Anda di halaman 1dari 16

HADIS TENTANG MENIMBUN (IHTIKAR)

Makalah Ini Ditunjukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Hadis Ekonomi
Dosen Pengampu: Ibu Nur Afiyah, S.Th.I, M.Ag

Disusun oleh:
1. Resa Aprelia Nisfatullah (22402070)
2. Endika Putri Wahyuningtyas (22402081)
3. Dinda Aisya (22402116)
4. Haqqul ?? (?

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI
2023/2024
HADIS TENTANG MENIMBUN (IHTIKAR)
A. Latar Belakang
Praktik ikhtikar, yaitu penimbunan dan pengumpulan barang
dagangan dengan maksud untuk menaikkan harga pasaran, sebenarnya
telah ada dan dikenal cukup lama dalam sejarah perdagangan umat
manusia. Hal ini dilakukan oleh sebagian pedagang atau penjual demi
meraih keuntungan sebesar-besarnya. Dalam Islam, praktik seperti ini
sejatinya bertentangan dengan semangat tolong-menolong, keadilan,
dan kemaslahatan bersama yang diajarkan oleh syariat. Penimbunan
barang kebutuhan pokok yang ketersediaannya terbatas dapat
merugikan dan menyengsarakan orang banyak karena kelangkaan dan
kenaikan harga yang drastis.

Oleh karena itu para ulama fiqh sejak zaman sahabat hingga
kontemporer memasukkan persoalan ikhtikar ini ke dalam bahasan
fiqh muamalah. Mereka sepakat mengharamkan perilaku ikhtikar
karena bertentangan dengan Maqashid Syariah dan kaedah-kaedah
dasar muamalah. Fatwa keharaman ini didasarkan pada dalil-dalil Al-
Quran, Hadis, dan Kaidah Fiqh yang melarang penzaliman terhadap
sesama manusia.

Beberapa contoh kasus ikhtikar yang mencuat beberapa tahun


terakhir di Indonesia misalnya kasus penimbunan minyak goreng
curah pada tahun 2021 yang menyebabkan harganya melonjak drastis
di pasaran. Contoh lainnya adalah kasus kelangkaan gula pasir di
berbagai daerah pada tahun 2022 yang membuat harganya naik secara
signifikan. Kondisi ini diperburuk dengan adanya perilaku
penimbunan oleh oknum-oknum tertentu demi meraup keuntungan di
tengah kelangkaan pasokan. Oleh sebab itu, dibutuhkan pemahaman
yang lebih mendalam terkait persoalan ikhtikar ini, mulai dari
pengertiannya, faktor penyebabnya, dampaknya, hingga upaya
penanggulangannya. Dengan pemahaman tersebut, diharapkan
masyarakat dapat turut mengawal dan memberantas perilaku ikhtikar
yang sangat merugikan kepentingan masyarakat luas ini.

1
B. Pengertian Menimbun (Ihtikar)
Ihtikar atau yang di dalam bahasa Indonesia dikenal
dengan penimbunan barang dagangan, merupakah salah satu
problem ekonomi cukup serius tidak terkecuali Islam yang secara
normatif telah memprediksikan hal itu, tetapi juga non-Islam.
Ihtikâr Menurut Istilah, ihtikâr secara terminologis adalah menahan
(menimbun) barang-barang pokok manusia untuk dapat meraih
keuntungan dengan menaikkan harganya serta menunggu
melonjaknya harga di pasaran.1
Monopoli dalam bahasa Arab disebut ihtikār. Dalam kamus-
kamus Bahasa Arab ihtikār mempunyai arti yang banyak, diantaranya
sebagai Berikut: menurut az-Zamakhsyari adalah

‫الطعام احتكر‬: ‫)للغالء احتبسه‬


ihtakāra at-Tha‘ām artinya: menimbun makanan sehingga
harganya naik.
Beberapa definisi penimbunan barang (ihtikâr) menurut beberapa
pendapat yaitu:
1. Imam al-Ghazali (Mazhab Syafi‟I) mendefinisikan ihtikâr sebagai
penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk
menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika harga
melonjak.
2. Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan ihtikâr adalah penyimpanan
barang oleh produsen baik, makanan, pakaian, dan segala barang
yang merusak pasar.
3. As-Sayyid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah menyatakan al-Ihtikar
sebagai membeli suatu barang dan menyimpannya agar barang
tersebut berkurang di masyarakat sehingga harganya meningkat
sehingga manusia akan mendapatkan kesulitan akibat kelangkaan
dan mahalnya harga barang tersebut.2

1
http://asyarihasanpas.blogspot.com/2009/02/monopoli-dan-ihtikar-dalam-hukum.html
diakses padab26 November 2023
2
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah (Libanon: Dar al-Fikr,1981), 162.

2
4. Adiwarman Karim mengatakan bahwa al-Ihtikar adalah
mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara
menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi, atau
istilah ekonominya disebut dengan monopoly’s rent.3
5. Fathi ad-Duraini (Guru besar fiqh di Universitas Damaskus
Suriah) mendefinisikan ihtikâr dengan tindakan menyimpan harta,
manfaat atau jasa, dan enggan menjual dan memberikannya
kepada orang lain yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar
secara drastis disebabkan persediaan barang terbatas atau stok
barang hilang sama sekali dari pasar, sementara rakyat, negara,
ataupun hewan (peternakan) sangat membutuhkan produk,
manfaat, atau jasa tersebut. ihtikâr menurut ad-Duraini tidak hanya
menyangkut komoditas, tetapi manfaat suatu komoditas dan
bahkan jasa dari pembeli jasa dengan syarat, “embargo” yang
dilakukan para pedagang dan pemberi jasa ini bisa memuat harga
pasar tidak stabil, padahal komoditas, manfaat, atau jasa tersebut
sangat dibutuhkan oleh masyarakat, negara, dan lain-lain.4

3
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam (Jakarta: IIIT Indonesia, 2000), 154.
4
Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada,
2004), 152-153.

3
C. Hadis Tentang Menimbun (Ihtikar)
1. Hadist Nabi Muhammad SAW

‫من احتكر الطعام أربعين ليلة فقد برى هللا منه‬


Artinya: “Barang siapa melakukan ihtikar atas bahan makanan
selama empat puluh malam, maka terlepaslah ia benar-benar dari
jaminan Allah dan Allah pun melepaskan jaminanNya dari orang
itu” (Riwayat Ahmad, Al Hakim, Ibnu Abi Syaibah dan Ali
Bazzar)
Dalam hubungan ini para Ahli Fiqih berpendapat, bahwa yang
dimaksud dengan penimbunan terlarang atau diharamkan adalah bila
terdapat syarat sebagai berikut:
1. Bahwa barang yang ditimbun adalah kelebihan dari kebutuhan,
serta tanggungan untuk persediaan untuk setahun penuh. Karena
seseorang tanggungan untuk persediaan nafkah untuk dirinya dan
keluarganya dalam tenggang waktu selama satu tahun.
2. Barang-barang yang ditimbunnya itu dalam usaha menunggu
saat naiknya harga, sehingga barang tersebut dapat dijual dengan
harga yang lebih tinggi, dan para konsumen sangat
membutuhkan itu kepadanya.
3. Penimbunan itu dilakukakan pada saat manusia sangat
membutuhkan barang yang ia timbun, seumpamanya makanan
pakaian dan lain-lain dalam hal ini bila barang yang ada di
tangan pedagang tidak dibutuhkan para konsumen, maka tidak
dianggap sebagai penimbunan, karena tidak mengakibatkan
kesulitan bagi manusia.5
Ketiga syarat bila kita analisa dari aspek keharamannya adalah
terhadap barang kelebihan nafkah dari dirinya dan keluarganya
dalam masa satu tahun yang berarti bila ia menimbun barang
konsumsi untuk kebutuhan hidup keluarga dan dirinya selama

5
Chuzaimah T Yanggo dan Hafiz Anshari AZ., Problematika Hukum Islam Kontemporer,
LSIK Jakarta, 103.

3
setahun tidak diharamkan sebab hal ini adalah wajar untuk
menghindari
kesulitan ekonomi di musim paceklik, kemudian pengharaman
terhadap barang karena ingin memperoleh keuntungan yang
berlipat ganda sebab bila tidak ditimbun, keuntungan yang
didapatkan tidak seperti penimbunan, dan penimbunan ini dapat
merusak harga dipasaran yaitu dari harga yang rendah menjadi
harga yang lebih tinggi. Penimbunan barang yang diharamkan
adalah penimbunan barang yang menjadi kebutuhan primer bagi
manusia seperti makanan, lain dengan kebutuhan sekunder bagi
manusia, tidak diharamkan sebab manusia tidak begitu berharap
terhadap barang tersebut.
2. Hadis Abu Daud

‫َح َّد َثَنا َو ْهُب ْبُن َبِقَّيَة َأْخ َبَر َنا َخ اِلٌد َع ْن َع ْم ِرو ْبِن َيْح َيى َع ْن‬
‫ُمَح َّم ِد ْبِن َع ْم ِر و ْبِن َع َط اٍء َع ْن َس ِع يِد ْبِن اْلُمَس ِّيِب َع ْن‬
‫َم ْع َم ِر ْبِن َأِبي َم ْع َم ٍر َأَح ِد َبِني َع ِد ِّي ْبِن َك ْع ٍب َق اَل َق اَل‬
‫َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم اَل َيْح َتِكُر ِإاَّل َخ اِطٌّي َفُقْلُت‬
‫ِلَسِع يٍد َفِإَّنَك َتْح َتِكُر َقاَل َو َم ْع َم ٌر َك اَن َيْح َتِك ُر َق اَل َأُب و َد اُو د‬
‫ِه َعْيُش الَّن اِس َق اَل َأُب و‬q‫َو َس َأْلُت َأْح َم َد َم ا اْلُح ْك َر ُة َقاَل َم ا ِفي‬
‫َد اُو د َقاَل اَأْلْو َز اِعُّي اْلُم ْح َتِكُر َم ْن َيْعَتِرُض الشوق‬
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami [Wahb bin
Baqiyyah), telah mengabarkan kepada kami [Khalid] dari ['Amr
bin Yahya], dari [Muhammad bin 'Amr bin 'Atho`] dari [Sa'id bin
Al Musayyab] dari [Ma'mar bin Abu Ma'mar] salah satu Bani
Adi bin Ka'b, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Tidaklah seseorang menimbun barang, kecuali telah
berbuat salah." Kemudian aku katakan kepada Sa'id;
sesungguhnya engkau menimbun. la berkata; dan Ma'mar pernah
menimbun. Abu Daud berkata; dan aku bertanya kepada Ahmad;

4
apakah hukrah itu? la berkata; sesuatu yang padanya terdapat
kehidupan manusia. Abu Daud berkata; Al Auza'i berkata;
muhtakir adalah orang yang datang ke pasar untuk membeli apa
yang dibutuhkan orang-orang dan menyimpannya.
3. Hadis Bukhari

‫َح َّد َثَنا ُقَتْيَبُة ْبُن َسِع يٍد َح َّد َثَنا َح َّم اٌد َع ْن َأُّي وَب َع ْن َن اِفٍع‬
‫َع ْن اْبِن ُع َم َر َرِض َي ُهَّللا َع ْنُهَم ا َأَّن ُع َم َر اْش َتَر َط ِفي‬
‫َو ْقِفِه َأْن َيْأُك َل َم ْن َو ِلَيُه َو ُيْؤ ِكَل َص ِد يَقُه َغْيَر ُم َتَم ِّو ٍل َم ااًل‬
Artinya: “Telah bercerita kepada kami [Qutaibah bin Sa'id] telah
bercerita kepada kami [Hammad] dari [Ayyub] dari [Nafi'] dari
[Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma] bahwa 'Umar memberi
persyaratan pada harta yang diwaqafkannya yaitu pengurusnya
boleh memakannya, boleh juga memberi makan temannya dan
tidak untuk menimbun harta".

D. Syarat Dikatakan Ikhtikar


Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli fiqh
,maka mereka mengemukakan tiga syarat. Jika tiga syarat itu
terpenuhi, maka dikategorikan kepada ihtikar.
Pertama, barang-barang yang disimpan atau ditimbun itu adalah
hasil dari pembelian, jika seseorang menawarkan barang dan
menjualnya dengan harga yang relatif murah (normal) atau membeli
sesuatu tatkala harganya melonjak (mahal) lalu si pembeli tadi
menyimpannya, maka orang tersebut tidak dikatagorikan sebagai
penimbun (muhtakhir). Hal ini berdasarkan hadits Nabi saw :
“Dari Umar bin Khattab berkata : Rasulullah bersabda: orang-
orang menawarkan barang dan menjualnya dengan harga murah diberi
rizki, sedangkan penimbun diberi laknat.” HR. Ibnu Majjah6
Kedua, barang-barang yang dibeli adalah barang komoditi bahan

6
Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazhwaini, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar
ElFikr, 1995), 678.

5
makanan pokok, sebab itu adalah kebutuhan manusia secara umum.
Ketiga adanya kesulitan bagimanusia untuk membeli dan
mendapatkannya dengan dua jalan :
1. Kesulitan masyarakat untuk mendapatkan barang lantaran
adanya penimbunan. Sementara daerah-daerah yang memiliki
pasokan komoditi bahan makanan yang cukup banyak dan
memadai, tidak ada larangan untuk, sebab secara umum, hal
tersebut tidak akan menimbulkan dampak yang berarti.
2. Pada masa-masa sulit, dengan mendatangi daerah yang sedang
mengalami rawan pangan (paceklik) dan memborong persediaan
yang ada, dalam hal ini tidak ada perbedaan antara daerah yang
kecil dengan daerah yang besar.7
Dari ketiga syarat tersebut dapat kita ambil suatu kesimpulan
sementara bahwa, penimbunan barang itu hanya berlaku terhadap
barang-barang hasil pembelian saja (barang- barang yang dibeli)
dengan demikian penimbunan barang- barang hasil komoditi sendiri
atau barang-barang hasil harta karya sendiri tidak termasuk
penimbunan. Sebab ada kemungkinan tidak akan mengalami
kelangkaan dan juga tidak akan merusak harga pasar serta stabilitas
ekonomi masyarakat.
Kemudian barang yang tersimpan adalah komoditi bahan makan
pokok pada dasarnya, manusia sangatlah tergantung kepada makanan.
Makanan adalah suatu esensial dan menjadi kebutuhan primer
(dharuriyat) dalam kelangsungan hidup dan kebutuhan manusia, agar
ketatanan kehidupan manusia tetap terjaga dengan baik selaku
khalifah Allah di atas muka bumi ini.

E. Kriteria Ihtikar Dalam Islam


Dalam hal ini para ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud
dengan penimbunan yang haram adalah yang memiliki kriteria sebagai
berikut:8
7
Ibid, 679.
8
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah (Libanon: Dar al-Fikr,1981),100.

6
1. Bahwa barang yang ditimbun adalah kelebihan dari kebutuhannya
berikut tanggungan untuk persediaan setahun penuh. Karena
seseorang boleh menimbun untuk persediaan nafkah dirinya dan
keluarganya dalam tenggang waktu kurang dari satu tahun.
2. Bahwa orang tersebut menunggu saat-saat memuncaknya harga
barang agar dapat menjualnya dengan harga yang lebih tinggi
karena orang sangatmembutuhkan barang tersebut kepadanya.
3. Bahwa penimbunan dilakukan pada saat dimana manusia sangat
membutuhkan barang yang ditimbun, seperti makanan, pakaian
dan lain-lain. Jika barang-barang yang ada di tangan para
pedagang tidak dibutuhkan manusia, maka hal itu tidak dianggap
sebagai penimbunan, karena tidak mengakibatkan kesulitan pada
manusia.
Dari ketiga syarat itu, maka dapat disimpulkan, bahwa penimbunan
yang diharamkan adalah kelebihan dari keperluan nafkah dirinya dan
keluarganya dalam masa satu tahun. Hal ini berarti apabila menimbun
barang konsumsi untuk mengisi kebutuhan keluarga dan dirinya dalam
waktu satu tahun tidaklah diharamkan sebab hal itu adalah tindakan
yang wajar untuk menghindari kesulitanekonomi dalam masa paceklik
atau krisis ekonomi lainnya.
Sedangkan syarat terjadinya penimbunan, adalah sampainya pada
suatu batas yang menyulitkan warga setempat untuk membeli barang
yang tertimbun semata karena fakta penimbunan tersebut tidak akan
terjadi selain dalam keadaan semacam ini. Kalau seandainya tidak
menyulitkan warga setempat membeli barang tersebut, maka
penimbunan barang tidak akan terjadi kesewenangan wenangan terhadap
barang tersebut sehingga bisa dijual dengan harga yang mahal.9
Atas dasar inilah, maka syarat terjadinya penimbunan tersebut
adalah bukan pembelian barang. Akan tetapi sekedar mengumpulkan
barang dengan menunggu naiknya harga sehingga bisa menjualnya
dengan harga yang lebih mahal. Dikatakan menimbun selain dari hasil
9
Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian dalam Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 47-
48.

7
pembeliannya juga karena hasil buminya yang luas sementara hanya dia
yang mempunyai jenis hasil bumi tersebut, atau karena langkanya
tanaman tersebut. Bisa juga menimbun karena induustri-industrinya
sementara hanya dia yang mempunyai industri itu, atau karena
langkanya industri seperti yang dimilikinya.
Menurut Yusuf al-Qardawi penimbunan itu diharamkan jika
memiliki keriteria sebagai berikut:10
1. Dilakukan di suatu tempat yang penduduknya akan menderita
sebab adanya penimbunan tersebut.
2. Penimbunan dilakukan untuk menaikkan harga sehingga orang
merasasusah dan supaya ia dapat keuntungan yang berlipat ganda.
Menurut para ulama Syafi'i menyatakan bahwa ihtikar yang
diharamkan adalah penimbunan barang-barang pokok tertentu, yaitu
membelinya pada saat harga mahal dan menjualnya kembali. Ia tidak
menjual saat itu juga, tapiia simpan sampai harga melonjak naik.
Tetapi jika dia mendatangkan barang dari kampungnya atau
membelinya pada saat harga murah lalu ia menyimpannya karena
kebutuhannya, atau ia menjualnya kembali saat itu juga, maka itu
bukan ihtikar dan tidak diharamkan. Adapun selain bahan makanan,
tidak diharamkan penimbunan dalam kondisi apapun juga.11

F. Hikmah Dari Larangan Melakukan Ihtikar


Imam Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan melakukan
ihtikar adalah mencegah hal-hal yang menyulitkan manusia secara
umum, oleh karenanya para ulama sepakat apabila ada orang
memiliki makanan lebih, sedangkan manusia lain sedang kelaparan
dan tidak ada makanan kecuali yang ada pada orang tadi, maka
wajib bagi orang tersebut menjual atau memberikan dengan cuma-
cuma makanannya kepada manusia supaya manusia tidak kesulitan.
Demikian juga apabila ada yang menimbun selain bahan makanan

10
Yusuf al-Qardawi, Halal Haram Dalam Islam (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2000),358.
11
http://imanfreedom.blogspot.com/2011/04/hukum-menimbun-barang-ihtikar.html,diakses
tanggal 27 November 2023.

8
(seperti pakaian musim dingin dan sebagainya) sehingga manusia
kesulitan mendapatkannya, dan membahayakan mereka, maka hal ini
dilarang dalam Islam. Islam mengharamkan orang menimbun dan
mencegah harta dari peredaran. Islam mengancam mereka yang
menimbunnya dengan siksa yang pedih di hari kiamat. Allah SWT
berfirman dalam surat At Taubah ayat 34-35:

‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْٓو ا ِاَّن َك ِثْيًرا ِّم َن اَاْلْح َباِر َو الُّر ْهَب اِن َلَي ْأُك ُلْو َن َاْم َو اَل‬
‫َّذ َهَب‬q‫الَّناِس ِباْلَباِط ِل َو َيُص ُّد ْو َن َع ْن َس ِبْيِل ِهّٰللاۗ َو اَّل ِذ ْيَن َيْك ِن ُز ْو َن ال‬
‫ َّي ْو َم‬٣٤ ‫َو اْلِفَّض َة َو اَل ُيْنِفُقْو َنَها ِفْي َس ِبْيِل ِهّٰللاۙ َفَبِّش ْر ُهْم ِبَع َذ اٍب َاِلْيٍۙم‬
‫ُيْح ٰم ى َع َلْيَه ا ِفْي َن اِر َج َهَّنَم َفُتْك ٰو ى ِبَه ا ِج َب اُهُهْم َو ُج ُن ْو ُبُهْم‬
‫َو ُظُهْو ُر ُهْۗم ٰه َذ ا َم ا َكَنْز ُتْم َاِلْنُفِس ُك ْم َفُذ ْو ُقْو ا َم ا ُكْنُتْم َتْك ِنُز ْو َن‬
Artinya: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari
dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar
dengannya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka (lalu
dikatakan kepada mereka): “Inilah harta bendamu yang kamu simpan
untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang
kamu simpan itu”.
Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya dan
menjauhkannya dari peredarannya. Padahal, jika harta itu disertakan
dalam usaha- usaha produktif seperti dalam perencanaan produksi, maka
akan tercipta banyak kesempatan kerja yang baru dan mengurangi
pengangguran. Kesempatan- kesempatan baru bagi pekerjaan ini bisa
menambah pendapatan dan daya beli masyarakat sehingga bisa
mendorong meningkatnya produksi, baik itu dengan membuat rencana-
rencana baru maupun dengan memperluas rencana yang telah ada.
Dengan demikian, akan tercipta situasi pertumbuhan dan perkembangan
ekonomi dalam masyarakat.12
12
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru, 1996), 600.

9
Penimbunan barang merupakan halangan terbesar dalam pengaturan
persaingan dalam pasar Islam. Dalam tingkat internasional,
menimbun barang menjadi penyebab terbesar dari krisis yang dialami
oleh manusia sekarang, yang mana beberapa negara kaya dan maju
secara ekonomi memonopoli produksi, perdagangan, bahan baku
kebutuhan pokok. Bahkan, negara-negara tersebut memonopoli
pembelian bahan-bahan baku dari negara yang kurang maju
perekonomiannya dan memonopoli penjulan komoditas industri yang
dibutuhkan oleh negara-negara tadi. Hal itu menimbulkan bahaya besar
terhadap keadilan distribusi kekayaan dan pendapatan dalam tingkat
dunia.

G. Jenis Ihtikar
Menurut Ulama Malikiyah, sebagian Hanabiah, Abu Yusuf, dan
Ibn Abidin (keduanya Hanafiyah) bahwa, ihtikar tidak terbatas pada
makanan, pakaian, hewan. Tapi seluruh prodak yang diperlukan
masyarakat.
Illat (motivasi hukum) ihtikar, adalah “kemudharatan yg
menimpa orang banyak”. Sementara Imam asy-Syaukani, tidak
merinci prodak apa saja, dan tidak membedakan ihtikarapakah pasar
dalam stabil atau tidak.
Menurut Fathi al-Duraini: asy-Syaukani mengharamkan ikhtikar
pada seluruh benda. Siapa yang melakukan penimbunan barang
ditujukan merusak harga pasar, sehingga harga naik secara tajam,
maka ia telah berbuat salah.
Mengenai jenis prodak ikhtikar, menurut al-Ghazali adalah
hanya terbatas pada bahan makanan pokok. Adapun jenis makanan
yang tidak termasuk makanan pokok atau makanan yang tidak
membantu atau tidak bisa dijadikan pengganti makanan pokok, itu
tidak termasuk objek jenis ikhtikar/ tapi apabila bisa membantu

10
makanan pokok seperti daging dan buah-buahan, itu termasuk jenis
objek ikhtikar.13

H. Faktor-faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Penimbunan


Suatu usaha dapat memperoleh keadaan seperti karakteristik
penimbunan diatas, karena disebabkan oleh banyaknya hal. Hal-hal
yang memungkinkan timbulnya penimbunan/ monopoli pada
umumnya adalah:
1. Produsen (penjual-pen) mempunyai hak paten untuk output yang
dihasilkan. Seperti hak pengarang, merk dagang, nama dagang.
2. Produsen (penjual-pen) memiliki salah satu sumber daya yang
sangat penting dan merahasiakannya atau produsen (penjual-pen)
memiliki pengetahuan yang lain daripada yang lain tentang teknis
produksi.
3. Pemberian ijin khusus oleh pemerintah pada produsen (penjual-
pen) tertentu untuk mengelola suatu usaha tertentu pula.
4. Ukuran pasar begitu kecil untuk dilayani lebih dari satu
perusahaan yang mengoperasikan skala perusahaan optimum.
Dalam kenyataannya kadang-kadang didapatkan pasar yang hanya
mungkin untuk dilayani oleh suatu perusahaan saja yang
mengoperasika skala produksi optimum, misalkan dalam bidang
transportasi, listrik dan komunikasi. Pasar monopoli yang muncul
sering disebut dengan monopoli alami (natural monopoly).
5. Pemerintah menetapkan kebijaksanaan pembatasan harga (limit
pricing policy). Kebijaksanaan pembatasan harga (penetapan harga
pada satu tingkat yang serendah mungkin) dimaksudkan agar
supaya perusahaan baru tidak ikut memasuki pasar. Kebijaksanaan
harga biasanya dibarengi juga dengan kebijaksanaan promosi
penjualan secara besar-besaran.14

13
Hasriany Huzain, Penimbunan Barang Dalam Perindustrian Berdasarkan Perspektif
Ekkonomi Islam, (Makasar), 6.
14
Fathorrazi, Tati Suhartati Joesron dan M.2012. Teori Ekonomi Makro (Yogyakarta,2012),
7.

11
Penimbunan barang merupakan halangan terbesar dalam
pengaturan persaingan dalam pasar Islam. Dalam tingkat
internasional, menimbun barang menjadi penyebab terbesar dari krisis
yang dialami oleh manusia, yang mana beberapa negara kaya dan
maju secara ekonomi menimbun produksi, perdagangan, bahan baku
kebutuhan pokok. Bahkan, negara-negara tersebut menimbun
pembelian bahan-bahan baku dari negara yang kurang maju
perekonomiannya lalu negara tersebut menimbun penjualan komoditas
industri yang dibutuhkan oleh negara-negara tadi. Hal itu
menimbulkan bahaya besar terhadap keadilan distribusi kekayaan dan
pendapatan dalam tingkat dunia. Jika dikaitkan dengan kehidupan 8
sosial, maka praktik Ihtikâratau monopoli dalam dunia bisnis tentu
akan berdampak pada macetnya sendi-sendi ekonomi. Sehingga
seolah-olah orang yang miskin akan sangat susah keluar dari
komunitas kemiskinannya. Menyikapi praktik monopoli, Abdul
Manan, dalam buku Islamic Ekonomic theory and practice
berpendapat, Negara Islam mempunyai hak untuk mengontrol dan
mengatur harga dan keuntungan. Dengan demikian, maka harga-harga
maksimum dapat diatur. Penyebab utama tindakan Ihtikâratau
monopoli seseorang adalah karena egoisme dan kesesatan hati
terhadap hamba Allah. Karena orang yang mempraktikkan hal tersebut
ingin meluaskan kekayaannya dengan cara mencekik orang lain
(merugikan orang lain).15

15
Didik Kusno Aji, Konsep Monopoli Dalam Tinjauan Ekonomi Islam, 1, 2013, Jurnal
Adzkiya, Vol. 1

12
KESIMPULAN

Ihtikar atau yang di dalam bahasa Indonesia dikenal dengan


penimbunan barang dagangan, merupakah salah satu problem ekonomi
cukup serius tidak terkecuali Islam yang secara normatif telah
memprediksikan hal itu, tetapi juga non-Islam. Ihtikâr Menurut Istilah,
ihtikâr secara terminologis adalah menahan (menimbun) barang-barang
pokok manusia untuk dapat meraih keuntungan dengan menaikkan harganya
serta menunggu melonjaknya harga di pasaran. Ada tiga syarat yang bisa
dikatakan ikhtikar Pertama, barang-barang yang disimpan atau ditimbun itu
adalah hasil dari pembelian, jika seseorang menawarkan barang dan
menjualnya dengan harga yang relatif murah (normal) atau membeli sesuatu
tatkala harganya melonjak (mahal) lalu si pembeli tadi menyimpannya,
maka orang tersebut tidak dikatagorikan sebagai penimbun (muhtakhir).
Kedua, barang-barang yang dibeli adalah barang komoditi bahan makanan
pokok, sebab itu adalah kebutuhan manusia secara umum. Ketiga adanya
kesulitan bagimanusia untuk membeli dan mendapatkannya

13
DAFTAR PUSTAKA

Aji, Didik Kusno, Konsep Monopoli Dalam Tinjauan Ekonomi Islam, 1,


2013, Jurnal Adzkiya, Vol. 1
al-Qardawi, Yusuf, Halal Haram Dalam Islam (Surabaya: PT Bina Ilmu,
2000).
al-Qazhwaini, Abu Abdullah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah,
(Beirut: Dar ElFikr, 1995).
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru,
1996).
Fathorrazi, Tati Suhartati Joesron dan M.2012. Teori Ekonomi Makro
(Yogyakarta,2012).
Hasan, Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Jakarta: Pt. Raja
Grafindo Persada, 2004).
http://asyarihasanpas.blogspot.com/2009/02/monopoli-dan-ihtikar-dalam-
hukum.html diakses padab26 November 2023.
http://imanfreedom.blogspot.com/2011/04/hukum-menimbun-barang-
ihtikar.html,diakses tanggal 27 November 2023.
Huzain, Hasriany, Penimbunan Barang Dalam Perindustrian Berdasarkan
Perspektif Ekkonomi Islam, (Makasar).
Karim, Adiwarman, Ekonomi Mikro Islam (Jakarta: IIIT Indonesia, 2000).
Pasaribu, Chairuman, Hukum Perjanjian dalam Islam (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004).
Sabiq, As-Sayyid, Fiqh as-Sunnah (Libanon: Dar al-Fikr,1981).
Yanggo, Chuzaimah T dan Hafiz Anshari AZ., Problematika Hukum Islam
Kontemporer, LSIK Jakarta.

14

Anda mungkin juga menyukai