Anda di halaman 1dari 10

HADIS TENTANG JUAL BELI

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah :


Hadis Ekonomi
Dosen Pengampu
Hj. Nur Afiyah, M.Ag

Disusun Oleh :
1. Lina Indriani Aryanto (20402009)
2. Heni Meilian P (2040)
3. Moch.Riski Al Aziz (20202051)

PROGAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
2021
A. Pendahuluan
Jual beli (bisnis) di masyarakat merupakan kegiatan rutinitas yang dilakuakn
setiap wkatu oleh semua manusia. Tetapi jual beli yang benar menurut hukum islam
belum tentu semua orang muslim melaksanakannya. Bahkan ada pula yang tidak tahu
sama sekali tentang ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh hukum islam dalam hal
jual beli (bisnis).
Didalam al-Qur’an dan Hadits yang merupakan sumber hukum islam banyak
memberikan contoh atau mengatur bisnis yang benar menurut islam. Bukan hanya
untuk penjual saja tetapi juga untuk pembeli. Sekarang ini lebih banyak penjual yang
lebuh mengutamakan keuntungan individu tanpa berpedoman pada ketentuan-
ketentuan hukum islam. Mereka Cuma mencari keuntungan duniawi saja tanpa
mengharapkan barokah kerja dari apa yang sudah dikerjakan.
Setiap manusia yang lahir di dunia ini pasti saling membutuhkan orang lain,
aka selalu melakukan tolong– menolong dalam menghadapi berbagai kebutuhan yang
beraneka ragam, salah satunya dilakukan dengan cara berbisnis atau jual beli. Jual beli
merupakan interaksi sosial antar manusia yang berdasarkan rukun dan syarat yang
telah di tentukan. Jual beli diartikan “al-bai’, al-Tijarah dan alMubadalah”. Pada
intinya jual beli merupakan suatu perjanjian tukar menukar barang atau benda yang
mempunyai manfaat untuk penggunanya, kedua belah pihak sudah menyepakati
perjanjian yang telah dibuat.
B. Pembahasan
1. Pengertian Jual Beli
Kata jual beli terdiri dari dua kata, yaitu jual dan beli. Kata jual dalam
Bahasa Arab dikenal dengan istilah Al-bay’ yaitu bentu mashdar dari ba’a-
yabi’-bay’an yang artinya menjual.1 Kata beli dalam Bahasa arab dikenal
dengan istilah al-syira’ yaitu mashdar dari kata syara yang artinya membeli.2
Dalam istilah fiqh, jual beli disebut dengan al-bay’ yang berarti menjual,
mengganti, atau menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafadz al-bay’
dalam Bahasa arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni
kata al-syira’ (beli). Dengan demikian, kata al-bay’ berarti jual, tetapi

1
Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsir Al-
Qur’an, 1982 M.), hlm. 75.
2
Ibid, hlm. 197.
sekaligus juga berarti beli.3 Kata jual menunjukkan bahwa adanya perbuatan
menjual, sedangkan beli adalah asanya perbuatan membeli. 4
Secara etimologi, jual beli diartikan sebagai pertukaran sesuatu dengan
yang lain atau memberikan sesuatu untuk menukarkan sesuatu yang lain.
Sedangkan secara istilah definisi jual beli menurut Taqi’ al-Din ibn Abi Bakr
ibn Muhammad al-Husayni, adalah pertukaran harta dengan harta yang
diterima dengan menggunakan ijab dan qabul dengan cara yang diizinkan oleh
syara’.5 Menurut Sayyid Sabiq jual beli adalah pertukaran harta dengan harta
atas dasar saling rela atau memindahkan milik dengan ganti yang yang dapat
dibenarkan.6
Dikalangan ulama, terdapat perbedaan tentang definisi jual beli
sekalipun substansi dan tujuan masing-masing definisi adalah sama. Ulama
hanafiyah mendefinisikan jual beli dengan dua definisi :

ٍ ْ‫ُمبا َ َدلَةً ما َ َل بِما َ ٍل عَل َى َوجْ ِه َم ْخصُو‬


‫ص‬

“saling menukar harta dengan harta melalui cara tententu”.

ِ ْ‫َمبا َ َدلَةً َش ْي ٍء َمرْ ٌغوْ بٌ فِ ْي ٍه بِ ِم ْشلِ ِه َعلَى َوجْ ِه ُمفِ ْي ٍد َم ْخصُو‬


‫ص‬
“tukar menukar sesuatu yang di ingini dengan yang sepadan melalui cara
tertentu yang bermanfaat”.
Dalam definisi ini terkandung pengertian bahwa cara yang khusus
yang dimaksudkan ulama hanafiyah adalah melalui ijab (ungkapan membeli
dari pembeli) dan qabul (pernyataan menjual dari penjual). Disamping itu,
harta yang diperjualbelikan harus bermanfaat bagi mansuia, sehingga bangkai,
minuman keras dan darah tidak termasuk sesuatu yang boleh diperjualbelikan
karena benda-benda seperti itu diperjualbelikan, menurut ulama Hanafiyah,
jual belinya tidak Sah. Dari definisi diatas dapat dikatakan bahwa jual beli itu
dapat terjadi dengan cara pertukaran harta anatar dua pihak atas dasar saling
rela, dan memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan yaitu
berupa alat tukar yang diakui sah dalam lalu lintas perdagangan.7

3
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000 M.), hlm. 111.
4
Rachmad Syafe’I, Fiqh Muamalah, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001 M.), hlm 73.aaaAWA
5
Taqi al-Din ibn Abi Bakr ibn Muhammad al-Husayni, Kifayah al-Akhyar fi Hill Ghayah al-Iktishar, (Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyyah, 2001 M.), hlm. 326.
6
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnag, Jilid III (Beirut: Dar al-Fikr, 2003 M.), hlm. 149.
7
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis Hukum Perjanjian dalam Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1994 M.),
hlm. 33.
2. Dasar Hukum Jual Beli
 Hadits riwayat HR.Bazzardan Al-Hakim8
‫ر‬dٍ ْ‫ال َع َم ُل ال َّرج ُِل بِيَ ِد ِه َو ُكلُّ بَي ٍْع َم ْبرُو‬ ْ َ‫ب أ‬
َ َ‫طيَبُ ؟ ق‬ ِ ‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَيُّ ْال َك ْس‬
َ ‫ُسئِ َل النَّبِ ُّي‬
– ‫رواه االبزار والحاكم‬

“Nabi SAW pernah ditanya; Usaha (pekerjaan/profesi) apakah yang


paling baik (paling ideal) , Rasulullah saw bersabda; pekerjaan (usaha)
seseorang dengan tangannya dan setiap jual beli yang baik.” (HR. Bazzar dan
al-Hakim)

Hadits tentang jual beli di atas menerangkan bahwa pekerjaan yang paling
baik untuk dilakukan manusia adalah usaha yang dirintis sendiri dengan
menerapkan sikap jual beli Islam.Salah satu prinsip jual beli yang baik dan
dihalalkan agama Islam adalah menawar barang yang tidak sedang ditawar
orang lain.Prinsip jual beli ini tertuang dalam hadis HR. Muslim yang
maknanya menghindari munculnya kekecewaan, perkelahian, dan
pertentangan antar sesama.Hal ini dikarenakan orang yang menawar suatu
barang memiliki keinginan untuk mempunyai dan membutuhkan barang
tersebut. Itulah saat-saat di mana kamu sebagai pembeli kedua menghargai
pembeli sebelumnya untuk menyelesaikan tawar menawar mereka terlebih
dahulu terhadap barang tersebut.

 Hadits riwayat Al Baihaqi9


( ‫البيهقي وابن ماجه وصححه ابن حبان‬
ٍ ‫أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال إِنَّ َما ْالبَ ْي ُع ع َْن ت ََراض)رواه‬

Bahwa Rasulullah saw bersabda “Sesungguhnya jual beli (harus) atas dasar
saling ridha (suka sama suka).” HR. Al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai
shahih oleh Ibnu Hibban)

hadits tentang jual beli dari HR. Al-Baihaqi yang maknanya melakukan
kegiatan jual beli harus didasarkan suka sama suka.Maksud suka sama suka di
sini adalah bukan saling mencintai tetapi, mengikhlaskan barang tersebut
(penjual) kepada calon pembelinya dengan membayar menggunakan alat

8
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Cet. 5, Jakarta: Rajawali Press, 2010
9
Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhori, Shohih Bukhori, Dar Ibnu Katsir, Libanon,Cet I. 2002.
transaksi yang di ridhai kedua belah pihak.Kesepakatan ini bisa diungkapkan
melalui kata-kata yang diketahui sebagai ijab Kabul

3. Rukun dan Syarat Jual Beli


Menurut Shalih ibn Ghanim al-Sadlan, rukun jual beli dibagi mejadi
tiga, yaitu Shighat yang berisi ijan dan qabul, dua pihak yang berakad, yaitu
penjual dan pembeli, dan tempat akad, yaitu harga dan barang. 10 Dalam
menetapkan rukun jual beli, di kalangan para ulama terjadi perbedaan
pendapat. Menurut ulama Hanafiyyah, rukun jual beli adalah ijab dan qabul
yang menunjukkan pertukaran barang secara rida, baik dengan ucapan maupun
perbuatan. Menurut mereka, yang menjadi rukun jual beli adalah kerelaan
antara kedua belah pihak untuk berjual beli. Namun karena unsur kerelaan
berhubung dengan hati yang sering tidak kelihatan, maka diperluka sesuatu
yang dapat memberikan indicator (qarinah) yang menunjukkan tersebut dari
kedua belah pihak dapat dalam bentuk perkataan (ijab dan qabul) atau dalam
bentuk perbuatan, yaitu saling memberi (penyerahan barang dan penerimaan
uang).11
Disamping rukun, terdapat pula syarat
a) Al-Muta'aqidain (penjual dan pembeli)
Harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Baligh
2) Tidak pemboros
3) Kehendak sendiri(tanpa paksaan)
b) Ada barang yang diperjual belikan
1) Barang yang ada di dalam kekuasaan penjual (milik sendiri).
2) Barang yang jelas zatnya, ukuran dan sifatnya (dapat diketahui)
3) Barang yang dapat diserahkan.
4) Suci Bendanya

4. Akad yang diperbolehkan dalam islam12

10
Shalih ibn Ghanim al-Sadlan, Risalah fo al-Fiqh, hlm. 86.
11
Ali Hasan, Berbagai Macam Transaski dalam Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003 M.), hlm. 118.
12
Rohmaniyah Wasilatur. Fiqih Muamalah Kontemporer. Duta Media Publishing: 2019
Akad jual beli adalah suatu kesepakatan antara penjual dan pembeli. Dalam
agama Islam, aktivitas perdagangan yang dilakukan tanpa adanya akad, maka
kegiatan jual beli dianggap tidak sah.( article.akad jual beli)

Akad yang diperbolehkan dalam islam adalah

1) Murabahah13
Murabahah berasal dari kata ribhun yang berarti untung atau
keuntungan. Jadi murabahah adalah jual beli barang pada harga asal
dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dasar hukumnya adalah
(QS. Al-Baqarah: 275).
2) Salam14
Jual beli salam ialah menjual sesuatu yang tidak dilihat zatnya, hanya
ditentukan dengan sifat, barang itu ada di dalam tanggungan si penjual.
Dasar hukumnya adalah (QS. Al-Baqarah : 282).
3) Istishna15
Istishna adalah perjanjian terhadap barang jualan yang berada dalam
kepemilikan penjual dengan syarat dibuatkan oleh penjual, atau meminta
dibuatkan secara khusus dengan spesifikasi tertentu,  sementara bahan
bakunya dari penjual, dimana pembayarannya boleh di awal atau diangsur.
Dasar hukum istishna (QS. Al-Baqarah: 275).
4) Ijarah16
Ijarah adalah pemindahan hak guna suatu barang dengan pembayaran
biaya sewa tanpa diikuti pemindahan kepemilikan atas barang
tersebut. Dasar hukum ijarah adalah (QS. At-Thalaq: 6)

5. Tujuan dan Bentuk-bentuk jual beli


Dalam aktivitas jual beli terdapat unsur tolong-menolong, dimana
pihak penjual mencari rezeki dan mencari keuntungan dari hasil penjualan
barangnya, sedangkan pembeli terpenuhi kebutuhan hidupnya. Tiap orang
membutuhkan jual beli untuk memenuhi kebutuhan, dan maksud serta

13
(NO: 04/DSN-MUI/IV/2000)
14
(NO: 05/DSN-MUI/IV/2000)
15
(NO: 06/DSN-MUI/IV/2000)
16
(NO: 09/DSN-MUI/IV/2000)
keinginannya sehingga Allah menghalalkan akad jual beli itu.17 Al-Qur’an
semdiri telah mengisyaratkan agar umat manusia hidup dengan berlandaskan
tolong-menolong, sebagaimana disebutkan dalam surah Al-maidah ayat 2 :
 ‫ى َواَل تَ َعا َونُوْ ا َعلَى ااْل ِ ْث ِم َو ْال ُع ْد َوا ِن‬dۖ ‫ َعلَى ْالبِ ِّر َوالتَّ ْق ٰو‬d‫َوتَ َعا َونُوْ ا‬
“dan tolong-menolonglah kamu (mengerjakan) dalam kebajikan dan taqwa,
dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat doa dan pelanggran”
Untuk melestarikan tujuan tersebut, maka toleransi atau lapan dada
dalam aktivitas perdagangan dan jual beli ini sangat diperlukan dan itu
merupakan perbuatan yang mendatangkan keberhasilan serta keberkahan
usaha. Rasulullah bersabda :
“ Dari Jabir Ibn Abd Allah r.a bahwasannya Rasulullah SAW bersabda,” Allah
mengasihi kepada orang-orang yang memberikan kemudahan ketika ia
menjual dan membeli serta ketika menagih haknya.” (HR. Al-Bukhari)
Disamping itu, jual beli juga menghindarkan seorang dari penguasaan
harta secara tunggal atau agar harta itu tidak berputar atau beredar di
lingkungan orang-orang kaya saja (QS. Al-Hasyr: 7) dan juga agar umat
manusia terutama kaum beriman terhindar dari perbuatan saling memakan
harta dengan cara-cara yang batal sehingga diadakanlah perniagaan atau jual
beli (QS. An-Nisa’: 29)

Bentuk-bentuk jual beli dapat dilihat dari beberapa segi:

1. dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’ ada dua bentuk jual beli
yaitu:
a. Jual beli shahih Jual beli yang telah memenuhi semua rukun
dan syarat
b. Jual beli yang tidak shahih, jual beli yang salah satu atau semua
rukunnya tidak terpenuhi18
2. Dilihat dari objek jual beli ada 3 bentuk :
a. Jual beli umum, yaitu menukar barang dengan uang
b. Jual beli Al-Sharf atau Money Changer, yaitu oenukaran uanga
dengan uang.
c. Jual beli barter, yaitu menukar barang dengan barang.

17
M.Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi, hlm. 124-125
18
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, hlm. 160.
3. Dilihat dari standardisasi harga ada 3 bentuk jual beli yaitu :
a. Jual beli tawar-menawar, yaitu jual beli dimana pihak penjual
tidak memberitahukan modal barang yang dijualnya.
b. Jual beli amanah, yaitu jual beli dimana penjualanya
memberitahukan harga modal jualannya.
c. Jual beli lelang, yaitu jual beli dengan cara penjual
menawarkan barang dagangannya, kemudia para pembeli
sebelumnya, kemudia si penjual akan menjual dengan harga
tertinggi daripada pembeli tersebut.
4. Dilihat dari cara pembayaran terdapat 4 bentuk jual beli :
a. Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara
langsung.
b. Jual beli dengan pembayaran tertunda.
c. Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.
d. Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-
sama tertunda.19
6. Hak dan kewajiban antara penjual dan pembeli
Untuk menghindari dari kerugian salah satu pihak maka jual beli
haruslah dilakukan dengan kejujuran, tidak ada penipuan, paksaan, kekeliruan
dan hal lain yang dapat mengakibatkan persengketaan dan kekecewaan alasan
penyesalan bagi kedua belah pihak maka kedua belah pihak haruslah
melaksanakan apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing,
diantaranya : pihak penjual menyerahkan barangnya sedangkan pihak pembeli
menyerahkan uangnya sebagai pembayaran. Hal lain yang perlu diperhatikan
adalah hendaklah dilakukan penulisan dar transaksi tersebut. Sebagimana
firman Allah SWT :
‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َد ْي ٍن اِ ٰلٓى اَ َج ٍل ُّم َس ّمًى فَا ْكتُبُوْ ۗهُ َو ْليَ ْكتُبْ بَّ ْينَ ُك ْم َكاتِ ۢبٌ بِ ْال َع ْد ۖ ِل‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar” (QS. Al-
Baqarah:282)

19
Abu Bakar Muhammad, Terjemah Subululus Salam, Juz III, hlm. 11-12.
Selain penulisan untuk menghindari dari kemungkinan perselisihan,
pengingkaran dan pemalsuan, maka diperlukan adanya saksi. Firman Allah :
َ ْ‫ ْم فَاِ ْن لَّ ْم يَ ُكوْ نَا َر ُجلَي ِْن فَ َر ُج ٌل َّوا ْم َراَ ٰت ِن ِم َّم ْن تَر‬dۚ‫َوا ْستَ ْش ِه ُدوْ ا َش ِه ْي َدي ِْن ِم ْن رِّ َجالِ ُك‬
َ‫ضوْ نَ ِمن‬
‫ فَتُ َذ ِّك َر اِحْ ٰدىهُ َما ااْل ُ ْخ ٰر ۗى‬d‫ض َّل اِحْ ٰدىهُ َما‬ ِ َ‫ال ُّشهَ ۤ َدا ِء اَ ْن ت‬ 
“ Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika
tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua
orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang
ada), agar jika yang seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya.”
(QS. Al-Baqarah : 282)

C. Penutup
D. Kesimpulan
E. Saran
F. Daftar pustaka

Anda mungkin juga menyukai