Anda di halaman 1dari 22

Islam adalah agama yang syamil, yang mencangkup segala permasalahan manusia, tak

terkecuali dengan jual beli. Jual beli telah disyariatkan dalam Islam dan
hukumnya mubahatau boleh, berdasarkan Al Quran, sunnah, ijma’ dan dalil aqli. Allah
SWT membolehkan jual-beli agar manusia dapat memenuhi kebutuhannya selama
hidup di dunia ini.

Namun dalam melakukan jual-beli, tentunya ada ketentuan-ketentuan ataupun


syarat-syarat yang harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar. Seperti jual beli yang
dilarang yang akan kita bahas ini, karena telah menyelahi aturan dan ketentuan dalam
jual beli, dan tentunya merugikan salah satu pihak, maka jual beli tersebut dilarang.
Diantara jual beli yang dilarang dalam islam tersebut antara lain:

1, Jual beli yang diharamkan


Tentunya ini sudah jelas sekali, menjual barang yang diharamkan dalam Islam. Jika
Allah sudah mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan hasil
penjualannya. Seperti menjual sesuatu yang terlarang dalam agama. Rasulullah telah
melarang menjual bangkai, khamr, babi, patung dan lain sebagainya yang
bertentangan dengan syariah Islam.

Begitu juga jual beli yang melanggar syar’I yaitu dengan cara menipu. Menipu barang
yang sebenarnya cacat dan tidak layak untuk dijual, tetapi sang penjual menjualnya
dengan memanipulasi seakan-akan barang tersebut sangat berharga dan berkualitas.
Ini adalah haram dan dilarang dalam agama, bagaimanapun bentuknya.

2. Barang yang tidak ia miliki.


Misalnya, seorang pembeli datang kepadamu untuk mencari barang tertentu.Tapi
barang yang dia cari tidak ada padamu. Kemudian kamu dan pembeli saling sepakat
untuk melakukan akad dan menentukan harga dengan dibayar sekian, sementara itu
barang belum menjadi hak milik kamu atau si penjual. Kemudian kamu pergi membeli
barang dimaksud dan menyerahkan kepada si pembeli.

Jual beli seperti ini hukumnya haram, karena si pedagang menjual sesuatu yang
barangnya tidak ada padanya, dan menjual sesuatu yang belum menjadi miliknya,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang cara berjual beli seperti ini.
Istilah kerennya reseller.
Dalam suatu riwayat, ada seorang sahabat bernama Hakim bin Hazam Radhiyallahu
'anhu berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm : “Wahai, Rasulullah.
Seseorang datang kepadaku. Dia ingin membeli sesuatu dariku, sementara barang
yang dicari tidak ada padaku. Kemudian aku pergi ke pasar dan membelikan barang
itu”. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

‫اَل تابِ ْع اما لاي ا‬


‫ْس ِع ْندا اك‬
Jangan menjual sesuatu yang tidak ada padamu. [HR Tirmidzi].
Buka keterangan lebih lanjut tentang hukum reseller dalam islam:

3. Jual beli Hashat.


Yang termasuk jual-beli Hashat ini adalah jika seseorang membeli dengan
menggunakan undian atau dengan adu ketangkasan, agar mendapatkan barang yang
dibeli sesuai dengan undian yang didapat. Sebagai contoh:
Seseorang berkata: “ Lemparkanlah bola ini, dan barang yang terkena lemparan bola
ini kamu beli dengan harga sekian”. Jual beli yang sering kita temui dipasar-pasar ini
tidak sah. Karena mengandung ketidakjelasan dan penipuan.

4. Jual beli Mulamasah.


Mulamasah artinya adalah sentuhan. Maksudnya jika seseorang berkata:
“Pakaian yang sudah kamu sentuh, berarti sudah menjadi milikmu dengan harga
sekian”. Atau “Barang yang kamu buka, berarti telah menjadi milikmu dengan harga
sekian”.
Jual beli yang demikian juga dilarang dan tidak sah, karena tidak ada kejelasan
tentang sifat yang harus diketahui dari calon pembeli. Dan didalamnya terdapat unsur
pemaksaan.
5. Jual Beli Najasy
Bentuk praktek najasy adalah sebagai berikut, seseorang yang telah ditugaskan
menawar barang mendatangi penjual lalu menawar barang tersebut dengan harga
yang lebih tinggi dari yang biasa. Hal itu dilakukannya dihadapan pembeli dengan
tujuan memperdaya si pembeli. Sementara ia sendiri tidak berniat untuk membelinya,
namun tujuannya semata-mata ingin memperdaya si pembeli dengan tawarannya
tersebut. Ini termasuk bentuk penipuan.

Dan Rasullulah S.A.W. telah melarang perbuatan najasy ini seperti yang terdapat di
dalam hadith:
"Janganlah kamu melakukan praktek najasy, janganlah seseorang menjual di atas
penjualan saudaranya, janganlah ia meminang di atas pinangan saudaranya dan
janganlah seorang wanita meminta (suaminya) agar menceraikan madunya supaya apa
yang ada dalam bejana (madunya) beralih kepadanya," (HR Bukhari [2140] dan Muslim
[1413]).

Tentunya masih banyak sekali contoh-contoh atau model jual beli yang dilarang dalam
agama, seperti jual-beli yang menghalangi orang untuk melakukan sholat, khususnya
diwaktu jumat setelah adzan kedua sholat jumat, juga menjual barang sebelum
diterima, kemudian makelar atau calo yang menjual barang dengan harga yang lebih
tinggi dari harga sekarang. Itu semua merupakan jual-beli yang dilarang dalam Islam.

Semoga kita semua senantiasa terjaga dalam bermuamalah dengan sesama, selalu
waspada dan berhati-hati dalam bertindak khususnya dalam berdagang. Mari kita
mensuri tauladani Nabi kita Muhammad SAW dalam berdagang, beliau selalu
dipercayai dalam setiap ucapan, dan perbuatannya.

Sebar kebaikan ini kepada kawan-kawan kita. Semoga bermanfaat.

Penulis: Ust. Abu Syauqie Al Mujaddid (Dewan Pembina Solusi Islam)


Artikel: www.solusiislam.com
HUKUM JUAL BELI KREDIT
DALAM ISLAM
HUKUM PERKREDITAN
Macam-Macam Praktek Perkreditan.
Diantara salah satu bentuk perniagaan yang marak dijalankan di
masyarakat ialah dengan jual-beli dengan cara kredit.
Dahulu, praktek perkreditan yang dijalankan di masyarakat sangat
sederhana, sebagai konsekwensi langsung dari kesederhanaan
metode kehidupan mereka. Akan tetapi pada zaman sekarang,
kehidupan umat manusia secara umum telah mengalami kemajuan
dan banyak perubahan.
Tidak pelak lagi, untuk dapat mengetahui hukum berbagai hal yang
dilakukan oleh masyarakat sekarang, kita harus mengadakan study
lebih mendalam untuk mengetahui tingkat kesamaan antara yang
ada dengan yang pernah diterapkan di zaman Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Bisa saja, nama tetap sama, akan tepai
kandungannya jauh berbeda, sehingga hukumnyapun berbeda.
Adalah kesalahan besar bagi seorang mujtahid ketika hendak
berijtihad, hanya berpedoman kepada kesamaan nama, tanpa
memperhatikan adanya pergeseran atau perkembangan makna dan
kandungannya.
Diantara jenis transaksi yang telah mengalami perkembangan
makna dan penerapannya adalah transaksi perkreditan.
Dahulu, transaksi ini hanya mengenal satu metode saja, yaitu
metode langsung antara pemilik barang dengan konsumen. Akan
tetapi di zaman sekarang, perkreditan telah berkembang dan
mengenal metode baru, yaitu metode tidak langsung, dengan
melibatkan pihak ketiga.
Dengan demikian pembeli sebagai pihak pertama tidak hanya
bertransaksi dengan pemilik barang, akan tetapi ia bertransaksi
dengan dua pihak yang berbeda:
Pihak kedua: Pemilik barang.
Pihak ketiga: Perusahaan pembiayaan atau perkreditan atau
perbankan. Perkreditan semacan ini biasa kita temukan pada
perkreditan rumah (KPR), atau kendaraan bermotor.
Pada kesempatan ini, saya mengajak para pembaca untuk bersama-
sama mengkaji hukum kedua jenis perkreditan ini.
Hukum Perkreditan Langsung
Perkreditan yang dilakukan secara langsung antara pemilik barang
dengan pembeli adalah suatu transaksi perniagaan yang dihalalkan
dalam syari’at. Hukum akad perkreditan ini tetap berlaku,
walaupun harga pembelian dengan kredit lebih besar dibanding
dengan harga pembelian dengan cara kontan. Inilah pendapat -
sebatas ilmu yang saya miliki-, yang paling kuat, dan pendapat ini
merupakan pendapat kebanyakan ulama’. Kesimpulan hukum ini
berdasarkan beberapa dalil berikut:
Dalil pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala:
‫س ّمىَ أ َ َجلَ إِلَى بِدَيْنَ تَدَايَ ْنت ُ َْم إِذَا آ َمنُوا الَّذِينََ أَيُّ َها يَا‬
َ ‫فَا ْكتُبُوَهُ ُم‬. ‫البقرة‬: 282
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya.” (Qs. Al Baqarah: 282)
Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek
hutang-piutang, sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk
hutang, maka dengan keumuman ayat ini menjadi dasar
dibolehkannya perkreditan.
Dalil kedua: Hadits riwayat ‘Aisyah radhiaalahu ‘anha.
‫ي من سلم و عليه هللا صلى هللا رسول اشترى‬ َّ ‫عه ورهنه نسيئةَ طعاماَ يهود‬ َ ‫در‬. ‫عليه متفق‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan
makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan
beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan
makanan dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya,
beliau menggadaikan perisainya. Dengan demikian hadits ini
menjadi dasar dibolehkannya jual-beli dengan pembayaran
dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk jual-beli dengan
pembayaran dihutang.
Dalil ketiga: Hadits Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash radhiallahu
‘anhu.
‫قال ظهر عندنا وليس عمرو بن هللا عبد قال جيشا يجهز أن أمره سلم و عليه هللا صلى هللا رسول أن‬
‫عمرو بن هللا عبد فابتاع المصدق خروج إلى ظهرا يبتاع أن سلم و عليه هللا صلى النبي فأمره‬
‫سلم و عليه هللا صلى هللا رسول بأمر المصدق خروج إلى وباألبعرة بالبعيرين البعير‬. ‫أحمد رواه‬
‫األلباني وحسنه والدارقطني داود وأبو‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk
mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki
tunggangan, Maka Nabi memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al
‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda
hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin Amer
bin Al ‘Ashpun seperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan
dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat. Riwayat
Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni dan dihasankan oleh Al Albani.
Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan sahabat Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash untuk membeli
setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta dengan pembayaran
dihutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau tidak akan rela dengan
harga yang begitu mahal, (200 %) bila beliau membeli dengan
pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah terjadi
penambahan harga barang karena pembayaran yang ditunda
(terhutang).
Dalil keempat: Keumuman hadits salam (jual-beli dengan
pemesanan).
Diantara bentuk perniagaan yang diijinkan syari’at adalah dengan
cara salam, yaitu memesan barang dengan pembayaran di muka
(kontan). Transaksi ini adalah kebalikan dari transaksi kredit.
Ketika menjelaskan akan hukum transaksi ini, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak mensyaratkan agar harga barang tidak
berubah dari pembelian dengan penyerahan barang langsung. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bersabda:
‫معلوم أجل إلى معلوم ووزن معلوم كيل في فليسلف أسلف من‬. ‫عليه متفق‬
“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam),
hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas dan timbangan
yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (Muttafaqun
‘Alaih)
Pemahaman dari empat dalil di atas dan juga lainnya selaras
dengan kaedah dalam ilmu fiqih, yang menyatakan bahwa hukum
asal setiap perniagaan adalah halal. Berdasarkan kaedah ini, para
ulama’ menyatakan bahwa: selama tidak ada dalil yang shahih nan
tegas yang mengharamkan suatu bentuk perniagaan, maka
perniagaan tersebut boleh atau halal untuk dilakukan.
Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
‫ع من‬
ََ ‫ْن بَا‬ ُ ‫الربَا أو أ َ ْو َك‬.
َِ ‫س ُه َما فَلَ َهُ بَ ْيعَةَ في بَ ْيعَتَي‬ ّ ِ ‫وغيره الترمذي رواه‬
“Barang siapa yang menjual jual penjualan dalam satu penjualan
maka ia hanya dibenarkan mengambil harga yang paling kecil, kalau
tidak, maka ia telah terjatuh ke dalam riba.” Riwayat At Tirmizy dan
lain-lain, maka penafsirannya yang lebih tepat ialah apa yang
dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dan lainnya([1]) , bahwa makna hadits
ini adalah larangan dari berjual beli dengan cara ‘inah. Jual beli
‘Innah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang
dengan pembayaran dihutang, kemudian seusai barang diserahkan,
segera penjual membeli kembali barang tersebut dengan dengan
pembayaran kontan dan harga yang lebih murah.
Hukum Perkreditan Segitiga
Agar lebih mudah memahami hukum perkreditian jenis ini, maka
berikut saya sebutkan contoh singkat tentang perkreditan jenis ini:
Bila pak Ahmad hendak membeli motor dengan pembayaran
dicicil/kredit, maka ia dapat mendatangi salah satu showrom motor
yang melayani penjualan dengan cara kredit. Setelah ia memilih
motor yang diinginkan, dan menentukan pilihan masa
pengkreditan, ia akan diminta mengisi formulir serta
manandatanganinya, dan biasanya dengan menyertakan barang
jaminan, serta uang muka.([2]) Bila harga motor tersebut dangan
pembayaran tunai, adalah Rp 10.000.000,-, maka ketika
pembeliannya dengan cara kredit, harganya Rp 12.000.000,- atau
lebih.
Setelah akad jual-beli ini selesai ditanda tangani dan pembelipun
telah membawa pulang motor yang ia beli, maka pembeli tersebut
berkewajiban untuk menyetorkan uang cicilan motornya itu ke bank
atau ke PT perkreditan, dan bukan ke showrom tempat ia
mengadakan transkasi dan menerima motor yang ia beli tersebut.
Praktek serupa juga dapat kita saksikan pada perkreditan rumah,
atau lainnya.
Keberadaan dan peranan pihak ketiga ini menimbulkan pertanyaan
di benak kita: mengapa pak Ahmad harus membayarkan cicilannya
ke bank atau PT perkreditan, bukan ke showrom tempat ia
bertransaksi dan menerima motornya?
Jawabannya sederhana: karena Bank atau PT Perkreditannya telah
mengadakan kesepakatan bisnis dengan pihak showrom, yang
intinya: bila ada pembeli dengan cara kredit, maka pihak bank
berkewajiban membayarkan harga motor tersebut dengan
pembayaran kontan, dengan konsekwensi pembeli tersebut dengan
otomatis menjadi nasabah bank, sehingga bank berhak menerima
cicilannya. Dengan demikian, seusai pembeli menandatangani
formulir pembelian, pihak showrom langsung mendapatkan
haknya, yaitu berupa pembayaran tunai dari bank. Sedangkan
pembeli secara otomatis telah menjadi nasabah bank terkait.
Praktek semacam ini dalam ilmu fiqih disebut dengan hawalah,
yaitu memindahkan piutang kepada pihak ketiga dengan ketentuan
tertentu.
Pada dasarnya, akad hawalah dibenarkan dalam syari’at, akan
tetatpi permasalahannya menjadi lain, tatkala hawalah
digabungkan dengan akad jual-beli dalam satu transaksi. Untuk
mengetahui dengan benar hukum perkreditan yang menyatukan
antara akad jual beli dengan akad hawalah, maka kita lakukan
dengan memahami dua penafsiran yang sebanarnya dari akad
perkreditan segitiga ini.
Bila kita berusaha mengkaji dengan seksama akad perkreditan
segitiga ini, niscaya akan kita dapatkan dua penafsiran yang saling
mendukung dan berujung pada kesimpulan hukum yang sama.
Kedua penafsiran tersebut adalah:
Penafsiran pertama: Bank telah menghutangi pembeli motor
tersebut uang sejumlah Rp 10.000.000,- dan dalam waktu yang
sama Bank langsung membayarkannya ke showrom tempat ia
membeli motornya itu. Kemudian Bank menuntut pembeli ini
untuk membayar piutang tersebut dalam jumlah Rp 13.000.000,-.
Bila penafsiran ini yang terjadi, maka ini jelas-jelas riba nasi’ah
(riba jahiliyyah). Dan hukumnya seperti yang disebutkan dalam
hadits berikut:
‫قال جابر عن‬: ‫وشاهديه وكاتبه وموكله الربا آكل سلم و عليه هللا صلى هللا رسول لعن‬، ‫وقال‬: ‫هم‬
‫سواء‬. ‫مسلم رواه‬
Dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba
(rentenir), orang yang memberikan/membayar riba (nasabah),
penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau
juga bersabda: “Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (Muslim)
Penafsiran kedua: Bank telah membeli motor tersebut dari Show
Room, dan menjualnya kembali kepada pembeli tersebut. Sehingga
bila penafsiran ini yang benar, maka Bank telah menjual motor yang
ia beli sebelum ia pindahkan dari tempat penjual yaitu showrom ke
tempatnya sendiri, sehingga Bank telah menjual barang yang belum
sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai salah satu buktinya, surat-
menyurat motor tersebut semuanya langsung dituliskan dengan
nama pembeli tersebut, dan bukan atas nama bank yang kemudian
di balik nama ke pembeli tersebut. Bila penafsiran ini yang terjadi,
maka perkreditan ini adalah salah satu bentuk rekasaya riba yang
jelas-jelas diharamkan dalam syari’at.
‫سلم و عليه هللا صلى هللا رسول قال قال عنه هللا رضي عباس ابن عن‬: ‫يبعه فال طعاما ابتاع من‬
‫يقبضه حتى‬. ‫عباس ابن قال‬: ‫الطعام بمنزلة شيء كل وأحسب‬. ‫عليه متفق‬
“Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, ia menuturkan:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa
yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya
kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Dan
saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan
makanan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pendapat Ibnu ‘Abbas ini selaras dengan hadits Zaid bin Tsabit t
berikut:
‫قال عمر ابن عن‬: ‫السوق في زيتا ابتعت‬، ‫ربحا به فأعطاني رجل لقيني لنفسي استوجبته فلما‬
‫حسنا‬، ‫يده على أضرب أن فأردت‬، ‫بذراعي خلفي من رجل فأخذ‬، ‫فقال ثابت بن زيد فإذا فالتفت‬: ‫ال‬
‫ هللا رسول فإن رحلك إلى تحوزه حتى ابتعته حيث تبعه‬e ‫حتى تبتاع حيث السلع تباع أن نهى‬
‫رحالهم إلى التجار يحوزها‬. ‫والحاكم داود أبو رواه‬
“Dari sahabat Ibnu Umar ia mengisahkan: Pada suatu saat saya
membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya,
ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut,
kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka
akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran
dari orang tersebut) tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang
memegang lenganku. Maka akupun menoleh, dan ternyata ia adalah
Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: “Janganlah engkau jual
minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan
ke tempatmu, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut
dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke
tempat mereka masing-masing.” (Riwayat Abu dawud dan Al
Hakim)([3])
Para ulama’ menyebutkan beberapa hikmah dari larangan ini, di
antaranya ialah, karena kepemilikan penjual terhadap barang yang
belum ia terima bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya
barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dll,
sehingga ketika ia telah menjualnya kembali, ia tidak dapat
menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.
Dan hikmah kedua: Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas t
ketika muridnya yang bernama Thawus mempertanyakan sebab
larangan ini:
‫عباس البن قلت‬: ‫قال ذاك؟ كيف‬: ‫مرجأ والطعام بدراهم دراهم ذاك‬.
Saya bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Bagaimana kok demikian?” Ia
menjawab: “Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual
dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya
ditunda.”([4])
Ibnu Hajar menjelaskan perkatan Ibnu ‘Abbas di atas dengan
berkata: “Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100
dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada
penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia
beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga
120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut,
padahal bahan makanan yang ia jual masih tetap berada di penjual
pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/ menukar
(menghutangkan) uang 100 dinar dengan pembayaran/harga 120
dinar. Dan sebagai konsekwensi penafsiran ini, maka larangan ini
tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja, (akan tetapi berlaku
juga pada komoditi perniagaan lainnya-pen).”([5])
Dengan penjelasan ini, dapat kita simpulkan bahwa pembelian
rumah atau kendaraan dengan melalui perkreditan yang biasa
terjadi di masyarakat adalah terlarang karena merupakan salah satu
bentuk perniagaan riba.
Solusi
Sebagai solusi dari perkreditan riba yang pasti tidak akan diberkahi
Allah, maka kita dapat menggunakan metode perkreditan pertama,
yaitu dengan membeli langsung dari pemilik barang, tanpa
menyertakan pihak ketiga. Misalnya dengan menempuh akad al
wa’du bis syira’ (janji pembelian) yaitu dengan meminta kepada
seorang pengusaha yang memiliki modal agar ia membeli terlebih
dahulu barang yang dimaksud. Setelah barang yang dimaksud
terbeli dan berpindah tangan kepada pengusaha tersebut, kita
membeli barang itu darinya dengan pembayaran dicicil/terhutang .
Tentu dengan memberinya keuntungan yang layak.
Dan bila solusi pertama ini tidak dapat diterapkan karena suatu hal,
maka saya menganjurkan kepada pembaca untuk bersabar dan
tidak melanggar hukum Allah Ta’ala demi mendapatkan barang
yang diinginkan tanpa memperdulikan faktor keberkahan dan
keridhaan ilahi. Tentunya dengan sambil menabung dan
menempuh hidup hemat, dan tidak memaksakan diri dalam
pemenuhan kebutuhan. Berlatihlah untuk senantiasa bangga dan
menghargai rizqi yang telah Allah Ta’ala karuniakan kepada kita,
sehingga kita akan lebih mudah untuk mensyukuri setiap nikmat
yang kita miliki. Bila kita benar-benar mensyukuri kenikmatan
Allah, niscaya Allah Ta’ala akan melipatgandakan karunia-Nya
kepada kita:
‫ش َك ْرت ُ َْم لَئِن َربُّ ُك َْم تَأَذَّنََ َو ِإ َْذ‬
َ ‫ن َكفَ ْرت ُ َْم َولَئِن أل َ ِزيدَنَّ ُك َْم‬
ََّ ‫عذَا ِبي ِإ‬ َ َ‫ ل‬. ‫ إبراهيم‬7
َ َ‫شدِيد‬
“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengumandangkan:
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Qs. Ibrahim: 7)
Dan hendaknya kita senantiasa yakin bahwa barang siapa bertaqwa
kepada Allah dengan menjalankan perintah dan meninggalkan
larangan, niscaya Allah akan memudahkan jalan keluar yang penuh
dengan keberkahan.
‫يحتسب ال حيث من ويرزقه مخرجا له يجعل هللا يتق ومن‬
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan
mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah
yang tiada disangka-sangkanya.” (Qs. At Thalaq: 2-3)
Dahulu dinyatakan oleh para ulama’:
‫منه خيرا هللا عوضه هلل شيئا ترك من‬
“Barang siapa meninggalkan suatu hal karena Allah, niscaya Allah
akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik.”
Wallau Ta’ala a’alam bisshowab.
***
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel http://www.pengusahamuslim.com
Footnote:
[1] ) Sebagaimana beilau jelaskan dalam kitabnya I’lamul
Muwaqqiin dan Hasyi’ah ‘ala Syarah Sunan Abi Dawud.
[2] ) Sebagian showroom tidak mensyaratkan pembayaran uang
muka.
[3] ) Walaupun pada sanadnya ada Muhammad bin Ishaq, akan
tetapi ia telah menyatakan dengan tegas bahwa ia mendengar
langsung hadits ini dari gurunya, sebagaimana hal ini dinyatakan
dalam kitab At Tahqiq. Baca Nasbur Rayah 4/43 , dan At Tahqiq
2/181.
[4] ) Riwayat Bukhary dan Muslim.
[5] ) Fathul Bari, oleh Ibnu Hajar Al Asqalany 4/348-349.

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah Tata Niaga Peternakan dengan
judul “Pengertian Dan Dasar Hukum Jual Beli, Rukun Dan Syarat Jual Beli, Serta Jual
Beli Yang Dilarang Dalam Islam.”
Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang telah diberikan oleh dosen
pembimbing mata kuliah Tata Niaga Peternakan. Shalawat dan salam buat junjungan umat, Nabi
Muhammad SAW yang telah membuka mata dunia akan pentingnya arti pendidikan sehingga
kita bisa menikmati dunia pendidikan yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin, namun dengan kerendahan hati penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu penulis mengharap
kritik dan saran atas kekurangan dan kekeliruan yang tidak penulis sadari demi
kesempurnaannya. Semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pembaca.

Pekanbaru, Mei 2013

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jual beli Adalah proses pemindahan hak milik/barang atau harta kepada pihak lain
dengan menggunakan uang sebagai alat tukarnya. Menurut etimologi, jual beli adalah
pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Kata lain dari jual beli adalah al-ba’i, asy-
syira’, al-mubadah, dan at-tijarah.
Landasan atau dasar hukum mengenai jual beli ini disyariatkan berdasarkan Al-
Qur’an,َ Hadistَ Nabi,َ danَ Ijma’.َ Hukumَ jualَ beliَ padaَ dasarnyaَ dibolehkanَ olehَ ajaranَ islam.َ
Kebolehan ini didasarkan kepada firman Allah yang terjemahannya sebagai berikut :
“….َJanganlahَkamuَmemakanَhartaَdiantaraَkamuَdenganَjalanَbatalَmelainkanَdenganَ
jalanَjualَbeli,َsukaَsamaَsuka….”َ(Q.S.َAn-Nisa’َ:َ29).
Rukun dan syarat jual beli adalah ketentuan -ketentuan dalam jual beli yang
harus dipenuhi agar jual belinya sah menurut syara’ (hukum islam).
Rukun Jual Beli:
 Dua pihak membuat akad penjual dan pembeli
 Objek akad (barang dan harga)
 Ijab qabul (perjanjian/persetujuan)
Barang- barang yang terlarang diperjual belikan adalah : barang yan g haram dimakan, khamar,
buah-buahan yang belum dapat dimakan,air, barang-barang yang samar dan barang- barang yang
dapatَdijadikanَsaranaَma’shiyat.

1.2 Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian dan dasar hukum jual beli.
2. Mahasiswa dapat mengetahui barang yang terlarang diperjual belikan.
3. Mahasiswa dapat mengetahui rukun syarat jual beli.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Jual Beli


Jual beli Adalah proses pemindahan hak milik/barang atau harta kepada pihak lain
dengan menggunakan uang sebagai alat tukarnya.
Menurut etimologi, jual beli adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang
lain). Kata lain dari jual beli adalah al-ba’i, asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah. Menurut
terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain :
1. Menurut ulama Hanafiyah : J u a l َ b e l i َ a d a l a h َ ” p e r t u k a r a n َ h a r t a َ ( b e n d a ) َ d e n g a n َ
h a r t a berdasarkanَcaraَkhususَ(yangَdibolehkan).”
2. Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ : Jualَ beliَ adalahَ “َ pertukaranَ harta dengan harta
untukَkepemilikan.”
3. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-mugni : Jualَbeliَadalahَ“َpertukaranَhartaَdenganَharta,َ
untukَ salingَ menjadikanَ milik.”َ Pengertianَ lainnyaَ jualَ beliَ ialahَ persetujuanَ salingَ mengikatَ
antara penjual ( yakni pihak yang menyerahkan/menjual barang) danpembeli (sebagai
pihak yang membayar/membeli barang yang dijual). Pada masa Rasullallah SAW harga
barang itu dibayar dengan mata uangyang terbuat dari emas (dinar) dan mata uang yang
terbuat dari perak(dirham).

2.2 Landasan atau Dasar Hukum Jual Beli


Landasan atau dasar hukum mengenai jual beli ini disyariatkan berdasarkan Al-
Qur’an,َHadistَNabi,َdanَIjma’َYakniَ:

1. Al Qur’an
Yang mana Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa : 29
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang
bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara
kamu” (QS. An-Nisa : 29).
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah : 275).
2. Sunnah
Nabi,َyangَmengatakan:” Suatu ketika Nabi SAW, ditanya tentang mata pencarian yang
paling baik. Beliau menjawab, ’Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual
beli yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim yang menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn
Rafi’). Maksud mabrur dalam hadist adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan
merugikan orang lain.

3. Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa
manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang
lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus
diganti dengan barang lainnya yang sesuai. Mengacu kepada ayat-ayatَ Alَ Qur’anَ danَ hadist,َ
hukum jual beli adalah mubah (boleh). Namun pada situasi tertentu, hukum jual beli itubisa
berubah menjadi sunnah, wajib, haram, dan makruh.

Berikut ini adalah contoh bagaimana hukum jual beli bisa berubah menjadisunnah, wajib,
haram, atau makruh. Jual beli hukumnya sunnah,m i s a l n ya d a l a m j u a l b e l i b a r a n g
y a n g h u k u m m e n g g u n a k a n b a r a n g yang diperjual-belikan itu sunnah seperti minyak
wangi. Jual beli hukumnya wajib, misalnya jika ada suatu ketika para pedagang
menimbun beras, sehingga stok beras sedikit dan mengakibatkan hargan ya pun
melambung tinggi. Maka pemerintah boleh memaksa para pedagang beras untuk
menjual beras yang ditimbunnya dengan harga sebelum terjadi pelonjakan harga.
Menurut Islam, para pedagang beras tersebut wajib menjual beras yang ditimbun sesuai
dengan ketentuan pemerintah. Jual beli hukumnya haram, misalnya jual beli yang tidak
memenuhi rukun dan syarat yang diperbolehkan dalam islam, juga mengandung unsur penipuan.
Jual beli hukumnya makruh, apabila barang yang dijual-belikan ituhukumnya makruh seperti
rokok.

2.3 Rukun dan Syarat Jual Beli


Rukun dan syarat jual beli adalah ketentuan -ketentuan dalam jual beli yang
harus dipenuhi agar jual belinya sah menurut syara’ (hukum islam).
Rukun Jual Beli:
 Dua pihak membuat akad penjual dan pembeli
 Objek akad (barang dan harga)
 Ijab qabul (perjanjian/persetujuan)
a. Orang yang melaksanakan akad jual beli ( penjual dan pembeli )
Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh penjual dan pembeli adalah :
1. Berakal, jual belinya orang gila atau rusak akalnya dianggap tidak sah.
2. Baligh, jual belinya anak kecil yang belum baligh dihukumi tidak sah. Akan tetapi, jika anak itu
sudah mumayyiz (mampu membedakan baik atau buruk), dibolehkan melakukan jual beli
terhadap barang-barang yang harganya murah seperti : permen, kue, kerupuk, dll.
3. Berhak menggunakan hartanya. Orang yang tidak berhakmenggunakan harta milik orang
yang sangat bodoh (idiot) tidak sah jual belinya. Firman Allah ( Q.S. An-Nisa’(4):َ5):

b. Sigat atau Ucapan


Ijab dan Kabul. Ulama fiqh sepakat, bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan antara
penjual dan pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus diwujudkan melalui
ucapan ijab (dari pihak penjual) dan kabul (dari pihak pembeli).

Adapun syarat-syarat ijab kabul adalah :


1. Orang yang mengucap ijab kabul telah akil baliqh.
2. Kabul harus sesuai dengan ijab.
3. Ijab dan kabul dilakukan dalam suatu majlis.

c. Barang Yang Diperjual Belikan


Barang yang diperjual-belikan harus memenuhi syarat-syarat yang diharuskan, antara lain :
1. Barang yang diperjual-belikan itu halal.
2 . B a r a n g i t u a d a m a n f a a t n ya .
3. Barang itu ada ditempat, atau tidak ada tapi ada ditempat lain.
4. Barang itu merupakan milik si penjual atau dibawahkekuasaanya.
5. Barang itu hendaklah diketahui oleh pihak penjual dan pembeli dengan jelas, baik
zatnya, bentuknya dan kadarnya, maupun sifat-sifatnya.

d. Nilai tukar barang yang dijual (pada zaman modern sampai sekarang ini berupa uang).
Adapun syarat-syarat bagi nilai tukar barang yang dijual itu adalah :
1. Harga jual disepakati penjual dan pembeli harus jelas jumlahnya.
2. Nilai tukar barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli, walaupun secara hukum,
misalnya pembayaran menggunakan kartu kredit.
3. Apabila jual beli dilakukan secara barter atau Al-muqayadah (nilai tukar barang yang
dijual bukan berupa uang tetapi berupa uang).

2.4 Hal-hal Yang Terlarang Dalam Jual Beli

Jual beli dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, antara lain ditinjau dari segi sah atau
tidak sah dan terlarang atau tidak terlarang.
1. Jual beli yang sah dan tidak terlarang yaitu jual beli yang terpenuhi rukun-rukun dan syarat-
syaratnya.
2. Jual beli yang terlarang dan tidak sah (bathil) yaitu jual beli yang salah satu rukun atau syaratnya
tidak terpenuhi atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak disyariatkan (disesuaikan dengan
ajaran islam).
3. Jual beli yang sah tapi terlarang ( fasid ). Jual beli ini hukumnya sah, tidak membatalkan akad
jual beli, tetapi dilarang oleh Islam karena sebab-sebab lain.
4. Terlarang sebab Ahliah (Ahli Akad). U l a m a t e l a h s e p a k a t b a h w a j u a l b e l i
d i k a t e g o r i k a n s a h a p a b i l a d i l a k u k a n o l e h o r a n g ya n g b a l i q h , b e r a k a l ,
d a p a t m e m i l i h . M e r e k a yang dipandang tidak sah jual belinya sebagai berikut :
 Jual beli yang dilakukan oleh orang gila.
 Jual beli yang dilakukan oleh anak kecil. Terlarang dikarenakan anak kecil belum
cukup dewasa untuk mengetahui perihal tentang jual beli.
 Jual beli yang dilakukan oleh orang buta. Jual beli ini terlarang karena ia tidak dapat
membedakan barang yang jelek dan barang yang baik.
 Jual beli terpaksa
5. Jual beli fudhul adalah jual beli milik orang lain tanpa seizin pemiliknya.
6. Jual beli yang terhalang. Terhalang disini artinya karena bangkrut, kebodohan, atau pun sakit.
7. Jual beli malja’ a d a l a h j u a l b e l i o r a n g ya n g s e d a n g d a l a m b a h a ya , ya k n i
u n t u k menghindar dari perbuatan zalim.
8. Terlarang Sebab Shigat. Jual beli yang antara ijab dan kabulnya tidak ada kesesuaian
maka d i p a n d a n g t i d a k s a h . B e b e r a p a j u a l b e l i ya n g t e r m a s u k t e r l a r a n g sebab
shiqat sebagai berikut :
 Jual beliَ Mu’athah.َ Jualَ beliَ yangَ telahَ disepakatiَ olehَ pihakَ akad,َ berkenaanَ denganَ barangَ
maupun harganya, tetapi tidak memakaiijab kabul.
 Jual beli melalui surat atau melalui utusan dikarenakankabul yang melebihi tempat, akad
tersebut dipandang tidak sah, seperti surat tidak sampai ketangan orang yang dimaksudkan.
 Jual beli dengan syarat atau tulisan. Apabila isyarat dan tulisan tidak dipahami dan tulisannya
jelek (tidak dapat dibaca), maka akad tidak sah.
 Jual beli barang yang tidak ada ditempat a kad. Terlarang karena tidak memenuhi
syarat in’iqad (terjadinya akad). Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan kabul.
 Jual beli munjiz adalah yang dikaitkan dengan suatu syarat atau ditangguhkan pada waktu yang
akan datang.
9. Terlarang Sebab Ma’qud Alaih (Barang jualan) Ma’qud alaih a d a l a h h a r t a ya n g
d i j a d i k a n a l a t p e r t u k a r a n o l e h o r a n g y a n g a k a d , ya n g b i a s a d i s e b u t m a b i
’ (barang jualan) dan harga. Tetapi ada beberapa masalah yang disepakati oleh
sebagianulama, tetapi diperselisihkan, antara lain :
 Jual beli benda yang tidak ada atau dikhwatirkan tidak ada.
 Jual beli yang tidak dapat diserahkan. Contohnya jual beli burung yang ada di udara, dan
ikanَyangَadaَdidalamَairَtidakَberdasarkanَketetapanَsyara’.
 Jual beli gharar adalah jual beli barang yang menganung unsur menipu (gharar)..
 Jual beli barang yang najis dan yang terkena najis. Contohnya : Jual beli bangkai, babi, dll.
 Jual beli air
 Jual beli barang yang tidak jelas (majhul). Terlarang dikarenakan akan mendatangkan
pertentangan di antara manusia.
 Jual beli yang tidak ada ditempat akad (gaib) tidak dapat dilihat. Jual beli sesuatu
sebelum dipegangi . J u a l b e l i b u a h - b u a h a n a t a u t u m b u h a n apabila belum
terdapat buah, disepakati tidak ada akad. Setelah ada buah, tetapi belum matang, akadnya
fasid.
10. Terlarang Sebab Syara’. Jenisَ jualَ beliَ yangَ dipermasalahkanَ sebabَ syara’َ nyaَ diantaranyaَ
adalah :
 jual beli riba
 Jual beli dengan uang dari barang yag diharamkan. Contohnya jual beli khamar, anjing,
bangkai.
 Jual beli barang dari hasil pencegatan barang yakni mencegat pedagang dalam
perjalanannya menuju tempat yang dituju sehingga orang yang mencegat barang itu
mendapatkan keuntungan.
 J u a l َ b e l i َ w a k t u َ a d z a n َ j u m ’ a t . Terlarang dikarena bagi laki-laki yang melakukan
transaksi jual belid a p a t m e n g g a n g g u k a n a k t i f i t a s k e w a j i b a n n ya s e b a g a i
m u s l i m dalamَmengerjakanَshalatَjum’at.
 Jual beli anggur untuk dijadikan khamar .
 Jual beli barang yang sedang dibeli oleh orang laing. Jual beli hewan ternak yang
masih dikandung oleh induknya.

2.5 Barang Yang Dilarang Diperjual Belikan Dalam Islam


Islam melarang bentuk jual beli yan mengandung tindak bahaya bagi yang lain semacam
jika BBM naik, sebagian pedagang menimbun barang sehingga membuat warga sulit mencari
minyak dan hanya bisa diperoleh dengan harga yang relatif mahal. Begitu pula segala bentuk
penipuan dan pengelabuan dalam jual beli menjadikannya terlarang. Saat ini kita akan melihat
bahasan sebagai tindak lanjut dari tulisan sebelumnya mengenai bentuk jual beli yang terlarang.
Sebagai agama yang lengkap telah memberikan petunjuk lengkap tentang perdagangan,
termasuk didalamnya barang-barang yang tidak boleh diperjualbelikan. Sebagai pengusaha
muslimsudah sepantasnya kita mempelajari masalah ini agar terhindar dari perniagaan yang
haram dan tidak di ridhoi allah.
Islam adalah agama yang syamil, yang mencangkup segala permasalahan manusia, tak
terkecuali dengan jual beli. Jual beli telah disyariatkan dalam Islam dan hukumnya mubah atau
boleh,َ berdasarkanَ Alَ Quran,َ sunnah,َ ijma’َ danَ dalilَ aqli.َ Allahَ SWTَ membolehkanَ jual-beli
agar manusia dapat memenuhi kebutuhannya selama hidup di dunia ini.
Namun dalam melakukan jual-beli, tentunya ada ketentuan-ketentuan ataupun syarat-
syarat yang harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar. Seperti jual beli yang dilarang yang akan
kita bahas ini, karena telah menyelahi aturan dan ketentuan dalam jual beli, dan tentunya
merugikan salah satu pihak, maka jual beli tersebut dilarang. Diantara jual beli yang dilarang
dalam islam tersebut antara lain:

1. Jual beli yang diharamkan


Tentunya ini sudah jelas sekali, menjual barang yang diharamkan dalam Islam. Jika Allah
sudah mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan hasil penjualannya. Seperti
menjual sesuatu yang terlarang dalam agama. Rasulullah telah melarang menjual bangkai,
khamr, babi, patung dan lain sebagainya yang bertentangan dengan syariah Islam.
Begitu juga jual beli yangَ melanggarَ syar’Iَ yaituَ denganَ caraَ menipu.َ Menipuَ barangَ
yang sebenarnya cacat dan tidak layak untuk dijual, tetapi sang penjual menjualnya dengan
memanipulasi seakan-akan barang tersebut sangat berharga dan berkualitas. Ini adalah haram dan
dilarang dalam agama, bagaimanapun bentuknya.

2. Barang yang tidak ia miliki.


Misalnya, seorang pembeli datang kepadamu untuk mencari barang tertentu.Tapi barang
yang dia cari tidak ada padamu. Kemudian ksmu/ente dan pembeli saling sepakat untuk
melakukan akad dan menentukan harga dengan dibayar sekian, sementara itu barang belum
menjadi hak milik ente (kamu) atau si penjual. Kemudian ent pergi membeli barang dimaksud
dan menyerahkan kepada si pembeli.
Jual beli seperti ini hukumnya haram, karena si pedagang menjual sesuatu yang
barangnya tidak ada padanya, dan menjual sesuatu yang belum menjadi miliknya, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang cara berjual beli seperti ini. Istilah kerennya reseller.
Dalam suatu riwayat, ada seorang sahabat bernama Hakim bin Hazam Radhiyallahu
'anhuَ berkataَ kepadaَ Rasulullahَ Shallallahuَ 'alaihiَ waَ salalmَ :َ “Wahai,َ Rasulullah.َ Seseorangَ
datang kepadaku. Dia ingin membeli sesuatu dariku, sementara barang yang dicari tidak ada
padaku. Kemudian aku pergi ke pasar dan membelikanَbarangَitu”.َRasulullahَShallallahuَ'alaihiَ
wa sallam bersabda :

‫اَل ت ا ِب ْع اما لاي ا‬


‫ْس ِع ْندا اك‬
“َJanganَmenjualَsesuatuَyangَtidakَadaَpadamu.َ[HRَTirmidzi].َ“

3. Jual beli Hashat.


Yang termasuk jual-beli Hashat ini adalah jika seseorang membeli dengan menggunakan
undian atau dengan adu ketangkasan, agar mendapatkan barang yang dibeli sesuai dengan undian
yangَ didapat.َ Sebagaiَ contoh:َ Seseorangَ berkata:َ “َ Lemparkanlahَ bolaَ ini,َ danَ barangَ yangَ
terkena lemparan bola ini kamu beli dengan harga sekian”.َ Jualَ beliَ yangَ seringَ kitaَ temuiَ
dipasar-pasar ini tidak sah. Karena mengandung ketidakjelasan dan penipuan.

4. Jual beli Mulamasah.


Mulamasah artinya adalah sentuhan. Maksudnya jika seseorang berkata: “Pakaianَ yangَ
sudah kamu sentuh, berarti sudah menjadiَ milikmuَ denganَ hargaَ sekian”.َ Atauَ “Barangَ yangَ
kamuَbuka,َberartiَtelahَmenjadiَmilikmuَdenganَhargaَsekian”.
Jual beli yang demikian juga dilarang dan tidak sah, karena tidak ada kejelasan tentang
sifat yang harus diketahui dari calon pembeli. Dan didalamnya terdapat unsur pemaksaan.

5. Jual Beli Najasy


Bentuk praktek najasy adalah sebagai berikut, seseorang yang telah ditugaskan menawar
barang mendatangi penjual lalu menawar barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari
yang biasa. Hal itu dilakukannya dihadapan pembeli dengan tujuan memperdaya si pembeli.
Sementara ia sendiri tidak berniat untuk membelinya, namun tujuannya semata-mata ingin
memperdaya si pembeli dengan tawarannya tersebut. Ini termasuk bentuk penipuan.
Dan Rasullulah S.A.W. telah melarang perbuatan najasy ini seperti yang terdapat di
dalam hadist :
"Janganlah kamu melakukan praktek najasy, janganlah seseorang menjual di atas
penjualan saudaranya, janganlah ia meminang di atas pinangan saudaranya dan janganlah
seorang wanita meminta (suaminya) agar menceraikan madunya supaya apa yang ada dalam
bejana (madunya) beralih kepadanya," (HR Bukhari [2140] dan Muslim [1413]).
Tentunya masih banyak sekali contoh-contoh atau model jual beli yang dilarang dalam
agama, seperti jual-beli yang menghalangi orang untuk melakukan sholat, khususnya diwaktu
jumat setelah adzan kedua sholat jumat, juga menjual barang sebelum diterima, kemudian
makelar atau calo yang menjual barang dengan harga yang lebih tinggi dari harga sekarang. Itu
semua merupakan jual-beli yang dilarang dalam Islam.
Semoga kita semua senantiasa terjaga dalam bermuamalah dengan sesama, selalu
waspada dan berhati-hati dalam bertindak khususnya dalam berdagang. Mari kita mensuri
tauladani Nabi kita Muhammad SAW dalam berdagang, beliau selalu dipercayai dalam setiap
ucapan, dan perbuatannya
Barang yang tidak boleh diperjualbelikan:
1. Khamer (Minuman Keras)
Dari Aisyah ra, ia berkata: Tatkala sejumlah ayat akhir surat al-Baqarah turun, Nabi saw keluar
(menemui para sahabat) lantas bersabda (kepada mereka), “Telah diharamkan jual beli
arak.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari IV: 417 no: 2226, Muslim III: 1206 no: 1580, ‘Aunul Ma’bud IX: 380
no: 3473, dan Nasa’i VII: 308).
2. Bangkai, Babi dan Patung
Dari Jabir bin Abdullah ra, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda ketika Beliau di
Mekkah pada waktu penaklukan kota Mekkah, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan
menjual arak, bangkai, babi dan patung.” Rasulullah saw ditanya, “Bagaimana pendapatmu tentang
lemak bangkai, karena itu dipergunakan untuk mengecat perahu-perahu, meminyaki kulit-kulit dan
dijadikan penerangan lampu oleh orang-orang?” Beliau jawab, “Tidak boleh, karena
haram.” Kemudian Rasulullah saw pada waktu itu bersabda, “Allah melaknat kaum Yahudi, karena
ketika Allah mengharamkan lemak bangkai, justeru mereka mencairkannya, lalu menjualnya,
kemudian mereka makan harganya.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 424 no: 2236, Muslim III: 1207
no: 1581, Tirmidzi II: 281 no: 1315, ‘Aunul Ma’bud IX: 377 no: 3469, Ibnu Majah II: 737 no: 2167 dan
Nasa’i VII: 309).

3. Anjing
Dari Abu Mas’ud al-Anshari ra, bahwa Rasulullah saw melarang harga anjing, hasil melacur, dan
upah dukun. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 426 no: 2237, Muslim III: 1198 no: 1567, ‘Aunul Ma’bud
IX: 374 no: 3464, Tirmidzi II: 372 no: 1293, Ibnu Majah II: 730 no: 2159 dan Nasa’i VII: 309).
4. Gambar yang Bernyawa
Dari Sa’id bin Abil Hasan, ia berkata : Ketika saya berada di sisi Ibnu Abbas ra tiba-tiba
datanglah kepadanya seorang laki-laki lalu bertanya kepadanya “Ya Ibnu Abbas, dan sejatinya aku
berprofesi sebagai pelukis gambar-gambar ini.” Maka Ibnu Abbas berkata kepadanya, ‘Saya tidak akan
menyampaikan kepadamu melainkan apa yang saya dengan dari Rasulullah saw. Aku mendengar Beliau
bersabda, “Barang siapa yang melukis satu gambar, maka sesungguhnya Allah akan mengadzabnya
hingga ia meniupkan ruh padanya, padahal ia tidak mungkin selam-lamanya meniupkan ruh padanya.”
Maka laki-laki itu berubah dengan perubahan yang besar dan wajahnya menguning. Kemudian Ibnu
Abbas berkata kepadanya, “Celaka engkau! Jika engkau membangkang dan akan tetap meneruskan
profesimu ini, maka hendaklah engkau (menggambar) pepohonan ini; dan segala sesuatu yang tidak
bernyawa.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 416 no: 2225 dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim
III: 1670 no: 2110 dan Nasa’i VIII: 215 secara ringkas).
5. Buah-Buahan yang Belum Nyata Jadinya
Dari Anas bin Malik ra, dari Nabi saw, bahwa beliau melarang menjual buah-buahan hingga
nyata jadinya dan kurma hingga sempurna. Beliau ditanya, “Apa (tanda) sempurnanya?” Jawab
Beliau “Berwarna merah atau kuning.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 6928 dan Fathul Bari IV:
397 no: 2167).
Darinya (Anas bin Malik) ra, bahwa Rasulullah saw melarang menjual buah-buahan sebelum
sempurna. Kemudian Beliau ditanya, “Apa (tanda) sempurnanya?” Beliau menjawab, “Hingga berwarna
merah.” Kemudian Rasulullah saw bersabda,“Bagaimana pendapatmu apabila Allah menghalangi buah
itu untuk menjadi sempurna, maka dengan alasan apakah seorang di antara kamu akan mengambil
harta saudaranya.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari: IV: 398 no: 2198 dan lafadz ini milik Imam Bukhari,
Muslim III: 1190 no: 155 dan Nasa’i VII: 264).
6. Biji-Bijian yang Belum Mengeras
“Dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw melarang menjual buah kurma hingga nyata jadinya,
dan (melarang) menjual gandum hingga berisi serta selamat dari hama; Beliau melarang penjualnya
dan pembelinya.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 917, Muslim III: 1165 no: 1535, ‘Aunul Ma’bud IX: 222
no: 3352, Tirmidzi II: 348 no: 1245 dan Nasa’i VII: 270).

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum jual beli pada dasarnya diperbolehkan oleh ajaran islam. Kebolehan ini
didasarkanَkepadaَkepadaَfirmanَAllahَyangَterjemahannyaَsebagaiَberikutَ:‘’َjanganlahَkamuَ
memakan harta diantara kamu dengan jalan batal melainkan dengan jalan jual beli, suka sama
suka...”(Q.SَAn-Nisa’َ:َ29)َDanَHadistَNabiَSAW,َyangَartinyaَsebagaiَberikutَ:َ“َBahwaَnabiَ
SAW ditanya tentang, mata pencaharian apakah yang paling baik ? jawabnya : seseorang yang
bekerjaَdenganَtangannyaَsendiriَdanَsetiapَjualَbeliَyangَbersih”.(H.R.َAl-Bazzar) Dalam pada
itu ulama sepakat mengenai kebolehan berjual beli ini sebagai salah satu usaha yang telah
dipraktekkan semenjak masa Nabi SAW hingga saat sekarang ini.
Rukun dan Syarat
Untuk syah nya jual beli yang dilakukan diperlukan beberapa rukun dan syarat yang
harus dipenuhi, yaitu : penjual dan pembeli dengan syarat :
a. Berakal, bagi yang gila, bodoh dan lainnya tidak syah melakukan jual beli.
b. Kehendak sendiri, bukan karena dipaksa.
c. Keadaannya tidak mubazir (pemboros), orang pemberos hartanya dibawah wali.
Barang-barang yang terlarang diperjualbelikan
Keharaman memperjualbelikan barang-barang tersebut didasarkan kepada hadist nabi
SAW,َ yangَ artinyaَ sebagaiَ berikut:َ “danَ sesungguhnyaَ allah,َ apabilaَ mengharamkanَ makanَ
sesuatu kapada suatu kaum, maka mengharamkan pula harganya.

Anda mungkin juga menyukai