Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

BUYU' ( JUAL BELI )

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 5
HARISTO ADI PRATAMA ( 12110112452 )
SUCI WARDAH ( 12110122564 )

DOSEN PENGAMPU : SAIFUDDIN YULIAR, Lc. M.Ag

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
2022
KATA PENGANTAR

Pertama-tama, penulis menggucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT,


atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini
dengan judul “ Buyu’ (Jual Beli)”. Makalah ini disusun dalam rangka menyelesaikan
tugas perkuliahan pada mata kuliah Fiqih Muamalah.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari
bantuan dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah
ini. Penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada Bapak Saifuddin Yuliar, Lc. M. Ag
selaku dosen mata kuliah Fiqih Muamalah yang telah membantu pembuatan makalah
ini dan juga terimakasih kepada sahabat-sahabat penulis, anggota kelas D prodi
Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan kritikan dan saran.
Dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik materi
maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis telah berupaya dengan segala
kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik, dan
oleh karenanya, penulis dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima
masukan, saran dan usul guna menyempurnakan makalah ini.

Pekanbaru, 16 Maret 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.2 Latar Belakang ..................................................................................................... 1
1.3 Rumusan Masalah ................................................................................................ 2
1.4 Tujuan Pembahasan ............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Buyu’ (Jual Beli) ............................................................................... 3
2.2 Dasar Hukum Jual Beli ........................................................................................ 5
2.3 Pembagian Jual Beli ............................................................................................ 7
2.4 Rukun dan Syarat Jual Beli................................................................................ 10
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 16
3.2 Saran ............................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Allah SWT sebagai agama
yang membawa rahmat kepada seluruh alam juga sangat menyoroti mengenai hal-
hal yang berkaitan dengan jual beli. Dalam Islam jual beli juga dibahas secara
mendetail karena pada hakekatnya Islam bukan hanya agama yang mementingkan
aspek ibadah saja melainkan juga sangat menekankan aspek sosial (muamalah).
Dengan demikian pentingnya bermuamalah untuk memenuhi hajat hidup
dan mencapai kemajuan untuk bermasyarakat, karena dalam hidup bermasyarakat
manusia akan selalu berhubungan satu sama lain, untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.1
Allah SWT telah menjadikan manusia masing-masing saling
membutuhkan satu sama lain, supaya mereka tolong-menolong, tukar-menukar
keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing, baik dengan
jalan jual-beli sewa-menyewa bercocok tanam, atau perusahaan yang lain-lain.
Baik dalam urusan kepentingan pribadi maupun kemaslahatan umat. Dengan
demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur dan subur, pertalian yang satu
dengan yang lain pun menjadi teguh.
Buyu' atau jual beli merupakan suatu kegiatan tukar menukar barang dengan
barang lain dengan cara tertentu. Termasuk dalam hal ini adalah jasa dan juga
penggunaan alat tukar seperti uang. Jual beli ini dilakukan dengan memindahkan
hak milik kepada orang lain dengan harga, sedangkan membeli yaitu menerimanya.
Dalam makalah ini kami akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan Buyu'
(jual beli) dalam Islam. Dimulai dari pengertian jual beli itu sendiri baik secara

1
Basyir ahmad, “Asas- Asas Hukum Mu’amalah”, (Yogyakarta : UII Press Anggota IKPI, 2004), hal.
11.

1
bahasa maupun secara istilah. Kemudian dipaparkan tentang dasar hukum,
pembagian jual beli serta rukun dan syarat-syarat jual beli.
Jual beli itu juga merupakan bagian dari ta’awun (saling menolong). Bagi
pembeli menolong penjual yang membutuhkan uang (keuntungan), sedangkan
bagi penjual juga berarti menolong pembeli yang sedang membutuhkan barang,
Karenanya, jual beli merupakan perbuatan yang mulia dan pelakuan mendapat
keridaan Allah SWT.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa pengertian Buyu'/jual beli?
1.2.2 Apa dasar hukum jual beli?
1.2.3 Apa saja pembagian jual beli?
1.2.4 Apa saja rukun dan syarat jual beli?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Untuk mengetahui pengertian Buyu'/jual beli
1.3.2 Untuk mengetahui dasar hukum jual beli
1.3.3 Untuk mengetahui pembagian jual beli
1.3.4 Untuk mengetahui rukun dan syarat jual beli

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Buyu' (jual beli)


Buyu' atau jual beli dalam bahasa arab disebut ba’i yang secara bahasa
adalah tukar menukar. 2 Dalam buku yang lain, kata jual beli mengandung satu
pengertian, yang berasal dari bahasa Arab, yaitu kata ba’i, yang jamaknya adalah
buyu’i dan konjungsinya adalah ba’a-yabi’u-bai’an yang berarti “menjual”. 3
Sementara itu, Wahbah al-Zuhaily mengartikannya secara bahasa dengan
“menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain".
Adapun pengertian jual beli secara istilah/terminologi, sebagaimana
dikemukakan oleh para Fuqaha adalah sebagai berikut:
a. Menurut Sayyid Sabiq, jual beli adalah “ Penukaran benda dengan benda lain,
saling merelakan atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya
dengan cara yang diperbolehkan”.4
b. Menurut Imam Nawawi dalam kitab Majmu' mengatakan bahwa jual beli
merupakan " Tukar menukar barang dengan barang dengan maksud memberi
kepemilikan".
c. Sedangkan Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni mendefinisikan jual beli
dengan " Tukar menukar barang dengan barang yang bertujuan untuk memberi
kepemilikan dan menerima hak milik”.
Jual beli dalam pengertian syara’ terdapat beberapa definisi yang
dikemukakan oleh ulama mazhab. Meskipun terdapat perbedaan, substansi dan
tujuan masing-masing definisinya sama. Ulama Hanifiyah mendefinisikannya
dengan " Jual beli adalah menukar benda dengan dua mata uang (emas dan perak)

2
Imam Ahmad bin Husain, “Fathu al-Qorib al-Mujib”, (Surabaya : al-Hidayah), hal. 30.
3
AW. Munawwir, “Kamus al-Munawwir Arab – Indonesia”, (Yogyakarta : Pustaka Progresif, 1984),
hal. 135.
4
Sayyid Sabiq, “Fiqh al-Sunnah, Juz III”, (Beirut : Daar al-Fikr, 1983), hal. 126.

3
dan semacamnya, atau tukar-menukar barang dengan uang atau semacamnya
menurut cara yang khusus.5
Definisi ini terkandung arti bahwa cara khusus yang dimaksudkan oleh
ulama Hanafiyah adalah melalui ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan kabul
(pernyataan menjual dari penjual), atau juga boleh melalui saling memberikan
barang dan harga dari penjual dan pembeli. Akan tetapi, harta yang
diperjualbelikan haruslah yang bermanfaat bagi manusia. Apabila jenis-jenis
barang seperti itu tetap diperjualbelikan, menurut ulama Hanafiyah, jual belinya
tidak sah.6
Adapun definisi dari sebagian ulama yang mengatakan jual beli adalah
menukar satu harta dengan harta yang lain dengan cara khusus merupakan definisi
yang bersifat toleran karena menjadikan jual beli sebagai saling menukar, sebab
pada dasarnya akad tidak harus ada saling tukar, tetapi menjadi bagian dari
konsekuensinya, kecuali jika dikatakan : Akad yang mempunyai sifat saling tukar
menukar artinya menuntut adanya satu pertukaran.
Oleh sebab itu, sebagian ulama mendefinisikan jual beli secara syar’i
sebagai akad yang mengandung sifat menukar satu harta dengan harta yang lain
dengan cara khusus. Ada juga yang menyebutkan kata akad untuk terjalinnya satu
akad atau hak milik yang lahir dari sebuah akad seperti dalam ucapan seseorang
“fasakhtu al-bai’a” artinya jika akad yang sudah terjadi tidak bisa dibatalkan lagi,
walaupun maksud yang sebenarnya adalah membenarkan hal-hal yang menjadi
akibat dari akad. Dari pendapat di atas dapat diambil beberapa faedah, di mana jual
beli mempunyai tiga sebutan; sebutan untuk tamlik dan akad, dan juga untuk
menukar satu benda dengan benda lain secara mutlak, dan yang terakhir untuk
istilah syira’ (membeli) yang merupakan tamalluk (menjadi hak milik).

5
Ahmad Wardi Muslich, “Fiqih Muamalat”, (Jakarta : Kreasindo Media Cita, 2010), hal. 19.
6
Nasrun Haroen, “Fiqh Muamalah”,(Jakarta : Gaya Media Patama,2007), hal. 111.

4
Beberapa definisi di atas dapat diketahui bahwa secara garis besar jual beli
adalah tukar-menukar atau peralihan kepemilikan dengan cara pergantian menurut
bentuk yang diperbolehkan oleh syara. 7 Dalam tukar-menukar barang tersebut,
nilai barang yang ditukarkan harus seimbang, disertai akad yang mengarah pada
pemilikan hak milik terhadap masing-masing harta itu dengan asas saling rida
sesuai dengan aturan dan ketentuan hukum. Kalimat yang dimaksud sesuai dengan
ketentuan hukum adalah memenuhi persyaratan-persyaratan, rukun-rukun, dan
hal-hal lainnya yang ada kaitannya dengan jual beli, maka bila syarat-syarat dan
rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara’.
Berdasarkan pengertian yang dijelaskan diatas, dapat kita simpulkan
bahwa jual beli adalah suatu proses tukar-menukar benda atau barang yang
mempunyai nilai secara suka rela diantara dua belah pihak, yang satu menerima
benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan
yang telah dibenarkan syara' dan disepakati.

2.2 Dasar Hukum Jual Beli


Jual beli sebagai sarana tolong-menolong antara sesama manusia
mempunyai landasan yang amat kuat dalam Islam.8 Islam mendorong seseorang
untuk melakukan jual beli sebagai jalan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan
merumuskan tata cara untuk memperoleh harta sehingga dengan adanya perintah
untuk melakukan jual beli, maka antara sesama manusia akan tercipta rasa
kebersamaan, rasa tolong-menolong dan rasa saling membutuhkan satu sama lain.
Dilihat dari aspek hukum, jual beli hukumnya mubah kecuali jual beli yang
dilarang oleh syara’, Terdapat sejumlah ayat Al-Quran yang berbicara tentang jual
beli, salah satunya :

7
Amir Syarifuddin, “Garis-Garis Besar Fiqh”, (Jakarta : Kencana, 2003), hal. 193.
8
M. Ali Hasan, “Berbagai Macam Transaksi dalam Islam” ..., hal. 115.

5
Firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 282 :
‫ت َ ف ْ ع َ ل ُ وا َو إ ِ ْن ۚ ش َ ِه يد َو َل ك َا ت ِب ي ُ ضَ ار َو َل ۚ ت َ ب َ ا ي َ ع ْ ت ُمْ إ ِ ذ َ ا َو أ َشْ ِه د ُوا‬... ُ ‫ۚ ب ِ ك ُ مْ ف ُ س ُ وق ف َ إ ِ ن ه‬
‫ي ء ب ِ ك ُ لِ َو ّللا ُ ۚ ّللا ُ َو ي ُ ع َ ل ِ مُ ك ُ م ُ ۚ ّللا َ َو ات ق ُ وا‬
ْ َ ‫ع َ ل ِيم ش‬
“...Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi
saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya
hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
Selain ayat di atas, terdapat hadis Nabi yang juga menerangkan jual beli,
dalam sabda Rasulullah SAW. disebutkan : “Nabi Muhammad SAW. pernah
ditanya : apakah profesi yang paling baik? Rasulullah menjawab : “Usaha tangan
manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati.”
Hadis Nabi di atas menyatakan usaha terbaik manusia adalah usaha yang
dilakukan oleh tangan sendiri. Hal ini karena usaha yang dilakukan dengan tangan
sendiri menunjukkan bahwa manusia hidup wajib melakukan sesuatu baik untuk
urusan dirinya ataupun keluarganya serta masyarakat pada umumnya. Jadi, jika
dalam mencari uang tidak dibarengi dengan kerja keras serta risiko seperti hanya
duduk di depan komputer sambil bermain game untuk mendapatkan penghasilan
adalah kegiatan sia-sia yang membuang waktu dan kesempatan.9
Dilihat dari kandungan ayat-ayat dan hadis di atas, para ulama fikih sepakat
bahwa hukum asal jual beli adalah halal atau boleh. Hal ini disebabkan umat
manusia sangat membutuhkan jual beli untuk memenuhi kebutuhan makan,
minum, pakaian tempat tinggal, kendaraan dan sebagainya. Akan tetapi, pada
situasi tertentu hukum asal ini dapat berubah.10
Karena hukum asalnya adalah halal, maka apabila ada salah satu dari
berbagai macam jual beli dianggap haram, yang menganggap demikian harus
menunjukkan dalil dan alasannya. Sebagaimana kaidah yang menyatakan bahwa

9
Abu Bakar Ahmad bin Husein bin Ali Al Baihaqi, Al Sunan Al Kubro, ditahkik oleh Muhammad
Abdul Qadir Atho, (Beirut-Labinon : Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, 2003) Cet.3, Juz 5, hal. 43.
10
Ihsan, Ghufron,dkk, “Fiqh Muamalat”, hal. 70.

6
hukum muamalah itu boleh, sampai ada dalil yang mengharamkannya.11 Jual beli
bisa menjadi wajib, kalau seorang wali menjual harta anak yatim dalam keadaan
terpaksa. Hal ini wajib juga bagi seorang qadhi yang menjual harta muflis (orang
yang banyak utang dan melebihi harta miliknya); Haram bagi jual beli barang yang
dilarang oleh agama, melakukan jual beli yang dapat membahayakan manusia
seperti narkoba.
Allah SWT telah mengharamkan memakan harta orang lain dengan cara
batil, yaitu tanpa ganti dan hibah, yang demikian itu adalah batil berdasarkan ijma
umat dan termasuk di dalamnya juga semua jenis akad yang rusak yang tidak boleh
secara syara’ baik karena ada unsur riba atau jahalah (tidak diketahui), atau karena
kadar ganti yang rusak, seperti minuman keras, babi, dan yang lainnya. Jika yang
diakadkan itu adalah harta perdagangan, maka boleh hukumnya sebab
pengecualiannya dalam ayat di atas adalah terputus karena harta perdagangan
bukan termasuk harta yang tidak boleh dijualbelikan.
Ada juga yang mengatakan istisna’ (pengecualian) dalam ayat bermakna
lakin (tetapi) artinya akan tetapi, makanlah dari harta perdagangan, dan
perdagangan merupakan gabungan antara penjualan dan pembelian. Para ulama
dan seluruh umat Islam sepakat tentang dibolehkannya jual beli, karena hal ini
sangat dibutuhkan oleh manusia pada umumnya. Dalam kenyataan kehidupan
sehari-hari tidak semua orang memiliki apa yang dibutuhkannya. Apa yang
dibutuhkannya kadang-kadang berada di tangan orang lain. Dengan jalan jual beli,
maka manusia saling tolong-menolong untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan demikian, roda kehidupan ekonomi akan berjalan dengan positif karena
apa yang mereka lakukan akan menguntungkan kedua belah pihak.

2.3 Pembagian Jual Beli


Adapun beberapa macam pembagian jual beli, yaitu :

11
As-Sa’di, Abdurrahman, dkk, “Fiqih Jual beli”, (Jakarta : Senayan Publishing, 2008), hal. 4.

7
2.3.1 Jual beli barang yang belum diterima
Seorang muslim tidak boleh membeli suatu barang kemudian
menjualnya,padahal ia belum menerima barang dagangan tersebut.
2.3.2 Jual beli najasy
Seorang muslim tidak boleh menawar satu barang dengan harga
tertentu,padahal ia tidak ingin membelinya,namun ia berbuat seperti itu agar
diikuti para penawar lainnya kemudian pembeli tertarik membeli barang
tersebut.seorang muslim tidak boleh berkata kepada pembeli yang ingin
membeli suatu barang “Barang ini dibeli dengan harga sekian” ia berkata
berbohong untuk menipu pembeli tersebut.
2.3.3 Jual beli barang-barang haram dan najis
Seorang muslim tidak boleh menjual barang atau komuditas barang
haram, barang-barang najis, dan barang-barang yang menjurus kepada
haram. Jadi, ia tidak boleh menjual minuman keras, babi, bangkai, berhala,
dan anggur yang hendak dijadikan minuman keras.
2.3.4 Jual beli gharar
Jual beli gharar adalah jual beli yang mengandung unsur-unsur penipuan
dan penghianatan, baik karena ketidak jelasan dalam objek jual beli atau
ketidak pastian dalam cara pelaksanaannya. Hukum jual beli ini adalah
haram.Orang muslim tidak boleh menjual sesuatu yang didalamnya terdapat
ketidakjelasan (gharar).
2.3.5 Jual beli dua barang dalam satu akad
Seorang muslim tidak boleh melangsungkan dua jual beli dalam satu
akad, namun ia harus melangsungkan keduanya sendiri-sendiri, karena
didalamnya terdapat ketidakjelasan yang membuat orang muslim lainnya
tersakiti, atau memakan hartanya dengan tidak benar. Dua jual beli ini dalam
satu akad mempunyai banyak bentuk. Misalnya, penjual berkata kepada
pembeli, ”Aku jual barang ini kepadamu seharga sepuluh ribu kontan, atau
lima belas ribu sampa waktu tertentu (kredit)”. Setelah itu

8
akad jual beli dilangsungkan dan penjual tidak menjelaskan jual neli
manakah (kontan atau kredit) yang ia kehendaki.
2.3.6 Jual beli urbun (uang muka)
Seorang muslim tidak boleh melakukan jual beli urbun, atau mengambil
uang muka secara kontan. Tentang jual beli urbun, Imam Malik menjelaskan
bahwa jual beli urbun ialah seseorang membeli sesuatu atau menyewa hewan,
kemudian berkata kepada penjual, ”Engkau aku beri uang satu dinar dengan
syarat jika aku membatalkan jual beli atau sewa maka aku tidak menerima
uang sisa darimu”.
2.3.7 Jual beli utang dengan utang
Seorang muslim tidak boleh menjual utang dengan utang, karena hal
tersebut sama saja menjual barng yang tidak ada dengan barang yang tidak
ada pula, dan Islam tidak membolehkan jual beli seperti itu.
2.3.8 Menjual sesuatu yang tidak ada pada penjual
Seorang muslim tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ia miliki atau
sesuatu yang belim dimilikinya, karena hal tersebut menyakiti pembeli yang
tidak mendapatkan barang yang dibelinya.
2.3.9 Jual beli orang kota untuk orang desa
Jika orang desa atau orang asing datang ke satu kota dengan maksud
menjual barang nya di pasar dengan harga hari itu, maka orang kota tidak
boleh berkata padanya, ”serahkkan barangmu kpada ku dan aku akan
menjualnya untukmu besok, beberapa hari lagi dengan harga yang lebih
mahal dari harga ini’.
2.3.10 Jual beli musharrah
Seorang muslim tidak boleh menahan susu kambing atau lembu atau
unta selama berhari-hari agar susunya terlihat banyak, kemudian manusia
tertarik membelinya dan ia pun menjualnya, karena cara seperti itu adalah
penipuan.
2.3.11 Jual beli pada azan kedua hari jum’at

9
Seorang muslim tidak boleh menjual sesuatu atau membeli sesuatu jika
azan kedua shalat jum’at telah dikumandangkan dan khatib telah naik
mimbar.
2.3.12 Jual beli muhalaqah
Jual beli muhalaqah dalam satu tafsiran adalah jual beli buah-buahan
yang masih berada di tangkainya dan belum layak untuk dimakan. Hukum
jual beli ini adalah haram. Alasan haramnya karena jual beli ini adalah objek
yang diperjual belikan masih belum dapat dimanfaatkan, karena larangan
disini melanggar salah satu dari syafaat jual beli yaitu asas manfaat maka
menurut kebanyakan ulama jual beli ini tidak sah.

2.4 Rukun Dan Syarat Jual Beli


1. Rukun jual beli
Rukun secara umum ialah suatu yang harus dipenuhi untuk sahnya
pekerjaan.Dalam jual beli berdasarkan pendapat Ulama Hanafiah yang terdapat
dalam bukunya Abdul Rahman Ghozali rukun jual beli ialah ijab dan qabul
yang menunjukkan sikap saling tukar, atau saling memberi. Rukun dalam jual
beli beradasarkan pendapat Ulama Hanafiah ada dua yakni ijab dan qabul,
sedangkan berdasarkan jumhur ulama’ rukun jual beli harus mencakup empat
macam antara lain :
a. Akidatain (penjual dan pembeli).
b. Ada barang yang dibeli.
c. Sighat (lafadz ijab dan qabul).
d. Ada nilai tukar pengganti barang.
Menurut Imam Taqiyudin abi bakar Muh. Al-Husaini menyatakan
rukun jual beli yaitu : Penjual, Pembeli, Barang yang dijual, Harga, Ucapan ijab
dan qabul.

10
Menurut Abdurrahman Al-Jaziri bahwa rukun jual beli ialah : Sighat (ijab
dan qabul), Aqid (orang yang mengadakan perjanjian, terdiri dari penjual dan
pembeli), Ma’qud alaih (barang obyek akad) terdiri dari barang dan harga.
2. Syarat jual beli
Syarat yaitu asal maknanya : Janji. Menurut istilah syara’ ialah sesuatu
yang harus ada, dan menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah),
tetapi sesuatu itu tidak berada didalam pekerjaan itu. Agar jual beli dapat
dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang tepat, harus direalisasikan
beberapa syaratnya terlebih dahulu. Ada yang berkaitan dengan pihak penjual
dan pembeli, dan ada kaitan dengan obyek yang diperjual belikan.
a. Syarat Sighat lafadz ijab qabul
Ijab adalah perkataan penjual,seperti”saya jual barang ini
sekian...”.sedangkan qabul adalah perkataan si pembeli,seperti”saya beli
dengan harga sekian....”12
Adapun syarat-syarat ijab dan qabul menurut ulama fiqih yaitu :
1) Orang yang mengucapkan telah baligh dan berakal.
2) Qabul sesuai dengan ijab, Misalnya penjual mengatakan : “Saya jual buku
ini seharga Rp.15.000”, lalu pembelli menjawab :”Saya beli dengan harga
Rp.15.000”. Apabila antara ijab dan qabul tidak sesuai maka jual beli
tidak sah.
3) Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis, maksudnya kedua belah pihak
yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topik yang sama.
Apabila penjual mengucapkan ijab, lalu pembeli berdiri sebelum
mengucapkan qabul, atau pembeli mengerjakan aktivitas lain yang tidak
terkait dengan masalah jual beli, kemudian ia ucapkan qabul, maka
menurut kesepakatan para ulama ahli fiqih jual beli ini tidak sah”.13

12
Soedarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hal. 401.
13
Muhammad Yusuf Musa, Al-Anwal Wa Nazhariyah Al-aqd,Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1976, hal. 255.

11
Berdasarkan beberapa syarat ijab dan qabul tersebut diatas, yang menjadi
perselisihan pendapat adalah ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis.
Dimana Ulama Hanafiyah dan Malikiah mengatakan bahwa antara ijab dan
qabul boleh saja diantarai oleh waktu, yang diperkirakan bahwa pihak
pembelli sempat untuk berfikir. Namun ulama syafi’iah dan Hanabilah
berpendapat bahwa jarak anatara ijab dan qabul tidak terlalu lama,yang dapat
menimbulkan gugaan bahwa objek pembicaraan telah berubah.14
Terkait dengan masalah ijab dan qabul ini adalah jual beli melalui
perantara, baik melalui orang yang diutus maupun melalui media cetak
seperti surat menyurat dan media elktronik, seperti telepon dan faximile,
para ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa jual beli melalui perantara atau
dengan mengutus seseorang dan melalui surat menyurat adalah sah, apabila
antara ijab dan qabul sejalan.
b. syarat bagi penjual dan pembeli
Bagi orang yang melakukan akad jual beli, diperlukan adanya syarat-
syarat sebagai berikut :
1) Berakal
Jual beli hendaknya dilakukan dalam keadaan sadar dan sehat.
Jual beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum berakal, orang gila,
mabuk atau pingsan hukumnya tidak sah atau haram. Hal ini dinyatakan
oleh Rasulullah dalam sabdanya yang artinya : “Dari aisyah ra Nabi
Muhammad SAW bersabda : diangkatnya kalam dari 3 orang (perkara),
dari orang yang tidur hingga dia bangun, dari anak kecil hingga ia
dewasa, dan dari orang gila hingga ia berakal/sembuh dari gilanya. (HR
Abu Dawud dan Nasa’i).
2) Baligh

14
Asy-syarbaini al-Khatib, Muqhni al-Muhtaj, Jilid II,Dar al-Fikr, Beirut, 1982, hal. 5-6.

12
Baligh berarti sampai atau jelas.15 Baligh adalah masa kedewasaan
seseorang, yang menurut kebanyakan para ulama yaitu apabila seseorang
telah mencapai usia 15 tahun, atau orang belum mencapai umur yang
dimaksud, akan tetapi sudah dapat bertanggung jawab secara hukum.
Yakni anak-anak yang sudah sampai pada usia tertentu yang menjadi jelas
baginya segala urusan atau persoalan yang dihadapi fikirannya telah
mampu mempertimbangkan atau memperjelas mana yang baik dan mana
yang buruk.
3) Tidak pemboros
Maksudnya kedua belah pihak yang melakukan jual beli tersebut
bukanlah manusia yang boros, karena orang boros dipandang sebagai
orang yang cakap dalam hukum. Bagi orang pemboros apabila dalam
melakukan jual beli, maka jual belinya tidak sah, sebab bagi orang
pemboros itu suka menghambur-hamburkan hartanya, sehingga apabila
diserahkan harta kepadanya akan menimbulkan kerugian pada dirinya.
Dalam hal ini dinyatakan oleh Allah SWT dalam Firmannya dalam surat
Al-isra’ ayat 27. Artinya : “Sesungguhnya pemboros-pemboros ituu
adalah saudara-saudara syaitan, dan syaitan adalah sangat ingkar kepada
tuhan-Nya.” (Q.S. Al-Isra’ ayat 27).
4) Atas kemauan sendiri
Artinya prinsip jual beli adalah suka sama suka tanpa ada paksaan
antara si penjual dan si pembeli. Maka jika perilaku tersebut tidak tercapai,
jual beli itu tidak sah.

c. Syarat barang yang diperjual belikan


Mengenai syarat-syarat barang yang di perjual beli kan menurut Sayid
Sabiq yaitu : Bersih barangnya, Dapat dimanfaatkan, Milik orang yang

15
M.Abdul Mujieb, Mabruri Thalhah dan Syafi’ah AM, Syarat dan Rukun Jual Beli, hal. 37.

13
melakukan akad/milik sendiri, Mampu menyerahkan, Diketahui barangnya
dengan jelas dan, Barang yang diakadkan ada ditangan.
Sedangkan menurut Musthafa Ahmad Azzarqa syarat barang yang
diperjual belikan yaitu sebagai berikut :
1) Barang itu ada, atau tidak ada di tempat tetapi pihak penjual menyatakan
kesanggupannya untuk mengadakan barang itu. Misalnya, barang yang
dijual sedang diletakkan pedagang di dalam gudang.
2) Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.
3) Milik seorang. Barang yang sifatnya belum memiliki seseorang tidak
boleh diperjual belikan seperti memperjual belikan ikan di laut.
4) Boleh diserahkan saat akad berlangsung, atau pada waktu yang
disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.
d. Syarat-syarat nilai tukar
Selain hal-hal tersebut diatas, unsur terpenting dalam jual beli adalah
nilai tukar dari barang yang dijual (uang). Terkait dengan masalah nilai tukar
ini, para ulama membedakan ata-tsaman dengan as-si’r. Menurut mereka
ata-tsaman harga pasar yang berlaku ditengah-tengah masyarakat secara
nyata, sedangkan as-si’r adalah modal barang yang seharusnya diterima para
pedagang sebelum dijual kekonsumen. Dengan demikian harga barang itu
ada dua, yaitu harga antara pedagang dan antara harga antara pedagang
dengan konsumen (harga jual pasar).
Karena harga yang dapat dipermainkan para pedagang adalah ats-
tsaman sebagai berikut :
1) Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
2) Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukum seperti
pembayaran dengan cek atau kartu kredit. Apabila harga barang itu dibayar
kemudian (berhutang), maka waktu pembayarannya harus jelas.

14
3) Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang (al-
muqa’yadhah), maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan braang yang
diharamkan syara’.

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa jual beli ialah tukar-menukar
barang dengan barang lainnya menurut rukun dan syarat tertentu. Dalam kenyataan
sehari-hari jual beli adalah penukaran barang dengan uang. Jual beli akan terus
berlangsung selama manusia hidup di dunia ini. Jual beli juga salah satu ruang
lingkup muamalah yang bersifat adabiyah yaitu ijab dan qabul, tidak ada
keterpaksaan dari salah satu pihak, tidak ada penipun, pemalsuan, penimbunan dan
lain sebagainya yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan
peredaran harta dalam kehidupan manusia.
3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kata sempurna,untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Semoga pembaca mendapat ilmu
dari setiap lembaran di makalah ini.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar Ahmad bin Husein bin Ali Al Baihaqi, Al Sunan Al Kubro, ditahkik oleh
Muhammad Abdul Qadir Atho. 2003. Beirut-Labinon : Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah
Ahmad, Basyir. 2004. Asas- Asas Hukum Mu’amalah. Yogyakarta : UII Press Anggota
IKPI
Ali Hasan, M. 2004. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Al-Khatib, Asy-syarbani, Al-Muhtaj. 1982. Jilid II, Beirut: Dar al-Fikr
As-Sa’di, Abdurrahman, dkk. 2008. Fiqih Jual beli. Jakarta : Senayan Publishing
Haroen, Nasrun. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta : Gaya Media Patama
Husain, Imam Ahmad. Fathu al-Qorib al-Mujib. Surabaya : al-Hidayah
Ihsan, Ghufron,dkk. 2010. Fiqh Muamalat. Mataram: Kencana Prenada Media Group
M.Abdul Mujieb, Mabruri Thalhah dan Syafi’ah AM, hal. 37.
Mujieb, M Abdul, dkk. 2017. Syarat dan Rukun Jual Beli.
Munawwir, Aw. 1984. Kamus al-Munawwir Arab – Indonesia. Yogyakarta : Pustaka
Progresif
Musa, Muhammad Yusuf. 1976. Al-Anwal Wa Nazhariyah Al-aqd. Dar al-Fikr al-
‘Arabi,
Muslich, Ahmad Wardi. 2010. Fiqih Muamalat. Jakarta : Kreasindo Media Cita 2010
Sabiq, Sayyid. 1983. Fiqh al-Sunnah, Juz III. Beirut : Daar al-Fikr
Soedarsono. 1992. Pokok-Pokok Hukum Islam. Jakarta: Rineka Cipta
Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta : Kencana

Anda mungkin juga menyukai