Anda di halaman 1dari 13

PANDANGAN ISLAM TERHADAP RIBA DALAM BERMUAMALAH

DISUSUN OLEH :
NAMA : MUHAMMAD FAKHRI FAHRUDDIN
NIS : 189389

KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA


BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA INDUSTRI
SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN SMTI
YOGYAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-
Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta
kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat
nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu
untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai pengganti UAS dari mata
pelajaran Pendidikan Agama Islam dengan judul “Pandangan Islam Terhadap
Riba Dalam Bermuamalah”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Yogyakarta, 26 November 2020


Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk yang tidak bisa hidup sendiri. Untuk itu
diperlukan interaksi sosial antarsesamanya. Bentuk interaksi sosial bisa
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu proses sosial asosiatif dan disasosiatif. Ada
proses asosiatif yang meliputi kerjasama, akomodasi, asimilasi, dan akulturasi.
Ada juga proses disosiatif yang meliputi persaingan, kontravensi, pertikaian,
dan konflik sosial. Salah satu aktivitas tersebut adalah bermuamalah.
Menurut istilah, muamalah adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang
memberi manfaat dengan cara yang ditentukan. Muamalah juga dapat
diartikan sebagai segala aturan agama yang mengatur hubungan antara sesama
manusia, dan antara manusia dan alam sekitarnya tanpa memandang
perbedaan.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia perlu melakukan kegiatan
muamalah (aktivitas ekonomi). Dalam bingkai ajaran Islam, aktivitas ekonomi
yang dilakukan oleh manusia untuk dikembangkan memiliki beberapa kaidah
dan etika atau moralitas dalam syariat Islam. Allah telah menurunkan rezeki
ke dunia ini untuk dimanfaatkan oleh manusia dengan cara yang telah
dihalalkan oleh Allah dan bersih dari segala perbuatan yang mengandung riba.
Gagasan mengenai riba dapat dikatakan telah "klasik" baik dalam
perkembangan pemikiran Islam maupun dalam peradaban Islam karena riba
merupakan permasalahan yang rumit dan sering terjadi pada masyarakat, hal
ini disebabkan perbuatan riba sangat erat kaitannya dengan transaksi-transaksi
di bidang perekonomian (dalam Islam disebut kegiatan muamalah) yang
sering dilakukan oleh manusia dalam aktivitasnya sehari-hari. Beberapa
pemikir Islam berpendapat bahwa riba tidak hanya dianggap sebagai sesuatu
yang tidak bermoral melainkan sesuatu yang menghambat aktifitas
perekonomian masyarakat. Sehingga orang kaya akan semakin kaya
sedangkan orang miskin akan semakin miskin dan tertindas.[ CITATION
Was14 \l 1033 ]
Oleh karena itu, pada makalah ini akan dijelaskan mengenai riba, macam-
macamnya, beserta pandangan Islam mengenai riba, dan suatu permasalahan
mengenai bunga perolehan tabungan.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari makalah ini menjawab permasalahan yang diangkat,
yaitu :
1. Mengetahui yang dimaksud dengan riba
2. Mengetahui macam-macam riba
3. Mengetahui pandangan Islam terhadap riba
4. Mengetahui perbedaan bank syariah dengan bank konvensional
5. Mengetahui boleh atau tidaknya mengambil bunga hasil tabungan di bank
konvensional
C. Permasalahan
Adapun permasalahan yang diangkat dalam makalah ini, yaitu sebagai
berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan riba?
2. Apa saja macam-macam riba?
3. Bagaimana pandangan Islam terhadap riba?
4. Bagaimana perbedaan bank syariah dengan bank konvensional?
5. Apabila menabung di bank konvensional, apakah diperbolehkan untuk
mengambil bunga dari hasil tabungan?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Riba
Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan atau
azziyadah[ CITATION Had93 \l 1033 ] berkembang atau an-numuw,
membesar atau al-'uluw dan meningkat atau al-irtifa'. Sehubungan dengan
arti riba dari segi bahasa tersebut, ada ungkapan orang Arab kuno menyatakan
sebagai berikut; arba fulan 'ala fulan idza azada 'alaihi (seorang melakukan
riba terhadap orang lain jika di dalamnya terdapat unsur tambahan) atau
disebut liyarbu ma a'thaythum min syai'in lita'khuzu aktsara minhu
(mengambil dari sesuatu yang kamu berikan dengan cara berlebih dari apa
yang diberikan). [CITATION Kho96 \l 1033 ]

Sedangkan menurut istilah, riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam


transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil dan bertentangan
dengan prinsip muamalah dalam islam[ CITATION Muh01 \l 1033 ]. Menurut
istilah teknis, riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal
secara batil.riba adalah memakan harta orang lain tanpa jerih payah dan
kemungkinan mendapat resiko, mendapatkan harta bukan sebagai imbalan
kerja atau jasa, menjilat orang – orang kaya dengan mengorbankan kaum
miskin, dan mengabaikan aspek prikemanusiaan demi menghasilkan materi.

Dalam kaitanya dengan pengertian al batil , Ibnu Al- Arabi AlMaliki dalam
kitabnya Ahkam Alquran menjelaskan pengertian riba secara bahasa adalah,
tambahan namun yang di maksud riba dalam ayat qur’ani, yaitu setiap
penambahan yang di ambil tanpa adanya transaksi pengganti atau
penyeimbang yang di benarkan syari’ah. Dengan demikian, secara umum riba
merupakan pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli, maupun
pinjam meminjam.

D. Macam Macam Riba


Para ulama berbeda dalam merinci macam-macam riba, namun secara garis
besar terbagi menjadi dua, yaitu: riba tentang piutang dan riba jual beli. Riba
hutang piutang terbagi lagi menjadi riba qard dan riba jahiliyah. Sedangkan
riba jual beli terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah[ CITATION Kar92 \l
1033 ]
Riba hutang piutang dikeompokkan menjadi dua, yaitu riba qard dan riba
jahiliyah, berikut penjelasannya :
1. Riba Qard, yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang
disyaratkan terhadap yang berhutang (mubtaridh).
2. Riba Jahiliyah, yaitu hutang yang dibayar lebih dari pokoknya, karena si
peminjam tidak mampu bayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
Riba jual beli juga dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu riba fadl dan
riba nasi’ah.
1. Riba Fadhl, yaitu pertukaran antara barang-barang sejenis dengan kadar
atau takaran yang berbeda dan barang yang dipertukarkan termasuk dalam
jenis “barang ribawi”.
2. Riba Nasi’ah, yaitu penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis
barang ribawi dengan jenis barang ribawi lainnya.
Menurut ulama madzhab Hanafi dalam salah satu riwayat dari Imam
Ahmad bin Hambal, riba fadhl hanya berlaku dalam timbangan atau takaran
harta yang sejenis, bukan terhadap nilai harta. Apabila yang dijadikan ukuran
adalah nilai harta, maka kelebihan yang terjadi tidak termasuk riba fadhl.
[ CITATION Muh02 \l 1033 ]
Namun adapula ulama yang berbeda dalam membagi riba dan nama istilah
yang dipergunakannya. Dalam hal ini ulama Syafi’iyah (madzhab Syafi’i)
membaginya menjadi tiga (3), yaitu riba nasi’ah, riba fadhl, dan riba yad.
Menurut jumhur ulama fiqh, riba yad ini termasuk riba nasi’ah, namun bagi
madzhab Syafi’i riba yad dengan riba nasi’ah berbeda, pada riba nasi’ah
ketika terjadi akad, benda yang diakadkan sudah ada dan dapat
diserahterimakan, sedangkan pada riba yad, benda yang diakadkan belum ada
ketika terjadi akad itu.[ CITATION Ghu02 \l 1033 ]

E. Pandangan Islam Terhadap Riba


Sudah jelas diketahui bahwa Islam melarang riba dan memasukkannya
dalam dosa besar. Larangan riba sebagaimana yang termuat dalam Al Qur'an
telah dahului oleh bentuk-bentuk lainnya yang secara moral tidak dapat
ditoleransi. Larangan ini tercermin dalam perilaku sosial ekonomi masyarakat
Makkah pada masa itu, yang secara luas menimbulkan dampak kerugian yang
besar dalam komunitasnya.[ CITATION Abd03 \l 1033 ]
Allah SWT dalam mengharamkan riba menempuh metode secara gredual
(step by step). Metode ini ditempuh agar tidak mengagetkan mereka yang
telah biasa melakukan perbuatan riba dengan maksud membimbing manusia
secara mudah dan lemah lembut untuk mengalihkan kebiasaan mereka yang
telah mengakar, mendarah daging yang melekat dalam kehidupan
perekonomian jahiliyah.

Artinya : “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah
pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa
yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya)” (Q.S Ar-Rum ayat 39)
Ayat ini ditafsirkan menjadi barangsiapa yang memberi pemberian atau
hadiah dengan harapan orang yang diberi akan membalasnya dengan yang
lebih banyak daripada yang telah dia berikan, maka tidak ada pahala baginya
di sisi Allah. Sedangkan zakat dan sedekah yang kalian berikan kepada orang
yang berhak menerimanya demi mengharap pahala dari Allah, maka mereka
yang memiliki derajat yang tinggi itu adalah orang-orang yang dilipat-
gandakan pahalanya.
Ayat tersebut menyatakan bahwa Allah memberi nasihat bahwa Allah tidak
menyukai orang-orang yang melakukan riba dan untuk medapat hidayah
Aallah adalah dengan cara menjauhkan diri dari perbuatan riba. Allah menolak
anggapan bahwa pinjaman riba yang mereka anggap untuk menolong manusia
merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Berbeda dengan harta
yang dikeluarkan untuk zakat, Allah akan memberikan barakah-Nya dan
melipat gandakan pahala-Nya. Pada ayat ini tidaklah menyatakan larangan dan
belum mengharamkannya.
Kemudian ayat kedua yang diturunkan mengenai riba yaitu surah An-Nisa
ayat 160-161, yang berbunyi :

Artinya : “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan


atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi
mereka, dan Karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah.
Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah
dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan
jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di
antara mereka itu siksa yang pedih.” (Q.S An-Nisa ayat 160-161)
Pada tahap kedua, Allah menurunkan surat An-Nisa' ayat 160-161. Riba
digambarkan sebagai hal yang dzhalim dan batil. Allah menggambarkan
balasan siksa terhadap kaum Yahudi yang melakukan riba. Ayat ini juga
menggambarkan Allah lebih tegas lagi tentang riba melalui riwayat orang
Yahudi walaupun tidak terus terang menyatakan larangan bagi orang Islam.
Tetapi ayat ini telah membangkitkan perhatian dan kesiapan untuk menerima
pelarangan riba. Ayat ini menegaskan bahwa pelarangan riba sudah pernah
terdapat dalam agama Yahudi. Ini memberikan isyarat bahwa akan turun ayat
berikutnya yang akan menyatakan pengharaman riba bagi kaum Muslim.
[ CITATION Was14 \l 1033 ]
Kemudian turunlah surat Ali Imran ayat 130, yang berbunyi :

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba


dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah, supaya kamu
mendapat keberuntungan”. (QS. Ali-Imran ayat 130).
Dalam surat Ali Imran ayat 130, Allah tidak mengharamkan riba secara
tuntas, tetapi melarang dalam bentuk lipat ganda. Hal ini menggambarkan
kebijaksanaan Allah yang melarang sesuatu yang telah mendarah daging,
mengakar pada masyarakat sejak zaman jahiliyah dahulu, sedikit demi sedikit,
sehingga perasaan mereka yang telah biasa melakukan riba siap menerimanya.
Terakhir, turunlah ayat berupa larangan untuk melakukan riba, yaitu surah
Al-Baqarah ayat 275-279, dan menyebutkan riba sebagai lawan dari sedekah,
Allah menghapuskan riba dan menyuburkan sedekah.

Artinya : “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah


tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat
dosa.” (QS. Al-Baqarah ayat 276)

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan


tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman.” (QS. Al-Baqarah ayat 278)
Dalam ayat 276 dan 278 Allah SWT menyatakan memusnahkan riba dan
memerintahkan untuk meninggalkan segala bentuk riba yang masih ada. Yang
menjadi tinjauan dalam ayat ini ialah periba itu hanya mencari keuntungan
dengan jalan riba, dan pembangkang sedekah mencari keuntungan dengan
jalan tidak mau membayar sedekah. Oleh karena itu Allah menyatakan riba itu
menyebabkan kurangnya harta dan tidak berkembangnya harta. Sedang
sedekah sebaliknya, yakni dapat menyebabkan bertambah dan berkembangnya
harta.
Jadi, Islam secara tegas, jelas, pasti, tuntas, dan mutlak mengharamkan
segala jenis dan bentuk riba, tidak peduli besar atau kecilnya riba tersebut.
Dan riba termasuk salah satu dosa besar, seperti yang telah diriwayatkan pada
hadist berikut “Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba
sedangkan dia mengetahui, dosanya lebih besar daripada melakukan perbuatan
zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi).
F. Perbedaan Bank Syariah Dan Bank Konvensional
Bank syariah dan konvensional memiliki perbedaan sebagai berikut :
Bank Syariah Bank Konvensional
Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual Memakai perangkat Bunga
beli, atau sewa
Profit and Falah oriented Profit oriented
Hubungan nasabah dalam bentuk Hubungan dengan nasabah dalam
kemitraan bentuk hubungan debitur-debitur
Penghimpunan dan penyaluran dana Tidak terdapat dewan sejenis.
harus sesuai dengan fatwa dewan
pengawas syariah

Selain perbedaan di atas ada beberapa perbedaan lagi antara Bank syariah
dan bank konvensional, Mudrajad Kuncoro (2001) yaitu:
1. Bank Syariah :
a. Besar kecilnya bagi hasil yang diperoleh deposan teragantung pada :
Pendapatan Bank, nisbah bagi hasil antara nasabah dan bank, nominal
deposito nasabah, rata-rata saldo deposito untuk jangka waktu tertentu
yang ada pada bank, Jangka waktu deposito karena berpengaruh pada
lamanya investasi.
b. Bank Syariah memberi keuntungan kepada deposan dengan
pendekatan LDR, yaitu mempertimbangkan rasio antara dana pihak
ketiga dengan pembiayaan yang diberikan.
c. Dalam perbankan Syariah, LDR bukan saja mencerminkan
keseimbangan tetapi juga keadilan, karena bank benar-benar membagi
hasil riil dari dunia usaha (loan) kepada penabung (deposit).
2. Bank Konvensional :
a. Besar kecilnya bunga yang diperoleh deposan tergantung pada :
Tingkat bunga yang berlaku, nominal deposito, jangka waktu deposito.
b. Semua bunga yang diberikan kepada deposan menjadi beban langsung.
c. Tanpa memperhitungkan beberapa pendapatan yang dihasilkan dari
dana yang dihimpun.
d. Konsekwensinya, bank dapat menanggung biaya bunga dari peminjam
yang ternyata lebih kecil dibandingkan dengan kewajiban bunga
deposan. Hal inilah yang disebut dengan spread atau keuntungan
negatif.
G. Bunga Hasil Tabungan di Bank Konvensional
Bunga merupakan tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya
dinyatakan dengan persentase dari uang yang dipinjamkan. Menurut ijma
ulama di kalangaan semua mazhab fiqh bahwa bunga dengan segala
bentuknya termasuk kategori riba. Q.S. Ali Imran ayat 130 merupakan ayat
pertama yang menyatakan secara tegas terhadap pengharaman riba bagi orang
Islam. Larangan ini merujuk kepada apa yang dipraktekkan oleh orang-orang
Arab pada masa itu, dengan cara menambah bayaran jika hutang tidak bisa
dibayar ketika jatuh tempo. Perkataan berlipat ganda dalam ayat ini
merupakan ciri hutang zaman jahiliah yang senantiasa bertambah sehingga
menjadi berlipat ganda. Bukan berarti bunga yang dikenakan yang tidak
berlipat ganda menjadi halal. Quraish Shihab juga menafsirkan bahwa ad’afan
mud’afatan pada ayat ini bukan merupakan syarat. Jadi, walaupun tidak
berlipat ganda berarti bunga tetap tidak halal.
Penafsiran ini, diperkuat dengan ayat-ayat tentang riba yang selanjutnya
Q.S. al-Baqarah ayat 275-276 dan 278-279 (ayat terakhir turun tentang proses
pengharaman riba), telah secara tegas menyatakan setiap tambahan melebihi
pokok pinjaman termasuk riba. Hal ini berlaku bagi setiap bunga baik bersuku
rendah, berlipat ganda, tetap maupun berubah-ubah bahkan sisa-sisa riba
sekalipun dilarang. Ayat ini secara total mengharamkan riba dalam bentuk
apapun. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa bunga dari bank
konvensional merupakan riba dan hukumnya haram. Tidak boleh diambil, dan
apabila dimbil dapat berdosa besar, sehingga disarankan untung menabung di
bank syariah saja.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari pembahasan mengenai permasalahan yang
diangkat, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Secara umum, riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi
jual beli, maupun pinjam meminjam.
2. Riba dibagi menjadi dua bagian, yaitu riba hutang piutang (meliputi riba
qard dan riba jahiliyah) dan riba jual beli (meliputi riba fadhl dan riba
nasi’ah)
3. Riba berdasar sudut pandang Islam merupakan hal yang diharamkan
karena riba sendiri sangat merugikan. Allah mengharamkan segala jenis
transaksi yang mengandung unsur riba karena bersifat dzalim dan tidak
adil. Larangan mengenai riba terdapat dalam Al-Quran surat Al-Baqarah
ayat 275 sampai 279.
4. Perbedaan bank syariah dan bank konvensional secara umum terdapat
pada sistem bagi hasil (bank syariah) dan sistem bunga (bank
konvensional) serta hubungan nasabahnya, kemitraan (bank syariah) dan
hubungan dengan debitur (bank konvensional).
5. Bunga yang didapatkan dari hasil tabungan bank konvensional termasuk
ke dalam riba dan hukumnya haram untuk diambil, sehingga lebih baik
menabung di bank syariah.
H. Saran
Saran yang bisa penulis berikan adalah perlu adanya studi lanjutan
mengenai jenis-jenis riba, contoh, beserta pebedaan dari masing-masing riba
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran dan Terjemahan


Al-Hadist
Antonio, M. S. (2001). Bank Syariah : dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema
Insani.
Atmaja, K. P., & Antonio, M. (1992). Apa dan Bagaimana Bank Islam. Jakarta:
Dana Bakti Wakaf.
Chair, W. (2014). Riba dalam Perspektif Islam. Iqtishadia, 98-113.
Hadi, A. S. (1993). Bunga Bank dalam Islam. (M. Thalib, Trans.) Surabaya: Al-
Ikhlas.
Mas’adi, G. A. (2002). Fiqh Muamalah Kontekstual . Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Muhammad. (2002). Manajemen Bank Syari’ah. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Mudrajad Kuncoro dan Suhardjono. (2002). Manajemen Perbankan Teori dan
Aplikasi, Edisi pertama. Yogyakarta : BPFE.
Nasution, K. (1996). Riba dan Poligami Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad
Abduh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Academia.
Saeed, A. (2003). Islamic Banking and Interest a Study of The Prohibition of Riba
and It's Contemporary Interpretation. (M. U. et.al., Trans.) Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Tafsir al-Mukhtashar diterbitkan oleh Markaz Tafsir Lid Diraasatil Qur’aniyyah –


Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid (Imam
Masjidil Haram)

Anda mungkin juga menyukai