Anda di halaman 1dari 9

FIQIH MUAMALAH

PERMASALAHAN RIBA DAN JUAL BELI

Disusun oleh:

Silviya Maharani (2108203091)

Dosen Pengajar: Bapak Eef Saefulloh, M.Ag

PERBANKAN SYARIAH C/2

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH


NURJATI CIREBON

Jln. Perjuangan ByPass Sunyaragai Telp. (0231)481264 Faks. (0231)489926


Cirebon 45132 Website: www.iainsyekhnurjaticrb.ac.id Email:
iainsyekhnurjaticirebon.ac.i
A. Latar Belakang
Jual beli sudah menjadi kebiasaan manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Manusia termasuk makhluk yang serba ingin memiliki, semua yang dilihat dan
dimiliki oleh orang lain ingin dimilikinya. Namun dalam kenyataannya, ternyata
tidak semua dapat dimiliki dengan berbuat sendiri. Ada juga benda yang bisa
dimiliki setelah barter, atau setelah dipinta, boleh juga orang lain dengan kerelaanya
memberikan. Namun tidak sedikit juga untuk memiliki dengan cara memaksa orang
lain. Di sini perlu aturan dalam memiliki sesuatu yang diinginkan, karenanya Islam
mengatur kehidupan sosial (muamalah) manusia, agar satu dengan yang lain terjalin
keharmonisan, termasuk di dalalamnya cara memiliki, yakni jual beli. Pada awalnya
jual beli dilakukan dengan barter, seiring dengan perkembangan peradaban dan
kebudayaan manusia, jual beli pun ikut berubah. Manusia berusaha menciptakan alat
yang disepakati dan sah digunakan untuk jual beli (Apipudin, 2016: 76).

Pada masa turunnya Al-Qur’an, mata pencaharian bangsa Arab yang umum
adalah perdagangan, karena kondis alam yang tandus tidak memungkinkan untuk
mengembangkan mata pencaharian pertanian, misalnya. Kota Mekah dan
sekitarnya, merupakan lintas perdagangan antara satu wilayah dengan wilayah
lainnya. Bahkan Mekah menjadi sasaran perdagangan. Sehingga tidak
mengherankan bila masyarakat Quraisy, khususnya, memiliki sistim perdagangan
yang berkembang ketika itu. Termasuk sistim riba sudah menjadi bahagian dari
sistim perdagangan yang berjalan secara turun-temurun, utamanya di kalangan
orang-orang Yahudi dan sebahagian besar saudagar-saudagar Quraisy, termasuk
sebagian sahabat. Sebelum turunnya ayat yang mengharamkannya Setelah Islam
datang, ia menganggap riba sebagai satu unsur buruk yang merusak masyarakat
secara ekonomi, sosial maupun moral. Oleh karena itu, Al-Qur’an melarang umat
Islam mengambil atau memakan riba (M. Quraish Shihab, 1992: 258).

B. Pertanyaan Masalah
1. Bagaimana yang dimaksud jual beli dalam fiqih muamalah?
2. Apa saja contoh permasalahan dalam jual beli?
3. Bagaimana yang dimaksud riba dalam fiqih muamalah?
4. Apa saja contoh permasalahan dalam riba?

1
C. Pembahasan Fiqih Muamalah
1. Pengertian Jual Beli Dalam Fiqih Muamalah
Sebelum membahas jual beli secara mendalam, terlebih dahulu diketahui
pengertian jual beli, sehingga pembaca mengetahui dengan jelas apa itu jual beli
dan dapat mengetahui apa yang dimakdsud oleh penulis. Jual beli dalam istilah
fiqh disebut dengan al-bai’ yang berarti menjual, mengganti, dan menukar
sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal al-Bai’ dalam bahasa Arab terkadang
digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata asy syira (beli). Dengan
demikian, kata al-bai’ berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli (Haroen,
2000: 111).
Sedangkan menurut istilah yang dimaksud jual beli atau bisnis adalah:
a. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan
melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling
merelakan (Ahmad Idris, 1986: 5).
b. Menurut Syekh Muhammad ibn Qâsim al-Ghazzi: Menurut syara,
pengertian jual beli yang paling tepat ialah memiliki sesuatu harta (uang)
dengan mengganti sesuatu atas dasar izin syara, sekedar memiliki
manfaatnya saja yang diperbolehkan syara untuk selamanya yang demikian
itu harus dengan melalui pembayaran yang berupa uang (al- Ghazzi, t.th:
30).
c. Menurut Imam Taqiyuddin dalam kitab Kiffayatul al- Akhyar: Saling tukar
harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab qobul, dengan
cara yang sesuai dengan syara (Taqiyuddin, t.th: 329).
d. Syeikh Zakaria al Anshari dalam kitabnya fath Al- Wahab: Tukar menukar
benda lain dengan cara yang khusus (dibolehkan) (Zakariya, t.th: 157).
e. Menurut Sayyid Sabiq dalam Kitabnya Fiqh Sunnah: Penukaran benda
dengan benda lain dengan jalan saling atau memindahkan hak milik dengan
ada penggantinya dengan cara yang diperbolehkan (Sabiq, 1997: 126).
f. Menurut Hamzah Ya’qub dalam bukunya‚ Kode Etik Dagang Menurut Islam
menjelaskan bahwa pengertian jual beli menurut bahasa yaitu, menukar
sesuatu dengan sesuatu (Hamzah Ya’kub, 1992: 18)

2
g. Ada sebagian ulama memberikan pemaknaan tentang jual beli (bisnis),
diantaranya; ulama Hanafiyah “ Jual beli adalah pertukaran harta dengan
harta (benda) berdasarkan cara khusus (yang di bolehkan) syara‟ yang
disepakati”. Menurut Imam nawawi dalam al-majmu’ mengatakan “Jual beli
adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”. Menukar barang
dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik
atas dasar saling merelakan (Suhendi, 2007: 69-70).
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa jual beli adalah proses tukar
menukar barang oleh seseorang (penjual) dengan seseorang yang lain (pembeli),
yang dilakukan dengan cara-cara tertentu yang menyatakan kepemilikan untuk
selamanya dan didasari atas saling merelakan tidak ada unsur keterpaksaan atau
pemaksaan pada keduanya. Dengan demikian, jual beli melibatkan dua pihak,
dimana satu pihak menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang
diterima dari penjual, dan pihak yang lainnya menyerahkan barang sebagai ganti
atas uang yang diterima dari pembeli.
2. Contoh Permasalahan Jual Beli Dalam Fiqih Muamalah
a) menjual barang yang dihukumkan najis oleh agama seperti babi, berhala dan
bangkai.
Para ulama fiqih dari dahulu sampai sekarang telah bersepakat bahwa
jual beli itu diperbolehkan, jika di dalamnya telah terpenuhi rukun dan
syarat. Alasannya karena manusia tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya
tanpa bantuan orang lain. Alasan inilah yang kemudian dianggap penting,
karena dengan adanya transaksi seseorang dapat dengan mudah memiliki
barang yang diperlukan dari orang lain. Tetapi dalam hal menjual barang
yang dihukumkan najis itu tidak diperbolehkan. Seperti hadits Nabi SAW:

3
Artinya: “Mewartakan Qutaibah mewartakan Laitsu dari Yazid bin
Abi Habibi dari Atha‟ bin Abi Rabah dari Jabir bin Abdullah RA
bahwasannya ia mendengar Rasulullah SAW bersabda pada tahun
kemenangan di Mekah : “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya
mengharamkan menjual minuman yang memabukkan (khamar), bangkai,
babi dan berhala. Lalu ada orang bertanya, “ Ya, Rasulullah bagaimana
tentang lemak bangkai, karena dipergunakan mengecat perahuperahu supaya
tahan air, dan meminyaki kulit-kulit, dan orang-orang mempergunakannya
untuk penerangan lampu? beliau menjawab : “tidak boleh, itu haram”.
Kemudian diwaktu itu Rasulullah SAW bersabda : Allah melaknat orang-
orang Yahudi, sesungguhnya Allah tatkala mengharamkan lemaknya bagi
mereka, mereka cairkan lemak itu kemudian dijualnya dan mereka makan
harganya.” (HR. Bukhari).
b) Jual beli garar, yaitu jual beli yang samar sehingga ada kemungkinan terjadi
penipuan, seperti penjualan ikan yang masih dikolam atau menjual kacang
tanah yang di atasnya kelihatan bagus di bawahnya jelek.
Jual beli gharar terjadi karena ketidakpastian dalam pertukaran. Hal
ini bertentangan dengan karakter kontrak pertukaran. Menurut Adiwarman
A. Karim, karakter kontrak pertukaran adalah memberikan kepastian, baik
dari segi jumlah maupun waktu. Jika di dalamnya mengandung aksi
spekulasi, suatu pertukaran akan menghasilkan ketidakpastian karena akan
menghasilkan tiga kemungkinan, yaitu untung, rugi atau tidak untung dan
tidak rugi (impas). Ketidakpastian yang timbul dari aksi spekulasi dalam

4
suatu pertukaran inilah yang disebut sebagai taghrir (gharar) dan dilarang
dalam Islam (Karim, 2013: 80).
Para ahli fiqih sepakat bahwa jual beli gharar merupakan jual beli
yang tidak sah menurut syara’. Misalnya jual beli susu yang masih dalam
kantong kelenjar, bulu yang berada di punggung binatang, mutiara yang
masih dalam rumah kerang, binatang yang masih dalam kandungan, ikan
yang berada dalam air, burung di udara yang belum ditangkap dan jual beli
barang milik orang lain yang belum dimiliki (Zuhaili, 1985: 438). Jual beli
itu tidak sah menurut syara’ karena mengandung risiko dan ketidakpastian
baik dalam hal jumlah maupun waktu.
Bagaimanapun, yang perlu diperhatikan adalah gharar seharusnya
tidak dimaknai dengan konsep risiko secara luas. Praktik gharar adalah hal
yang dilarang, namun bukan larangan untuk menghadapi risiko. Islam tidak
menganjurkan seseorang untuk menghindari suatu risiko. Bahkan, berurusan
dengan risiko dalam perdagangan diakui dan didukung oleh Islam, karena
risiko yang ada ditanggung bersama secara adil. Dengan kata lain, gharar
mengacu pada transaksi yang belum jelas, yaitu transaksi yang dikondisikan
pada situasi dan kondisi yang belum pasti (Warde, 2009: 126).
c) Jual beli Inah adalah seseorang menjual sebuah barang kepada orang lain
dengan harga bertempo waktu , lalu benda atau barang itu diserahkan kepada
pihak pembeli, kemudian penjual itu membeli kembali barang trsebut secara
kontan dengan harga yang lebih rendah daripada harga penjual tadi. Dalil
yang menjelaskan tentang jual beli dengan cara inah yaitu menjual sebuah
barang kepada seorang dengan kredit, kemudian membelinya lagi dengan
harga kontan dengan harga lebih rendah dari harga kredit. Sabda Rasulullah
SAW, berbunyi: “jika kalian telah berjual beli dengan cara inah dan telah
sibuk dengan ekor-ekor sapi yang bercocok tanam, sehingga kalian
meninggalkan jiad, maka Allah akan timpakan kepada kalian kehinaan dari
kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian” (Arianti, 2013: 37).
d) Jual beli mukadarah, adalah menjual buah-buahan yang belum pantas untuk
dipanen, seperti menjual rambutan yang masih hijau. Hal ini dilarang karena

5
masih samar, dalam artian mungkin saja buah tersebut jauh ditiup angin
sebelum diambil pembeli.
3. Pengertian Riba dalam Fiqih Muamalah
Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan
(azziyadah),berkembang (an-numuw), membesar (al-'uluw) dan meningkat
(alirtifa') (Abu Sura’I, 1993: 125). Sehubungan dengan arti riba dari segi bahasa
tersebut, ada ungkapan orang Arab kuno menyatakan sebagai berikut; arba fulan
'ala fulan idza azada 'alaihi (seorang melakukan riba terhadap orang lain jika di
dalamnya terdapat unsur tambahan atau disebut liyarbu ma a'thaythum min
syai'in lita'khuzu aktsara minhu (mengambil dari sesuatu yang kamu berikan
dengan cara berlebih dari apa yang diberikan) (Khoiruddin Nasution, 1996: 37).
Menurut Wasilul Chair mengutip Abd al-Rahman al-Jaziri mengatakan
para ulama' sependapat bahwa tambahan atas sejumlah pinjaman ketika
pinjaman itu dibayar dalam tenggang waktu tertentu 'iwadh (imbalan) adalah
riba. Yang dimaksud dengan tambahan adalah tambahan kuantitas dalam
penjualan asset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan kuantitas
(tafadhul), yaitu penjualan barang-barang riba fadhal: emas, perak, gandum,
serta segala macam komoditi yang disetarakan dengan komoditi tersebut
(Wasilul Chair, 2014: 102).
Ulama fiqh mendefinisikan riba dengan kelebihan atau tambahan harta dalam
suatu muamalah dengan tidak ada imbalan/gantinya (Abdul Aziz Dahlan, 2003:
1492). Sedangkan Al-Jurjani mengatakan, bahwa yang dimaksud riba adalah
“kelebihan tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan, disyaratkan bagi
salah seorang dari dua orang yang membuat akad (H. Masjfuk Zuhdi, 1990:
100).
4. Contoh Permasalahan Riba Dalam Fiqih Muamalah
a) Riba Qardh Suatu manfaat atau tingkat kelebihan yang disyaratkan terhadap
yang berhutang.Contoh : Ahmad meminjamuang sebesar Rp. 25.000 kepada
Adi. Adi mengharuskan dan mensyaratkan agar Ahmad mengembalikan
hutangnya kepada Adi sebesar Rp. 30.000 maka tambahan Rp. 5.000 adalah
riba Qardh.

6
b) Riba jahiliyah Utang yang dibayar lebih dari pokoknya karena peminjam
tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditentukan, dan biasa
disebut juga dengan riba yad. Biasanya tambahan ini bertambah sesuai
dengan lama waktu si peminjam dan membayar utangnya.
c) Riba fadhl Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang
berbeda, sedangkan barang yang ditukarkan itu termasuk barang ribawi
(emas, perak, gandum, tepung, kurma dan garam). Contohnya tukar menukar
emas dengan emas,perak dengan perak (Nurul Huda Mohammad Heykal,
2010: 192).
d) Riba Nasi’ah Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi
yang ditukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya, riba ini muncul karena
adanya perbedaan atau tambahan antara yang diserahkan hari ini dan yang
diserahkan kemudian. Contoh :Seseorang meminjam sekilo gandum dalam
jangka waktu tertentu. Apabila saat pembayaran tiba, pihak yang mempunyai
hutang tidak dapat membayarnya maka ia harus menambah menjadi 1.5 kilo.
Yang maksudnya menambah pembayaran utangnya sesuai dengan
pengunduran waktu pembayaran (Ahmad Muhammad Al-Assal dan Dr.
Fathi Ahmad Abdul Karim, 1999: 91).
Seluruh ulama tanpa kecuali telah bersepakat /berkonsensus
(berijma’) bahwa riba qardh dan riba buyu’ itu diharamkan dalam Islam.
Berdasarkan dalildalil di atas yang shahih dan sharih (jelas dan tegas)
menunjukan bahwa riba qardh (riba nasi’ah/riba jahiliyyah) termasuk yang
tsawabit dan qath’iyyah (prinsipil dan fundamental) dalam agama Islam.
D. Kesimpulan
Para ulama fiqih dari dahulu sampai sekarang telah bersepakat bahwa jual
beli itu diperbolehkan, jika di dalamnya telah terpenuhi rukun dan syarat. Alasannya
karena manusia tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa bantuan orang lain.
Alasan inilah yang kemudian dianggap penting, karena dengan adanya transaksi
seseorang dapat dengan mudah memiliki barang yang diperlukan dari orang lain.
Seluruh ulama tanpa kecuali telah bersepakat /berkonsensus (berijma’) bahwa riba
qardh dan riba buyu’ itu diharamkan dalam Islam. Berdasarkan dalildalil di atas
yang shahih dan sharih (jelas dan tegas) menunjukan bahwa riba qardh (riba

7
nasi’ah/riba jahiliyyah) termasuk yang tsawabit dan qath’iyyah (prinsipil dan
fundamental) dalam agama Islam.
E. Daftar Pustaka
Ahmad, Idris, 1986. Fiqh al-Syafi‟iyah, Jakarta: Karya Indah.Abi Bakr Ibn
Muhammad al-Husaini, Imam Taqiyuddin, t.th,
Al-Ghazzi, Muhammad ibn Qâsim, t.th, Fath al-Qarîb al-Mujîb, Indonesia: Dâr al-
Ihya al-Kitab, al-Arabiah.
Hamzah Ya’kub. 1992. Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup
Dalam Berekonomi). Cet II. Bandung: Diponegoro.
Haroen, Nasrun,2000, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Karim, Adiwarman A. 2013. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: Raja
Grafindo.
Masjfuk Zuhdi. 1990. Masa’il Fiqhiyah. Jakarta: CV. Haji Masagung.
Nasution, Khoiruddin. 1996. Riba dan Poligami, Sebuah Studi atas Pemikiran
Muhammad Abduh. cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sabiq, Sayyid, 1997. Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr.
Suhendi, Hendi, 2007, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo persada.
Taqiyudin Abi Bakar Ibnu Muhammad al-Husaini al-Dimasqi, Kifayatul Akhyar fii
Hall Gayat al-Ikhtishar. Semarang: Toha Putra, t.th.
Warde, Ibrahim. 2009. Islamic Finance, terj. Andriyadi Ramli, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Zakariyya al-Anshory, Fathu Al Wahhab bi Syarh Manhaj Ath Thullab. Semarang:
CV. Toha Putra, t.th.
Zuhaili, Wahbah. 1985. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Damaskus: Darul Fikr.

Anda mungkin juga menyukai