Anda di halaman 1dari 24

Kelompok II

KONSEP JUAL BELI DALAM ISLAM


Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah: Fikih Muamalah
Dosen Pengampu: Wahyu Akbar, S.E.Sy., M.E.

Oleh:

Rayhan Bintang Pratama


NIM 2314120137
Muhammad Fauzi Heri Wardani
NIM 2314120068
Misna Meilani
NIM 2314120016

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2024 / 1445 H
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang dengan limpah
rahmat dan berkah-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tak henti,
shalawat serta salam kami sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai
suri teladan bagi seluruh umat manusia. Kami juga ingin menyampaikan terima
kasih yang tak terhingga kepada dosen kami yang penuh dedikasi, Bapak
Wahyu Akbar, S.E.Sy., M.E., yang telah memberikan ilmu dan bimbingan
dalam matakuliah Fikih Muamalah Indonesia.

Kami menyadari bahwa penyelesaian makalah ini tidak terlepas dari


bimbingan, dukungan, dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami
juga ingin mengucapkan terima kasih kepada teman-teman sejawat yang turut
memberikan masukan dan inspirasi dalam pembuatan makalah ini.

Makalah ini kami susun dengan harapan dapat memberikan pemahaman


yang lebih mendalam mengenai konsep jual beli dalam hukum Islam, serta
implikasinya dalam praktik ekonomi modern. Kami menyadari bahwa masih
terdapat keterbatasan dalam penyajian makalah ini, namun kami berharap
bahwa isi yang disampaikan dapat memberikan kontribusi positif bagi pembaca
yang ingin memahami lebih dalam mengenai masalah ini.

Akhir kata, kami mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan
yang terdapat dalam makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan menjadi tambahan wawasan dalam memahami konsep jual beli
dalam perspektif Islam.

Wassalammu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakaatuh.

Palangkaraya, 14 Febuari 2024

Kelompok II

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................I
DAFTAR ISI.....................................................................................................II
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
A. LATAR BELAKANG........................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH....................................................................................2
C. TUJUAN.........................................................................................................2
D. METODE PENULISAN.....................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................4
A. DEFINISI JUAL BELI......................................................................................4
B. RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI..................................................................5
C. JUAL BELI YANG DI LARANG.....................................................................11
BAB III PENUTUP.........................................................................................18
A. KESIMPULAN..............................................................................................18
B. SARAN........................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perlu dipahami bahwa konsep jual beli dalam Islam tidak hanya sekadar
transaksi ekonomi, tetapi juga memiliki dimensi spiritual dan etika yang sangat
penting. Islam mengajarkan prinsip-prinsip yang harus dipatuhi dalam setiap
transaksi jual beli, seperti keadilan, kejujuran, dan saling menghormati. Prinsip-
prinsip ini tercermin dalam berbagai ajaran Islam, termasuk dalam Al-Qur'an dan
hadis-hadis Nabi Muhammad SAW.

Sejarah perkembangan konsep jual beli dalam Islam di Indonesia dimulai


sejak masuknya agama Islam ke Nusantara pada abad ke-7 Masehi. Pada masa itu,
perdagangan menjadi salah satu aktivitas utama yang membawa agama Islam
masuk ke berbagai wilayah di Indonesia. Para pedagang Muslim yang datang
membawa tidak hanya barang dagangan, tetapi juga ajaran Islam, termasuk
tentang konsep jual beli yang sesuai dengan ajaran agama.1

Penerapan konsep jual beli dalam kehidupan masyarakat Indonesia


mengalami berbagai perkembangan seiring dengan berjalannya waktu. Pada masa
awal Islam masuk ke Indonesia, transaksi jual beli dilakukan secara sederhana
dengan menggunakan sistem barter atau pertukaran langsung barang. Namun,
seiring dengan perkembangan perdagangan dan ekonomi, sistem jual beli
berkembang menjadi lebih kompleks dengan munculnya berbagai jenis transaksi
seperti jual beli dengan uang tunai, kredit, atau sistem lainnya.2

Tantangan utama yang dihadapi dalam penerapan konsep jual beli dalam
Islam di Indonesia adalah adanya praktik-praktik yang bertentangan dengan ajaran
agama. Misalnya, praktik riba atau bunga dalam sistem keuangan modern
seringkali tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam. Selain itu, praktik-

1
Muhammad Ali, Konsep Jual Beli Dalam Islam. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010), hal. 6.
2
Hamidy, Hamid Fahmy Zarkasyi, Transaksi Jual Beli dalam Perspektif Hukum Islam.
(Jakarta: Kencana, 2015), hal. 4.

1
praktik seperti penipuan, pemalsuan barang, atau spekulasi juga menjadi
tantangan dalam menjaga keadilan dan kejujuran dalam transaksi jual beli. 3

Dalam menghadapi tantangan tersebut, masyarakat Indonesia terus berupaya


untuk memperkuat penerapan konsep jual beli dalam Islam. Salah satu cara yang
dilakukan adalah dengan meningkatkan pemahaman akan ajaran Islam terkait
dengan jual beli melalui pendidikan dan dakwah. Selain itu, pemerintah juga
berperan penting dalam memberikan regulasi yang mendukung praktik jual beli
yang sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam.

Pada zaman modern, konsep jual beli dalam Islam di Indonesia juga
menghadapi berbagai perubahan dan adaptasi. Perkembangan teknologi dan
globalisasi memberikan dampak yang signifikan terhadap cara masyarakat
melakukan transaksi jual beli. Hal ini menuntut adanya pemahaman yang lebih
dalam tentang bagaimana prinsip-prinsip ekonomi Islam dapat diaplikasikan
dalam konteks yang terus berkembang ini.

B. Rumusan Masalah
Untuk menguraikan beberapa hal terkait, Berikut rumusan masalah yang
digunakan untuk pembahasan makalah adalah sebagai berikut:
1. Seperti apakah Definisi dari Jual Beli dalam Islam?
2. Apa saja rukun dan syarat jual beli dalam islam?
3. Apa saja Jual Beli yang di larang?
C. Tujuan
Adapun tujuan dan kegunaan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk memahami Definisi dari Jual Beli dalam Islam
2. Mengetahui rukun dan syarat jual beli dalam islam
3. Memahami Jual Beli yang di larang
D. Metode Penulisan

3
Hasan, Ekonomi Islam di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015)

2
Penulisan makalah ini menggunakan metode literatur kajian pustaka
(library research) terhadap buku-buku yang berhubungan dengan tema makalah
yang dibuat, dan juga bersumber dari beberapa artikel.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Jual Beli


Dalam Sebelum membahas jual beli secara mendalam, lebih dahulu
diketahui pengertian jual beli, sehingga pembaca mengetahui dengan jelas apa itu
jual beli dan dapat mengetahui apa yang dimakdsud oleh penulis. Jual beli dalam
istilah fiqh disebut dengan al-bai’ yang berarti menjual, mengganti, dan menukar
sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal albai’ dalam bahasa Arab terkadang
digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata asy-syira (beli). Dengan
demikian, kata al-bai’ berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli. 4 Jual beli atau

bisnis menurut bahasa berasal dari kata ( ) bentuk jamaknya ( ) dan

konjungsinya adalah “ ” yang artinya menjual.5 Menurut bahasa, jual beli


berarti menukarkan sesuatu dengan sesuatu.6 Sedangkan menurut istilah yang
dimaksud jual beli atau bisnis adalah:

a. Menurut Idris (1986), jual beli adalah pertukaran barang dengan barang atau
barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari satu pihak
kepada pihak lain atas dasar saling merelakan.7
b. Menurut Syekh Muhammad ibn Qâsim al-Ghazzi, jual beli adalah memiliki
sesuatu harta (uang) dengan mengganti sesuatu atas dasar izin syara, dengan
hanya memiliki manfaatnya yang diperbolehkan syara untuk selamanya
melalui pembayaran berupa uang.8
c. Menurut Imam Taqiyuddin, jual beli adalah saling tukar harta, saling
menerima, dan dapat dikelola dengan ijab qobul, sesuai dengan syariat.9
4
Haroen, Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000),
hal. 111.
5
al-Marbawy, Kamus Arab-Indonesia. (Beirut: Dar al-Ilm lil Malayin, 2000), hal. 136.
6
al-Jaziri, Kitab al-Fiqh 'ala al-Madhahib al-Arba'ah. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
2003) hal. 172.
7
Idris. Dasar-Dasar Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1986) hal. 90.
8
al-Ghazzi, Al-Kasyaf 'an Haqaiq al-Syari'ah fi al-Fiqh al-Islami. (Beirut: Dar al-Fikr,
1986), hal. 94
9
Taqiyuddin, Kitab Kiffayatul al-Akhyar. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1981), hal.
34.

4
d. Syeikh Zakaria al Anshari menjelaskan bahwa jual beli adalah tukar-
menukar benda lain dengan cara yang khusus, yang dibolehkan oleh
syariah.10
e. Menurut Sayyid Sabiq, jual beli adalah penukaran benda dengan benda lain
dengan cara saling memindahkan hak milik dengan penggantinya yang
diperbolehkan.11
f. Sebagian ulama, seperti ulama Hanafiyah dan Imam Nawawi, menjelaskan
bahwa jual beli adalah pertukaran harta dengan harta berdasarkan cara
khusus yang diizinkan syara', yang disepakati oleh kedua belah pihak.

Dengan pemahaman yang mendalam tentang pengertian jual beli dalam


Islam, kita dapat melanjutkan untuk memahami prinsip-prinsip dan aturan-aturan
yang mengatur transaksi jual beli dalam Islam dengan lebih baik.

B. Rukun dan Syarat Jual Beli


Dalam Rukun dan syarat dalam jual beli merupakan bagian penting dalam
menentukan keabsahan sebuah transaksi menurut syariah. Rukun adalah unsur-
unsur pokok yang harus ada agar sebuah akad jual beli dianggap sah, sedangkan
syarat adalah ketentuan yang harus dipenuhi untuk menjaga keabsahan transaksi
tersebut.

1. Rukun Jual Beli

Rukun dalam jual beli menjadi perdebatan di antara para ulama. Menurut
Ulama Hanafiyah, rukun jual beli hanya satu, yaitu ijab (ungkapan membeli dari
pembeli).12 Mereka berpendapat bahwa yang menjadi inti dalam jual beli adalah
kerelaan kedua belah pihak untuk melakukan transaksi tersebut, namun karena
kerelaan ini sulit untuk diamati secara langsung, maka diperlukan indikasi yang
menunjukkan kesepakatan tersebut, seperti ijab dan qabul, atau melalui pertukaran
barang dan harga.

10
Zakariya, Fath Al-Wahab. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1989), hal. 67.
11
Sabiq, Fiqh Sunnah. Kairo: Dar al-Fikr, 1997), hal. 2(7.
12
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat Sistem Transaksi Dalam Islam,
(Jakarta: Amzah, 2010), hal. 28.

5
Sementara menurut Jumhur Ulama, terdapat empat rukun dalam jual beli:13

a. Kehadiran orang yang berakad atau al-muta'aqidain (penjual dan pembeli).

b. Adanya sighat lafal (lafal ijab dan qabul).

c. Keberadaan barang yang dibeli.

d. Adanya nilai tukar sebagai pengganti barang yang diperjualbelikan.

Ulma Hanafiah berpendapat bahwa orang yang berakad, barang yang dibeli,
dan nilai tukar barang termasuk dalam syarat-syarat jual beli, bukan sebagai rukun
jual beli.

Dalam pemahaman rukun jual beli ini, terdapat perbedaan pendapat di


antara para ulama yang menyebabkan variasi dalam penentuan unsur-unsur pokok
yang harus ada dalam suatu akad jual beli.

Rukun jual beli ini menjadi dasar bagi para pelaku ekonomi dan pedagang
untuk menjalankan transaksi mereka sesuai dengan ketentuan agama dan
menciptakan lingkungan ekonomi yang berkeadilan dan berkah.

2. Syarat-Syarat Jual Beli

Syarat-syarat dalam jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang telah
disebutkan oleh Jumhur Ulama di atas sebagai berikut:14

a. Syarat-syarat Orang yang Berakad

Para Ulama Fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual beli harus
memenuhi beberapa syarat, yaitu:15

13
Nasrun Haroen, Op. Cit., hal. 114-115
14
al-Jaziri, Kitab al-Fiqh 'ala al-Madhahib al-Arba'ah. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
2003) hal. 179.
15
Chairuman Pasaribu, dan Suhrawardi. K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam,

6
1) Berakal sehat, oleh karena itu baik penjual maupun pembeli harus
memiliki akal yang sehat agar dapat melakukan transaksi jual beli
dengan kesadaran penuh. Jual beli yang dilakukan oleh anak kecil
yang belum memiliki akal yang sehat atau orang yang tidak berakal
sehat, hukumnya tidak sah.

2) Dilakukan atas dasar suka sama suka, artinya transaksi tersebut harus
dilakukan atas dasar kehendak sendiri dan tidak dipaksa oleh pihak
manapun.16

3) Dilakukan oleh orang yang berbeda, yang berarti seseorang tidak


boleh bertindak sebagai penjual dan pembeli dalam waktu yang
bersamaan.

b. Syarat yang Terkait dengan Ijab dan Qabul17

Syarat-syarat yang berkaitan dengan ijab dan qabul adalah sebagai berikut:

1) Orang yang mengucapkannya harus telah baligh dan berakal.

2) Qabul harus sesuai dengan ijab. Jika antara ijab dan qabul tidak
sesuai, maka transaksi jual beli tersebut tidak sah.

3) Ijab dan qabul harus dilakukan dalam satu majelis, yang berarti kedua
belah pihak yang melakukan transaksi jual beli harus hadir dalam satu
tempat dan membahas topik yang sama.

c. Syarat-syarat Barang yang Diperjualbelikan

(Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2004), hal. 35.


16
Suhrawardi K. Lubis, dan Farid Wadji, Hukum Ekonomi Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika
Offset, 2014), hal. 141.
17
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah Jilid 5, Penerjemah Mujahidin Muhayan, (Jakarta: Pena
Pundi Aksara, 2011), hal 36.

7
Syarat-syarat yang berkaitan dengan barang yang diperjualbelikan adalah
sebagai berikut:18

1) Barang harus suci menurut ajaran Islam. Transaksi jual beli barang-
barang najis seperti bangkai, babi, anjing, dan sebagainya tidak sah.19

2) Barang yang diperjualbelikan harus merupakan milik sendiri atau


diberi kuasa oleh pemiliknya untuk menjualnya.

3) Barang yang diperjualbelikan harus memiliki manfaat. Barang-barang


yang tidak bermanfaat seperti lalat, nyamuk, dan sebagainya tidak
boleh diperjualbelikan. Namun, jika suatu saat barang-barang tersebut
menjadi bermanfaat akibat perkembangan teknologi atau alasan
lainnya, maka transaksi jual beli barang-barang tersebut dianggap sah.

4) Barang yang diperjualbelikan harus jelas dan dapat dikuasai oleh


pembeli.

5) Barang yang diperjualbelikan harus memiliki keterangan yang jelas


mengenai kadarnya, jenisnya, sifat-sifatnya, dan harganya.

6) Barang boleh diserahkan saat akad jual beli berlangsung.

d. Syarat-syarat Nilai Tukar (Harga Barang)

Harga merupakan hal yang penting dalam jual beli. Dalam Bahasa Inggris,
harga dikenal dengan istilah "price", sedangkan dalam Bahasa Arab berasal dari
kata "tsaman" atau "si'r", yang mengacu pada nilai dan harga suatu barang yang
terjadi atas dasar suka sama suka (antaradin). 20 Al-tsaman adalah harga pasar yang
berlaku di masyarakat secara aktual, sedangkan al-si'r adalah harga modal barang
yang seharusnya diterima oleh para pedagang sebelum dijual kepada konsumen.

18
Abdul Rahman Ghazaly, Op. Cit., hal, 75.
19
bnu Rusyd, Bidyatul Mujtahid, jilid 2, Penerjemah Abu Usamah Fakhtur Rokhman
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hal. 251.
20
Rozalinda, Ekonomi Islam Teori dan Aplikasi pada Aktifitas Ekonomi, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2015), cet II, hal. 154.

8
Dengan demikian, terdapat dua harga yang perlu diperhatikan dalam jual beli,
yaitu harga antar pedagang dan harga antara pedagang dan konsumen (harga di
pasar).21 Oleh karena itu, harga barang dapat dipermainkan oleh para pedagang.

Para Ulama Fiqh menetapkan syarat-syarat al-tsaman sebagai berikut:

1) Harga yang disepakati oleh kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.

2) Pembayaran dapat dilakukan pada saat akad, bahkan secara hukum bisa
dilakukan dengan menggunakan cek dan kartu kredit. Namun, jika harga
barang dibayar nanti (berutang), maka pembayarannya harus jelas.

3) Jika jual beli dilakukan dengan saling pertukaran barang, maka barang yang
dijadikan nilai tukar tidak boleh merupakan barang yang diharamkan oleh
syara‟, seperti babi dan khamar, karena barang-barang tersebut tidak
memiliki nilai menurut syariat.

Selain syarat-syarat yang berkaitan dengan rukun jual beli di atas, para
Ulama Fiqh juga menetapkan syarat-syarat lain, yaitu:

a. Syarat Sah Jual Beli

Syarat sah ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu syarat umum dan syarat
khusus. Syarat umum adalah syarat yang harus ada pada setiap jenis transaksi agar
dianggap sah menurut syara‟. Secara umum, akad jual beli harus terhindar dari
tujuh macam „aib:22

1) Ketidakjelasan (jahalah) mengacu pada ketidakjelasan yang serius


yang dapat menyebabkan perselisihan sulit untuk diselesaikan.

2) Pemaksaan (Al-Ikrah) adalah mengarahkan orang lain untuk


melakukan sesuatu yang tidak mereka sukai.
21
Abdul Rahman Ghazaly, Op. Cit., h, 76; Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 4, (Jakarta:
PT. Pena Pundi Askara, 2009), hal, 79.
22
al-Jaziri, Kitab al-Fiqh 'ala al-Madhahib al-Arba'ah. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
2003) hal. 176.

9
3) Pembatasan dengan waktu (At-Tauqit) adalah jual beli yang dibatasi
oleh waktu tertentu. Transaksi semacam ini hukumnya fasid karena
kepemilikan atas suatu barang tidak boleh dibatasi oleh waktu.

4) Penipuan (Al-Gharar) terjadi ketika terdapat penipuan dalam sifat


barang. Contohnya, seseorang menjual sapi dengan pernyataan bahwa
sapi tersebut memiliki air susu sepuluh liter per hari, padahal
sebenarnya hanya dua liter. Namun, jika penjual menjualnya dengan
menyatakan bahwa air susunya cukup banyak tanpa menyebutkan
jumlahnya, maka transaksi tersebut tetap sah. Namun, jika terdapat
penipuan dalam wujud barang, maka transaksi tersebut batal.23

5) Kemudaratan (adh-dharar) terjadi ketika penyerahan barang yang


dijual tidak mungkin dilakukan tanpa menyebabkan kerugian bagi
penjual. Ini berlaku untuk barang selain objek transaksi.

6) Syarat yang merugikan adalah syarat yang memberikan keuntungan


bagi salah satu pihak yang melakukan transaksi, tetapi syarat tersebut
tidak sesuai dengan syara‟ dan adat kebiasaan, atau tidak sejalan
dengan tujuan transaksi.24

7) Jual beli harus terhindar dari cacat, seperti ketidakjelasan tentang


barang yang diperjualbelikan baik jenis, kualitas, maupun
kuantitasnya, harga yang tidak jelas, adanya unsur paksaan, tipuan,
mudarat, dan syarat-syarat lain yang membuat transaksi menjadi cacat.
Jika barang yang diperjualbelikan adalah barang bergerak, pembeli
boleh langsung menguasainya, sementara harga barang tetap dipegang
oleh penjual. Namun, jika barangnya tidak bergerak, pembeli boleh
menguasainya setelah surat menyuratnya diselesaikan sesuai dengan
kebiasaan daerah setempat.

23
Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Mu'āmalāt (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), hal,
142.
24
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 190-192

10
Adapun syarat-syarat khusus yang berlaku untuk beberapa jenis jual beli
adalah sebagai berikut:

1) Barang harus diterima. Dalam jual beli benda bergerak (manqulat),


untuk keabsahannya disyaratkan barang harus diterima dari penjual
yang pertama, karena sering terjadi barang bergerak itu sebelum
diterima sudah rusak terlebih dahulu, sehingga oleh karenanya dalam
penjualan yang kedua terjadi gharar (penipuan) sebelum barang
diterima. Untuk benda-benda tetap ('aqir), Abu Hanifah dan Abu
Yusuf memperbolehkan dijual sebelum barang diterima.

2) Mengetahui harga pertama apabila jual belinya berbentuk murabahah,


tauliah, wadhi‟ah, dan isyarak.

3) Saling menerima (taqabudh) penukaran, sebelum berpisah, apabila


jual belinya jual beli sharf (uang).

4) Dipenuhi syarat-syarat salam, apabila jual belinya jual beli salam


(pesanan).

5) Harus sama dalam penukaran, apabila barangnya barang ribawi.

6) Harus diterima dalam utang piutang yang ada dalam perjanjian dan
menjual sesuatu dengan utang kepada selain penjual.

C. Jual Beli Yang di Larang


Dalam Dalam ajaran Islam, ada sejumlah transaksi dalam muamalah jual
beli yang dilarang dilakukan. Transaksi tersebut dilarang karena mengandung
unsur ghoror atau merugikan salah satu pihak, dan itulah yang menjadi alasan
pelarangan akad dalam transaksi tersebut. Para ulama telah mengkategorikan
dampak akad muamalah menjadi tiga, yaitu akad shohih, fasid, atau rusak. Lebih
lanjut, Wahbah Al-Zuhaili membagi transaksi yang dilarang menjadi tiga

11
kategori, yaitu dilarang karena sebab ahliah, melanggar prinsip tidak menzhalimi,
dan tidak dizhalimi, serta dilarang karena penggunaan akad.25

1. Transaksi Dilarang Karena Sebab Ahliah

Para ulama fiqh sepakat bahwa transaksi dianggap sah jika dilakukan oleh
orang yang memiliki ahliah, yaitu kecakapan berdasarkan usia, jasmani, dan
pemikiran. Transaksi akan dianggap sah jika dilakukan oleh orang baligh, berakal,
dan dapat melakukan khiyar atau tashorruf dengan kehendaknya sendiri.
Transaksi menjadi tidak sah jika tidak ada unsur ahliah dalam diri seseorang.
Beberapa contoh adalah:26

a. Transaksi oleh orang yang gila karena tidak mengerti konsekuensi dari
tindakannya.

b. Transaksi jual beli anak kecil yang belum baligh dapat sah jika diizinkan
oleh wali.

c. Transaksi oleh orang yang tidak bisa melihat menjadi tidak sah karena tidak
bisa membedakan jenis barang.

d. Transaksi oleh orang yang terpaksa masih diperdebatkan oleh ulama, namun
mayoritas sepakat bahwa tidak sah.

e. Transaksi fudhul, yaitu jual beli yang dilakukan oleh seseorang dengan
menjual milik orang lain tanpa izin pemilik barang, dianggap tidak sah.

f. Transaksi oleh orang dalam kondisi dilarang, seperti orang yang muflis,
sakit, atau tidak berakal, dianggap tidak sah oleh sebagian ulama.

g. Transaksi malja', yaitu transaksi dalam kondisi darurat atau membahayakan,


dianggap tidak sah oleh ulama Hanafi dan Hambali karena masuk kategori
fasid.
25
Abdul Mannan, Islamic Economics: Theory and Practice (New Delhi: Sterling
Publishers Pvt. Ltd., 2008), hal, 78.
26
Ibnu Rusyd, Fikih Muamalah. (Jakarta: PT RajaGrafindo,2015), hal 26.

12
2. Transaksi Dilarang Sebab Melanggar Prinsip Tidak Menzhalimi Dan Tidak
Dizhalimi

Dalam ajaran Islam, transaksi harus dilakukan secara transparan dan tanpa
unsur ghoror. Akad transaksi dilakukan dengan prinsip suka sama suka, atau
saling ridha antara pihak yang melakukan transaksi. Ini merupakan penegasan dari
isi Al-Qur'an yang menyatakan urgensi ridha dalam sebuah akad.27

Ayat yang menjelaskan pentingnya ridha dalam transaksi tersebut adalah:


"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu
dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali berupa perniagaan atas dasar suka
sama suka di antara kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (Q.S. 4:29).28

Dengan demikian, transaksi hanya dianggap sah jika didasarkan pada


kesepakatan dan keikhlasan yang bersumber dari suka sama suka. Transaksi yang
melanggar prinsip tidak menzhalimi dan tidak dizhalimi dapat dijelaskan sebagai
berikut:29

a. Gharar: Ghoror memiliki makna bahaya atau resiko. Transaksi dengan


ghoror terjadi ketika ada ketidakpastian baik dari pihak penjual maupun
pembeli terkait kualitas barang, kuantitas barang, harga, dan waktu
penyerahan barang. Misalnya, memperjualbelikan air mani hewan untuk
dijadikan bibit ternak dianggap ghoror karena hasil yang dimaksud tidak
pasti. Rasulullah Saw juga melarang jual beli anak hewan ternak yang masih
dalam kandungan serta buah-buahan yang belum matang.

b. Ihtikar: Ihtikar terjadi ketika seseorang melakukan manipulasi atau


penimbunan barang untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Praktik ini

27
Moqsith, A, Hukum Ekonomi Syariah. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), hal,
99
28
Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Mu'āmalāt (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), hal,
142.
29
Ibnu Rusyd, Fikih Muamalah. (Jakarta: PT RajaGrafindo,2015), hal 28.

13
membuat barang semakin langka dan harga menjadi naik di pasaran. Oleh
karena itu, ihtikar menjadi dilarang dalam Islam.

c. Najasy: Najasy terjadi ketika ada upaya memanipulasi pasar dengan


memberikan keterangan palsu tentang barang yang dijual. Hal ini dapat
membuat harga naik dan merugikan banyak orang. Ulama fiqh menganggap
najasy sebagai transaksi yang dilarang karena mengandung unsur
menzhalimi.

d. Riba: Riba terjadi ketika ada tambahan dari pekerjaan yang tidak halal yang
dapat merugikan pihak pembeli dan penjual. Ada beberapa jenis riba, seperti
riba fadl dan riba qardhi. Transaksi riba dianggap tidak sah dalam Islam
karena melanggar prinsip tidak menzhalimi.

e. Maysir: Maysir adalah transaksi yang mirip dengan perjudian. Transaksi ini
dilarang dalam Islam karena mengandung unsur penzhalimi.

f. Risywah: Risywah terjadi ketika ada pemberian sesuatu kepada orang lain
untuk memenangkan suatu perkarayang dihadapinya. Transaksi ini dianggap
tidak sah karena mengandung unsur menzhalimi.

g. Transaksi menggunakan uang dari hasil haram: Transaksi dengan


menggunakan uang dari hasil usaha yang haram juga dilarang dalam Islam.

h. Transaksi ketika azan jum’at: Transaksi jual beli pada saat azan sholat
jum’at hukumnya adalah haram.

i. Transaksi barang diolah menjadi haram: Transaksi yang mengubah barang


halal menjadi haram juga dilarang dalam Islam.

j. Transaksi barang yang sudah dibeli orang lain: Transaksi dengan barang
yang sudah dibeli atau dipesan orang lain juga tidak sah dalam Islam.

14
k. Transaksi buah tidak segar dengan buah segar: Transaksi antara buah yang
segar dengan buah tidak segar dilarang dalam Islam karena mengandung
unsur ghoror atau menzhalimi.

l. Transaksi ‘Ayyanah (Ba’i Inah): Transaksi ‘Ayyanah yang mengandung


unsur ribawi juga dilarang dalam Islam.

m. Transaksi dengan perantara (al-wasilah): Transaksi yang melibatkan


perantara yang tidak jelas atau menarik diri hak kontrak juga dilarang dalam
Islam.

n. Transaksi tanah muhaqallah atau bakallah: Transaksi hasil bumi yang masih
berada di lahan dan belum bisa dipastikan kualitas, kuantitas, dan harganya
juga dilarang dalam Islam.

o. Transaksi mukhadharah: Transaksi terhadap barang yang belum jelas


wujudnya juga dianggap tidak sah dalam Islam karena mengandung unsur
ghoror.

p. Transaksi Muammasah: Transaksi yang dilakukan dengan menyentuh atau


meraba sebuah barang dan diharuskan membeli barang yang disentuh oleh
si pembeli juga dianggap tidak sah dalam Islam.

q. Transaksi munabazah: Transaksi jual beli dengan cara saling melempar


barang yang akan dibeli antara dua orang yang akan melakukan transaksi
juga dilarang dalam Islam.

r. Transaksi muzabanah: Transaksi jual beli antara buah yang basah dengan
buah yang kering juga tidak sah dalam Islam karena dapat merugikan salah
satu pihak.

3. Transaksi Dilarang Sebab Shighat Akad

Para ulama telah menetapkan bahwa transaksi yang sah dalam jual beli
harus dilakukan dengan kerelaan atau saling ridha. Salah satu bentuk kerelaan dan

15
keridhaan dapat diungkapkan pada akad atau sighat ketika bertransaksi (Romli
2021). Sebuah transaksi idealnya dilakukan saat bertemu dan di satu tempat.

Berdasarkan hadis yang menyatakan "Sesungguhnya jual beli itu berangkat


dari saling ridha" (Al-Qazwini 1998), transaksi harus dilakukan dengan saling
ridha. Artinya, akad transaksi dianggap sah jika penjual dan pembeli sama-sama
ridha. Oleh karena itu, beberapa transaksi dapat dikategorikan tidak sah jika tidak
memenuhi unsur ridha. Berikut penjelasannya:30

a. Transaksi Mu’athah: Transaksi ini dilakukan dengan kesepakatan harga


barang, tetapi tanpa ijab dan qobul yang menunjukkan kesepakatan antara
penjual dan pembeli. Mayoritas ulama menganggap transaksi ini dapat sah
jika salah satu pihak memberikan isyarat persetujuan, sedangkan ulama
Syafi’i membutuhkan sighat akad yang jelas.

b. Transaksi Munjiz: Ini adalah transaksi yang tergantung pada syarat atau
waktu tertentu. Jika syarat atau waktu yang ditentukan tidak terpenuhi,
maka transaksi juga tidak terjadi. Mayoritas ulama memandang transaksi ini
tidak sah karena bisa merugikan penjual atau pembeli.

Transaksi jual beli dalam Islam harus dilakukan dengan saling ridha.
Namun, seringkali terjadi pelanggaran dalam proses transaksi. Ada beberapa
alasan mengapa transaksi jual beli dapat dikategorikan tidak sah atau dilarang:

Pertama, jenis barang yang diperjual-belikan harus halal. Barang haram


secara otomatis membuat transaksi tidak sah. Allah menekankan pentingnya
mengkonsumsi makanan yang baik dan halal untuk menjaga jiwa dan kehidupan.

30
Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Mu'āmalāt (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), hal,
112.

16
Kedua, dalam segi usaha atau objek yang diperdagangkan, ekonomi syariah
dihindarkan dari unsur ghoror dan zhalim yang merugikan salah satu pihak.
Transaksi harus transparan, sehingga tidak ada yang merasa dirugikan.

Ketiga, transaksi harus dilakukan dengan sighat yang benar, menunjukkan


kesepakatan antara penjual dan pembeli. Transaksi yang dibangun di atas
keridhaan dan suka sama suka dianggap sah, sedangkan transaksi dengan sighat
yang tidak benar dapat merusak proses akad.

Dengan demikian, transaksi jual beli dalam Islam harus memenuhi prinsip
saling ridha antara penjual dan pembeli, dilakukan dengan barang yang halal,
tanpa unsur ghoror dan zhalim, serta dengan akad yang jelas dan benar.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam Islam, konsep jual beli memiliki landasan yang kokoh dalam ajaran
agama. Prinsip-prinsip seperti keadilan, transparansi, dan keikhlasan menjadi
pondasi utama dalam setiap transaksi. Dari penelusuran terhadap berbagai sumber
literatur dan pandangan ulama, dapat disimpulkan bahwa praktik jual beli dalam
Islam haruslah dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal pokok. Pertama,
transaksi harus didasarkan pada kesepakatan dan keikhlasan antara kedua belah
pihak, serta tidak ada unsur penipuan atau manipulasi. Kedua, barang yang
diperdagangkan haruslah halal dan bermanfaat bagi masyarakat. Ketiga, harga
yang ditetapkan haruslah wajar dan adil, tanpa memanfaatkan kondisi yang
merugikan salah satu pihak. Dengan memahami konsep jual beli dalam Islam
secara mendalam, diharapkan umat Muslim dapat menjalankan aktivitas
ekonominya dengan penuh kesadaran akan nilai-nilai agama dan etika bisnis
Islam.

B. Saran
Dalam mengeksplorasi konsep jual beli dalam perspektif Islam, penting
untuk mempertimbangkan kepatuhan terhadap ajaran agama dalam setiap
transaksi, meningkatkan pemahaman masyarakat akan aturan jual beli Islam, serta
memperhatikan perlindungan konsumen dalam konteks transaksi online. Selain
itu, penting juga untuk memastikan bahwa setiap akad transaksi dilakukan sesuai
dengan syarat dan rukun dalam Islam guna menjaga keabsahan transaksi. Dengan
memperhatikan aspek-aspek tersebut secara komprehensif, makalah ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi penting dalam memahami prinsip-
prinsip jual beli dalam Islam serta implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.

18
DAFTAR PUSTAKA

Latif, M. A. (2003). Islamic Business Ethics: Conceptualization and


Implementation. Journal of Business Ethics, 45.

Ali, Muhammad. Konsep Jual Beli Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010.

Hamidy, Hamid Fahmy Zarkasyi. Transaksi Jual Beli dalam Perspektif Hukum
Islam. Jakarta: Kencana, 2015.

Hasan. Ekonomi Islam di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2015.

Haroen. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada,


2000.

al-Marbawy. Kamus Arab-Indonesia. Beirut: Dar al-Ilm lil Malayin, 2000.

al-Jaziri. Kitab al-Fiqh 'ala al-Madhahib al-Arba'ah. Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 2003.

Idris. Dasar-Dasar Hukum Perdata Islam di Indonesia. Bandung: PT. Citra


Aditya Bakti, 1986.

al-Ghazzi. Al-Kasyaf 'an Haqaiq al-Syari'ah fi al-Fiqh al-Islami. Beirut: Dar al-
Fikr, 1986.

Taqiyuddin. Kitab Kiffayatul al-Akhyar. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1981.

Zakariya. Fath Al-Wahab. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1989.

Sabiq. Fiqh Sunnah. Kairo: Dar al-Fikr, 1997.

Azzam, Abdul Aziz Muhammad. Fiqh Muamalat Sistem Transaksi Dalam Islam.
Jakarta: Amzah, 2010.

19
Pasaribu, Chairuman, dan Suhrawardi K. Lubis. Hukum Perjanjian Dalam Islam.
Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2004.

Lubis, Suhrawardi K., dan Farid Wadji. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar
Grafika Offset, 2014.

Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunah Jilid 5. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2011.

Rusyd, Ibnu. Bidyatul Mujtahid, jilid 2. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.

Rozalinda. Ekonomi Islam Teori dan Aplikasi pada Aktifitas Ekonomi. Jakarta:
Rajawali Pers, 2015.

Muslich, Ahmad Wardi. Fiqh Muamalah. Jakarta: Amzah, 2010.

Mannan, Abdul. Islamic Economics: Theory and Practice. New Delhi: Sterling
Publishers Pvt. Ltd., 2008.

Moqsith, A. Hukum Ekonomi Syariah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015.

Rusyd, Ibnu. Fikih Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo,2015.

al-Qardhawi, Yusuf. Fiqh al-Mu'āmalāt. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999.

Ibn Majah, Muhammad bin Yazid, Sunan Ibn Majah. Edisi Terjemahan Bahasa
Indonesia. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2015)

Ibn Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni. Edisi Terjemahan Bahasa Indonesia.


(Jakarta: Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, 2010)

Yusuf al-Qaradawi. Fiqh al-Mu'amalat. (Beirut: Dar al-Fikr, 2021)

Hasan, S. H. (2018). Sustainability in Islamic Business: Insights from the


Practices of Sadaqah, Waqf, and Zakat. Journal of Business Ethics,
147(2)

20
Abdullah, A. (2019). The Challenges and Opportunities of Fintech Sharia in
Indonesia: A Lesson from Malaysia. International Journal of
Economics, Commerce and Management,

Ishak, D. (2023). Mengenal Society 5.0 dan Dampaknya Bagi Pendidikan. STAI
YAPATA AL-JAWAMI, 67.

Kurnia, I. A. (2019). The Growth of Fintech and Islamic Crowdfunding: A Study


on Indonesia. Journal of Islamic Marketing, 10(4)

Miraz, M. S. (2019). Blockchain in Islamic Finance: A Catalyst for Financial


Inclusion. Journal of Islamic Finance, 8(2)

21

Anda mungkin juga menyukai