Anda di halaman 1dari 19

Tugas Kelompok 8 ESY 1C

RIBA
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah: Pengantar Ekonomi Islam
Dosen: Muhammad Wahyuni, M.E

Disusun oleh:

MUHAMMAD IRHAS ZAINI


NIM 2314120106
MUHAMMAD MULYANOOR
NIM 2314120034
MUHAMMAD RIFQI
NIM 2314120042

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


FAKULTAS ENOKOMI DAN BISNIS ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
1444 H/2023 M
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Alhamdulillah dan puji syukur kami ucapkan ke hadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah dengan judul
‘‘RIBA” dapat disusun dengan baik. Tanpa ridha dan petunjuk-Nya mustahil
makalah ini dapat dirampungkan.
Dalam penyusunan makalah ini, kami mendapatkan dukungan dari banyak
pihak. Pada kesmpatan ini, saya haturkan rasa terima kasih sedalam-dalamnya
kepada pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran
maupun materinya. Tidak lupa kami ucapkan juga terima kasih kepada bapak
MUHAMMAD WAHYUNI, M.E selaku dosen pengampu mata kuliah
PENGANTAR EKONOMI ISLAM.
Segala usaha dan upaya telah kami lakukan untuk menyelesaikan makalah ini
sebaik mungkin, namun kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini tidak luput
dari berbagai kekurangan, sehingga kritik dan saran dari berbagai pihak yang
sifatnya membangun, sangat kami harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan
makalah ini.

Palangka Raya, Oktober 2023

Penyusun,

i
ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Riba merupakan haram atau dilarang dalam perbankan syariah. Jika riba dengan
jumlah kecil ataupun besar (ganda) maka dianggap tetap hal atau aktifitas yang
tidak boleh dilakukan, sebab sikap dan perbuatan tersebut bisa merugikan selain itu
juga haram untuk semua kalangan masyarakat. Riba jika dijalankan sendiri ataupun
bekerjasama dengan yang terakit riba, itu hal yang tetap diharamkan bagi umat
muslim. Di Indonesia masih terjadi perselisihan akan ragunya bunga bank apakah
termasuk dalam riba atau tidak, tetapi perselisihan ini sudah disepakati oleh Islamic
Banker dan ahli fikih dikalangan dunia. Selain hal tersebut umat Islam haru
mempunyai kepercayaan dan keyakinan dimana sebagai orang muslim jika dalam
bertransaksi harus tidak boleh ada keterlibatn dengan sistem riba. Yang dimaksud
dari transaksi ini yakni bertransaksi uang dimana transfer menggunaka uang dan
disaat transaksi tersebut ada sebuah tambahan. Di Indonesia, sejak perbankan
syariah berdiri cukup lama membuat perbakan syariah semakin pesat dikarenakan
banyak perbankan konvensional yang disyariahkan. Perkembangan-perkembangan
dari perbankan syariah ini membuat masyarakat ingin memilih produk perbankan
syariah. Lajunya pertumbuhan ekonomi di Indonesia sekarang menjadi suatu pusat
perhatian dalam sektor industri keuangan. Dari bagian lain wilayah Indonesia,
mayoritas penduduk yang memeluk agam Islam. Dari mayoritas inilah yang
mengakibatkan lajunya perkembangan pola pikir masyarakat akan keinginan yang
lebih mengutamakan memilih perbankan syariah. Tetapi, dari sebagian masyarakat
tersebut juga masih ada belum ada keinginan untuk mengetahui tentang riba dan
pengetahuan akan produk perbankan syariah1.

1Arief Budiono, Jurnal Law and Justice : “PENERAPAN PRINSIP SYARIAH PADA
LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH” 2, no. 1 (2017) : 55.

1
B. Rumusan masalah
Adapu rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apa itu Riba?
2. Bagaimana sejarah Riba?
3. Apa Hukum dari Riba?
4. Bagaimana jenis Riba?,
5. Dan apa dampak praktek Riba?

C. Tujuan penulisan
Adapun tujuan dan kegunaan penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui pengertian riba.
2. Ingin mengetahu bagaimana sejarah riba.
3. Ingin mengetahui apa hukum yang dilakukan kepada orang yang melakukan
riba.
4. Mencari tahu bagaimana jenis dari riba.
5. Dan dampak dari praktek riba.

D. Metode penulisan
Penulisan makalah ini menggunakan metode literatur kajian pustaka (library
research) terhadap buku-buku yang berhubungan dengan judul makalah yang
dibuat, dan juga bersumber dari jurnal dan beberapa artikel-artikel dari internet.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Riba
Riba secara bahasa (etimologi) artinya tambahan atau kelebihan (ziyadah)
Sedangkan pengertian riba menurut istilah (terminologi) ialah kelebihan atau
tambahan pembayaran dalam utang piutang atau jual beli yang disyaratkan
sebelumnya bagi salah satu dari dua orang/pihak lain yang membuat perjanjian.
Dikalangan masyarakat sering kita dengar dengan istilah rente, rente juga
disamakan dengan “bunga” uang. Karena rente dan bunga sama-sama mempunyai
pengertian dan sama-sama haram hukumnya di agama Islam.
2
Dalam prakteknya, rente merupakan keuntungan yang diperoleh pihak bank atas
jasanya yang telah meminjamkan uang kepada debitur dengan dalih untuk usaha
produktif, sehingga dengan uang pinjaman tersebut usahanya menjadi maju dan
lancar, dan keuntungan yang diperoleh semakin besar. Tetapi dalam akad kedua
belah pihak baik kreditor (bank) maupun debitor (nasabah) sama-sama sepakat atas
keuntungan yang akan diperoleh pihak bank. Abu Zahrah dalam kitab Buhūsu fi al-
Ribā menjelaskan mengenai haramnya riba bahwa riba adalah tiap tambahan
sebagai imbalan dari masa tertentu, baik pinjaman itu untuk konsumsi atau
eksploitasi, artinya baik pinjaman itu untuk mendapatkan sejumlah uang guna
keperluan pribadinya, tanpa tujuan untuk mempertimbangkannya dengan
mengeksploitasinya atau pinjaman itu untuk di kembangkan dengan
mengeksploitasikan, karena nash itu bersifat umum.
B. Sejarah Riba
Ada 2 tahapan larangan riba:
1. Sejarah Pelarangan Riba Sebelum Islam
Istilah riba telah dikenal dan digunakan dalam transaksitransaksi perekonomian
oleh masyarakat Arab sebelum datangnyaIslam. Akan tetapi pada zaman itu riba
yang berlaku merupakantambahan dalam bentuk uang akibat penundaan pelunasan
hutang.Dengan demikian, riba dapat diartikan sebagai pengambilan

2
Chair, Wasilul : riba dalam perspektif Islam (2017)

3
tambahandalam transaksi jual beli maupun hutang piutang secara batil atau
bertentangan dengan kaidah syari'at Islam.
Riba tidak hanya dikenal dalam Islam saja, tetapi dalam agama lain (non-Islam)
riba telah kenal dan juga pelarangan atas perbuatan pengambil riba, bahkan
pelarangan riba telah ada sejak sebelum Islam datang menjadi agama.
a). Masa Yunani kuno
3
Bangsa Yunani kuno mempunyai peradaban tinggi, peminjaman uang dengan
memungut bunga dilarang keras. Ini tergambar pada beberapa pernyataan
Aristoteles yang sangat membenci pembungaan uang:
"Bunga uang tidaklah adil"
"Uang seperti ayam betina yang tidak bertelur"
"Meminjamkan uang dengan bunga adalah sesuatu yang rendah derajatnya"
b). Masa Romawi
4
Kerajaan romawi melarang setiap jenis pemungutan bunga atas uang dengan
mengadakan peraturan-peraturan keras guna membatasi besarnya suku bunga
melalui undang-undang. Kerajaan Romawi adalah kerajaan pertama yang
menerapkan peraturan guna melindungi para peminjam.
c). Menurut Agama Yahudi
Yahudi juga mengharamkan seperti termaktub dalam kitab sucinya, menurut
kitab suci agama Yahudi yang disebutkan dalam Perjanjian Lama kitab keluaran
ayat 25 pasal 22: "Bila kamu menghutangi seseorang diantara warga bangsamu
uang, maka janganlah kamu berlaku laksana seorang pemberi hutang, jangan
kamu meminta keuntungan padanya untuk pemilik uang".15 Dan pada pasal 36
disebutkan: " Supaya ia dapat hidup di antaramu janganlah engkau mengambil
bunga uang atau riba dari padanya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu,
supaya saudaramu dapat hidup diantaramu". Namun, orang Yahudi berpendapat
bahwa riba itu hanyalah terlarang kalau dilakukan dikalangan sesama Yahudi, dan
tidak dilarang dilakukan terhadap kaum yang bukan Yahudi. Mereka

3
Gedung Pusat Pengembangan Islam, Buku Pintar BMT Unit Simpan Pinjam dan Grosir, Pinbuk
Jawa Timur (Surabaya, Jl. Dukuh Kupang 122-124), hlm. 11.
4
Ibid.

4
mengharamkan riba sesama mereka tetapi menghalalkannya kalau pada pihak
yang lain. Dan inilah yangmenyebabkan bangsa Yahudi terkenal memakan riba
dari pihak selain kaumnya. Berkaitan dengan kedhaliman kaum Yahudi inilah,
Allah dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 160-161 secara tegas menyatakan
bahwa perbuatan kaum Yahudi ini adalah riba yaitu memakan harta orang lain
dengan jalan batil, dan Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih.
d). Menurut Agama Nasrani
Berbeda dengan orang Yahudi, umat Nasrani memandang riba haram
dilakukan bagi semua orang tidak terkecuali siapa orang tersebut dan dari agama
apapun, baik dari kalangan Nasrani sendiri ataupun non-Nasrani. Menurut mereka
(tokoh-tokoh Nasrani) dalam perjanjian lama kitab Deuntoronomy pasal 23, pasal
19 disebutkan: "Janganlah engkau membungakan uang terhadap saudaramu baik
uang maupun bahan makanan atau apapun yang dapat dibungakan".16
Kemudian dalam perjanjian baru di dalam Injil Lukas ayat 34 disebutkan: "Jika
kamu menghutangi kepada orang yang engkau harapkan imbalannya, maka di
mana sebenarnya kehormatan kamu. Tetapi berbuatlah kebaikan dan berikanlah
pinjaman dengan tidak mengharapkan kembalinya, karena pahala kamu sangat
banyak"5.
Pengambilan bunga uang dilarang gereja sampai pada abad ke-13M. pada akhir
abad ke-13 timbul beberapa faktor yang menghancurkan pengaruh gereja yang
dianggap masih sangat konservatif dan bertambah meluasnya pengaruh mazhab
baru, maka piminjaman dengan dipungut bunga mulai diterima msyarakat. Para
pedagang berusaha menghilangkan pengaruh gereja untuk menjustifikasi
beberapa keuntungan yang dilarang oleh gereja. Ada beberapa tokoh gereja yang
beranggapan bahwa keuntungan yang diberikan sebagai imbalan administrasi dan
kelangsungan organisasi dibenarkan karena bukan keuntungan dari hutang.
Tetapi, sikap pengharaman riba secara mutlak dalam agama Nasrani dengan gigih
ditegaskan oleh Martin Luther, tokoh gerakan Protestan. Ia mengatakan

5
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, hlm. 39

5
keuntungan semacam itu baik sedikit atau banyak, jika harganya lebih mahal dari
harga tunai tetap riba6.
Pada masa jahiliyah istilah riba juga telah dikenal, pada masa itu (jahiliyah) riba
mempunyai beberapa bentuk aplikatif. Beberapa riwayat menceritakan riba
jahiliyah.
Bentuk pertama: Riba Pinjaman, yaitu yang direfleksikan dalam satu kaidah di
masa jahiliyah: "tangguhkan hutangku, aku akan menambahkanya". Maksudnya
adalah jika ada seseorang mempunyai hutang (debitur), tetapi ia tidak dapat
membayarnya pada waktu jatuh tempo, maka ia (debitur) berkata: tangguhkan
hutangku, aku akan memberikan tambahan. Penambahan itu bisa dengan cara
melipat gandakan uang atau menambahkan umur sapinya jika pinjaman tersebut
berupa bintang. Demikian seterusnya7.
Menurut Qatadah yang dimaksud riba adalah orang jahiliyah adalah seorang
laki-laki menjual barang sampai pada waktu yang ditentukan. Ketika tenggang
waktunya habis dan barang tersebut tidak berada di sisi pemiliknya, maka ia harus
membayar tambahan dan boleh menambah tenggatnya8.
Abu Bakar al-Jashshash berkata: seperti dimaklumi, riba dimasa jahiliyah
hanyalah sebuah pinjaman dengan rentang waktu, disertai tambahan tertentu.
Tambahan itu adalah ganti dari rentang waktu. Allah SWT menghapusnya 9.
Menurut Mujahid (meninggal pada tahun 104 Hijriah), menjelaskan tentang riba
yang dilarang oleh Allah SWT, "di zaman Jahiliyah, seseorang mempunyai
piutang dari orang lain. Orang itu berkata kepadamu seperti itulah anda
menangguhkannya dari saya, maka diampuni menangguhkannya."
Bentuk kedua: Pinjaman dengan pembayaran tertunda, tetapi dengan syarat harus
dibayar dengan bunga.
Al-Jassash menyatakan, "Riba yang dikenal dan biasa dilakukan oleh
masyarakat Arab adalah berbentuk pinjaman uang dirham atau dinar yang dibayar

6
8 Gedung Pusat Pengembangan Islam, Buku Pintar BMT Unit Simpan Pinjam dan Grosir,
Pinbuk Jawa Timur , hlm. 12.
7
Abdullah al-Mushlih dan Shalah ash-Shawi, Op. Cit, hlm. 350
8 Syeikh Abul A'la al-Maududi, Op. Cit, hlm. 114.
9 Ibid.

6
secara tertunda dengan bunganya dengan jumlah sesuai dengan jumlah hutang dan
sesuai dengan kesepakatan bersama 10.
Bentuk ketiga: Pinjaman berjangka dan berbunga dengan syarat dibayar perbulan.
Ibnu Hajar al-Haitami menyatakan, "riba nasi’ah adalah riba yang populer di
masa Jahiliyah. Karena biasanya, seseorang meminjamkan uang kepada orang lain
dengan pembayaran tertunda, dengan syarat ia mengambil sebagian uangnya
setiap bulan sementara jumlah uang yang dihutang tetap sampai tiba waktu
pembayaran. Kalau tidak mampu melunasinya, maka diundur dan ia harus
menambah jumlah yang harus dibayar.

2). Tahapan Larangan Riba dalam al-Qur'an


Sudah jelas diketahui bahwa Islam melarang riba dan memasukkannya dalam
dosa besar. Tetapi Allah SWT dalam mengharamkan riba menempuh metode secara
gredual (step by step). Metode ini ditempuh agar tidak mengagetkan mereka yang
telah biasa melakukan perbuatan riba dengan maksud membimbing manusia secara
mudah dan lemah lembut untuk mengalihkan kebiasaan mereka yang telah
mengakar, mendarah daging yang melekat dalam kehidupan perekonomian
jahiliyah. Ayat yang diturunkan pertama dilakukan secara temporer yang pada
akhirnya ditetapkan secara permanen dan tuntas melalui empat tahapan.

a). Tahap pertama


Dalam surat Ar-Rum ayat 39 Allah menyatakan secara nasihat bahwa Allah
tidak menyenangi orang yang melakukan riba. Dan untuk mendapatkan hidayah
Allah ialah dengan menjauhkan riba. Di sini, Allah menolak anggapan bahwa
pinjaman riba yang mereka anggap untuk menolong manusia merupakan cara
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Berbeda dengan harta yang dikeluarkan
untuk zakat, Allah akan memberikan barakah-Nya dan melipat gandakan pahala-
Nya. Pada ayat ini tidaklah menyatakan larangan dan belum mengharamkannya.

10
Abdullah al-Mushlih dan Shalah ash-Shawi, Op. Cit, hlm. 351

7
b). Tahap kedua
Pada tahap kedua, Allah menurunkan surat An-Nisa' ayat 160-161. riba
digambarkan sebagai sesuatu pekerjaan yang dhalim dan batil. Dalam ayat ini
Allah menceritakan balasan siksa bagi kaum Yahudi yang melakukannya. Ayat
ini juga menggambarkan Allah lebih tegas lagi tentang riba melalui riwayat orang
Yahudi walaupun tidak terus terang menyatakan larangan bagi orang Islam. Tetapi
ayat ini telah membangkitkan perhatian dan kesiapan untuk menerima pelarangan
riba. Ayat ini menegaskan bahwa pelarangan riba sudah pernah terdapat dalam
agama Yahudi. Ini memberikan isyarat bahwa akan turun ayat berikutnya yang
akan menyatakan pengharaman riba bagi kaum Muslim.
c). Tahap ketiga
Dalam surat Ali Imran ayat 130, Allah tidak mengharamkan riba secara tuntas,
tetapi melarang dalam bentuk lipat ganda. Hal ini menggambarkan kebijaksanaan
Allah yang melarang sesuatu yang telah mendarah daging, mengakar pada
masyarakat sejak zaman jahiliyah dahulu, sedikit demi sedikit, sehingga perasaan
mereka yang telah biasa melakukan riba siap menerimanya.
d). Tahap keempat
Turun surat al-Baqarah ayat 275-279 yang isinya tentang pelarangan riba
secara tegas, jelas, pasti, tuntas, dan mutlak mengharamannya dalam berbagai
bentuknya, dan tidak dibedakan besar kecilnya. Bagi yang melakukan riba telah
melakukan kriminalisasi. Dalam ayat tersebut jika ditemukan melakukan
kriminalisasi, maka akan diperangi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.

C. Hukum Riba Dan Bunga


Terdapat hukum larangan riba dalam sumber-sumber syariah:

1. Larangan Riba Dalam Al-Quran

Dalam Al-Qur'an, pelarangan riba terdapat dalam empat tahap yang


menggambarkan tingkat pelarangan tersebut. Tahap-tahap tersebut adalah sebagai
berikut:

- Tahap pertama dimulai dalam Surat Ar-Rum (30:39) yang berbunyi, “Dan
sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah,

8
maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan
berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridaan Allah, maka
itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” Di mana disajikan
suatu diskursus tentang riba dalam praktik ekonomi, bertujuan untuk
memancing perhatian dan menyadarkan masyarakat bahwa praktik riba tidak
menciptakan kekayaan. Ayat ini merupakan ayat pertama dalam Al-Qur'an
yang menyinggung masalah riba.
- Tahap kedua terjadi dalam Surat An-Nisa' (4:160-161) yang berbunyi, “Maka
disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka
memakan makanan yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka,
dan karena mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah, dan
disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah
dilarang daripadanya, dan karena memakan harta orang dengan jalan batil.
Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu
siksa yang pedih.” Di mana dijelaskan bahwa riba telah diharamkan dalam
hukum agama-agama terdahulu, terutama dalam konteks Yahudi.
- Tahap ketiga dimulai dalam Surat Ali 'Imran (3:130), ”Wahai orang-orang
yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” Di mana pelarangan
praktik riba yang berlipat ganda ditegaskan.
- Tahap keempat dan terakhir adalah dalam Surat Al-Baqarah (2:275-280),
"Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila. Hal
itu disebabkan mereka berkata: sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
pada hal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Hai
orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika
kamu adalah orang-orang yang beriman. Dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan
tidak pula dianiaya.” Menurut al-Bukhari, ayat dalam Surat Al-Baqarah
(2:275-280) adalah ayat terakhir yang turun kepada Nabi Muhammad SAW,
menegaskan pelarangan riba secara tegas. Di mana pelarangan riba dipertegas,
dan praktiknya dikriminalisasi. Allah dan Rasul-Nya akan memerangi mereka
yang tetap mempraktikkan riba. 11

11Syamsul Anwar, BUNGA DAN RIBA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, Jurnal Tarjih Dan
Pengembangan Pemikiran Islam, Vol. 9 (Januari, 2007), hlm. 7-8.

9
2. Larangan Riba Dalam Sunnah Nabi Saw.

Hadis-hadis yang membicarakan riba banyak jumlahnya. Para ahli


mengkatigorikannya ke dalam empat kategori berikut:

a. Hadis yang mengharamkan riba secara umum dan memandangnya sebagai


suatu dosa besar:

1) Artinya: Dari Jabir (dilaporkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw melaknat


orang yang makan riba, orang yang memberi riba, pencatat riba, dan para saksi
riba; beliau mengatakan: Mereka semua sama [HR Muslim].

2) Artinya: Dari Abu Hurairah (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw bersabda:


Hindarilah tujuh dosa besar yang mencelakakan! Kepada Rasulullah ditanyakan:
Apa dosa-dosa besar dimaksud wahai Rasulullah? Beliau menjawab:
Menyekutukan Allah, melakukan sihir, membunuh secara tanpa hak jiwa yang
diharamkan Allah membunuhnya, makan harta anak yatim, makan riba, lari dari
medan pertempuran, dan mencemarkan nama baik wanita mukmin yang lengah
[Riwayat jamaah ahli hadis, dan lafal ini adalah lafal Muslim].

b. Hadis yang memaknai riba dalam pengertian segala perbuatan haram (riba
dalam arti kiasan):

1) Artinya: Dari 'Abdullah, dari Nabi saw (dilaporkan bahwa) beliau bersabda:
Riba itu tujuh puluh tiga pintu. Yang paling enteng adalah semisal orang yang
berhubungan badan dengan ibunya dan riba paling berat adalah mencemarkan
nama baik seorang muslim [HR al-Hakim, dan ia mengatakan: Ini adalah hadis
sahih berdasarkan syarat kesahihan al-Bukhari dan Muslim, meskipun keduanya
tidak meriwayatkannya].

2) Artinya: Dari Abu Umamah (dilaporkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw


bersabda: Barang siapa memberi syafaat (bantuan) kepada seseorang dan untuk
itu ia menerima hadiah, maka sesungguhnya ia telah mendatangi satu pintu besar
riba [HR Ahmad].

c. Hadis yang melarang riba Jahiliah atau riba hutang pihutang atau disebut juga
riba jali (jelas):

Artinya: Dari Sulaiman Ibn 'Amr, dari ayahnya (dilaporkan bahwa) ia berkata:
Saya mendengar Rasulullah saw bersabda pada waktu Haji Wada: Ketahuilah
bahwa setiap bentuk riba Jahiliah telah dihapus; bagimu pokok hartamu, kamu
tidak menzalimi dan tidak dizalimi [HR Abu Dawud].

10
d. Hadis yang melarang riba jual beli yang disebut juga sebagai riba samar-samar
(riba khafi), yang meliputi riba fadal dan riba nasa:

Artinya: Dari 'Ubadah Ibn al-Samit (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah


saw bersabda: [Pertukarkanlah] emas dengan emas, perak dengan perak,
gandum dengan gandum, jawawut dengan jawawut, kurma dengan kurma, garam
dengan garam secara sama jumlahnya dan kualitasnya serta secara tunai.
Apabila macamnya berbeda, maka perjualbelikanlah sesuai kehendakmu asalkan
secara tunai [HR Jamaah ahli hadis, dan ini adalah lafal Muslim]. Hadis ini
melarang enam macam benda (yang kemudian dikenal dengan benda ribawi)
untuk dipertukarkan secara berlebih dan bila sama jenis dan kualitasnya dan
secara tunda bila tidak sama jenisnya tetapi masih satu kategori. 12

3. Hukum Bunga Sebagai Riba

Lalu adapula kasus riba yang paling banyak diperdebatkan yaitu bunga.
Fatwa-fatwa dan keputusan dari berbagai lembaga Islam pada tingkat
internasional menyatakan bahwa bunga adalah riba. Berbagai argumen telah
banyak dikemukakan. Ahli-ahli ekonomi Islam menyimpulkan alasan-alasan itu
dalam butir-butir singkat sebagai berikut:

1) Transaksi berdasarkan bunga merusak aspek keadilan dalam organisasi


ekonomi, di mana pemilik dana mendapat kembalian tetap yang ditentukan di
muka tanpa mempertimbangkan apakah dananya secara riil menghasilkan
kembalian negatif atau positif, sementara pemakai dana memikul segala risiko
usaha. Dengan demikian, kembalian yang diperoleh pemilik dana lahir secara
terpisah dari proses produksi di mana dana itu merupakan salah satu faktornya.
Dalam hal dana itu tidak produktif, pemilik dana berarti memperoleh
keuntungan yang tidak timbul dari pertambahan produk nasional.
2) Ketidakfleksibelan sistem berbasis bunga dalam menghadapi situasi merugi
dapat membawa kepada kebangkrutan lembaga keuangan yang berarti
kehilangan potensi produktif dan pengangguran.
3) Sistem bunga memperlambat aktivitas investasi karena ia menambah biaya
investasi.

12 Ibid., hlm. 9-11.

11
4) Sistem bunga kurang mendorong inovasi, khususnya bagi usaha-usaha skala
kecil.
Dalam sistem bunga, perhatian institusi keuangan lebih banyak tertuju kepada
pengamanan modal mereka agar pengembalian lancar, dan kurang memperhatikan
usaha yang dibiayai karena kembalinya tidak ditentukan oleh tingkat profitabilitas
usaha tersebut.13

D. Jenis-jenis Riba
Sesuai dengan konteks pengertian dan pelaksanaannya, ada beberapa
penggolongan dari riba menurut jenisnya, yaitu riba fadhli, riba nasi'ah, riba yad,
dan riba qardhli.

1. Riba fadhli

Riba fadhli merupakan sebuah bentuk tambahan yang diisyaratkan dalam tukar
menukar barang yang sejenis atau barter tanpa imbalan tambahan (Muslihun,
2005:135). Perumpamaan dalam riba fadhli adalah menukar beras 10 kg dengan
beras 11 kg. Hal ini termasuk riba fadhli. Tetapi apabila menukar dengan sesuatu
yang tidak sejenis maka hukumnya dibolehkan. Misalnya menukar beras ketan
sebanyak 10 kg dengan beras 12 kg.

Ada enam jenis barang yang termasuk kategori jenis riba, yaitu emas, perak,
gandum, jagung, kurma, dan garam. Jenis barang yang termasuk kategori riba di atas
disebabkan alasan bahwa barang tersebut dapat di takar (makilat) dan ditimbang
(mauzunat). Sementara dari aspek jenis barang, yang termasuk kelompok barang
ribawi adalah pertama, kelompok mata uang/nuqud berupa emas dan perak. Kedua,
makanan seperti gandum, jagung, kurma, dan garam. Alasan diharamkannya kedua
kelompok tersebut adalah karena emas dan perak merupakan alat pembayaran dan
jenis makanan yang diharamkan dikarenakan merupakan makanan pokok yang
dibutuhkan manusia (Antonio, 2011:72).

2. Riba Nasi'ah
Riba Nasi'ah menurut Sayid Sabiq, merupakan tambahan yang disyaratkan
diambil kembali oleh yang memberikan pinjaman sebagai imbalan penundaan
pembayaran. Menurut ulama hanafiah, riba nasi'ah merupakan bentuk jual beli
barter yang tidak ada kelebihan tetapi penyerahan imbalan atau harga diberikan di
akhir. Riba nasi'ah hukumnya haram menurut al-Quran dan fiqih. Riba nasi'ah ini
dikenal juga dengan sebutan riba jahiliyyah. Hal ini dilatarbelakangi kebiasaan

13 Ibid., hlm. 25-26.

12
orang-orang jahiliyyah yang memberikan pinjaman kepada seseorang, dan saat
jatuh tempo, mereka menawarkannya untuk diperpanjang atau tidak sehingga riba
ini beranak pinak. Riba nasi'ah pada saat ini di lembaga-lembaga keuangan atau
perbankan yaitu dengan model pinjaman uang yang pengembaliannya diangsur
dengan bunga bulanan atau tahunan seperti 5%, 10%, dan seterusnya. Praktek
seperti ini jelas menunjukkan riba nasi'ah yang hukumnya dosa.
3. Riba Yad

Riba Yad adalah kegiatan jual beli atau tukar menukar dengan cara
mengakhirkan penerimaan kedua barang yang ditukarkan atau salah satunya tanpa
menyebutkan masanya. Dengan kata lain, jual beli yang dilakukan seseorang
sebelum menerima barang yang dibelinya, kemudian dia tidak boleh menjualnya lagi
kepada siapa pun sebab barang yang dibeli belum diterima dan masih dalam ikatan
jual beli yang pertama. Dengan kata lain, akad sudah final, namun belum ada serah
terima barang (Antonio, 2011:72).

4. Riba Qardli

Riba Qardli adalah semua bentuk praktik hutang piutang yang didalamnya
terdapat motif keuntungan (syarth naf'an) yang kembali kepada pihak pemberi
pinjaman hutang (muqaridl) saja atau sekaligus kepada pihak yang berhutang
(muqtaridl). Secara substansi, riba qardl ini termasuk kategori riba fadhli
dikarenakan keuntungan yang disyaratkan dalam riba qardl adalah bentuk
penambahan atau bunga pada salah satu komoditi ribawi (Tim Lancar Pelangi,
2015:53).

Menurut Ibnu Qoyyim, riba dibagi menjadi dua macam yaitu riba jelas dan riba
samar. Pertama, riba jelas, yang diharamkan karena keadaannya sendiri yaitu riba
nasiah (riba yang terjadi) karena adanya penundaan pembayaran utang. Riba nasi'ah
ini diperbolehkan dalam keadaan darurat (terpaksa). Kedua, riba yang samar, yang
disamarkan karena sebab lain, yaitu riba fadhl. Riba yang terjadi karena adanya
tambahan pada jual beli benda yang sejenis. Riba fadhl ini diharamkan karena
mencegah timbulnya riba nasi'ah. Jadi dalam konteks ini bersifat preventif (Zuhdi,
1989: 137).

Muhammad Rasyid Ridha membagi dua macam yang diharamkan dalam agama,
yakni pertama, diharamkan karena zatnya suatu itu oleh sebab ada bahannya. Ia tidak
diharamkan hanya karena darurat. Contohnya riba nasi'ah. Kedua, diharamkan
karena keadaan lainnya seperti riba fadhl yang diharamkan supaya jangan jadi jalan
atau sebab bagi terjadinya riba nasi'ah. Riba nasi'ah dapat dibolehkan karena darurat
atau karena ada keperluan.

13
Sementara Muhammad Syafi'i Antonio (2011:72) mengelompokkan riba
menjadi dua kelompok, yaitu riba utang dan riba jual beli. Kelompok yang termasuk
dalam riba utang piutang adalah riba qardh dan riba jahiliyah. Riba qardh, suatu
manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang
(munqaridh). Riba jahiliyah, utang dibayar dari pokoknya karena si peminjam tidak
mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan. Sementara kelompok yang
termasuk riba jual beli adalah riba fadhl yang berupa pertukaran antara barang
sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda. Sedangkan barang yang
dipertukarkan itu termasuk dalam jenis ribawi. Riba yang timbul akibat pertukaran
barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya, sama kuantitasnya,
dan sama waktu penyerahannya. 14

E. Dampak Praktik Riba


Dampak adanya riba di tengah-tengah masyarakat tidak saja berpengaruh dalam
kehidupan ekonomi, tetapi dalam seluruh aspek kehidupan manusia:

1. Riba dapat menimbulkan permusuhan antara pribadi dan mengurangi semangat


kerjasama/saling menolong dengan sesama manusia. Dengan mengenakan
tambahan kepada peminjam akan menimbulkan perasaan bahwa peminjam tidak
tahu kesulitan dan tidak mau tahu kesulitan orang lain.
2. Menimbulkan tumbuhnya mental pemboros dan pemalas. Dengan
membungakan uang, kreditur bisa mendapatkan tambahan penghasilan dari
waktu ke waktu. Keadaan ini menimbulkan anggapan bahwa dalam jangka
waktu yang tidak terbatas ia mendapatkan tambahan pendapatan rutin, sehingga
menurunkan dinamisasi, inovasi, dan kreativitas dalam bekerja.
3. Riba merupakan salah satu bentuk penjajahan. Kreditur yang meminjamkan
modal dengan menuntut pembayaran lebih kepada peminjam dengan nilai yang
telah disepakati bersama.
4. Menjadikan kreditur mempunyai legitimasi untuk melakukan tindakan-tindakan
yang tidak baik untuk menuntut kesepakatan tersebut. Karena dalam
kesepakatan, kreditur telah memperhitungkan keuntungan yang diperoleh dari
kelebihan bunga yang akan diperoleh, dan itu sebenarnya hanya berupa
pengharapan dan belum terwujud.

Imam al-Razi seorang mufassir telah memberikan peringatan yang cukup keras
tentang dampak negatif yang ditimbulkan dari praktek riba. Setidaknya ada empat
keburukan riba.

14
Ipandang, Andi Askar, Konsep riba dalam fiqih dan al-qur’an : Studi komparasi, Jurnal Penelitian
Hukum Dan Pendidikan, Vol. 19, No. 2 (Desember, 2020), hlm. 1084-1085.

14
1.) Merampas kekayaan orang lain. Transaksi yang melibatkan bunga sama
halnya dengan merampas harta orang lain. Dalam transaksi satu rupiah
ditukar dengan dua rupiah, baik secara kredit ataupun tunai. Salah satu pihak
menerima kelebihan tanpa mengeluarkan apa-apa. Jenis transaksi ini tidak
adil dan sewenang-wenang dan peminjam menjadi tereksploitasi.
2.) Merusak Moralitas. Hati nurani merupakan cerminan jiwa yang paling
murni dan utuh. Ketulusan seseorang akan runtuh bila egoisme pembungaan
uang sudah merasuk kedalam hatinya. Dia menjadi sangat tega untuk
merampas apa saja yang dimiliki sipeminjam untuk mengembalikan
bayaran bunga yang mungkin sudah berlipat-lipat dari pokok pinjaman.
3.) Melahirkan benih kebencian dan permusuhan. Bila egoisme dan
perampasan harta sipeminjam sudah dihalalkan, maka tidak mustahil akan
timbul benih kebencian dan permusuhan antara sikaya dengan simiskin,
sipemilik modal dengan si peminjam.
4.) Yang kaya semakin kaya, dan simiskin semakin miskin. Pada saat resesi
ekonomi dan tigh money policy atau kebijakan uang ketat, sikaya akan
memperoleh suku bunga yang cukup tinggi. Sementara biaya modal
menjadi sangat mahal, simiskin menjadi tidak mampu meminjam dan tidak
dapat berusaha, akibatnya dia akan semakin jauh tertinggal.

Al-Allamah Ibnu Hajar Al-Haitsami Rahimahullah dalam kitab Az-Zawajir


menyebutkan hikmah diharamkan riba sebagai berikut:

1) Merampas kehormatan harta seorang muslim dengan diambil secara lebih


tanpa ganti.
2) Membahayakan orang miskin karena kebanyakan yang terjadi, bahwa
pemberi hutang adalah orang kaya, sementara yang berhutang adalah orang
miskin. Kalau si kaya diberi kesempatan mengambil harta lebih dari yang
dihutangkan, tentu akan membahayakn si miskin.
3) Terputusnya kebajikan dan amal shalih dalam memberikan pinjaman.
Karena kalau satu dirham harus dibayar dengan dua dirham, tidak mungkin
orang lain bisa memberikan satu dirham saja.
4) Terputusnya mata pencaharian, perniagaan, industri dan perusahaan yang
menentukan kemaslahatan dunia. Karena orang yang sudah terbiasa
menyulap uang satu dirham menjadi dua dirham, bagaimana mungkin akan
mampu menahan kesulitannya berjual beli dan memeras keringat.15

15Syamsul Effendi, Riba dan Dampaknya dalam Masyarakat dan Ekonomi, Jurnal Ekonomi Dan
Bisnis, (2019), hlm. 72-73

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

16

Anda mungkin juga menyukai