Anda di halaman 1dari 24

BAB III

JUAL BELI CENGKEH DENGAN SISTEM BORONG DIPOHON DALAM

PERSPEKTIF HUKUM EKONOMI SYARIAH DI DESA LOA

KECAMATAN PASEH KABUPATEN BANDUNG

A. Pelaksanaan Jual Beli Cengkeh Dengan Sistem Borong Dipohon Di Desa

Loa Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung

1. Gambaran Umum Demografis

Desa Loa salah satu desa di wilayah Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung

Provinsi Jawa Barat dengan luas wilayah kurang lebih + 1.273,575 Ha tanah.

Masyarakat Desa Loa Kecamatan Paseh merupakan suku sunda yang tersebar

ditiap-tiap RW, Aspek kebudayaan, baik yang bersifat kebendaan menunjukan

identitas dan karakter khas budaya sunda. Selain dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya

sunda, pola hidup masyarakat Desa Loa Kecamatan Paseh juga diwarnai oleh nilai-

nilai agama khususnya islam yang dianut oleh sebagian besar masyarakat

sehingga selain NYUNDA, pola kehidupan masyarakat Desa Loa juga bersifat

religius, Dinamika religius masyarakat nampak dalam aktifitas sehari-hari dan

pembinaan keagamaan seperti Pondok Pesantren, Organisasi masa ke- Islaman,

Yayasan, Mesjid, Madrasah, Majelis Ta’lim dan lain-lain, Keseharian masyarakat

Desa Loa adalah bercocok tanam, ber tani, buruh tani, peternak domba dan peternak

ayam dan buruh yang lainnya.

47
48

1.1. Luas Desa Loa : 1.273,575 Ha

a. Pemukiman : 210, 575 Ha

b. Pesawahan : 156 Ha

c. Perkebunan : 80 Ha

d. Pekarangan : 10 Ha

e. Ladang / Tegalan : 150 Ha

f. Kehutanan : 760 Ha

g. Kolam : 2 Ha

1.2. Batas Desa Loa

a. Sebelah utara : Berbatasan dengan Desa Cipaku

b. Sebelah Timur : Berbatasan dengan Desa Drawati

c. Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kab. Garut

d. Sebelah Barat : Berbatasan dengan Desa Sindangsari &

Desa Mekarwangi

Keterjangkauan Desa

a. Ke Kecamatan :5 Km

b. Ke Kabupaten : 35 Km

c. Ke Provinsi : 40 Km

d. Ke Ibu kota Negara : 215 Km

Waktu Tempuh:

a. Ke Kecamatan : 0, 25 Jam

b. Ke Kabupaten : 1, 5 Jam
49

Jalan Desa: 9.500 M

a. Jalan Babakan Loa – Sindangsari : 2.500 M

b. Jalan Tiisdingin – Cijengkol : 2.500 M

c. Jalan Cileutik – Cidadap : 1.000 M

d. Jalan Cidadap – Malang : 3.500 M

Jalan Kabupaten: 13.800 M

a. Jalan Babakan Loa- Patrol : 7.000M

b. Jalan Walahir-Mekarwangi : 3.800 M

c. Jalan Sindangsari- Nagarasari : 3.000M

Kepadatan penduduk di desa Loa sudah mencapai 11.231 jiwa penduduk

tetap yang terdiri dari laki-laki 5801 Orang dan Perempuan 5430 Orang. Jumlah

Kepala Keluarga 3.432 KK berdasarkan hasil pendataan penduduk Tahun 2017.

1.3. Berdasarkan Jumlah pendataan yang dilakukan oleh Desa Loa pada

tahun 2017 menurut tingkat Pendidikan sebagai berikut:

Table 3.1.

Tingkat Pendididikan L P Jml

Belum masuk TK 320 314 634

sedang TK/play group 18 24 42

Usia 7 - 18 tahun yang tidak pernah sekolah 1 0 1

Usia 7 - 18 tahun yang sedang sekolah 708 726 1,434

Usia 18 - 56 tahun tidak pernah sekolah 3 1 4


50

Usia 18 - 56 tahun pernah SD tetapi tidak


tamat 22 17 39

Tamat SD/sederajat 2,330 2,174 4,504

Tamat SMP/sederajat 756 810 1,566

Tamat SMA/sederajat 684 522 1,206

Tamat D-1/sederajat 5 3 8

Tamat D-2/sederajat 6 12 18

Tamat D-3/sederajat 9 14 23

Tamat S-1/sederajat 80 61 141

Tamat S-2/sederajat 2 0 2

1.4. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian

a. PNS/TNI/POLRI : 314 Orang

b. Pegawai Swasta : 102 Orang

c. Petani : 442 Orang

d. Pedagang /Wiraswasta : 510 Orang

e. Lainnya : 6022 Orang

f. Tidak bekerja : 3841 Orang

Jumlah : 11.231 Orang

Sarana dan Prasarana

1. Sarana kesehatan

- Pustu / Polindes : 2 buah

- Posyandu : 13 buah
51

- Bidan Desa : 1 Orang

- Balai pengobatan Bidan / Mantri : 4 unit

- Toko Obat : 1 buah

2. . Sarana umum

- Jumlah Masjid Jami : 18 Buah

- Langgar/Mushola : 66 buah

- Madrasah : 12 Buah

- Jumlah Siskamling : 12 Buah.1

2. Praktek Jual Beli Cengkeh dengan sistem borong di pohon di Desa Loa
Kecamatan Paseh

Jual beli merupakan salah satu bentuk muamalah antara manusia dalam

bidang ekonomi yang disyariatkan oleh Islam. Dengan adanya jual beli, manusia

dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, karena manusia tidak hidup sendiri. Islam

adalah agama yang akan membawa umatnya menuju kebahagiaan dan

kesejahteraan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Untuk menciptakan keadaan

yang demikian itu diperlukan hubungan dengan sesamanya dan saling

membutuhkan di dalam masyarakat.2

Pada praktek jual beli borongan ini dilakukan oleh penjual dengan pihak

pembeli (pemborong) sistem jual beli cengkeh dengan sistem borong yang masih

di pohon dilakukan secara turun menurun sampai saat ini. Dalam pelaksanaannya

1
Profil desa Loa Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung
2
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994) hlm. 278.
52

praktek jual beli borongan di Desa Loa dilakukan saat musim cengkeh yang belum

kelihatam kualitas dan kuantitasnya.

a. Cara Memanen Cengkeh Di Desa Loa Kecamatan Paseh Kabupaten

Bandung

Setelah melakukan pembayaran dengan tunai di awal, pemborong

menunggu buah cengkeh sampai bunga cengkehnya sudah mekar dan rata berwarna

merah atau siap untuk dipanen. Dalam pelaksanaan pemanenan buah cengkeh

memerlukan waktu hingga berbulan bulan dalam satu pohon untuk dipanen atau

dipetik . Selain itu kondisi buah cengkeh yang setiap pohon berbeda-beda, ada yang

siap untuk dipanen, sementara di pohon lain belum siap dipanen. Tentunya dalam

kondisi seperti itu untuk memanen cengkeh membuthkan jangka waktu yang cukup

panjang. 3

Adapun cara yang praktis dalam memanen buah cengkeh dengan menunggu

cengkeh tersebut jatuh ke bawah atau membuat jaring di antara tangkai-tangkai

pohon cengkeh sehingga dapat memudahkan dalam proses pemanenan buah

cengkeh.4

b. Cara Jual Beli Cengkeh Di Desa Loa Kecamatan Paseh Kabupaten

Bandung

3
( Hasil wawancara dengan Ibu Noneng sebagai pemilik pada tgl 11 maret 2019 Pukul
13.00)
4
(Hasil Wawancara dengan Bapak Yayat sebagai pemborong pada tgl 11 maret 2019
Pukul 14.20)
53

Cara pelaksanaan jual beli cengkeh biasanya terjadi sebelum musim panen

tiba para pemborong mengelilingi dan menanyakan cengkeh mana yang akan dibeli

dengan menawarkan cengkeh nya tersebut dibeli secara perpohon kepada pemilik

pohon cengkeh. Mekanisme yang digunakan adalah menggunakan sistem

borongan, untuk mengetahui jumlah dari obyek yang diperjual belikan yaitu dengan

cara penaksiran. Penaksiran dilakukan bertujuan untuk memperkirakan jumlah hasil

panen cengkeh dan sebagai acuan untuk menentukan harga yang akan ditetapkan

nantinya dalam pembelian dengan sistem borongan. Dalam penaksiran tersebut

antara petani dan pembeli (pemborong) masing- masing melakukan penaksiran,

dengan tujuan agar antara pemilik cengkeh dan pembeli (pemborong) sama-sama

mengetahui kuantitas dan kualitas dari cengkeh tersebut.

Seperti yang dituturkan oleh Bapak Dayat selaku pembeli bahwa,

penaksiran dilakukan bukan hanya pembeli saja, akan tetapi petani melakukan hal

yang sama seperti yang dilakukan oleh pembeli , yaitu melakukan penaksiran, dan

hasil penaksiran antara petani dan pembeli, setelah dilakukan pemanenan hasilnya

tidak jauh beda dengan yang di perediksikan waktu penaksiran sebelum akad

terjadi. Adapun jika terjadi perbedaan setelah pemanenan sedikit sekali. 5

Adapun cara penaksiran kuantitas dan kualitas cengkeh yaitu antara pemilik

pohon cengkeh dan pembeli sama-sama datang ke lokasi untuk melihat pohon dan

buah cengkeh yang akan di jadikan obyek jual beli. Untuk menaksir kualitas,

pembeli menaksir mengambil cengkeh yang sudah jatuh kebawah yang sudah

5
(Hasil wawancara dengan Dayat sebagai pemilik pada tgl 29 september 2019 Pukul
13.00)
54

hampir matang yang terlihat oleh petani dan pembeli (pemborong) untuk hasil

panennya biasanya penaksir melihat hasil panen bulan sebelumnya. Memetik secara

acak beberapa buah cengkeh yang dijadikan sebagai sampel ditempat yang berbeda-

beda, kemudian petani memberi tahu kepada pembeli (pemborong) umur dari buah

tersebut.6

Untuk menentukan harga cengkeh yang akan dibeli dengan peprohon

tersebut, pembeli menaksir cengkeh yang masih di pohon lalu terjadilah

kesepakatan harga antara pemborong dan pemilik cengkeh. Setelah menemukan

kesepakatan mengenai harga jual cengkeh tersebut lalu proses selanjutnya adalah

melakukan transaksi.

Biasanya dalam pelaksanaan transaksi seperti ini adalah saling kepercayaan

dengan menjual dan mengambil uang kepada pembeli yang memang sudah

mengetahui persis buah cengkeh yang ada di kebun.7 Akan tetapi, sering pula

pembeli tidak mengambil atau membeli dengan jumlah yang banyak, dengan

pertimbangan waktu yang cukup panjang karena pohon cengkeh belum berbuah dan

menjaga jangan sampai tidak berbuah. 8

Harga yang diberikan pula sangat variatif berdasarkan permintaan dan

penawaran yang dilakukan. Jika buah cengkeh nantinya berbuah, dan buahnya

dipanen oleh si pembeli, maka harga yang ditawarkan pula sedikit murah, dan

6
(Hasil wawancara dengan Ibu Noneng sebagai pemilik pada tgl 11 maret 2019 Pukul
13.00)
7
(Hasil wawancara dengan Ibu sebagai pemilik Noneng pada tgl 11 maret 2019 Pukul
13.00)
8
(Hasil wawancara dengan bpk sodikin sebagai pemborong pada tgl 29 september 2019
Pukul 13.00)
55

apabila si pembeli tidak memanen, menunggu hasil panen dari si pemilik, maka

harganyapun sedikit mahal. Pada kenyataannya bahwa, mereka yang membeli dan

memanen sendiri buah cengkeh tersebut adalah para petani yang memang

mempunyai pohon cengkeh dan mampu memanen sendiri. Sedangkan bagi para

pembeli yang tidak sanggup memanen sendiri, bisaanya mereka yang punya profesi

bukan petani dan mempercayakan kepada petani itu sendiri untuk memanen dan

memberikan hasil panen tersebut sesuai dengan jumlah yang disepakati, dan

bisaanya para petani tersebut tidak pernah lalai atau ketika pohon cengkeh berbuah

dan sudah tiba saatnya panen, mereka mengantarkan sendiri ke rumah pembeli. 9

Dalam proses jual beli seperti ini, ada kerugian tersendiri yang dialami oleh

pemilik pohon cengkeh , sebab harga yang dibayarkan sebelumnya sangat berbeda

jauh dengan harga jual di pasaran pada umumnya. Bisa dibayangkan keuntungan

yang diperoleh dari proses jual beli ini, kisarannya lebih dari 3 kali lipat keuntungan

dari harga beli.

B. Harmonisasi Tentang Jual Beli Cengkeh Dengan Sistem Borong Dipohon


Dalam Perspektif Hukum Ekonomi Syariah di Desa Loa Kecamatan
Paseh Kabupaten Bandung

Jual beli merupakan suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang

mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima

9
(Hasil wawancara dengan bpk sodikin sebagai pemborong pada tgl 29 september 2019
Pukul 13.00)
56

benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan

yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati. 10

Imam Taqiyuddin mendefinisikan jual beli sebagai bentuk tukar menukar

harta yang dapat dimanfaatkan sesuai syara’ yang disertai dengan ijab dan qabul.

Pemikiran As-Sayyid Sabiq tentang definisi jual beli adalah melepaskan harta

dengan mendapat harta lain berdasarkan kerelaan dan memindahkan harta dengan

mendapatan benda lain sebagai gantinya secara sukarela dan tidak bertentangan

dengan syara’,11

Hukum Islam mensyariatkan aturan-aturan yang berkaitan dengan hubungan

antara individu untuk kebutuhan hidupnya, membatasi keinginan-keinginan hingga

memungkinkan manusia memperoleh maksudnya tanpa memberi kerugian kepada

orang lain. Oleh karena itu melakukan hukum tukar menukar keperluan antara

anggota masyarakat adalah jalan yang adil. Allah mensyariatkan jual beli sebagai

pemberian keluangan dan keleluasaan dari-Nya untuk hamba-hamba-Nya. Allah

SWT. Melarang kaum muslimin untuk memakan harta orang lain secara bathil,

sebagaimana Firman Allah dalam surat al-Nisa (3): 29

ٍ ‫َل أَن تَ ُكونَ ِت َج َرةً َعن تَ َر‬


‫اض ِمن ُك ْم‬ ۟ ُ‫َيَٰٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمن‬
َٰٓ َّ ‫وا ََل تَأْ ُكلُ َٰٓو ۟ا أَ ْم َولَ ُكم َب ْينَ ُكم ِبٱ ْل َب ِط ِل ِإ‬
﴾٢٩﴿ ‫ّلل َكانَ ِب ُك ْم َر ِحي ًما‬ َ ُ‫َو ََل تَ ْقتُلُ َٰٓو ۟ا أَنف‬
َ َّ ‫س ُك ْم ِإنَ ٱ‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan

harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang

10
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah . . . hlm. 67.
11
Hasbi as-Siddieqi, Hukum-hukum Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1997)
57

berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh

dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. 12

Allah mengecualikan dari larangan ini pada pencaharian harta dengan jalan

perniagaan yang dilakukan atas dasar suka sama suka oleh kedua belah pihak yang

bersangkutan.13

Secara bathil dalam kontek ini memiliki arti yang sangat luas, diantaranya

melakukan transaksi ekonomi yang bertentangan dengan syara’ seperti halnya

melakukan transaksi berbasis riba (bunga), transaksi yang bersifat spekulatif

(maisir/judi), ataupun transaksi yang mengandung unsur gharar. Untuk

mendapatkan harta harus dilakukan dengan adanya kerelaan semua pihak dalam

transaksi seperti dalam transaksi jual beli harus ada kerelaan antara penjual dan

pembeli dan jauh dari unsur gharar dan juga harus memperhatikan unsur kerelaan

bagi semua pihak.14

Dalam aktivitas muamalah yang terus berkembang seiring dengan kebutuhan

hidup manusia yang terus meningkat dari waktu ke waktu maka banyak masalah

masalah yang terbaru yang harus diselesaikan dalam perspektif Hukum Ekonomi

Syariah untuk mencapai kemaslahatan bersama. Para ulama fikih

mengembalikannya pada prinsip-prinsip muamalah, di antaranya yaitu: 15

12
Soenarjo, dkk. Al-Qur’an dan terjemahnya . . . Hlm. 107.
13
Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2,
(Surabaya: Bina Ilmu, 1987), hlm. 362
14
Dimyauddin Djuwaini . . . hlm. 60-61
15
A.Dzajuli, Ilmu Fiqh (Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam),
(Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 130-131
58

1. Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan,

kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

2. Hukum asal dalam muamalah adalah pemaafan, tidak ada yang

diharamkan, kecuali yang diharamkan oleh Allah SWT.

3. Hukum asal dari transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang

berakad, hasilnya adalah yang berlaku sahnya yang diakadkan.

4. Dasar dari akad adalah keridhaan kedua belah pihak.

Jual beli dalam Islam harus memenuhi rukun dan syarat jual beli agar jual

beli tersebut sah. Semua pelaksanaan jual beli memiliki rukun dan syarat, namun

tidak semua jual beli tersebut memenuhi rukun dan syarat.

Dari segi rukun praktik jual beli yang dilakukan oleh petani dan pemborong

(pembeli) sudah memenuhi aturan syara. Karena, rukun yang pertamanya adanya

penjual dan pembeli sudah terlaksana. Dan yang kedua, adanya shighat (ijab

qabul). Shighat merupakan lafazd serah terima yang diucapkan oleh penjual dan

pembeli sudah terlaksana. Dan yang ketiga, Ma’qud ‘alaih adanya barang yang

diperjual belikan yaitu buah cengkeh.

a. Aqidain (dua orang yang berakad, yaitu penjual dan pembeli)

Pelaksanaan praktik jual beli borongan di Desa Loa Kecamatan Paseh

Kabupaten Bandung antara petani dan pemborong tidak ada syarat-syarat tertentu.

Kedua belah pihak masing-masing adalah orang yang sudah baligh, berakal dan

cakap bertindak hukum serta tidak dalam keadaan terpaksa ketika melakukan akad.
59

Menurut Sudarsono dalam bukunya “Pokok-Pokok Hukum Islam”

memaparkan bahwa antara petani dan pembeli dalam transaksi jual beli harus

memenuhi syarat sebagai berikut: bukan dipaksa (kehedaknya sendiri), sehat

akalnya, orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya, sampai umur atau baligh,

keadaannya tidak mubadzir (pemboros), karena harta orang yang mubadzir itu

diwilayah tangan walinya.16 Sedangkan menurut syarat yang berkaitan dengan aqid

(para petani dan pembeli), semua madzab sepakat bahwasannya seorang aqid harus

mumayyiz (bisa membedakan yang baik dan buruk).17

Jual beli cengkeh dengan sistem borong yang masih di pohon di Desa Loa

dilakukan kedua belah pihak yaitu petani dan pembeli dilakukan oleh orang dewasa,

akad tersebut dilakukan atas kemauaan sendiri tidak dipaksakan dan atas dasar

suka-sama suka. Dengan demikian para pihak yang melakukan transaksi jual beli

dengan sistem borong di pohon di Desa Loa telah memenuhi persyaratan serta

rukun jual beli mengenai aqid (petani dan pembeli).

b. Sighat (ijab qabul)

Jual beli belum dapat dikatakan sah sebelum ijab dan qabul dilakukan. Hal

ini karena ijab dan qabul menunjukkan kerelaan kedua belah pihak. Pada dasarnya

ijab dan qabul itu harus dilakukan dengan lisan. Akan tetapi, kalau tidak mungkin,

misalnya karena bisu, jauhnya barang yang dibeli, atau petaninya jauh, boleh

dengan perantaraan surat-menyurat yang mengandung arti ijab dan qabul. Adanya

16
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam (Jakarta: Pt. Rineka Cipta, 1992) hlm. 396.
17
Ghufran Mas adi A. Fiqih Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002), hlm. 121.
60

kerelaan tidak dapat dilihat sebab berhubungan dengan hati, oleh karena itu,

wajiblah dihubungkan dengan sebab lahir yang menunjukkan kerelaan itu, yaitu

shighat (ijab dan qabul).18

Jual beli cengkeh dengan sistem borong yang masih di pohon di Desa Loa

kecamatan Paseh Kabupaten Bandung dalam melakukan ijab dan qabul yang

dikedepankan adalah kekeluargaan dan kepercayaan, karena dalam jual beli

tersebut tidak disertai dengan adanya surat-surat tertulis seperti surat perjanjian,

kwitansi atau bukti pembayaran lainnya, sehingga sudah saling percaya satu sama

lain. Ijab dan qabul dalam hukum Islam agar benar-benar mempunyai akibat hukum

terhadap obyek, diperlukan beberapa syarat. Ijab dan qabul ini menurut

kesepakatan ulama, memenuhi beberapa persyaratan yaitu:

1. Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal

2. Qabul sesuai dengan ijab

3. Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis atau antara ijab dan qabul tidak

terpisah dengan waktu yang lama. 19

Ijab dan qabul yang dilakukan dalam jual beli cengkeh dengan sistem

borong yang masih di pohon di Desa Loa, yaitu pihak pembeli datang ketempat

petani dan ijab dan qabul dilakukan di kebun atau di bawah pohon cengkeh setelah

dilakukan penaksiran kuantitas dan kualitas serta harga ditentukan maka saat itu

juga ijab dan qabul dilakukan. Selain itu terkadang ijab dan qabul dilakukan di

18
Ibnu Mas‟ud, Fiqih Mdzhab Syafi‟I, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 26.
19
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah . . . hlm. 116.
61

rumah pihak petani (pemilik pohon). Seperti yang dipaparkan oleh Sudarsono

bahwa ijab ialah perkataan petani, seperti “saya jual barang ini sekian”. Qabul

adalah perkataan si pembeli, seperti “saya beli barang tersebut dengan harga

sekian.”20

Ijab dan qabul yang diucapakan dalam akad jual beli singkong dengan

dengan sistem borong yang masih di pohon di Desa Loa, dilakukan secara langsung

yaitu dengan menggunakan lisan. Akan tetapi kata yang digunakan dalam akad jual

beli di Desa Loa dengan menggunakan perkataan yang lain yang menunjukkan

maksud yang sama di dalam ijab dan dan qabul tersebut.

Sebagaimana kebiasaan yang terjadi pada jual beli cengkeh dengan sistem

borong yang masih di pohon di Desa Loa, bahwa keberadaan cengkeh pada saat

terjadi akad masih berada di atas pohon. Adapun ijab dan qabul nya dilakukan

setelah terjadi kesepakatan harga. Hal semacam itu tidak bertentangan dengan

hukum Islam, di mana bentuk ijab nya adalah berupa penyerahan cengkeh, yang

pada saat itu masih di pohon atau buah cengkeh berjatuhan kebawah, sedangkan

qabul nya adalah berupa penerimaan cengkeh. Hal semacam itu terlihat timbal balik

atau kewajiban antara petani dan pembeli telah terpenuhi dengan adanya ijab dan

qabul.

Berdasarkan uraian tersebut, bahwa ijab dan qabul dalam jual beli harus

tetap ada, hanya saja bentuknya tergantung dari kebiasaan mereka masing-masing,

yang paling penting adalah maksud dan tujuan sama serta kerelaan kedua belah

20
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam . . . hlm 401
62

pihak tetap ada. Sedangkan ijab dan qabul diadakan adalah untuk menunjukkan

adanya suka rela timbal balik terhadap perikatan yang dilakukan kedua belah pihak

yang bersangkutan.

Dengan demikian terjadi antara kedua belah pihak dengan suka sama suka

dan saling rela. Prinsip saling merelakan inilah yaang selalu dianjurkan dalam al-

Qur`an dan al-Sunnah

c. Maq’ud ‘alaih (obyek akad)

Syarat-syarat barang yang menjadi obyek akad dalam jual beli haruslah

diketahui dengan jelas dzatnya, kadar, sifat, wujud, dan diketahui pula massanya,

serta dapat diserahterimakan, sehingga terhindar dari kesamaran dan penipuan. 21

Hukum Islam melarang memperjual belikan barang yang dikategorikan

barang najis atau diharamkan oleh syara`, seperti darah, bangkai, dan babi. Karena

benda-benda tersebut menurut syari`ah tidak dapatdigunakan. 22

Pelaksanaan jual beli cengkeh dengan borongan di Desa Loa Kecamatan

Paseh, barang yang dijadikan obyek jual beli jelas merupakan milik petani, barang

atau obyek jual beli keadaannya tidak najis atau bersih barangnya, barangnya

diketahui bentuk atau wujudnya karena ada dan bisa dilihat oleh mata dengan secara

nyata.

21
Ahmad Wardi muslich, Fiqh Muamalat . . . hlm 189-190.
22
Wahbah Zulhaili, Al-Fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, terj. Setiawan Budi Utomo, Fiqh
Muamalah Perbankan Syari’ah. (Jakarta: PT. Bank Muamalat Indonesia, TBK, 1999), hlm 18-91.
63

Syarat yang berkaitan dengan obyek jual beli, pada prinsipnya seluruh

madzhab sepakat bahwa obyek aqad harus bisa dimanfaatkan, suci, wujud (ada),

diketahui secara jelas dan dapat diserahterimakan. Dalam hal jihalah (ketidak

jelasan obyek akad) menurut Hanafiyah mengakibatkan fasid, sedangkan menurut

jumhur ulama berakibat membatalkan akad jual beli. 23

Dari analisis di atas, maka praktik yang dilakukan oleh pemilik pohon

cengkeh dan pemborong tidak bertentangan dengan hukum Islam karena telah

memenuhi syarat dan rukun dalam melakukan akad atau perjanjian. Baik dari segi

ijab dan qabul, serta aqidain orang yang berakad antara penjual dan pembeli

tersebut. Dalam analisis hukum Islam terhadap transaksi jual beli dengan sistem

borong tersebut terdapat beberapa kemungkinan fasad (rusak) karena dari segi

Maq’ud ‘alaih (obyek akad) menggunakan taksiran sehingga menimbulkan

spekulatif (gharar).

Pada pelaksanaan jual beli yang terjadadi di Desa Loa Kecamatan Paseh

Kabupaten Bandung pemborong membeli buah cengkeh ke petani secara borongan

yang masih di pohon dengan taksiran oleh pembeli (pemborong), Karena

mengandung unsur spekulatif (gharar) dalam jual belinya, hal ini dikarenakan

objek jual belinya yaitu cengkeh masih muda dan belum siap untuk dipanen, ini

akan mengakibatkan saat panen cengkeh tersebut akan berbeda dengan taksiran dari

pemborong. Dikarenakan bisa saja buah cengkeh yang sudah dipetik karena kadang

hasil panennya lebih besar dari perkiraan pada saat perjanjian, belum lagi buah yang

23
Wahbah Zulhaili, Al-Fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, terj. Setiawan Budi Utomo, Fiqh
Muamalah Perbankan Syari’ah . . . hlm. 91
64

sudah matang biasanya akan berjatuhan sendiri, yang dimana dapat mengakibatkan

berkurangnya jumlah tersebut sehingga dapat merugikan salah satu pihak.

Rasulullah melarang jual beli seperti ini, seperti dalam hadistnya:

َ ‫ار َحتَّى ت ُ ْز ِه‬


‫ َو َمازَ ْه ُو َها ؟‬:‫ قِ ْي َل‬.‫ي‬ َّ ِ‫َع ْن اَنَ ِس ْب ِن َما ِلكٍ اَ َّن النَّب‬
ِ ‫ي صي نَ َهى َع ْن بَ ْي َع الث َم‬

.‫ار ُّمتَفَق َعلَيِ ِه‬


ُّ َ‫صف‬ ُّ ‫قَا َل تَ ْحت َم‬
ْ َ‫ار َوت‬

Artinya: Dari Annas Bin Malik sesungguhnya “Rasulullah Saw melarang

jual beli buah – buahan di pohonnya sampai buah – buahan itu masak” lalu apa

tanda buah itu masak? Rasulullah menjawab ia menjadi merah atau menjadi kuning

(H.R al – Bukhari dan Muslim-870).24

َ ‫صال ُح َها نَ َهى اْلبَا ئِ َع َواْل ُم ْبت َا‬


.‫ع‬ َ ‫ع ْن بَي ِْع ا ل ِش َما ِر َحتَّى يَ ْبد ُ َو‬
َ ‫ نَ َهى َرسُ ْو ُل هللاِ ص‬:‫ع ِن اب ِْن عُ َم َر قَا َل‬
َ

(‫علَ ْي ِه‬
َ ‫) ُمتَفَّق‬

Artinya: “Dari ibnu umar, ia berkata: Rasulullah Saw telah larang menjual

buah-buahan sebelum nyata jadinya. Ia larang penjual dan pembeli.” (HR. Al-

Bukhari dan Muslim-869).25

Dari hadist di atas jelas Rasulullah melarang jual beli buah – buahan

sebelum matang dan harus menunggunya sampai buah – buahan itu matang di

pohonnya.

24
Ibnu Hajar Al-asqalani, Bulughul-Maram . . . Hlm. 174
25
Ibnu Hajar Al-asqalani, Bulughul-Maram . . . Hlm. 173
65

Dari hadis di atas Rasulullah melarang jual beli yang mengandung unsur

gharar (ketidakpastian) karena akan merugikan salah satu pihak. Dari kesimpulan

hadist diatas bahwasanya:

1. Larangan menjual buah–buahan sebelum matang,

2. Larangan itu mengharuskan kerusakan, sehingga jual beli buah–buahan

yang belum matang tidak sah,

3. Boleh menjualnya setelah tampak matang, dengan syarat pemutusan pada

saat itu pula. Ini merupakan pendapat Jumhur,

4. Bukti kematangan buah ialah buah kurma di pohon yang warnanya

kekuning–kuningan atau kemerah–merahan, yang juga ada pada sebagian

buah–buahan. Kematangan sebagian buah–buahan di pohonnya merupakan

bukti kematangan untuk seluruh buah di satu lahan untuk jenis yang sama.

Larangan ini menunjukan bahwa sebelum matang, buah–buahan masih

rentan terhadap kerusakan dan gangguan. Jika buah–buahan rusak, maka

pembelilah yang harus menanggungnya, sehingga tidak ada manfaat yang

diperoleh, sehingga penjual dianggap mengambil harta orang lain (pembeli) secara

batil. Menjual buah – buahan sebelum tampak matang, juga tidak mendatangkan

manfaat, karena memang belum bisa dimanfaatkan.26

Pada dasarnya syariat Islam dari awal masih banyak yang menampung dan

mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak

26
Mardani, 2011. Ayat – ayat dan Hadis Ekonomi Syari’ah (Bandung:PT. Raja Grafindo
Persada), hlm.112-113.
66

bertentangan dengan Al-qur’an dan Hadist. Para ulama sepakat menolak adat

kebiasaan yang salah satu untuk dijadikan landasan hukum. Semua bentuk

mu’amalah itu hukumnya boleh, termasuk jual beli buah cengkeh di Desa Loa

Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung. Akan tetapi ada beberapa sistem jual beli

yang dilarang, apa bila jual beli tersebut tidak sesuai dengan hukum syariah yang

berlaku. Seperti halnya jual beli buah cengkeh dengan cara borongan di Desa Loa

Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung ini, dalam sistemnya borongan ini

mengandung unsur ketidak jelasan dalam kondisi buah dan juga ketidakpastian

jumlah, kualitas dan kuantitasnya belum jelas. Sistem jual beli ini para pemborong

seharusnya janganlah membayar terlebih dahulu karena jumlah cengkeh yang

masih di pohon belum jelas jumlah dan tingkat kematangnnya sehingga

menimbulkan kerugian. Dalam jual beli sebaiknya antara petani dan pembeli harus

bertransaksi dengan jujur. Keridhaan dalam transaksi barulah sah apa bila di

dasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak. Artinya, tidak sah suatu akad apa

bila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau di paksa atau juga merasa tertipu.

Bisa terjadi pada waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu

pihak merasa tertipu, artinya hilang keridhaannya, maka akad tersebut bisa batal.

Seperti pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual yang barangnya

cacat. Melihat dasar-dasar di atas jelas bahwa pedagang yang menggunakan sistem

borongan hanya dengan alasan karena sudah menjadi kebiasaan masyarakat tidak

bisa di jadikan hukum dibolehkannya sistem borongan. Maka perlu adanya solusi

bagi masyarakat agar tetap bertransaksi tetapi tidak melanggar syariat Islam.
67

Oleh karna itu dalam kasus ini para fuqaha berbeda pendapat mengenai jual

beli dengan sistem borong yang masih di pohon atau disebut dengan jual beli jizaf

dalam ilmu fikih yaitu menjual brang yang ditimbang dihitung secara borongan

tanpa di takar, ditimbang terlebih dahulu.27 Para fuqaha memberikan beberapa

alternatife hukum.

Pendapat Jumhur Hanafiyah memengembangkan pembahasan ini menjadi

dua kasus pertama buah yang belum layak panen dan yang kedua buah yang sudah

layak panen:

a. Jika belum layak panen

1. Jika akadnya mensyaratkan harus dipetik maka sah dan pihak pembeli

wajib segera memetiknya setelah berlangsungya akad, kecuali ada izin

dari pihak penjual.

2. Jika akadnya tidak sertai persyaratan apapun, maka boleh. Berbeda

dengan pendapat Imam Syafi’i, Malik, dan Ahmad yang mengharuskan

buah tersebut segera dipetik.

3. Jika akadnya mempersyaratkan buah tersebut tidak dipetik (tetap

dipanen) sampai masak, maka akadnya fasad.28

b. Jika sudah layak panen

1. Jika disyaratkan keharusan memetiknya sesaat setelah berlangsungnya

akad, maka sah.

27
Abdullah Al-mushlih, fiqh Ekonomi keuangan islam, (Jakarta: Darul Haq, 2004). hlm.
9
28
Ghufron Mas adi, Fiqh Muamalah kontekstual . . . hlm. 138-139.
68

2. Jika akad dilakukan secara mutlak tanpa syarat memetik maka sah.

3. Jika disyaratkan tidak memetik kecuali buah yang besar, atau

menghalangi memetik yang masih kecil maka akadnya fasid.

Jika dalam periode tertentu pohon menghasilkan buah baru sedangkan akad

jual beli tidak disertai dengan persyaratan apapun, maka buah yang baru tersebut

milik penjual (pemelik pohon). Namun jika antara bauh lama dan baru bercampur

semedikian rupa antara keduanya tidak dapat dipisahkan, maka dalam hal ini

pendapat madzhab Hanafiyah adalah sebagai berikut:

1. Jika buah baru tersebut muncul sebelum penjual (pemilik pohon)

memisahkan atau menyerahkan kepada pembeli akadnya batal, karena

adanya kesulitan dalam penyerahan.

2. Jika hal tertentu terjadi sesudah penyerahan tidak membatalkan akad,

dan buah tersebut hak pemilik pohon.

Pendapat jumhur (malikiyah, Syaf’iyah dan Hanabilah) adalah sebagai

berikut:

1. Jika buah benar telah layak petik, akadnya sah, baik jual beli

dilaksanakan secara mutlak, dengan syarat dipetik, maupun syarat

tidak langsung dipetik.

2. Jika buah belum layak petik, maka jika disyaratkan tidak langsung

dipetik hukumnya tidak sah. Namun jika disyaratkan harus dipetik,

sah. Karena menurut mereka sesungguhnya yang menjadi halangan


69

keabsahanya adalah gugurnya buah atau ada serangan hama.

Kekhawatiran seperti ini tidak terjadi jika langsung dipetik.

3. Jual beli buah yang belum pantas dipetik (masih hijau) secara mutlak

tanpa persyaratan apapun adalah batal.

Sedangkan para ulama berpendapat bahwa mereka membolehkan

menjualnya sebelum bercahaya dengan syarat dipetik. Hal ini didasarkan pada

hadist Nabi yang melarang menjual buah-buahan sehingga tampak kebaikannya.

Para ulama tidak mengartikan larangan tersebut kepada kemutlakannya, yakni

larangan menjual beli sebelum bercahaya. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa

makna larangan tersebut adalah dengan syarat tetap di pohon hingga bercahaya. 29

Jumhur (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) berpendapat, jika buah

tersebut belum layak dipetik (panen) maka apabila disyaratkan harus segera dipetik,

karena menurut mereka, sesungguhnya yang menjadi halangan keabsahannya

adalah gugurnya buah atau ada serangan hama. Kekhawatiran seperti ini tidak

terjadi jika langsung dipetik. Sedangkan jual beli yang belum pantas (masih hijau)

secara mutlak tanpa persyaratan apapun adalah batal. 30

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan menurut Hukum Ekonomi

Syariah bahwa rukun dan syarat jual beli cengkeh dengan sistem borong di Desa

Loa Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung tidak sah, karena tidak memenuhi syarat

objek yang karena objeknya tidak diketahui jumlah, ukuran dan kualitasnya.

29
Ibnu Rasyd, terjemahan bidiyatul mujtahid, (Semarang: CV. As- Sifa, 1990). Hlm 52
30
Ghufron Mas adi, Fiqh Muamalah kontekstual . . . hlm. 140.
70

Anda mungkin juga menyukai