Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

“Menjelaskan Tentang Agama dan Ekonomi”

Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampu :

Disusun Oleh :

1. Hafidoh Lailatil Ummah Amin


2. Ira Finnoura Ardhania
3. Rista Dwi Anggraini
4. Olivia Ekka Devinta

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS KH. A. WAHAB HASBULLAH

2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dalam bentuk maupun
isinya yang sangat sederhana. Semoga tugas ini dapat dipergunakan sebagai salah satu
media pembelajaran.

Harapan kami semoga tugas ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi sehingga
kedepannya dapat lebih baik.

Tugas ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki
sangat kurang. Oleh kerena itu kami mengharapkan kepada ibu/bapak dosen untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun.

Jombang, 11 Desember

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan bagian terpenting dalam


kebijakan ekonomi di negara maupun sistem ekonomi manapun. Secara menyeluruh, hal
ini dapat diasumsikan bahwa pertumbuhan ekonomi akan membawa kepada peluang dan
pemerataan ekonomi yang lebih besar.1 Satu fakta yang tak terbantahkan, pertumbuhan
perekonomian dunia selama dua abad ini telah menimbulkan dua efek yang sangat
penting, yaitu : pertama, semakin meningkatnya kemakmuran atau taraf hidup yang
dicapai oleh masyarakat dunia, kedua, terbukanya kesempatan kerja baru bagi penduduk
yang semakin bertambah jumlahnya.

Terjadinya krisis ekonomi dalam persepktif Islam tentu saja tidak terlepas
dari praktek-praktek ekonomi yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, seperti
perilaku riba (dalam makna yang luas), monopoli, korupsi, dan tindakan malpraktek
lainnya. Bila pelaku ekonomi telah terbiasa bertindak di luar tuntunan ekonomi Ilahiah,
maka tidaklah berlebihan bila krisis ekonomi yang melanda kita adalah suatu malapetaka
yang sengaja diundang kehadirannya akibat ulah tangan manusia sendiri.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ekonomi dalam islam?
2. Bagaimana konsep jual beli dalam islam?
3. Apa yang dimaksud dengan syirkah?
4. Bagaimana pandangan ulama dan umat islam terhadap bank?

C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana pandangan
ekonomi dalam islam
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ekonomi Dalam Islam


Ajaran islam tidak hanya diperuntukkan bagi umat islam saja akan tetapi juga
untuk semua umat manusia, baik umat islam maupun umat agama lain. Islam
mengajarkan kepada umat manusia untuk menjaga dan melindungi alam
sekitarnya.Ekonomi islam yaitu ilmu yang mempelajari segala perilaku manusia dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tujuan memperoleh falah (kedamaian dan
kesejahteraan dunia dan akhirat).
Beberapa ahli mendefinisikan ekonomi islam sebagai suatu ilmu yang
mempelajari perilaku manusia dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan dengan alat
pemenuhan kebutuhan yang terbatas dalam kerangka syariah. Namun, definisi tersebut
mengandung kelemahan karena menghasilkan konsep yang tidak kompatibel dan tidak
universal. Karena dari definisi tersebut mendorong seseorang terperangkap dalam
keputusan yang apriori (apriory judgement) benar atau salah tetap harus diterima.
Definisi yang lebih lengkap harus mengakomodasikan sejumlah prasyarat yaitu
karakteristik dari pandangan hidup islam. Syarat utama adalah memasukkan nilai-nilai
syariah dalam ilmu ekonomi. Ilmu ekonomi islam adalah ilmu sosial yang tentu saja
tidak bebas dari nilai nilai moral.
Ekonomi Islam mempunyai tujuan untuk:
1. Memberikan keselarasan bagi kehidupan di dunia.
2. Nilai Islam bukan semata hanya untuk kehidupan muslim saja tetapi seluruh
makluk hidup dimuka bumi.
3. Esensi proses ekonomi Islam adalah pemenuhan kebutuhan manusia yang
berlandaskan nilai-nlai Islam guna mencapai pada tujuan agama (falah).

Ekonomi Islam menjadi rahmat seluruh alam, yang tidak terbatas oleh
ekonomi, sosial, budaya, dan politik dari bangsa. Dalam melakukan kegiatan ekonomi,
Al-Quran melarang Umat Islam mempergunakan cara-cara yang batil seperti dengan
melakukan kegiatan riba, melakukan penipuan, mempermainkan takaran, dan timbangan,
berjudi, melakukan praktik suap-menyuap, dan cara-cara batil lainnya.
B. Jual Beli Dalam Islam
1. Pengertian Jual Beli Dalam Islam

Dalam kitab Kifayatul Akhyar karangan Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin
Muhammad al-Husaini diterangkan lafaz Bai’ menurut Lughat artinya: memberikan
sesuatu dengan imbalan sesuatu yang lain. Bai’ menurut syara’ jual beli artinya:
membalas suatu harta benda seimbang dengan harta benda yang lain, yang keduanya
boleh dikendalikan dengan ijab qabul menurut cara yang dihalalkan oleh syara’.

Menurut kitab Fathul mu’in karangan Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz
dijelaskan: menurut bahasanya, jual beli adalah menukarkan sesuatu dengan sesuatu
yang lain. Sedangkan menurut syara’ ialah menukarkan harta dengan harta pada wajah
tertentu.

Dalam kitab Fiqih Muamalah karangan Dimyaudin Djuwaini diterangkan,


secara linguistik, al-Bai’ (jual beli) berarti pertukaran sesuatu dengan sesuatu. Secara
istilah, menurut madzhab Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta dengan harta
dengan menggunakan cara tertentu. Disini harta diartikan sebagai sesuatu yang
memiliki manfaat serta ada kecenderungan manusia untuk menggunakannya. Dan cara
tertentu yang dimaksud adalah sighat atau ungkapan ijab dan qabul.

Dan dari berbagai pengertian jual beli tersebut di atas, terdapat beberapa
kesamaan pengertian jual beli, antara lain:

a. Jual beli dilakukan oleh dua orang (dua pihak) yang saling melakukan kegiatan
tukar-menukar.
b. Tukar-menukar tersebut atas suatu harta (barang). Atau sesuatu yang dihukumi
sebagai harta yang seimbang nilainya.
c. Adanya perpindahan kepemilikan antara pihak yang melakukan transaksi tukar-
menukar harta tersebut. d. Dilakukan dengan cara tertentu / wajah tertentu, yang
dibenarkan oleh hukum syara’
2. Hukum Jual Beli

Jual beli pada dasarnya merupakan akad yang diperbolehkan, hal ini
berdasarkan atas dalil-dalil yang terdapat dalam al-Qur’an. Para ulama juga sepakat
(ijma’) atas kebolehan akad jual beli. Ijma’ ini memberikan hikmah bahwa kebutuhan
manusia sering berhubungan dengan sesuatu yang ada dalam kepemilikan orang lain,
dan kepemilikan tersebut tidak akan diberikan begitu saja tanpa adanya kompensasi
yang harus diberikan. Maka, dengan di syariatkan-nya jual beli merupakan cara
mewujudkan pemenuhan kebutuhan manusia tersebut. Karena pada dasarnya, manusia
tidak akan bisa hidup tanpa bantuan dari orang lain. Dan berdasarkan dalildalil
tersebut, maka jelas sekali bahwa pada dasarnya praktik/akad jual beli mendapatkan
pengakuan syara’ dan sah untuk dilaksanakan dalam kehidupan manusia.

3. Rukun dan syarat jual beli

Menurut Imam Nawawi dalam syarah al-Muhadzab rukun jual beli meliputi
tiga hal, yaitu: harus adanya akid (orang yang melakukan akad), ma’qud alaihi
(barang yang diakadkan) dan shighat, yang terdiri atas ijab (penawaran) qabul
(penerimaan).

a. Akid adalah: pihak-pihak yang melakukan transaksi jual beli, yang terdiri dari
penjual dan pembeli. Baik itu merupakan pemilik asli, maupun orang lain yang
menjadi wali / wakil dari sang pemilik asli. Sehingga ia memiliki hak dan
otoritas untuk mentransaksikanya.
b. Ma’qud ‘Alaihi (obyek akad). Harus jelas bentuk, kadar dan sifat-sifatnya dan
diketahui dengan jelas oleh penjual dan pembeli. Jadi, jual beli barang yang
samar, yang tidak dilihat oleh penjual dan pembeli atau salah satu dari
keduanya, maka dianggap tidak sah. Imam Syafi’i telah mengatakan, tidak sah
jual beli tersebut karena ada unsur penipuan.
c. Shighat (ijab dan qabul) Ijaab adalah perkataan dari penjual, seperti “aku jual
barang ini kepadamu dengan harga sekian”. Dan qabul adalah ucapan dari
pembeli, seperti “aku beli barang ini darimu dengan harga sekian”. Dimana,
keduanya terdapat persesuaian maksud meskipun berbeda lafaz seperti penjual
berkata “aku milikkan barang ini”, lalu pembeli berkata “aku beli” dan
sebaliknya. Selain itu tidak terpisah lama antara ijab dan qabulnya, sebab
terpisah lama tersebut membuat boleh keluarnya (batalnya) qabul tersebut.

4. Jual Beli Yang Dilarang


Jual beli batil adalah akad yang salah satu rukun dan syaratnya
tidak terpenuhi dengan sempurna, seperti penjual yang bukan
berkompeten, barang yang tidak bisa diserahterimakan dan sebagainya.
Sedangkan jual beli yang fasid adalah akad yang secara syarat rukun
terpenuhi, namun terdapat masalah atas sifat akad tersebut, seperti jual beli
majhul yaitu jual beli atas barang yang spesifikasinya tidak jelas. Menurut
mayoritas ulama, kedua akad ini dilarang serta tidak diakui adanya
perpindahan kepemilikan.
PP Islam - Jakarta: Rajawali Pers, 2011 - osf.io
TN Fitria - Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 2016 - jurnal.stie-aas.ac.id
S Siswadi - Ummul Qura, 2013 - ejournal.kopertais4.or.id

Anda mungkin juga menyukai