Anda di halaman 1dari 23

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia memang sudah menjadi fitrahnya membutuhkan pada hakikatnya

manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk, pendidikan, ekonomi, dan lain

sebagainya. Dalam dunia ini tidak ada manusia yang mampu untuk bertahan hidup

dengan hanya seorang diri atau tanpa adanya pertolongan dari orang lain karena

sosial yang mempunyai sifat zone politicon. Dengan kata lain, manusia membutuhkan

pertolongan dari sesama manusia dalam menjalani kehidupannya. Kehidupan yang

saling ketergantungan diantara manusia berlaku di dalam tatanan kehidupan sosial,

budaya, politik sesama manusia dalam kehidupan ini semenjak ia terlahir ke dunia.

Sekian banyak usaha dan hubungan antar sesama manusia, maka jual beli

termasuk di dalamnya, bahkan aspek ini merupakan kepentingan pokok manusia

dalam memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Kegiatan jual beli ini bisa dikatakan

merupakan bagian interaksi antar sesama manusia di dunia. Dalam mencari

kebutuhannya, masing-masing berupaya saling menukar kepunyaan yang dimilikinya.

Dari hubungan kebutuhan ini, akan melahirkan perikatan atauperjanjian yang dalam

syariat Islam disebut akad.

Kehidupan keseharian, manusia pasti melakukan transaksi untuk memenuhi

kebutuhanya, salah satunya adalah jual beli, untuk menukarkan sesuatu yang dimiliki

1
dengan sesuatu yang diinginkan. Transaksi jual beli dilakukan secara sah, apabila

memenuhi rukun dari jual beli, salah satu rukun jual beli yaitu harus adanya aqad,

sebagai kepastian atau kejelasan dari pertukaran tersebut. Dalam Islam jual beli

adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai

secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan

pihak lain yang menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah

dibenarkan syara' dan di sepakati oleh kedua belah pihak 1(Hendi Suhendi, 2007:68-

69).

Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang dikemukakan

oleh ulama fiqh, sekalipun substansi dan tujuan masing-masing definisi adalah sama.

Definisi yang dikemukakan oleh ulama Malikiyah. Syafi'iyah, dan Hanbali

sebagaimana dikutip oleh 2Nasrun Haroen (2007:112) bahwa jual beli adalah: Saling

menukar harta dengan harta dengan bentuk pemindahan milik dan pemilikan" Mereka

melakukan penekanan kepada kata “milik dan pemilikan”

Maksud dari kata milik adalah bahwa harta yang diperjual belikan adalah

milik sah dari penjual dan kata kepemilikan berarti adanya perpindahan milik dari

penjual kepada pembeli setelah pembeli membayar barang. .satu kegiatan yang telah

bermasyarakat di kalangan umat manusia, dan Islam datang memberikan dasar yang

jelas dan tegas. Secara umum, jual beli termasuk masalah muamalah manusia. yang

dihukumi keabsahannya selama mendatangkan kemaslahatan, Kebolehan yang

1
Suhendi, Hendi. (Fiqh Muamalah), (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 2007), 68-69.
2
Haroen, Nasrun. (Fiqh Muamalah), (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 112.

2
dimaksud yaitu selama tidak ada unsur yang ditetapkan kebathilan dan keharaman.

Bentuk aktivitas bermuamalah ini telah diperbolehkan oleh syariat islam.

Jual beli yang dilakukan manusia beragam modelnya dari akad (transaksi)

yang riil dan transparan, melalui alat komunikasi seperti media cetak dan media

elektronik lainya. Bentuk transaksi jual beli yang beragam dan terjadi dimasa

sekarang tidak menutup kemungkinan adanya kerancuan (ketidakjelasan) yang

memungkinkan adanya penyimpangan dari syariat islam. Syari'at Islam menyebutkan

bahwa jual beli dihalalkan dengan syarat. Sesuai dengan ketentuan syara',

Sebagaimana Firman-Nya dalam qur-an surat An- Nisa ayat 29, yaitu:

ِ َ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَْأ ُكلُوا َأ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالب‬
َ ‫اط ِل ِإاَّل َأ ْن تَ ُكونَ تِ َج‬
‫ارةً ع َْن‬
‫اض ِم ْن ُك ْم ۚ َواَل تَ ْقتُلُوا َأ ْنفُ َس ُك ْم ۚ ِإ َّن هَّللا َ َكانَ بِ ُك ْم َر ِحي ًما‬
ٍ ‫ت ََر‬

Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengam jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan berlaku dengan suka sama
suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.

Ayat di atas menerangkan bahwa Allah SWT melarang hamba-hambanya

yang mungkin memakan harta sesamanya dengan cara yang bathil, dan cara-cara

yang mencari keuntungan yang tidak sah menurut syara. Syari'at Islam juga melarang

seperti riba, perjudian, dan yang serupa dengan itu dari macam-macam kecurangan

atau tipu daya yang tampak, seakan-akan sesuai dengan hukum syara. Tetapi Allah

3
mengetahui bahwa apa yang dilakukan itu hanya kecurangan dari si pełaku untuk

menghindari ketentuan hukum yang telah digariskan oleh syariat Islam.

Definisi-definisi jual beli yang telah dijelaskan, dan dapat diambil kesimpulan

bahwa pengertian jual beli adalah tukar menukar barang dengan barang (barter) atau

barang dengan uang yang dalam pelaksanaannya didasari atas kerelaan tanpa paksaan

dan dengan sendirinya menimbulkan suatu perikatan yang berupa kewajiban timbal

balik antara penjual dan pembeli, penjual memindahkan barang pada pembeli dan

pembeli memindahkan uang pada penjual. Islam telah menetapkan aturan-aturan

hukum yang mengatur tentang jual beli, seperti yang telah diungkapkan oleh

mayoritas fuqaha, baik mengenai syarat,rukun maupun bentuk-bentuk jual beli yang

tidak diperbolehkan. Semua ketentuan tersebut dapat kita jumpai dalam kajian kitab-

kitab fiqh. Oleh karena itu, dalam prakteknya harus dikerjakan secara konsekwen dan

memberikan manfaat bagi yang bersangkutan.

Jual beli merupakan bentuk transaksi yang sangat di ridhai oleh Allah,

kebolehan dari jual beli tersebut ditegaskan dalam firman Alah SWI surat al-Baqarah

ayat 275:

‫ان ِمنَ ْال َمسِّ ۚ ٰ َذل بَِأنَّهُ ْم‬ُ َ‫الَّ ِذينَ يَْأ ُكلُونَ الرِّ بَا اَل يَقُو ُمونَ ِإاَّل َك َما يَقُو ُم الَّ ِذي يَتَ َخبَّطُهُ ال َّش ْيط‬
‫قَالُوا ِإنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل ال ِّربَا ۗ َوَأ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَا ۚ فَ َم ْن َجا َءهُ َموْ ِعظَةٌ ِم ْن َربِّ ِه‬
ٰ ‫ُأ‬
ِ َّ‫فَا ْنتَهَ ٰى فَلَهُ َما َسلَفَ َوَأ ْم ُرهُ ِإلَى هَّللا ِ ۖ َو َم ْن عَا َد فَ ولَِئكَ َأصْ َحابُ الن‬
َ‫ار ۖ هُ ْم فِيهَاخَ الِ ُدون‬

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan

4
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan
dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”

Landasan yang telah dikemukakan, sangat jelas bahwa Allah mengatur

tentang bagaimana cara umat manusia memenuhi kebutuhan hidup dengan aturan

yang telah ditetapkan Allah SWT. Namun adakalanya dalam praktek jual beli masih

sering terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh para pedagang dari aturan hukum

yang telah ditetapkan. Kegiatan jual beli dalam kehidupan sangatlah penting dan

hampir setiap hari manusia melakukan transaksi jual beli, seperti hal nya jual beli

yang terjadi di Toko Baju Marwah di Pasar Pelabuhan Ratu.

Toko pakaian ini mempunyai kelebihan dari harganya yang lebih murah

dibandingkan dengan toko yang lainnya. Karena toko ini memproduksi baju baju

kaos dengan sendiri atau mempunyai konveksi sendiri dan kualitasnya pun tidak

kalah bagus dengan baju baju kaos yang ada di toko lainnya.

Barang yang biasanya diperjual belikan oleh toko tersebut bukan hanya baju

kaos saja tetapi banyak juga macam-macam baju dan pakaian lainnya.

Dalam jual beli pakaian yang terjadi di toko Marwah ini ada yang memakai

sistem satuan dan juga sistem kodian. Dalam sistem satuan toko ini menjual baju kaos

polos seharga Rp.30.000/pcs. Dan jika dijual secara kodian seharga Rp.28.000/pcs

5
jadi didalam satu kodi itu terdapat 20 baju kaos di dalamnya dengan harga

Rp.580.000. didalam perjual belian seperti ini tentunya harus ada keterbukaan dari

penjual terhadap barang tersebut, karena terkadang ada penjual yang hanya

memperlihatkan contoh baju satuannya saja, padahal ketika ada konsumen yang

memesan baju secara kodian pihak penjual memberikan baju yang sudah di siapkan

secara kodi tanpa dilihat kembali bagaimana kondisi satu persatu nya baju yang telah

disiapkan secara kodian tersebut.

Pembeli yang hendak membeli baju secara kodian tersebut si pembeli

mengalami ketidakpuasan karena menemukan baju yang cacat di dalam baju yang ia

beli dengan cara kodian tersebut dan si pembeli tadi hendak menukarkan kembali

pakaian karena mengetahui bahwa pakaian yang dia beli itu ada yang (cacat), akan

tetapi alasan barang (pakaian) yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan lagi Jual beli

dengan sistem kodian ini, kalau kita teliti lebih dalam banyak Sistem jual beli tersebut

masih tetap berlangsung hingga sekarang, Oleh karena itu agar pelaksanaan jual beli

tidak merugikan kedua belah pihak maka Islam menetapkan adanya hukum khiar.

Kebolehan untuk melakukan khiar dalam jual beli terdapat dalam hadits riwayat

Bukhari dan Muslim:

‫ْخ ِه رفقا لِ ْل ُمتَ َعا‬ َ ‫ضا ِء ْال َع ْق ِد َو َعد َِم ِإ ْم‬


ِ ‫ضاِئ ِه بِفَس‬ َ ‫َأ ْن يَ ُكوْ نَ لِ ْل ُمتَ َعاقِ ِد ْال ِخيَا ُربَ ْينَ ِإ ْم‬
‫قِ َدي ِْن‬.
Hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk
melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi
masing-masing pihak yang melakukan transaksi.

6
3

sebagaimana dikutip oleh Hendi Suhendi, 2007: 83

Kedua belah pihak yang melakukan jual beli mempunyai hak antara

melanjutkan atau membatalkan selama keduanya belum berpisah secara fisik. Dalam

kaitan pengertian berpisah dinilai sesuai dengan situasi dan kondisinya 4(Kamaluddin

A. Marzuki, 1988: 101). Salah satu tujuan dari khiar adalah agar penjual dan pembeli

tidak ada yang merasa dirugikan dikemudian hari, salah satunya adalah kerugian yang

disebabkan adanya kecacatan terhadap barang yang dibeli. Tujuan akhir dari transaksi

jual beli adalah untuk mendapatkan manfaat atas barang yang dibeli, tetapi dalam jual

beli pakaian secara kodian ini pembeli sama sekali tidak boleh mengembalikan

barang yang sudah dibeli apapun resiko yang dideritanya (terdapat cacat), Kecacatan

pada suatu barang mengakibakan hilangnya manfaat pada suatu barang atau barang

tersebut tidak dapat memberikan manfaat sebagaimana mestinya. Hal ini sangat

bertentangan dengan konsep jual beli yang ditetapkan oleh ajaran Islam. Terkait

dengan pembahasan tersebut, penulis mencoba untuk meneliti jenis transaksi jual beli

pakaian secara kodian yang terjadi di Toko Marwah dilihat dari syariat Islam.

Berdasarkan uraian tentang transaksi jual beli tersebut, penulis termotivasi untuk

menganalisis mengenai model transaksi jual beli pakaian secara kodian yang

diterapkan di Toko Marwah. faktor apa sajakah yang melatar belakangi jual beli

pakaian secara kodian. Mengingat. di lapangan masih ditemukan adanya ketidak

3
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), 83.
4
Marzuki, A Kamaludin. Fiqh Sunnah, (Bandung: PT. Al-ma’arif, 1988), 101.

7
jelasan dan penyimpangan akad jual beli, khususnya jual beli pakaian secara kodian

yang terjadi di Toko Marwah.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dalam kaitannya dengan

pelaksanaan jual beli pakaian dengan sistem kodian, maka penulis mengidentifikasi

masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana pelaksanan akad jual beli pakaian dengan sistem kodian di

Toko Baju Marwah di Pasar Pelabuhan Ratu

b. Faktor-faktor apa yang melatar belakangi pelaksanaan jual beli pakaian

dengan system kodian di Toko Baju Marwah di Pasar Pelabuhan Ratu

c. Bagaimana tinjauan fiqh muamalah terhadap pelaksanaan akad jual beli

pakaian dengan sistem kodian di Toko Baju Marwah di Pasar Pelabuhan

Ratu

C. Tujuan penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan

yang diterapkan pada perumusan masalah, yaitu:

8
a. Untuk mengetahui pelaksanaan akad jual beli pakaian dengan system

kodian di Toko Baju Marwah Pasar Pelabuhan Ratu.

b. Untuk mengetahui factor-faktor yang melatar belakangi jual beli dengan

sistem kodian di Toko Baju Marwah Pasar Pelabuhan Ratu

c. Untuk mengetahui tinjauan fiqih muamalah terhadap sistem kodian di

Toko Baju Marwah Pasar Pelabuhan Ratu.

D. Kerangka pemikiran

Kajian fiqih muamalah adalah jual beli. Jual beli merupakan akad yang umum

digunakan oleh masyarakat, karena dalam setiap harinya masyarakat tidak bisa

berpaling untuk meninggalkan akad ini Untuk mendapatkan makanan dan minuman

misalnya, terkadang ia tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan itu dengan

sendirinya, tapi akan membutuhkan dan berhubungan dengan orang lain, sehingga

kemungkinan besar akan terbentuk akad jual beli.5

(Dimyauddin Djuwaini, 2008:69).

Jual beli menurut bahasa berarti al-Bai', al-Tijarah dan al-Mubadalah.

Sedangkan menurut istilah (terminologi) yang dimaksud dengan jual beli adalah

5
Djuwaini, Dimyauddin. Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 69.

9
menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan

hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan 6. (Hendi

Suhendi, 2007:67).Sedangkan jual beli menurut Ghufron A.Mas'adi (2002:119) jual

beli secara bahasa al-bai' (menjual) berarti "mempertukarkan sesuatu dengan

sesuatu". la merupakan sebuah nama yang mencakup pengertian terhadap

kebalikannya yakni al-syira’ (membeli). Demikian al-bai' sering diterjemahkan

dengan jual beli. 7Jual beli menurut Nasrun Haroen (2007:111) dalam istilah fiqih

disebut berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan menjual dengan al-

bai' yang lain. Lafal al-ba' dalam bahasa arab terkadang digunakan untuk ra' (beli).

Dengan demikian, kata al-bai" pengertian lawannya, yakni kata asy-syi berarti jual

tetapi sekaligus juga berarti beli8,

sebagaimana syari'at Islam menyebutkan bahwa jual beli dihalalkan dalam

surat An¬-Nisa ayat 29, yaitu:

ِ َ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَْأ ُكلُوا َأ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالب‬
َ ‫اط ِل ِإاَّل َأ ْن تَ ُكونَ تِ َج‬
‫ارةً ع َْن‬
‫اض ِم ْن ُك ْم ۚ َواَل تَ ْقتُلُوا َأ ْنفُ َس ُك ْم ۚ ِإ َّن هَّللا َ َكانَ بِ ُك ْم َر ِحي ًما‬
ٍ ‫ت ََر‬
Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaanyang berlaku dengan suka
sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu"

6
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), 67.
7
Mas’adi, A Ghufran. Fiqh Muamalah Konstektual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 119.
8
Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 111.

10
Hukum jual beli berdasarkan surat al-Baqarah ayat 275:

‫ان ِمنَ ْال َمسِّ ۚ ٰ َذل بَِأنَّهُ ْم‬ُ َ‫الَّ ِذينَ يَْأ ُكلُونَ الرِّ بَا اَل يَقُو ُمونَ ِإاَّل َك َما يَقُو ُم الَّ ِذي يَتَ َخبَّطُهُ ال َّش ْيط‬
‫قَالُوا ِإنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل ال ِّربَا ۗ َوَأ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَا ۚ فَ َم ْن َجا َءهُ َموْ ِعظَةٌ ِم ْن َربِّ ِه‬
ٰ ‫ُأ‬
ِ َّ‫فَا ْنتَهَ ٰى فَلَهُ َما َسلَفَ َوَأ ْم ُرهُ ِإلَى هَّللا ِ ۖ َو َم ْن عَا َد فَ ولَِئكَ َأصْ َحابُ الن‬
َ‫ار ۖ هُ ْم فِيهَاخَ الِ ُدون‬

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan
dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”

Maksud dari penjelasan hadist diatas adalah jual beli yang jujur, tanpa diiringi

kecurangan atau penipuan. Adapun salah satu jual beli yang penulis jumpai di Toko

Marwah adalah jual beli pakaian dengan sistem kodian dimana dalam hal ini biasanya

sering terdapat kecacatan barang, misalnya pedagang pakaian mengambil salah satu

sampel atau contoh pakaian yang tidak cacat untuk dilihatkan kepada konsumen dan

meyakinkan ke konsumen kalau pakaian yang dijual secara kodian itu bagus-bagus,

setelah konsumen itu tertarik dan berniat untuk membelinya, maka pedagang tersebut

mengambil duplikat pakaian yang dijadikan sampel yang sudah terbungkus rapi dan

diserahkan kepada konsumen. Dan dianatara pakaian yang terbungkus rapi tersebut

sering kali terdapat pakaian cacat yang sengaja disembunyikan oleh pedagang.

Pembeli pakaian tadi yang hendak menukarkan kembali pakaian setelah mengetahui

11
bahwa pakaian yang dia beli itu ada yang (cacat), akan tetapi pedagang pakaian

tersebut menolak untuk ditukar pakaianya dengan alasan Barang (pakaian) yang

sudah dibeli tidak bias ditukar lagi jual beli itu boleh, adapun masalah teknis jual beli

dalam al-Qur'an tidak dijelaskan, apalagi yang menyangkut culture (adat) yang sudah

mengakar di dalam masyarakat. Seperti halnya praktek jual beli pakaian sistem terjadi

di Toko Baju Marwah di Pasar Pelabuhan Ratu dipenguruhi oleh adat Sehingga wajar

dalam hukum kebiasaan masyarakat yang berlaku sebelumnya mempunyai

kedudukan penting dalam menentukan status. Islam. Hal ini dijelaskan dalam kaidah

fiqhiyyah, yakni hukum Adat dapat dijadikan (pertimbangan dalam menetapkan)

hukum9" (ADjazuli, 2006:9)

Ketentuan yang diputuskan oleh adat seperti ketentuan hukum yang

berdasarkan atas nash" (Juhaya S. Praja, 1995: 132) Al-Urf memiliki pengertian

segala sesuatu yang dikenal oleh manusia dan menjadi suatu tradisi bagi mereka, baik

itu ucapan, perbuatan atau pandangan- pandangan, dan disebut juga adat 10. Adat

secara umum dibagi menjadi dua macam, yaitu: 'adat yang benar dan 'adat yang

rusak. Adat yang benar adalah kebiasaan yang dilakukan manusia, tidak bertentangan

dengan dalil syara', tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan

kewajiban. Seperti adat meminta pekerjaan, 'adat membagi maskawin menjadi dua

dan lain-lain. Adapun adat yang rusak adalah kebiasaan yang dilakukan oleh manusia

tetapi bertentangan dengan syara', menghalalkan yang haram, atau membatalkarn

9
Djajuli, A. Kaidah-Kaidah Fiqh, (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2006), 9.
10
Praja, S Juhaya, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: LPPM UNISBA, 1995), 132.

12
kewajiban. Seperi kebiasan memakan barang riba dan akad perjudian. (Faiz el

Muttaqin, 2003: 117-118). adat kebiasaan (urf yang digunakan dalam kehidupan

masyarakat harus memenuhi persyaratan

Adapun persyaratan yaitu:

1. Tidak bertentangan dengan nash,baik al-Qur'an maupun as-Sunnah. yebahkan

kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemaslahatan

2. Tidak termasuk didalamnya tidak memberi kesempitan dan kesulitan.

3. Telah berlaku pada umumnya kaum muslimin, dalam arti bukan hanya yang

dilakukan oleh beberapa orang Islam saja.

4. Tidak berlaku dalam masalah ibadah mahdhah11

Dari beberapa persyaratan tersebut maka 'udat kebiasaan tersebut dapat dibagi

kedalam empat kelompok yaitu:

1. Adat yang lama secara substansial dan dalam hal pelaksanaannya

mengandung unsur kemaslahatan. Maksudnya dalam perbuatan itu terdapat

unsur manfaat dan tidak ada unsur madharatnya, atau unsur manfaatnya lebih

besar dari unsur madharatnya. 'Adat dalam bentuk ini diterima sepenuhnya

dalam hukum Islam

2. Adat lama yang pada prinsipnya secara substansial mengandung unsur

mashlahat, namun dalam pelaksanaannya tidak dianggap baik oleh Islam.

11
Muttaqin, el Faiz. Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Amani,2003), 117-118.

13
Adat dalam bentuk ini dapat diterima dalam Islam namun dalam pelaksanaan

selanjutnya mengalami perubahan dan penyesuaian.

3. Adat lama yang pada prinsip dan pelaksanaannya mengandung unsur

mafsadat (merusak). Maksudnya, 'adat tersebut hanya mengandung unsur dan

tidak memiliki unsur manfaat, atau ada unsur manfat tetapi nya lebih besar.

'Adat dalam bentuk ini ditolak olch Islam secara mutlak. telah berlangsung

lama, diterima oleh orang banyak.

4. Adat yang mengandung unsur mafsada (perusak) dan tidak bertentangan

dengan dalil syara' yang datang kemudian, namun secara jelas belum ke dalam

syara' baik secara langsung maupun tidak langsung diserap (Amir


12

Syarifuddin, 2008: 369-370).

Pada umumnya setiap masalah muamalah atau masalah keduniaan boleh dan

dipandang haram setelah ada dalil yang mengharamkannya bagaimana kaidah figh

muamalah yang menjelaskan sebagai berikut:

Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali

ada dalil yang mengharamkannya"13 (A.Djazuli, 2006:130) Maksud kaidah di atas

adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi pada dasarnya boleh, seperti jual

beli, sewa menyewa, gadai, kerjasama, dan lain-lain, kecuali yang tegas-tegas

diharamkan seperti mengakibatkan kemadharatan, penipuan, judi, riba, dan lain-lain.

Transaksi perdagangan atau jual beli menurut islam bisa dilakukan dengan cara

12
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 369-370.
13
Djajuli, A. Kaidah-Kaidah Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), 130.

14
apapun asal kedua belah pihak menghindari adanya gharar, spekulasi barang yang

diperjualbelikan, dan bukan barang yang dilarang oleh syariat Islam. Dalam jual beli,

penjual dan pembeli haruslah jujur, berterus terang, mengatakan yang sebenarnya dan

jangan berdusta atau berbuat curang. Jual beli ditinjau dari hukum dan sifat jual beli.

Jumhuru membaginya menjadi dua macam jual beli, yaitu jual beli yang

dikatagorikan (sahih dan jual beli yang dikatagorikan tidak sah. Jual beti sahih adalah

jual beli yang memenuhi ketentuan syara' baik rukun maupun syaratnya,sedangkan

jual beli tidak sah adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan riukurn

schingga jual beli menjadi rusak (fasid) atau batal. Jual beli yang rusak fasid atau

batal salah satu jenisnya adalah jual beli yang mengandung unsur kesamaran (gharar)

yaitu kesamaran yang terdapat pada barang yang dijual, kesamaran disebabkan oleh

adanya ketidaktahuan dapat dilihat dari beberapa segi: dari segi ketidaktahuan

terhadap barang yang diakadkan atau penentuan akad itu sendiri, dari segi

ketidaktahuan terhadap keadaan harga dan barang yang dijual, atau terhadap besarnya

harga, atau terhadap masa pembayaran harga. Larangan dari jual beli gharar ini

terdapatdalam sabda Rasulullah Saw:

‫صا ِة َوع َْن بَي ِْع ْال َغ َر ِر‬


َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ع َْن بَي ِْع ْال َح‬
َ ِ ‫نَهَى َرسُو ُل هَّللا‬
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli
gharar”

Selain terhindar dari unsur kesamaran, jual beli juga harus terhindar dari

penipuan yang dapat merugikan salah satu pihak yang melakukan akad jual beli.

15
Adanya unsur penipuan dapat mengakibatkan hilangnya kerelaan yang dirasakan oleh

salah satu pihak sehingga status jual belinya menjadi batal. Larangan melakukan

penipuan dalam jual beli dijelaskan dalam sabda Rasulullah diriwayatkan oleh

Bukhari dan Muslim:

َ ‫و َح َّدثَنِي يَحْ يَى ب ُْن َأي‬


َ َ‫ُّوب َوقُتَ ْيبَةُ َواب ُْن حُجْ ٍر َج ِميعًا ع َْن ِإ ْس َم ِعي َل ْب ِن َج ْعفَ ٍر ق‬
‫ال‬
ِ ‫ُّوب َح َّدثَنَا ِإ ْس َم ِعي ُل قَا َل َأ ْخبَ َرنِي ْال َعاَل ُء ع َْن َأبِي ِه ع َْن َأبِي هُ َر ْي َرةَ َأ َّن َرسُو َل هَّللا‬
َ ‫اب ُْن َأي‬
َ ‫ت َأ‬
‫صابِ ُعهُ بَلَاًل فَقَا َل َما‬ ْ َ‫صب َْر ِة طَ َع ٍام فََأ ْد َخ َل يَ َدهُ فِيهَا فَنَال‬
ُ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم َّر َعلَى‬
َ
‫ق الطَّ َع ِام‬
َ ْ‫ُول هَّللا ِ قَا َل َأفَاَل َج َع ْلتَهُ فَو‬
َ ‫صابَ ْتهُ ال َّس َما ُء يَا َرس‬ َ ‫ال َأ‬
َ َ‫ب الطَّ َع ِام ق‬ َ ‫اح‬ ِ ‫ص‬َ ‫هَ َذا يَا‬
َ ‫َك ْي يَ َراهُ النَّاسُ َم ْن غَشَّ فَلَي‬
‫ْس ِمنِّي‬
Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah serta Ibnu Hujr
semuanya dari Ismail bin Ja'far, Ibnu Ayyub berkata, telah menceritakan kepada
kami Ismail dia berkata, telah mengabarkan kepadaku al-Ala' dari bapaknya dari
Abu Hurairah bahwa Rasulullah melewati setumpuk makanan, lalu beliau
memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu
yang basah, maka pun beliau bertanya: "Apa ini wahai pemilik makanan?" sang
pemiliknya menjawab, "Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah."
Beliau bersabda: ‘’ Mengapa engkau tidak meletakkan bagian yang basah ini di atas
hingga manusia dapat melihatnya? Siapa yang menipu maka ia bukan dariku’.” (HR.
Muslim).14

dikutip oleh Achmad Sunarto, 1999: 469)

Orang yang akan melaksanakan jual beli dianjurkan untuk mengetahui syarat-

syarat dan rukun-rukunn tersebut sah menurut Islam. Rukun jual beli menurut ulama

hanafiyah hanya satu yaitu ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan qobul

(ungkapan menjual dari penjual). Akan tetapi jumhur ulama menyatakan bahwa

14
Sunarto, Achmad. Terjemahan Riyadhus Shalihin, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), 469.

16
rukun jual beli itu ada empat, yaitu orang yang berakad (penjual dan pembeli), ada

sighat (ijab dan qobul), barang yang dibeli. dan ada nilai tukar pengganti barang
15
(Nasrun Haroen, 2007: 115).

Syarat-syarat benda yang menjadi objek akad ialah sebagai berikut:

1. Suci atau mungkin untuk disucikan

2. Member manfaat menurut syaral

3. Jangan ditaklikan yaitu dikaitkan atau digantungkan kepada hal-hal lain

4. Tidak dibatasi waktunya

5. Dapat diserahkan dengan cepat atau lambat

6. Milik sendiri

7. Diketahui (dilihat)

Barang yang diperjualbelikan harus dapat diketahui banyaknya, beratnya,

takarannya, atau ukuran-ukuran yang maka lainnya, tidaklah sah jual beli yang

menimbulkan keraguan salah satu pihak.16 (Hendi Suhendi, 2007:71-73)

Selain rukun dan syarat jual beli yang menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi

jual yang patut diperhatikan dan harus asas-asas dilaksanakan. Asas-asas dalam

muamalat ini mengatur lalu lintas hubungan antara asas muamalat tersebut yaitu:

15
Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 115.
16
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), 71-73.

17
1. Asas Taba 'dalul Mana ', asas Taba'dalul Mana'fi berarti segala bentuk

kegiatan muamalat harus memberikan keuntungan dan manfaat bersama bagi

pihak-pihak yang terlibat

2. Asas pemerataan, asas pemerataan adalah penerapan prinsip keadilan dalam

bidang muamalat yang menghendaki agar harta itu tidak hanya dikuasai oleh

segelintir orang sehingga harta itu harus terdistribusikan secara merata di

antara masyarakat,baik kaya maupun miskin.

3. Asas 'an tara'din atau suka sama suka, asas ini merupakan kelanjutan dari asas

pemerataan diatas. Asas iri menyatakan bahwa setiap bentuk muamalat antar

individu atau antar pihak harus berdasarkan kerelaan masing-masing.

Kerelaan disini dapat berarti kerelaan dalam menerima dan atau menyerahkan

harta yang dijadikan objek perikatan dan bentulmuamalat lainnya.

4. Asas adamul gurar, asas adamul gurar berarti bahwa setiap bentuk muamalat

tidak boleh ada gharar yaitu tipu daya atau sesuatu yang menyebabkan salah

satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lainnya sehinggn monyebabkan

hifangnya unsur kerelaan salah satu pihak dalam melakukan suatu transaksi

atau perikatan.

5. Asas al-bir wa al-taqwa, asas ini menekankan bentuk muamalat yang

termasuk dalam kategori Asas suka sama suka ialah sepanjang bentuk

muamalat dan pertukaran manfat itu dalam rangka pelaksanaan saling tolong

menolong antar sesama manusia untuk al-birr wa al-taqwa, yakni kebajikan

dan ketaqwaan dalam berbagai bentuknya

18
6. Asas musyarakah, asas musyarakah menghendaki setiap bentuk muamalat

merupakan musyarakah, yakni kerjasama antar pihak yang saling

menguntungkan bukan saj bagi pihak yang terlibat melainkan juga bagi

keseluruhan masyarakat manusia.17 (Juhaya S. Praja, 2004:113-114).

E. Langkah-langkah penelitian

Dengan demikian setiap jenis muamalah yang dilakukan hendaklah

memperhatikan unsur-unsur yang menjadi prinsip-prinsip muamalah demi

terjaminnya harta yang dimiliki apakah halal atau haram dan apakah ada pihak lain

yang merasa dirugikan atau tidak. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka

diharapkan penulis dapat mengungkapkan permasalahan secara tuntas. Dalam

melakukan penelitian ini, penulis mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

1. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah metode yang digunakan dalam aktivitas penelitian 18

(Beni Ahmad Saebani. 2008: 43). Untuk memperoleh data lengkap dalam penelitihan

ini maka metode yang digunakan adalah mctode deskriptif dan analisis. Metode

deskriptif digunakan untuk menjelaskan pelaksanaan jual beli pakaian dengan sistem

kodian di Toko Baju Marwah di Pasar Pelabuhan Ratu, sedangkan metode analisis

digunakan untuk menganalisa pelaksanaan jual beli pakaian dengan sistem kodian

apabila ditinjau dari sudut pandang Fiqh Muamalah. Tujuan dari penelitian deskriptif

ini adalah untuk membuat gambaran yang sistematis, akurat dan aktual mengenai
17
Praja, S Juhaya. Filsafat Hukum Islam, (Bandung: LPPM UNISBA, 1995), 113-114.
18
Saebani. Ahmad Beni, Metode Penelitian, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008), 43.

19
fakta-fakta fenomena yang diteliti yaitu tentang jual beli pakaian dengan sistem

kodian yang berlokasi di Toko Baju Marwah Pasar Pelabuhan Ratu Kabupaten

Sukabumi.

2. Lokasi Penelitian

Penulis melakukan penelitian berlokasi di Pasar Pelabuhan Ratu kabupaten

Sukabumi.

3. Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian merupakan jawaban atas

pertanyaan penelitian yang diajukan terhadap masalah yang dirumuskan dan pada

tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, jenis data tersebut diklasifikasikan

sesuai dengan butir-butir pertanyaan yang diajukan, dan terhindar dari jenis data tidak

relevan dengan pertanyaan tersebut, walaupun dimungkinkan penambahan sebagai

pelengkap. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini menekankan pada jenis

data kualitatif yang diperoleh dari hasil observasi atau pengamatan wawancara

langsung kepada informan yang dipilih. Data-data tersebut diperoleh dari lokasi

penelitian yaitu di Toko Baju Marwah di Pasar Pelabuhan Ratu. Adapun jenis data

yang didapat dari lokasi penelitian diantaranya mengenai:

a. Pelaksanaan akad jual beli pakaian dengan sistem kodian di Toko Baju

Marwah Pasar Pelabuhan Ratu.

20
b. Faktor yang melatar belakangi pelaksanaan jual beli pakaian dengan sistem

kodian di Toko Baju Marwah Pasar Pelabuhan Ratu

c. Tinjauan figh muamalah terhadap Pelaksanan akad jual beli pakaian dengan

sistem kodian di Toko Baju Marwah Pasar Pelabuhan Ratu

4. Sumber Data

Penentuan sumber data didasarkan atas jenis data yang telah ditentukan. Pada

tahapan ini ditentukan sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data

primer diperoleh dari para responden yang dijadikan objek penelitian, yaitu penjual

dan pembeli pakaian dengan sistem kodian di Toko Baju Marwah Pasar Pelabuhan

Ratu, Sedangkan sumber data sekunder adalah sumber data lain yang menunjang

sumber data primer, baik yang diperoleh dari dokumen-dokumen. buku-buku atau

karya tulis lainnya yang berhubungan dengan masalah penelitian.

5. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan

cara:

a. Observasi, yakni yang dilakukan oleh penulis adalah pengamatan secara

langsung terhadap penjual dan pembeli yang melakukan kegiatan jual beli

pakaian di Toko Baju Marwah di Pasar Pelabuhan Ratu dengan menggunakan

system kodian. Tujuan dari observasi ini adalah untuk memperoleh data yang

sebenar-benarnya dengan melakukan pengamatan secara langsung mengenai

21
kegiatan transaksi yang dilakukan di Toko Baju Marwah Pasar Pelabuhan

Ratu.

b. Wawancara, yaitu suatu bentuk komunikasi atau percakapan yang bertujuan

untuk memperoleh informasi yang berhubungan dengan penelitian yang

dilaksanakan. Penulis melakukan wawancara terbuka dengan para penjual dan

pembeli secara langsung dengan menggunakan pokok-pokok wawancara

sebagai pedoman agar proses wawancara tersebut dapat terarah dan

mendapatkan data serta informasi yang lebih rinci mengenai pelaksanaan

transaksi jual beli pakaian dengan sistem kodian di Toko Baju Marwah Pasar

Pelabuhan Ratu

6. Analisis Data

Analisis data merupakan penguraian data melalui tahapan kategorisasi,

klasifikasi, perbandingan dan pencarian data secara spesifik adapun teknik yang

digunakan untuk menganalisa data adalah sebagai berikut:

a. Pengumpulan dan penyeleksian data yang sesuai dengan masalah yang sedang

dibahas.

b. Data yang terkumpul kemudian diklasifikasikan menurut kategori tertentu.

c. Menganalisis data secara deduktif dan induktif.

d. Penarikan kesimpulan data-data pada masalah yang dibahas.

22
DAFTAR PUSTAKA

Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Djuwaini, Dimyauddin. 2008. Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Haroen, Nasrun. 2007. Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama.

Mas’udi, A Ghufron. 2002. Fiqh Muamalah Konstektual, Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada.

Marzuki, A Kamaludin. Fiqh Sunnah, Bandung: PT. Al-Ma’arif.

Muttaqin, el Faiz. 2003. Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Amani.

Praja, S Juhaya. 1995. Filsafat Hukum Islam, Bandung: LPPM UNISBA.

Suhendi, Hendi. 2007. Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Saebani, Ahmad Beni. 2008. Metode Penelitian, Bandung: CV. Pustaka Setia.

23

Anda mungkin juga menyukai