Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

JUAL BELI YANG DILARANG (RIBA, GHOROR DAN MAISIR)


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. H. Moh Bahrudin, M. Ag

Disusun Oleh Kelompok 4:

Fika Oktariana S 2251020064

Indra Al Fitara 2251020232

Bangun Yustia 2251020024

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

RADEN INTAN LAMPUNG

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Prof. Dr. H.
Moh Bahrudin, M. Ag. selaku dosen pada mata kuliah Kuliah Fiqih Muamalah. Selain
itu,makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang “JUAL BELI YANG
DILARANG (RIBA, GHOROR DAN MAISIR)” bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Bandar Lampung. 14 Oktober 2023

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 2
C. Tujuan ................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 3

A. Pengertian Riba ..................................................................................................... 3


B. Pengertian Gharar ................................................................................................. 7
C. Pengertian Maisir .................................................................................................. 9

BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 13

A. Kesimpulan ......................................................................................................... 13
B. Saran ................................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang syamil, yang mencangkup segala permasalahan
manusia, tak terkecuali dengan jual beli. Jual beli telah disyariatkan dalam Islam dan
hukumnya mubah atau boleh, berdasarkan Al Quran, sunnah, ijma’ dan dalil aqli.
Allah Swt membolehkan jual-beli agar manusia dapat memenuhi kebutuhannya
selama hidup di dunia ini.
Namun dalam melakukan jual-beli, tentunya ada ketentuan-ketentuan ataupun
syarat-syarat yang harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar. Seperti jual beli yang
dilarang yang akan kita bahas ini, karena telah menyelahi aturan dan ketentuan dalam
jual beli, dan tentunya merugikan salah satu pihak, maka jual beli tersebut dilarang.1
Bila telah dipahami bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, maka
hal yang semestinya dikenali adalah hal-hal yang menjadikan suatu perniagaan
diharamkan dalam Islam. Karena hal-hal yang menyebabkan suatu transaksi dilarang
sedikit jumlahnya, berbeda halnya dengan perniagaan yang dibolehkan, jumlahnya
tidak terbatas.
Walaupun Islam mendorong umatnya untuk berdagang, bukan berarti dapat
dilakukan sesuka dan sekehendak manusia, seperti lepas kendali. Adab dan etika
bisnis dalam Islam harus dihormati dan dipatuhi jika para pedagang dan pebisnis ingn
termasuk dalam golongan para Nabi, Syuhada dan Shadiqien.
Dalam pandangan Islam bisnis merupakan sarana untuk beribadah kepada
Allah dan merupakah fardlu kifayah, oleh karena itu bisnis dan perdagangan (jual
beli) tidak boleh lepas dari peran Syari’ah Islamiyah. Sistem Islam melarang setiap
aktivitas perekonomian, tak terkecuali jual beli perdagangan) yang mengandung unsur
paksaan, mafsadah (lawan dari manfaat), dan gharar (penipuan). Sedangkan, bentuk
perdagangan Islam mengijinkan adanya sistem kerja sama (patungan) atau lazim
disebut dengan syirkah.

1
Syeikh Hassan Ayob, Fiqh Muamalah, (Puchong, Sel.: Berlian Publications SDN. BHD., Cet. Pertama, 2008),
hlm 309.

1
Dalam kaitannya dengan jual beli yang terlarang dalam islam, hal ini lah yang
melatar belakangi adanya pembahasan ini dimana munculnya konsep jual beli yang
dilarang, faktor-faktor penyebab larangan jual beli dalam Islam, serta hikmah dari
kegiatan jual beli.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Yang Dimaksud Dengan Riba?
2. Apa Yang Dimaksud Dengan Ghoror?
3. Apa Yang Dimaksud Dengan Maisir?

C. Tujuan
1. Mempelajari Tentang Riba
2. Mempelajari Tentang Ghoror
3. Mempelajari Tentang Maisir

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Riba
Kata riba berasal dari bahasa arab,yang secara etimologi berarti tambahan atau
kelebihan. Ada pendapat lain mengatakan riba berarti perbuatan mengambil harta
orang lain tanpa adanya imbalan yang memadainya. Ada beberapa ayat alquran yang
mempunyai arti tambahan. Misalnya, (QS. Al-Hajj-5).

‫ا َىر َ َتو‬ ‫زَ ًَ ََز َۤ مة َْ َاهَ َي َلة َ َ َنلَ َزنَة َٓ دةذَََ ً د‬


َ ‫َةََِا َ َ َ َ َر‬ َ ‫ْ َ َّل‬
‫ر‬َ َ‫ر َى َرب‬ َ َ َْْۢ‫ْ ِّ دل دَ َن َىَ َ ب َن‬ ‫َه ٍَۢ َى ب و‬
‫بَ دلي و‬
“Dan kamu lihat bumi itu kering, kemudian apabila telah kami turunkan air diatasnya,
hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuhan
tumbuhan yang indah”.

Pengertian diatas masih sangat umum siifatnya, dan belum menentukan jenis
riba apa yang diharamkan. Barulah ulama membuat arti istilah darikata riba.Yaitu
bunga kredit yang harus diberikan oleh orang yang berhutang atau yang popular
disebut kreditur kepada orang yang piutang debitur, sebagai imbalan, untuk
menggunakan sejumlah uang milik debitur dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.

Beberapa pemikiran islam berpendapat bahwa riba tidak hanya dianggap


sebagai sesuatu yang tidak bermoral akan tetapi merupak sesuatu yang menghambat
aktifitas perekonomian masyarakat, sehingga orang kaya akan semakin kaya
sedangkan orang miskin akan semakin miskin dan tertindas.2 Semakin lama lembaga
ini mengalami perkembangan yang pesat.Adapun fungsi banksebagaimana
diformulasikan ahli ekonomi, bertujuan untuk memajukan perekonomian atau
kesejahteraan masyarakat secara umum dan khususnya pihak pihak yang terlibat
dalam lembaga perbankan.3

2
Pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis: Kata Jual beli terdiri dari dua suku kata yaitu jual dan beli. Sebenarnya kata
“jual” dan “beli” mempunyai arti satu sama lainnya bertolak belakang. Lihat. (Hukum Perjanjian Dalam Islam),
hal. 33
3
Abdullah al-Mushlih dan Shalah ash-Shawi, hlm. 345.

3
Pendapat Muhammad Abduh, yang terdapat dalam Tafsir Al-Manar beliau
memberikan tiga alasan pendapat ijtihadnya tentang riba, yang diharamkan
menurutnya yaitu riba Ad’afan dan Muda’afah yang artinya berlipat ganda. Akan
tetapi ada sumber lain yang menyatakan bahwa fatwa-fatwanya itu didasarkan sebagai
amarah, yang mana Muhammad Abduh menyebutkan bahwa menyimpan uang di
Bank dengan kata lain menghalalkan bunga tabungan. Adapun larangan riba menurut
Muhammad Abduh, disebabkan oleh unsur bunga tambahan yang sebelumnya tidak
ada kesepakatan dan itu yang termasuk kedalam pemerasan secara eksploitasi.

Dalam merumuskan hukum Fiqih Islam, ulama biasanya memuat pandangan


dari empat mazhab besar yaitu, Syafi’i, Hambali, Maliki, dan Hanafi. Walaupun
dengan detail berbeda, keempatnya memiliki persamaan dalam merumuskan
pengertian riba.4 Riba adalah praktik merugikan yang secara khusus terjadi pada akad
(perjanjian) yang berbasis pertukaran atau barter. Kegiatan barter atau tukar menukar
ini bersifat identik dengan jual beli. Secara tidak langsung diklasifikasikan bahwa riba
dalam transaksi jual beli lahir akibat kelebihan takaran pada salah satu barang yang
ditukar, penambahan harga akibat penundaan, dan penyerahan harga yang tidak
kontan.

1. Dasar Hukum Riba


Pada zaman dahulu kegiatan berdagang atau kepemilikan barang dilakukan
dengan cara barter. Kini uang tunai, kartu kredit dan uang elektronik menjadi alat
pembayaran umum. Alat pembayaran tersebut harus hati-hati penggunaannya agar
tidak terjerumus riba. Karena, segala macam transaksi riba adalah haram hukumnya
berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadits dan ijma’ (kesepakatan ulama). Dengan demikian,
penting kiranya kita mengenali transaksi riba dalam jual beli.5
Allah SWT menurunkan surat Al-Baqarah ayat 275-279 yang tertulis secara
tegas dan jelas bahwa riba adalah haram. Allah berfirman:

4
Wahbah Zulhaili, Fiqh Muamalah Perbankan Syariah (Al Fiqhu Islam wa Adillatuhu), Jakarta: Kapita
Selekta, 1999, hlm. 83-91.
5
Yusuf Al Subaily, Pengantar Fiqh Muamalat Dan Aplikasinya Dalam Ekonomi Modern, Pasca Sarjana
Universitas Islam Imam Muhammad Saud, Riyadh., hlm 20.

4
ُ َّ‫ِى يَت َ َخب‬
ُ ‫طه‬ ِ َ‫اَلَّذ ِۡينَ يَ ۡا ُكلُ ۡون‬
ۡ ‫الر ٰبوا ََل يَقُ ۡو ُم ۡونَ اِ ََّل َك َما يَقُ ۡو ُم الَّذ‬
ِ ‫ش ۡي ٰط ُن ِمنَ ۡال َم ِسؕ ٰذ ِل َك ِباَنَّ ُه ۡم قَالُ ۡۤۡوا اِنَّ َما ۡالبَ ۡي ُع ِم ۡث ُل‬
ۘ ‫الر ٰبوا‬ َّ ‫ال‬
‫ٌَ ِم ۡن ََّّ ِبه‬ ِ ‫ّٰللاُ ۡالبَ ۡي َع َو َح َّر َم‬
َ ِِ ‫الر ٰبوا ََ َم ۡن ََا ء ََٗ َم ۡو‬ ‫َوا َ َح َّل ه‬
ُ ٰ‫ولء ِٕٮ َك اَصۡ ح‬
‫ب‬ ٰ ُ ‫ّٰللاؕ َو َم ۡن َِادَ ََا‬
ِ ‫ف َوا َ ۡم ُر ۤۡٗ اِلَى ه‬ َ ‫ََ ۡانت َ ٰهى ََلَه َما‬
َ َ ‫سل‬
٢٧٥ َ‫اَّؕ ُه ۡم َِ ۡي َها ٰخ ِلد ُۡون‬
ِ َّ‫الن‬

“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti


berdirinya orang yang kesurupan setan karena gila.1 Yang demikian itu karena
mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan
dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah di perolehnya dahulu menjadi
miliknya2 dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka
mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
Allah melarang riba secara mutlak dan keseluruhan, meskipun jumlahnya
sedikit. Dalam ayat tersebut, Allah dan Rasul-Nya akan memerangi mereka yang
dengan jelas melakukan riba. Orang yang mengambil riba adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan
sedekah. Ayat tersebut merupakan sedikit dari banyak ayat dalam Al-Qur’an yang
melarang keras praktek riba.
Tidak dipungkiri, secara umum riba sangat merugikan orang yang sedang
berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan, larangan mengenai riba sebetulnya
tidak hanya dikenal dalam agama Islam saja karena konsepnya merugikan. Berikut ini
adalah beberapa alasan mengapa riba diharamkan:
 Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta orang lain tanpa ganti. Sebab
orang yang meminjamkan satu kali jumlah uang dengan dua kali jumlah uang,
maka orang tersebut mendapatkan keuntungan tanpa ganti. Sedangkan, satu kali
keuntungan tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidup pihak yang dipinjami.

5
 Kedua, Bergantung kepada riba dapat membuat orang malas bekerja. Orang
yang terjerumus dalam praktek riba menganggap mendapatkan uang adalah cara
yang mudah. Hal tersebut dilakukan dengan membebankan keuntungan pada
orang lain.
 Ketiga, Riba akan menyebabkan terputusnya sikap belas kasih antara sesama
manusia dalam membantu. Membantu pihak yang sedang membutuhkan adalah
kewajiban dalam berhubungan sosial. Dengan adanya riba, semangat saling
bantu dapat pudar.
 Keempat, memperdalam ketimpangan sosial. Biasanya, pihak yang mengambil
keuntungan memiliki tingkat kehidupan yang lebih sejahtera. Jeratan tambahan
nilai barang atau hutang dapat memperparah keadaan orang yang lebih
membutuhkan.
2. Macam – macam Riba Dan Contohnya
Dalam kegiatan jual beli pasti Anda mengharapkan keuntungan dari perjanjian
pertukaran barang yang manfaatnya sama-sama disepakati pihak penjual dan pembeli.
Dalam riba, salah satu pihak menginginkan keuntungan dengan cara yang merugikan
seperti menaikkan harga barang dari penundaan pembayaran tetapi mengandung
unsur eksploitasi atau penindasan melalui perjanjian (akad) yang tidak jelas. Praktik
tersebut merupakan salah satu contoh dari jenis riba. Riba secara garis besar terbagi
ke dalam 4 bentuk yaitu, Al – Qardh, Al – Fadhl, Al – Yad, dan An – Nasiah.
a. Al-Qardh
Riba Qardh adalah Riba dari akibat praktek utang piutang yang
disyaratkan adanya tambahan pada pengembalian dengan konsekuensi waktu.
Singkatnya, riba ini terjadi apabila pemberi utang mengambil kelebihan dari
penerima hutang. Contohnya, rentenir yang meminjamkan uang sebesar Rp 10
juta dengan syarat bunga tidak wajar sebanyak 20 persen selama 5 bulan.
b. Al-Fadhl
Riba yang terjadi ketika ada tindakan jual beli atau pertukaran barang
sejenis dengan berbeda takaran atau kadar. Misalnya, seseorang ingin menukar
1 zak semen kualitas buruk dengan 2 zak semen kualitas buruk.
Hal tersebut termasuk dalam riba fadhl karena timbangannya tidak
seimbang. Untuk menghindarinya, lebih baik masing-masing pihak saling
membeli sesuai dengan jumlah harga yang sebenarnya.

6
c. Al-Yad
Riba Yad adalah riba yang diakibatkan oleh kegiatan jual beli dengan
perbedaan nilai ketika terjadi penundaan transaksi. Dengan kata lain, pada saat
transaksi tidak ada ketegasan terhadap nominal pembayaran dan tidak ada
kesepakatan mengenai kapan serah terima barang.
Sebagai contoh, ada seseorang yang ingin menjual motornya. Ia
memberi penawaran harga Rp20 juta jika dibeli tunai dan Rp25 juta jika dibeli
dengan sistem pembayaran dicicil. Kemudian, penjual dan pembeli tidak tegas
dalam menentukan berapa yang harus dibayarkan berkala hingga akhir
transaksi.
d. An-Nasi’ah
Riba nasi’ah atau riba di kalangan ahli tafsir juga disebut dengan riba
jahiliyah merupakan salah satu jenis riba yang diakibatkan oleh proses jual
beli atau pertukaran barang yang tidak sejenis dan dilakukan secara hutang,
dengan adanya tambahan nilai transaksi ketika terdapat penangguhan waktu
pembayaran.
Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar Rp5 juta dengan jangka
pembayaran selama 2 bulan. Apabila waktu pengembalian melebihi waktu
yang sudah ditetapkan, maka cicilan pembayaran akan ditambah Rp200 ribu
setiap bulannya. Tambahan uang tersebut dipungut karena alasan tertundanya
pelunasan hutang sehingga perlu daur ulang dengan tempo yang baru.

Contoh Dari Riba

Pemberian utang Rp100 juta oleh rentenir, namun disertai bunga 20% dalam
waktu 6 bulan. Riba adalah tambahan atau kelebihan jumlah pelunasan utang yang
telah melebihi pokok pinjaman.

B. Pengertian Ghoror
Gharar merupakan larangan utama kedua dalam transaksi muamalah setelah
riba. Penjelasan pasal 2 ayat (3) peraturan Bank Indonesia no.10/16/PBI/2008 tentang
perubahan atas peraturan Bank Indonesia no.9/19/PBI?2007 tentang pelaksanaan
prinsip syari’ah dalam kegiatan penghipunan Dana dalam penyaluran Dana serta
pelayanan Jasa Bank Syari’ah memberikan pengertian mengenai Gharar sebagai
transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya,

7
atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam
syari’ah. Gharar mengacu pada ketidakpastian yang disebabkan karena ketidakjelasan
berkaitan dengan objek perjanjian atau harga objek yang diperjanjikan dalam akad.
Sedangkan definisi menurut beberapa Ulama:6
a. Imam syafi’i : Gharar adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam
pandangan kita dan akibat yang paling mungkin muncul adalah yang paling
kita takuti (tidak dihendaki).
b. Wahbah al-Zuhaili: Gharar adalah penampilan yang menimbulkan kerusakan
atau sesuatu yang tampaknya menyenangkan tetapi hakikatnya menimbulkan
kebencian.
c. Ibnu Qayyim: Gharar adalah yang tidak bisa diukur penerimaannya, baik
barang itu ada maupun tidak ada, seperti menjual hamba yang melarikan diri
dan unta yang liar.
d. Imam Malik mendefinisikan Gharar sebagai jual beli objek yang belum ada
dan dengan demikian belum dapat diketahui kualitasnya oleh pembeli.
Contohnya : jual beli budak yang melarikan diri, jual beli binatang yang telah
lepas dari tangan pemiliknya, atau jual beli anak binatang yang masih dalam
kandungan induknya. Menurut Imam Malik, jual-beli tersebut adalah jual-beli
yang haram karena mengandung unsur untung-untungan.

1. Dasar Hukum Gharar


Dalam syari’at Islam, jual-beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama dalam hadis Abu Hurairah yang artinya:
“Rasulullah melarang jual-beli al-hashah dan jual beli gharar.” Berdasarkan
hukumnya gharar terbagi menjadi tiga:7
a. Gharar yang diharamkan secara ijma ulama, yaitu gharar yang menyolok (al-
gharar al-Katsir) yang sebenarnya dapat dihindari dan tidak perlu dilakukan.
Contoh jual-beli mulamasah, munabadzah, bai’ al-hashah, bai’ al-malaqih, bai’
al-madhamin, dan jenisnya. Tidak ada perbedaan pendapat ulama tentang
keharaman dan kebatilan akad seperti ini.

6
Azyumardi Azra, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, (Depok:
Gramata Publishing, 2010), hlm 161.
7
Ash-Shawi, Muhammad Shalah Muhammad, Problematika Investasi pada Bank Islam Solusi Ekonomi;
Penerjemah: Rafiqah Ahmad, Alimin (Jakarta: Migunani. 2008) h. 289

8
b. Gharar yang dibolehkan secara ijma ulama, yaitu gharar ringan (algharar al-
yasir). para ulama sepakat, jka suatu gharar sedikit maka ia tidak berpengaruh
untuk membatalkan akad. Contoh seseorang membeli rumah dengan tanahnya.
c. Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian pertama
atau kedua? Misalnya ada keinginan menjual sesuatu yang terpendam ditanah,
seperti wartel, kacang tanah, bawang dan yang lainlainnya. Para ulama sepakat
tentang keberadaan gharar dalam jual beli tersebut, namun masih berbeda
dalam menghukuminya. Adanya perbedaan ini, disebabkan sebagian mereka
diantaranya Imam Malik memandang ghararnya ringan, atau tidak mungkin
dilepas darinya dengan adanya kebutuhan menjual, sehingga
memperbolehkannya. Karena nampak adanya pertaruhan dan menimbulkan
sikap permusuhan pada orang yang dirugikan. Yakni bisa menimbulkan
kerugian yang besar pada pihak lain. Oleh karena itu dapat dilihat adanya
hikmah larangan jual beli tanpa kepastian yang jelas (gharar). Dimana dalam
larangan ini mengandung maksud untuk menjaga harta agar tidak hilang dan
menghilangkan sikap permusuhan yang terjadi pada orang akibat dari jenis
jual beli ini.8
2. Macam-macam Gharar Dan Contohnya
Dapat kita pahami bahwa melakukan jual-beli dengan unsur gharar artinya
sama dengan melakukan transaksi yang melanggar ajaran Islam.
Oleh sebab itu, Anda perlu mengantisipasinya dengan mengetahui macam-
macam gharar itu ada 4 sebagai berikut:9
a. Jual-beli barang yang belum ada (Ma’dum), seperti seperti jual-beli habal al-
habalah (janin dari hewan ternak).
b. Jual-beli barang yang tidak jelas (majhu) baik yang mutlak, seperti pernyataan
seseorang: “saya menjual barang dengan harga seribu rupiah,” tetapi
barangnya tidak diketahui secara jelas, atau seperti ucapan seseorang: “aku
jual mobilku ini kepadamu dengan harga sepuluh juta,” namun jenis dan sifat-
sifatnya tidak jelas, seperti ucapan seseorang: “aku jual tanah kepadamu
seharga lima puluh juta”, namun ukuran tanahnya tidak diketahui.

8
Erwandi Tarmizi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, (Bogor: PT. Berkat Mulia Insani, 2014), hlm. 138.
9
Deden Kushendar, Ensiklopedi Jual Beli Dalam Islam, 2010, hlm. 126-127

9
c. Jual-beli barang yang tidak mampu diserahterimakan. Seperti jual-beli budak
yang kabur, atau jual-beli mobil yang dicuri. Ketidakjelasan ini juga terjadi
pada harga, barang dan pada akad jual-belinya.
d. Jual beli benda yang sifatnya tidak jelas adalah transaksi tanpa kejelasan sifat
objek. Contoh yang dapat Anda jumpai adalah menjual mangga yang masih
berada di pohon dengan klaim bahwa rasa buahnya manis. Padahal, penjual
belum memetik dan mencicipinya.

Contoh Dari Gharar

Ketika benda yang dijual belum tersedia. Misalnya, membeli anak sapi di
perut tanpa menginginkan induknya juga. Contoh lainnya, menjual burung di angkasa,
sedangkan tidak jelas apakah penjual dapat menangkapnya atau tidak.10

C. Pengertian Maisir
Maisir adalah transaksi yang digantungkan pada suatu keadaan yang tidak
pasti dan bersifat untung-untungan. Identik dengan kata maisir adalah qimar. Menurut
Muhammad Ayub, baik maisir maupun qimar dimaksudkan sebagai permainan
untung-untungan (game of cance). Dengan kata lain, yang dimaksudkan dengan
maisir adalah perjudian.
Kata maisir dalam bahasa Arab secara harfiah adalah memperoleh sesuatu
dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja.
Yang biasa disebut berjudi. Judi dalam terminologi agama diartikan sebagai “suatu
transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa
yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan
transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau kejadian tertentu”.11
Agar bisa dikategorikan judi harus ada tiga unsur untuk dipenuhi: pertama,
adanya taruhan harta/materi yang berasal dari kedua pihak yang berjudi. Kedua,
adanya suatu permainan yang digunakan untuk menetukan pemenang dan yang kalah.
Ketiga, pihak yang menang mengambil harta (sebagian/seluruhnya) yang menjadi
taruhan, sedangkan pihak yang kalah kehilangan hartanya.

10
9 Muhammad Tahir Mansoori, Kaidah-Kaidah Fiqih Keuangan dan Transaksi Bisnis, (Bogor: Ulil Albaab
Institute, 2010), Cet. 1., hlm. 180.
11
Ibid, Azzam Abdul, Aziz Muhammad, h. 217.

10
Contoh maisir ketika jumlah orang-orang masing-masing kupon togel dengan
‘harga’ tertentu dengan menembak empat angka. Lalu diadakan undian dengan cara
tertentu untuk menentukan empat angka yang akan keluar. Maka ini adalah undian
yang haram, sebab undian ini telah menjadi bagian aktifitas judi. Didalamnya ada
unsur taruhan dan ada pihak yang menang dan yang kalah, dimana yang menang
materi yang berasal dari pihak yang kalah. Ini tidak diragukan lagi adalah karakter-
karakter judi yang najis.
1. Dasar Hukum Maisir
Niat tidak menghalalkan cara berjudi untuk membantu orang yang
memerlukan. Al-Maysir (perjudian) terlarang dalam syariat Islam, dengan dasar Al
Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’. Dalam al-Qur’an terdapat firman Allah:

‫َةٱ َى ََز َۤ َيْدت ََزْ ََۤت دانَّ َۤة ََْ ََن ََ ََ َزَّيدأنَ هأََيَأَٰٓ َلة‬ َ ‫َى ََاَن‬
‫ج َى ََا َ ٍَۢ هزَٱ‬ ِ ‫ْ دن َا َۤ د د لَ َن در َس‬ َ ‫ن َي ه‬ َ َٓ ‫ر َن دهَِفَ زَمَهَّل َٱ‬
َّ ‫هسَْندَْۢٱ َز‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung.” (QS.
Al-Maidah:90)

Dari as-Sunnah, terdapat sabda Rasulullah SAW “Barangsiapa yang


menyatakan kepada saudaranya, ‘mari aku bertaruh denganmu’ maka hendaklah dia
bersedekah” (HR. Bukhari- Muslim)
Dalam hadis ini Nabi Muhammad SAW menjadikan ajakan bertaruh baik
dalam pertaruhan atau muamalah sebagai sebab membayar kafarat dengan sedekah,
ini menunjukkan keharaman pertaruhan.
2. Dampak Negatif Maisir Dan Contohnya
Maysir, atau perjudian, memiliki dampak negatif yang signifikan dalam
kehidupan seseorang. Berikut adalah penjelasan lengkap mengenai dampak
negatif maysir:

11
1) Kerugian Finansial karena Kezaliman
Salah satu dampak negatif utama dari maysir adalah kerugian finansial
yang signifikan. Oleh karena Mengingat maysir didasarkan pada
keberuntungan dan spekulasi, orang yang terlibat dalam praktik ini
seringkali mengalami kerugian besar. Mereka mungkin dapat kehilangan
uang mereka dalam jumlah yang signifikan, mengalami kebangkrutan,
atau terjerat dalam utang yang sulit dilunasi. Praktik maysir juga
seringkali melibatkan kezaliman, di mana orang yang kalah taruhan
mungkin dipaksa untuk membayar hutangnya dengan cara yang tidak adil
atau tidak bermoral.
2) Ketergantungan atau Kecanduan
Maysir dapat menyebabkan ketergantungan atau kecanduan yang
serius. Karena perjudian melibatkan faktor keberuntungan yang tidak
dapat diprediksi, beberapa orang mungkin tergoda untuk terus berjudi
dengan harapan mendapatkan kemenangan besar. Namun, dalam
prosesnya, mereka dapat menjadi terjebak dalam lingkaran kecanduan di
mana mereka tidak bisa mengendalikan kebiasaan berjudi mereka.
Ketergantungan pada maysir dapat merusak keuangan, hubungan sosial,
dan kesehatan mental seseorang.
3) Masalah Kesehatan Mental
Partisipasi dalam maysir juga dapat menyebabkan masalah kesehatan
mental yang serius. Stres, kecemasan, depresi, dan perasaan putus asa
adalah beberapa dampak negatif yang seringkali dialami oleh individu
yang terjebak dalam praktik perjudian.
Ketika seseorang kehilangan uang atau mengalami kerugian
akibat maysir, hal ini dapat memicu tekanan emosional yang kuat dan
merusak stabilitas mental mereka.
4) Kerusakan Hubungan Sosial
Maysir dapat menyebabkan kerusakan hubungan sosial yang
signifikan. Ketika seseorang terlibat dalam perjudian, mereka mungkin
mengabaikan kewajiban sosial, seperti keluarga, teman, atau pekerjaan.
Mereka mungkin menghabiskan waktu dan sumber daya mereka dalam
aktivitas perjudian, yang mengakibatkan jarak antara mereka dan orang-
orang terdekat mereka.
12
Konflik, ketidakpercayaan, dan isolasi sosial sering kali merupakan
hasil dari kerusakan hubungan yang disebabkan oleh maysir.
5) Kriminalitas
Maysir juga dapat menjadi pemicu untuk terlibat dalam tindakan
kriminal. Beberapa orang yang kehilangan uang mereka dalam praktik
perjudian mungkin merasa putus asa dan tergoda untuk mencuri,
melakukan penipuan, atau terlibat dalam kegiatan ilegal lainnya untuk
mendapatkan uang dengan cepat. Selain itu, praktik perjudian ilegal atau
tidak diatur juga dapat memicu pertumbuhan aktivitas kriminal di
masyarakat.

Contoh Dari Maisir

Maysir tak hanya terbatas pada judi atau taruhan, namun juga meliputi beberapa
transaksi yang mengandung unsur-unsur sebagaimana disebutkan di atas, yakni
sebagai berikut,

 Game online dengan konsep taruhan seperti Higgs Domino.

 SMS berhadiah dan kuis yang dilakukan melalui telepon, sebagaimana diatur
dalam Fatwa MUI nomor 9 tahun 2008.

 Taruhan dalam bentuk togel dengan skema transaksi pembelian kupon dan
menebak beberapa digit angka.

 Asuransi konvensional juga seringkali dianggap mengandung maysir karena


terdapat spekulasi atas suatu sebab yang belum tentu terjadi di masa depan.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Riba secara bahasa berarti penambahan, pertumbuhan, kenaikan, dan
ketinggian. Sedangkan menurut syara’, riba berarti akad untuk satu ganti
khusus tanpa diketahui perbandingannya dalam penilaian syariat ketika
berakad atau bersama dengan mengakhirkan kedua ganti atau salah satunya.
Hukum Riba adalah haram. Dalil dari al-Qur’an: “Hai orang-orang yang
beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
(QS.Ali-Imran:130) kemudian surah Al-Baqarah: 275 “Dan Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Dalil dari Hadis: “Dari
Jabir, Rasulullah melaknat riba, yang mewakilkannya, penulisnya dan yang
menyaksikannya.” (HR. Muslim)
2. Gharar adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan
akibat yang paling mungkin muncul adalah yang paling kita takuti (tidak
dihendaki). Dalam syari’at Islam, jual-beli gharar ini terlarang. Dengan dasar
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama dalam hadis Abu Hurairah
yang artinya: “Rasulullah melarang jual-beli al-hashah dan jual beli gharar.”
3. Maisir adalah transaksi yang digantungkan pada suatu keadaan yang tidak
pasti dan bersifat untung-untungan. Al-Maysir (perjudian) terlarang dalam
syariat Islam, dengan dasar al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’. Dalam alQur’an
terdapat firman Allah yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman!
Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syetan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung.” (QS. Al-
Maidah:90). Dari as-Sunnah, terdapat sabda Rasulullah SAW “Barangsiapa
yang menyatakan kepada saudaranya, ‘mari aku bertaruh denganmu’ maka
hendaklah dia bersedekah” (HR. Bukhari- Muslim).

14
B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini maupun dalam penyajiannya kami selaku
manusia biasa menyadari adanya beberapa kesalahan, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik maupun saran khususnya dari Dosen Mata Fiqih Muamalah
Bapak Prof. Dr. H. Moh Bahrudin, M. Ag. Yang bersifat membantu dan membangun
agar kami dapat memperbaikinya di kesempatan lain.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shawi Shalah, al-Mushlih Abdullah.2004. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta:


Darul Haq.

Ash-Shawi, Muhammad Shalah. 2008. Problematika Investasi pada Bank Islam Solusi
Ekonom. Jakarta: Migunani.

Azzam Abdul, Aziz Muhammad. 2010. Fiqh Muamalat System Transaksi dalam Islam.
Jakarta: AMZAH.

Sjahdeini, Sutan Remy. 2014. Perbankan Syariah Produk-produk dan Aspek aspek
Hukumnya. Jakarta: Kencana Prenamedia Group.

16

Anda mungkin juga menyukai