(IHTIKAR)
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah: Hadis Mu’amalah
Dosen Pengampu: Dr. Afdawaiza, M.Ag
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah
yang telah dilimpahkan-Nya kepada kita, sehingga makalah yang membahas tentang
Hadis Larangan Menimbun Barang ini dapat kami selesaikan dengan baik. Tentunya
dalam penyusunan makalah ini kami memperoleh bantuan dari berbagai pihak dan
sumber-sumber pendamping kajian makalah. Oleh karena itu, kami haturkan banyak
terimakasih kepada pihak-pihak yang telah ikut berpartisipasi dalam penyusunan makalah
ini.
Selain itu kami juga menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, disebabkan karena terbatasnya ilmu dan pengetahuan kami. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran membangun dari pembaca untuk
perbaikan dalam pembuatan makalah-makalah selanjutnya. Akhir kata, semoga makalah
ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami dan pembaca pada umumnya, dan atas amal
baik dari semua pihak yang membantu dalam penyusunann makalah ini semoga
mendapatkan imbalan pahala dari Allah Swt. Aamiin.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada makalah ini kami akan mecoba memaparkan beberapa hadits tentang
larangan menimbun barang beserta penjelasannya dalam sebuah makalah yang berjudul
“Hadits Tentang Larangan Menimbun Barang”.
1
Muhammad Nadratuzzaman, Produk Keuangan dalam Islam di Indonesia dan Malaisia (Jakarta:
PT. Raja Gramedia Pustaka Utama, 2017), h. 7.
2
` Munawir Nurum, Larangan Menimbun Harta Dalam Jual Beli (Makassar:2020) hal. 1.
BAB II
PEMBAHASAN
3
Ahmad Husayn ibn Faris ibn zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, (Bayrut: Dar al-Kutub,
2000)
4
https://asyarihasanpas.blogspot.com/2009/02/monopoli-dan-ihtikar-dalam-hukum.html Diakses
tanggal 15 November 2021.
B. Hadits Tentang Larangan Menimbun Barang
Artinya: “Barang siapa menimbun barang pangan selama empat puluh hari, maka
sungguh ia telah terlepas dari Allah dan Allah lepas darinya.” HR. Ahmad dan al-Hakim.
من احدتكر الطعام اربعني ليلة فقد برىأ اهلل عنو (واه امحد واح`لكيم
“Barang siapa menimbun barang pangan selama empat puluh hari, maka
sungguh ia telah terlepas dari Allah dan Allah lepas darinya.” HR. Ahmad dan al-
Hakim. Penjelasan Hadist di atas adalah,bila penimbunan itu dilakukan selama beberapa
hari saja atau belum mencapai maksimal empat puluh hari, dapat dipandang sebagai
proses pendistribusian dari pengusaha (produsen) yang satu ke produsen yang lainnya.
Hal yang demikian itu berdasarkan kepada hadits Nabi saw, belumlah dianggap suatu
penimbunan yang dapat membahayakan masyarakat banyak atau kemaslahatan umum.
Akan tetapi bila telah mencapai empat puluh hari lamanya, maka penimbunan itu
sangat membahayakan bagi para konsumen, sebab sebagai manapun juga mereka sangat
membutuhkan komoditi bahan makanan pokok sebagai salah satu bagian dari kebutuhan-
kebutuhan hidupnya yang sangat penting yang tidak mesti terpenuhi, demi kelangsungan
dan keberlangsungan hidup manusia sebagai makhluk hidup. Jika komoditi bahan
makanan pokok yang sangat mereka butuhkan setiap harinya itu ditimbun oleh pihak
produsen (supplier) dan mengakibatkan kelangkaan di pasaran serta mengalami lonjakan
harga yang cukup tinggi, maka terjadilah kesulitan yang dirasakan oleh para konsumen di
dalam mendapatkan komoditi bahan makanan pokok guna memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Adapun waktu yang diharamkan untuk melakukan penimbunan ini, ada ulama
yang mengharamkan penimbunan ini pada segala waktu, tanpa membedakan masa
paceklik (sulit) dengan masa surplus pangan, berdasarkan sifat umum larangan terhadap
penimbunan dari hadits di atas.6
بئس البعد المحكر ان سمع برخص ساءه وان سمع بغالء فرح.
5
Junaid bin Junaid, Perspektif Hadist tentang Ihtikar, AL-IQTISHAD: JURNAL EKONOMI
ISSN: 2085-4633, Vol.1 No.1, Tahun 2021 Januari-Juni, Hal. 38
6
Ketentuan Umum tentang Ihtikar (BAB 2), Hal. 62-63.
http://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/6733/3/BAB%20II.pdf
.
Artinya: “Sejelek-jelek manusia adalah orang yang suka menimbun. Jika
mendengar harga murah, merasa kecewa; dan jika mendengar harga naik, merasa
gembira.” (HR. Thabrani).
Seorang sahabat Nabi yaitu Ma’qil bin Yasar ketika dia sedang menderita sakit
keras, didatangi oleh Abdullah bin Ziad (salah seorang gubernor dinasti Umaiyah) untuk
menjenguknya. Lantas Ma’qil berkata: Dengarkanlah hai Abdullah, saya akan
menceritakan kepadamu tentang sesuatu yang pernah saya dengar dari Rasulullah saw,
bukan sekali dua kali. Saya mendengar Rasulullah saw bersabda yang artinya:
“Barangsiapa ikut campur tentang harga-harga orang islam supaya menaikkannya
sehingga mereka keberatan, maka adalah menjadi ketentuan Allah untuk menundukkan ia
pada api yang sangat besar nanti di hari kiamat.” Kemudian Abdullah bertanya: Engkau
benar-benar mendengar hal itu dari Rasulullah SAW?!” Ma’qil menjawab: “bukan sekali
dua kali”. Dalam riwayat ini, Ma’qil bertujuan agar pemerintah campur tangan dalam
mengatur persoalan ihtikar.7
7
Siti Baliza Binti Marukum, Pemikiran Yusuf AL-Qardawi tentang Ihtikar (Dalam Kitab Halal
Haram Fil Islam), SKRIPSI, Hal. 51-52
c. Penimbunan dilakukan ketika manusia sangat membutuhkan barang yang ditimbun,
seperti makanan, pakaian dan lain-lain8.
Islam mengharamkan orang menimbun dan mencegah harta dari peredaran. Islam
mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang pedih di hari kiamat. Allah
subhaanahu wa ta’aala berfirman dalm surat At Taubah ayat 34-35:
Artinya: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka
akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka
jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka (lalu
dikatakan kepada mereka): “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu
sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
8
Sarwani, Larangan Monopoli dan Penimbunan dalam Perspektif Hadist, Hal. 12
mengurangi pengangguran. Kesempatan-kesempatan baru bagi pekerjaan ini bisa
menambah pendapatan dan daya beli masyarakat sehingga bisa mendorong meningkatnya
produksi, baik itu dengan membuat rencana-rencana baru maupun dengan memperluas
rencana yang telah ada. Dengan demikian, akan tercipta situasi pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi dalam masyarakat.
9
Sri Nurhayati, “Akuntansi Syari’ah di Indonesia” (Salemba Empat, Jakarta: 2009)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam ekonomi Islam jual-beli disepakati oleh para ulama bersifat mubah
(boleh). Akan tetapi dalam prakteknya banyak dijumpai kecurangan yang sering
dilakukan oleh para pedagang untuk mendapatkan keuntungan secara pribadi. Salah satu
bentuk kecurangan tersebut yang sering terjadi adalah praktek “menimbun barang”.
Menimbun barang atau ihtikar adalah menahan (menimbun) barang-barang pokok
manusia untuk dapat meraaih keuntungan dengan menaikkan harganya serta menunggu
melonjaknya harga di pasaran.
Al-Ihtikar atau penimbunan barang merupakan hal yang dilarang dalam syariat
Islam karena memiliki dampak yang negatif terhadap proses jual beli yang berasaskan
pada ajaran dan norma Islam itu sendiri. Sehingga nabi Muhammad SAW sangatlah
melarang bagi pedagang yang melakukan istilah penimbunan barang. Dalam hal ini, al-
Ihtikar atau penimbunan barang tersebut hukumnya adalah haram.
Imam Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan ihtikar adalah mencegah hal-hal
yang menyulitkan manusia secara umum, oleh karenanya para ulama sepakat apabila ada
orang memiliki makanan lebih, sedangkan mausia sedang kelaparan dan tidak ada
makanan kecuali yang ada pada orang tadi, maka wajib bagi orang tersebut menjual atau
memberikan dengan cuma-cuma makanannya kepada manusia supaya manusia tidak
kesulitan.
DAFTAR PUSTAKA
Munawir Nurum, Larangan Menimbun Harta Dalam Jual Beli (Makassar:2020) hal. 1.
Ahmad Husayn ibn Faris ibn zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, (Bayrut: Dar al-
Kutub, 2000). https://asyarihasanpas.blogspot.com/2009/02/monopoli-dan-ihtikar-
dalam-hukum.html Diakses tanggal 15 November 2021.
Siti Baliza Binti Marukum, Pemikiran Yusuf AL-Qardawi tentang Ihtikar (Dalam Kitab
Halal Haram Fil Islam), SKRIPSI, Hal. 51-52.