Anda di halaman 1dari 16

HADIS LARANGAN MENIMBUN DAN

MONOPOLI

Diajukan Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Hadis

Dosen Pengampu : Nurhalimah, M.TH/Bahatma Baca, Lc.M.Si

OLEH :

Kelompok 13

Eka Putri Ayu (20.02.0013)

Anisa Zainun (22.02.0126)

Prodi : Pendidikan Agama Islam

Semester : II-1

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM “UISU”


PEMATANG SIANTAR
2023

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
senantiasa melimpahkan rahmat dan ridho-nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah materi mata kuliah yang berjudul Evaluasi
Pembelajaran.
Tak lupa, kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Nurhalimah, M.TH
selaku pengampu kami dalam pembelajaran mata kuliah ini juga kepada semua
teman-teman yang telah memberikan dukungan kepada kami dalam
menyelesaikan makalah ini.

Harapan terdalam kami, semoga penyusunan makalah ini bisa bermanfaat


bagi kita semua serta menjadi tambahan informasi mengenai materi “Hadis
Larangan Menimbun dan Monopoli”

Kami menyadari jika dalam menyusun makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, dengan hati yang terbuka kritik serta saran yang
konstruktif guna kesempurnaan makalah ini. Demikian makalah ini kami susun,
apabila ada kata-kata yang kurang berkenan dan banyak terdapat kekurangan,
kami mohon maaf yang sebesar- besarnya. Semoga bermanfaat.

Pematang Siantar, 15 Mei 2023

Kelompok 13

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................................1
D.  Manfaat Penulisan....................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................2
A. Larangan Menimbun dan Monopoli.........................................................................2
B. Larangan Terhadap Tengkulak.................................................................................3
C. Larangan Menimbun dan Monopoli Barang Pokok.................................................6
BAB III PENUTUP..........................................................................................................11
A. Kesimpulan............................................................................................................11
B. Saran......................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................12

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehidupan memiliki beberapa aturan yang harus ditaati , apabila ingin
hidup bahagia kita harus mentaati peraturan tersebut. Aturan-aturan tersebut
tertertulis dan tercantum dalam kitab Al- Qur’an (Firman ALLAH SWT) dan
Sunnatullah (Hadits Nabi), inilah pegangan hidup manusia untuk menjalani
kehidupan di dunia ini.
Hadits adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad SAW baik
berupa ucapan, perbuatan, ataupun ketetapan hukum yang langsung diberikan oleh
nabi atas suatu permasalahan syari’at.
Agama Islam sebagaimana diketahui adalah agama yang tidak hanya
berbicara tentang ibadah murni (mahdloh) yang hanya berhubungan dengan segala
sesuatu amal yang memiliki tendensi ubudiyyah saja, yakni hubungan antara
seorang hamba dengan tuhannya, akan tetapi Islam juga merupakan sebuah
konsep social yang didalamnya juga mengatur dan memberikan norma-norma
dalam yang berkaitan dengan mu’amalah. Berkaitan dengan hal tersebut diatas
penulis akan mencoba membahas tentang salah satu praktek perdagangan yang
sering kali terjadi di masyarakat, yakni apa yang disebut sebagai Ihtikar (‫إحتكار‬ )
dan akhlak yang tidak terpuji ( tercela) ). Dalam hal ini penulis akan mencoba
memaparkan tentang hadits-hadits Nabi SAW yang berkaitan dengan masalah –
masalah tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Larangan menimbun dan monopoli?
2. Bagaimana Larangan terhadap tengkulak?
3. Bagaimana Larangan menimbun dan monopoli barang pokok?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Bagaimana Larangan menimbun dan monopoli.
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Larangan terhadap tengkulak.
3. Untuk Mengetahui Bagaimana Larangan menimbun dan monopoli barang
pokok.

D.  Manfaat Penulisan
Manfaat disusunnya makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman
kepada mahasiswa tentang larangan menimbun dan monopoli barang pokok.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Larangan Menimbun dan Monopoli


Menimbun dan memonopoli adalah tindakan  menyimpan harta, manfaat
atau jasa dan enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain, sehingga
mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis karena disebabkan
persediaan terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar. Sedangkan
masyarakat memerlukan produk, manfaat, atau jasa tersebut.1
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum monopoli (ihtikar), dengan
perincian sebagai berikut:
1. Haram secara mutlak (tidak dikhususkan bahan makanan saja), hal ini di
dasari oleh sabda Nabi SAW:

 ‫ َم ِن احْ تَ َك َر فَه َُو َخا ِطٌئ‬ 


 Artinya: “Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa”.
 (HR. Muslim 1605).
2. Makruh secara mutlak, dengan alasan bahwa larangan Nabi SAW berkaitan
dengan ihtikar adalah terbatas kepada hukum makruh saja, lantaran hanya
sebagai peringatan bagi umatnya.
3. Haram apabila berupa bahan makanan saja, adapun selain bahan makanan,
maka dibolehkan, dengan alasan hadits riwayat Muslim di atas, dengan
melanjutkan riwayat tersebut yang dhohirnya membolehkan ihtikar selain
bahan makanan, sebagaimana riwayat lengkapnya, ketika Nabi SAW
bersabda:

َ‫ال َس ِعي ٌد ِإ َّن َم ْع َمرًا الَّ ِذي َكان‬


َ َ‫خَاطٌئ فَقِي َل لِ َس ِعي ٍد فَِإنَّكَ تَحْ تَ ِك ُر ق‬
ِ ‫َم ِن احْ تَ َك َر فَه َُو‬
َ ‫ِّث هَ َذا ْال َح ِد‬
‫يث َكانَ يَحْ تَ ِك ُر‬ ُ ‫يُ َحد‬
Artinya: “Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. Lalu Sa'id
ditanya, "Kenapa engkau lakukan ihtikar?" Sa'id menjawab, "Sesungguhnya
Ma'mar yang meriwayatkan hadits ini telah melakukan ihtikar!' (HR. Muslim
1605).
Imam Ibnu Abdil Bar mengatakan: "Kedua orang ini (Said bin Musayyab
dan Ma'mar (perowi hadits) hanya menyimpan minyak, karena keduanya
memahami bahwa yang dilarang adalah khusus bahan makanan ketika sangat
dibutuhkan saja, dan tidak mungkin bagi seorang sahabat mulia yang merowikan
hadits dari Nabi SAW dan seorang tabi'in (mulia) yang bernama Said bin
Musayyab, setelah mereka meriwayatkan hadits larangan ihtikar lalu mereka

1 Lukman Efendi, ‘Penimbunan Barang Pokok Perspektif Fiqih Muamalah’ (IAIN Metro, 2020).

2
menyelisihinya (ini menunjukkan bahwa yang dilarang hanyalah bahan makanan
saja).
4. Haram ihtikar disebagian tempat saja.
Seperti di kota Makkah dan Madinah, sedangkan tempat-tempat lainnya,
maka dibolehkan ihtikar di dalamnya, hal ini lantaran Makkah dan Madinah
adalah dua kota yang terbatas lingkupnya, sehingga apabila ada yang melakukan
ihtikar salah satu barang kebutuhan manusia, maka perekonomian mereka akan
terganggu dan mereka akan kesulitan mendapatkan barang yang dibutuhkan,
sedangkan tempat-tempat lain yang luas, apabila ada yang menimbun barang
dagangannya, maka biasanya tidak mempengaruhi perekonomian manusia,
sehingga tidak dilarang ihtikar di dalamnya.2
5. Boleh ihtikar secara mutlak.
Mereka menjadikan hadits-hadits Nabi SAW yang memerintahkan orang
yang membeli bahan makanan untuk membawanya ke tempat tinggalnya terlebih
dahulu sebelum menjualnya kembali sebagai dalil dibolehkahnya ihtikar, seperti
dalam hadits:
‫ْت الَّ ِذينَ يَ ْشتَرُونَ الطَّ َعا َم ُم َجا َزفَةً َعلَى َع ْه ِد‬
ُ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َما قَا َل َرَأي‬ ِ ‫ع َْن اب ِْن ُع َم َر َر‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَ ْنهَوْ نَ َأ ْن يَبِيعُوهُ َحتَّى يُْؤ ُووهُ ِإلَى ِر‬
‫حالِـ ِه ْم‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬
ِ ‫َرس‬
Artinya: “Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata: "Aku melihat orang-orang
yang membeli bahan makanan dengan tanpa ditimbang pada zaman Rosulullah
SAW mereka dilarang menjualnya kecuali harus mengangkutnya ke tempat
tinggal mereka terlebih dahulu."
(HR. Bukhori 2131, dan Muslim 5/8).
Secara esensi definisi di atas sama, dan dapat difahami bahwa iktikar  yaitu:
1.    Membeli barang ketika harga mahal. 
2.    Menyimpan barang tersebut sehingga kurang persediaannya di pasar.
3.    Kurangnya persediaan barang membuat permintaan naik dan harga juga naik.
4.    Penimbun menjual barang yang di tahannya  ketika harga telah melonjak.
5.    Penimbunan barang menyebabkan rusaknya mekanisme pasar.3

B. Larangan Terhadap Tengkulak


Dalam Bulughul Maram. Hadits No. 827 .

‫صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ ْم َع ِن‬ َ  َِ ‫ ( نَهَى َرسُو ُل هَّللَا‬:‫ال‬ َ َ‫س رضي هللا عنه ق‬ ٍ َ‫َوع َْن َأن‬
) ‫ َو ْال ُمزَابَنَ ِة‬,‫ َو ْال ُمنَابَ َذ ِة‬,‫ َو ْال ُماَل َم َس ِة‬,‫ض َر ِة‬
َ ‫ َو ْال ُمخَ ا‬,‫اَ ْل ُم َحاقَلَ ِة‬
  ُّ‫اري‬ ِ َ‫ِر َواهُ اَ ْلبُخ‬

2 Muh Barid Nizarudin Wajdi, ‘Monopoli Dagang Dalam Kajian Fiqih Islam’, AT-
Tahdzib: Jurnal Studi Islam Dan Muamalah, 4.2 (2016), 81–99.
3 Nurul Fani Fajrianti Rusliah and Nafisah Kuri’ain, ‘Tindak Pidana Ekonomi
(Penimbunan Dan Perampasan)’, 2022.

3
Terjemahan Hadits:
“Anas berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang jual-beli
dengan cara muhaqalah, muhadlarah (menjual buah-buahan yang belum masak
yang belum tentu bisa dimakan), mulamasah (menjual sesuatu dengan hanya
menyentuh), munabadzah (membeli sesuatu dengan sekedar lemparan), dan
muzabanah”. Riwayat Bukhari.4
Penjelasan Hadits:
Menjual kurma basah dengan kurma kering dengan takaran (yang sama) dan
menjual anggur segar dengan anggur kering (kismis) dengan takaran sama pula.
Dalam hadits diatas telah dijelaskan bahwa kelima jenis jual beli tersebut dilarang
oleh Rasulullah saw. Karena sistem jual beli tersebut dapat merugikan salah satu
pihak. Sebagaimana dalam Shahih Bukhori, hadits nomor 2312 juga dijelaskan
mengenai terlarangnya jual beli yang merugikan salah satu pihak, karena
didalamnya mengandung riba. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Said al
Khudriy r.a. Bahwa suatu ketika beliau membawa kurma kepada Nabi. Kemudian
beliau bertanya mengenai asal usul kurma tersebut, lalu beliau menceritakannya.
Bahwa kurma tersebut berasal dari akad jual beli (barter) kurma kering 2 sha’
dengan kurma yang baik 1 sha’. Lalu Rosul bersabda “Hati-hati, hati-hati ini riba,
ini riba, jangan lakukan. Apa bila kamu ingin membeli kurma yang bagus maka
jual terlebuh dahulu kurmamu yang jelek, kemudian hasil penjualanya gunakan
untuk membeli kurma yang bagus”.
Dr. Nasrun Haroen, MA mengatakan bahwa dalam syariat Islam ditetapkan
hak khiyar bagi orang-orang yang melakukan transaksi perdata agar tidak
dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan. Dengan demikian ulama’ fikih
sepakat menyatakan bahwa jual beli yang mengandung unsur penipuan, seperti
almulamasah dan almuzabanah adalah tidak sah atau batil. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa dilarangnya lima macam jual beli diatas berhak untuk
memilih atau untuk membatalkan penjualan.       
Dijelaskan pula hadits mengenai larangan terhadap tengkulak (BM:1412)

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه‬


َ ِ ‫ قَا َل َرسُو ُل هَّللَا‬:‫ قَا َل‬،‫ض َي هَّللَا ُ َع ْنهُ َما‬ِ ‫س َر‬ ٍ ‫ ع َِن اِ ْب ِن َعبَّا‬،‫س‬ ٍ ‫ع َْن طَا ُو‬
ُ ‫اض ٌر لِبَا ٍد» قُ ْل‬
َ :ُ‫ا قَوْ لُه‬ ‫ت اِل ْب ِن َعبَّا ٍس َم‬
‫«واَل‬ ِ ‫ َواَل يَبِي ُع َح‬، َ‫ «اَل تَلَقَّوْ ا اَلرُّ ْكبَان‬:‫َو َسلَّ َم‬
ُ ‫ اَل يَ ُك‬:‫ال‬
‫ون لَهُ ِس ْم َسارًا‬ َ َ‫اض ٌر لِبَا ٍد» ق‬ ِ ‫يَبِي ُع َح‬.
ِ ‫ق َعلَ ْي ِه َواللَّ ْفظُ لِ ْلبُ َخ‬
﴿ ِّ‫اري‬ ٌ َ‫﴾ ُمتَّف‬

Terjemahan Hadits:
“Dari thawus dari Ibnu abbas ia berkata: telah bersabda Rasulullah SAW: “
Janganlah kamu mencegat kafilah-kafilah dan janganlah orang-orang kota
menjual buat orang desa.”Saya bertanya kepada Ibnu abbas, ” Apa arti sabdanya.?

4 Syafe’I Rachmat, Al-Hadits Aqidah,Akhlaq, Sosial, Dan Hukum (Bandung: Pustaka


Setia, 2000) hlm.165

4
“Janganlah kamu mencegat kafilah-kafilah dan jangan orang-orang kota
menjualkan buat orang desa,” Ia menjawab: “Artinya janganlah ia menjadi
perantara baginya.” (Muttafaq alaih, tetapi lafazh tersebut dari Bukhari).

Tinjauan Bahasa :
‫تَلَقُّو‬        : Mencegat. Maksudnya pergi menjumpai kafilah sebelum mereka
sampai dikota dan sebelum mereka mengetahui harga pasar.
َ ‫الرُّ َّك‬   : Para pedagang yang biasanya menunggang unta dan sering disebut
‫اب‬
kafilah.
‫ ِس ْم َسار‬     : Makelar   
Penjelasan Hadits:
Diantra kebiasaan masyarakat Arab adalah berdagang ke Negara tetangga.
Dari Mekkah mereka membawa barang-barang hasil produk Mekkah untuk dijual
ke Negara lain kemudian pulangnya mereka membawa barang-barang dari Negara
lain yang sangat diperlukan oleh penduduk Mekkah atau kota-kota lainnya di
Arab untuk memperdagangkan barang-barang mereka kepada penduduk Mekkah.
Biasanya para pedagang tersebut berangkat bersama-sama dalam satu rombongan
besar yang disebut kafilah.5
Sebenarnya para kafilah tersebut sudah terbiasa behenti dipasar atau
ditempat berkumpulnya penduduk. Harga barang yang dibawa oleh rombongan
dalam kafilah ini tentu saja murah karena mereka merupakan pedagang pertama.
Akan tetapi, penduduk seringkali tidak mendapatkan barang secara langsung dari
tangan kafilah karena barang-barang tersebut telah dicegat lebih dulu oleh para
tengkulak  atau makelar. Mereka memanfaatkan kesempatan tersebut untuk
menapatkan keuntungan besar, dengan cara menjual barang yang mereka beli
dengan harga lebih tinggi kepada penduduk yang tidak dapat membeli langsung
dari kafialah.
Dengan demikian, kafilah pun tidak dapat lagi datang kepasar atau ke
tempat-tempat yang biasa dipakai untuk berjual beli  dengan penduduk desa
karena barangnya habis atau penduduk desa sudah membeli barang dari para
tengkulak, dengan harga yang cukup tinggi. Keadaan tersebut sangat
memadaratkan, baik bagi para kafilah para penjual dipasar, maupun bagi para
penduduk. Oleh karena itu, perbuatan tersebut dilarang.[3]

Sebenarnya hadits diatas mengandung dua larangan:


1.    Larangan mencegat para kafilah
Maksud para kafilah disini, baik sendirian ataupun dalam rombongan
banyak, baik memakai kendaraan ataupun berjalan. Akan tetapi, biasanya kafilah
datang dengan rombongan besar dan mengendarai unta. Tempat yang dilarang
mencegat barang adalah diluar pasar, atau diluar tempat menjual barang.
Menurut Hadawiyah dan Asy-syafi’I melarang mencegat barang diluar
daerah, alasannya adalah karena penipuan kepada kafilah, sebab kafilah belum

5 Ibid;hal.169

5
mengetahui harganya. Malikiyah, Ahmad, dan Ishaq berpendapat bahwa mencegat
para kafilah itu dilarang, sesuai dengan zahir hadits. Hanafiyah dan Al-Auja’i
membolehkan mencegat kafilah jika tidak mendatangkan mudarat kepada
penduduk.

2.    Larangan menjadi perantara


Perantara merupakan penafsiran Ibnu Abbas dari kata hadiru libad, yakni
penduduk kota menjadi perantara bagi penduduk desa.
Tujuan para tengkulak dari kota menjadi perantara untuk mengambil
keuntungan sebanyak-bayaknya. Merka membohongi penduduk desa dengan
menjual barang dengan harga sangat tinggi sesuai keinginan mereka. Perbuatan
tersebut tentu saja dilarang oleh islam karena sangat memadaratkan.
Berbeda hukumnya bila perantara betul-betul berusaha menolong penduduk
yang tidak dapat membeli langsung dari pasar atau dari para kafilah. Barang-
barang tersebut tidak akan sampai ketangan penduduk jika tidak melalui
tengkulak (perantara). Perantara seperti itu dibolehkan, bahkan ia menjadi
penolong bagi orang-orang yang tidak mampu kekota untuk pergi membeli
barang. Akan tetapi harganya jangan sampai mencekik penduduk. Lebih baik jika
tidak mengambil keuntungan ia hanya mengambil keuntungan sedikit atau
sekedarnya saja. Perantara seperti itu dikategorikan sebagai pedagang yang
diperbolehkan dalam Islam, bahkan kalau jujur dan bersih, mereka telah
melakukan pekerjaan yang paling baik.
Dengan demikian, yang menjadi landasan tentang larangan untuk menjadi
perantara adalah adanya kemadaratan bagi penduduk, sedangkan jika
menimbulkan kemaslahatan bagi penduduk hal itu diperbolehkan, bahkan
dianjurkan. Telah dijelaskan pula bahwa  islam mensyari’atkan penjual dan
pembeli agar tidak tergesa-gesa dalam bertransaksi, sebab akan menimbulkan
penyesalan atau kekecewaan. Islam mensyari’atkan tidak hanya ada ijab kabul
dalam jual beli, tapi juga kesempatan untuk berpikir pada pihak kedua selama
mereka masih dalam satu majlis.
   

C. Larangan Menimbun dan Monopoli Barang Pokok


Menimbun yang diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih bila
memenuhi tiga kriteria:
a. Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga
untuk masa satu tahun penuh. Kita hanya boleh menyimpan barang untuk
keperluan kurang dari satu tahun sebagaimana pernah dilakukan
Rasulullah SAW.
b. Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung
tinggi dan kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa
rakyat membelinya dengan harga mahal.
c. Yang ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan,
sandang dan lain-lain.

6
Dalam Bulughul Maram. Hadits No. 833

ِ ‫ ( غَاَل اَل ِّس ْع ُر بِ ْال َم ِدينَ ِة َعلَى َع ْه ِد َرس‬:‫ك رضي هللا عنه قَا َل‬
‫ُول‬ ٍ ِ‫َس ْب ِن َمال‬ ِ ‫َوع َْن َأن‬
َ َ‫ فَق‬,‫ فَ َسعِّرْ لَنَا‬,ُ‫ يَا َرسُو َل هَّللَا ِ ! غَاَل اَل ِّس ْعر‬: ُ‫هَّللَا ِ صلى هللا عليه وسلم فَقَا َل اَلنَّاس‬
 ‫ال‬
ُ ‫َّاز‬
,‫ق‬ ِ ‫ الر‬,ُ‫ اَ ْلبَا ِسط‬, ُ‫ اَ ْلقَابِض‬,ُ‫َرسُو ُل هَّللَا ِ صلى هللا عليه وسلم ِإ َّن هَّللَا َ هُ َو اَ ْل ُم َس ِّعر‬
ْ ‫طلُبُنِي بِ َم‬
‫ظلِ َم ٍة فِي د ٍَم َواَل‬ ْ َ‫ْس َأ َح ٌد ِم ْن ُك ْم ي‬
َ ‫ َولَي‬,-‫تَ َعالَى‬- َ ‫َوِإنِّي َأَلرْ جُو َأ ْن َأ ْلقَى هَّللَا‬
َ‫ص َّح َحهُ اِب ُْن ِحبَّان‬
َ ‫ َو‬,‫ي‬ َّ ‫ َر َواهُ اَ ْلخَ ْم َسةُ ِإاَّل النَّ َساِئ‬ ) ‫ال‬ ٍ ‫َم‬
Terjemahan Hadits:
Anas Ibnu Malik berkata: Pada zaman Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
Sallam pernah terjadi kenaikan harga barang-barang di Madinah. Maka orang-
orang berkata: Wahai Rasulullah, harga barang-barang melonjak tingi,
tentukanlah harga bagi kami. Lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam
bersabda: “Sesungguhnya Allah lah penentu harga, Dialah yang menahan,
melepas dan pemberi rizki. Dan aku berharap menemui Allah dan berharap tiada
seorangpun yang menuntutku karena kasus penganiayaan terhadap darah maupun
harta benda.” Riwayat Imam Lima kecuali Nasa’i. Hadits shahih menurut Ibnu
Hibban.

Dijelaskan pula pada Hadits Riwayah Muslim mengenai larangan


menimbun barang pokok:

‫ان يَ ْعنِى ا ْبنَ بِالَ ٍل ع َْن يَحْ يَى َوهُ َو اب ُْن‬ ُ ‫ب َح َّدثَنَا ُسلَ ْي َم‬ٍ َ‫َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ ب ُْن َم ْسلَ َمةَ ب ِْن قَ ْعن‬
‫ـال َر ُس ـو ُل هَّللا ِ صــلى هللا‬ َ ‫ِّث َأ َّن َم ْع َمـ رًا قَــا َل قَـ‬ ُ ‫ب يُ َحـ د‬ ِ َّ‫َس ِعي ٍد قَا َل َكانَ َس ِعي ُد ب ُْن ْال ُم َسي‬
‫ك تَحْ تَ ِكـ ُر قَـا َل َسـ ِعي ٌد ِإ َّن‬َ َّ‫ فَقِيـ َل لِ َسـ ِعي ٍد فَِإن‬.» ‫ـو خَـ ا ِطٌئ‬ َ ‫عليه وسـلم « َم ِن احْ تَ َكـ َر فَهُـ‬
( ‫)رواه مسلم‬.ُ‫يث َكانَ يَحْ تَ ِكر‬ َ ‫ِّث هَ َذا ْال َح ِد‬
ُ ‫َم ْع َمرًا الَّ ِذى َكانَ ي َُحد‬
Terjemahan Hadits: 
Diceritakan dari Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab, diceritakan dari
Sulaiman bin Bilal, dari Yahya bin Sa’id berkata; Sa’id bin Musayyab
menceritakan bahwa sesungguhnya Ma’mar berkata; Rasulullah saw pernah
bersabda : Barang siapa yang melakukan praktek ihtikar (monopoli) maka dia
adalah seseorang yang berdosa. Kemudian dikatakan kepada Sa’id, maka
sesungguhnya kamu telah melakukan ihtikar, Sa’id berkata; sesungguhnya
Ma’mar yang meriwayatkan hadits ini ia juga melakukan ihtikar. (HR. Muslim)
Penjelasan Hadits :
Dalam riwayat yang lain disebutkan menggunakan lafadz :  ‫اَل يَ ْحتَكِر ِإاَّل‬
‫اطئ‬ َ
ِ ‫خ‬  lafadz ‫ئ‬‫اط‬ َ
ِ ‫خ‬  dalam hadits diatas menurut ahli bahasa memiliki arti seseorang
yang berbuat durhaka dan melakukan perbuatan dosa.
Berdasarkan keterangan dalam kitab Badrul Munir, mengutip yang
disampaikan oleh Abu Mas’ud Al-Dimasyqi dari riwayat Ibnu Musayyab
menyebutkan, bahwa yang dilakukan oleh Sa’id adalah melakukan penahanan atas

7
barang berupa minyak. Sedangkan menurut Tirmidzi, Sa’id bin Musayyab hanya
melakukan penahanan atas beberapa komoditas yakni minyak, biji gandum dan
sejenisnya saja. Sedangkan menurut Abu Daud yang dilakukan Sa’id adalah
melakukan praktek ihtikar atas biji kurma, benang dan rempah-rempah.
Sedangkan menurut Ibnu Abdul Bar beliau menuturkan bahwa Sa’id dan Ma’mar
keduanya melakukan ihtikar atas minyak saja. Dan mereka berdua beranggapan
yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah melakukan penahanan atas
barang-barang yang menjadi kebutuhan pokok saja, bukan komoditas lain seperti
minyak, biji kurma, rempah-rempah serta komoditas lain yang bukan merupakan
kebutuhan pokok.

Para ulama membagi monopoli kedalam dua jenis:


a.Monopoli yang haram, yaitu monopoli pada makanan pokok masyarakat,
Sabda Rasulullah, riwayat Al-Asram dari Abu Umamah: 

ٌ ‫صلى هللا َعلي ِه وسلم ن َهى أنْ َيحْ ت ِكر‬


‫ُالط َعا َم‬ َ ُ‫َأنْ النبي‬
Artinya:
“Nabi SAW melarang monopoli makanan”
Jenis inilah yang dimaksud dalam hadis bahwa pelakunya bersalah, maksudnya
bermaksiat, dosa dan melakukan kesalahan.
b. Monopoli yang diperbolehkkan, yaitu pada suatu yang bukan kepentingan
umum, seperti: minyak, lauk pauk, madu, pakaian, hewan ternak, pakan
hewan.
Sehubungan dengan celaan melakukan penimbunan ini, telah disebutkan
sejumlah hadis diantaranya:
·      Hadits Umara dari Nabi SAW           

ِ َ‫ُذام َوا ِال ْفال‬


‫س‬ َ ‫َم ْن احْ تَ َك َرعَلى ل ُم ْسلِ ِم ْينَ طَ َعا ُمهُ ْم‬
ِ ‫ض َربَهُ هللاُ بِل اج‬
Artinya:
“Siapa menimbun makanan kaum muslimin, niscaya Allah akan menimpakan
penyakit dan kebangkrutan kepadanya.”
·      Diriwayatkan Ibnu Majah dengan Sanad Hasan
‫ق َوال ُمحْ تَ ِك ُر َم ْلعُوْ ُن‬
ُ ْ‫اَ َجالْ لِبُ َمرْ ُزو‬
Artinya :
“orang yang mendatangkan barang akan diberi rezeki dan orang yang menimbun
akan dilaknat”

Al-Hakim meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW:


ْ ‫َم ِن احْ تَ َك َر ُح ْك َرة ًي ُِر ْي ُد‬
‫أن يُغَالِ َي بِهَا َعلَى ا ل ُم ْسلِ ِم ْينَ فَه َُو َخ ِطَُئ‬

8
Artinya: “Barang siapa yang menimbun barang terhadap kaum muslimin agar
harganya menjadi mahal, maka ia telah melakukan dosa”.

Dari ibnu Umar, dari Nabi SAW:


ُ‫َم ْن احْ تَ َك َرطَ َع ًماأرْ بَ ِعي َـْن لَيْلة فَقَ ْدبَ ِرى َء ِمنَ هللاَ َوبَ ِرى َء ِم ْنه‬
Artinya: “Siapa yang menimbun makanan selama empat puluh malam sungguh ia
telah terlepas dari Allah dan Allah berlepas dari padanya”.
Para Ahli fiqih (dikutip Drs. Sudirman, M.MA) berpendapat menimbun
barang diharamkan dengan syarat:
a.    Barang yang ditimbun melebihi kebutuhan atau dapat dijadikan persedian
untuk satu tahun.
b.    Barang yang ditimbun dalam usaha menunggu saat harga naik.
c.    Menimbun itu dilakuakn saat manusia sangat membutuhkan.

9
10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Menimbun / memonopoli adalah tindakan  menyimpan harta, manfaat atau
jasa dan enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain, yang
mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan persediaan
terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar, sedangkan masyarakat
memerlukan manfaat dari produk tersebut.

Secara esensi definisi di atas sama, dan dapat difahami bahwa iktikar atau
monopoli yaitu:

1. Membeli barang ketika harga mahal.


2. Menyimpan barang tersebut sehingga kurang persediaannya di pasar.
3. Kurangnya persediaan barang membuat permintaan naik dan harga juga naik. 
4. Penimbun menjual barang yang di tahannya  ketika harga telah melonjak.
5. Penimbunan barang menyebabkan rusaknya mekanisme pasar.

B. Saran
Menurut kami masih banyak lagi yang perlu dipelajari dalam larangan
menimbun dan monopoli agar dapat memahami lebih dalam lagi tentang isi dan
kandungan Hadits pada larangan menimbun dan monopoli.

11
DAFTAR PUSTAKA

Al-Asqalani Ibn Hajar,  Panduan Lengkap Masalah-Masalah Fiqih, Akhlak dan


Keutamaan Amal. Bandung: Mizan Pustaka,  2010.

Mannan, M. Abdul. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Bandung: PT. Dana Bhakti
Prima Yasa.1997

Nurul Fani Fajrianti Rusliah and Nafisah Kuri’ain, ‘Tindak Pidana Ekonomi
(Penimbunan Dan Perampasan)’, 2022.

Qardawi, Yusuf. Halal Haram dalam Islam. Surabaya : PT. Bina Ilmu.2003

Rachmat Syafe’I. Al-Hadits Aqidah,Akhlaq, Sosial, Dan Hukum. Bandung:


Pustaka Setia, 2000.
Salim Abd.Rasyid, Meraih Jalan Petunjuk, Syarah Bulugul Maram. Bandung:
Nuansa Aulia, 2007.
Wajdi,Muh Barid Nizarudin, ‘Monopoli Dagang Dalam Kajian Fiqih Islam’, AT-
Tahdzib: Jurnal Studi Islam Dan Muamalah, 4.2 (2016)

12

Anda mungkin juga menyukai