Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ETIKA BISNIS DALAM ISLAM


“IKHTIKAR”

Dosen pengampu :

ROZA ZELVIA, M.Si

Disusun oleh :

1. FREDI BIJAKTIAN
2. SUGIATI

JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
YAYASAN PEMBANGUNAN KALIANDA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang hingga saat ini
masih berkenan memberikan kepercayaan-Nya kepada kami semua untuk menikmati segala
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “ ihtikar“.

Adapun makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Muamalah Semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pemahaman diri penyusun tentang mata kuliah
ini. Demi kesempurnaannya, penyusun mengharapkan saran dan masukan dari berbagai pihak.

Tidak lupa penyusun mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
mendukung hingga terselesaikan makalah ini.

Harapan penyusun semoga makalah ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi
penyusun sendiri dan umumnya bagi siapa saja yang membacanya.

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................................i


Dafar isi ............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar belakang......................................................................................................1
b. Rumusan masalah ................................................................................................1
c. Tujuan ..................................................................................................................1
d. Peta konsep ..........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
a. Pengertian ihtikar .................................................................................................3
b. Dasar-dasar hukum ihtikar ...................................................................................3
c. Jenis barang ihtikar ..............................................................................................5
d. Kewenangan pemerintah ......................................................................................7
e. Hikmah dibalik larangan ihtikar ..........................................................................8
BAB III PENUTUP
Kesimpulan ......................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang maslalah
Dalam agama Islam kita memang di halalkan dan di suruh untuk mencari rezki melalui
berbagai macam usaha seperti bertani, berburu atau melakukan perdagangan atau jual
beli. Namun tentu saja kita sebagai orang yang beriman diwajibkan menjalankan usaha
perdagangan secara Islam, dituntut menggunakan tata cara khusus menurut Alquran dan
Sunnah, ada aturan mainnya yang mengatur bagaimana seharusnya seorang Muslim
berusaha di bidang perdagangan agar mendapatkan berkah dan ridha Allah SWT di dunia
dan akhirat.
Aturan main perdagangan Islam, menjelaskan berbagai macam syarat dan rukun yang
harus dipenuhi oleh para pedagang Muslim dalam melaksanakan jual beli. Dan
diharapkan dengan menggunakan dan mematuhi apa yang telah di syariatkan tersebut,
suatu usaha perdagangan dan seorang Muslim akan maju dan berkembang pesat lantaran
selalu mendapat berkah Allah SWT di dunia dan di akhirat.
Selain harus mengetahui bagaimana jual beli yang di perbolehkan dan sah menurut hukm
islam, kita juga dituntut untuk tahu apa saja jual beli yang dilarang oleh Islam, agar kita
tidak terjerumus kepada hal yang dilarang oleh Allah SWT, untuk itulah dalam makalah
sederhana ini saya akan membahas satu dari sekian banyak jual beli yang tidak
diperbolehkan, yaitu monopoli atau Ihtikar. Tentang apa dan bagaimana ihtikar itu
menurut pandangan hukum islam.
B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ihtikar
2. Apa dasar hukum ihtikar
3. Jenis barang ihtikar
4. Peranan pemerintah terhadap ihtikar
C. Tujuan
Mengetahui landasan hukum dari pada ihtikar dan apa dampak ihtikar terhadap
masyarakat pertumbuhan ekonomi.

1
D. Peta Konsep

IHTIKAR

DASAR HUKUM JENIS BARANG FATWA HIKMAH

HARAM MUTLAQ BAHAN POKOK


FATWA DSN MUI MEMINIMALISIR
KRISIS EKONOMI
NO.40/DSN-
HARAM SEGALA YANG MUI/X/2003 BAB V DALAM SUATU
DIBUTHKAN BAIK PASAL 5 NEGARA
PRIMER MAUPUN
MAKRUH MUTLAQ SKUNDER

BOLEH

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ihtikar
Ihtikar secara bahasa adalah menahan sesuatu untuk menunggu harga naik, ihtikar juga
berarti mengumpulkan (barang-barang) dan menahan. Ihtikar artinya dzalim (aniaya) dan
merusak pergaulan1. artinya menimbun barang agar yang beredar di masyarakat
berkurang, lalu harganya naik. Yang menimbun memperoleh keuntungan besar, sedang
masyarakat dirugikan2. Menurut Adimarwan "Monopoli secara harfiah berarti di pasar
hanya ada satu penjual"3. Berdasarkan hadist dari Sa'id bin Musayyab ia meriwayatkan:
Bahwa Ma'mar, ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Barangsiapa menimbun barang,
maka ia berdosa'," (HR Muslim (1605). jelas monopoli seperti ini dilarang dan hukumnya
adalah haram, karena perbuatan demikian didorong oleh nafsu serakah, loba dan tamak,
serta mementingkan diri sendiri dengan merugikan orang banyak. Selain itu juga
menunjukan bahwa pelakunya mempunyai moral dan mental yang rendah.

B. Dasar Hukum Ihtikar


Para ulama berbeda pendapat tentang hukum ihtikar, dengan perincian sebagai berikut:
1. Haram secara mutlak, tidak dikhususkan bahan makanan saja), hal ini didasari oleh sabda
Nabi SAW, Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. (HR. Muslim 1605)
Menimbun yang diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih bila memenuhi tiga
kriteria:
 Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk
masa satu tahun penuh. Kita hanya boleh menyimpan barang untuk keperluan
kurang dari satu tahun sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.

1
Dr. Rozalinda, M.Ag. Fikih Ekonomi Syariah, hlm 357
2
H. A. Aziz Salim Basyarahil, 22 Masalah Agama, hlm.56,
3
Ir. Adiwarman A. Karim, Ekonomi mikro islami, hlm. 173,

3
 Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan
kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat
membelinya dengan harga mahal.
 Yang ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan,
sandang dan lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak
pedagang, tetatpi tidak termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak
merugikan rakyat. maka itu tidak termasuk menimbun. 4
2. Makruh secara mutlak, Dengan alasan bahwa larangan Nabi SAW berkaitan dengan
ihtikar adalah terbatas kepada hukum makruh saja, lantaran hanya sebagai peringatan
bagi umatnya.
3. Haram apabila berupa bahan makanan saja, adapun selain bahan makanan, maka
dibolehkan, dengan alasan hadits riwayat Muslim di atas, dengan melanjutkan riwayat
tersebut yang dhohirnya membolehkan ihtikar selain bahan makanan, sebagaimana
riwayat lengkapnya, ketika Nabi SAW bersabda:
“Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. Lalu Sa'id ditanya, "Kenapa
engkau lakukan ihtikar?" Sa'id menjawab, "Sesungguhnya Ma'mar yang meriwayatkan
hadits ini telah melakukan ihtikar!' (HR. Muslim 1605).
Imam Ibnu Abdil Bar mengatakan: "Kedua orang ini (Said bin Musayyab dan Ma'mar
(perowi hadits) hanya menyimpan minyak, karena keduanya memahami bahwa yang
dilarang adalah khusus bahan makanan ketika sangat dibutuhkan saja, dan tidak mungkin
bagi seorang sahabat mulia yang merowikan hadits dari Nabi SAW dan seorang tabi'in
[mulia] yang bernama Said bin Musayyab, setelah mereka meriwayatkan hadits larangan
ihtikar lalu mereka menyelisihinya (ini menunjukkan bahwa yang dilarang hanyalah
bahan makanan saja).
4. Haram ihtikar disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah, sedangkan
tempat-tempat lainnya, maka dibolehkan ihtikar di dalamnya, hal ini lantaran Makkah
dan Madinah adalah dua kota yang terbatas lingkupnya, sehingga apabila ada yang
melakukan ihtikar salah satu barang kebutuhan manusia, maka perekonomian mereka
akan terganggu dan mereka akan kesulitan mendapatkan barang yang dibutuhkan,
sedangkan tempat-tempat lain yang luas, apabila ada yang menimbun barang

4
H. A. Aziz Salim Basyarahil, Opcit., hlm.58.

4
dagangannya, maka biasanya tidak mempengaruhi perekonomian manusia, sehingga
tidak dilarang ihtikar di dalamnya.
5. Boleh ihtikar secara mutlak, Mereka menjadikan hadits-hadits Nabi SAW yang
memerintahkan orang yang membeli bahan makanan untuk membawanya ke tempat
tinggalnya terlebih dahulu sebelum menjualnya kembali sebagai dalil dibolehkahnya
ihtikar, seperti dalam hadits:
Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata: "Aku melihat orang-orang yang membeli bahan
makanan dengan tanpa ditimbang pada zaman Rosulullah SAW mereka dilarang
menjualnya kecuali harus mengangkutnya ke tempat tinggal mereka terlebih dahulu."
(HR. Bukhori 2131, dan Muslim 5/8)
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani berkata:
"Imam Bukhori sepertinya berdalil atas bolehnya menimbun/ihtikar dengan (hadits ini),
karena Nabi SAW memerintahkan pembeli bahan makanan supaya mengangkutnya
terlebih dahulu ke rumah-rumah mereka sebelum menjualnya kembali, dan seandainya
ihtikar itu dilarang, maka Rosulullah SAW tidak akan memerintahkan hal itu." (Fathul
Bari 4/439-440).5
Demikian pula pendapat tentang waktu diharamkannya ihtikar. Ada ulama yang
mengharamkan ihtikar setiap waktu secara mutlaku, tanpa membedakan masa paceklik
dengan masa surplus pangan, berdasarkan sifat umum larangan terhadap monopoli dari
hadits yang sudah lalu. Ini adalah pendapat golongan salaf.

C. Jenis Barang Ihtikar


para ulama berpendapat dalam memahami objek yang ditimbun yaitu; kelompok pertama
mendefiniskan ihtikar sebagai penimbunan yang hanya terbatas pada bahan maknan
pokok (primer), kelompok kedua mendefinisikan ihtikar secara umum yaitu menimbun
segala barang-barang keperluan manusia baik primer maupun skunder.
Dikalangan ulama hanafiyah menyatakan, ihtikar berlaku pada produk produk yang
berbentuk maknan, pakaian, dan hewan, meliputi seluruh produk yang menjadi keperluan
masyarakat. Mereka beralasan perbuatan ihtikar mendatangkan mudharat pada orang
banyak.

5
Ibid, hlm. 60

5
Abu yusuf (murid abu hanifah) mendefinisikan ihtikar lebih luas dan umum. Beliau
menyatakan bahwa larangan ihtikar tidak hanya terbatas pada makanan, pakaian dan
hewan, tetap meliputi seluruh produk yang dibutuhkan masyarakat. Menurut mereka,
yang menjadi illat (motivasi hukum) dalam larangan melakukan ihtikar tersebut adalah
kemudharatan yang menimpa orang banyak tidak hanya terbatas pada makanan, hewan
dan pakaian, tetapi mencakup seluruh produk yang dibutuhkan orang.
Ulama yang bermadzhab hanbali dan imam al-ghazali berpendapat, produk yang berlaku
pada ihtikar adalah barang yang berkaitan dengan makanan saja, sedangkan selain bahan
makanan poko seperti, obat-obatan, wewangian dan sebagainya tidak terkena larangan
meskipun termasuk barang yang dmakan, alas an mereka karena yang dilarang dalam
nash hanyalah makanan, maka larangan itu harus terbatas pada apa yang ditunjuk oleh
nash.
Para ulama syafi`I menyatakan bahwa ihtikar yang diharamkan adalah penimbunan
barabg-barang kebutuhan pokok tertentu, yaitu membelinya pada saat harga murah dan
tidak menjual saat itu juga, akan tetapi ia simpan sampai harga melonjak naik. Tetapi jika
ia mendatangkan barang dari kampungnya atau membelinya pada saat harga murah lalu
ia menyimpannya karena kebutuhannya, atau ia mejualnya kembali saat itu juga, maka itu
bukan ihtikar dan tidak diharamkan.
Imam Ad-Durani mengatakan bahwa, ihtikar tidak dibatasi pada makanan sja, ihtikar
dapat berlaku pada makanan, pakaian, manfaat dan jasa. Imam Ad-Durani melihat, pihak
pekerja yang memboikot pihak majikan juga dianggap sebagai ihtikar. Fathi Ad-Durani
mendefinisikan ihtikar dengan tindakan menyimpan harta, manfaat atau jasa. Ia enggan
menjual dan memberikannya kepada orang lain sehingga ,mengakibatkan melonjaknya
harga secara drastis disebabkan persediaan barang terbatas, sementara rakyat amat
membutuhkan menyangkut komoditas, tetapi manfaat suatu komoditas bahkan jasa
dengan syarat yang dilakukan para pedagang dan pemberi jasa ini bisa membuat harga
pasar tidak stabil, padahal komoditas, manfaat, atau jasa tersebut sangat dibutuhkan oleh
masyarakat.6
Perbedaan pasar monopoli dengan ihtikar yaitu;
1. Bahwa monopli terjadi jika seseorang memiliki modal yang besar dan dapat

6
Ibid, hlm. 360

6
memproduksi suatu barang tertentu yang dibutuhkan oleh masyarakat, sedangkan
ihtikar tidak hanya bisa diakukan oleh pemilik modal besar namun masyarakat
menegah dengan modal alakadarnya pun bisa melakukannya.
2. Suatu perusahaan monopoli cenderung dalam melakukan aktivitas ekonomi dan
penetapan harga mengikuti ketentuan pemerintah, sedangkan ihtikar dimana dan
kapan pun bisa dilakukanoleh siapa saja, sebab penimbunan sangat mudah untuk
dilakukan.
3. Untuk mendapatkan yang maksimum, dalam ihtikar kelangkaan barng dan kenaikan
harga dan kenaikan harga suatu barang terjadi dalam waktu dan tempo yang tentatif
dan mendadak dan dapat mengakibatkan inflasi. Sementara dalam monopoli kenaikan
harga biasanya cenderung dipengaruhi oleh mahalnya biaya produksi dan operasional
suatu perusahaan walaupun kadang-kadang juga dipengaruhi oleh kelangkaan barang.
4. Praktik monopoli adalah legal dan bahkan dinegara tertentu dilindungi oleh undang-
undang atau aturan suatu Negara, sedangkan ihtikar merupakan aktivitas ekonomi
yang illegal.

Pada dasarnya islam tidak melarang monopoli apalagi yang melakukan monopoli adalah
Negara, namun pandangan islam berhati-hati terhadap mekanisme penetuan harga
didalam monopoli yang cenderung berpotensi menghasilkan kerugian bagi konsumen.
Sebab harga ditentukan lebih berorientasi kepada kepentingan produsen saja. Dengan
ungkapan yang sangat sederhana bahwa islam pada dasarnya tidak mempermasalahkan
apakah suatu perusahaan monopolis atau oligopolies sepanjang tidak mengambil
keuntungan diatas normal dengan cara mejual lebih sedikit barang untuk mendapatkan
harga yang lebih tinggi, atau dalam istilah ekonominya disebut dengan monopoly rent
seeking.7

D. Kewenangan Pemerintah
Apabila penimbunan suatu barang terjadi, maka pemerintah berhak memaksa
pedaganguntuk menjualnya dengan harga normal. Seperti yang dikemukakan ibn
taimiyah bahwa ulil amri atau pemerintah berwenang memaksa pelaku ihtikar tersebut
untuk menjual barangnya dengan harga normal (qimah misli). Menurut muhtakir

7
Ibid, hlm. 367

7
diharamkan mengambil untung dari penjualan tersebut karena barang tersebut sangat
dibutuhkan masyarakat. Menurut ulama fiqh, para pedagang menjual barang tersebut
dengan harga modalsebagai hukumannya, karena mereka tidk berhak mengambil untung,
sekiranya para pedagang itu enggan menjual barangnya dengan harga pasar, penegak
hokum dapat menyita barang itu dan membagikannya kepada masyarakat yang
memerlukannya. Di samping bertindak tegas, pemerintah sejak semula harus dapat
mengantisipasiagar tidak terjadi ihtikar dalam setiap komoditi. 8 Dan Fatwa dewan syariah
nasional no.40/dsn-mui/x/2003 BAB V pasal 5 “Transaksi yang dilarang” telah
menetapkan bahwa ihtikar dilarang karena mengakibatkan kelangkaan barang,
melonjaknya harga.9

E. Hikmah di Balik Larangan Ihtikar


Imam Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan ihtikar adalah mencegah hal-hal yang
menyulitkan manusia secara umum, oleh karenanya para ulama sepakat apabila ada orang
memiliki makanan lebih, sedangkan mausia sedang kelaparan dan tidak ada makanan
kecuali yang ada pada orang tadi, maka wajib bagi orang tersebut menjual atau
memberikan dengan cuma-cuma makanannya kepada manusia supaya manusia tidak
kesulitan. Demikian juga apabila ada yang menimbun selain bahan makanan (seperti
pakaian musim dingin dan sebagainya) sehingga manusia kesulitan mendapatkannya, dan
membahayakan mereka, maka hal ini dilarang dalam Islam10.

Islam mengharamkan orang menimbun dan mencegah harta dari peredaran. Islam
mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang pedih di hari kiamat. Allah
subhaanahu wa ta’aala berfirman dalm surat At Taubah ayat 34-35:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada
jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa
yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar
dengannya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka (lalu dikatakan kepada mereka):

8
Dr. Rozalinda, M.Ag. Fikih Ekonomi Syariah, hlm. 362
9
Fatwa Dewan Syariah Nasional BAB V
10
Muhammad Ali, e-book Hukum Menimbun Barang Dagangan, hlm.4

8
“Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah
sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.

Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya dan menjauhkannya dari


peredaran. Padahal, jika harta itu disertakan dalam usaha-usaha produktif seperti dalam
perencanaan produksi, maka akan tercipta banyak kesempatan kerja yang baru dan
mengurangi pengangguran. Kesempatan-kesempatan baru bagi pekerjaan ini bisa
menambah pendapatan dan daya beli masyarakat sehingga bisa mendorong meningkatnya
produksi, baik itu dengan membuat rencana-rencana baru maupun dengan memperluas
rencana yang telah ada. Dengan demikian, akan tercipta situasi pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi dalam masyarakat.

Penimbunan barang merupakan halangan terbesar dalam pengaturan persaingan dalam


pasar Islam. Dalam tingkat internasional, menimbun barang menjadi penyebab terbesar
dari krisis yang dialami oleh manusia sekarang, yang mana beberapa negara kaya dan
maju secara ekonomi memonopoli produksi, perdagangan, bahan baku kebutuhan pokok.
Bahkan, negara-negara tersebut memonopoli pembelian bahan-bahan baku dari negara
yang kurang maju perekonomiannya dan memonopoli penjulan komoditas industri yang
dibutuhkan oleh negara-negara tadi. Hal itu menimbulkan bahaya besar terhadap keadilan
distribusi kekayaan dan pendapatan dalam tingkat dunia.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Ihtikar artinya menimbun barang agar yang beredar di masyarakat berkurang, lalu
harganya naik. Yang menimbun memperoleh keuntungan besar, sedang masyarakat
dirugikan.
2. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum ihtikar ada yang berpendapat Haram
secara mutlak, makruh secara mutlak, haram apabila berupa bahan makanan saja ,
haram ihtikar disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah dan pula
yang berpendapat bahwa ihtiakr itu boleh.
3. Jenis barang ihtikar adalah lebih kepada barang barang pokok, akan tetaapi beberapa
para ulama mengatakan bahwasanya segala barang-barang yang ditimbun dengan
tujuan untuk dijual ketika barang itu langkah dengan hharga yang tinggi.
4. Pemerintah telah menetapkan dilarangnya ihtkiar yang difatwakan oleh DSN.

10
DAFTAR PUSTAKA

Rozalinda, M.Ag. Fikih Ekonomi Syariah, PT. RAJAGRAFINDO PERSADA, Jakarta, 2016

Basyarahil, Salim, Aziz, H. A., 22 Masalah Agama, Gema Insani Press, Jakarta. 2003.

Nurhayati, Sri, Akuntansi Syari'ah di Indonesia, Salemba Empat, Jakarta, 2009.

Karim, Adiwarman, A., Ir., Ekonomi mikro islami, PT Raja Grafindo, Jakarta, .

Ali, Muhammad, e-book Hukum Menimbun Barang Dagangan, Al-Furqon, Gresik, Edisi 7 Th.
ke-7, 1429 H.

Ridwan, Ihtikar, http://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/ihtikar/

11

Anda mungkin juga menyukai