliknya dan bahkan barang tersebut tidak bersamanya. Pembeli
menganggapnya sebagai pemilik barang. Transaksi terjadi atas nama pembeli dan penjual
tersebut.

Hal ini bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang penuh
hikmah,

‫س ِع ْن َد َك‬
َ ‫َوالَ تَبِ ْع َما لَ ْي‬

“Jangan kamu jual sesuatu yang bukan milikmu.” (HR. Ahmad)

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini jelas hikmahnya. Di antaranya untuk
menghindari penyebab pertikaian antara penjual dan pembeli. Sebab, ketika seorang
menjual barang yang bukan miliknya, bisa jadi barang tidak sesuai yang diinginkan,
bahkan ditipu. Bagaimana dia mau menjual kepada orang lain?

2. Barang langsung dikirimkan oleh pemilik barang atau supplier kepada pembeli,
tanpa melalui penjual.

Padahal antara penjual dan pemilik barang hakikatnya juga terjadi transaksi jual beli.
Pada kenyataannya, ada dua transaksi. Transaksi pertama adalah antara pemilik barang
dan penjual. Transaksi kedua adalah antara penjual dan pembeli.

Dalam kondisi seperti ini, mestinya ketika membeli dari pemilik barang pertama atau
produsen, penjual tidak boleh menjualnya lagi sampai dia menguasai terlebih dahulu
barang tersebut. Diistilahkan dalam syariat dengan istilah qabdh. Setelah itu, boleh dia
kirim ke pembeli. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ْ َ‫ فَالَ تَبِ ْعهُ َحتَّى ت‬،‫ِإ َذا ا ْبتَعْتَ طَ َعا ًما‬


ُ‫ست َْوفِيَه‬

“Apabila kamu membeli makanan, jangan kamu menjualnya sampai kamu


menguasainya.” ( HR. Muslim dari Jabir radhiallahu ‘anhu)

Walaupun hadits ini berbicara tentang membeli makanan, secara hukum dan hikmah
berlaku pula pada barang lain.
Hikmahnya jelas. Di antaranya demi menjaga hak pembeli dan nama baik si penjual,
menghilangkan sebab pertikaian, dan terhindar dari kerugian atau penipuan sehingga
terjamin jual beli yang aman dan nyaman.

Penjual tetap terjaga nama baiknya karena dia menjual barang setelah diterima, diperiksa,
dan dipastikan kualitasnya. Pembeli juga tidak rugi karena mendapat barang yang
kualitasnya terjamin dan sesuai spesifikasi.

Dengan dua cacat pada transaksi dropship, penjualan dengan sistem tersebut tidak
diperbolehkan.

Solusi

Usulan solusi, “penjual “ mestinya memposisikan dirinya sebagai wakil produsen.


Dengan transparan, dia menampilkan dirinya sebagai wakil penjual, bukan pemilik
barang. Dia menawarkan berbagai produk sebagai wakil penjual atau wakil pembeli.

Firman Allah Swt.:


‫ض ِم ْن ُك ْم‬
ٍ ‫جارةً عَنْ تَرا‬ َ ‫ِإاَّل َأنْ تَ ُك‬
َ ِ‫ون ت‬
terkecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara
kalian. (An-Nisa: 29)
Lafaz tijaratan dapat pula dibaca tijaratun. ungkapan ini merupakan bentuk istisna
munqati'. Seakan-akan dikatakan, "Janganlah kalian menjalankan usaha yang
menyebabkan perbuatan yang diharamkan, tetapi berniagalah menurut peraturan yang
diakui oleh syariat, yaitu perniagaan yang dilakukan suka sama suka di antara pihak
pembeli dan pihak penjual; dan carilah keuntungan dengan cara yang diakui oleh syariat."
Perihalnya sama dengan istisna yang disebutkan di dalam firman-Nya:
َ ‫َوال تَ ْقتُلُوا النَّ ْف‬
ِّ ‫س الَّتِي َح َّر َم هَّللا ُ ِإاَّل بِا ْل َح‬
‫ق‬
dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali
dengan sesuatu (sebab) yang benar. (Al-An'am: 151)
Juga seperti yang ada di dalam firman-Nya:
‫ون ِفي َها ا ْل َم ْوتَ ِإاَّل ا ْل َم ْوتَةَ اُأْلولى‬
َ ُ‫اَل يَ ُذوق‬
mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati di dunia. (Ad-Dukhan 56)

Berangkat dari pengertian ayat ini, Imam Syafii menyimpulkan dalil yang mengatakan tidak sah
jual beli itu kecuali dengan serah terima secara lafzi (qabul), karena hal ini merupakan bukti
yang menunjukkan adanya suka sama suka sesuai dengan makna nas ayat. Lain halnya dengan
jual beli secara mu'atah, hal ini tidak menunjukkan adanya saling suka sama suka, adanya sigat
ijab qabul itu merupakan suatu keharusan dalam jual beli.
Tetapi jumhur ulama. Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad berpendapat berbeda.
Mereka mengatakan, sebagaimana ucapan itu menunjukkan adanya suka sama suka. begitu pula
perbuatan, ia dapat menunjukkan kepastian adanya suka sama suka dalam kondisi tertentu.
Karena itu, mereka membenarkan keabsahan jual beli secara mu'atah (secara mutlak).
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa jual beli mu'atah hanya sah dilakukan terhadap
hal-hal yang kecil dan terhadap hal-hal yang dianggap oleh kebanyakan orang sebagai jual beli.
Tetapi pendapat ini adalah pandangan hati-hati dari sebagian ulama ahli tahqiq dari kalangan
mazhab Syafii.

afsir QS. An Nisaa’ (4) : 29. Oleh Kementrian Agama RI Ayat ini melarang mengambil
harta orang lain dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dengan perniagaan yang
berlaku atas dasar kerelaan bersama. Menurut ulama tafsir, larangan memakan harta
orang lain dalam ayat ini mengandung pengertian yang luas dan dalam, antara lain: a.
Agama Islam mengakui adanya hak milik pribadi yang berhak mendapat perlindungan
dan tidak boleh diganggu gugat. b. Hak milik pribadi, jika memenuhi nisabnya, wajib
dikeluarkan zakatnya dan kewajiban lainnya untuk kepentingan agama, negara dan
sebagainya.

⚡ Selengkapnya: https://risalahmuslim.id/quran/an-nisaa/4-29/

Anda mungkin juga menyukai