Anda di halaman 1dari 18

SEJARAH RIBA DARI ERA TASYRI’

HINGGA KONTEMPORER

Makalah

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu tugas Mata Kuliah Ilmu Ekonomi dan
Perbankan Syariah Bidang Hukum Keluarga Islam (Ahwal Syakhshiyyah)
Fakultas Syariah dan Hukum Islam

Oleh:

Kelompok 7

EMI MEILANI
NIM. 742302020061
ISTIQAMAH
NIM. 742302020074

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BONE

2023
KATA PENGANTAR

   

Alhamdulillah, penulis panjatkan rasa syukur kehadirat Allah swt. yang

dengan rahmatnya dan tauhiq-Nya jualah sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan makalah yang berjudul Sejarah Riba dari Era Tasyri’ Hingga

Kontemporer.

Solawat dan salam semoga senantiasa tercurah ke haribaan junjungan Nabi


Muhammad saw., yang telah diutus oleh Allah swt. untuk membimbing umat

manusia ke jalan yang lurus yaitu agama islam, agar mereka memperoleh

keberuntungan di dunia dan di akhirat. Penulis menyadari bahwa dalam

penyusunan karya tulis ilmiah ini tidak telepas dari uluran tangan berbagai pihak,

baik yang bersifat materi maupun moril sehingga dapat terwujud sebagaimana

adanya. Maka, sepatutnya penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan

yang setinggi-tingginya serta iringan doa keselamatan kepada mereka yang telah

banyak membantu.

Harapan besar penulis semoga karya ini dapat bermanfaat dan berguna

bagi para pemikir islam khususnya para mahasiswa Perguruan Tinggi Agama

Islam, juga semoga berguna kepada pribadi penulis. Akhirnya kepada Allah swt.

swt. jualah penulisan memohon ridha dan petunjuk-Nya. Aamiin ya rabb al-

a’lamin.

Watampone, 01 April 2023

Penyusun

Kelompok 7

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I ...................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................. 4
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 5
C. Tujuan Penulisam............................................................................................ 5
BAB II .................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN .................................................................................................... 6
A. Sejarah Riba.................................................................................................... 6
B. Interest dan Riba ............................................................................................11
BAB III ................................................................................................................. 16
PENUNTUP ......................................................................................................... 16
A. Simpulan ....................................................................................................... 16
B. Saran ............................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup seorang diri dan

selalu ada keinginan untuk berinteraksi dengan sesamanya. Dan salah satu bentuk

dan interaksi tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk perekonomian. Dari hal

inilah kemudian timbul peristiwa-peristiwa ekonomi yang tidak pernah terhenti.

Di satu sisi, hasrat manusia untuk terus memenuhi kebutuhannya tidak ada

batasnya, sementara di sisi lain, sarana atau alat untuk memuaskan kebutuhan

tersebut terbatas.

Dalam bingkai ajaran Islam, aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh

manusia untuk dikembangkan memiliki beberapa kaidah dan etika atau moralitas

dalam syariat Islam. Allah telah menurunkan rizki ke dunia ini untuk

dimanfaatkan oleh manusia dengan cara yang telah dihalalkan oleh Allah dan

bersih dari segala perbuatan yang mengandung riba. Di antara peristiwa ekonomi
yang sudah menjadi kebutuhan utama setiap komunitas umat adalah dengan

kemunculan sebuah badan yang dipercaya untuk melayani kebutuhan ekonomi

masyarakat sekelilingnya (nasabah) yang biasa di sebut dengan Bank. 1

Wacana mengenai riba dapat dikatakan telah "klasik" baik dalam

perkembangan pemikiran Islam maupun dalam peradaban Islam karena riba

merupakan permasalahan yang pelik dan sering terjadi pada masyarakat, hal ini

disebabkan perbuatan riba sangat erat kaitannya dengan transaksi-transaksi di

bidang perekonomian (dalam Islam disebut kegiatan muamalah) yang sering

1
Maryam, “Riba dan Bunga Bank dalam Islam” Jurnal Pilar: Jurnal Kajian Islam
Kontemporer, Vol. 1, No. 2 (2010), h. 57.

4
dilakukan oleh manusia dalam aktivitasnya sehari-hari. Pada dasarnya, transaksi

riba dapat terjadi dari transaksi hutang piutang, namun bentuk dari sumber

tersebut bisa berupa pinjaman, jual beli dan sebagainya.

Para ulama menetapkan dengan tegas dan jelas tentang pelarangan riba,

disebabkan riba mengandung unsur eksploitasi yang dampaknya merugikan orang

lain, hal ini mengacu pada Kitabullah dan Sunnah Rasul serta ijma' para ulama.

Bahkan dapat dikatakan tentang pelarangannya sudah menjadi aksioma dalam

ajaran Islam. Beberapa pemikir Islam berpendapat bahwa riba tidak hanya

dianggap sebagai sesuatu yang tidak bermoral melainkan sesuatu yang

menghambat aktifitas perekonomian masyarakat. Sehingga orang kaya akan

semakin kaya sedangkan orang miskin akan semakin miskin dan tertindas.

Riba merupakan suatu tambahan lebih dari modal asal, biasanya transaksi

riba sering dijumpai dalam transaksi hutang piutang dimana kreditor meminta

tambahan dari modal asal kepada debitur tidak dapat dinafikkan bahwa dalam jual

beli juga sering terjadi praktek riba, seperti menukar barang yang tidak sejenis,

melebihkan atau mengurangkan timbangan atau dalam takaran.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dikemukakan

rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Sejarah Riba?

2. Bagaimana Perbedaan Interest dan Riba ?

C. Tujuan Penulisam
Dari rumusan masalah di atas, yang menjadi tujuan penulisan yaitu:

1. Untuk Mengetahui Sejarah Riba.

2. Untuk Mengetahui Perbedaan Interest dan Riba.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Riba
Istilah riba telah dikenal dan digunakan dalam transaksi-transaksi

perekonomian oleh masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Akan tetapi pada

zaman itu riba yang berlaku merupakan tambahan dalam bentuk uang akibat

penundaan pelunasan hutang. Dengan demikian, riba dapat diartikan sebagai

pengambilan tambahan dalam transaksi jual beli maupun hutang piutang secara

batil atau bertentangan dengan kaidah syari'at Islam.2

Riba tidak hanya dikenal dalam Islam saja, tetapi dalam agama lain riba

telah kenal dan juga pelarangan atas perbuatan pengambil riba, bahkan pelarangan

riba telah ada sejak sebelum Islam datang. 3

1. Riba pada Masa Jahiliyah

Pada pada masa Jahiliyah riba mempunyai beberapa bentuk aplikatif.

Beberapa riwayat menceritakan riba jahiliyah.

a. Riba Pinjaman, yaitu yang direfleksikan dalam satu kaidah di masa


Jahiliyah: "tangguhkan hutangku, aku akan menambahkanya". Maksud kaidah

tersebut adalah jika ada seseorang mempunyai hutang (debitur), tetapi ia tidak

dapat membayarnya pada waktu jatuh tempo, maka ia (debitur) berkata:

tangguhkan hutangku, aku akan memberikan tambahan. Penambahan itu bisa

dengan cara melipat gandakan uang atau menambahkan umur sapinya jika

pinjaman tersebut berupa binatang, demikian seterusnya. Menurut Qatadah yang

2
Whisalul Chair, “Riba dalam Perspektis Islam dan Sejarah” Iqtishadia, Vol. 1, No. 1
(2014), h. 102
3
Whisalul Chair, “Riba dalam Perspektis Islam dan Sejarah” Iqtishadia, …, h. 103

6
7

dimaksud riba adalah orang Jahiliyah adalah seorang lakilaki menjual barang

sampai pada waktu yang ditentukan.4

Ketika tenggang waktunya habis dan barang tersebut tidak berada di sisi

pemiliknya, maka ia harus membayar tambahan dan boleh menambah tenggatnya.

Abu Bakar al- Jashshash berkata: riba dimasa Jahiliyah hanyalah sebuah pinjaman

dengan rentang waktu, disertai tambahan tertentu. Tambahan itu adalah ganti dari

rentang waktu. Menurut Mujahid, menjelaskan tentang riba yang dilarang oleh

Allah swt. pada masa Jahiliyah, seseorang mempunyai piutang dari orang lain.

Orang itu berkata kepadamu seperti itulah anda menangguhkannya dari saya,

maka diampuni yang menangguhkannya.

b. Pinjaman dengan pembayaran tertunda, tetapi dengan syarat harus

dibayar dengan bunga. Al-Jassash menyatakan, Riba yang dikenal dan biasa

dilakukan oleh masyarakat Arab adalah berbentuk pinjaman uang dirham atau

dinar yang dibayar secara tertunda dengan bunganya dengan jumlah sesuai dengan

jumlah hutang dan sesuai dengan kesepakatan bersama.

c. Pinjaman berjangka dan berbunga dengan syarat dibayar perbulan. Ibnu


Hajar al-Haitami menyatakan, Riba nasi’ah adalah riba yang populer di masa

Jahiliyah. Karena biasanya, seseorang meminjamkan uang kepada orang lain

dengan pembayaran tertunda, dengan syarat ia mengambil sebagian uangnya

setiap bulan sementara jumlah uang yang dihutang tetap sampai tiba waktu

pembayaran. Kalau tidak mampu melunasinya, maka diundur dan ia harus

menambah jumlah yang harus dibayar.

2. Riba pada Masa Yunani Kuno dan Romawi

Sejak zaman Dahulu sebelum Islam muncul, praktek riba sudah tidak

diperbolehkan. Larangan riba berlangsung umum. Masyarakat Romawi dan

4
Sapriadi, dkk, “Riba dalam Perspektif Sejarah dan Religiusitas” Al-Ahkam:Jurnal
Hukum Pidana Islam, Vol. 2, No. 2, (2020), h. 117
8

Yunani melarang pungutan bunga di wilayahnya. Bunga pada saat itu benar-benar

dilarang dengan hukum yang ketat.

Plato dan Aristoteles, ahli filsafat Yunani, mengecam praktik bunga dan

mengutuk orang Romawi yang memungut bunga atas pinjaman yang di berikan

oleh pemberi pinjaman kepada peminjam. Ada dua alasan adanya larangan bunga

dalam setiap pinjaman, menurut Plato yaitu:

a. Bunga merupakan alat yang digunakan oleh masyarakat golongan kaya

untuk merampas masyarakat golongan miskin, sehingga masyarakat

golongan miskin akan tetap menderita dengan adanya pembayaran yang

melebihi pokok pinjamannya.

b. Bunga dapat menyebabkan perpecahan dan adanya perasaan tidak puas

dari masyarakat golongan miskin yang selalu menjadi objek kezaliman.

Aristoteles, menyatakan bahwa uang berfungsi sebagai alat tukar, bukan

sebagai alat untuk menghasilkan tambahan berupa bunga. Pengambilan bunga

secara tetap tampa memperhatikan hasil usaha pihak yang mendapatkan pinjaman

merupakan sesuatu yang tidak adil. Peminjam belum tentu mendapat keuntungan
atas hasil usahannya, akan tetapi telah dipastikan harus membayar bunga. 5

3. Riba Perspektif Religius

a. Perspektif Agama Yahudi

Pelarangan praktik riba dalam agama Yahudi termaktub dalam kitab

sucinya, menurut kitab suci agama Yahudi yang disebutkan dalam Perjanjian

Lama kitab keluaran ayat 25 pasal 22: "Bila kamu menghutangi seseorang

diantara warga bangsamu uang, maka janganlah kamu berlaku laksana seorang

pemberi hutang, jangan kamu meminta keuntungan padanya untuk pemilik uang"

Dan pada pasal 36 disebutkan: " Supaya ia apat hidup di antaramu janganlah

5
Elpianti Sahara Pakpahan, “Pengharaman Riba dalam Islam” Al-Hadi, Vol. IV, No. 2,
(2019) h. 870
9

engkau mengambil bunga uang atau riba dari padanya, melainkan engkau harus

takut akan Allahmu, supaya saudaramu dapat hidup diantaramu".

Akan tetapi orang Yahudi berpendapat bahwa riba itu hanyalah terlarang

kalau dilakukan dikalangan sesama Yahudi, dan tidak dilarang dilakukan terhadap

kaum yang bukan Yahudi. Mereka mengharamkan riba sesama mereka tetapi

menghalalkannya kalau pada pihak yang lain. Dan inilah yang menyebabkan

bangsa Yahudi terkenal memakan riba dari pihak selain kaumnya. Berkaitan

dengan kezaliman kaum Yahudi, Allah SWT berfirman dalam al-Qur'an surat al-

Nisa' ayat 160-161 secara tegas menyatakan bahwa perbuatan riba atau memakan

harta orang lain dengan jalan batil, dan Allah akan menyiksa mereka dengan

siksaan yang pedih.6

b. Perspektif Agama Nasrani

Berbeda dengan orang Yahudi, umat Nasrani memandang riba haram

dilakukan bagi semua orang tidak terkecuali siapa orang tersebut dan dari agama

apapun, baik dari kalangan Nasrani sendiri ataupun non-Nasrani. Menurut mereka

(tokoh-tokoh Nasrani) dalam perjanjian lama kitab Deuntoronomy pasal 23, pasal
19 disebutkan: "Janganlah engkau membungakan uang terhadap saudaramu baik

uang maupun bahan makanan atau apapun yang dapat dibungakan". Dalam

perjanjian baru di dalam Injil Lukas ayat 34 disebutkan: "Jika kamu menghutangi

kepada orang yang engkau harapkan imbalannya, maka di mana sebenarnya

kehormatan kamu. Tetapi berbuatlah kebaikan dan berikanlah pinjaman dengan

tidak mengharapkan kembalinya, karena pahala kamu sangat banyak".

Pengambilan bunga uang dilarang gereja sampai pada abad ke-13M.

Pada akhir abad ke-13 timbul beberapa faktor yang menghancurkan

pengaruh gereja yang dianggap masih sangat konservatif dan bertambah

6
Sapriadi, dkk, “Riba dalam Perspektif Sejarah dan Religiusitas” Al-Ahkam:Jurnal
Hukum Pidana Islam, …, h. 118.
10

meluasnya pengaruh mazhab baru, maka piminjaman dengan dipungut bunga

mulai diterima masyarakat. Para pedagang berusaha menghilangkan pengaruh

gereja untuk menjustifikasi beberapa keuntungan yang dilarang oleh gereja. Ada

beberapa tokoh gereja yang beranggapan bahwa keuntungan yang diberikan

sebagai imbalan administrasi dan kelangsungan organisasi dibenarkan karena

bukan keuntungan dari hutang. Tetapi, sikap pengharaman riba secara mutlak

dalam agama Nasrani dengan gigih ditegaskan oleh Martin Luther, tokoh gerakan

Protestan. Ia mengatakan keuntungan semacam itu baik sedikit atau banyak, jika

harganya lebih mahal dari harga tunai tetap riba.7

b. Perspektif Agama Islam

Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, riba telah dikenal pada saat turunnya

ayat-ayat yang menyatakan larangan terhadap transaksi yang mengandung riba

sesuai dengan masa dan periode turunnya ayat tersebut sampai ada ayat yang

melarang dengan tegas tentang riba. Bahkan istilah dan persepsi tentang riba

begitu mengental dan melekat di dunia Islam. Oleh karena itu, terkesan seolah-

olah doktrin riba adalah khas agama Islam.


Sedikit atau banyaknya riba, memang masih menjadi perdebatan, hal ini

dikerenakan bahwa riba Jahiliyah yang dengan jelas dilarangnya riba adalah yang

berlipat ganda (ad'afan mudha'afah). Landasan dari riba dalam QS Al-

Imran/3:130 :

           
 
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba
dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan.

7
Meriati, dkk, “Konsep Riba Dan Bunga Bank Dalam Al-Qur’an Dan Hadits” Justisia
Ekonomi, Vol. IV, No. 1, (2022), h. 382
11

Tetapi bila ditinjau dari keseluruhan ayat-ayat riba, seperti al- Baqarah

ayat 275 (mengharamkan riba), ayat 276 masih dalam surat al-Baqarah

menyatakan bahwa Allah menghapus keberkahan riba dan demikian pula dalam

QS al-Baqarah/2: 278-279, yang menegaskan tentang pelarangan riba, meskipun

sedikit pengambilan bunga (tambahan) tersebut tetap dilarang, hal ini

menunjukkan bahwa tujuan ideal al-Qur'an adalah menghapus riba sampai

membersihkan unsur- unsurnya. Dalam QS al-Baqarah/2: 278-279 menjelaskan

secara tegas terhadap pelarangan pelaku riba:

             
             
    
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang
yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan
sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu, dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak
(pula) dianiaya.
Ayat ini Allah menganjurkan hamba-Nya yang beriman supaya menjaga

dirimu dalam taqwa, dalam tiap gerak, langkah, tutur kata dan amal perbuatan

supaya benar-benar dijalan Allah dan tinggalkan sisa hartamu (riba) yang masih

ada ditangan orang, selebihnya dari apa yang kalian berikan kepada mereka, jika

kalian benar-benar beriman, percaya syari'at tuntunan Allah dan melakukan segala

yang diridha'i-Nya dan menjauh dari semua yang dilarang dan dimurka-Nya.

B. Interest dan Riba


1. Riba

Pengertian Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Pengertian

lain secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Ringkasnya secara
12

bahasa riba memiliki arti ‘ bertambah’, baik dari kualitas maupun kuantitas.

Sedangkan secara istilah, riba berarti pengambilan tambahan dari harga pokok

atau modal secara batil.

Pengertian riba menurut jumhur ulama dari berbagai madzhab fiqhiyyah

dalam sepanjang sejarah Islam diantaranya:

a. Badr ad-Din al-ayni

Prinsip utama riba adalah penambahan. Menurut syari’ah, riba berarti

penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.

b. Imam Sarakhsi dari Mahzab Hanafi

Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa

adanya iwadh (atau padanan) yang dibenarkan syari’ah atas penambahan tersebut.

c. Imam an-Nawawi dari Mahzab Syafi’i

Riba adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam

dunia perbankan , hal tersebut dinamakan bunga kredit sesuai lama waktu

pinjaman.

d. Imam Ahmad bin Hambal, pendiri Mahzab Hanbali


Riba adalah seseorang memiliki utang maka dikatakan kepadanya apakah

akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus

menambah dana (dalam bentuk bunga pinjam) atas penambahan waktu yang

diberikan.8

Adapun macam-macam riba terbagi menjadi beberapa bagian, antara lain:

a. Riba Utang-Piutang

1) Riba Qardh, yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu

yangdisyaratkan terhadap yang berhutang.

2) Riba Jahiliyyah, yaitu utang dibayar lebih dari pokoknya karena pihak

8
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (t.c. Jakarta: Gema
Insani, 2001), h. 37- 40.
13

yang meminjam tidak mampu membayar utangnya sesuai waktu yang

sudah ditentukan.

b. Riba Jual Beli

1) Riba Fadhl, yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan kadar ukuran,

kualitas dan waktu yang berbeda, sedangkan barang yang ditukarkan

tersebut termasuk dalam jenis barang ribawi.

2) Riba Nasi’ah, yaitu penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis

barang ribawi yang dipertukarkan dengan barang jenis ribawi lainnya

yang pembayarannya disyaratkan lebih.9

2. Interest (Bunga Bank)

Bunga secara leksikal sebagai terjemahan dari interest, sebagaimana

diungkapkan dalam suatu kamus dinyatakan bahwa “interest is charge for a

financial loan, usually a percentage of the amount loaned.” Bunga adalah

tanggungan pada pinjaman uang yang biasanya dinyatakan dengan persentase dari

uang yang dipinjamkan.10

Bunga adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang


(al-qaradh) yang di perhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan

pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan

secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase.

Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi criteria riba yang

terjadi pada zaman Rasulullah saw. yakini Riba Nasi’ah. Dengan demikian,

praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba dan riba haram

hukumnya. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan

9
M. Umar Chepra, The Nature of Riba in Islam, The Journal Islamic Economics and
Finance, Vol. II, No. 1, (2006), h. 16.
10
Sumar’in, Konsep Kelembagaan Bank Syariah, (t.c. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h.
22.
14

oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan

lainnya maupun oleh individu.

Bunga dalam Ekonomi Islam didasarkan pada prinsip syariah tidak

mengenal konsep bunga karena menurut Islam bunga adalah riba yang haram

(terlarang) hukumnya. Artinya, bisnis dalam Islam yang didasarkan pada prinsip

syariah tidak mengenal pembebanan bunga oleh pemilik modal atau investor atau

kreditur atas penggunaan uang yang dipinjamkan oleh kreditur (pemilik modal)

kepada debitur (peminjam uang). Konsep bunga adalah yang dipraktikan dalam

bisnis berdasarkan kapitalisme. Konsep bunga yang diterapkan kapitalisme

tersebut tidak memperdulikan atau mempertimbangkan apakah bisnis debitur

mendapatkan keuntungan atau mengalami kerugian. Baik bisnis debitur

mendapatkan keuntungan atau mengalami kerugian, kreditur tetap saja menerima

atau sebaliknya debitur membayar bunga. 11


Dari penjelasan di atas mengenai riba dan interest (bunga bank) yang ada

saat ini perlu dicermati lebih mendalam, karena beberapa pakar berbeda pendapat

tentang persamaan kedua istilah tersebut.

Riba merupakan tambahan dari pinjaman pokok. Sedangkan interest (bunga

bank) dalam praktik perbankan adalah harga atau kompensasi atau ganti rugi yang

dibayarkan untuk penggunaan uang selama satu jangka waktu tertentu, yang

dinyatakan dalam suatu prosentase dari jumlah uang yang disetujui bersama.12

Menurut beberapa pakar kontemporer, interest (bunga bank) terbagi menjadi

dua, yaitu usury dan interest. Bunga yang termasuk riba adalah usury, sedangkan

11
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-produk dan Aspek-Aspek
Hukumnya, (t.c. Jakarta: Kencana Pernadamedia Group), h. 157
12
Riza Yulistia Fajar, Riba dan Bunga Bank dalam Pandangan Muhammad Syafi’i
Antonio. (t.c. Yogyakarta, t.tp. 2009). h. 16.
15

interest yang ada dalam dunia perbankan seperti saat ini bukanlah riba dan

diperbolehkan. Baik interest maupun usury, keduanya adalah bagian dari riba

yang telah dengan tegas diharamkan sesuai dengan dalil-dalil aqli yang dapat

diterima akal maupun dalil-dalil naqli yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits

dengan penjelasan dan tafsir secara rinci.


BAB III

PENUNTUP

A. Simpulan
1. Sejak pra-Islam riba telah dikenal bahkan sering dilakukan dalam kegiatan

perekonomian sehari-hari. Pada masa Nabi Muhammad SAW riba mulai

dilarang dengan turunnya ayat-ayat Alqur'an yang menyatakan larangan

riba, ayat tersebut turun sesuai dengan masa dan periode turunnya ayat

sampai ada ayat yang melarangnya dengan tegas. Larangan riba dalam

pandangan Islam, telah jelas dinyatakan dalam QS. Al-Baqarah/2:278. Umat

Nasrani dalam hal riba, secara tegas juga mengharamkan riba bagi semua

orang, tampa membedakan kalangan Nasrani maupun non-Nasrani.

Ketetapan semacam ini menunjukkan pengharaman riba tegas dalam agama

Nasrani. Pelarangan praktik riba telah disebutkan dalam al-Qur’an dan

Hadits secara berulang-ulang, begitu juga dalam kitab-kitab agama lain.

Selain itu kekejian riba juga telah dijelaskan oleh dua filsafat Yunani
terkemuka Plato dan Aristoteles disamping para ahli filsafat lain.

2. Bunga adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-

qaradh) yang di perhitungkan dari pokok pinjaman tanpa

mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo

waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya

berdasarkan persentase. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan

yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang di perjanjikan

sebelumnya, dan inilah yang disebut Riba Nasi’ah. Riba disamaartikan

dengan rente yaitu pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal

16
17

secara batil, karena sama-sama mengandung bunga (interest) uang, maka

hukumnya sama pula.

B. Saran
Aktivias perekonomian yang dilakukan oleh manusia untuk dikembangkan

sebagai bentuk memenuhi kebutuhan hidup memiliki beberapa kaidah dan etika

atau moralitas dalam menjalankan sesuai dengan syariat Islam. Allah swt. telah

menurunkan rezeki ke dunia ini untuk dimanfaatkan oleh manusia dengan cara

yang halal dan bersih dari segala perbuatan yang mengandung riba.

Maka dari itu, pada bunga bank dan riba keduanya sama- sama bermakna

tambahan atau kelebihan. Perbedaanya, riba sistemnya menggandakan untuk

pribadi alias rintenir, sedangkan bunga bank sistemnya untuk membantu

masyarakat dengan kuntungan dibagi hasil kepada nasabah dan

sah menurut hukum (legal).


DAFTAR PUSTAKA

Elpianti Sahara Pakpahan, “Pengharaman Riba dalam Islam” Al-Hadi, Vol. IV,
No. 2, 2019.
Maryam, “Riba dan Bunga Bank dalam Islam” Jurnal Pilar: Jurnal Kajian Islam
Kontemporer, Vol. 1, No. 2, 2010.
Meriati, dkk, “Konsep Riba Dan Bunga Bank Dalam Al-Qur’an Dan Hadits”
Justisia Ekonomi, Vol. IV, No. 1, 2022.
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, t.c. Jakarta:
Gema Insani, 2001.
M. Umar Chepra, The Nature of Riba in Islam, The Journal Islamic Economics
and Finance, Vol. II, No. 1, 2006.
Riza Yulistia Fajar, Riba dan Bunga Bank dalam Pandangan Muhammad Syafi’i
Antonio. t.c. Yogyakarta, t.tp. 2009.
Sapriadi, dkk, “Riba dalam Perspektif Sejarah dan Religiusitas” Al-Ahkam:Jurnal
Hukum Pidana Islam, Vol. 2, No. 2, 2020
Sumar’in, Konsep Kelembagaan Bank Syariah, t.c. Yogyakarta: Graha Ilmu,
2012.
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-produk dan Aspek-Aspek
Hukumnya, (t.c. Jakarta: Kencana Pernadamedia Group.
Whisalul Chair, “Riba dalam Perspektis Islam dan Sejarah” Iqtishadia, Vol. 1, No.
1, 2014.

18

Anda mungkin juga menyukai