Anda di halaman 1dari 39

BENTUK- BENTUK EKONOMI ISLAM DALAM FIQH

Disusun Oleh Kelompok 5 :

1. Fahril Ammar (212522SM)


2. Yulliana Futri (212536SM)
3. Nunung Purnama Sari (212529SM)
4. Ninik Arini (2125247SM)

JENJANG PENDIDIKAN PROGRAM SARJANA (S.1)

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI AMM MATARAM

TAHUN AKADEMIK 2021/2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang telah
dilimpahkan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Bentuk-bentuk
Ekonomi Islam Dalam Fiqh” .

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah “ Pengantar Ilmu
Ekonomi ”. Kami juga berharap semoga pembuatan makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Dalam pembuatan makalahini tentu
nya tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak.Untuk itu kami ucapakan terimakasih kepada Syaiful
Amri, M.Pd Selaku dosen pengampu.

Penulis menyadari bahwa tak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan makalah inimasih
jauh dari kesempurnaan. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.

Mataram, 15 Desember 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................................... i

DAFTAR ISI ………………………………............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................................. 1

A. LatarBelakang ............................................................................................................................ 1
B. RumusanMasalah ...................................................................................................................... 1
C. Tujuan ........................................................................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................................................. 2

A. Tinjauan Fiqh tentang Jual Beli ................................................................................................. 3


B. Tinjauan Fiqh tentang Akad/Transaksi dalam Ekonomi Islam .................................................. 9
C. Kedudukan Akad dalam Fiqh Muamalah …………………………………………………………………….……… 12
D. Akad-akad Transaksi Syariah ................................................................................................... 14

BAB III PENUTUP .................................................................................................................................. 36

A. Kesimpulan .............................................................................................................................. 36
B. Saran ........................................................................................................................................ 36
C. Daftar Pustaka …………………………………………………………………………………………….……………………… 36

ii
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Studi tentang ekonomi Islam sudah cukup lama, setua agama Islam itu sendiri. Sebagian besar
landasan tentang ekonomi syariah dijumpai dalam literatur Islam seperti tafsir Al Qur’an, syarah al
Hadits, dan kitab-kitab fiqh yang ditulis olehcendekiawan muslim terkenal, diantaranya Abu Yusuf,
Abu Hanifah, Ibnu Khaldun,Ibnu Taimiyah dan sebagainya.

Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia, tentusangat
berpengaruh terhadap pola hidup bangsa Indonesia. Perilaku pemeluknya tidak lepas dari syari’at
dalam agama Islam. Dengan demikian, pelaksanaan syari’at agama yang berupa hukum-hukum
merupakan salah satu parameter ketaatan seseorangdalam menjalankan agamanya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Jual Beli?
2. Apa Saja Rukun dan Syarat Jual Beli?
3. Apa Saja Macam-macam Jual Beli?
4. Apa Pengertian Akad?
5. Apa Saja Rukun, Unsur dan Syarat-syarat dalam Akad?
6. Kedudukan Akad dalam Fiqh Muamalah?
7. Apa Saja Akad-akad dalam Transaksi Syariah?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Pengertian Jual Beli
2. Untuk Mengetahui Rukun dan Syarat Jual Beli
3. Untuk Mengetahui Macam-macam Jual Beli
4. Untuk Mengetahui Pengertian Akad
5. Untuk Mengetahui Rukun, Unsur dan Syarat-syarat dalam Akad
6. Untuk Mengetahui Kedudukan Akad dalam Fiqh Muamalah
7. Untuk Mengetahui Akad-akad dalam Transaksi Syariah

1
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Fiqh tentang Jual Beli

Kegiatan ekonomi Islam banyak sekali ragam dan jenisnya, salah satu yang paling nyata
dan dikenal orang dari zaman ke zaman adalah kegiatan jual beli, perdagangan, atau bisnis.

Orientasi utama kegiatan jual beli adalah mencari keuntungan sebanyak-banyaknya.


Tujuan inilah yang kemudian dibatasi oleh Islam yang melarang jual beli dengan sistem riba,
yaitu salah satu cara dalam mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. ‫د‬

Al-Quran menegaskan:

ۗ ‫اَلَّ ِذ ْينَ يَأْ ُكلُوْ نَ الرِّ ٰبوا اَل يَقُوْ ُموْ نَ اِاَّل َك َما يَقُوْ ُم الَّ ِذيْ يَتَخَ بَّطُهُ ال َّشي ْٰطنُ ِمنَ ْال َم‬
ۘ ‫سِّ ٰذلِكَ بِاَنَّهُ ْم قَالُ ْٓوا اِنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل الر ِّٰب‬
‫وا‬
ٰۤ ُ
‫ك‬ 0َ 0ِ‫فَ َواَ ْمر ٗ ُٓه اِلَى هّٰللا ِ ۗ َو َم ْن عَا َد فَاول ِٕٕى‬ ۗ َ‫وا فَ َم ْن َج ۤا َء ٗه َموْ ِعظَةٌ ِّم ْن َّرب ِّٖه فَا ْنت َٰهى فَلَهٗ َما َسل‬ ۗ ‫م الرِّ ٰب‬0َ ‫َواَ َح َّل هّٰللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر‬
َ‫ار ۚ هُ ْم فِ ْيهَا ٰخلِ ُدوْ ن‬ِ َّ‫اَصْ ٰحبُ الن‬
Artinya:

“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan setan karena gila Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan
riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat
peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya
dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka.
mereka kekal di dalamnya." (Q.S. Al-Baqarah [2]: 275)

Ayat ini menjadi dasar hukum kebolehan umat Islam melakukan jual beli, sekaligus
menjadi dasar hukum ketidakbolehan (haram) melakukan transaksi dengan sistem riba, baik riba
fadl (tambahan keuntungan dari modal) maupun riba nasiah (tambahan keuntungan dari jangka
waktu berutang).

Dasar hukum jual beli banyak pula ditemukan dalam sabda Nabi SAW., yang
dikumpulkan oleh para ahli hadis (muhadits) dalam bab Al-Buyu', dalam kitab-kitab hadis
mereka.

1. Pengertian Jual Beli

Menurut Kamus Al-Munawir, jual beli dalam bahasa Arab disebut al-bai' vedi yang
artinya menjual, sedangkan kata “beli” dalam bahasa Arab dikenal ‫ بیا‬- ‫ يبع‬- ‫ باغ‬yang merupakan
bentuk masdar dari ‫ شراء‬- ‫ بشرى‬- ‫ شری‬yaitul masdar dari kata , ‫ شراء‬dengan - Pada umumnya kata
sudah mencakup keduanya, dengan demikian kata berarti jual sekaligus membeli.

Adapun menurut terminologi (istilah) fiqh muamalah, seperti diangkap H. Hendi


Suhendi, yang mengutip berbagai pandangan, yang dimaksud jual beli adalah menukar barang

2
dengan barang atau Sarang dengan uang, dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu
kepada yang lain atas dasar saling merelakan.

Artinya: "Pemikiran harta benda dengan jalan tukar-menukar yang sesuai dengan aturan syara'

Artinya: "Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharuf), dengan ijab qabul, dengan cara
yang sesuai dengan syara'."

Hasbi Ash-Shiddeqy mendefinisikan jual (menjual sesuatu) adalah memilikkan kepada


seseorang suatu barang dengan sejumlah harta (harga) atas dasar kerelaan dari pihak penjual
dan pihak pembeli.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, Abdul Mujieb dalam Kamus Istilah Fiqh,
merumuskan al-bai sebagai pelaksanaan akad untuk penyerahan kepemilikan suatu barang
dengan menerima harta atau atas saling rida, atau ijab dan qabul atas dua jenis harta yang tidak
berarti berderma, atau menukar harta dengan harta bukan atas dasar tabarru.

Dengan memahami beberapa arti di atas, dapat disimpulkan bahwa jual beli dapat terjadi dengan cara:

a. pertukaran antardua pihak atas dasar rela;

b. memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan, yaitu berupa alat tukar yang diatur sah
dalam lalu lintas perdagangan.

Cara pertama, yaitu pertukaran harta atas dasar rela dapat dikatakan jual beli dalam bentuk
barter (di pasar tradisional). Adapun cara yang kedua berarti barang tersebut dipertukarkan
dengan alat ganti yang dapat dibenarkan, yaitu milik atau harta tersebut dipertukarkan dengan
alat pembayaran yang sah dan diakui keberadaannya, misalnya uang rupiah dan sebagainya.

2. Rukun dan Syarat Jual Beli

Rukun jual beli ada tiga, yaitu akad (ijab kabul), orang-orang yang berakad (penjual dan
pembeli), dan ma'qud 'alaih (objek akad).

Akad adalah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah
sebelum ijab dan kabul dilakukan, sebab ijab kabul menunjukkan kerelaan (keridaan). Pada
dasarnya, ijab kabul dilakukan dengan lisan. Apabila tidak memungkinkan, seperti bisu atau
lainnya, boleh dilakukan dengan surat-menyurat yang mengandung arti ijab dan qabul.

Menurut H. Suhendi,' adanya kerelaan tidak dapat dilihat sebab kerelaan berhubungan
dengan hati. Oleh karena itu, kerelaan dapat diketahui melalui tanda-tanda lahirnya, tanda yang
jelas menunjukkan kerelaan adalah ijab dan kabul, Rasulullah SAW. bersabda:

ِ ‫ع َْن أَبِى هُ َر ْی َرةَ رض َع ِن النَّبِ ِّي ص م قَا َل الَ یَ ْخت َِرقَ َّن اِ ْثن‬
ٍ ‫َان إِالَّ ع َْن ت ََر‬
‫اض‬
Artinya :

3
"Dari Abi Hurairah r.a., dari Nabi SAW., beliau bersabda, Janganlah dua orang yang jual beli berpisah,
sebelum saling meridai!".(H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi)

ٍ ‫ال النَّبِ ُّى ص م إِنَّ َما ْالبَ ْی ُع ع َْن تَ َر‬


‫اض‬ َ َ‫ق‬
Artinya:

“Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jual beli hanya sah dengan saling merelakan'. (H.R. Ibnu
Majah)

Jual beli yang menjadi kebiasaan, seperti jual beli sesuatu yang menjadi kebutuhan
sehari-hari tidak disyaratkan ijab dan kabul, ini adalah pendapat jumhur. Menurut fatwa Ulama
Syafi'iyah, jual beli barang-barang yang kecil pun harus ada ijab dan kabul. Akan tetapi, menurut
Imam An-Nawawi dan Ulama Muta'akhirin (para ulama yang hidup setelah abad 3 H), Syafi'iyah
berpendapat jual beli barangbarang yang kecil dibolehkan tanpa ada ijab dan kabul, seperti
membeli satu kilogram beras.

Syarat-syarat sah ijab kabul, yaitu sebagai berikut.

a. Jangan ada yang memisahkan, pembeli jangan diam setelah penjual menyatakan ijab dan
sebaliknya.

b. Jangan diselangi dengan kata- kata lain antara ijab dan kabul.

c. Beragama Islam, syarat ini khusus untuk pembeli dalam bendabenda tertentu, seperti seseorang
dilarang menjual hambanya yang beragama Islam kepada pembeli yang tidak beragama Islam, sebab
besar kemungkinan pembeli tersebut akan merendahkan abid (hamba sahaya) yang beragama
Islam, sedangkan Allah melarang orang-orang mukmin memberi jalan kepada orang kafir 10 ASM
untuk merendahkan mukmin, firman-Nya:

 َ‫… َولَ ْن يَّجْ َع َل هّٰللا ُ لِ ْل ٰكفِ ِر ْينَ َعلَى ْال ُم ْؤ ِمنِ ْين‬
Artinya:

“…Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman." dado
(Q.S. An-Nisa' [4): 141)

Rukun jual beli yang ketiga adalah benda atau barang yang diperjualbelikan (ma'qud
'alaih). Syarat-syarat benda yang menjadi objek akad adalah sebagai berikut.

a. Suci atau mungkin untuk disucikan maka tidak sah penjualan benda-benda atau hewan, seperti babi
dan yang lainnya. Dalam hadis disebutkan, "Dari Jabir r.a., Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya
Allah dan Rasul-Nya mengharamkan penjualan arak, bangkai, babi, dan berhala'." (H.R. Bukhari dan
Muslim).

Artinya:

4
“Dari Abu Mas'ud al-Ansari Radiyallahu 'anhu (ia berkata), - basom "Sesungguhnya Rasulullah
melarang memakan hasil dari jual beli anjing, uang bayaran pelacur, dan upah seorang peramal'."

‫ان ْال َكا ِه ِن‬


ِ ‫ْر ْالبَ ِغ ِّي َوحُل َو‬0ِ ‫ب َو َمه‬
ِ ‫صلَى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَم نَهَى ع َْن ثَ َم ِن ْال َك ْل‬
َ ِ ‫أَ َّن َرسُو اَل هَّلل‬
Artinya :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, mahar (hasil) pelacur, dan
upah dukun,” (Diriwayatkan oleh Imam, Ahmad 4/118-119, 120, al-Bukhari 7/28 dan Muslim No.
1567).

Menurut riwayat lain dan Nabi dinyatakan “kecuali anjing untuk berburu” boleh
diperjualbelikan. Menurut Syafi'iyah bahwa sebab keharaman arak, bangkai, anjing, dan babi karena
najis, sedangkan berhala bukan karena najis, melainkan tidak ada manfaatnya menurut syara'. Batu
berhala apabila dipecah-pecah menjadi batu biasa boleh dijual sebab dapat digunakan untuk
membangun gedung atau yang lainnya. Abu Hurairah, Thawus, dan Mujahid berpendapat bahwa
kucing haram diperdagangkan dengan alasan hadis sahih melarangnya, sedangkan jumhur ulama
membolehkannya selama kucing tersebut bermanfaat. Larangan dalam hadis sahih dianggap sebagai
tanzih (makruh tanzih).

b. Memberi manfaat menurut syara'. Dilarang jual beli benda-benda yang tidak boleh diambil
manfaatnya menurut syara', seperti Hal menjual babi, cecak, dan lainnya.

c. Jangan ditaklikan, yaitu dikaitkan atau digantungkan pada halhal lain, seperti, "Jika ayah pergi, saya
akan jual motor ini kepadamu."

d. Tidak dibatasi waktunya, seperti perkataan, “Saya jual motor ini sykepada Anda selama satu tahun,"
maka penjualan tersebut tidak sah sebab jual beli merupakan salah satu sebab pemilikan secara
penuh yang tidak dibatasi apa pun, kecuali ketentuan syara'.

e. Dapat diserahkan dengan cepat ataupun lambat. Tidak sah menjual binatang yang sudah lari dan
tidak dapat ditangkap lagi, barang-barang yang sudah hilang atau barang yang sulit diperoleh
kembali karena samar, seperti seekor ikan jatuh ke kolam yang tidak diketahui dengan pasti ikan
tersebut sebab di kolam tersebut terdapat banyak ikan yang sama.

f. Milik sendiri. Tidak sah menjual barang orang lain tanpa seizin pemiliknya atau barang-barang yang
baru akan menjadi miliknya.

g. Diketahui (dilihat). Barang yang diperjualbelikan harus dapat diketahui banyak, berat, takaran, atau
ukuran yang lainnya. Tidak sah jual beli yang menimbulkan keraguan salah satu pihak. 1016

3. Macam-macam Jual Beli

Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi hukumnya, jual beli ada dua
macam, yaitu jual beli yang sah menurut hukum dan batal menurut hukum. aynisdiana

5
Ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek jual beli dapat dikemukakan pendapat Imam
Taqiyuddin (Kifayat Al-Ahyar: 329) bahwa jual beli dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu (1) jual beli
benda yang kelihatan; (2) jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji; (3) jual beli benda
yang tidak ada.

Jual beli benda yang kelihatan adalah pada waktu melakukan akad jual beli benda atau
barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli. Hal ini lazim dilakukan
masyarakat banyak, seperti membeli beras di pasar.

Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian adalah jual beli salam (pesanan).
Menurut kebiasaan para pedagang, salam adalah untuk jual beli yang tidak tunai (kontan). Salam
pada awalnya berarti meminjamkan barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu.
Artinya, perjanjian sesuatu yang penyerahan barangbarangnya ditangguhkan hingga masa
tertentu sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan ketika akad.

Dalam salam berlaku semua syarat jual beli dan syarat-syarat tambahannya, yaitu sebagai
berikut.

a. Ketika melakukan akad salam disebutkan sifat-sifatnya yang mungkin dijangkau oleh pembeli, baik
berupa barang yang dapat ditakar, ditimbang maupun diukur.

b. Dalam akad harus disebutkan segala sesuatu yang dapat memannab lurtalibi pertinggi dan
memperendah harga barang, misalnya kapas maka disebutkan jenis kapas yang dijual, kualitas
nomor satu, nomor dua, dan seterusnya. Pada intinya disebutkan semua identitas yang dikenal oleh
orang-orang yang ahli di bidang ini, yang menyangkut kualitas barang tersebut.

c. Barang yang akan diserahkan hendaknya barang-barang yang 10 biasa didapatkan di pasar.

d. Harga hendaknya dipegang di tempat akad berlangsung.?

Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat dilarang oleh agama Islam karena
barangnya tidak tentu atau masih gelap sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari
curian atau barang titipan yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak.
Syarbini Khatib menyebutkan bahwa penjualan bawang merah dan wortel serta yang lainnya
yang berada di dalam tanah adalah batal sebab hal tersebut adalah perbuatan gharar. Rasulullah
SAW. bersabda:

Lihat, Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, 1985, hlm. 178-179.

ِّ‫ ْال َحب‬ ‫ب َحتَّى يَس َْو َّد َوع َْن بَي ِْع‬
ِ َ‫ى صلى هللا عليه و سلم نَهَى ع َْن بَي ِْع ْال ِعن‬
َّ ِ‫أَ َّن النَّب‬
 ‫َحتَّى يَ ْشتَ َّد‬
Artinya:

"Sesungguhnya Nabi SAW, melarang perjualan anggur sebelum hitam dan dilarang penjualan biji-bijian
sebelum mengeras."

6
Ditinjau dari segi pelaku akad (subjek), jual beli terbagi tiga bagian, yaitu jual beli dengan
lisan, perantara, dan perbuatan.

Akad jual beli yang dilakukan dengan lisan adalah akad yang dilakukan oleh banyak
orang, sedangkan untuk orang bisu diganti dengan isyarat. Isyarat merupakan pembawaan alami
dalam mengemukakan kehendak, yang dipandang dalam akad adalah maksud atau kehendak
dan pengertian, bukan pembicaraan dan pernyataan.

Penyampaian akad jual beli dapat dilakukan melalui utusan, perantara, tulisan, atau
surat-menyurat. Jual beli seperti ini sama dengan ijab kabul dengan ucapan, misalnya melalui
kantor pos. Jual beli dilakukan antara penjual dan pembeli yang tidak berhadapan dalam satu
majelis akad, tetapi melalui kantor pos, jual beli seperti ini dibolehkan menurut syara'. Dalam
pemahaman sebagian ulama, bentuk ini hampir sama dengan bentuk jual beli salam. Pada jual
beli salam, penjual dan pembeli saling berhadapan dalam satu majelis akad. Adapun dalam jual
beli melalui kantor pos, penjual dan pembeli tidak berada dalam satu majelis akad.

Jual beli dengan perbuatan (saling memberikan) atau dikenal dengan istilah mu'athah,
yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab dan kabul, seperti seseorang mengambil
roti yang sudah bertuliskan label harganya, dibanderol oleh penjual, kemudian diberikan uang
pembayarannya kepada penjual. Jual beli ini dilakukan tanpa sighat ijab kabul antara penjual
dan pembeli. Menurut sebagian Syafi'iyah, hal ini dilarang sebab ijab kabul merupakan rukun
jual beli. Akan tetapi, menurut sebagian Syafi'iyah lainnya, seperti Imam Nawawi, jual beli
barang kebutuhan sehari-hari dengan cara demikian adalah boleh, yaitu tanpa ijab kabul
terlebih dahulu.

Selain pembelian tersebut, Ada juga jual beli yang dibolehkan dan ada yang dilarang,
Jual beli yang dilarang, ada juga yang batal dan ada yang terlarang, tetapi sah.

Jual beli yang dilarang dan batal hukumnya adalah sebagai berikut.

a. Barang yang dihukumkan najis oleh agama, seperti babi, berhala, bangkai, dan khamar. Rasulullah
SAW. bersabda, “Dari Jabir r.a., Rasulullah SAW. bersabda, 'Sesungguhnya Allah dan RasulNya telah
mengharamkan menjual arak, bangkai, babi, dan berhala." (H.R. Bukhari dan Muslim)
b. Jual beli sperma hewan (apalagi sperma manusia), seperti mengawinkan seekor domba jantan
dengan betina, agar memperoleh turunan. Jual beli ini haram hukumnya karena Rasulullah SAW
bersabda, "Dari Ibnu Umar r.a., berkata, 'Rasulullah SAW. telah melarang menjual sperma binatang'"
(H.R. Bukhari)
c. Jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya. Jual beli seperti ini dilarang karena
barangnya belum ada dan tidak tampak. Rasulullah SAW, bersabda, "Dari Ibnu Umar r.a., Rasulullah
SAW. telah melarang penjualan sesuatu yang masih dalam kandungan induknya.” (H.R. Bukhari dan
Muslim)
d. Jual beli dengan muhaqallah. Haqalah mempunyai arti tanah, sawah, dan kebun. Maksud
muhaqallah di sini adalah menjual tanam-tanaman yang masih di ladang atau di sawah. Hal ini
dilarang agama, sebab ada persangkaan riba di dalamnya.

7
e. Jual beli dengan mukhadharah, yaitu menjual buah-buahan yang belum layak dipanen, seperti
menjual rambutan yang masih hijau, mangga yang masih kecil, dan lainnya. Hal ini dilarang karena
barang tersebut masih samar, dalam arti mungkin buah tersebut jatuh tertiup angin kencang atau
lainnya sebelum diambil oleh pembelinya.
f. Jual beli dengan muammassah, yaitu jual beli secara sentuh menyentuh. Misalnya, seseorang
menyentuh sehelai kain dengan tangannya pada malam atau siang hari, dan orang yang menyentuh
berarti telah membeli kain tersebut. Hal ini dilarang karena mengandung tipuan dan kemungkinan
akan menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.
g. Jual beli dengan munabadzah, yaitu jual beli secara lemparmelempar, seperti seseorang berkata,
"Lemparkanlah kepadaku apa yang ada padamu, nanti kulemparkan pula kepadamu apa yang ada
padaku.” Setelah terjadi lempar-melempar, terjadilah jual beli. Hal ini dilarang karena mengandung
tipuan dan tidak ada ijab dan kabul.
h. Jual beli dengan muzabanah, yaitu menjual buah yang basah dengan buah yang kering, seperti
menjual padi kering dengan bayaran padi basah, sedangkan ukurannya dengan ditimbang, sehingga
merugikan pemilik padi kering. Hal ini dilarang oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya, “Dari Anas
r.a., ia berkata, Rasulullah SAW. melarang jual beli: muhaqallah, mukhadharah, mulammassah,
munabazah, dan muzabanah'.” (H.R. Bukhari)
i. Menentukan dua harga untuk satu barang yang diperjualbelikan. Menurut Syafi'i, penjualan seperti
ini mengandung dua arti. Pertama, seperti seseorang berkata, "Saya jual buku ini seharga Rp5.000
dengan tunai atau Rp7000 dengan cara utang.” Arti kedua adalah seperti seseorang berkata, “Saya
jual buku ini padamu in dengan syarat kamu harus menjual tasmu padaku.” Rasulullah SAW.
bersabda, “Dari Abi Hurairah, ia berkata, Rasululah SAW, bersabda, 'Barang siapa yang menjual
dengan dua harga dalam satu penjualan barang, baginya ada kerugian atau riba'.” (H.R. Abu Dawud)
j. Jual beli dengan syarat (iwadh mahjul). Jual beli seperti ini hampir sama dengan jual beli
menentukan dua harga. Hanya, di sini dianggap sebagai syarat, misalnya seseorang berkata, "Saya
jual rumah jelek ini kepadamu dengan syarat kamu menjual mobilmu padaku.” Menurut Asy-Syafi'i,
jual beli ini sama dengan jual beli dengan dua harga arti yang kedua.
k. Jual beli gharar, yaitu jual beli yang headanya penipuan, seperti penjualan ikan yang masih di kolam
menjual kacang tanah yang atasnya tampak bagus, tetapi di bawahnya jelek. Penjualan seperti ini
dilarang karena Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah kamu membeli ikan di dalam air karena jual
beli seperti ini termasuk gharar, atau menipu." (H.R. Ahmad)
l. Jual beli dengan mengecualikan sebagian dijual, seperti seseorang menjual sesuatu dari benda itu
dengan mengecualikan salah satu bagiannya. Misalnya, A menjual seluruh pohon yang ada di
kebunnya, kecuali pohon pisang maka jual beli ini sah sebab yang dikecualikannya jelas. Akan tetapi,
apabila yang dikecualikannya tidak jelas (majhul), jual beli tersebut batal. Rasulullah SAW. bersabda,
“Rasulullah melarang jual beli dengan muhaqallah, mudzabanah, dan yang dikecualikan, kecuali bila
ditentukan.” (H.R. An-Nasa'i)
m. Larangan menjual makanan sehingga dua kali ditakar. Hal ini menunjukkan adanya ketidakpercayaan
antara penjual dan pembeli. Jumhur ulama berpendapat bahwa seseorang yang membeli sesuatu
dengan takaran dan telah diterimanya, kemudian menjual kembali, ia tidak boleh menyerahkan
kepada pembeli kedua dengan takaran pertama, sehingga ia harus menakarnya untuk pembeli yang

8
kedua itu. "Rasulullah SAW melarang jual um beli makanan yang dua kali ditakar, dengan takaran
penjual de dengan takaran pembeli." (H.R. Ibnu Majah dan Daruquthni)

Adapun macam jual beli yang dilarang oleh agama dan sah Wa hukumnya, tetapi orang yang
melakukannya mendapat dosa, antara lain sebagai berikut.

a. Menemui orang-orang desa sebelum mereka masuk ke pasar untuk membeli barang dengan harga
semurah-murahnya, sebelum mereka tahu harga pasaran, kemudian ia jual dengan harga yang
setinggi-tingginya. Perbuatan ini sering terjadi di pasar-pasar yang berlokasi di daerah perbatasan
antara kota dan kampung. Hlod Apabila orang kampung sudah mengetahui harga pasaran, jual beli
seperti ini tidak apa-apa. Rasulullah SAW. bersabda, “La yabi'u hadiru libarin, tidak boleh (orang
kota, saudagar) membeli barang orang dusun (baru datang)." (H.R. Bukhari dan Muslim)

Hadis lain dari riwayat Bukhari menyatakan bahwa para saudagar dilarang mencegah orang desa
yang membawa barang dagangan di tengah jalan, sebelum mereka sampai ke pasar. Hal ini
dikarenakan ada selisih harga yang belum diketahui dan mengganggu standar harga.

b. Menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain, seperti seseorang berkata, "Tolaklah harga
tawarannya itu, nanti saya yang membeli dengan harga yang lebih mahal." Hal ini dilarang karena
akan menyakitkan orang lain. Rasulullah SAW. bersabda, "Tidak boleh seseorang menawar di atas
tawaran saudaranya." (H.R. Bukhari dan Muslim)
c. Jual beli dengan najasyi, yaitu seseorang menambah atau melebihi harga temannya dengan maksud
memancing orang lain untuk membeli barang kawannya. Rasulullah SAW. bersabda, “Rasulullah
SAW telah melarang melakukan jual beli dengan ba cara najasyi." (H.R. Bukhari dan Muslim)
d. Menjual di atas penjualan orang lain. Misalnya, seseorang berkata, “Kembalikan barang itu kepada
penjualnya, nanti barang saya Anda beli dengan harga lebih murah." Rasulullah USAW. bersabda,
“Rasulullah SAW. bersabda, "Seseorang tidak boleh menjual atas penjualan orang lain." (H.R.
Bukhari dan dei Muslim) slanib gestoining udang bad luder

B. Tinjauan Fiqh tentang Akad/Transaksi dalam Ekonomi Islam

Banyak sekali jenis dan ragam kegiatan ekonomi Islam sehingga banyak pula jenis akadnya.
Untuk lebih jelasnya pembahasan mengenai jenis-jenis kegiatan ekonomi Islam dapat diketahui
dari jenis akadnya, seperti disebutkan buku Edukasi Profesional Syariah, khusus: "Cara
Memahami Akad-akad Syariah”' sebagai berikut.

1. Pengertian Akad
Secara etimologis, akad berarti sebagai berikut.
a. Ikatan, yaitu ikatan antara ujung sesuatu (dua perkaraikatan secara nyata maupun ikatan secara
abstrak, dari satu sisi atau dari dua sisi. Menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dan Hendi Suhendi, akad
secara bahasa adalah mengikat, yaitu mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya
dengan yang lain, sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi satu benda.
b. Sambungan, yaitu sambungan yang memegang kedua tepi dan mengikatnya.

9
c. Janji sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Al-Ma'idah ayat 1, "Wahai orang-orang yang beriman!
Penuhilah janji-janji....”

Menurut terminologi, akad dapat ditinjau dari dua segi, yaitu secara umum dan khusus.

a. Pengertian umum, yaitu hampir sama dengan pengertian akad dari segi bahasa. Menurut ulama,
Syafi'iyah, Malikiyah, dan Hanabilah, akad adalah segala sesuatu yang dikerjakan seseorang in
berdasarkan keinginan sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan atau sesuatu yang
pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang, seperti jual beli, sewa-menyewa, perwakilan,
dan gadai.
b. Pengertian khusus, yaitu perikatan (yang ditetapkan dengan) ijab dan kabul berdasarkan ketentuan
syara' yang berdampak pada objeknya.
Contoh ijab adalah pernyataan seorang penjual, “Saya bona dunia menjual barang ini
kepadamu" atau sejenisnya. Contoh kabul adalah “Saya beli barangmu" atau sejenisnya. Dengan
demikian, hijab-kabul adalah perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan keridaan dalam
berakad di antara dua orang atau lebih.

Berdasarkan, pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang akad adalah suatu yang
sengaja dilakukan oleh kedua belah pihak berdasarkan persetujuan masing-masing.

2. Pembentukan Akad
a. Rukun Akad
Mengenai rukun akad terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah ijab dan kabul. Adapun ulama lainnya
(Syafi'iyah) berpendapat bahwa akad memiliki tiga rukun, yaitu:
1) aqid (orang yang berakad) terkadang masing-masing pihak terdiri atas satu orang, dan bisa
juga terdiri atas beberapa orang;
2) ma'qud 'alaih (sesuatu yang diakadkan), ma'qud 'alaih atau mahallul aqdi adalah benda yang
menjadi objek akad, slabit go seperti benda-benda yang dijual dalam akad bai' (jual beli)
yang dihibahkan dalam akad hibah, yang digadai dalam akad rahn, dan lain-lain;
3) shighat al-aqad, yaitu ijab dan kabul ucapan yang menunjukkan kehendak kedua belah
pihak.
b. Unsur-unsur Akad
Unsur-unsur akad adalah sesuatu yang merupakan pembentukan adanya akad, yaitu
sebagai berikut.
1. Shighat al-aqd, yaitu sesuatu yang disandarkan dari dua belah pihak yang berakad, yang
menunjukkan sesuatu yang ada di hati keduanya tentang terjadinya suatu akad. Hal ini
dapat diketahui dengan ucapan, perbuatan, isyarat, dan tulisan. Shighat tersebut disebut
ijab dan kabul.

Metode shighat atau ijab kabul dalam akad dapat dilakukan dengan beberapa cara:

a) Akad dengan lafazh (ucapan). Ijab dan kabul harus jelas pengertiannya, bersesuaian
antara ijab dan kabul, lib dan shighat ijab dan kabul harus sungguh-sungguh atau

10
tidak diucapkan secara ragu-ragu. Apabila shighat al-'aqd tidak menunjukkan
kesungguhan, akad tersebut dianggap tidak sah. Atas dasar inilah, para fuqaha
berpendapat bahwa berjanji menjual belum merupakan akad penjualan, dan orang
yang berjanji itu tidak dapat dipaksa menjualnya.
b) Akad dengan tulisan. Dibolehkan akad dengan tulisan, baik bagi mereka yang
mampu berbicara maupun tidak, dengan syarat tulisan tersebut harus jelas, tampak,
dan dapat dipahami oleh kedua belah pihak. Hal ini karena sebagaimana dalam
qaidah fiqhiyah, “Tulisan bagaikan ucapan”. Ulama Syafi'iyah dan Hanabilah
berpendapat slodas bahwa akad dengan tulisan adalah sah jika kedua belah pihak
yang berakad tidak hadir. Akan tetapi, jika yang akad hadir, tidak diperkenankan
menggunakan tulisan sebab tulisan tidak dibutuhkan.
c) Akad dengan perbuatan. Dalam akad terkadang tidak digunakan ucapan, tetapi
cukup dengan perbuatan yang menunjukkan saling meridai. Hal ini sangat umum
terjadi pada zaman sekarang. Dalam menanggapi persoalan ini, para ulama berbeda
pendapat.
1) Ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan akad dengan perbuatan terhadap
barang-barang yang sudah diketahui secara umum oleh manusia. Jika belum
diketahui secara umum, akad seperti itu dianggap batal.
2) Mazhab Maliki membolehkan akad dengan perbuatan jika jelas menunjukkan
kerelaan, baik barang tersebut diketahui secara umum maupun ud tidak, kecuali
dalam pernikahan.
3) Ulama Syafi'iyah, Syi'ah, dan Dzahiriyah berpendapat bahwa akad dengan
perbuatan tidak dibenarkan karena tidak ada petunjuk yang kuat udalobo
terhadap akad tersebut. Selain itu, keridaan adalah sesuatu yang samar, yang
tidak dapat diketahui, kecuali dengan ucapan.
d) Akad dengan isyarat. Bagi orang yang mampu berbicara, tidak dibenarkan akad
dengan isyarat, dengan menggunakan tetapi harus (lisan, tulisan, atau perbuatan).
Adapun bagi mereka yang tidak dapat berbicara, boleh menggunakan isyarat. Akan
tetapi, jika mampu menulis dan bagus, dianjurkan atau lebih baik dengan tulisan.
2. Al-Aqid (pelaku), yaitu orang yang melakukan akad. Keberadaannya sangat penting, sebab
tanpa 'aqid tidak dapat dikatakan akad. Begitu pula, tidak akan terjadi ijab dan kabul.
Secara umum, 'aqid disyaratkan harus ahli dan memiliki kemampuan untuk melakukan
akad atau mampu menjadi pengganti orang lain jika ia menjadi wakil.
Ulama Malikiyah dan Hanafiyah mensyaratkan 'aqid harus berakal, yakni sudah
mumayyiz, usia minimal 7 tahun, atau anak yang agak besar yang dapat melontarkan
jawaban yang dapat dipahami. Oleh karena itu, tidak sah akad yang dilakukan oleh anak
kecil yang belum mumayyiz, orang gila, dan lain-lain.
Adapun ulama Syafi'iyah dan Hanabilah mensyaratkan ‘aqid harus balig, berakal, mampu
memelihara agama, dan hartanya. Dengan demikian, ulama Hanabilah membolehkan
seorang anak kecil membeli barang sederhana atas izin TES walinya. dozib

11
3. Al-ma'qud 'Alaih (mahal al-'aqad), yaitu objek akad atau benda-benda yang dijadikan akad,
bentuknya tampak, dan membekas. Barang tersebut dapat berbentuk harta benda, seperti
barang dagangan. Berupa benda bukan harta, seperti akad pernikahan; dan dapat pula
dalam bentuk kemanfaatan, seperti dalam masalah upah mengupah, dan lain-lain.
Dalam Islam, tidak semua barang dapat dijadikan objek akad, misalnya minuman keras.
Oleh karena itu, para fuqaha menetapkan beberapa syarat dalam objek akad, yaitu sebagai
berikut:
a) Ma'qud 'alaih (barang) harus ada ketika akad tidak sah akad seperti menjual anak
kambing yang masih dalam kandungan induknya atau membeli sesuatu yang masih
dalam tanah.
b) Ma'qud 'alaih harus masyru' (sesuai dengan ketentuan syara') maka tidak sah akad atas
barang yang diharamkan syara', seperti bangkai, minuman keras/khamar, dan lain-lain.
c) Ma'qud 'alaih dapat diberikan waktu akad. Jual beli burung yang masih di udara, harta
yang diwakafkan dan lain- lain, tidak dipandang terjadi akad.
d) Ma'qud 'alaih harus diketahui oleh kedua pihak yang akad.
e) Ma'qud 'alaih harus suci, yaitu tidak najis dan' mutanajis (terkena najis), seperti anjing,
bangkai, darah, dan lainlain. Akan tetapi, ulama Hanafiyah tidak menetapkan syarat ini.

c. Syarat-syarat Akad
Syarat dalam akad dapat dibagi menjadi dua macam
Pertama, syarat umum, yaitu syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam segala
macam akad.
Kedua, syarat khusus, yaitu syarat yang diisyaratkan wujudnya dalam sebagian akad,
tidak dalam sebagian yang lain. Syarat ini disebut syarat tambahan (syarat idhafiyah) yang harus
ada di samping syarat umum, seperti adanya saksi untuk terjadinya nikah, tidak boleh adanya
ta'liq dalam agad muawadha dan 'aqad tamlik, seperti jual beli dan hibah. Hal ini merupakan
syarat-syarat idhafiyah.
Syarat-syarat yang harus terdapat dalam segala macam akad BUD be adalah sebagai
berikut.
1. Ahliyatul 'aqidaini (kedua pihak yang melakukan akad cakap dalam bertindak atau ahli).
2. Qabiliyatul mahallil 'aqdi li hukmihi (yang dijadikan objek akad dapat menerima hukuman).
3. Al-wilyatus syar'iyah fi maudhu'il 'aqdi (akad itu diizinkan oleh syara' dilakukan oleh orang yang
mempunyai hak melakukan dan melaksanakannya, walaupun bukan pelaku akad).
4. Alla yakunal 'aqdu au madhu'uhu mamnu'an binashshin syar'iyin (janganlah akad itu yang dilarang
syara'), seperti ba'i munabadzah.
5. Kaunul 'aqdi mufidan (akad itu memberikan faedah),
6. Baqaul ijabi shalihan ila mauqu'il qabul (ijab berjalan terus, tidak dicabut, sebelum terjadi kabul).
7. Ittihadu majalisil 'aqdi (bertemu di majelis akad). Ijab menjadi batal apabila berpisah salah seorang
dari yang lain dan belum terjadi kabul.

12
C. Kedudukan Akad dalam Fiqh Muamalah

Kedudukan akad dalam fiqh muamalah adalah penting ditinjau fungsi dan pengaruhnya. Hal
ini karena suatu muamalah (transaksi) dapat dikatakan sah jika akad yang dilaksanakan itu
terpenuhi syarat dan rukunnya. Pengaruh-pengaruh umum yang berlaku pada semua akad
transaksi muamalah menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, terbagi dua, yaitu sebagai berikut.

1. Lafazh (langsung terlaksana), yaitu akad dilakukan langsung s menghasilkan sejak mulai akad.
Dengan terjadinya akad jual beli (ba'i), akad ini memindahkan barang yang dijual kepada pembeli
dan alat pembayarannya berpindah ke tangan penjual.
2. Ilzam, disebut juga luzum. Hal ini menimbulkan kewajiban (iltizam) bagi salah satu 'aqid kepada 'aqid
yang lain atau objek masing-masing dan syarat-syarat yang disepakati untuk berakad. Ikatan ini tidak
dapat dibatalkan oleh salah satu pihak BU tanpa disetujui oleh pihak lain yang bersangkutan.
Contoh, iltizam adalah kewajiban menyerahkan barang yang telah dijual, ince membayar harga
barang sesuai dengan kesepakatan, tidak menjual barang titipan (wadi'ah), dan lain-lain.

Para ulama berbeda pendapat tentang akad tidak memiliki luzum. Menurut madzhab Syafi'i
dan Hanbali, sifat luzum dikenai setelah majelis akad berakhir. Sebelum mereka berpisah,
masing'aqid boleh mencabut akadnya atau disebut dengan istilah khiyar. Pendapat ini
berdasarkan hadis, "Penjual dan berkhiyar, selama mereka belum berpisah.'

Adapun ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat dipandang sah dan berlaku serta tidak
dapat diganggu gugat setelah terjadinya ijab kabul.

Dalam 'adamul luzum terdapat sembilan transaksi muamalah terbagi tiga kelompok, yaitu
sebagai berikut.

1. Akad-akad yang tidak harus dipenuhi oleh kedua pihak.


a) 'Ida (penitipan). Muwaddi' (yang menyimpan barang) ataupun wadi' (yang bertugas memelihara
barang) berhak membatalkan akad 'ida secara sepihak.
b) l'arah, yaitu mendapat manfaat dari barang yang dipinjam secara cuma-cuma. Musta'ir (yang
meminjam) dibolehkan tidak jadi mengambil manfaat dari barang yang dipinjamkan atau
mengembalikannya kepada mu'ir (yang meminjamkan) dan mu'ir boleh meminta kembali
apabila menghendakinya.
c) Syirkah dan mudharabah, atau perkongsian antara dua pihak dengan ketentuan bahwa modal
menjadi beban salah seorang dari yang bersepakat, sedangkan usaha dilakukan od oleh
seseorang lagi. Oleh karena itu, masing-masing pihak dapat membatalkan akadnya dan meminta
perhitungan.

2. Akad-akad yang hukum asalnya tidak lazim (luzum), tetapi dapat menjadi lazim pada sebagian
keadaan.

13
a) Wakalah, yaitu menyerahkan sesuatu kepada seseorang untuk mengelolanya. Penerima kuasa
(wakil) dapat menarik diri dari tugasnya dan muwakkil (yang memberi kuasa) dapat menarik
kuasa wakil kapan pun. Apabila wakalah berkaitan dengan pihak ketiga atau orang lain, akad
tidak dapat dibatalkan tanpa persetujuan orang ketiga.
b) Tahkim, yaitu kedua pihak mengadukan perkaranya kepada seseorang yang dipercaya untuk
menjadi hakim antara keduanya dalam gugatannya (selain hakim resmi). Mudda'i dan mudda'i
'alaih dapat membatalkan akad tahkim dan membatalkan penunjukannya sebelum memberikan
putusan. Akan tetapi, setelah memberikan putusan, berbagai pihak tidak dapat
membatalkannya lagi.
c) Washiyar. Washi (yang memberi wasiat) dapat membatalkan dan mencabut kembali wasiatnya
sebelum meninggal. Setelah meninggal, para ahli warisnya tidak dapat mencabut wasiat itu.
d) Hibah. Hibah dapat dicabut kembali selama tidak ada halangan, yaitu al-mauhubu laha (yang
menerima hibah), suami (zuaj) dan yang memberi hibah, atau kerabatnya yang mahram (kerabat
yang haram dinikahi).
3. Akad-akad yang hukum asalnya luzum, tetapi pada sifatnya ada sesuatu yang menjadikan tidak
luzum pada suasana tertentu.
a) Aqdu Ijarah. Hukum asalnya adalah luzum. Jika muj'ir (yang menyewa) kedatangan uzur pada
kemudian hari, ia dapat membatalkan atau tidak meneruskan akad. Akan tetapi, ia tetap harus
mengganti kerugian pihak kedua yang timbul akibat pembatalan tersebut. Misalnya, menyewa
ahli masak untuk walimah, tetapi karena ada udzur (berhalangan) dan walimah tidak jadi
dilaksanakan, ia harus mengganti kerugian ahli masak seperti bahan-bahan keperluan yang telah
dibelinya.
b) 'Aqad Muzara'ah, yaitu berkongsi memanfaatkan/menanami tanah yang dimiliki satu pihak dan
pihak lain yang mengusahakannya. Apabila bibit telah ditanam, muzara'ah menjadi lazim tidak
dapat dibatalkan lagi.

Pembatalan dalam akad-akad yang ghaira lazimah tidak mempunyai daya surut. Oleh karena itu,
pencabutan kuasa tidak merusak hal-hal yang telah dilakukan sebelumnya. Penarikan kembali hibah
tidak mengharuskan mauhub 'alih menyerahkan hasil-hasil yang diperoleh dari hibah tersebut. yang
tidak

Hasbi Ash-Shiddieqy menambahkan satu akad lagi ada luzum, yaitu isthtishna' atau membeli
sesuatu yang dibuat lebih dahulu dengan jalan memesan, seperti memesan kitchen set Halo dengan
ciri-cirinya. Menurut mazhab Hanafi, boleh membatalkan pesanan apabila barang tersebut belum
dibuat, atau setelah jadi, tetapi tidak sesuai dengan yang dikendaki (khiyar ru'yah).

D. Akad-akad Transaksi Syariah

Islam merumuskan sistem ekonomi yang berbeda dengan sistem lain. Ekonomi Islam memiliki
akar dari syariah yang menjadi sumber dan panduan bagi setiap Muslim dalam melaksanakan
aktivitasnya. Islam memiliki tujuan syariah (maqashid al-syari'ah) serta petunjuk operasional
(strategi) untuk mencapai tujuan tersebut. Selain mengacu pada kepentingan manusia untuk
mencapai kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik, tujuan itu juga memiliki nilai yang sangat

14
penting bagi persaudaraan dan keadilan sosio-ekonomi serta menuntut tingkat kepuasan yang
seimbang antara kepuasan materi dan rohani.

Berdasarkan dasar tersebut, sistem ekonomi syariah dalam membangun jaringan transaksinya
yang disebut “akad-akad syariah” memiliki standar istilah yang bersumber dari Al-Quran dan hadis,
yaitu sebagai berikut.

1. Bai' Al-Murabahah

Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang
disepakati. Dalam murabahah, penjual harus memberi tahu harga produk yang dibeli dan
menentukan tingkat keuntungan sebagai tambahannya.

Murabahah dapat dilakukan untuk pembelian dengan sistem pemesanan dan disebut sebagai
murabahah kepada pemesan pembelian. Dalam kitab Al-Umm, Imam Syafi'i menamai transaksi
sejenis ini dengan istilah al-amir bi al-syira. Dalam hal ini, calon pembeli atau pemesan dapat
memesan kepada seseorang (sebut saja pembeli) untuk membelikan barang tertentu yang
diinginkannya. Kedua belah pihak membuat kesepakatan mengenai barang tersebut serta
kemungkinan harga. Setelah itu, kedua pihak menyepakati keuntungan atau tambahan yang harus
dibayar pemesan. Jual beli antara kedua belah pihak dilakukan setelah barang tersebut berada di
tangan pemesan.

a. Landasan
1) Q.S. Al-Baqarah ayat 275

 ‫ َواَ َح َّل هّٰللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم الرِّ ٰبو‬....


Artinya :

“… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...."

2) Hadis Riwayat Ibnu Majah


"Dari Suhaib, al-Rumir.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda, 'Tiga hal yang di dalamnya terdapat
keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur
gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.”
b. Syarat-syarat Murabahah
1. Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah.
2. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
3. Kontrak harus bebas dari riba.
4. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli apabila terjadi sob cacat atas barang setelah
pembelian.
5. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika
pembelian dilakukan secara utang.

15
Secara prinsip, jika syarat dalam (1), (4), atau (5) tidak 20 terpenuhi, pembeli memiliki pilihan,
yaitu:

a. melanjutkan pembelian seperti apa adanya;


b. kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan atas barang yang dijual;
c. membatalkan kontrak.

2. Bai' Al-Salam
a. Pengertian Bai' Al-Salam
Dalam pengertian yang sederhana, bai'al-salam adalah pembelian barang yang diserahkan pada
kemudian hari, sementara pembayaran dilakukan di muka.
b. Landasan
1) Syariat (1) Q.S. Al-Baqarah ayat 282
ٓ
ُ‫م بِ َد ْي ٍن اِ ٰلى اَ َج ٍل ُّم َس ّمًى فَا ْكتُبُوْ ۗه‬0ُْ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا تَدَايَ ْنت‬
Artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya....

Dalam kaitan ayat tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan, "Saya bersaksi bahwa salaf (salam)
yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitabNya dan
diizinkan-Nya.” Dia lalu membaca ayat di atas.

2) Hadis:
"Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. datang ke Madinah, di mana penduduknya
melakukan salaf (salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan tiga tahun.
Beliau bersabda, 'Barang siapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan
takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui."

c. Rukun Bai' Al-Salam


Pelaksanaan bai'al-salam harus memenuhi sejumlah rukun, yaitu
1) muslam atau pembeli;
2) muslam ilaih atau penjual;
3) modal atau uang;
4) sighat atau ucapan;
5) muslam fih.
d. Syarat Bai' Al-Salam
Di samping segenap rukun harus terpenuhi, bai' al-salam juga mengharuskan tercukupinya
syarat pada masing-masing rukun, yaitu sebagai berikut.
1) Modal salam
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam modal bai' al-salam sebagai berikut.

16
a. Modal harus diketahui
Barang yang akan disuplai harus diketahui jenis, kualitas, dan jumlahnya. Hukum awal
mengenai pembayaran adalah harus dalam bentuk uang tunai. Para ulama berbeda pendapat
masalah bolehnya pembayaran dalam bentuk aset perdagangan. Beberapa ulama
menganggapnya boleh.
b. Penerimaan pembayaran salam
Banyak ulama mengharuskan pembayaran salam dilakukan di tempat kontrak. Hal
tersebut dimaksudkan agar pembayaran yang diberikan oleh al-muslam (pembeli) tidak
dijadikan sebagai utang penjual. Lebih khusus lagi, pembayaran salam tidak dapat dalam bentuk
pembebasan utang yang harus dibayar dari muslam Lidmaana ilaih (penjual). Hal ini adalah
untuk mencegah praktik dari muslam ilaih (penjual) dan mencegah praktik riba melalui
mekanisme salam.

2) Al-muslam fih (barang)


Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam al-muslam fih atau barang yang ditransaksikan
dalam bai' al-salam adalah sebagai berikut.
a. Spesifik dan dapat diakui sebagai utang.
b. Dapat diidentifikasi secara jelas untuk mengurangi kesalahan akibat kurangnya pengetahuan
tentang barang tersebut (misalnya beras atau kain), klasifikasi kualitas (misalnya kualitas
utama, kelas dua, atau ekspor), serta jumlahnya.
c. Penyerahan barang dilakukan pada kemudian hari.
d. Banyak ulama mensyaratkan penyerahan muslam fih harus ditunda pada waktu kemudian,
tetapi mazhab Syafi'i membolehkan penyerahannya dengan segera.
e. Bolehnya menentukan tanggal dan waktu pada masa barang.
Para ulama sepakat bahwa waktu penyerahan masa yang akan datang boleh ditentukan
saat transaksi. Misalnya, 10 Maret 2014. Mereka juga sepakat bahwa pengantaran tidak
boleh bergantung pada hari yang tidak dapat dipastikan, seperti ketersediaan dana yang
belum pasti atau bergantung pada kedatangan seseorang.
f. Tempat penyerahan.
Pihak-pihak yang berkontrak harus menunjukkan tempat yang disepakati muslam fih
harus diserahkan. Jika kedua pihak yang berkontrak tidak menentukan tempat pengiriman,
barang harus dikirim ke tempat yang menjadi kebiasaan, misalnya gudang milik muslam ilaih
atau bagian pembelian.
g. Penjualan muslam fih sebelum diterima.
Jumhur ulama melarang penjualan ulang muslam fih oleh muslam ilaih sebelum diterima
oleh muslam. Para ulama bersepakat, muslam ilaih tidak boleh mengambil keuntungan
tanpa menunaikan kewajiban menyerahkan muslam fih. Imam Malik setuju atas pendapat
jumhur ulama tersebut apabila muslam fih berbentuk makanan. Akan tetapi, jika muslam
ilaih bukan makanan, Imam Malik membolehkan penjualan kembali barang tersebut
sebelum diterima pembelinya, asalkan memenuhi persyaratan berikut.
1) Jika barang tersebut dijual kembali kepada muslam Inilaih, harga penjualannya harus
sama dengan harga kontrak semula atau lebih rendah.

17
2) Jika barang tersebut dijual kepada pihak harga jualnya boleh lebih tinggi atau lebih
rendah dari semula bergantung pada kualitas,
h. Penggantian muslam ilaih dengan barang lain.
Para ulama melarang pergantian muslam filh dengan barang lain. Penukaran atau
penggantian barang al-salam tidak diperkenankan karena meskipun barang tersebut belum
diserahkan bukan lagi milikmuslam 'alaih, melainkan sudah menjadi milik mustam (fidz
dzimah). Apabila barang tersebut diganti dengan barang yang memiliki spesifikasi dan
kualitas yang sama, meskipun sumbernya berbeda, para ulama membolehkannya. Hal
demikian tidak dianggap sebagai jual beli, tetapi penyerahan unit yang lain untuk barang
yang sama.
Mazhab Maliki hanya menyetujui pelarangan penggantian tersebut apabila muslam fih
adalah makanan. Mazhab ini membolehkan muslam fih selain makanan dengan beberapa
syarat tertentu, yaitu sebagai berikut.
1) Jika pembeli menghendaki penggantian muslam sedangkan barang pengganti dibuat
oleh muslam ilaih, kuantitas muslam ilaih yang telah disepakati agar tidak timbul
kemungkinan riba al-fadhl.
2) Muslam harus mengambil sendiri barang pengganti agar tidak mengarah pada
pertukaran utang dengan milena utang. Hubungan antara barang pengganti dan harga
harus bebas dari riba.

3. Bai' Al-Istishna'
a. Pengertia Bai' Al-Istishna'
Menurut fuqaha, bai' al-istishna' merupakan jenis khusus dari akad bai' al-salam. Biasanya jenis
ini dipergunakan di bidang manufaktur. Dengan demikian, ketentuan bai'al-istishna' mengikuti
ketentuan dan aturan akad bai'al-salam.
Transaksi bai'al-istishna' merupakan kontrak penjualan antara mustashni' (pembeli akhir) dan
shani' (supplier). Dalam kontrak ini, shani' menerima pesanan dari mustashni'. Shani' berusaha
melalui orang lain untuk membuat atau membeli mashnu (pokok kontrak) menurut spesifikasi yang
telah disepakati dari menjualnya kepada mustashni”. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta
sistem pembayaran, yaitu pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai
waktu yang akan datang.
Mengingat bai' al-istishna' merupakan lanjutan dari bai: al-salam, secara umum landasan syariah
yang berlaku.pada bai' al-salam juga berlaku pada bai' al-istishna'.
b. Syarat Sah Bai' Al-Istishna
Agar bai'al-istishna' menjadi sah, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu sebagai
berikut.
1. Mashnu (Barang)

Mashi om ini dads Monet gads utiny Mashnu' di antaranya adalah barang yang menjadi objek
kontrak harus diperinci sedemikian rupa untuk anmole menghilangkan ketidakjelasan mengenai
barang. Perincian bum itu meliputi:

18
a. jenis, misalnya mashnu' itu berupa mobil, pesawat, atau yang lain;
b. tipe, mashnu' itu berupa mobil kijang, pesawat Boeing, rumah tipe RSS, atau lainnya;
c. kualitas, spesifikasi teknisnya, dan lain-lain;
d. kuantitas, jumlah unit atau berat mashnu'.

2. Harga
Harga harus ditentukan berdasarkan aturan berikut:
a. diketahui semua pihak;
b. dapat dibayar pada waktu akad, secara cicilan, atau ditangguhkan pada waktu tertentu pada masa
yang akan datang.
Harga tidak dapat dinaikkan atau diturunkan karena perubahan harga bahan baku atau
perubahan biaya tenaga kerja. Perubahan harga dimungkinkan atas bersama apabila terjadi
perubahan materiel pada mashnu' atau karena kemungkinan yang tidak dapat diramalkan.

4. Ijarah
a. Pengertian Ijarah

Al-ijarah berasal dari kata al-ajru, yang berarti al-iwadhu (ganti). Menurut pengertian syara', al-
jarah adalah jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Dengan demikian, al-
ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa,
tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang

b. Landasan Syariah

1. Q.S. Al-Baqarah ayat 233:

‫ف َواتَّقُوا هّٰللا َ َوا ْعلَ ُم ْٓوا اَ َّن هّٰللا َ بِ َما‬


ِ 0ۗ ْ‫َاح َعلَ ْي ُك ْم اِ َذا َسلَّ ْمتُ ْم َّمٓا ٰاتَ ْيتُ ْم بِ ْال َم ْعرُو‬
َ ‫ اَوْ اَل َد ُك ْم فَاَل ُجن‬0‫ضع ُْٓوا‬
ِ ْ‫َواِ ْن اَ َر ْدتُّ ْم اَ ْن تَ ْستَر‬
‫ص ْي ٌر‬ِ َ‫تَ ْع َملُوْ نَ ب‬
Artinya:

"... Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu
memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah stalog kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."

2. Hadis :

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW. bersabda, "Berbekamlah kamu, kemudian
berikanlah olehmu sign upahnya kepada tukang bekam itu." (H.R. Bukhari dan Muslim) .

Dan Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW. bersabda, "Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya
kering" (H.R. Ibnu Majah).

19
c. Rukun Ijarah
Menurut jumhur ulama, ijarah mempunyai tiga rukun umum, yaitu:
1. sighat (ucapan) ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan);
2. pihak yang berakad (berkontrak), yang terdiri atas pemberi sewa (lessor-pemilik aset);
3. objek kontrak yang terdiri atas pembayaran (sewa) dan manfaat dari penggunaan aset.

Dalam ijarah, objek kontrak adalah manfaat penggunaan aset yang dijamin, meskipun kontrak
ijarah kadang-kadang menganggap aset sebagai objek dan sumber manfaat. Contohnya, sering
orang mengatakan, “Saya sewakan mobil ini kepada Anda."

d. Ketentuan Umum Ijarah


1. Sighat (ucapan)
Sighat kontrak ijarah adalah pernyataan niat dari dua pihak yang berkontrak, baik secara
lisan maupun tulisan. Pernyataan tersebut berupa penawaran dari pemilik aset dan penerimaan
yang dinyatakan oleh penyewa.
2. Pelaksana ijarah

Hukum dasar ijarah adalah kontrak itu harus dapat Bolow dilaksanakan. Apabila tidak
ada keterangan cara pelaksanaan kontrak atau tidak dicantumkan waktu kontrak itu dimulai,
ijarah dimulai pada saat berkontrak dan dilaksanakan mulai saat itu.

Para ulama sependapat bahwa pelaksanaan kontrak i ijarah dapat ditunda. Akan tetapi,
hal semacam itu dianggap boleh mazhab Hanafi sebagai kontrak yang tidak mengikat. Oleh
karena itu, mereka berpendapat bahwa ijarah yang mengikat adalah kontrak yang sudah
dilaksanakan.

3. Syarat mengikat ijarah


Sebagian besar ulama sepakat bahwa ijarah seperti jual beli. Keduanya tidak dapat
dibuat terikat dalam peristiwa pada masa yang akan datang atau syarat tertentu. Akan tetapi,
Ibnu Taimiyah dan Ibn Al-Jauziyah membolehkannya.
4. Pihak yang berkontrak harus memenuhi syarat berikut.
a. Balig dan berakal sehat.
Jumhur ulama sepakat bahwa ijarah tidak sah apabila dilakukan oleh Co. orang-orang
yang tidak kompeten. Orang yang dianggap kompeten adalah yang mempunyai kualifikasi
dalam menggunakan uang.
b. Masing-masing pihak sepenuhnya rela atas kontrak tersebut.
c. Masing-masing pihak harus mempunyai wewenang untuk melakukan kontrak. Menurut
mahzab Hanafi dan Maliki, kewenangan bertindak adalah syarat sah bagi terlaksananya
sebuah kontrak.
5. Objek
Objek ijarah adalah manfaat dan penggunaan aset serta bondainuo sewa atas manfaat
tersebut.
6. Manfaat

20
Kontrak harus terdiri atas penggunaan atau manfaat dari sebuah aset tertentu.
Misalnya, seseorang berkata ma) kepada yang lain, “Saya sewakan kepada Anda rumah ini”
olleit atau penggunaan sebuah aset yang spesifikasinya diterima berdasarkan penjelasan
pemberi sewa, contohnya, "Saya sewakan kepada Anda sebuah rumah, spesifikasinya begini dan
begitu.”

e. Jenis-jenis Ijarah

Jenis-jenis ijarah, yaitu sebagai berikut.

1) Ijarah mutlaqah atau leasing adalah proses sewa-menyewa yang ditemui dalam kegiatan
perekonomian sehari-hari, yang digunakan untuk menyewa dalam jangka waktu tertentu atau
tujuan suatu proyek atau usaha tertentu. Bentuk yang pertama digunakan untuk menyewa
barang atau aset, sedangkan yang kedua dipakai untuk menyewa pekerja atau tenaga ahli.
2) Ba'i takhriji atau ijarah wa iqtina adalah akad sewamenyewa barang antara bank (muajjir)
dengan penyewa (mustajir), yang disertai janji bahwa pada saat yang telah ditentukan
kepemilikan barang berpindah menjadi milik penyewa (mustajir).
3) Musyarakah mutanaqisah adalah kombinasi antara akad musyarakah dan ijarah (perkongsian
dengan sewa). Sistem ini dapat diterapkan dalam pemberian kredit rumah dan proses
refinancing.
Al-Musyarakah

5. Al-Musyarakah
a. Pengertian Al-Musyarakah
Secara etimologi, al-syirkah berarti ikhtilath (percampuran), yaitu percampuran antara sesuatu
dengan yang lainnya, sehingga sulit dibedakan.
Menurut istilah, syirkah adalah keikutsertaan dua orang usaha tertentu dengan sejumlah modal
yang ditetapkan berdasarkan perjanjian untuk bersama-sama menjalankan usaha dan pembagian
keuntungan atau kerugian I pada bagian yang ditentukan. Dengan kata lain, syirkah adalah sakad
kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu, "in yang masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana (amal/ si expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko
akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
b. Landasan Syariah
a. Q.S. Șad ayat 24
ّ ٰ ‫ْض اِاَّل الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا َو َع ِملُوا ال‬
ِ ‫صلِ ٰح‬
‫ت‬ ٰ ُ ‫َواِ َّن َكثِ ْيرًا ِّمنَ ْال ُخلَطَ ۤا ِء لَيَب ِْغ ْي بَ ْع‬
ٍ ‫م عَلى بَع‬0ُْ‫ضه‬
Artinya:

…Memang banyak di antara orang-orang yang bersekutu itu berbuar salim kepada yang lain,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan....

b. Hadis

21
"Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla berfirman, Aku
pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya: "
(HR. Abu Dawud, No. 2936, kitab Al-Buyu', dan Riwayat Hakim)

c. Jenis-jenis Musyarakah

Para ulama membagi syirkah dalam dua bentuk, yaitu sebagai berikut.

1. Syirkah amlak (perserikatan dalam pemilikan) adalah dua orang atau lebih yang memiliki
harta bersama tanpa melalui atau didahului oleh akad syrikah. Musyarakah dalam kategori
ini terdiri atas:
a. Syirkah ikhtiar adalah perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum orang yang
berserikat, seperti dua orang yang bersepakat membeli suatu barang, atau mereka
menerima hibah, wasiat, atau wakaf dari orang lain.
b. Syirkah jabar adalah sesuatu yang ditetapkan menjadi milik dua orang atau lebih tanpa
kehendak. Artinya, perserikatan itu terjadi secara paksa, bukan atas keinginan orang yang
berserikat. Contoh, menerima warisan dari orang yang meninggal.
2. Syirkah al-uqud adalah akad yang disepakati dua orang atau lebih untuk mengikatkan diri
dalam perserikatan modal dan keuntungannya. Akad tersebut tercipta dengan cara
kesepakatan dua orang atau lebih bahwa setiap orang dari mereka memberikan modal
musyarakah. Mereka pun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian.
3. Syirkah al-'inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu
porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam
keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati. Namun, porsi masing-masing pihak,
baik dalam dana, kerja maupun bagi hasil berbeda sesuai dengan kesepakatan. Semua
ulama membolehkan jenis musyarakah ini.
4. Syirkah mufawadha adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak
memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak
membagi keuntungan dan kerugian secara sama. Dengan demikian, syarat utama dari jenis
musyarakah ini adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban
utang dibagi oleh tiap-tiap pihak.
5. Syirkah aʼmal adalah kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan
secara bersama dan berbagi inlon keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya, kerja sama dua
Toggle orang arsitek untuk menggarap sebuah proyek atau kerja sama dua orang penjahit
untuk menerima order pembuatan seragam sebuah kantor. Musyarakah ini kadang-kadang
edita disebut musyarakah abdan atau sanaa'i.
6. Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih m yang tidak memiliki modal,
tetapi mempunyai keahlian dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu
perusahaan, kemudian menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi keuntungan
dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra. Jenis
musyarakah ini tidak memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasarkan
jaminan. Kontrak ini pun lazim disebut sebagai musyarakah piutang.

22
7. Syirkah al-mudharabah adalah kontrak kerja sama antara pemilik modal dengan seorang
pekerja untuk mengelola uang dari pemilik modal dalam perdagangan tertentu, yang
keuntungannya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama, sedangkan kerugian yang
diderita menjadi tanggungan pemilik modal.
8. Rukun dan Syarat Musyarakah

d. Rukun dan Syarat Musyarakah


1. Rukun Musyarakah:
a. sighat (ucapan): ijab dan qabul (penawaran dan penerimaan);
b. pihak yang berkontrak;
c. objek kesepakatan berupa modal dan kerja.
2. Syarat Musyarakah:
a. Ucapan. Tidak ada bentuk khusus dari kontrak musyarakah sehingga dapat berbentuk
pengucapan yang menunjukkan tujuan. Berakad dianggap sah jika diucapkan secara lisan
atau tulisan. Kontrak musyarakah dicatat dan disaksikan.
b. Pihak yang berkontrak. Disyaratkan bahwa mitra harus kompeten dalam memberikan
atau diberikan kekuasaan perwakilan.
c. Objek kontrak (dana dan kerja). Dana atau modal yang diberikan harus uang tunai, emas,
perak, atau yang bernilai sama.

6. Al-Qiradh
a. Pengertian Al-Qiradh
Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali.
Dalam literatur fiqh Salafal-Shalih, qardh dikategorikan dalam 'aqd tathawwui atau akad saling
membantu dan bukan transaksi komersial.
b. Landasan Syariah
1. Q.S. Al-Hadid ayat 11
ٰ ‫َم ْن َذا الَّ ِذيْ يُ ْق ِرضُ هّٰللا َ قَرْ ضًا َح َسنًا فَي‬
‫ُض ِعفَهٗ لَهٗ َولَهٗ ٓ اَجْ ٌر َك ِر ْي ٌم‬
Artinya:

"Barang siapa meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan
mengembalikannya berlipat-ganda untuknya, dan baginya pahala yang mulia."

2. Hadis:
Ibnu Mas'ud meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW. berkata, "Bukan seorang
Muslim (mereka) yang meminjamkan (kepada) Muslim (lainnya) dua kali yang satunya adalah
(senilai) sadaqah.” (H.R. Ibnu Majjah, No. 2421, Kitab Al-Ahkam - Ibnu Hibban, dan Baihaqi).
Dari Anas bin Malik, bersabda Rasulullah SAW., "Aku melihat pada waktu malam di
isra'kan, pada pintu surga tertulis, sadaqah dibalas 10 kali lipat dan qardh 18 kali. Aku bertanya,
'Wahai Jibril mengapa qardh lebih utama BE dari sadaqah?” Ia menjawab, “Karena peminta-

23
minta sesuatu dan ia punya, sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam, kecuali karena
keperluan'." (H.R. Ibnu Majah, No. 2422, Kitab Al-Ahkam, dan Baihaqi)

3. Ijma'
Para ulama menyepakati bahwa qardh boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini didasari
tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Oleh karena
itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah
agama yang sangat memerhatikan segenap kebutuhan umatnya.

c. Rukun Al-Qardh

Seperti halnya akad lain, qardh memiliki rukun utama, antara lain:

1. muqridh (pemilik barang);


2. muqtaridh (yang mendapat barang atau peminjam);
3. ijab kabul;
4. qardh (barang yang dipinjamkan).

d. Syarat-syarat Al-Qardh
1. Qardh atau barang yang dipinjamkan harus barang yang memiliki manfaat, tidak sah jika tidak
ada kemungkinan pemanfaatan karena qardh adalah akad terhadap harta.
2. Akad qardh tidak dapat dilaksanakan, kecuali dengan ijab dan kabul, seperti halnya dalam jual
beli.

7. Al-Kafalah
a. Pengertian Al-Kafalah
Kafalah secara bahasa artinya al-dhammu (menggabungkan) atau al-dhaman (jaminan), hamalah
(beban), dan za'amah (tanggungan).
Menurut istilah, kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada
pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain,
kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada
tanggung jawab orang lain ob is SE sebagai penjamin.

b. Landasan Syariah
1. Q.S. Yūsuf ayat 72
‫ك َولِ َم ْن َج ۤا َء بِ ٖه ِح ْم ُل بَ ِعي ٍْر َّواَن َ۠ا بِ ٖه زَ ِع ْي ٌم‬
ِ ِ‫قَالُوْ ا نَ ْفقِ ُد ص َُوا َع ْال َمل‬
Artinya:

“Mereka menjawab, "Kami kehilangan piala raja, dan mesiapa yang dapat mengembalikannya
akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban unta, dan aku jamin itu'.”

24
Kata za 'im yang artinya penjamin dalam Al-Quran surat Yusuf tersebut adalah gharim, orang
yang bertanggung jawab atas pembayaran.

2. Hadis
Landasan syariah dari pemberian fasilitas dalam bentuk jaminan kafalah pada ayat di
atas dipertegas dalam hadis Rasulullah SAW., "Telah dihadapkan kepada Rasulullah SAW. (mayat
seorang laki-laki untuk dishalatkan). Rasulullah SAW. bertanya, “Apakah dia mempunyai
warisan?” Para sahabat menjawab, “Tidak.” Rasulullah SAW bertanya lagi, “Apakah dia
mempunyai utang?” Sahabat menjawab, “Ya, sejumlah tiga dinar.” Rasulullah pun menyuruh
para sahabat untuk menshalatkannya (tetapi beliau tidak). Lalu, Abu Qatadah berkata, "Saya
menjamin utangnya, ya Rasulullah. “Maka Rasulullah pun menshalatkan mayat tersebut." (H.R.
Bukhari no. 2127, kitab Al-Hawalah)

c. Jenis-jenis Kafalah
1. Kafaah bi al-nafs, yaitu akad memberikan jaminan atas diri. Contoh, dalam praktik perbankan
untuk bentuk kafalah bin nafsi adalah seorang nasabah yang mendapat pembiayaan dengan
jaminan nama baik dari ketokohan seseorang atau pemuka masyarakat. Walaupun secara fisik
tidak memegang barang apa pun, bank berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan
pembayaran ketika nasabah yang dibiayai mengalami kesulitan.
2. Kafalah bi al-mal, yaitu jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang.
3. Kafalah bi al-taslim, yaitu jenis kafalah ini dilakukan untuk menjamin pengembalian barang yang
disewa pada waktu sewa berakhir.
Jenis pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan oleh bank untuk kepentingan
nasabahnya dalam bentuk kerja sama dengan perusahaan penyewaan (leasing company).
Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposito/tabungan dan bank dapat
membebankan uang jasa/fee kepada nasabah itu.
4. Kafalah al-munjazah, yaitu jaminan mutlak yang tidak dibatasi oleh jangka dan untuk
kepentingan/tujuan tertentu.
Salah satu bentuk kafalah al-munjarah adalah pemberian jaminan dalam bentuk
performance bonds (Jaminan prestasi) suatu hal yang lazim di kalangan perbankan dan hal ini
sesuai dengan bentuk akad ini.
5. Kafalah al-muallaqah, yaitu penyederhanaan dari kafalah al-munzazah, baik oleh industri
perbankan maupun asuransi

8. Al-Wakalah
a. Pengertian Al-Wakalah
Wakalah atau wikalah berarti al-tafwidh (penyerahan, pendelegasian, atau pemberian
mandat). Pengertian yang sama dengan menggunakan kata al-hifzhu disebut dalam Q.s. Ali
'Imran ayat 173:
‫… َح ْسبُنَا هّٰللا ُ َونِ ْع َم ْال َو ِك ْي ُل‬

25
Artinya:
"... "Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindungan.
Menurut istilah, al-wakalah adalah akad pemberian kuasa (muwakkil) kepada penerima
kuasa (wakil) untuk melaksanakan tugas (taukil) atas nama pemberi kuasa.

b. Landasan Hukum Al-Wakalah


1. Al-Quran
Salah satu dasar dibolehkannya al-wakalah adalah firman Allah SWT. yang berkenaan
dengan kisah Ashabul Kahfi:
‫ْض يَوْ ۗ ٍم قَالُوْ ا َربُّ ُك ْم اَ ْعلَ ُم‬ َ ‫ ٌل ِّم ْنهُ ْم َك ْم لَبِ ْثتُ ۗ ْم قَالُوْ ا لَبِ ْثنَا يَوْ ًما اَوْ بَع‬0ِ‫ك بَ َع ْث ٰنهُ ْم لِيَتَ َس ۤا َءلُوْ ا بَ ْينَهُ ۗ ْم قَا َل قَ ۤا ِٕٕى‬َ ِ‫َو َك ٰذل‬
0ٍ ‫م بِ ِر ْز‬0ْ ‫بِ َما لَبِ ْثتُ ۗ ْم فَا ْب َعثُ ْٓوا اَ َح َد ُك ْم بِ َو ِرقِ ُك ْم ٰه ِذ ٖ ٓه اِلَى ْال َم ِد ْينَ ِة فَ ْليَ ْنظُرْ اَيُّهَٓا اَ ْز ٰكى طَ َعا ًما فَ ْليَأْتِ ُك‬
ُ‫ق ِّم ْنه‬
‫ف َواَل يُ ْش ِع َر َّن بِ ُك ْم اَ َحدًا‬ ْ َّ‫َو ْليَتَلَط‬
Artinya:
“Dan demikianlah Kami bangunkan mereka, agar di antara mereka saling bertanya. Salah
seorang di antara mereka berkata, 'Sudah berapa lama kamu berada (di sini)? ' Mereka
menjawab, 'Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari.' Berkata (yang lain lagi),
‘Tuhanmu lebih mengetahui berapa lama kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah
seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah
dia lihat manakah makanan yang lebih baik, dan bawalah sebagian makanan itu untukmu,
dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan jangan sekali-kali menceritakan halmu kepada
siapa pun.”
(Q.S. Al-Kahf [18]: 19)

Ayat lain yang menjadi rujukan wakalah adalah kisah tentang Nabi Yusuf ketika berkata
kepada raja:

‫ض اِنِّ ْي َحفِيْظٌ َعلِ ْي ٌم‬ ۤ ٰ


ِ ۚ ْ‫ ِن ااْل َر‬0ِ‫قَا َل اجْ َع ْلنِ ْي عَلى َخ َزا ِٕٕى‬
Artinya:

"Dia (Yusuf) berkata, Jadikanlah aku bendaharawan negeri Tudate (Mesir); karena
sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, dan berpengetahuan''

(Q.S. Yusuf [12]: 55)

2. Hadis
"Rasulullah SAW mewakilkan kepada Abu Rafi' dan seorang Anshar untuk mewakilnya
mengawini Maimunah binti Al-Harits.” (Malik, No. 678, kitab Al-Muwaththa, Bab Haji).
Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah SAW telah mewakilkan kepada orang lain untuk
berbagai urusan, di antaranya membayar utang, mewakilkan penetapan had (hukuman) dan
penebusannya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan, dan lain-lain.
3. Ijma'

26
Para ulama pun bersepakat dengan ijma' atas dibolehkan wakalah. Mereka cenderung
menyunnahkannya dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk jenis ta'awun atau tolong-
menolong atas dasar kebaikan dan takwa. Tolong-menolong diserukan oleh Al-Quran dan
disunnahkan oleh Rasulullah SAW. Allah SWT. berfirman dalam Q.S. Al-Ma'idah ayat 2:
‫ى َواَل تَ َعا َونُوْ ا َعلَى ااْل ِ ْث ِم َو ْال ُع ْد َوا ِن‬0ۖ ‫ َعلَى ْالبِ ِّر َوالتَّ ْق ٰو‬0‫َوتَ َعا َونُوْ ا‬

Artinya:
“... Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada
Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya."
(Q.S. Al-Ma'idah [5]: 2)

Rasulullah SAW. bersabda:

“Dan Allah menolong hamba selama hamba menolong saudaranya." (H.R. Muslim, No.
4867, kitab Al-Zikir)

Dalam perkembangan fiqh Islam, status wakalah sempat diperdebatkan. Apakah


wakalah masuk dalam kategori niabah, yakni sebatas mewakili, atau kategori wilayah atau
wali? Hingga kini dua pendapat tersebut terus berkembang. Pendapat pertama menyatakan
bahwa wakalah adalah niabah atau mewakili. Menurut pandangan ini, wakil tidak dapat
menggantikan seluruh fungsi muwakkil.

Pendapat kedua menyatakan bahwa wakalah karena khilafah (menggantikan)


dibolehkan untuk kepada yang lebih baik, sebagaimana dalam jual beli, melakukan
pembayaran secara tunai lebih baik, walaupun diperkenankan secara kredit.

c. Rukun Al-Wakalah
1. sighat: ijab dan kabul;
2. pihak yang berakad: pemberi kuasa (muwakkil) dan penerima kuasa (wakil);
3. objek akad: mandat untuk melaksanakan tugas (taukil).

d. Syarat-syarat Al-Wakalah
1. Syarat yang mewakilkan
Orang yang mewakilkan harus seorang pemilik yang dapat bertindak terhadap sesuatu
yang diwakilkan. Jika ja bukan sebagai pemilik yang dapat bertindak, perwakilannya tidak
sah. Seorang yang terkena gangguan jiwa atau anak kecil yang belum dapat membedakan
suatu pilihan tidak dapat diwakilkan yang lainnya. Keduanya telah kehilangan kepemilikan
sehingga tidak memiliki hak bertindak.
2. Syarat yang mewakili
Sama dengan yang mewakilkan, pihak yang dapat mewakili adalah orang yang berakal.
Seorang yang mengalami gangguan jiwa, idiot, serta anak kecil yang tidak dapat
membedakan, tidak sah untuk mewakilkan.

27
3. Syarat untuk hal yang diwakilkan
Syarat utama yang diwakitkan (muwakkal fih) adalah hal tersebut bukan tindakan buruk.
Selain itu, seluk-beluk muwakkal fih harus diketahui persis oleh orang yang mewakilinya,
kecuali apabila hal tersebut diserahkan penuh kepadanya.
Hal yang diwakilkan ini berlaku untuk semua akad yang dapat dilakukan oleh manusia
untuk dilaksanakan sendiri transaksi atau perbuatannya, di antaranya jual-beli, sewa-
menyewa, berutang, berhukum, berdamai, menuntut syuf'ah, hibah, shadaqah, gadai, i'arah
(pinjaman) dan meminjam, perkawinan, thalaq, dan mengatur harta. Hal ini berlaku untuk
pria ataupun wanita. Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah disebutkan, "Seorang laki-laki
membawa seekor unta muda kepada Nabi Muhammad, ia kemudian datang meminta
dibayarkan. Beliau lalu berseru, 'Berilah (bayarlah) orang ini'. Mereka lalu meminta
kepadanya unta muda, maka mereka tidak mendapatkannya, kecuali yang lebih tua.
Rasulullah saw bersabda, 'Berikanlah kepadanya. 'Orang itu berkata, 'Bayarlah aku semoga
Allah membayarmu." Rasulullah (lalu) bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling baik di
antara kalian adalah orang yang paling baik dalam membayar'.” (H.R. Bukhari, no. 2140
kitab Al-Wakalah).
Al-Qurthubi mengatakan, “Hadis ini menunjukkan bahwa perwakilan orang yang hadir
dan sehat fisik adalah sah.” Dalam hadis tersebut Nabi Muhammad SAW. memerintahkan
sahabat-sahabatnya agar membayar unta muda yang menjadi kewajibannya. Hal ini sebagai
perwakilan (mandat) sekalipun waktu itu Nabi tidak sakit dan tidak dalam penjalanan.

9. Hiwalah
a. Pengertian Hiwalah
Hiwalah secara bahasa berarti pindah, seperti kita mengatakan pindah dan perjanjian. Dalam
istitah fiqh, hiwalah adalah memindahkan tanggung jawab utang dan tangan orang yang berutang
kepada pihak yang berutang lainnya (multazim/ muhaal alaih).
Definisi lain hiwalah adalah yang mengharuskan pemindahan utang dan yang bertanggung
jawab kepada penanggung jawab yang lain. Contohnya, A berutang kepada B sejumlah uang untuk
dilunasi pada hari tertentu dan A mempunyai hak (mengutangi) D sejumlah utangnya pada B. Ketika
jatuh tempo, B menagih utang pada A, tetapi A saat itu tidak memiliki uang tunai, lalu mengatakan,
“Pergilah pada D karena ia berutang padaku sejumlah utangku padamu.”
b. Landasan Hukum Hiwalah
Hiwalah disyariatkan melalui sunnah dan ijma' ulama, yaitu mengulur-ulur waktu dalam
membayar utang bagi orang yang mampu adalah kezaliman, dan jika salah satu dari kalian (yang
mengutangi) dialihkan (pembayarannya) kepada orang yang mampu, hendaknya ia terima.
Dalam riwayat Al-Baihaqi lebih dijelaskan, “Jika (pembayaran utang) salah seorang dari kalian
dialihkan kepada orang yang mampu, maka hendaknya ia terima (pemindahan itu).”
Dasar yang kedua adalah ijma' bahwa hiwalah adalah bentuk pengecualian dari jual beli utang
dengan utang.
c. Rukun Hiwalah

28
Rukun hiwalah, yaitu:
1. muhil (orang yang memindahkan tanggungan utang);
2. muhal atau muhtal (orang yang memberi utang yang dipindahkan pelunasannya dari orang yang
berutang kepadanya secara langsung);
3. muhal 'alaihi (orang yang dipindahkan padanya tanggungan utang);
4. harta muhal (orang yang dipindahkan utangnya) yang diutang oleh muhil;
5. harta muhil yang diutang oleh muhal 'alaihi;
6. shighat (lafazh).
d. Syarat Hiwalah.
Hiwalah dianggap sah apabila memenuhi persyaratan yang adakalanya berkaitan dengan muhil, ada
juga dengan muhal, muhal alaihi, sighat ataupun utang.
Syarat muhil ada dua, yaitu sebagai berikut.
1. Muhil harus orang yang memiliki kecakapan bertindak (ahliyah al-ada), yaitu berakal dan balig.
Karena hiwalah termasuk dalam akad dan akad merupakan syarat bagi perbuatan ataupun
tindakan, tidak sah hiwalah-nya orang gila atau anak kecil.
2. Kerelaan hati orang yang memindahkan utang dan orang yang utangnya dipindahtangankan
(muhil dan muhtal). Dalam hal ini muhil (orang yang memindahkan utang) mempunyai
kewajiban untuk melunasi utangnya. Dengan cara yang sesuai dengan kehendaknya, ia bisa
membayar utangnya sehingga tidak diwajibkan cara-cara tertentu. Adapun muhtal (orang yang
memberikan utang) haknya ada pada muhil. Oleh karena itu, hak tersebut tidak bisa pindah
tangan, tetapi jika ia rela terhadap pemindahan tersebut. Adapun kerelaan muhal 'alaih (orang
yang dipindahkan padanya tanggungan utang) tidak disyaratkan karena dia tempat
mendapatkan hak dan perbuatan, seperti hamba sahaya yang dijualbelikan (artinya ia tidak
memiliki wewenang untuk tidak setuju atau tidak). Sebab kedua karena harta muhil ada
padanya maka ia tidak berhak menahan atau menghalanginya untuk berbuat dan
membelanjakan hartanya. Sekalipun demikian, ada juga yang mensyaratkan kerelaan hati muhal
'alaihi.
Syarat muhal ada tiga, yaitu:
1. orang yang memiliki kecakapan bertindak (ahliyah al-ada), yaitu berakal. Kerelaannya
merupakan syarat dalam sebuah akad, dan orang gila tidak termasuk dalam hal ini;
2. kerelaan hatinya, tidak sah jika muhal dipaksa atau diancam;
3. keberadaan muhal dalam majelis hiwalah, artinya ketika terjadi hiwalah, muhal harus hadir di
tempat untuk diketahui kerelaannya.
Syarat muhal 'alaihi ada tiga, yaitu:
1. orang yang cakap bertindak (ahliyah al-ada);
2. kerelaan hatinya;
3. terbukti penerimaan dan kesanggupannya untuk melunasi utang di majelis hiwalah.

Syarat muhal bih ada dua, yaitu sebagai berikut.

1. Adanya utang, oleh muhil atas muhal 'alaih atas muhil. Artinya muhil sebagai orang yang
berutang juga mengutangi pada muhal 'alaih. Oleh karena itu, ketika muhal (orang yang

29
dipindah tanggungan utangnya) menagih atau meminta pelunasan pada muhil, ia berkewajiban
melunasi utangnya dengan hartanya, termasuk yang ada pada muhal 'alaih.
2. Utang harus berupa utang lazim yang menuntut pelunasan. Tidak sah hiwalah dengan harga
budak yang dibayarnya kepada tuannya dalam rangka menebus dirinya. Misalnya, seorang tuan
memiliki utang pada salah seorang saudagar, ketika saudagar menagih utangnya, tuan ini
memindahkan pelunasan utangnya pada hambanya yang sedang membayar cicilan untuk
membebaskan dirinya. Hal ini karena pembayaran hamba tersebut bukan utang yang wajib
dibayar kepada tuannya.
e. Macam Hiwalah
Hiwalah ada dua, yaitu hiwalah mutlaqah dan muqayyadah.
1. Hiwalah mutlaqah adalah seseorang memindahkan utang pada yang lain tanpa memberikan
keterangan bahwa orang tersebut harus membayar utangnya dan utang yang bolo ada padanya,
kemudian orang tersebut menerimanya. Hisuda Misalnya, A mempunyai utang kepada B. Ketika
jatuh tempo, A memindahkan pembayaran utang kepada C dan C menerimanya. A berkata
kepada B, “Aku pindahkan pembayaran utangku padamu pada C”. Dalam model ini, A tidak
menjelaskan atau mengikat hiwalah dengan hartanya iuris yang diutang oleh C.
2. Hiwalah muqayyadah adalah seseorang memindahkan pembayaran utangnya kepada orang lain,
dan utangnya yang ada pada orang tersebut. Pada contoh di atas A berkata pada B, "Aku
pindahkan utangku padamu pada hartaku yang ada (diutang) pada C."

10. Al-Wadi'ah
a. Pengertian Al-Wadi'ah
Secara etimologi, kata al-wadi'ah berarti menempatkan sesuatu bukan pada pemiliknya untuk
dipelihara. Secara terminologi, menurut jumhur ulama al-wadi'ah adalah mewakilkan orang lain
untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.
b. Landasan Syariah Al-Wadi'ah
1. Al-Quran
Ulama fiqh sependapat, bahwa al-wadi'ah adalah salah satu akad dalam rangka tolong-
menolong antara sesama manusia. Landasannya firman Allah SWT.

Artinya:

‫ت اِ ٰلٓى اَ ْهلِهَ ۙا‬ ‫هّٰللا‬


ِ ‫اِ َّن َ يَأْ ُم ُر ُك ْم اَ ْن تُؤَ ُّدوا ااْل َمٰ ٰن‬
“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya... '

(Q.S. An-Nisa' [4]: 58)

Menurut para mufasir, ayat ini berkaitan dengan penitipan kunci Ka'bah kepada Utsman bin
Thalhah (seorang sahabat Nabi) sebagai amanat dari Allah SWT., tetapi hal ini berlaku juga dalam
setiap amanat. Ayat lain disebutkan:

0‫منه‬0‫أاُت‬0َ0ََ 0‫ن‬0‫ؤم‬0‫ َت‬0ُِ ‫ْا‬ 0‫ي‬0‫ذ‬0‫ال‬0َِّ 0‫ؤفد‬0‫ل‬0ِّ‫ي‬0َ0َُْ …

30
Artinya:

“... hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya)....

(Q.S. Al-Baqarah [2]: 283)

2. Hadis
Dalam hadis Rasulullah SAW. disebutkan, "Serahkanlah amanat kepada orang yang
mempercayai Anda dan janganlah anda mengkhianati Anda." (H.R. Abu Dawud, Tirmidzi, dan
Hakim)

c. Rukun Al-Wadi'ah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun wadi'ah hanya satu, yaltu ijab dan kabul, sedangkan jumhur ulama
mengatakan bahwa rukun al-wadi'ah ada tiga, yaitu:
1. orang yang berakad;
2. barang titipan,
3. sighar jab dan kabul.
d. Syarat-syarat Al-Wadi'ah
1. Berakal, balig, dan cerdas,
2. barang titipan jelas dan boleh dikuasai (al-gabdh). Maksudnya, barang yang dititipkan itu boleh
diketahui identitasnya dengan jelas dan boleh dikuasai untuk dipelihara,

11. Dhaman
a. Pengertian Dhaman
Dhaman menurut bahasa berarti kafalah (jaminan), hamalah (beban), atau za'amah
(tanggungan). Adapun menurut istilah, dhaman adalah menggabungkan dua beban (tanggungan)
untuk membayar utang, menggadaikan barang atau menghadirkan orang di tempat yang telah
ditentukan.
Para ulama menjelaskan tentang dhaman sebagai berikut.
1. Menurut mazhab Hanafi, dhaman adalah menggabungkan jaminan kepada jaminan yang lain
dalam hal penagihan dengan jiwa, utang, atau benda lain.
2. Menurut mazhab Maliki, dhaman adalah jaminan seorang mukalaf yang bukan safih (tidak bisa
membelanjakan hartaboros) atas utang atau untuk mengawasi orang yang dijamin, baik dengan
menghadirkannya maupun tidak.
3. Menurut mazhab Hanbali, dhaman adalah menggabungkan antara tanggung jawab penjamin
dan orang yang dijamin dalam menanggung kewajiban.
4. Ulama mazhab Syafi'i berpendapat bahwa dhaman adalah membebankan diri dengan
menanggung utang menghadirkan benda yang dibebankan atau menghadirkan badan oleh
orang yang berhak menghadirkannya.

31
b. Hukum Dhaman
Dhaman diperbolehkan dalam Al-Quran dan hadis. Hal ini terdapat dalam Al-Quran surat Yusuf
ayat 72:
‫ك َولِ َم ْن َج ۤا َء بِ ٖه ِح ْم ُل بَ ِعي ٍْر َّواَن َ۠ا بِ ٖه زَ ِع ْي ٌم‬
ِ ِ‫قَالُوْ ا نَ ْفقِ ُد ص َُوا َع ْال َمل‬
Artinya:

"Mereka menjawab, “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan
memperoleh (bahan makanan seberat) beban unta, dan aku jamin itu'."

(Q.S. Yūsuf [12]: 72)

Ada beberapa hadis yang berkenaan dengan jaminan ini, hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah,

“Nabi Muhammad SAW. pernah menjamin sepuluh dinar dari seseorang laki-laki yang oleh
penagih ditetapkan untuk menagih sampai sebulan, maka utang sejumlah itu dibayarkan una kepada
penagih.

Selain itu, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Rasulullah SAW. bersabda, "Pinjaman
hendaklah dikembalikan dan yang menjamin hendaklah membayar."

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, “Nabi Muhammad SAW. tidak mau menshalatkan
jenazah yang masih mempunyai utang. Maka Abu Qatadah berkata, "Shalatkanlah ya Rasulullah,
sayalah yang akan menjamin utangnya, maka kemudian Rasulullah menshalatinya.”. odsd meg

c. Rukun dan Syarat Dhaman


1. Dhamin (penjamin). Syarat orang yang menjamin adalah balig dan berakal, tidak dicegah
membelanjakan hartanya dan dilakukan dengan kehendak sendiri.
2. Madmun lahu (orang yang berpiutang). Syarat orang yang berpiutang adalah diketahui oleh
penjamin. Hal ini untuk menghindari kekecewaan pada kemudian hari bagi penjamin karena
watak manusia tidak semuanya sama, ada yang keras dan ada yang lunak.
3. Madmum 'anhu (orang yang berutang).
4. Madmum bih (objek jaminan), baik berupa barang maupun orang dengan syarat dapat diketahui
dan keadaannya tetap.
5. Lafazh. Syaratnya tidak digantungkan pada sesuatu dan tidak berarti sementara.
d. Macam-macam Dhaman
Pada umumnya, dhaman terbagi menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut.
1. Dhaman dengan jiwa yang dikenal dengan dhaman bi al-wajhi, yaitu adanya keharusan bagi
penjamin untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan itu.
Jika ia tidak dapat menghadirkannya, menurut mazhab Maliki, penjamin wajib membayar utang
orang yang ditanggungnya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. yang diriwayatkan oleh
Abu Dawud bahwa, "Pinjaman adalah berkewajiban membayar.” Menurut buwad mazhab
Hanafi, pinjaman harus ditahan sampai ia dapat menghadirkan orang yang dijaminkan. Akan

32
tetapi, apabila orang yang dijaminkan itu meninggal dunia, penjamin tidak wajib membayar
dengan hartanya, kecuali sejak awal sudah dinyatakan akan membayarnya. Menurut mazhab
Syafi'i, penjamin tidak berkewajiban membayar dengan hartanya karena tidak menjamin harta,
tetapi menjamin orang dan penjamin bebas dari tanggung jawab.
2. Dhaman dengan harta, yaitu kewajiban yang harus dipenuhi oleh penjamin dengan pemenuhan
berupa harta.
3.
12. Rahn/Gadai
a. Pengertian Rahn/Gadal
Gadai dalam bahasa Arab disebut rahn. Secara bahasa, rahn berarti tetap dan lestari, seperti
juga dinamai al-habsu, artinya penahanan. Contoh, ni marun rahimah, artinya nikmat yang tetap
lestari. Allah SWT berfirman:
ٍ ‫ُكلُّ ن َۡف‬
ٌ‫س ۢ بِ َما َك َسبَ ۡت َر ِه ۡينَة‬

Artinya:

"Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya

(Q.S. Al-Muddassir (74): 38)

Secara terminologi, rahn didefinisikan oleh ulama fiqh sebagai, "Menjadikan materi (barang)
sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan sebagai pembayar utang apabila orang yang berutang
tidak bisa mengembalikan utangnya."

Banyak definisi yang dikemukakan oleh para fuqaha yang mempunyai makna sama, hingga tidak
dikemukakan di sini secara terperinci.

b. Landasan Hukum
Gadai hukumnya jaiz (boleh) menurut Al-Quran, sunnah, dan ijma' ulama.
1. Q.S. Al-Baqarah ayat 283
َ ْ‫َواِ ْن ُك ْنتُ ْم ع َٰلى َسفَ ٍر َّولَ ْم ت َِج ُدوْ ا َكاتِبًا فَ ِر ٰه ٌن َّم ْقبُو‬
ٌ ‫ضة‬
Artinya:
"Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka
hendaklah ada 10 barang jaminan yang dipegang....”
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 283)
2. Hadis
"Dari Aisyah r.a., sesungguhnya Nabi SAW membeli makanan dari orang Yahudi dengan
cara ditangguhkan pembayarannya kemudian Nabi menggadaikan baju besinya."
"Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW. bersabda, *Punggung hewan yang digadaikan
boleh ditunggangi dengan membayar dari susu binatang ternak boleh diminum dengan
membayar bilamana digadaikan. Dan bagi orang yang menaiki dan meminum susunya wajib
membayar'» (H.R. Bukhari) ,

33
“Dari Abi Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda Barang siapa yang digadaikan itu
tidak boleh tertutup dari pemiliknya yang menggadaikannya, sehingga ia mendapat keuntungan
dan menanggung kerugiannya’. ”
3. Ijma'
Para ulama telah sepakat bahwa gadai itu boleh dan tidak terdengar seorang pun yang
menyalahinya.

c. Rukun Rahn
Rukun rahn, yaitu:
1. rahin (orang yang menggadaikan);
2. murtahin (yang meminta gadai);
3. marhun/rahn (barang yang digadaikan);
4. mahruhn bih (utang); 5. sighat (akad) ijab dan kabul.

d. Syarat Rahn

1. Rahin dan murtahin


Pihak-pihak yang melakukan perjanjian rahn, yaitu rahin dan murtahin, harus
mempunyai kemampuan, yaitu berakal sehat. Kemampuan juga berarti kelayakan seseorang
untuk melakukan transaksi kepemilikan. Setiap orang yang sah untuk melakukan jual beli, sah
juga melakukan rahn, karena gadai seperti jual beli yang merupakan pengelolaan harta.
2. Sighat (akad)
Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan dengan waktu masa mendatang.
Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian utang seperti akad jual beli sehingga
tidak boleh diikat dengan syarat tertentu atau dengan suatu waktu tertentu atau dengan waktu
pada masa depan.
3. Marhun bihi (utang)
Harus merupakan hak wajib diberikan dan diserahkan kepada pemiliknya untuk
memungkinkan pemanfaatannya. Apabila sesuatu yang menjadi utang tidak dapat dimanfaatkan
maka tidak sah. Harus dikuantifikasikan atau dapat dihitung jumlahnya. Apabila tidak dapat
diukur atau tidak dapat dikuantifikasikan, rahn tidak sah.
4. Marhun (barang)
Menurut ulama Syafi'iyah, gadai dianggap sah jika memenuhi tiga syarat: (1) berupa
barang karena utang tidak bisa digadaikan. (2) penetapan kepemilikan penggadai atas barang
yang digadaikan tidak terhalang. (3) barang yang digadaikan dapat dijual ketika telah tiba masa
pelunasan utang gadai.

Dengan demikian, para utama sepakat bahwa syarat pada gadai adalah syarat yang berlaku pada
barang yang dapat diperjualbelikan.

Syarat-syarat barang rahn, antara lain:

34
1. bisa diperjualbelikan;
2. berupa harta yang bernilai;
3. bisa dimanfaatkan secara syariah, tidak berupa barang haram;
4. diketahui keadaan fisiknya;
5. dimiliki oleh rahin setidaknya harus atas izin pemiliknya.

e. Akhir Akad Gadai

Akad gadai berakhir dengan hal-hal berikut.

1. Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya (rahin).


2. Rahin telah membayar utangnya.
3. Pembebasan utang dengan cara apa pun.
4. Pembatalan oleh muriahin, meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin
5. Rusaknya barang gadai bukan karena tindakan murtahin.
6. Dijual dengan perintah hakim atas permintaan rahin.
7. Memanfaatkan barang gadai dengan cara menyewakan, hibah, atau hadiah, baik dari pihak
rahin maupun murtahin.

35
PENUTUP

a. Kesimpulan
Makalah diatas dapt disimpulkan, fiqih muamallah yaitu ketentuan- ketentuan hukum
mengenai kegiatan perekonomian yang mana terbagi menjadi dua yaitu bersifat al-adabiyah
dan bersifat al-madiyah, muamallah al adabiyah merupakan cara tukar menukar benda yang
bersumber dari panca indra manusia, dari beberapa yang termasuk muamallah al- adabiyah
yaitu ijab, dan qobul, saling meridhai, tidak ada terpaksaan dari salah satu pihak
muamallah al madiyah merupakan paduan tentang benda- benda yang layak atau tidak
untuk dimiliki dan dilakukan tindakan hukum atasnya beberapa yang termasuk muamallah
al madiyah adalah jual beli dan gadai
ekonomi islam meliputi berbagai perilaku manusia yang sadar dan berusaha mencapai
(falah) falah dapat diartikan sebagai suatu kebahagiaan atau kesejahteraan didunia dan di
akhirat

b. Saran
Adapun saran yang ingin penulis sampaikan adalah keinginan penulis atas partisipasi
pembaca. agar sekiranya mau memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kemajuan penulisan makalah ini. kami sadar bahwa penulis adalah manusia yang memiliki
kesalahan dan kekurangan. oleh karena itu, dengan adanya kritik dan saran dari pembaca.
penulis bisa mengkoreksi diri dan menjadikan makalah ini untuk kedepannya bisa menjadi
lebih baik lagi, dan semoga makalah ini yang kami tulis ini dapat bermanfaat dan bisa
menjadi bahan referensi bagi para pembaca makalah ini

c. Daftar Pustaka
Fatoni, Siti Nur.2014. Pengantar Ilmu Ekonomi.Bandung : CV Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai