Anda di halaman 1dari 11

HADIS TENTANG LARANGAN MENIMBUN BARANG

(IHTIKAR)
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah: Hadis Mu’amalah
Dosen Pengampu: Dr. Afdawaiza, M.Ag

Disusun Oleh: Hasbi Maula Ali Wafa - 20105030056

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah
yang telah dilimpahkan-Nya kepada kita, sehingga makalah yang membahas tentang
Hadis Larangan Menimbun Barang ini dapat kami selesaikan dengan baik. Tentunya
dalam penyusunan makalah ini kami memperoleh bantuan dari berbagai pihak dan
sumber-sumber pendamping kajian makalah. Oleh karena itu, kami haturkan banyak
terimakasih kepada pihak-pihak yang telah ikut berpartisipasi dalam penyusunan makalah
ini.
Selain itu kami juga menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, disebabkan karena terbatasnya ilmu dan pengetahuan kami. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran membangun dari pembaca untuk
perbaikan dalam pembuatan makalah-makalah selanjutnya. Akhir kata, semoga makalah
ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami dan pembaca pada umumnya, dan atas amal
baik dari semua pihak yang membantu dalam penyusunann makalah ini semoga
mendapatkan imbalan pahala dari Allah Swt. Aamiin.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ekonomi Islam bertujuan untuk membawa manusia kepada kemaslahatan hidup


baik di dunia maupun di akhirat. Islam mengenal adanya nilai-nilai spritualisme pada
setiap materi yang dimiliki, yang menjadi sentral dalam setiap moralnya adalah semua
barang adalah milik Allah SWT dan begaimana melakukan transaksi perdagangan yang
sesuai dengan aturan main syariah 1. Dalam ekonomi Islam jual-beli disepakati oleh para
ulama bersifat mubah (boleh). Akan tetapi dalam prakteknya banyak dijumpai
kecurangan yang sering dilakukan oleh para pedagang untuk mendapatkan keuntungan
secara pribadi. Salah satu bentuk kecurangan tersebut yang sering terjadi adalah praktek
“menimbun barang”, yaitu pada saat harga suatu barang mengalami penurunan seseorang
akan memonopoli barang tersebut lalu kemudian menyimpannya. Pada saat harganya
naik barulah barang tersebut dikeluarkan untuk dijual dengan harga yang lebih tinggi.

Dalam Islam dikenal istilah ihtikar, yang artinya larangan-larangan menimbun


barang. Dengan kata lain membeli barang dengan maksud mengumpulkan dari pasar,
pada saat langkah kemudian dijual kepada masyarakat yang membutuhkan barang
tersebut untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda2. Islam secara jelas
melarang praktek yang demikian. Dalam beberapa literatur hadits dapat kita jumpai
tentang larangan menimbun barang bahkan sampai ancaman terhadap pelaku penimbun
barang.

Pada makalah ini kami akan mecoba memaparkan beberapa hadits tentang
larangan menimbun barang beserta penjelasannya dalam sebuah makalah yang berjudul
“Hadits Tentang Larangan Menimbun Barang”.

1
Muhammad Nadratuzzaman, Produk Keuangan dalam Islam di Indonesia dan Malaisia (Jakarta:
PT. Raja Gramedia Pustaka Utama, 2017), h. 7.
2
` Munawir Nurum, Larangan Menimbun Harta Dalam Jual Beli (Makassar:2020) hal. 1.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi Menimbun Barang (Ihtikar)

Ihtikar secara etimologi adalah perbuatan menimbun, pengumpulan (barang-


barang) atau tempat untuk menimbun. Ihtikar merupakan bentuk masdar dari madhi
Ihtakara berasal dari kata hakara atau hakira. Dalam Mu’jam Maqayis Lughah, kata
hakara diartikan dengan al-Habs (menahan), sedangkan hukrah adalah menahan makanan
sambil menunggu langkanya makanan tersebut.3 Sedangkan ihtikar secara terminologis
adalah menahan (menimbun) barang-barang pokok manusia untuk dapat meraaih
keuntungan dengan menaikkan harganya serta menunggu melonjaknya harga di pasaran.4
Definisi ihtikar (penimbunan barang) menurut beberapa pendapat, yaitu:
a. Imam al-Ghazali mendefinisikan ihtikar sebagai penyimpanan barang dagangan oleh
penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika harga
melonjak.
b. Ulama madzhab Maliki mendefinisikan ihtikar adalah penyimpanan barang oleh
produsen baik makanan, pakaian, dan segala barang yang merusak harga pasar.
c. Sayyid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah menyatakan ihtikar sebagai membeli suatu
barang dan menyimpannya agar barang tersebut berkurang di masyarakat sehingga
harganya meningkat sehingga orang-orang akan mendapatkan kesulitan akibat
kelangkaan dan mahalnya harga barang tersebut.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ihtikar adalah
menyimpan barang-barang yang dibutuhkan orang banyak baik dilakukan oleh satu orang
atau satu kelompok dengan tujuan menjualnya kembali di atas harga normal serta dapat
mengendalikan harganya sehingga memperoleh keuntungan yang banyak.

3
Ahmad Husayn ibn Faris ibn zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, (Bayrut: Dar al-Kutub,
2000)
4
https://asyarihasanpas.blogspot.com/2009/02/monopoli-dan-ihtikar-dalam-hukum.html Diakses
tanggal 15 November 2021.
B. Hadits Tentang Larangan Menimbun Barang

Artinya: Dari Ma’mar bin Abdullah; Rasulullah bersabda, “Tidaklah seseorang


melakukan penimbunan melainkan dia adalah pendosa.” (HR. Muslim).

Artinya: “Barang siapa menimbun barang pangan selama empat puluh hari, maka
sungguh ia telah terlepas dari Allah dan Allah lepas darinya.” HR. Ahmad dan al-Hakim.

Artinya: “Sejelek-jelek manusia adalah orang yang suka menimbun. Jika


mendengar harga murah, merasa kecewa; dan jika mendengar harga naik, merasa
gembira.” (HR. Thabrani).

C. Penjelasan Hadits dan Kriterianya

Dari Ma’mar bin Abdullah; Rasulullah bersabda, “Tidaklah seseorang melakukan


penimbunan melainkan dia adalah pendosa.” (HR. Muslim). Melalui pendekatan tekstual
bahwasanya hadis Nabi Muhammad Saw tersebut di atas dapat dipahami bahwa istilah al-
Ihtikar atau penimbunan barang merupakan hal yang dilarang dalam syriat Islam karena
memiliki dampak yang negatif terhadap proses jual beli yang berasaskan pada ajaran dan
norma Islam itu sendiri. Sehingga nabi Muhammad SAW sangatlah melarang bagi
pedagang yang melakukan istilah penimbunan barang. Dalam hal ini, al-Ihtikar atau
penimbunan barang tersebut hukumnya adalah haram.5

‫من احدتكر الطعام اربعني ليلة فقد برىأ اهلل عنو (واه امحد واح`لكيم‬
“Barang siapa menimbun barang pangan selama empat puluh hari, maka
sungguh ia telah terlepas dari Allah dan Allah lepas darinya.” HR. Ahmad dan al-
Hakim. Penjelasan Hadist di atas adalah,bila penimbunan itu dilakukan selama beberapa
hari saja atau belum mencapai maksimal empat puluh hari, dapat dipandang sebagai
proses pendistribusian dari pengusaha (produsen) yang satu ke produsen yang lainnya.
Hal yang demikian itu berdasarkan kepada hadits Nabi saw, belumlah dianggap suatu
penimbunan yang dapat membahayakan masyarakat banyak atau kemaslahatan umum.
Akan tetapi bila telah mencapai empat puluh hari lamanya, maka penimbunan itu
sangat membahayakan bagi para konsumen, sebab sebagai manapun juga mereka sangat
membutuhkan komoditi bahan makanan pokok sebagai salah satu bagian dari kebutuhan-
kebutuhan hidupnya yang sangat penting yang tidak mesti terpenuhi, demi kelangsungan
dan keberlangsungan hidup manusia sebagai makhluk hidup. Jika komoditi bahan
makanan pokok yang sangat mereka butuhkan setiap harinya itu ditimbun oleh pihak
produsen (supplier) dan mengakibatkan kelangkaan di pasaran serta mengalami lonjakan
harga yang cukup tinggi, maka terjadilah kesulitan yang dirasakan oleh para konsumen di
dalam mendapatkan komoditi bahan makanan pokok guna memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Adapun waktu yang diharamkan untuk melakukan penimbunan ini, ada ulama
yang mengharamkan penimbunan ini pada segala waktu, tanpa membedakan masa
paceklik (sulit) dengan masa surplus pangan, berdasarkan sifat umum larangan terhadap
penimbunan dari hadits di atas.6

‫بئس البعد المحكر ان سمع برخص ساءه وان سمع بغالء فرح‬.
5
Junaid bin Junaid, Perspektif Hadist tentang Ihtikar, AL-IQTISHAD: JURNAL EKONOMI
ISSN: 2085-4633, Vol.1 No.1, Tahun 2021 Januari-Juni, Hal. 38
6
Ketentuan Umum tentang Ihtikar (BAB 2), Hal. 62-63.
http://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/6733/3/BAB%20II.pdf
.
Artinya: “Sejelek-jelek manusia adalah orang yang suka menimbun. Jika
mendengar harga murah, merasa kecewa; dan jika mendengar harga naik, merasa
gembira.” (HR. Thabrani).
Seorang sahabat Nabi yaitu Ma’qil bin Yasar ketika dia sedang menderita sakit
keras, didatangi oleh Abdullah bin Ziad (salah seorang gubernor dinasti Umaiyah) untuk
menjenguknya. Lantas Ma’qil berkata: Dengarkanlah hai Abdullah, saya akan
menceritakan kepadamu tentang sesuatu yang pernah saya dengar dari Rasulullah saw,
bukan sekali dua kali. Saya mendengar Rasulullah saw bersabda yang artinya:
“Barangsiapa ikut campur tentang harga-harga orang islam supaya menaikkannya
sehingga mereka keberatan, maka adalah menjadi ketentuan Allah untuk menundukkan ia
pada api yang sangat besar nanti di hari kiamat.” Kemudian Abdullah bertanya: Engkau
benar-benar mendengar hal itu dari Rasulullah SAW?!” Ma’qil menjawab: “bukan sekali
dua kali”. Dalam riwayat ini, Ma’qil bertujuan agar pemerintah campur tangan dalam
mengatur persoalan ihtikar.7

Kriteria Penimbunan dalam Islam:


Meski Islam telah menjamin kebebasan individual dalam melakukan jual-
beli dan bersaing, tetapi Islam melarang egoism individual dan keserakahan dalam
menumpuk harta demi kepentingannya sendiri. Para ulama berpendapat bahwa
yang dimaksud dengan penimbunan yang haram memiliki kriteria sebagai berikut:
a. Barang yang ditimbun merupakan kelebihan dari kebutuhannya, berikut
tanggungan untuk persediaan setahun penuh. Sebab sesorang boleh menimbun
untuk persediaan nafkah dirinya dan keluarganya dalam tenggang waktu selama satu
tahun.
b. Bahwa orang tersebut menunggu saat-saat memuncaknya harga barang agar bisa
menjualnya dengan harga yang lebih tinggi karena orang sangat membutuhkan
barang tersebut kepadanya.

7
Siti Baliza Binti Marukum, Pemikiran Yusuf AL-Qardawi tentang Ihtikar (Dalam Kitab Halal
Haram Fil Islam), SKRIPSI, Hal. 51-52
c. Penimbunan dilakukan ketika manusia sangat membutuhkan barang yang ditimbun,
seperti makanan, pakaian dan lain-lain8.

D. Hikmah Larangan Menimbun Barang (Ihtikar)


Imam Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan ihtikar adalah mencegah hal-hal
yang menyulitkan manusia secara umum, oleh karenanya para ulama sepakat apabila ada
orang memiliki makanan lebih, sedangkan mausia sedang kelaparan dan tidak ada
makanan kecuali yang ada pada orang tadi, maka wajib bagi orang tersebut menjual atau
memberikan dengan cuma-cuma makanannya kepada manusia supaya manusia tidak
kesulitan. Demikian juga apabila ada yang menimbun selain bahan makanan (seperti
pakaian musim dingin dan sebagainya) sehingga manusia kesulitan mendapatkannya, dan
membahayakan mereka, maka hal ini dilarang dalam Islam.

Islam mengharamkan orang menimbun dan mencegah harta dari peredaran. Islam
mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang pedih di hari kiamat. Allah
subhaanahu wa ta’aala berfirman dalm surat At Taubah ayat 34-35:

Artinya: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka
akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka
jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka (lalu
dikatakan kepada mereka): “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu
sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.

Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya dan menjauhkannya


dari peredaran. Padahal, jika harta itu disertakan dalam usaha-usaha produktif seperti
dalam perencanaan produksi, maka akan tercipta banyak kesempatan kerja yang baru dan

8
Sarwani, Larangan Monopoli dan Penimbunan dalam Perspektif Hadist, Hal. 12
mengurangi pengangguran. Kesempatan-kesempatan baru bagi pekerjaan ini bisa
menambah pendapatan dan daya beli masyarakat sehingga bisa mendorong meningkatnya
produksi, baik itu dengan membuat rencana-rencana baru maupun dengan memperluas
rencana yang telah ada. Dengan demikian, akan tercipta situasi pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi dalam masyarakat.

Penimbunan barang merupakan halangan terbesar dalam pengaturan persaingan


dalam pasar Islam. Dalam tingkat internasional, menimbun barang menjadi penyebab
terbesar dari krisis yang dialami oleh manusia sekarang, yang mana beberapa negara kaya
dan maju secara ekonomi memonopoli produksi, perdagangan, bahan baku kebutuhan
pokok. Bahkan, negara-negara tersebut memonopoli pembelian bahan-bahan baku dari
negara yang kurang maju perekonomiannya dan memonopoli penjulan komoditas industri
yang dibutuhkan oleh negara-negara tadi. Hal itu menimbulkan bahaya besar terhadap
keadilan distribusi kekayaan dan pendapatan dalam tingkat dunia9

9
Sri Nurhayati, “Akuntansi Syari’ah di Indonesia” (Salemba Empat, Jakarta: 2009)
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam ekonomi Islam jual-beli disepakati oleh para ulama bersifat mubah
(boleh). Akan tetapi dalam prakteknya banyak dijumpai kecurangan yang sering
dilakukan oleh para pedagang untuk mendapatkan keuntungan secara pribadi. Salah satu
bentuk kecurangan tersebut yang sering terjadi adalah praktek “menimbun barang”.
Menimbun barang atau ihtikar adalah menahan (menimbun) barang-barang pokok
manusia untuk dapat meraaih keuntungan dengan menaikkan harganya serta menunggu
melonjaknya harga di pasaran.

Al-Ihtikar atau penimbunan barang merupakan hal yang dilarang dalam syariat
Islam karena memiliki dampak yang negatif terhadap proses jual beli yang berasaskan
pada ajaran dan norma Islam itu sendiri. Sehingga nabi Muhammad SAW sangatlah
melarang bagi pedagang yang melakukan istilah penimbunan barang. Dalam hal ini, al-
Ihtikar atau penimbunan barang tersebut hukumnya adalah haram.

Imam Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan ihtikar adalah mencegah hal-hal
yang menyulitkan manusia secara umum, oleh karenanya para ulama sepakat apabila ada
orang memiliki makanan lebih, sedangkan mausia sedang kelaparan dan tidak ada
makanan kecuali yang ada pada orang tadi, maka wajib bagi orang tersebut menjual atau
memberikan dengan cuma-cuma makanannya kepada manusia supaya manusia tidak
kesulitan.
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Nadratuzzaman, Produk Keuangan dalam Islam di Indonesia dan Malaisia


(Jakarta: PT. Raja Gramedia Pustaka Utama, 2017), h. 7.

Munawir Nurum, Larangan Menimbun Harta Dalam Jual Beli (Makassar:2020) hal. 1.

Ahmad Husayn ibn Faris ibn zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, (Bayrut: Dar al-
Kutub, 2000). https://asyarihasanpas.blogspot.com/2009/02/monopoli-dan-ihtikar-
dalam-hukum.html Diakses tanggal 15 November 2021.

Junaid bin Junaid, Perspektif Hadist tentang Ihtikar, AL-IQTISHAD: JURNAL


EKONOMI ISSN: 2085-4633, Vol.1 No.1, Tahun 2021 Januari-Juni, Hal. 38

Ketentuan Umum tentang Ihtikar (BAB 2), Hal. 62-63.


http://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/6733/3/BAB%20II.pdf

Siti Baliza Binti Marukum, Pemikiran Yusuf AL-Qardawi tentang Ihtikar (Dalam Kitab
Halal Haram Fil Islam), SKRIPSI, Hal. 51-52.

Sarwani, Larangan Monopoli dan Penimbunan dalam Perspektif Hadist, Hal. 12

Nurhayati, Sri, Akuntansi Syari'ah di Indonesia, Salemba Empat, Jakarta, 2009.

Anda mungkin juga menyukai