Desa Loa salah satu desa di wilayah Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung
Provinsi Jawa Barat dengan luas wilayah kurang lebih + 1.273,575 Ha tanah.
Masyarakat Desa Loa Kecamatan Paseh merupakan suku sunda yang tersebar
identitas dan karakter khas budaya sunda. Selain dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya
sunda, pola hidup masyarakat Desa Loa Kecamatan Paseh juga diwarnai oleh nilai-
nilai agama khususnya islam yang dianut oleh sebagian besar masyarakat
sehingga selain NYUNDA, pola kehidupan masyarakat Desa Loa juga bersifat
Desa Loa adalah bercocok tanam, ber tani, buruh tani, peternak domba dan peternak
47
48
b. Pesawahan : 156 Ha
c. Perkebunan : 80 Ha
d. Pekarangan : 10 Ha
f. Kehutanan : 760 Ha
g. Kolam : 2 Ha
Desa Mekarwangi
Keterjangkauan Desa
a. Ke Kecamatan :5 Km
b. Ke Kabupaten : 35 Km
c. Ke Provinsi : 40 Km
Waktu Tempuh:
a. Ke Kecamatan : 0, 25 Jam
b. Ke Kabupaten : 1, 5 Jam
49
tetap yang terdiri dari laki-laki 5801 Orang dan Perempuan 5430 Orang. Jumlah
1.3. Berdasarkan Jumlah pendataan yang dilakukan oleh Desa Loa pada
Table 3.1.
Tamat D-1/sederajat 5 3 8
Tamat D-2/sederajat 6 12 18
Tamat D-3/sederajat 9 14 23
Tamat S-2/sederajat 2 0 2
1. Sarana kesehatan
- Posyandu : 13 buah
51
2. . Sarana umum
- Langgar/Mushola : 66 buah
- Madrasah : 12 Buah
2. Praktek Jual Beli Cengkeh dengan sistem borong di pohon di Desa Loa
Kecamatan Paseh
Jual beli merupakan salah satu bentuk muamalah antara manusia dalam
bidang ekonomi yang disyariatkan oleh Islam. Dengan adanya jual beli, manusia
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, karena manusia tidak hidup sendiri. Islam
Pada praktek jual beli borongan ini dilakukan oleh penjual dengan pihak
pembeli (pemborong) sistem jual beli cengkeh dengan sistem borong yang masih
di pohon dilakukan secara turun menurun sampai saat ini. Dalam pelaksanaannya
1
Profil desa Loa Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung
2
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994) hlm. 278.
52
praktek jual beli borongan di Desa Loa dilakukan saat musim cengkeh yang belum
Bandung
menunggu buah cengkeh sampai bunga cengkehnya sudah mekar dan rata berwarna
merah atau siap untuk dipanen. Dalam pelaksanaan pemanenan buah cengkeh
memerlukan waktu hingga berbulan bulan dalam satu pohon untuk dipanen atau
dipetik . Selain itu kondisi buah cengkeh yang setiap pohon berbeda-beda, ada yang
siap untuk dipanen, sementara di pohon lain belum siap dipanen. Tentunya dalam
kondisi seperti itu untuk memanen cengkeh membuthkan jangka waktu yang cukup
panjang. 3
Adapun cara yang praktis dalam memanen buah cengkeh dengan menunggu
cengkeh.4
Bandung
3
( Hasil wawancara dengan Ibu Noneng sebagai pemilik pada tgl 11 maret 2019 Pukul
13.00)
4
(Hasil Wawancara dengan Bapak Yayat sebagai pemborong pada tgl 11 maret 2019
Pukul 14.20)
53
Cara pelaksanaan jual beli cengkeh biasanya terjadi sebelum musim panen
tiba para pemborong mengelilingi dan menanyakan cengkeh mana yang akan dibeli
dengan menawarkan cengkeh nya tersebut dibeli secara perpohon kepada pemilik
borongan, untuk mengetahui jumlah dari obyek yang diperjual belikan yaitu dengan
panen cengkeh dan sebagai acuan untuk menentukan harga yang akan ditetapkan
dengan tujuan agar antara pemilik cengkeh dan pembeli (pemborong) sama-sama
penaksiran dilakukan bukan hanya pembeli saja, akan tetapi petani melakukan hal
yang sama seperti yang dilakukan oleh pembeli , yaitu melakukan penaksiran, dan
hasil penaksiran antara petani dan pembeli, setelah dilakukan pemanenan hasilnya
tidak jauh beda dengan yang di perediksikan waktu penaksiran sebelum akad
Adapun cara penaksiran kuantitas dan kualitas cengkeh yaitu antara pemilik
pohon cengkeh dan pembeli sama-sama datang ke lokasi untuk melihat pohon dan
buah cengkeh yang akan di jadikan obyek jual beli. Untuk menaksir kualitas,
pembeli menaksir mengambil cengkeh yang sudah jatuh kebawah yang sudah
5
(Hasil wawancara dengan Dayat sebagai pemilik pada tgl 29 september 2019 Pukul
13.00)
54
hampir matang yang terlihat oleh petani dan pembeli (pemborong) untuk hasil
panennya biasanya penaksir melihat hasil panen bulan sebelumnya. Memetik secara
acak beberapa buah cengkeh yang dijadikan sebagai sampel ditempat yang berbeda-
beda, kemudian petani memberi tahu kepada pembeli (pemborong) umur dari buah
tersebut.6
kesepakatan mengenai harga jual cengkeh tersebut lalu proses selanjutnya adalah
melakukan transaksi.
dengan menjual dan mengambil uang kepada pembeli yang memang sudah
mengetahui persis buah cengkeh yang ada di kebun.7 Akan tetapi, sering pula
pembeli tidak mengambil atau membeli dengan jumlah yang banyak, dengan
pertimbangan waktu yang cukup panjang karena pohon cengkeh belum berbuah dan
penawaran yang dilakukan. Jika buah cengkeh nantinya berbuah, dan buahnya
dipanen oleh si pembeli, maka harga yang ditawarkan pula sedikit murah, dan
6
(Hasil wawancara dengan Ibu Noneng sebagai pemilik pada tgl 11 maret 2019 Pukul
13.00)
7
(Hasil wawancara dengan Ibu sebagai pemilik Noneng pada tgl 11 maret 2019 Pukul
13.00)
8
(Hasil wawancara dengan bpk sodikin sebagai pemborong pada tgl 29 september 2019
Pukul 13.00)
55
apabila si pembeli tidak memanen, menunggu hasil panen dari si pemilik, maka
harganyapun sedikit mahal. Pada kenyataannya bahwa, mereka yang membeli dan
memanen sendiri buah cengkeh tersebut adalah para petani yang memang
mempunyai pohon cengkeh dan mampu memanen sendiri. Sedangkan bagi para
pembeli yang tidak sanggup memanen sendiri, bisaanya mereka yang punya profesi
bukan petani dan mempercayakan kepada petani itu sendiri untuk memanen dan
memberikan hasil panen tersebut sesuai dengan jumlah yang disepakati, dan
bisaanya para petani tersebut tidak pernah lalai atau ketika pohon cengkeh berbuah
dan sudah tiba saatnya panen, mereka mengantarkan sendiri ke rumah pembeli. 9
Dalam proses jual beli seperti ini, ada kerugian tersendiri yang dialami oleh
pemilik pohon cengkeh , sebab harga yang dibayarkan sebelumnya sangat berbeda
jauh dengan harga jual di pasaran pada umumnya. Bisa dibayangkan keuntungan
yang diperoleh dari proses jual beli ini, kisarannya lebih dari 3 kali lipat keuntungan
Jual beli merupakan suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang
mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima
9
(Hasil wawancara dengan bpk sodikin sebagai pemborong pada tgl 29 september 2019
Pukul 13.00)
56
benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan
harta yang dapat dimanfaatkan sesuai syara’ yang disertai dengan ijab dan qabul.
Pemikiran As-Sayyid Sabiq tentang definisi jual beli adalah melepaskan harta
dengan mendapat harta lain berdasarkan kerelaan dan memindahkan harta dengan
mendapatan benda lain sebagai gantinya secara sukarela dan tidak bertentangan
dengan syara’,11
orang lain. Oleh karena itu melakukan hukum tukar menukar keperluan antara
anggota masyarakat adalah jalan yang adil. Allah mensyariatkan jual beli sebagai
SWT. Melarang kaum muslimin untuk memakan harta orang lain secara bathil,
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
10
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah . . . hlm. 67.
11
Hasbi as-Siddieqi, Hukum-hukum Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1997)
57
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh
Allah mengecualikan dari larangan ini pada pencaharian harta dengan jalan
perniagaan yang dilakukan atas dasar suka sama suka oleh kedua belah pihak yang
bersangkutan.13
Secara bathil dalam kontek ini memiliki arti yang sangat luas, diantaranya
mendapatkan harta harus dilakukan dengan adanya kerelaan semua pihak dalam
transaksi seperti dalam transaksi jual beli harus ada kerelaan antara penjual dan
pembeli dan jauh dari unsur gharar dan juga harus memperhatikan unsur kerelaan
hidup manusia yang terus meningkat dari waktu ke waktu maka banyak masalah
masalah yang terbaru yang harus diselesaikan dalam perspektif Hukum Ekonomi
12
Soenarjo, dkk. Al-Qur’an dan terjemahnya . . . Hlm. 107.
13
Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2,
(Surabaya: Bina Ilmu, 1987), hlm. 362
14
Dimyauddin Djuwaini . . . hlm. 60-61
15
A.Dzajuli, Ilmu Fiqh (Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam),
(Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 130-131
58
3. Hukum asal dari transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang
Jual beli dalam Islam harus memenuhi rukun dan syarat jual beli agar jual
beli tersebut sah. Semua pelaksanaan jual beli memiliki rukun dan syarat, namun
Dari segi rukun praktik jual beli yang dilakukan oleh petani dan pemborong
(pembeli) sudah memenuhi aturan syara. Karena, rukun yang pertamanya adanya
penjual dan pembeli sudah terlaksana. Dan yang kedua, adanya shighat (ijab
qabul). Shighat merupakan lafazd serah terima yang diucapkan oleh penjual dan
pembeli sudah terlaksana. Dan yang ketiga, Ma’qud ‘alaih adanya barang yang
Kabupaten Bandung antara petani dan pemborong tidak ada syarat-syarat tertentu.
Kedua belah pihak masing-masing adalah orang yang sudah baligh, berakal dan
cakap bertindak hukum serta tidak dalam keadaan terpaksa ketika melakukan akad.
59
memaparkan bahwa antara petani dan pembeli dalam transaksi jual beli harus
akalnya, orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya, sampai umur atau baligh,
keadaannya tidak mubadzir (pemboros), karena harta orang yang mubadzir itu
diwilayah tangan walinya.16 Sedangkan menurut syarat yang berkaitan dengan aqid
(para petani dan pembeli), semua madzab sepakat bahwasannya seorang aqid harus
Jual beli cengkeh dengan sistem borong yang masih di pohon di Desa Loa
dilakukan kedua belah pihak yaitu petani dan pembeli dilakukan oleh orang dewasa,
akad tersebut dilakukan atas kemauaan sendiri tidak dipaksakan dan atas dasar
suka-sama suka. Dengan demikian para pihak yang melakukan transaksi jual beli
dengan sistem borong di pohon di Desa Loa telah memenuhi persyaratan serta
Jual beli belum dapat dikatakan sah sebelum ijab dan qabul dilakukan. Hal
ini karena ijab dan qabul menunjukkan kerelaan kedua belah pihak. Pada dasarnya
ijab dan qabul itu harus dilakukan dengan lisan. Akan tetapi, kalau tidak mungkin,
misalnya karena bisu, jauhnya barang yang dibeli, atau petaninya jauh, boleh
dengan perantaraan surat-menyurat yang mengandung arti ijab dan qabul. Adanya
16
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam (Jakarta: Pt. Rineka Cipta, 1992) hlm. 396.
17
Ghufran Mas adi A. Fiqih Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002), hlm. 121.
60
kerelaan tidak dapat dilihat sebab berhubungan dengan hati, oleh karena itu,
wajiblah dihubungkan dengan sebab lahir yang menunjukkan kerelaan itu, yaitu
Jual beli cengkeh dengan sistem borong yang masih di pohon di Desa Loa
kecamatan Paseh Kabupaten Bandung dalam melakukan ijab dan qabul yang
tersebut tidak disertai dengan adanya surat-surat tertulis seperti surat perjanjian,
kwitansi atau bukti pembayaran lainnya, sehingga sudah saling percaya satu sama
lain. Ijab dan qabul dalam hukum Islam agar benar-benar mempunyai akibat hukum
terhadap obyek, diperlukan beberapa syarat. Ijab dan qabul ini menurut
3. Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis atau antara ijab dan qabul tidak
Ijab dan qabul yang dilakukan dalam jual beli cengkeh dengan sistem
borong yang masih di pohon di Desa Loa, yaitu pihak pembeli datang ketempat
petani dan ijab dan qabul dilakukan di kebun atau di bawah pohon cengkeh setelah
dilakukan penaksiran kuantitas dan kualitas serta harga ditentukan maka saat itu
juga ijab dan qabul dilakukan. Selain itu terkadang ijab dan qabul dilakukan di
18
Ibnu Mas‟ud, Fiqih Mdzhab Syafi‟I, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 26.
19
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah . . . hlm. 116.
61
rumah pihak petani (pemilik pohon). Seperti yang dipaparkan oleh Sudarsono
bahwa ijab ialah perkataan petani, seperti “saya jual barang ini sekian”. Qabul
adalah perkataan si pembeli, seperti “saya beli barang tersebut dengan harga
sekian.”20
Ijab dan qabul yang diucapakan dalam akad jual beli singkong dengan
dengan sistem borong yang masih di pohon di Desa Loa, dilakukan secara langsung
yaitu dengan menggunakan lisan. Akan tetapi kata yang digunakan dalam akad jual
beli di Desa Loa dengan menggunakan perkataan yang lain yang menunjukkan
Sebagaimana kebiasaan yang terjadi pada jual beli cengkeh dengan sistem
borong yang masih di pohon di Desa Loa, bahwa keberadaan cengkeh pada saat
terjadi akad masih berada di atas pohon. Adapun ijab dan qabul nya dilakukan
setelah terjadi kesepakatan harga. Hal semacam itu tidak bertentangan dengan
hukum Islam, di mana bentuk ijab nya adalah berupa penyerahan cengkeh, yang
pada saat itu masih di pohon atau buah cengkeh berjatuhan kebawah, sedangkan
qabul nya adalah berupa penerimaan cengkeh. Hal semacam itu terlihat timbal balik
atau kewajiban antara petani dan pembeli telah terpenuhi dengan adanya ijab dan
qabul.
Berdasarkan uraian tersebut, bahwa ijab dan qabul dalam jual beli harus
tetap ada, hanya saja bentuknya tergantung dari kebiasaan mereka masing-masing,
yang paling penting adalah maksud dan tujuan sama serta kerelaan kedua belah
20
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam . . . hlm 401
62
pihak tetap ada. Sedangkan ijab dan qabul diadakan adalah untuk menunjukkan
adanya suka rela timbal balik terhadap perikatan yang dilakukan kedua belah pihak
yang bersangkutan.
Dengan demikian terjadi antara kedua belah pihak dengan suka sama suka
dan saling rela. Prinsip saling merelakan inilah yaang selalu dianjurkan dalam al-
Syarat-syarat barang yang menjadi obyek akad dalam jual beli haruslah
diketahui dengan jelas dzatnya, kadar, sifat, wujud, dan diketahui pula massanya,
barang najis atau diharamkan oleh syara`, seperti darah, bangkai, dan babi. Karena
Paseh, barang yang dijadikan obyek jual beli jelas merupakan milik petani, barang
atau obyek jual beli keadaannya tidak najis atau bersih barangnya, barangnya
diketahui bentuk atau wujudnya karena ada dan bisa dilihat oleh mata dengan secara
nyata.
21
Ahmad Wardi muslich, Fiqh Muamalat . . . hlm 189-190.
22
Wahbah Zulhaili, Al-Fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, terj. Setiawan Budi Utomo, Fiqh
Muamalah Perbankan Syari’ah. (Jakarta: PT. Bank Muamalat Indonesia, TBK, 1999), hlm 18-91.
63
Syarat yang berkaitan dengan obyek jual beli, pada prinsipnya seluruh
madzhab sepakat bahwa obyek aqad harus bisa dimanfaatkan, suci, wujud (ada),
diketahui secara jelas dan dapat diserahterimakan. Dalam hal jihalah (ketidak
Dari analisis di atas, maka praktik yang dilakukan oleh pemilik pohon
cengkeh dan pemborong tidak bertentangan dengan hukum Islam karena telah
memenuhi syarat dan rukun dalam melakukan akad atau perjanjian. Baik dari segi
ijab dan qabul, serta aqidain orang yang berakad antara penjual dan pembeli
tersebut. Dalam analisis hukum Islam terhadap transaksi jual beli dengan sistem
borong tersebut terdapat beberapa kemungkinan fasad (rusak) karena dari segi
spekulatif (gharar).
Pada pelaksanaan jual beli yang terjadadi di Desa Loa Kecamatan Paseh
mengandung unsur spekulatif (gharar) dalam jual belinya, hal ini dikarenakan
objek jual belinya yaitu cengkeh masih muda dan belum siap untuk dipanen, ini
akan mengakibatkan saat panen cengkeh tersebut akan berbeda dengan taksiran dari
pemborong. Dikarenakan bisa saja buah cengkeh yang sudah dipetik karena kadang
hasil panennya lebih besar dari perkiraan pada saat perjanjian, belum lagi buah yang
23
Wahbah Zulhaili, Al-Fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, terj. Setiawan Budi Utomo, Fiqh
Muamalah Perbankan Syari’ah . . . hlm. 91
64
sudah matang biasanya akan berjatuhan sendiri, yang dimana dapat mengakibatkan
jual beli buah – buahan di pohonnya sampai buah – buahan itu masak” lalu apa
tanda buah itu masak? Rasulullah menjawab ia menjadi merah atau menjadi kuning
(علَ ْي ِه
َ ) ُمتَفَّق
Artinya: “Dari ibnu umar, ia berkata: Rasulullah Saw telah larang menjual
buah-buahan sebelum nyata jadinya. Ia larang penjual dan pembeli.” (HR. Al-
Dari hadist di atas jelas Rasulullah melarang jual beli buah – buahan
sebelum matang dan harus menunggunya sampai buah – buahan itu matang di
pohonnya.
24
Ibnu Hajar Al-asqalani, Bulughul-Maram . . . Hlm. 174
25
Ibnu Hajar Al-asqalani, Bulughul-Maram . . . Hlm. 173
65
Dari hadis di atas Rasulullah melarang jual beli yang mengandung unsur
gharar (ketidakpastian) karena akan merugikan salah satu pihak. Dari kesimpulan
bukti kematangan untuk seluruh buah di satu lahan untuk jenis yang sama.
diperoleh, sehingga penjual dianggap mengambil harta orang lain (pembeli) secara
batil. Menjual buah – buahan sebelum tampak matang, juga tidak mendatangkan
Pada dasarnya syariat Islam dari awal masih banyak yang menampung dan
mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak
26
Mardani, 2011. Ayat – ayat dan Hadis Ekonomi Syari’ah (Bandung:PT. Raja Grafindo
Persada), hlm.112-113.
66
bertentangan dengan Al-qur’an dan Hadist. Para ulama sepakat menolak adat
kebiasaan yang salah satu untuk dijadikan landasan hukum. Semua bentuk
mu’amalah itu hukumnya boleh, termasuk jual beli buah cengkeh di Desa Loa
Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung. Akan tetapi ada beberapa sistem jual beli
yang dilarang, apa bila jual beli tersebut tidak sesuai dengan hukum syariah yang
berlaku. Seperti halnya jual beli buah cengkeh dengan cara borongan di Desa Loa
mengandung unsur ketidak jelasan dalam kondisi buah dan juga ketidakpastian
jumlah, kualitas dan kuantitasnya belum jelas. Sistem jual beli ini para pemborong
menimbulkan kerugian. Dalam jual beli sebaiknya antara petani dan pembeli harus
bertransaksi dengan jujur. Keridhaan dalam transaksi barulah sah apa bila di
dasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak. Artinya, tidak sah suatu akad apa
bila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau di paksa atau juga merasa tertipu.
Bisa terjadi pada waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu
pihak merasa tertipu, artinya hilang keridhaannya, maka akad tersebut bisa batal.
Seperti pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual yang barangnya
cacat. Melihat dasar-dasar di atas jelas bahwa pedagang yang menggunakan sistem
borongan hanya dengan alasan karena sudah menjadi kebiasaan masyarakat tidak
bisa di jadikan hukum dibolehkannya sistem borongan. Maka perlu adanya solusi
bagi masyarakat agar tetap bertransaksi tetapi tidak melanggar syariat Islam.
67
Oleh karna itu dalam kasus ini para fuqaha berbeda pendapat mengenai jual
beli dengan sistem borong yang masih di pohon atau disebut dengan jual beli jizaf
dalam ilmu fikih yaitu menjual brang yang ditimbang dihitung secara borongan
alternatife hukum.
dua kasus pertama buah yang belum layak panen dan yang kedua buah yang sudah
layak panen:
1. Jika akadnya mensyaratkan harus dipetik maka sah dan pihak pembeli
27
Abdullah Al-mushlih, fiqh Ekonomi keuangan islam, (Jakarta: Darul Haq, 2004). hlm.
9
28
Ghufron Mas adi, Fiqh Muamalah kontekstual . . . hlm. 138-139.
68
2. Jika akad dilakukan secara mutlak tanpa syarat memetik maka sah.
Jika dalam periode tertentu pohon menghasilkan buah baru sedangkan akad
jual beli tidak disertai dengan persyaratan apapun, maka buah yang baru tersebut
milik penjual (pemelik pohon). Namun jika antara bauh lama dan baru bercampur
semedikian rupa antara keduanya tidak dapat dipisahkan, maka dalam hal ini
berikut:
1. Jika buah benar telah layak petik, akadnya sah, baik jual beli
2. Jika buah belum layak petik, maka jika disyaratkan tidak langsung
3. Jual beli buah yang belum pantas dipetik (masih hijau) secara mutlak
menjualnya sebelum bercahaya dengan syarat dipetik. Hal ini didasarkan pada
makna larangan tersebut adalah dengan syarat tetap di pohon hingga bercahaya. 29
tersebut belum layak dipetik (panen) maka apabila disyaratkan harus segera dipetik,
adalah gugurnya buah atau ada serangan hama. Kekhawatiran seperti ini tidak
terjadi jika langsung dipetik. Sedangkan jual beli yang belum pantas (masih hijau)
Syariah bahwa rukun dan syarat jual beli cengkeh dengan sistem borong di Desa
Loa Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung tidak sah, karena tidak memenuhi syarat
objek yang karena objeknya tidak diketahui jumlah, ukuran dan kualitasnya.
29
Ibnu Rasyd, terjemahan bidiyatul mujtahid, (Semarang: CV. As- Sifa, 1990). Hlm 52
30
Ghufron Mas adi, Fiqh Muamalah kontekstual . . . hlm. 140.
70